Anda di halaman 1dari 19

MODERASI AGAMA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Wjib Umum PAI

Dosen Pengampu : Siti Fatimah, S. Pd, M. Pd

Disusun oleh :

Kelompok I

1. Natasya Putri Damayanti NIM. 2010711002


2. Putri Sulistiyani NIM. 2010711004
3. Clarissa Giana Putri NIM. 2010711005
4. Mega Fajar Brillianty NIM. 2010711011

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan selalu kepada Allah SWT atas rahmat,
taufiq, dan hidayah yang diberikan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul Moderasi Beragama untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Wajib Umum
Pendidikan Agama Islam.

Ada banyak yang sudah berjasa dalam membantu kami di dalam menyelesaikan
makalah ini, seperti pengambilan data, pemilihan materi, dan lain-lain. Maka dari itu,
kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
memberikan wawasan dan bimbingan kepada kami sebelum maupun ketika
menyusun makalah ini.

Kami juga sadar bahwa makalah yang kami buat masih belum bisa dikatakan
sempurna. Maka dari itu, kami meminta dukungan dan masukan dari para pembaca,
agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi di dalam menulis sebuah makalah.

Jakarta, 28 Februari 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia memiliki penduduk yang beragama Islam terbayak di dunia.


Hal tersebut menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Moderasi adalah
ajaran inti agama Islam.

Oleh karena itu pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami secara
dalam. Moderasi beragam ini dapat menjawab berbagai masalah dalam keagamaan
dan peradaban global.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan moderasi beragama?
2. Bagaimana ketetapan dalam memahami ruang lingkup moderasi
beragama?
3. Bagaimana ketepatan dalam memahami moderasi beragama berdasarkan
perspektif Islam?
4. Bagaimana ketetapan dalam memahami indikator dan isu-isu radikalisme?
5. Bagaimana ketetapan dalam memahami Islam rahmatan lil’alamin?
6. Bagaimna ketetapan dalam memahami dan mengimplementasikan
moderasi beragama untuk kelangsungan hidup manusia sebagai wujud
emosional dan spiritual?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian moderasi beragama.
2. Untuk memahami ruang lingkup moderasi beragama.
3. Untuk memahami moderasi beragama berdasarkan perspektif Islam.
4. Untuk memahami indikator dan isu-isu radikalisme.
5. Untuk memahami Islam rahmatan lil’alamin.
6. Untuk memahami dan mengimplementasikan moderasi beragama untuk
kelangsungan hidup manusia sebagai wujud emosional dan spititual.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moderasi Beragama


