Anda di halaman 1dari 17

REVIEW JURNAL

PENGERTIAN, SIFAT DAN FUNGSI KARBOHIDRAT

Disusun oleh :

ZAHROH MUTMAINAH
NPM : 220104015P

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU
2022
RESUME JURNAL

RANGKUMAN JURNAL 1. KARBOHIDRAT

Judul Jurnal : Karbohidrat


Nama Jurnal : Jurnal Ilmu Keolahragaan
Volume dan halaman : Vol. 13 (2) Juli-Desember 2014:38-44
Tahun : 2014

Penulis : Nurhamida Sari Siregar*

Reviewer : Zahroh Mutmainah

Tanggal : 4 September 2022

1) Pengertian
Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi yang diperlukan oleh manusia yang befungsi
untuk menghasilkan energi bagi tubuh manusia. Karbohidrat sebagai zat gizi merupakan
nama kelompok zat-zat organik yang mempunyai struktur molekul yang berbeda-beda,
meski terdapat persamaan-persamaan dari sudut kimia dan fungsinya. Semua karbohidrat
terdiri atas unsur Carbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O).

2) Sifat/Jenis Karbohidrat
Berdasarkan sifatnya Jenis-jenis Karbohidrat ada 2 yaitu:
a. Karbohidrat Sederhana
Karbohidrat sederhana terdiri atas:
a) Monosakarida. Ada tiga jenis monosakarida yang mempunyai arti gizi yaitu
glukosa, fruktosa dan galaktosa.
 Glukosa, dinamakan juga sebagai gula anggur, terdapat luas di alam dalam
jumlah sedikit yaitu dlama sayur, buah, sirup jagung, sari pohon dan
bersamaan dengan fruktosa dalam madu.
 Fruktosa, dinamakan sebagai gula buah yang merupakan gula paling manis.
Gula ini terutama terdapat dalam madu bersama glukosa dalam buah, nektar
bunga dan juga di dalam sayur.
 Galaktosa, terdapat di dalam tubuh sebagai hasil pencernaan laktosa.
b) Disakarida. Ada tiga jenis yang mempunyai arti gizi yaitu sukrosa, maltosa dan
laktosa.
 Sukrosa, dinamakan juga gula tebu atau gula bit. Gula pasir terdiri atas 99 %
sukrosa dibuat dai kedua macam bahan makanan tersebut melalui proses
penyulingan dan kristalisasi. Gula merah dibuat dari kelapa, tebu atau enau
melalui proses penyulingan tidak sempurna. M
 Maltosa (gula malt) tidak terdapat bebas di alam. Maltosa terbentuk pada
setiap pemecahan pati. Bila dicernakan atau dihidrolisis, maltosa pecah
menjadi dua unit glukosa.
 Laktosa (gula susu) hanya terdapat dalam susu dan terdiri atas satu unit
glukosa dan satu unit galaktosa.
c) Oligosakarida. Oligosakarida terdiri atas polimer dua hingga sepuluh
monosakarida. Sebetulnya disakarida termasuk dalam oligosakarida, tetapi karena
peranannya dalam ilmu gizi sangat penting maka dibahas secara terpisah.
b. Karbohidrat Sederhana
Karohidrat kompleks terdiri atas:
1) Polisakarida. Jenis polisakarida yang penting dalam ilmu gizi adalah pati,
dekstrin, glikogen dan polisakarida nonpati.
2) Polisakarida nonpati/ Serat. Serat mendapat perhatian kaena
peranannya dalam mencegah bebagai penyakit.

3) Metabolisme Karbohidrat
a) Pencernaan Karbihidrat
Pencernaan kabohidrat dimulai dari mulut. Bolus makanan yang berasal dari makanan
yang dikunyah akan bercampur dengan ludah yang mengandung enzim amilase.
Enzim amilase ini menghidrolisis pati atau amilum menjadi bentuk karbohidrat lebih
sederhana yaitu dekstrin.Enzim amilase ludah bekerja paling baik pada pH ludah yang
bersifat netral. Makanan yang dikunyah di mulut tinggal di situ hanya sebentar,
sehingga pemecahan amilum oleh amilase hanya sedikit saja. Bolus kemudian ditelan
ke dalam lambung. Amilase ludah yang ikut masuk ke lambung dicernakan oleh asam
klorida dan enzim pencerna protein yang terdapat di lambung, sehingga pencernaan
karbohidrat di dalam lambung terhenti.

b) Penyimpanan Glukosa
Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah untuk menyediakan glukosa bagi
sel-sel tubuh, yang kemudian akan diubah menjadi energi. Kelebihan glukosa akan
disimpan di hati dalam bentuk glikogen
c) Penggunaan glukosa untuk energi
glukosa memasuki sel, enzim-enzim akan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil
yang pada akhirnya akan menghasilkan energi, karbon dioksida dan air.
Fungsi karbohidrat di dalam tubuh adalah
a. Sumber energi. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkalori.
b. Pemberi rasa manis pada makanan. Karbohidrat memberi rasa manis pada
makanan, khususnya monosakarida dan disakarida. Gula tidak mempunyai rasa
manis yang sama. Fruktosa adalah gula paling manis.
c. Penghemat protein. Protein akan digunakan sebagai sumber energi, jika
kebutuhan karbohidrat tidak terpenuhi, dan akhirnya fungsi protein sebagai zat
pembangun akan terkalahkan.
d. Pengatur metabolisme lemak. Karbohidrat mencegah terjadinya oksidasi lemak
yang tidak sempurna.
e. Membantunpengeluarannfeses.
4) Sumber Karbohidrat
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering
dan gula. Hasil olahan bahan-bahan ini adalah bihun, mie, roti, tepung- tepungan, selai,
sirup dan lainnya. Sumber karbohidrat yang banyak dimakan sebagai makanan pokok di
Indonesia adalah beras, jagung, ubi, singkong, talas dan sagu.

5) Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan karbohidra


1) Penyakit Kurang Kalori dan Protein
Penyakit ini memiliki gejala klinis honger oedema (busung lapar), gambaran
klinis penyakit ini pasien sangat kurus.
2) Penyakit Kegemukan
Kegemukan ini merupakan dampak dari ketidakseimbangan energi yaitu asupan
energi jauh melampaui keluaran energi dalam jangka waktu tertentu

3) Diabetes melitus (penyakit Gula)


Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang disebabkan oleh interaksi
berbagai faktor yaitu genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup.

Kegemukan ini merupakan dampak dari ketidakseimbangan energi yaitu asupan


energi jauh melampaui keluaran energi dalam jangka waktu tertentu

4) Laktose Intolerance
Penyakit ini merupakan gangguan metabolik yang mengenai disakarida laktosa.
Laktosa di dalam saluran gastrointestinal dipecah oleh enzim laktase menjadi
glukosa dan galaktosa
RANGKUMAN JURNAL 2. ANALISIS SENYAWA KIMIA PADA KARBOHIDRAT

Judul Jurnal : Analisis Senyawa Kimia pada Karbohidrat


Nama Jurnal SAINTEKS
Volume dan halaman : Volume. 17 No 1, April 2020
Tahun : 2020

Penulis : Ardhista Shabrina Fitri, Yolla Arinda Nur Fitriana

Reviewer : Zahroh Mutmainah

Tanggal : 4 September 2022

1. Pengertian Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa karbon, hydrogen, dan oksigen yang terdapat dalam alam.
Banyak karbohidrat mempunyai rumus empiris CH2O. Karbohidrat sebenarnya adalah
polisakarida aldehid dan keton atau turunan mereka (Poedjiadi, 2006).
Nama karbohidrat berasal dari kenyataan bahwa kebanyakan senyawa dari golongan ini
mempunyai rumus empiris yang menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah karbon
“hidrat” ddan memiliki nisbah 1:2:1 untuk C, H, dan O. Perbandingan jumlah atom H dan O
adalah 2:1 seperti pada molekul air (McGilvery, 1996).
Karbohidrat (dalam hal ini pati, gula, atau glikogen) merupakan zat gizi sumber energy
paling pentng bagi makhluk hidup karena molekulnya mnyediakan unsur karbon yang siap
digunakan oleh sel. Secara kimia, karbohidrat dapat didefinisikan sebagai turunan aldehid
atau keton dari alcohol polihidrik (karena mengandung gugus hidroksi lebih dari satu), atau
sebagai senyawa yang menghasilkan turunan tersebut apabila dihidrolisis (Poedjiadi, 2006).

2. Fungsi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh manusia, yang menyediakan 4
kalori (kiojoule) energy pangan per gram. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting
dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-
lain. Sedangkan dalam tubuh, karohidrat berguna untuk mencegah tumbuhnya ketosis,
pemecahan tubuh protein yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk
membantu metabolism lemak dan protein (Fessenden, 1990).

3. Klasifikasi Karbohidrat terdiri dari :

a) Monosakarida
Monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, dalam arti molekulnya hanya terdiri
atas beberapa ato karbon saja dan tidak dapat diuraikan dengan cara hidrolisis dalam
kondisi lunak menjadi karbo lain (McGilvery, 1996). Monosakarida tidak berwarna,
bentuk kristalnya larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut non- polar. Monosakrida
digolongkan menurut jumlah karbon yang ada dan gugus fungsi karbonilnya yaitu aldehid
(aldosa) dan keton (ketosa). Glukosa, galaktosa, dan deoksiribosa semuanya adalah
aldosa. Monosakarida seperti fruktosa adalah ketosa (Fessenden, 1982),

b) Disakarida
disakarida adalah suatu karbohidrat yang tersusun dari dua satuan mnosakarida yang
dipersatukan oleh suatu hubungan glikosida dari karbon 1 dari satu satuan ke suatu OH
satuan lain. Suatu cara ikatan yang lazim ialah suatu ubungan glikosida α atau β dari
satuan pertama ke gugus 4-hidroksil dari satuan kedua. Hubungan ini disebut suatu ikatan
1,4’-α atau 1,4’-β, tergantung pada stereokimia pada karbon glikosida. Seperti halnya
monosakarida, senyawa ni larut dalam air, sedikit larut dalam alcohol, dan praktis tidak
larut dalam eter dan pelarut oerganik non-olar. Contoh dari disakarida adalah maltose,
sukrosa, dan laktosa (Sastroamidjojo & Hardjono, 2005).

