Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
BELLA PUSPITA SARI
EKA KHARISMA
FATMAWATI YUSTINI
Dosen Pengampu :
Assalamualaikum,Wr.Wb
Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan kesehatan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya
mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini kami
susun agar pembaca dapat mengetahui lebih detail tentang “ Akhlak terhadap Diri
Sendiri".
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah dan
teman-teman satu kelompok yang telah membantu mengumpulkan data-data untuk
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu, kami mohon kritik dan sarannya dari teman-teman maupun doen pengampu
mata kuliah demi mendapatkan hasil makalah yang bisa bermanfaat dan dapat
memberoikan wawasan yang lebih luas bagi semuanya.
Wassalamualaikum, Wr.Wb
Hormat kami
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
PEMBAHASAN
a. Tasammuh
Istilah “tasamuh” ini dapat juga diartikan sebagai “toleransi”, yang dalam
Bahasa Indonesia memiliki definisi berupa ‘bersikap menghargai, membiarkan,
memperbolehkan adanya pendapat, pandangan, kepercayaan, dan kebiasaan
(milik orang lain) yang berbeda dengan dirinya sendiri’. Apabila melihat dalam
Al-Quran, memang kata “toleransi” tidak dapat ditemukan, tetapi jika kata “al-
samhah” dapat ditemukan dalam sebuah hadist.
Dalam pengertian secara umum, tasamuh ini dapat diartikan sebagai
sikap atau akhlak terpuji pada pergaulan, di mana terdapat rasa saling
menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan oleh
ajaran Islam”. Ada beberapa orang yang mengartikan tasamuh atau toleransi ini
sebagai sikap menerima dan damai terhadap keadaan yang dihadapinya, salah
satunya adalah toleransi agama. Nah dari sini, tasamuh juga dapat dimaknai
sebagai “toleransi beragama”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasamuh atau toleransi yang sebenarnya
bukanlah dengan mencampur-adukkan keimanan dan ritual agama Islam dengan
agama non Islam, melainkan menghargai akan eksistensi agama dan ritual dari
agama orang lain. Yap, tasamuh atau toleransi ini juga dapat condong pada
konteks sosial, budaya, dan agama, dengan tidak melakukan aksi diskriminasi
terhadap umat minoritas dalam kehidupan bermasyarakat.
Adanya akhlak tasamuh ini dapat memberikan kemudahan hati terutama
ketika menjalani hidup yang berdampingan dengan individu lain, dengan
mengenyampingkan perbedaan yang ada ketika menjalin hubungan timbal balik
demi mencapai kedamaian, keadilan, dan kebajikan. Tidak hanya itu saja,
keberadaan akhlak tasamuh ini justru dapat memberikan kesempatan dan tempat
bagi setiap orang tanpa memandang status apapun dari mereka. Perbedaan
agama, ras, suku, etnis, bukanlah halangan untuk hidup bersama dalam
masyarakat multikultural ini. Dengan kata lain, dalam menjalankan akhlak
tasamuh ini harus memiliki hati yang besar untuk menerima kebaikan dan
kebenaran dari orang lain.
Akhlak tasammuh dalam agama Islam ini dapat dijalani secara praktis
dan tidak berbelit-belit kok. Islam tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk
mencela Tuhan dari agama lain, sebab memang pada dasarnya manusia di muka
bumi ini memiliki keberagaman dari segi agama, warna kulit, suku, adat istiadat,
dan lain-lain. Namun meskipun begitu, kita tentu saja tidak diperbolehkan secara
bebas mengikuti ibadah agama lain tanpa aturan atau bahkan mencampurinya.
Di dunia Barat, keberadaan “toleransi” malah menunjukkan adanya
sebuah otoritas berkuasa, yang mana enggan bersikap sabar atau membiarkan
orang lain untuk memiliki perbedaan. Namun dalam agama Islam, “tasamuh”
justru dapat menjembatani kata toleransi itu yang mana menunjukkan adanya
kemurahan hati dan kemudahan dari kedua belah pihak atas dasar saling
pengertian.