Menurut KBBI kata moderasi artinya pengurangan kekerasan dan
penghindaran keekstreman. Kata moderasi berasal dari berasal dari Bahasa
Latin yaitu moderâti yang artinya ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak
kekurangan). Kata tersebut juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat
kelebihan dan kekurangan). Secara umum, moderat berarti mengedepankan
keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak baik ketika
memperlakukan orang lain sebagai individu maupun ketika berhadapan
dengan institusi negara. Dalam Bahasa Arab, moderasi disebut dengan kata
wasath atau wasathiyah yang memiliki padanan makna dengan kata
tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang
yang berperilaku wasathiyah disebut wasith.
Moderasi adalah jalan tengah . dalam sejumlah forum diskusi kerap
terdapat moderator orang yang menengahi proses diskusi, tidak berpihak
kepada siapapun atau pendapat mana pun, bersikap adil kepada semua pihak
yang terlibat dalam diskusi. Moderasi juga berarti sesuatu yang terbaik.
Sesuatu yang ada di tengah biasanya berada di antara dua hal yang buruk.
Contohnya adalah keberanian, sifat berani dianggap baik karena ia berada di
antara sifat ceroboh dan takut. Sifat dermawan juga baik karena ia berada di
antara sifat boros dan sifat kikir.
Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai dengan
pengertian moderasi diatas. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak
ekstrem dan tidak berlebih–lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang
yang mempraktekannya disebut moderat.
Lawan kata dari moderasi adalah berlebihan atau tatharruf (bahasa Arab)
yang artinya extreme, radical, dan excessive (Bahasa Inggris). Secara analogi,
moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat
atau sumbu.
Beragama berasal dari kata agama yang hanya diberi awalan “ber”
dengan memiliki arti segala sesuatu yang berhubungan dengan agama. Kata
beragama menurut KBBI artinya menganut (memeluk) agama. Beragama
merupakan bentuk atau ekspresi jiwa dalam berbuat, berbicara sesuaidengan
ajaran agama yang dianutnya.
Berdasarkan dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
moderasi beragama adalah seseorang yang memeluk agama dengan tidak
berlebihan. Moderasi beragama adalah cara beragama jalan tengah sesuai
pengertian moderasi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem
dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang
mempraktekannya disebut moderat.
B. Ruang Lingkup Moderasi Beragama
Sekolah sangat tepat menjadi laboratorium moderasi beragama. Kita
sangat mafhum bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
ragam suku dan agama. Indonesia memiliki kekhasan yang unik, tetapi penuh
dengan tantangan. Mungkinkah sekolah sebagai institusi pendidikan
menumbuhkan pola pikir moderasi beragama? Kita jelas sudah sangat
mafhum dengan kondisi bahwa pandangan eksklusif dan tindakan
ekstremisme kekerasan dalam jubah agama akan merusak sendi serta tenun
kebangsaan kita yang majemuk. Di sinilah pentingnya 'batu pertama' moderasi
beragama dibangun atas dasar filosofi universal dalam hubungan sosial
kemanusiaan. Sekolah menjadi sarana tepat guna menyebarkan sensitivitas
peserta didik pada ragam perbedaan. Membuka ruang dialog, guru
memberikan pemahaman bahwa agama membawa risalah cinta bukan benci
dan sistem di sekolah leluasa pada perbedaan tersebut. Hal ini senada dengan
apa yang selalu diungkapkan Menteri Lukman Hakim Saifuddin bahwa
moderasi beragama ialah wujud nyata dalam implementasi Resolusi Dewan
HAM 16/18 (Kemenag: 2018) Tidak hanya itu, rekomendasi yang dikeluarkan
Risalah Jakarta salah satunya berbunyi pemerintah harus memimpin gerakan
penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus utama, dengan
mempromosikan pentingnya kehidupan beragama secara moderat sebagai
panduan spiritual dan moral (Kemenag: 2018). Wajah buram Kita juga tidak
bisa menutup mata bahwa sekolah bagaikan ruang yang tak bertuan.