c) Polisakarida
Pada umumnya polisakarida mempunyai molekul besar dan lebih kompleks daripada mono
dan oligosakarida. Molekul mnosakrida terdiri atas banyak molekul monosakarida.
Polisakarida yang terdiri dari satu macam monoksakarida disebut homoolisakarida,
sedangkan yang mengandung senyawa lain disebut heteropolisakarida (Fessenden, 1982).
Polisakarida tersusun dari banyak unit monosakarida yang saling berhubungan melalui
ikatan glikosida. Unit gula dapat saling berhubungan membentuk polisakarida lurus,
bercabang, atau melingkar. Ikatan 1→4 dan 1→6 adalah yang paling banyak ditemui pada
polisakarida alam yang terdiri dari heksosa (Antony, 1984). Umumnya, polisakarida
berupa senyawa berwarna putih dan tidak berbentuk Kristal, tidak memiliki rasa manis dan
tidak memiliki sifat mereduksi. Berat molekul polisakarida yang larut dalam air akan
membentuk larutan koloid. Beberapa polisakarida yang penting diantaranya adalah
amilum, glikogen, dekstrin, dan selulosa (McGilvery, 1996).

REFERENSI JURNAL / DAFTAR PUSTAKA


1. Nurhamidah Sari Siregar*.2014. Karbohidrat.2014. Vol.13 (2) Juli-
Desember 2014:38-44
2. Ardhista Shabrina Fitri, Yolla Arinda Nur Fitriana. 2020. Analisa
Senyawa Kimia pada Karbohidrat. Volume 17 No 1, April 2020
JURNAL ASLI
Literatur Review
Volume 2 – No. 1 – Februari 2022
P-ISSN: 2808-3504, E-ISSN: 2808-2532

Pengaruh Asupan Selenium terhadap Kejadian Obesitas

Effect of Selenium Intake on Obesity Incidence


Mukhlidah Hanun Siregar1,2* dan Hadi Riyadi1
1Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Bogor, Indonesia
2Program Studi Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Banten, Indonesia
*email: mukhlidah.hanunsiregar@gmail.com

Abstract

Selenium is one of the trace elements that have antioxidant abilities in the body. In
the body, selenium binds to proteins and is called selenoprotein. Several studies
have shown that there are differences of serum selenium levels between obese and
normal subjects, suspect relation is lipogenesis. This literature review was
conducted to discuss the role of selenium in the incidence of obesity. This study
uses the literature review method with data sources, namely articles published on
scholar.google.com in 2019-2021. Articles obtained by searching using the
keywords "selenium and obesity". To describe the association between selenium
and obesity, various criteria were set for the article. The selection results found 5
articles were matched the criteria. Most (80%) studies conducted on humans used a
cross-sectional design to determine the relationship between selenium intake and
obesity, only one with direct intervention L-selenomethionine and showed the
changes in body composition. Obese respondents had selenium deficiency both in
intake, plasma and erythrocyte concentrations, also in SePP1 concentrations and
GPx activity. The association between selenium and obesity is thought to be
through signaling pathways and the reciprocal association between SePP in the
liver and insulin in the pancreas when blood glucose increases. In the future, it is
necessary to further investigate this effect in areas prone to selenium deficiency to
find out recommendations for selenium supplementation in obese individuals.

Keywords: obesity; selenium; selenium deficiency

Abstrak

Selenium merupakan salah satu trace element yang memiliki kemampuan


antioksidan di dalam tubuh. Di dalam tubuh selenium berikatan dengan protein
dan disebut dengan selenoprotein. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada
perbedaan kadar serum selenium antara orang yang obesitas dan normal, ada
dugaan terkait dengan proses lipogenesis. Telaah literatur ini dilakukan untuk
membahas peran selenium dalam kejadian obesitas. Penelitian ini menggunakan
metode literatur review dengan sumber data yaitu artikel yang dipublikasi pada
scholar.google.com pada tahun 2019-2021. Artikel diperoleh dengan cara
mencari menggunakan kata kunci “selenium and obesity”. Untuk dapat
menguraikan keterkaitan antara selenium dan obesitas, ditetapkan berbagai
kriteria artikel. Hasil seleksi menemukan ada 5 artikel yang sesuai dengan
kriteria. Sebagian besar (80%) penelitian yang telah dilakukan pada manusia
untuk mengetahui hubungan asupan selenium dengan obesitas menggunakan
desain cross-sectional, hanya satu yang melakukan intervensi langsung dengan
pemberian L-selenomethionine yang menunjukkan adanya perubahan komposisi

1
Gorontalo Journal of Nutrition and Dietetic. Vol 2(1) Februari 2022

tubuh. Responden obesitas mengalami defisiensi selenium baik pada asupan,


konsentrasi plasma dan eritrosit, serta pada konsentrasi SePP1 dan aktivitas
GPx. Hubungan selenium dan obesitas diduga melalui jalur sinyal dan hubungan
timbal balik antara SePP di hati dan insulin di pankreas saat terjadi peningkatan
glukosa darah. Ke depan, perlu penelusuran lanjut terkait efek ini pada daerah
yang rentan mengalami defisiensi selenium untuk mengetahui rekomendasi
suplementasi selenium pada individu obesitas.