Nah, untuk mengembangkan sikap tasamuh secara umum, dapat
dilakukan dengan mengelola kemampuan diri kita dalam menyikapi adanya
perbedaan yang mungkin terjadi dalam lingkungan keluarga, teman sekolah, atau
rekan kerja sesama muslim. Perbedaan itu tidak hanya sekadar pada agama, ras,
dan etnis saja, tetapi juga pada pola pikir dan pendapat. Sikap toleransi atau
adanya akhlak tasamuh ini dapat juga dimulai dengan cara membangun
kebersamaan dan keharmonisan sehingga menyadari adanya perbedaan antara
diri kita dengan orang lain.
Berkaitan dengan tasamuh antar umat beragama, hendaknya dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama individu penganut agama lain,
disertai memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan prinsip-
prinsip keagamaan atau beribadah masing-masing, tanpa adanya paksaan atau
tekanan, baik untuk melaksanakan ibadah maupun tidak. Lagipula, Allah SWT
juga pernah memberikan ajaran bagi umat-Nya bahwa kita harus menjadikan
semua orang sebagai kawan.
Toleransi atau Tasamuh Dalam Hal Beragama
Di negara kita yang memiliki beragam pemeluk agama, sikap toleransi
beragama tentu saja wajib untuk diajarkan dan dilakukan. Apalagi dalam
Pancasila yang mana sebagai dasar negara kita ini, pada sila pertama yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas mengindikasikan bahwa negara ini
adalah negara Ketuhanan. Maksudnya adalah negara Indonesia benar-benar
menghendaki setiap warga negaranya untuk menganut satu agama atau
kepercayaan. Berhubung di Indonesia ini ada 6 agama yang diakui yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka setiap warga Indonesia
“diwajibkan” untuk menganut salah satu dari keenam agama tersebut.
Tidak hanya itu saja, pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2
berbunyi “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya”. Dalam perundang-
undangan tersebut jelas bahwa negara telah mengatur bahwa setiap warganya
untuk memeluk agama dan menjamin perlindungan ketika melaksanakan prosesi
peribadatan.
Dalam menerapkan akhlak tasamuh ini memiliki beberapa aspek, yakni sebagai
berikut:
Dari adanya kasih sayang atau rasa untuk saling mengasihi sekaligus
menyayangi terhadap orang lain, tentu saja akan menjadikan seseorang bersikap empati.
Dari sikap empati tersebut, nantinya seseorang tersebut mampu merespon segala
peristiwa dan tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Mulai
dari saling tolong menolong hingga menerima adanya kelebihan maupun kekurangan
yang dimiliki oleh orang lain.
2. Menjaga Kedamaian
Cara lain untuk menjaga kedamaian ini adalah dengan menciptakan keamanan
dan kenyamanan di lingkungan bersama, saling memaafkan, tidak ada dendam dan
prasangka jelek, tidak memaksakan kehendak, tidak menyakiti baik dalam lisan maupun
perbuatan, hingga adanya rasa saling empati terutama ketika tengah menyelesaikan
masalah.
3. Berbuat Kebajikan
Maksudnya adalah dengan berbuat baik melalui perilaku yang layak terhadap
sesama manusia meskipun mereka memiliki perbedaan agama dengan kita. Perilaku
yang layak tersebut dapat berupa adanya interaksi secara baik, saling memaafkan, dan
saling memuliakan antar sesama.
4. Berlaku Adil
Kita tentu saja harus memperlakukan orang lain secara baik dan adil. Adil disini
maksudnya adalah menyeimbangkan dan menyesuaikan hak yang diterima oleh seluruh
orang secara proporsional. Dengan kata lain, kita tidak boleh membeda-bedakan dan
berlaku diskriminasi terhadap orang lain, terutama kepada umat minoritas.