Maksudnya, sekolah menjadi tempat bertarung ideologi transnasional yang
kerap menafikan kebangsaan. Menyusup dalam benak pikiran peserta didik di
dalam ruang kelas maupun di luar ruang kelas sehingga minimnya
pemahaman kebangsaan dan menguatnya paham keagamaan yang formalis.
Memahami agama dengan setengah-tengah dan mementingkan tampak luar
dengan formalitas agama. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan
sikap intoleran kita kian menguat, baik secara internal umat beragama maupun
secara eksternal. Kasus persekusi, pembakaran rumah ibadah, dan semua
bentuk tindakan kekerasan kerap menjadi hal lumrah yang dikedepankan,
tawuran antarpelajar menjadi wajah buram bagi institusi pendidikan kita.
Misalnya, riset Maarif Institute (2011), Setara Institute (2015), dan Wahid
Foundation (2016) menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal telah
secara masif melakukan penetrasi pandangan radikal di kalangan generasi
muda melalui institusi pendidikan. Kemudian, diperkuat beberapa survei yang
menunjukkan bahwa siswa maupun mahasiswa kecenderungan sikap
intoleransi dan radikalisme cukup mengkhawatirkan, guru pun demikian
(PPIM: 2017-2018). Gejala intoleransi dan radikalisme berbasis agama akan
cenderung lebih besar daripada persoalan etnisitas. Kemudian intoleransi dan
radikalisme juga terjadi dalam media sosial (LIPI: 2018). Dalam buku yang
diterbitkan Maarif Institute, Menjaga Benteng Kebhinekaan di Sekolah,
melihat ada tiga pintu utama bagaimana pemahaman radikal dan intoleransi
melakukan penetrasi di lingkungan sekolah; pertama, kegiatan
ekstrakurikuler. Kedua, peran guru dalam proses belajar mengajar. Ketiga,
melalui kebijakan sekolah yang lemah dalam mengontrol masuknya
radikalisme di sekolah (Maarif: 2018).
C. Moderasi Beragama Berdasarkan Perspektif Islam
Salah satu argumen yang signifikan kehadiran buku moderasi
beragama ini, dalam konteks Indonesia, adalah fakta masyarakatnya yang
sangat plural dan multikultural. Heterogenitas agama, suku, etnis, bahasa dan
budaya adalah wajah bangsa kita. Perbedaan ini potensial melahirkan gesekan
dan konflik, yang berefek pada instabilitas kehidupan berbangsa dan
bernegara .
Dalam konteks Indonesia yang plural, “moderasi beragama” bukan hanya
dialamatkan pada Islam, melainkan juga semua agama yang ada.Membangun
kesadaran bahwa sesungguhnya nilai itu ada di semua agama, karena pada
dasarnya semua agama memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
Kesulurahan penjelasan tentang makna moderasi dalam konteks beragama
tersebut, agar dapat dipahami dengan baik oleh semua umat beragama.
Penjelasan ini penting karena moderasi beragama sesungguhnya merupakan
esensi agama dan pengimplementasiannya menjadi keniscayaan dalam
konteks masyarakat yang plural dan multikultur seperti Indonesia. Tidak
lain, demi terciptanya kerukunan intra dan antarumat beragama, sebagaimana
diamanatkan dalam Visi dan Misi Kementerian Agama.
Kementerian Agama menyadari bahwa secara substantif moderasi beragama
bukanlah hal baru dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Dalam sejarah
Islam Indonesia misalnya, karakter Islam Moderat -- yang kerap disebut
Azyumardi Azra sebagai karakter asli dari keberagamaan Muslim di
Nusantara -- bisa merujuk pada sejarah awal masuknya Islam ke bumi
nusantara. Walisongo merupakan arsitek yang handal dalam pembumian
Islam awal di Indonesia dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain
untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan
bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan
identitasnya. (Miftahuddin, 2010, hal. 42-43). Menurut catatan Abdurrahman
Mas’ud, Walisongo merupakan agen- agen unik Jawa pada abad XV-XVI
yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam
menyiarkan Islam. (Mas’ud, 2006, hal. 54-58).
D. Indikator dan Isu-isu Radikalisme
Menurut KBBI kata radikalisme artinya paham atau aliran yang
radikal dalam politik. Paham ini menginginkan perubahan atau pembaharuan
social dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Dalam konteks moderasi beragama, radikalisme dipahami sebagai
suatu ideologi atau paham yang ingin melakukan perubahan pada system
sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baik kekerasan verbal, fisik, maupun pikiran. Inti
dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok
tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan
yang diinginkan (Kementrian Agama RI, 2019)
Diskursus radikalisme agama yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti dapat dilacak dari tulisan-tulisannya. yang dikemukakan oleh ahli
antara lain:
1. Irwan Masduqi
Menerangkan wujud radikalisme keagamaan ditandai oleh enam
indikator:
Pertama : Sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok
lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang
seakan-akan mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan
ma’sum padahal mereka hanya manusia biasa. Klaim kebenaran tidak dapat
dibenarkan karena manusia hanya memiliki kebenaran yang relatif dan hanya
Allah yang tahu kebenaran absolut. Kelompok ini telah mencatut kewenangan
Allah. Sikap yang demikian dalam memperlakukan teks keagamaan menurut
Abou el-Fadl adalah sikap otoriter. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh
penafsir teks lalu dianggap itulah “kehendak Tuhan”.
Menurutnya para tokoh agama sekarang ini tidak lagi berbicara
tentang Tuhan, melainkan berbicara “atas nama Tuhan” atau bahkan menjadi
“corong Tuhan” untuk menyampaikan pesan-pesan moral di atas bumi. Hal ini
cukup berbahaya karena ketika terjadi perselingkuhan antara agama dan
kekuasaan, maka yang muncul kemudian adalah otoritarianisme atau
kesewenangwenangan penguasa. Akhirnya mereka memahami agama hanya
sebagai simbol, bahkan untuk melegitimasi setiap gerakannya yang tak jarang
merugikan manusia secara materi maupun imateri melalui perilaku-perilaku
anarkis.
Kedua : Radikalisme dapat menyulitkan umat Islam. Praktik keagamaan yang
cenderum berlebihan, perilaku keberagamaan yang lebih fokus pada persoalan
ibadah sunat dan mengesampingkan yang wajib. Bersemangat dalam
merespon salawatan, pembacaan barzanji di masyarakat yang dianggapnya
bid’ah dan ibadah yang sesat, dibanding dengan kepeduliannya dalam
merespon kemiskinan masyarakat muslim.
Ketiga : Mengabaikan konsep gradual dalam dakwah. Umat Islam yang masih
awam merasa ketakutan dan keresahan. Petujuk al-Qur’an dalam al-
Baqarah/2: 85, sangat tegas bahwa Allah menghendaki hal-hal yang
meringankan dan tidak menghendaki hal-hal yang memberatkan umat-Nya.
Keempat : Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional
dalam berdakwah. Ciri-ciri dakwah seperti ini sangat bertolakbelakang dengan
kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi dalam (QS. 3:59) Dalam (QS. 6:25)
Allah juga menganjurkan umat Islam supaya berdakwah dengan cara yang
santun dan menghindari kata-kata kasar.
Kelima : Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar
golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek
negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya. Hal ini harus dijauhi oleh umat
Islam, sebab pangkal radikalisme adalah berburuk sangka kepada orang lain.
Berburuk sangka adalah bentuk sikap merendahkan orang lain. Kelompok
radikal sering tampak merasa suci dan menganggap kelompok lain sebagai
ahli bid’ah dan sesat. Keenam; mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda
pendapat. Di masa klasik sikap seperti ini identik dengan golongan Khawarij,
kemudian di masa kontemporer identik dengan Jamaah Takfir wa al-Hijrah
dan kelompok-kelompok puritan. Kelompok ini mengkafirkan orang lain yang
berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi,
mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi, mengkafirkan
umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan
semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin
bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.