Kata kunci: obesitas; selenium; defisiensi selenium

PENDAHULUAN
Epidemi obesitas dengan cepat menjadi tantangan terbesar masalah
kesehatan masyarakat. Obesitas identik dengan kelebihan persentasi lemak
tubuh yang dapat berdampak pada banyak hal. Tahun 2014, WHO memprediksi
bahwa besar dampak ekonomi akibat masalah obesitas hampir sama dengan
dampak merokok dan konflik perang yaitu sekitar $2 triliun per tahun. Angka
ini juga termasuk biaya kesehatan serta kehilangan nilai ekonomi akibat
menurunnya produktivitas kerja (Kemenkes, 2018a).
Secara global terjadi peningkatan prevalensi kejadian obesitas yang
signifikan. Diperkirakan tahun 2014, kejadian kelebihan berat badan melebihi
angka 1,9 miliar pada orang dewasa >18 tahun. Dan dari angka tersebut lebih
dari 600 juta mengalami obesitas. Kelebihan berat badan diklasifikasikan
menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar ≥25,0 sedangkan batasan obesitas
yaitu IMT ≥27,0 (Kemenkes, 2018b). Selain itu, obesitas juga diklasifikasikan
berdasarkan lingkar perut. Batasan obesitas sentral adalah jika nilai lingkar
perut pada laki-laki > 90 cm dan perempuan > 80 cm.
Data kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia meningkat setiap
tahunnya. Prevalensi dua masalah ini terus meningkat berdasarkan Riskesdas
tahun 2007, 2013 dan 2018. Pada tahun 2007, prevalensi kelebihan berat
badan dan obesitas pada penduduk dewasa usia >18 tahun sebesar 8,8% dan
10,5%, prevalensi pada tahun 2013 yaitu 13,3% dan 15,4%. Dan meningkat lagi
pada tahun 2018 menjadi 13,6% dan 21,8%. Daerah perkotaan diprediksi
memiliki prevelansi lebih besar dibandingkan daerah perdesaan (Kemenkes,
2018a).
Akibat masalah ini menimbulkan sejumlah masalah kesehatan yaitu
gangguan metabolik dan dampak penyakit. Gangguan metabolik merupakan
kelainan yang terjadi pada proses metabolisme tubuh, dapat berupa perubahan
atau keterbatasan enzim, dan lainnya. Gangguan metabolik jangka panjang
dapat menyebabnya berbagai penyakit seperti penyakit kardivaskular, diabetes
mellitus, kanker, batu empedu, dan lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengelolaan obesitas agar kasusnya tidak semakin meningkat. Prinsip dasar
dalam pengelolaan obesitas adalah mengatur keseimbangan energi yang masuk
dengan yang dibutuhkan tubuh (Kemenkes, 2018b).
Selenium merupakan salah satu trace element yang memiliki kemampuan
antioksidan di dalam tubuh. Selenium berperan sebagai komponen enzim
gluthione peroxidase (GPx) dan berkaitan dengan fungsi vitamin E (Yuniastuti
dan Susanti, 2013). Di dalam tubuh, selenium berikatan dengan protein yang
disebut dengan selenoprotein. Berbagai penelitian menghubungkan selenium
dengan penyakit kanker dan gangguan metabolisme (Mirdayani dkk, 2019).
Selenium sebelumnya dianggap memiliki efek anti-diabetes dan juga
kemampuan menyerupai insulin (insulin-mimetic) dengan tetap memperhatikan
batasan asupan harian. Pada beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ada
perbedaan kadar serum selenium antara orang yang obesitas dan normal, ada
dugaan terkait dengan proses perlemakan dalam tubuh (Febiyanto dkk, 2013;

2
Siregar dan Riyadi, obesitas, selenium, defesiensi selenium

Larvie et al., 2019). Telaah literatur ini dilakukan untuk membahas peran
mikromineral selenium dalam kejadian obesitas.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode literatur review dengan sumber data
yaitu artikel yang dipublikasi pada scholar.google.com pada tahun 2019-2021.
Artikel diperoleh dengan cara mencari menggunakan keyword “selenium and
obesity”. Untuk dapat menguraikan keterkaitan antara selenium dan obesitas,
peneliti menggunakan kriteria artikel yang digunakan yaitu terbit pada tahun
2019-2021 dan membahas hubungan selenium dengan obesitas. Kriteria artikel
tidak terpilih yaitu desain case series/report, hasil telaah dan penelitian yang
dilakukan pada hewan. Total artikel yang muncul saat awal pencarian dengan
kata kunci yaitu sebanyak 18 artikel, yang memenuhi kriteria awal yaitu 13
artikel. Namun terdapat 2 artikel merupakan literatur review, dan 6 artikel
merupakan penelitian pada hewan sehingga jumlah akhir artikel yang dibahas
yaitu 5 artikel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Ringkasan Artikel Penelitian yang Membahas Selenium dan Obesitas
Nama penulis dan Desain
tahun penelitian Subjek penelitian Hasil penelitian
Santos et al., Cross- 270 individu Prevalensi asupan selenium
2021 (Santos et sectional normal dan kurang sebesar 59,2% .
al., 2021) obesitas usia Asupan selenium memiliki
dewasa awal hubungan langsung dengan
berat badan, dan memiliki
hubungan terbalik dengan total
lemak tubuh.
Wongdokmai et Cross- 655 orang berusia Status selenium dapat
al., 2021 sectional 45–60 tahun dikaitkan dengan obesitas dan
(Wongdokmai et dengan status gizi DM tipe 2 melalui efeknya pada
al., 2021) normal dan jalur pensinyalan.
obesitas,
prediabetes dan
DM tipe 2.
Soares de Oliveira Cross- 139 wanita normal Wanita obesitas mengalami
et al., 2021 sectional dan obesitas penurunan konsentrasi plasma
(Soares de berusia 20-50 dan eritrosit selenium dan
Oliveira et al., tahun terjadi peningkatan ekskresi
2021) selenium pada urin.
Cavedon et al., Randomized 37 individu Kelompok yang menerima
2020 (Cavedon controlled overweight/ 240 g/hari L-
et trial (RCT) obesitas berusia selenomethionine selama 3
al., 2020) 18-65 tahun bulan menunjukkan
perubahan yang signifikan
dalam komposisi tubuh,
termasuk penurunan massa
lemak tubuh.
Larvie et al., 2019 Cross- 59 individu normal Pada individu kelebihan berat
(Larvie et al., sectional dan obesitas badan/obesitas terjadi
2019) berusia 18-49 konsentrasi SePP1 dan
tahun aktivitas GPx lebih rendah
dibandingkan individu normal.