Macam-Macam Tasamuh
Sama halnya dengan toleransi, akhlak tasamuh ini juga memiliki dua macam,
yakni akhlak tasamuh terhadap muslim dan akhlak tasamuh terhadap non muslim. Nah,
berikut uraiannya.
Kebaikan hati dan tasamuh terhadap sesama umat muslim nantinya dapat
membias kembali kepada diri kita. Kemudian, pada akhirnya diri kita juga akan
memperoleh banyak kemudahan dan peluang hidup sebab adanya relasi dengan manusia
lain, selain itu semua kebaikan yang telah kita lakukan juga akan dibalas oleh Allah
SWT di akhirat kelak.
Dalam kehidupan sehari-hari ini, penerapan akhlak tasamuh ini ternyata mampu
memberikan manfaat bagi pelakunya, yakni berupa:
Memperbolehkan teman atau individu lain beribadah sesuai dengan agama mereka.
Tidak memaksakan orang lain untuk berpindah keyakinan.
Tidak melakukan diskriminasi terutama pada agama minoritas.
Tidak mengganggu proses ibadah orang lain.
Tidak mencela dan merendahkan agama orang lain.
Tidak menjadikan agama orang lain sebagai bahan gurauan.
Tidak menjadi provokator ketika agama lain tengah merayakan hari besarnya.
Berteman dengan semua orang, tanpa memandang apa latar belakang agama
mereka.
Menghormati adanya perayaan hari besar keagamaan dari umat lain.
Tetap menjaga silaturahmi dengan tetangga, teman, maupun rekan kerja yang
berbeda agama.
Tetap menolong orang lain yang tengah tertimpa musibah walaupun latar belakang
agama mereka berbeda dengan kita.
Tidak merusak tempat ibadah umat beragama lain.
Tidak mengganggu ketenangan ibadah yang dilakukan oleh umat beragama lain.
Tidak perlu menyombongkan agama sendiri di depan umat beragama lain, hargai
adanya perbedaan yang ada.
b. Husnudzon
Husnudzon atau prasangka baik berasal dari kata Arab yaitu husnu yang
artinya baik, dan zan yang artinya prasangka. Jadi prasangka baik atau positive
thinking dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah husnudzon. Secara istilah,
husnudzon adalah sikap orang yang selalu berpikir positif terhadap apa yang telah
diperbuat oleh orang lain. Lawan dari sifat ini adalah buruk sangka (suudzon), yaitu
menyangka orang lain melakukan hal-hal buruk tanpa adanya bukti yang benar.
Prasangka baik adalah sifat sangat penting dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Sebaliknya, prasangka buruk adalah sifat yang harus dijauhi dan dihindari. Sikap
husnudzon akan melahirkan keyakinan bahwa segala kenikmatan dan kebaikan
yang diterima manusia berasal dari Allah, sedangkan keburukan yang menimpa
manusia disebabkan dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorang pun bisa lari dari
takdir yang telah ditetapkan Allah. Tidak ada yang terjadi di alam semesta ini
melainkan apa yang Dia kehendaki dan Allah SWT tidak meridhai kekufuran untuk
hamba-Nya, Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia kemampuan
untuk memilih dan berikhtiar. Segala perbuatannya terjadi atas pilihan dan
kemampuannya yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.
Seorang muslim wajib bersopan santun terhadap saudara, karib-kerabatnya dan
kepada orang-orang yang ada hubungan silaturahmi, seperti bersopan santun
terhadap kedua orang tuanya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya, jadi
hilangkanlah perasaan suudzon.
Selain itu, membiasakan perilaku husnudzon akan dalam kehidupan sehari-hari juga
dapat menimbulkan sifat-sifat yang baik dalam diri, di antaranya:
1. Memberikan semangat kepada orang lain yang hendak melakukan kebaikan;
2. Bersabar dalam menghadapi cobaan dari Allah SWT;
3. Memeriksa kebenaran berita yang didengar;
4. Memercayai kemampuan yang dimiliki;
5. Selalu bersikap ramah kepada teman;
6. Senantiasa bersyukur kepada Allah SWT.
c. Suudzon
Salah satu akhlak tercela dalam Islam adalah berprasangka buruk atau perilaku
suuzan. Ia tergolong penyakit hati yang dapat merusak keimanan seorang muslim.
Lantas, apa pengertian suuzan, contoh perilaku, dan macam-macamnya? Islam
mengimbau umatnya untuk menjauhi akhlak-akhlak tercela, termasuk suuzan.
Bagaimanapun juga, kesempurnaan iman dan fondasi keislaman yang kuat
ditandai dengan kemuliaan akhlak. Hal ini tergambar dalam sabda Nabi
Muhammad SAW: “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah
yang paling baik akhlaknya,” (H.R. Tirmidzi).
Selain itu, Allah SWT juga berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 12 bahwa
berburuk sangka atau suuzan adalah akhlak tercela ke sesama manusia. Bunyi ayat
itu adalah sebagai berikut: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka [kecurigaan atau suuzan], karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya ... " (QS. Al-
Hujurat [49]: 12).
Secara definitif, suuzan adalah anggapan, pendapat, atau sikap buruk terhadap
keadaan seseorang. Anggapan negatif itu bisa jadi akurat atau sebaliknya,
sebagaimana ditulis Ani Jahrotunnisa dalam Makna Prasangka Menurut Buya
Hamka (2020).
d. Tawadhu’
Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh‟a yang berarti merendahkan,
serta juga berasal dari kata “ittadha‟a” dengan arti merendahkan diri. Disamping
itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara
istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada sesuatu yang
diagungkan. Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa
mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya.
Pengertian Tawadhu Secara Terminologi berarti rendah hati, lawan dari sombong
atau takabur. Tawadhu menurut Al-Ghozali adalah mengeluarkan kedudukanmu
atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Tawadhu menurut
Ahmad Athoilah adalah sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan
terbukanya sifat-sifat Allah. Tawadhu yaitu perilaku manusia yang mempunyai
watak rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh, atau merendahkan diri agar tidak
kelihatan sombong, angkuh, congkak, besar kepala atau kata-kata lain yang sepadan
dengan tawadhu.
Tawadhu artinya rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong. Yaitu
perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka
memuliakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan orang
lain, perilaku yang selalu suka menghargai pendapat orang lain. Tawadhu artinya
rendah hati, lawan dari kata sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak
memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong
menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri,
karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktiknya
orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya dihadapan orang lain, tapi
sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri. Sikap tawadhu terhadap
sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan ke-mahakuasa-an
Allah SWT atas segala hamba-Nya.
Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.
Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat,
karunia dan nikmat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup,
bahkan tidak akan pernah ada diatas permukaan bumi ini. Orang yang tawadhu
menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau
tampan, ilrnu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan
lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah SWT
berfirman dalam Q.S An-Nahl : 53, yang artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada
pada kamu, maka adalah ia dari Allah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh
kesusahan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
Dari beberapa definisi diatas, sikap tawadhu itu akan membawa jiwa manusia
kepada ajaran Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Membimbing dan membawa manusia untuk menjadi seorang yang ikhlas,
menerima apa adanya. Membawa manusia ke suatu tempat dimana berkumpulnya
orang-orang yang ikhlas menerima apa adanya. Sehingga tidak serakah, tamak, dan
untuk selalu berperilaku berbakti kepada Allah, taat kepada Rasul Allah, dan cinta
kepada makhluk Allah. Apabila perilaku manusia sudah seperti ini maka ia disebut
bersikap tawadhu.
