Madrasah
Dosen Pengampu :
Nama Mahasiswa :
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Puji syukur atas kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat
taufiq, hidayah serta inayah-nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini yang berjudul “Isu-isu “Radikalisme” dalam muatan materi PAI di Sekolah
dan Madrasah” dengan baik dan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Agung Nabi Muhmmad SAW yang telah
menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah saat ini, yang menjadi suri
tauladan bagi kita semua, kepada para keluarga daan sahabat, ulama’ dan orang shaleh
yang mengikuti jejak beliau, semoga kita diakui sebagai umat-Nya dan kelak
mendapatkan syafaat-Nya di hari kiamat nanti. Aamiin ya robbal ‘alamin
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Pengembangan Pemikiran Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini bertujuan
untuk menambah wawasan tentang isu-isu radikalisme yang yang termuat dalam PAI di
Sekolah dan Madrasah bagi penulis dan pembaca
Wassalamu’alaikum wr.wb
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................6
A. Pengertian Radikalisme...........................................................................................6
B. Sebab Munculnya Gerakan Radikalisme.................................................................8
C. Upaya Untuk Mencegah Radikalisme dalam Muatan Materi PAI..........................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Radikalisme merupakan suatu masalah atau paham yang ekstrem yang
sering terjadi melalui lingkungan pendidikan formal maupun non formal seperti
dilingkungan sekolah, madrasah dan perguruan tinggi. Karena masuknya paham-
paham yang ektrem seperti ini sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen
pendidikan yang ada di sekolah ataupun di perguruan tinggi.1
Akhir-akhir ini dikalangan anak sekolah usia remaja telah banyak muncul
kenakalan remaja yang memicu terjadinya tindak kekerasan. Dalam beberapa
media sosial telah menampilkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh remaja,
seperti aksi penyiraman air keras di bus sekolah, keterlibatan remaja dalam
berbagai kejahatan obat-obatan terlarang bahkan narkoba, tawuran antar pelajar
yang mengakibatkan hilangnya nyawa, dan termasuk juga keekrasan remaja yang
didasari oleh pengaruh sikap radikalisme.
Maraknya kasus kekerasan dengan melibatkan anak usia remaja yang masih
duduk di bangku sekolah, menandakan bahwa perilaku bermoral atau akhlah
siswa saat ini sangat memprihatinkan. Akhlak merupakan pengendali perilaku dan
sikap siswa yang kini sudah mulai luntur dan bahkan sirna dari kepribadian siswa,
sehingga menjadikan anak tidak terkontrol dan anak tidak bisa membedakan mana
tindakan yang bermoral ddan mana tindakan yang tidak bermoral. Nilai-nilai
kemanusiaan, toleransi, rasa sayang menyayangi sudah tidak lagi menjadi
pedoman dalam bertingkah laku.
Perlu kita ketahui bahwa pendidikan agama telah memberikan peran penting
dalam memebentuk kepribadian siswa. Akan tetapi secara kuantitatif, jumlah jam
pelajaran pendidikan agama mendapatkann porsi yang sangat kurang memadai
dibandingan dengan mata pelajaran lainya, dan dengan materi pendidikan agama
yang lebih menekankan pengetahuan dari aspek kognitif saja. Akibatnya siswa
tidak bisa mempraktekkan pendidikan agama yang mereka peroleh untuk
diterpakan dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari sisi kurikulum, materi PAI
1
Sri Mulya Nurhakiky and Muhammad Naelul Mubarok, “Pendidikan Agama Islam Penangkal
Radikalisme,” IQ (Ilmu Al-qur’an): Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 01 (1970): 101–116.
4
yang selama ini diajarkan kepada siswa perlu juga untuk ditengok kembali yang
mana kurikulum merupakan acuan dalam pembelajaran yang berisi pedoman
materi yang akan disampaikan kepada siswa.2 Oleh karena itu, maraknya
kekerasan yang telah terjadi pada remaja usia sekolah yang mengarah pada
radikalisme beragama patut menjadi dasar keraguan atau dugaan tidak terserapnya
nilai-nilai agama dalam kepribadian remaja usia sekolah. Sehinnga dengan hal
tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya untuk melakukan telaah kritis dalam
buku ajar Pendidikan Agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian radikalisme?