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar penelitian yang telah


dilakukan pada manusia untuk mengetahui hubungan asupan selenium dengan
obesitas dengan desain cross-sectional, hanya satu yang melakukan intervensi
3
Gorontalo Journal of Nutrition and Dietetic. Vol 2(1) Februari 2022

langsung dengan pemberian L-selenomethionine yang menunjukkan adanya


perubahan komposisi tubuh. Responden obesitas mengalami defisiensi selenium
baik pada asupan, konsentrasi plasma dan eritrosit, serta pada konsentrasi
SePP1 dan aktivitas GPx. Hubungan selenium dan obesitas diduga melalui jalur
sinyal dan hubungan timbal balik antara SePP di hati dan insulin di pankreas.
Selenium merupakan mineral penting (trace mineral) untuk menjaga
kesehatan dan hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil. Selenoprotein membantu
tubuh mencegah terjadinya kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas.
Radikal bebas merupakan produk sampingan alami dari metabolisme oksigen
yang dapat berperan pada berbagai penyakit kronis seperti kanker dan penyakit
kardiovaskular. Di samping itu, selenoprotein lain juga membantu berfungsinya
tiroid serta dalam menjaga imunitas tubuh (Yuniastuti, 2014).
Di alam terdapat dua bentuk selenium yaitu anorganik dan organik. Bentuk
utama selenium adalah selenium anorganik yang terdapat di dalam tanah yang
kemudian terakumulasi dan dikonversi ke dalam bentuk selenium organik oleh
tanaman, biasanya berbentuk selenate dan selenite. Selenate dapat ditemukan
pada air minum yang dikonsumsi, terkadang juga diperoleh pada ikan, brokoli,
pakchoi dan kubis. Selenite juga dapat ditemukan pada tanaman seperti kubis,
kentang, selada, bawang putih, bawah merah dan wortel (Heryadi et al., 2020).
Secara umum, selenium organik berbentuk selenomethionine dan
selenocysteine, akan tetapi juga ditemukan dalam bentuk seperti selenoneine, Se-
methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine. Makanan nabati
khususnya sereal merupakan sumber selenomethionine, sedangkan
selenocysteine terdapat pada bahan makanan hewani, khususnya pada tuna
dan jenis mackerel. Bentuk lain yaitu Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-
methylselenocysteine yang bersumber dari pangan nabati seperti ragi
berfortifikasi selenium, bawang putih, bawang merah, bawang perai, jagung,
wortel dan brokoli.

Absorpsi, Metabolisme dan Distribusi Selenium


Selenium baik dalam bentuk organik maupun anorganik tetap
dipertahankan. Lokasi absorbsi terbanyak adalah duodenum, meskipun sedikit
absorbsi terjadi di dalam jejunum dan ileum. Absorbsi selenomethionine dan
selenocysteineterjadi melalui kerangka transportasi asam amino, dan
diperkirakan lebih dari 80%. Selenomethionine jauh lebih baik diabsorpsi
daripada selenocysteine. Absorpsi selenite diperkirakan mencapai 85% seperti
yang terlihat dari beberapa hasil penelitian, sedangkan absorpsi selenate
memang jauh lebih baik daripada selenite. Absorpsi selenium meningkat
dikarenakan berbagai faktor seperti Vitamin C, A dan E, serta keberadaan
glutathione yang tereduksi dalam lumen usus. Keberadaan logam berat seperti
merkuri serta konsumsi fitat dapat menekan absorpsi selenium melalui proses
kelat dan presipitasi (Gropper and Smith, 2013).
Selenoprotein utama yang terdapat dalam plasma yaitu selenoprotein P dan
GPx ekstraselular. Keduanya diduga merupakan bentuk transportasi selenium
dalam plasna dikarenakan mengandung selenocystein dalam struktur
dasarnya. Hanya saja, bagaimana proses terjadinya sintesis dan penggabungan
selenocysteine menjadi selenoprotein merupakan suatu proses yang cukup
kompleks, karena melibatkan proses tranfer RNA secara bertahap dan
membutuhkan berbagai enzim yang terlibat dalam proses ini (Yuniastuti, 2014).
Pengaturan homeostasis selenium dalam tubuh melalui mekanisme ekskresi.
Selenium dapat diekskresi lewat urin dan paru-paru. Jika asupan selenium
meningkat dari kondisi kekurangan menjadi cukup, maka terjadi absorpsi yang
besar di lumen usus, dan buangannya diekskresikan lewat urin. Ini merupakan
jalur utama dalam pengaturan homeostasis selenium tubuh. Namun, jika terjadi