2. Rubaidi
Menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam.
Pertama : Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan.
Kedua : Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur
Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial
dan politik ketika al-Qur’an dan hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal
kekinian.
Ketiga : Karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Qur’an dan hadis, maka
purifikasi ini sangat berhatihati untuk menerima segala budaya non asal Islam
(budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena
khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah.
Keempat : Menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat,
seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan
yang ditetapkan harus merujuk pada al-Qur’an dan hadis.
Kelima : Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas
termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis
bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

3. Horace M. Kallen
Horace M. Kallen yang dikutip Khamami bahwa radikalisasi ditandai
kecenderungan umum yaitu: Pertama, radikalisasi merupakan respon terhadap
kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang
ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat
dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang sedang
ditolak. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan
terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain.
Ciri ini menunjukkan bahwa radikalisasi terkandung suatu program atau
pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau
ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan
penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan
sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau fislosofi sering
dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-
nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya
keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang
menjurus pada kekerasan.

4. Peneliti LIPI Anas Saidi


Mengatakan bahwa paham radikalisme ini terjadi karena proses
Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara
tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi
yang berbeda keyakinannya. Dia menegaskan jika pemahaman ini dibiarkan
bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka. menganggap ideologi
pancasila tidak lagi penting.18 “Proses Islamisasi ini terjadi secara monolitik
dan terjadi di masjid yang dikuasai kelompok tertentu yang konsekuensi
pengikutnya. Gerakan radikalisme memang tampak cukup merepotkan para
penguasa, dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama karena
beberapa alasan:
Pertama, gerakan radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang
berkepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar ideologi negara
dengan faham ideologinya secara murni, atau mengganti ideologi negara yang
sudah mapan dengan ideologi kelompok gerakan radikal tersebut, tanpa
mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain yang berbeda
dengannya.
Kedua, gerakan radikalisme dianggap membawa instabilitas sosial, keresahan
sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tegas, hitam
putih, tidak menyerah dan tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang
cenderung anarkis dan merusak. Di samping itu gerakan radikalisme tersebut
juga dipandang tidak mau kompromi serta tidak toleran terhadap kepentingan
kelompok lain.
Ketiga, dampak dari gerakan radikalisme baik secara langsung maupun tidak
langsung dipandang dapat mengancam eksistensi kedudukan para elit
penguasa, terutama karena pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan
radikal yang meluas dalam masyarakat dapat menurunkan tingkat
kepercayaan rakyat terhadap rezim penguasa tersebut, yang pada gilirannya
dapat melahirkan pembangkangan dan revolusi sosial yang akan meruntuhkan
singgasana rezim penguasa. Karena itu tidaklah mengherankan apabila siapa
pun rezim penguasa di sebuah negara akan berusaha semaksimal mungkin
untuk mengeliminasi, menjinakkan, meredam atau menangkal
berkembangnya gerakan radikalisme.19 Namun di pihak lain, munculnya
gerakan ini dipicu oleh semangat menegakkan Syariat Islam yang dalam
sejarah politik Indonesia berakar dari diskursus Islam dan Negara yang
landasan ideologisnya tercantum dalam Piagam Jakarta. Kelompok-kelompok
radikal Islam yang mengusung penegakkan Syariat Islam ini dalam kajian
Haedar Nashir dikenal dengan gerakan Islam Syariat
E. Islam Rahmatan Lil’alamain
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang
merupakan bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah SWT kepada seluruh
alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah SWT dan diturunkan
melalui Islam.
Memahami konsep Islam rahmatan lil alamin sebagai konsep dasar
dalam agama Islam tersebut akan menambah pengetahuan sekaligus beberapa
manfaat. Antara lain kembalinya keindahan Islam yang sudah lama meredup.
Hal ini dijelaskan oleh KH Misbahul Munir (Kyai Misbah) mengenai Nabi
Muhammad SAW yang dahulu telah diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat
bagi alam. Dia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat menjadi sebagai bentuk
kasih sayang Allah SWT. "Rasulullah SAW itu diutus ke dunia misinya
adalah rahmat. Sehingga dikatakan, ‘Tidak Aku utus engkau Muhammad,
kecuali misinya sebagai rahmat.' Bentuk kasih sayang Allah kepada semesta
alam," ucap Kyai Misbah.
Tak hanya itu, Kyai Misbah mengatakan bahwa rahmat tersebut
sesungguhnya tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, melainkan bagi
semesta alam. Di dalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia,
menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan. "Jadi, kalimat rahmat itu bukan
hanya ditujukan kepada umat Islam, bukan hanya ditujukan kepada umat
manusia, tapi semesta alam," kata Kyai Misbah.
"Rasulullah SAW pernah suatu ketika menegaskan, 'Sesungguhnya
aku ini adalah rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada kamu sekalian.'
Jadi, pemberian dari Allah adalah datangnya Nabi Muhammad dengan
membawa syariat itu," kata Kyai Jamal.