2. Apa sebab munculnya gerakan radikalisme?
3. Bagaimana upaya untuk mencegah radikalisme dalam muatan materi PAI?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian radikalisme
2. Untuk mengetahui sebab munculnya gerakan radikalisme
3. Untuk mengetahui upaya untuk mencegah radikalisme dalam muatan materi
PAI
2
Moh. Hasim, “Potensi Radikalisme Di Sekolah Studi Terhadap Buku Pendidikan Agama Islam Sekolah
Dasar,” EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 13, no. 2 (2015): 255–268.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Radikalisme
Radikalisme secara istilah berasal dari bahasa latin Radix yang artinya
akar, pangkal, bagian bawah, atau juga bisa berarati menyeluruh habis-habisan
dan amat keras untuk menuntut perubahan. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, radikalisme berarti paham atau aliran yang menghendaki
perubahan sosial dan politik dengan cara menggunakan tindakan kekerasan
sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap
paling benar.
Menurut Yusuf Qordowi, radikalisme adalah sikap berlebihan yang
dimiliki seseorang dalam beragama, ketidak sesuaian anatara akidah dengan
perilaku, anatara yang seharusnya dengan realitas, antara agama dan politik,
antara ucapan dengan tindakan, antara yang diharapkan dengan yang
dilaksanakan, serta antara hukum yangdi syaratkan oleh Allah dengan produk
hukum manusia itu sendiri. Sedangkan menurut KH. Hasyim Muzadi (manatan
ketua PBNU), seseorang yang berfikir radikal (berfikir mendalam, sampai
keakar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berfikir sudah seharusnya seperti
itu. Katakanlah misalnya seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa
Indonesia mengalami banyak masalah baik itu masalah (ekonomi, pendidikan
hukum dan politik) yang disebabkan Indonesia tidak menerapkan syariat Islam
oleh karena itu misalnya dasar Negara Indonesia harus diganti dengan sistem
pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah). Pendapat radikal yang seperti itu sah-
sah saja. Sebab pada hakikatnya, apa yang muncul dalam benak atau pikiran tidak
dapat diadili karena tidak termasuk tindak pidana.3
Radikalisme dalam agama ibarat pisau bermata dua, disatu sisi makna
positif dari radikalisme adalah spirit menuju perubahan kearah lebih baik yang
lazim disebut islah (perubahan) atau tajdid (pembaharuan). Dengan begitu
radikalisme tidaklah bisa disamakan dengan ekrimitas atau kekerasan, ia akan
3
Ilham Kurniawan, “Memaknai Radikalisme Di Indonesia,” Jurnal Studi Pendidikan Islam 3, no. 1 (2020):
70–82.
6
sangat bermakna apabila dijalankan melalui pemahaman agama yang menyeluruh
dan diaplikasikan untuk ranah pribadi. Namun, disisi lain, radikalisme akan
menajdi berbahaya jika sampai pada tataran Ghuluw (melampaui batas) dan ifrath
(keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk baik internal agama maupun agama
lainya.4
Radikalisme bisa dibedakan menjadi ke dalam dua level, yaitu level
pemikiran dan level aksi atau tindakan. Pada level pemikiran, radikalisme masih
berupa wacana, konsep, dan gagasan yang masih diperbincangkan, yang intinya
mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Sedangkan
dalam level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah sosial politik
dan agama. Pada ranah politik, faham ini tampak tercermin dari adanya tindakan
memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkostitusional, bahkan bisa
berupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan politik tertentu dan berujung
pada konflik sosial. Dan dalam ranah keagamaan, radikalisme agama tercermin
dari tindakan-tindakan deskruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok
orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau sekelompok
seagama (internal) yang dianggap sesat. Yang termasuk tindakan radikalisme
agama adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita
keagamaan dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semjua
pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pememluk Islam.5
A. Rubaidi (2007:23) menguraikan ada lima ciri gerakan radikalisme
diantaranya:
1. Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan.
2. Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya dari Timur Tengah
secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangaan sosial dan
politik ketika Al-Qur’an dan Hadits hadir dimuka bumi ini dengan realitas
lokal kekinian.
3. Karena perhatianya lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan Hadits, maka
purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal
4
Nurhakiky and Mubarok, “Pendidikan Agama Islam Penangkal Radikalisme.”
5
Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam I, no. 2 (2012): 159–182.
7
Islam (budaya Timur Tengah) termasuk beerhati-hati menerima tradisi
lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah.
4. Menolak ideologi non Timur Tengah termasuk Ideologi Barat seperti
dekomrasi, sekularisme, dan liberalisme. Sekali lagi segala peraturan yang
ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
5. Gerakan kelompok ini sering bersebrangan dengan masyarakat luas
bahkan termasuk pemerintahan. Karena itu, terkadang terjadi gesekan
idielogis bahkan fisik dengan kelompok lain bahkan termasuk
pemerintahan.6
8
Pertama, faktor agama yaitu sebagai bentuk purifikasi ajaran Islam dan
pengaplikasian khilafah Islamiyah di muka bumi. Terdorongnya semangat
Islamisasi secara global ini tercetus sebagai solusi utama untuk memperbaiki
berbagai permasalahan yang oleh golongan radikalisme dipandang sebagai akibat
semakin menjauhnya manusia dari agama.
Kedua, faktor sosial politik. Disini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak
diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap
kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan keetimpangan sosial yang
merugikan komunitas muslim menyebabkan terjadinya gerakan radikalisme yang
ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Ketiga, faktor pendidikan. Minimnya jenjang pendidikan mengakibatkan
minimnya informasi pengetahuan yang didapat, ditambah lagi dnegan kurangnya
dasar keagamaan mengakibatkan seseorang mudah menerima informasi
keagamaan dari oranag yang dianggap tinggi keilmuannya tanpa dicerna terlebih
dahulu, hal ini akan menjadi bumerang jika informasi yang didapatkan dari orang
yang salah.
Keempat, faktor kultural. Negara Barat dianggap oleh kalangan muslim telah
dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan
muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Negara barat
dengan sekuralismenya sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-
budaya bangsa timur dan Islam juga dianggap bahaya terbesar keberlangsungan
moralitas Islam.
Kelima, faktor ideologis anti weternisasi. Westernisasi merupakan suatu
pemikiran yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam
sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam.
Walaupun motivasi dan gerakan anti barat tidak bisa disalahkan dengan alasan
keyakinan keagamaan tetapi menggunakan jalan kekerasan yang ditempuh kaum
radikalisme justru menunjukan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan
diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.7
7
Emna Laisa, “Islam Dan Radikalisme,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 1, no. 1 (2014): 1–18.
9
Sedangkan menurut Yusuf Al-Qordowi radikalisme disebaabkan oleh banyak
faktor diantara lain sebagai berikut:
a. Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar
yang doktriner.
b. Literal dalam memahami teks-teks agama seningga kalangan radikal
hanya memahami Islam dari kulitnya saja tetapi minim wawasan
tentang esensi agama.
c. Tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder seperti menggerakan jari
ketika tasyahud, memanjangkan jenggot, dan meninggikan celana
sembari melupakan masalah-masalah primer.
d. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru
memeberatkan umat.
e. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa
mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat,
dan semangat zaman.
f. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-
bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang
menolak agama.
g. Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, politik di tengah-
tengah masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai ekspresi
rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial
disebabkan oleh mandulnya kinerja lemabaga hukum.kegagalan
pemerintah dalam menegakakn kaedilan akhirnya direspon oleh
kalangan radikal dengan tuntunan penerapan syari’at Islam. Dengana
menerapkan aturan syari’at islam mereka merasa dapat mematuhi
perintah agama dalam rangka mengegakan keadilan. Namun, tuntunan
penerapan syari’at sering diabaikan oleh negara-negara sekular
sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara-cara kekerasan.8
10
Zakiah daradjat mendefinisikan Pendidikan Agama Islam sebagai suatu
usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang pad
akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
9
Nurhakiky and Mubarok, “Pendidikan Agama Islam Penangkal Radikalisme.”