4
Siregar dan Riyadi, obesitas, selenium, defesiensi selenium

asupan yang lebih tinggi dari batas cukup, maka paru-paru berperan sebagai
homeostasis sekunder. Selain itu, ekskresi melalui feses juga dapat menjadi
mekanisme homeostasis sekunder. Bentuk buangan selenium di urin atau paru-
paru sebagian besar dalam bentuk methylselenium (Fairweather-Tait et al.,
2011; Yuniastuti, 2014).

Gambar 1. Mekanisme Absorpsi, Metabolism dan Distribusi Selenium


(Fairweather-Tait et al., 2011)
Sel jaringan yang berkaitan dengan perjalanan selenium dalam tubuh yaitu
enterosit, hati, ginjal, otak dan testis, sesuai tertera pada Gambar 1.
Interkonversi metabolik senyawa selenium yang ditunjukkan mungkin dalam
berbagai reaksi. Reaksi lain mungkin spesifik untuk jaringan tertentu. Gambar
1 merupakan rincian jalur dimana selenium diperoleh sebagai asupan
selenocysteine, selenomethionine, Se-methylselenocysteine, selenate dan selenite,
diserap dari lumen usus yang berpotensi melibatkan protein transpor seperti
yang ditunjukkan pada gambar kemudian diubah menjadi selenide (H2Se), dan
bagaimana zat antara ini dimasukkan ke dalam selenoprotein sebagai
selenocysteine. Berbagai enzim yang terlibat dalam katalisis dituliskan dalam
cetak miring. Diindikasikan bahwa rute utama ekskresi selenosugar dan
metabolit termetilasi (nafas, feses dan urin) (Fairweather-Tait et al., 2011).
Penggabungan selenium makanan yang diserap ke dalam GPx3 yang
disekresikan diusulkan sebagai jalur dimana selenium makanan dapat
memasuki sirkulasi portal, untuk mencapai hati untuk dimasukkan ke dalam
SePP. Mekanisme lain yang tidak teridentifikasi mungkin juga yaitu secara
alternatif mengangkut selenium makanan ke hati. Diindikasikan bahwa
penyerapan SePP oleh testis, otak dan ginjal melalui reseptor apoER2 dan
megalin. Terdapat juga mekanisme lain untuk pengiriman selenium yang dibawa
sebagai SePP ke jaringan tidak diketahui (Fairweather-Tait et al., 2011).

Rekomendasi Asupan, Defisiensi dan Toksisitas Selenium


Dalam rekomendasi, disampaikan bahwa kecukupan selenium pada orang
dewasa adalah 55 mcg per hari. Pada penelitian di Cina disampaikan bahwa
5
Gorontalo Journal of Nutrition and Dietetic. Vol 2(1) Februari 2022

sebesar 45 mcg. Kebutuhan dihitung berdasarkan kepada kecukupan selenium


menjadi kadar plateau di dalam plasma. Sedangkan nilai RDA untuk ibu hamil
dan menyusui sebesar 60 dan 70 mcg (Gropper and Smith, 2013). Berbagai
penelitian masih diperlukan untuk menentukan angka RDA selenium untuk
orang dewasa. Pada AKG 2019 disampaikan bahwa angka yang
direkomendasikan pada dewasa laki-laki dan perempuan yaitu 30 mcg dan 24-
25 mcg (Kemenkes RI, 2019).
Secara singkat disampaikan bahwa defisiensi selenium berkaitan dengan
peredaran estrogen yang berlebihan di dalam darah yang dapat menekan fungsi
tiroid. Selain itu, defisiensi juga dikaitkan dengan pemicu terjadinya penyakit
kardiovaskular, rendahnya produksi kelenjar tiroid dan melemahnya sistem
imunitas tubuh. Dikarenakan kebutuhan yang sedikit sehingga gejala akibat
kekurangan selenium adalah kondisi yang jarang terjadi. Namun, berkurangnya
antioksidan dalam jantung, hati dan otot dapat mengakibatkan kematian
jaringan dan kegagalan organ. Beberapa penelitian pada hewan, ditemukan
bahwa ada peran defisiensi selenium dalam menurunkan fungsi reproduksi
(Yuniastuti, 2014). Jika mengacu pada Gambar 1, kaitannya dapat dilihat
dengan berkurangnya ambilan SePP pada testis yang dapat mempengaruhi
proses spermatogenesis dan kesuburan pria, kemungkinan ini berkaitan juga
dengan peran vitalnya dalam modulasi mekanisme pertahanan antioksidan dan
jalur biologis penting lainnya (Fairweather-Tait et al., 2011; Qazi et al., 2019).
Keadaan toksisitas selenium berkaitan dengan suplementasi. Suplementasi
selenium dengan dosis tinggi sekitar 1 mg per hari dapat menyebabkan muntah,
diare, rambut dan kuku rontok serta luka pada kulit dan sistem syaraf
(Yuniastuti, 2014). Gangguan lain dilaporkan pada metabolisme sulfur dan
menghambat sintesis protein. Dosis UL yang disampaikan dalam pedoman yaitu
400 mcg per hari (Gropper and Smith, 2013).

Pengaruh Asupan Selenium terhadap Pencegahan Obesitas


Hasil telaah pada kelima artikel bahwa ditemukan adanya penurunan
konsentrasi plasma dan eritrosit selenium maupun konsentrasi SePP1 dan
aktivitas GPx lebih rendah pada individu kelebihan berat badan/obesitas
dibandingkan individu dengan berat badan normal. Pada penelitian lain juga
dilaporkan terkait dengan obesitas sentral. Obesitas sentral menyebabkan
inflamasi kronis di tubuh yang ditandai dengan peningkatan sitokin inflamasi
serta sangat berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin yang berkontribusi
pada abnormalitas metabolit dan penyakit kardiovaskular, termasuk juga stress
oksidatif. Adanya abnormalitas metabolit akibat disregulasi sitokin memicu
aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti GPx yang membutuhkan selenium.
Disregulasi yang terjadi secara kronis menyebabkan level selenium di tubuh
akan semakin turun (Hidayat dkk, 2018).
Mekanisme lain menyebutkan bahwa akumulasi lemak di jaringan sentral
dapat mengganggu konsentrasi dari trace essensial selenium. Sitokin inflamasi
disebutkan dapat menghambat ekspresi SePP yang merupakan pusat
homeostasis selenium. SePP mengatur retensi selenium di tubuh dan
mendistribusikan selenium dari hati ke berbagai jaringan. Adanya deplesi
selektif dari ekspresi SePP di sel hati menyebabkan gangguan distribusi
selenium ke jaringan tubuh dan menyebabkan defisiensi selenium (Mao and
Teng, 2013).
Kaitannya dengan keseimbangan glukosa menurut Mao and Teng (2013)
menyampaikan bahwa ada regulasi timbal balik antara kerja SePP di hati
dengan insulin di pankreas pada kondisi sensitivitas insulin normal. Peredaran
konsentrasi glukosa yang tinggi di darah merangsang ekspresi insulin di
pankreas dan SePP di hati. Peningkatan glukosa darah menyebabkan

6
Siregar dan Riyadi, obesitas, selenium, defesiensi selenium

peningkatan SePP yang kemudian diangkut ke pankreas dan secara kolateral


meningkatkan produksi insulin, maka insulin yang cukup dapat memberikan
umpan balik untuk menghambat produksi SePP hati.

Gambar 2. Regulasi Timbal Balik antara SePP di Hati dan Insulin Pankreas
(Mao and Teng, 2013)
Pada penelitian Fan et al. (2017) ditemukan bahwa ada korelasi positif antara
kadar serum selenium dengan kadar kolesterol. Walaupun belum disampaikan
bagaimana mekanisme ini terjadi. Mekanisme yang disampaikan sebagian besar
pada hewan percobaan menunjukkan bahwa SePP bertindak menghambat
sinyal insulin dengan menonaktifkan adenosine monophosphate-activated protein
kinase (pengatur yang berperan pada produksi sel beta pankreas). Pada murine
diabetes yang diberikan selenate secara oral ditemukan adanya peningkatan
kadar glukosa plasma dan penurunan hasil test toleransi glukosa. Seiring
dengan proses ini, selenate juga membalikkan ekspresi abnormal di hati pada
enzim glikogenik dan glukoneogenik. Adanya sintesis asam lemak yang
merupakan aktivasi dari glucose 6-phosphate dehydrogenase yang kemudian
merangsang terjadinya lipogenesis di hati. Pada tikus diabetes yang diobati
dengan selenate menunjukkan adanya peningkatan fungsi jantung, namun juga
meningkatkan kadar lipid plasma, trigliserida, kolesterol dan asam lemak bebas
(Ló pez et al., 2018).
Pada knockout mice dengan modifikasi selenocysteine lyase mengalami
gangguan metabolik seperti steatosis hati, intoleransi glukosa, hyperinsulinemia
dan hiperleptinemia jika diberikan asupan selenium yang adekuat. Namun, jika
diberikan asupan yang rendah, tikus mengalami lipogenesis di hati dan
melemahnya sinyal insulin. Indikasi ini kemudian menunjukkan bahwa
metabolisme selenium berperan dalam patogenesis obesitas (Ló pez et al., 2018).
Temuan lain menunjukkan bahwa mekanisme ini dapat berbeda pada laki-laki
dan perempuan (Lu et al., 2019).
Pada akhirnya diperoleh pengetahuan bahwa peran selenium pada kesehatan
memiliki efek negatif pada saat asupan rendah dan tinggi dan ini disebut dengan
U-Shape, sehingga harus berhati-hati dalam mengonsumsi dalam bentuk
suplemen. Rekomendasi menunjukkan bahwa kadar selenium plasma optimal
adalah sekitar 120 mg/L (Brigelius-Flohé , 2018). Jika lebih rendah dapat
meningkatkan risiko diabetes melalui mekanisme melemahnya sinyal insulin.
Jika kadar selenium plasma sudah optimal tidak diperbolehkan suplementasi,
karena efek toksisitas dapat berpengaruh pada metabolisme lipid (Zhao et al.,
2016).
Masih jarangnya penelitian eksperimental terkait selenium pada manusia
menyebabkan keterbatasan dalam menjelaskan mekanisme dalam tubuh. Ke
depan, diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk memahami
mekanisme hubungan asupan selenium dengan kejadian obesitas.