Di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan kata istilah yang menunjuk langsung pada kata
tawadhu. Akan tetapi, yang disebutkan adalah beberapa kata yang memiliki
kesamaan arti dan maksud sama dengan kata tawadhu itu sendiri, seperti kata
rendah diri, rendahkanlah, tidak sombong, lemah lembut, dan seterusnya. Berikut
merupakan firman Allah yang terdapat di dalam al-Qur‟an tentang perintah untuk
tawadhu:
Faktor yang membentuk Sikap Tawadhu Tawadhu adalah satu bentuk budi pekerti
yang baik, hal ini bisa diperoleh bila ada keseimbangan antara kekuatan akal dan
nafsu. Faktor-faktor pembentuknya adalah:
a. Bersyukur
b. Menjauhi riya’
c. Sabar
Ciri-ciri Tawadhu Sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkan
dalam beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut :
a. Salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoa kepada Allah.
Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apabila ada rasa takut (khauf) dan
penuh harap (raja‟) kepada Allah SWT. Jika seseorang berdoa dengan rasa takut
kepada Allah SWT, maka ia pasti tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika
dalam berdoa pasti akan dilakukannya dengan cara yang benar. Demikian pula,
seseorang yang berdoa dengan penuh harap (raja‟) maka ia akan selalu optimis,
penuh keyakinan dan istiqamah dalam memohon. Ia yakin bahwa tidak ada yang
bisa memenuhi semua keinginannya kecuali dengan pertolongan Allah, sehingga
perasaan ini tidak akan menjadikannya sombong dan angkuh.
b. Tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orangtua dan orang lain.
Kepada orangtua, kita bersikap penuh hormat dan patuh terhadap perintah-
perintahnya. Jika mereka memerintahkan kepada hal-hal yang positif, kita berusaha
memenuhinya sekuat tenaga. Sebaliknya, jika orangtua memerintahkan kita kepada
hal yang buruk, maka kita berusaha menolaknya dengan cara ramah. Kepada orang
lain sikap tawadhu juga bisa ditunjukan dengan memperlakukan mereka secara
manusiawi, tidak menyakiti mereka, berusaha membantu dan menolong mereka,
serta menyayangi mereka sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu,
memuliakan orang lain atau menganggap mulia orang lain dalam batas-batas yang
wajar merupakan bagian dari sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan memuliakan
orang lain itulah, kita bisa menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.
c. Seseorang dapat belajar sikap tawadhu salah satunya dengan berusaha tidak
membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membanggakan diri
sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan lawan
daripada tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap
membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk
menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adab terhadap diri sendiri terdiri dari : tasamuh, husnudzhan, suudzan, dan
tawadhu. Tasamuh ini dapat juga diartikan sebagai “toleransi”, yang dalam Bahasa
Indonesia memiliki definisi berupa ‘bersikap menghargai, membiarkan,
memperbolehkan adanya pendapat, pandangan, kepercayaan, dan kebiasaan (milik
orang lain) yang berbeda dengan dirinya sendiri’. Husnudzon atau prasangka baik
berasal dari kata Arab yaitu husnu yang artinya baik, dan zan yang artinya
prasangka. Jadi prasangka baik atau positive thinking dalam terminologi Islam
dikenal dengan istilah husnudzon. Secara istilah, husnudzon adalah sikap orang
yang selalu berpikir positif terhadap apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
Lawan dari sifat ini adalah buruk sangka (suudzon), yaitu menyangka orang lain
melakukan hal-hal buruk tanpa adanya bukti yang benar. Secara definitif, suuzan
adalah anggapan, pendapat, atau sikap buruk terhadap keadaan seseorang.
Anggapan negatif itu bisa jadi akurat atau sebaliknya, sebagaimana ditulis Ani
Jahrotunnisa dalam Makna Prasangka Menurut Buya Hamka (2020). Sedangakan
tawadhu secara etimologi berasal dari kata wadh‟a yang berarti merendahkan, serta
juga berasal dari kata “ittadha‟a” dengan arti merendahkan diri. Disamping itu, kata
tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah,
tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan.
B. Saran
Demikian makalah yang kami sajikan, semoga bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan bagi kita semua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna dikarenan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami.
Maka dari itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan masukan serta kritik
dari berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.gramedia.com/literasi/tasamuh-adalah/