11
negara yang berdasarkan Pancasila bukan agama tertentu. Tetapi itu tidak berarti
bahwa negara Indonesia antiagama atau bahwa Pancasila diatas agama. Justru
Pancasila diilhami oleh ajaran-ajaran agama. Di samping itu, guru pendidikan
agama Islam harus berperan menanamkan kecintaan kepada bangsa dan negara
(nasionalisme) sebagai bagian daari mengamalkan ajaran agama Islam dengan
benar. Dengan demikian, para siswa tidak lagi bisa disusupi dengan paham radikal
yang salah satunya cirinya adalah memperlwankan antara ajaran agama Islam
dengan negara. Di samping itu, sudah merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang beraneka ragam yang meski demikian kebhinekaan itu tidak
menyebabkan perpecahan. Semangat inilah yang kemudian menjadi semboyan
negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan inilah yang harus menyadarkan
guru pendidikan agama Islam bahwa anak didiknya adalah manusia-manusia yang
unik yang tidak dapat diseragamkan sperti kehendak kaum radikal. Karena itulah
menurut James Lynch menyatakan pendidikan agama Islam harus mampu
menyampaikann pokok bahasan multikultural dengan berorientasi pada dua
tujuan, yaitu: penghargaan kepada orang lain (respect for others) dan penghargaan
kepada diri sendiri (respect for self) . kedua bentuk penghargaan ini mencakup
tiga ranah pembelajaran (domain of learning) yaitu pengetahuan (cognitive),
keterampilan (psycomotor) dan sikap (affective).
Adapun upaya yang bisa dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam
untuk mencegah terjadinya radikalisme agama di Madrasah atau Sekolah,
diantaranya:
12
Sosialisasi dpat dilakukan saat upacara bendera setiap senin pagi. Bisa
juga dengan pemasangan sepanduk, pamflet, dan poster. Kegiatan-kegiatan
ekstrakulikuler yang ada disekolah atau madrasah, seperti pramuka,
paskibra, PMR, dll, juga dapat dijadikan media sosialisasi.
Kedua, memberdayakan masjid atau mushola sekolah sebagai pusat
kegiatan keIslaman. Bagi sekolah yang memiliki masjid atau mushola ini
menjadi keuntungan tersendiri. Guru pendidikan agama Islam harus bisa
memaksimalkan fungsinya sebgai juru agama di sekolah. Masjid atau
mudhola harus dijadikan pusat pemberdayaan peserta didik dalam
memahami mengamalkan, dan menghayati Islam secara benar.
Ketiga, memproteksi oraganisasi kesiswaan seperti Rohis (Rohani Islam).
Dalam banyak kasusu radikalisme seringkali memberdayakan anak-anak
yang aktif di sekolah. Semangat mereka yang menggebu-gebu akan mudah
dipengaruhi oleh siapa saja yang dianggap hebat dan yang membuat
mereka kagum. Maka wajib bagi para guru untuk bersama-sama
mengawasi, membimbing mereka terutama guru pendidikan agama Islam.
Guru pendidikan agama Islam harus hadir ditengah mereka sebagai
teladan, rujukan setiap persoalan yang dihadapi terkait masalah
keagamaan. Anak-anak tidak boleh dilepas begitu saja terkait dengan
kegiatan terutama Rohis harus diproteksi dari pengaruh paham
radikalisme.
Keempat, mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural.
Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati setiap perbedaan
yang ada baik agama, etnis ras maupun lainya. Sengakan pluralisme adalah
kesedian hidup bersama perbedan-perbedaan tersebut. Ditengah
keragaman, guru pendidikan agama Islam harus mengedepankan,
mecontohkan toleransi anatar sesama warga sekolah. Dan terkait dengan
radikalisme toleransi beragama memiliki peran penting sebagai penangkal
paham berbahaya tersebut. Di sini peran guru pendidikan agama Islam
sangat dominan, arahan atau bimbingan yang diberikan oleh guru
pendidikan agama Islam akan membuka wawasan Islam siswa tentang
13
bagaiamana agama Islam yang sangat menganjurkan perdamaian dan
keselamatan, untuk bertoleransi terhadap hal-hal yang berbeda.
Kelima, guru pendidikan agama Islam sebagai pengintegrasi materi-materi
ke dalam nilai-nilai antiradikalisme. Guru merupakan kunci awal sukses
tidaknya pembelajaran, tergantung terhadap seorang guru. Bahkan melalui
mata pelajaran pendidikan agama Islam guru mampu menjadikan siswa
menjadi radikal dalam memahami Islam sekaligus guru juga mampu
mencegah radikalisme islam dalam melalui mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam.10
10
Umro, Stit, and Pasuruan, “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Radikalisme Agama
Di Sekolah.”
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial
dan politik dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk
menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap paling benar. Radikalisme bisa
dibedakan menjadi ke dalam dua level, yaitu level pemikiran dan level aksi atau
tindakan.
Adapun faktor penyebab munculnya radikalisme : Pertama, faktor agama yaitu
sebagai bentuk purifikasi ajaran Islam dan pengaplikasian khilafah Islamiyah di muka
bumi. Kedua, faktor sosial politik. Disini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak
diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap
kekuatan yang mendominasi. Ketiga, faktor pendidikan. Minimnya jenjang pendidikan
mengakibatkan minimnya informasi pengetahuan yang didapat, ditambah lagi dengan
kurangnya dasar keagamaan. Keempat, faktor kultural. Negara Barat dianggap oleh
kalangan muslim telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-
sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Kelima,
faktor ideologis anti weternisasi. Westernisasi merupakan suatu pemikiran yang
mebahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam sehingga simbol-simbol
Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam.
Upaya yang bisa dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam untuk mencegah
terjadinya radikalisme agama di Sekolah, diantaranya: Pertama, sosialisasi sejak dini.
Guru pendidikan agama Islam mengajak semua guru untuk melakukan sosialisasi terkait
dengan bahaya radikalisme kepada peserta didik. Kedua, memberdayakan masjid atau
mushola sekolah sebagai pusat kegiatan keIslaman. Bagi sekolah yang memiliki masjid
atau mushola ini menjadi keuntungan tersendiri. Ketiga, memproteksi oraganisasi
kesiswaan seperti Rohis (Rohani Islam). Keempat, mengembangkan toleransi dan
menamkan hidup plural. Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati setiap
perbedaan yang ada baik agama, etnis ras maupun lainya. Sedangakan pluralisme adalah
kesediaan hidup bersama perbedan-perbedaan tersebut. Kelima, guru pendidikan agama
Islam sebagai pengintegrasi materi-materi ke dalam nilai-nilai antiradikalisme.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hasim, Moh. “Potensi Radikalisme Di Sekolah Studi Terhadap Buku Pendidikan Agama
Islam Sekolah Dasar.” EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan
Keagamaan 13, no. 2 (2015): 255–268.
Laisa, Emna. “Islam Dan Radikalisme.” Islamuna: Jurnal Studi Islam 1, no. 1 (2014): 1–
18.
Nurhakiky, Sri Mulya, and Muhammad Naelul Mubarok. “Pendidikan Agama Islam
Penangkal Radikalisme.” IQ (Ilmu Al-qur’an): Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 01
(1970): 101–116.
Umro, Jakaria, Dosen Stit, and Pgri Pasuruan. “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam Mencegah Radikalisme Agama Di Sekolah.” Journal Of Islamic Education
(JIE) II, no. 1 (2017): 89–108.
16