7
Gorontalo Journal of Nutrition and Dietetic. Vol 2(1) Februari 2022

PENUTUP
Hubungan asupan selenium dengan kejadian obesitas dapat dilihat melalui
mekanisme timbal balik respon SePP dengan insulin saat terjadi peningkatan
glukosa darah. Dilaporkan bahwa efek selenium terhadap kejadian obesitas
akan terlihat pada kasus defisiensi yang dapat beresiko diabetes dan juga efek
toksisitas yang dapat meningkatkan lipogenesis, walaupun masih perlu
penelusuran lanjut terkait efek ini pada daerah yang rentan mengalami
defisiensi selenium untuk mengetahui rekomendasi suplementasi selenium.

DAFTAR PUSTAKA
Brigelius-Flohé R. 2018. Selenium in human health and disease: An overview.
Molecular and Integrative Toxicology. 3–26. doi: 10.1007/978-3-319-
95390-8_1.
Cavedon E et al. 2020. Selenium Supplementation, Body Mass Composition, and
Leptin Levels in Patients with Obesity on a Balanced Mildly Hypocaloric
Diet: A Pilot Study. International Journal of Endocrinology. 2020. doi:
10.1155/2020/4802739.
Fairweather-Tait SJ et al. 2011. Selenium in Human Health and Disease.
Antioxidants & Redox Signaling. 14(7): 1337–1383. doi:
10.1089/ars.2010.3275.
Fan Y, Zhang C, Bu J. 2017. Relationship between Selected Serum Metallic
Elements and Obesity in Children and Adolescent in the U.S.. Nutrients.
9(2): 104. doi: 10.3390/nu9020104.
Febiyanto N dkk. 2013. Peran Selenium pada Diabetes Tipe-2: Sebuah
Kontradiksi.
Gropper SS and Smith JL. 2013. AdvAnced nutrition And HumAn metAbolism
Sixth Edition, Advanced Nutrion in Human.
Heryadi AL et al. 2020. Selenium species in vegetables: benefits and toxicity for
the body. Jurnal Ilmiah Farmasi. 16(2): 155–166.
Hidayat Y, Sulchan M, Panunggal B. 2018. Kadar serum selenium pada remaja
akhir usia 17-19 tahun berdasarfkan status obesitas dan stunting.
Journal of Nutirion College. 7(4): 195–202.
Kementerian Kesehatan RI. 2018a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. 2018b. Epidemi Obesitas. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Larvie DY et al. 2019. Relationship between selenium and hematological markers
in young adults with normal weight or overweight/obesity. Antioxidants.
8(10): 1–10.
Ló pez LP, Rojas SL, Arredondo OM. 2018. Benefits of selenium, magnesium, and
zinc in obesity and metabolic syndrome. Obesity Oxidative Stress and
Dietary Antioxidants. 197–211. doi: 10.1016/B978-0-12-812504-5.00010-
6.
Lu CW et al. 2019. Gender differences with dose-response relationship between
serum selenium levels and metabolic syndrome-a case-control study.
Nutrients, 11(2): 447–459. doi: 10.3390/nu11020477.
Mao J and Teng W. 2013. The relationship between selenoprotein P and glucose
metabolism in experimental studies. Nutrients. 5(6): 1937–1948. doi:
10.3390/nu5061937.
Mirdayani E dkk. 2019. Selenium sebagai Suplemen Terapi Kanker: Sebuah
Review. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy. 8(4).
Qazi IH et al. 2019. Role of selenium and selenoproteins in male reproductive
function: A review of past and present evidences. Antioxidants. 8(8): doi:

8
Siregar dan Riyadi, obesitas, selenium, defesiensi selenium

10.3390/antiox8080268.
Santos A, de C et al. 2021. Selenium Intake and Glycemic Control in Young
Adults With Normal-Weight Obesity Syndrome. Frontiers. 8(696325): 1–9.
Soares de Oliveira AR et al. 2021. Selenium status and oxidative stress in obese:
Influence of adiposity. European Journal of Clinical Investigation. 51(9): 1–
6.
Wongdokmai R et al. 2021. The Involvement of Selenium in Type 2 Diabetes
Development Related to Obesity and Low Grade Inflammation. Diabetes,
Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy. 14: 1669–1680.
Yuniastuti A. 2014. Nutrisi Mikromineral dan Kesehatan. Unnes Press.
Semarang.
Yuniastuti A dan Susanti R. 2013. Analisis sekuen gen glutation peroksidase
(GPx1) sebagai deteksi stres oksidatif akibat infeksi Mycobacterium
Tuberculosis. Sainteknol. 11(2): 103–112.
Zhao Z et al. 2016. High dietary selenium intake alters lipid metabolism and
protein synthesis in liver and muscle of pigs. Journal of Nutrition. 146(9):
1625–1633. doi: 10.3945/jn.116.229955.

Anda mungkin juga menyukai