F. Moderasi Beragama Untuk Kelangsungan Hidup Manusia Sebagai


Wujud Emosional dan Spiritual
Menurut moderasi beragama yang diterbitkan Kementrian Agama RI
(2019b), dirumuskan empat indicator sebagai implementasi sikap dan perilaku
beragama yang tergolong moderat, yaitu : komitmen kebangsaan, toleransi,
anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Keempat indikator
tersebut bertujuan untuk mengenal seberapa kuat moderasi beragama yang
dipraktikanoleh seseorang di Indonesia dan seberapa besar kerentanan yang
dimiliki. Kerentanan tersebut perlu dikenali supaya kita bisa mengenali dan
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melakukan penguatan moderasi
beragama.
Implementasi moderasi beragama bisa dilakukan melalui beberapa hal,
seperti melakukan internelisasi nilai-nilai esensial ajaran agama, memperkuat
komitmen bernegara, meneguhkan toleransi, dan msegala jenis kekerasan atas
nama agama, seperti yang telah dikemukakan dalam bagian indicator
moderasi beragama.
Negara Indonesia mempunyai komitmen kebangsaan yaitu penerimaan
terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD
1945dan regulasi di bawahnya. Komitmen kebangsaan ini penting untuk
dijadikan sebagai indicator moderasi beragama karena dalam perspektif
moderasi beragama, mengamalkan ajaran agama adalah sama dengan
menjalankan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud pengamalan
ajaran agama (Kementrian Agama RI,2019a).
Moderasi adalah proses sedangkan toleransi adalah hasilnya. Seorang
yang moderat, bisa jadi tidak setuju atas suatu tafsir ajaran agama tetapi ia
tidak akan menyalahkan secara terbuka kepada orang lain yang berbeda
pendapat dengannya. Seseorang yang moderat pasti punya keberpihakan atas
suatu tafsir agama, tetapi ia tidak akan memaksakannya kepada orang lain
(Kementrian Agama RI, 2019b). moderasi beragama adalah sikap yang
terimplementasi dalam toleransi aktif. Toleransi aktif, sebagaimana
digambarkan Walzer (1997) tentang apa yang disebut sebagai “rezim
toleransi”. Yaitu :
Pertama, meneriman dan mengakui bahwa orang lain memiliki hak.
Kedua, tidak hanya sebatas memperlihatkan pengakuan tetapi juga
keterbukaan pada orang lain atau setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat
memahami sang liyan.
Ketiga, mendukung, merawat, dan merayakan perbedaan.
Toleransi aktif yang dimaksud sebagai implementasi moderasi
beragama adalah bukan dengan membiarkan perbedaan secara pasif
melainkan sikap ko-ksistensi aktif dalam perbedaan yang mensyaratakan
kerjasama untuk meraih kebaikan bersama (Osman, 2006). Toleransi dalam
kaitannya dengan relasi antaragama, dapat dilihat pada sikap terhadap
pemeluk agama lain. Seperti kesediaan berdialog, bekerja sama, mendirikan
rumah ibadah, serta berinterkasi dengan pemeluk agama lain.
Implementasi moderasi beragama yang anti kekerasan adalah menolak
segala bentuk radikalisme agama. sikap anti kekerasan didasrkan pada tafsir
atas teks-teks agama dengan tafsiran yang lebih humanis, misalnya
menafsirkan perintah jihad sebagai seruan perjuangan moral (Baidhawi,
2002), bukan semata sebagai seruan perang.
Kemampuan untuk menempati salah satu tingkatan spiritual juga tidak
dapat dipisahkan dari moderasi dalam beragama. Oleh karena itu untuk
mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam tingkatan spiritual, perlu
dilakukan pengembangan berpikir. Cara pengembangan moderasi berpikir
untuk menempati tingkatan spiritual tertinggi dalam beragama pada dasarnya
sangat sederhana yaitu belajarlah berpikir lebih jauh, lebih dalam, dan lebih
luas dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir inilah yang akan membawa kita
menemukan makna terdalam tentang ajaran agama yang kita yakini
kebenarannya. Jika moderasi berpikir tidak dimiliki, maka tidak mungkin
dapat hidup moderat dalam beragama karena moderasi agama adalah
menjalankan ajaran agamanyadengan sempurna (Kaffah) tanpa latar belakang
yang mengahalangi kebaikan dalam jiwa dan raganya.

BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai