Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGEMBANGAN BUDAYA AGAMA DI SEKOLAH

Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Penjamin Mutu PAI
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Mulyadi, M.Pd.I

Dibuat oleh:

Vick Ainun Haq (210101210016)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, yang
telah memberikan kesempatan untuk bisa menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Pengembangann Budaya Agama di Sekolah.” Sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada sang baginda Nabi Muhammad saw, yang selalu membimbing
umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan terang benderang, dari zaman kebodohan
menuju zaman ilmu pengetahuan.
Makalah ini akan membahas tentang faktor apa saja yang menjamin
pengembangan budaya agama di sekolah, dan akan menganalisis apa saja yang menjadi
faktor pendukung maupun penghambatnya. Dalam proses penyusunan makalah ini
tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, karena kesempurnaan hanya milik
Allah swt sang maha pencipta alam semesta beserta isinya.
Oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi
tercapainya kesempuranaan dalam penyusunan makalah ke depannya. Selain itu, penulis
juga berharap semoga dengan hadirnya makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi
wasilah tambahan ilmu bagi seluruh civitas akademika UIN Maulana Malik Ibrahim,
Malang.

Batu, 30 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3
A. Tinjauan Urgensi Budaya Agama di Sekolah ............................................................... 3
B. Langkah dan Strategi dalam Pengembangan Budaya Agama di Sekolah ..................... 7
C. Peran Guru PAI dalam Pengembangan Budaya Agama di Sekolah ........................... 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 13
KESIMPULAN .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moral yang melanda bangsa ini nampaknya menjadi sebuah kegelisahan bagi
semua kalangan. Bagaimana tidak, dari maraknya kasus korupsi yang tidak pernah surut. Di
sisi lain krisis ini menjadi komplek dengan berbagai peristiwa yang cukup memilukan
seperti tawuran pelajar, penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan bebas, penganiayaan
yang disertai pembunuhan. Fenomena ini sesungguhnya sangat berseberangan dengan
suasana keagamaan dan kepribadian bangsa Indonesia. Jika krisis ini dibiarkan begitu saja
dan berlarut-larut apalagi dianggap sesuatu yang biasa maka segala kebejatan moralitas
akan menjadi budaya. Sekecil apapun krisis moralitas secara tidak langung akan dapat
merapuhkan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.1
Peran penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah merupakan bentuk
penjabaran dari amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Juga berkaitan dengan permasalahan generasi bangsa di atas. Hal ini secara jelas dinyatakan
dalam tujuan pendidikan nasional adalah bahwa untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan
nasional, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Isi, menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan:
Pertama, menumbuh kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman
peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang keimanannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan
manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi
(tasamuh), menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan
budaya agama dalam komunitas sekolah.3
Secara formal, peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai untuk
menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak
mulia, namun dalam pelaksanaannya masih menuai kritik dari masyarakat yaitu bahwa

1
Benny Prasetya, “Pengembangan Budaya Religius Di Sekolah,” Edukasi 02, no. 01 (2014): 100–112.
2
“UU. No. 20/2003 Tentang Sidiknas,” n.d.
3
Permendiknas No. 23/2006, n.d.

1
pendidikan agama Islam di sekolah selama ini dinilai hanya membekali peserta didik ilmu
pengetahuan agama saja (kognitif) kurang memberikan penekanan pada aspek pengamalan
(afektif dan psikomototik).4 Pengembangan Pendidikan Agama Islam harus dilakukan dan
menjadi tanggung jawab bersama seiring dengan kedudukan Pendidikan Agama Islam
dalam kurikulum sekolah yang sebenarnya menjadi “core” atau inti kurikulum sekolah. Hal
ini paling tidak didasarkan falsafah negara “pancasila” terutama pada sila pertama, UU No.
20 tentang Sisdiknas pada Pasal 1 (1), UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
serta Permendiknas, No. 22 Tahun 2006.5
Selanjutnya, agama dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan moral
spiritual peserta didik. Pendidikan agama merupakan bagian integral dari sistem pendidikan
nasional (UU Sisdiknas Pasal 12) memiliki kontribusi yang besar dalam penanaman nilai-
nilai moral spiritual dan perilaku keberagamaan peserta didik. Penanaman nilai-nilai
keagamaan ini sangat diprioritaskan dalam pembelajaran pendidikan agama karena
pendidikan agama berperan penting dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Religious culture (Budaya agama) dalam konteks ini berarti
pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh peserta didik dari
hasil pembelajaran di sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku peserta
didiksehari-hari dalam lingkungan sekolah atau masyarakat.6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan tersebut, maka penulis menyusun rumusan masalah:
1. Mengapa Perlu Pengembangan Budaya Agama di Sekolah?
2. Bagaimana Langkah dan Strategi Penjamin Pengembangan Budaya Agama di Sekolah?
3. Bagaimana Peran Guru PAI Pengembangan Budaya Agama di Sekolah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
1. Mendeskripsikan Urgensi Pengembangan Budaya Agama di Sekolah
2. Mendeskripsikan Langkah dan Strategi Penjamin Pengembangan Budaya Agama di
Sekolah
3. Mendeskripsikan Peran Guru PAI Pengembangan Budaya Agama di Sekolah

4
Kamil Uszaman, “Pengetahuan: Penjamin Pengembangan Budaya Agama Di Sekolah SMP/SMU/SMK,” n.d.,
http://kamiluszaman.blogspot.com/2017/07/penjamin-pengembangan-budaya-agama-di.html.
5
Permendiknas No. 22/2006, n.d.
6
MI Sunan Kalijogo Karang Besuki, “Pengamalan Budaya Agama (Religious Cultur) Di Sekolah Umum,” n.d.,
https://misunankalijogo.blogspot.com/2008/03/pengamalan-budaya-agama-religious.html.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Urgensi Budaya Agama di Sekolah


1. Pengertian Budaya Agama di Sekolah
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin Ilmu Antropologi Sosial. Istilah
budaya dapat diartikan sebagai totalitas, pola perilaku, kesenian, kepercayaan,
kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan
kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang mentransmisikan secarabersama. Dalam
KBBI, Budaya (cultural) di artikan sebagai: pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah
berkembang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.7 Dalam
pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan
tradisi (tradision). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan
kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi
kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut. Agar budaya menjadi nilai-nilai
yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi budaya. Internalisasi berarti proses
menanamkan dan menumbuh kembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri
(self) orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuh kembangan nilai tersebut
dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti
pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya.
Budaya Religius di Sekolah adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang di praktikkan oleh
kepala sekolah, guru, petugas, dan tenaga kependidikan lainnya, siswa, atau warga
sekolah pada umumnya. Sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata
sebagaimana yang tercermin diatas, tetapi didalamnya penuh dengan nilai-nilai.
Perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja tetapi melalui proses
pembudayaan.8 Dengan semikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya adalah
terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya
organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai
tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti
tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran
agama.

7
KBBI Daring, “Budaya,” n.d., https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/budaya.
8
Moh. Fuadi, “Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Budaya Agama Di MTs N 01 Ogan Ilir,”
Raudhah Proud To Be Professionals : Jurnal Tarbiyah Islamiyah 3, no. 1 (2018): 1–18,
https://doi.org/10.48094/raudhah.v3i1.19.

3
Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya
religius sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari
sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap
peserta didikmemiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Adapaun secara
eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas masyarakat yang sedang
mengalami krisis moral.
2. Landasan Dasar Penciptaan Budaya Agama
a. Landasan Religius
Penciptaan budaya religius yang dilakukan disekolah semata-mata karena
merupakan pengembangan dari potensi manusia yang ada sejak lahir atau fitrah.
Ajaran Islam yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya merupakan agama yang
memperhatikan fitrah manusia, maka dari itu pendidikan Islam juga harus sesuai
dengan fitrah manusia dan bertugas mengembangkan fitrah tersebut. Dengan
demikian fiţrah adalah sifat dasar atau potensi pembawaan yang diciptaan oleh
Allah sebagai dasar dari suatu proses penciptaan. Kata fiţrah tersebut diisyaratkan
dalam firman Allah SWT, sebagai berikut:
ْ َ ٰ ‫ه‬ َْ َْ َْ َ َ ََْ َّ َ َ َ ْ َّ ‫ْ َ ْ ً ْ َ َ ه‬ َ َ ْ َ ْ ََ
‫م‬ُ ‫ك الديْ ُن ال َقي‬ ‫ل‬ ‫ۗذ‬‫اّٰلل‬
ِ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫خ‬‫ل‬ِ ‫ل‬ ‫ي‬‫د‬ ‫ب‬‫ت‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ۗ
‫ا‬ ‫ه‬‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ َ ‫الن‬
‫اس‬ ‫ر‬‫ط‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫اّٰلل‬
ِ ‫ت‬‫ر‬‫ط‬ ‫ف‬ ۗ
‫ا‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫ح‬ ‫ن‬‫ي‬ ‫لد‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫فا ِقم وجه‬
ُۙ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

َ
َ َ ْ َ َّ َ َ ْ َّ ٰ َ
٣٠ ُۙ‫اس لا َيعل ُم ْون‬
ِ ‫الن‬ ‫ر‬ ‫ث‬‫ك‬‫ا‬ ‫ول ِكن‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah


atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (Qur’an Surat. Ar-Ruum: 30).9

Oleh karena itu fitrah manusia dapat dikembangkan melalui budaya religius
yang diciptakan di sekolah. Sehingga penciptaan budaya religius yang ada di
sekolah sesuai dengan pengembangan fitrah manusia.
b. Landasan Filosofi
Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil untuk memperoleh
kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Pendidikan itu tidak hanya
bertujuan untuk memperoleh dunia saja, dan juga tidak hanya bertujuan untuk
memperoleh akhirat saja, namun untuk memperoleh keduanya. Berpijak dari
pemikiran bahwa tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk mensucikan

9
Qur’an Kemenag, “Surah Ar-Rūm [30]; 30,” n.d., https://quran.kemenag.go.id/surah/30/30.

4
jiwa, membentuk akhlak, menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, bahkan
membentuk insan yang kamil, maka diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam
pembelajaran pendidikan agama Islam sampai menyentuh pada aspek afektif dan
psikomotorik melalui penciptaan budaya religius disekolah.10
c. Landasan Yuridis
Penciptaan budaya religius adalah merujuk pada landasan keberadaan
pendidikan agama Islam dalam kurikulum sekolah, yaitu UU No. 20 Tahun 2003,
tentang Sisdiknas, BAB V Pasal 12 (1) Point a. Bahwasanya;
“Setiap peserta didikpada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama”.
Peningkatan IMTAQ serta akhlak yang mulia juga disebutkan dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas BAB X Pasal 36 (3). Bahwasanya’
“Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan
takwa, peningkatan akhlak mulia”.
Dan Pasal 37 (1), menyatakan bahwa;
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan
agama”.11
Dari landasan yuridis tersebut sangat jelas bahwa pendidikan agama Islam
merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur
pendidikan. Dengan demikian eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai
tujuan pendidikan nasional secara umum. Maka dari itu, penciptaan budaya religius
sebagai upaya pengembangan pembelajaran pendidikan agama harus dilakukan.
d. Landasan Psikologi
Menurut penelitian Muhaimin, kegiatan keagamaan seperti khatmil al-Qur’an
dan istighatsah dapat menciptakan suasana ketenangan dan kedamaian dikalangan
civitas akademika lembaga pendidikan. Maka dari itu, suatu lembaga pendidikan
harus dan wajib mengembangkan budaya religius untuk menciptakan ketenangan
dan ketentraman bagi orang yang ada di dalamnya. Di samping itu, budaya religius
juga merupakan sarana penyeimbangan kerja otak yang terbagi menjadi dua, kanan
(mengutamakan EQ) dan kiri (Mengutamakan IQ).

10
M. Jadid Khadavi, “Pengembangan Budaya Religius Dalam Komunitas Sekolah,” Journal of Chemical Information
and Modeling 1, no. 9 (2016): 1689–99.
11
“UU. No. 20/2003 Tentang Sidiknas.”

5
Budaya religius dapat digunakan sebagai media pembelajaran Pendidikan agama
Islam yang prinsipnya bisa langsung aplikasi atau dalam ranah afektif dan
psikomotorik, sehingga hal tersebut bisa mempekerjakan otak kanan. Maka, dengan
adanya budaya religius disekolah, otak kanan dan otak kiri mampu bekerja secara
bersama-sama, sehingga pada akhirnya perkembangannya menjadi baik.
3. Urgensi Pengembangan Budaya Agama di Sekolah
Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak
dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak
menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di
sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya. Indonesia belum mempunyai
pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter
(tercermin dari tingkah lakunya).12
Budaya sekolah memiliki pengaruh besar terkait upaya menumbuhkan motivasi
belajar peserta didik menjadi manusia yang penuh optimis, berani tampil, disiplin,
berperilaku kooperatif, bertanggung jawab dan memiliki rasa kebersamaan yang baik.
Motivasi belajar peserta didik akan memberikan pengalaman bagi tumbuh kembangnya
kecerdasan, ketrampilan, dan aktivitas peserta didik yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap mutu pendidikan pada umumnya. Pengembangan pendidikan agama Islam
sebagai budaya sekolah berarti bagaiamana mengembangkan pendidikan agama Islam
disekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sebagai pijakan nilai, semangat,
sikap, dan perilaku bagai para aktor sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga
kependidikan lainnya, orang tua murid dan pesrta didik itu sendiri.13 Beberapa manfaat
yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya pendidikan agama Islam di
sekolah, diantaranya:
a. Orang tua memiliki hak progretif untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya,
sekolah berkualitas semakin dicari, dan yang mutunya rendah akan ditinggalkan.
Ini terjadi hampir disetiap kota di Indonesia. Di era globalisasi ini sekolah-sekolah
yang bermutu dan memberi muatan agama lebih banyak menjadi pilihan pertama
bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan tersebut untuk menangkal
pengaruh yang negatif di era globalisasi.
b. Penyelengaraan pendidikan di sekolah (negeri dan swasta) tidak lepas dari nilai-
nilai, norma perilaku, keyakinan maupun budaya agama. Apalagi sekolah yang

12
Heru Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religious Di Sekolah,” Madinah: Jurnal Studi Islam 6, no. 1
(2019): 51 – 62–51 – 62, http://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/312.
13
Uszaman, “Pengetahuan: Penjamin Pengembangan Budaya Agama Di Sekolah SMP/SMU/SMK.”

6
diselenggarakan oleh yayasan Islam.
c. Selama ini banyak orang mepersepsi prestasi sekolah dilihat dari dimensi yang
tampak, bisa diukur dan dikualifikasikan, terutama perolehan nilai akhir dan
kondisi fisik sekolah. Padahal ada dimensi lain, yaitu soft, yang mencakup: Nilai-
nilai (value), keyakinan (belief), budaya dan norma perilaku yang disebut sebagai
the human side of organization (sisi/aspek manusia dari organisasi) yang justru
lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi (sekolah), sehingga
menjadi unggul.
d. Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja. Budaya
sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau
gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya budaya
sekolah yang bertolak dari dan disemangati oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam,
maka akan bernilai ganda, yaitu dipihak sekolah itu sendiri akan memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama
sebagai akar budaya bangsa, dan di lain pihak, para pelaku sekolah seperti kepala
sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid dan peserta didik
itu sendiri berarti telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan muamalah,
sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap
kehidupannya kelak.14
B. Langkah dan Strategi Pengembangan Budaya Agama di Sekolah
Suasana keagamaan di lingkungan sekolah dengan berbagai bentuknya, sangat penting
bagi proses penanaman nilai agama pada peserta didik. Proses penanaman nilai agama
Islam pada peserta didik disekolah akan menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan
sekolah yang Islami, baik yang nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku,
pembiasaan, penghayatan, dan pendalaman. Budaya sekolah merupakan seluruh
pengamalan psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun
intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah.Respon
psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personel
sekolah lainnya bersikap dan berperilaku, implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan
layanan kantin sekolah, penataan keindahan, kebersihan dan kenyamanan lingkungan
sekolah, semuanya membentuk budaya sekolah. Semua itu akan merembes pada
penghayatan psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya
membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.

14
Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religious Di Sekolah.”

7
a. Dukungan dari berbgai Pihak
Pelaksanaan pengembangan budaya religius di sekolah tidak akan berjalan
dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, di antaranya
adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah,
kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran
umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan peserta didik (OSIS), lembaga
dan ormas, keagamaan serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini
dapat bersama-sama mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan
budaya agama di sekolah maka bukan sesuatu yang mustahil hal ini akan terwujud
dan sukses.
b. Sarana Prasarana
Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di
sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan
budaya agama (Islam) di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana
pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar,
dsb.), alat peraga praktik ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang
pertemuan, ruang kelas sebagai tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan
peralatan seni Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet serta
laboratorium pendidikan agama Islam.
c. Komitmen Warga Sekolah
Untuk mewujudkan budaya agama disekolah, menurut Tafsir ada beberapa
strategi yang dapat dilakukanoleh para praktisi pendidikan, di antaranya melalui:
(1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3)
menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan
hadiah terutama secara psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka
kedisiplinan); (7) pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.15
Muhaimin dalam bukunya Rekonstruksi Pendidikan Islam menjelaskan bahwa:
Strategi pengembangan budaya agama di Sekolah meminjam teori Koentjaraningrat (1974)
dibagi menjadi Tiga tataran, yaitu;
a. Dalam Tataran Nilai
Nilai yang dianut perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang
disepakati dan perlu di kembangkan di Sekolah, untuk selanjutnya dibangun
komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai
15
F Amiyah and H Subiyantoro, “Membangun Budaya Religius Peserta didikMelalui Kegiatan Sekolah Di
Lingkungan SMA Sunan Ampel,” Jurnal Ilmu Ilmu Sosial 17, no. 2 (2020): 346–57.

8
yang disepakati. Seperti hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah
(hubungan vertikal) dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga
sekolah dengan sesamanya, dan hubungan mereka dengan lingkungan dan alam
sekitarnya.
b. Dalam Tataran Praktik Keseharian
Nilai-nilai keagamaan yang disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap
dan prilaku keseharian oleh warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat
dilakukan dengan Tiga cara, (1) Sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati
sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah.
(3) penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahanan dan langkah
sistematis yang akan dilakukan oleh semua warga disekolah dalam melaksanakan
nilai-nialai agama yang telah disepakati tersebut. (3) Pemberian hukuman dan
penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan,
dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung
sikap dan prilaku komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang
disepakati.
c. Dalam Tataran Simbol Budaya
Pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya
yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya
yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah model
berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik,
foto-foto dan moto yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai keagamaan dan lain-
lain.
Selanjutnya, kepala sekolah dan guru perlu membuat sebuah standar pelaksanaan dan
tahapan penerapan budaya religius di sekolah. Sehingga keberhasilan pengembangan
budaya religius bisa dievaluasi. Menurut Muhaimin, agar pendidikan agama Islam di
sekolah dapat membentuk peserta didik yang memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia,
Untuk mencapai hal itu, harus menyentuh Tiga aspek: (1) knowing, yakni agar peserta
didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar
peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3) being, yakni agar
peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama.16 Ini
tentunya tidak hanya mengandalkan pada proses belajar-mengajar di dalam atau di luar
kelas yang hanya dua jam pelajaran. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku dan

16
Amiyah and Subiyantoro.

9
mentalitas being religious melalui pembudayaan agama dalam komunitas sekolah,
keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para peserta didiktinggal dan berinteraksi.17
C. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Budaya Agama
1. Kompetensi dan Karakteristik Guru Pendidikan Agama Islam
Secara etimologis, kata kompetensi berasal dari kata kompeten, yang diartikan
dengan “berhak”, berkuasa atau berwenang. Sedang kompetensi diartikan sebagai suatu
hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Kompetensi merupakan kemampuan dasar
yang harus dimiliki oleh guru sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara baik
sesuai dengan profesi yang dimilikinya. Lebih lanjut dalam menjalankan kewenangan
profesionalnya, guru dituntut untuk memiliki keanekaragaman kecakapan
(competencies) yang bersifat psikologis, yang meliputi: Kompetensi kognitif (ranah
cipta), Kompetensi afektif (ranah rasa), dan Kompetensi psikomotor (ranah karsa).
Selanjutnya jenis-jenis kompetensi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, bagi
seorang guru tak terkecuali guru agama Islam adalah meliputi; Bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang berjiwa
pancasila, dan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang dipersyaratkan bagi jabatan
guru.18
Sementara itu, kompetensi guru agama yang dikembangkan oleh Muhaimin dan
Abdul Mudjieb meliputi kategori berikut ini, yaitu: (1) penguasaan materi al-Islam yang
komprehensif serta wawasan dan bahan penghayatan, terutama pada bidang yang
menjadi tugasnya; (2) penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik)
pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya; (3) penguasaan ilmu dan
wawasan kependidikan; (4) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian
pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam; (5)
memiliki kepekaan informasi secara langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.
Sedangkan menurut Hadari Nawawi, bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
pendidik yang sebenarnya, jika di dalam dirinya terkandung beberapa aspek yang
diidentifikasi sebagai kompetensi, yaitu meliputi: (1) Berwibawa. Kewibawaan
merupakan sikap dan penampilan yang dapat menimbulkan rasa segan dan hormat,
sehingga peserta didik merasa memperoleh pengayoman dan perlindungan, yang bukan
berdasarkan tekanan, ancaman, ataupun sanksi melainkan atas kesadarannya sendiri. (2)

17
Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religious Di Sekolah.”
18
Priatna Sanusi. Hary, “Peran Guru PAI Dalam Pengembangan Nuansa Religius Di Sekolah,” Pendidikan Agama
Islam 11, no. 2 (2013): 143–52.

10
Memiliki sikap tulus ikhlas dan pengabdian sikap tulus ikhlas tampil dari hati yang rela
berkorban untuk anak didik, yang diwarnai juga dengan kejujuran, keterbukaan dan
kesabaran. (3) Teladan. Keteladanan guru memegang peranan penting dalam proses
pendidikan, karena guru adalah orang pertama sesudah orang tua yang mempengaruhi
pembinaan kepribadian seseorang. Karena itu seorang guru yang baik senantiasa akan
memberikan yang baik pula kepada anak didiknya.
Selain memiliki kompetensi, Mahmud Junus yang dikutip oleh Ahmad Tafsir
mengungkapkan sifat-sifat guru Pendidikan Agama Islam yang baik, yaitu: (1). Kasih
sayang pada murid (2). Senang memberikan nasehat (3). Senang memberikan
peringatan (4). Bersifat penyabar dan rela berkorban, (5). Bijak dalam memilih bahan
pelajaran yang sesuai dengan lingkungan murid (6). Hormat pada pelajaran lain yang
bukan menjadi pegangannya (7). Bijak dalam memilih bahan pelajaran yang sesuai
dengan taraf kecerdasan murid (8). Mementingkan berpikir dan berijtihad (9). Jujur
dalam keilmuan, (10). Adil. (11). Menguasai mata pelajaran yang menjadi
pegangannya, dan (12). Bersikap baik kepada masyarakat
2. Upaya Pengembangan Budaya Agama oleh Guru Pendidikan Agama Islam
Guru pendidikan agama Islam dalam konteks pengembangan kompetensi peserta
didik sangat bersentuhan dengan materi dan kompetensi akhlak mulia. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan yang berupaya untuk mentransfer, membentuk, dan
menginternalisasi nilai-nilai religius mempunyai tanggung jawab dalam pembentukan
akhlak mulia peserta didik. Dalam hal ini, guru Pendidikan agama Islam dapat
mengembangkan upaya-upaya sebagai berikut:19
a. Menebarkan ucapan salam. Pada kegiatan ini, guru dapat senantiasa mengucapkan
salam kepada anak didiknya di sekolah, mengucapkan salam ketika akan membuka
atau menutup pelajarannya; dan menyapa guru lainnya dengan ucapan salam
terlebih dahulu.
b. Melaksanakan shalat berjamaah di sekolah. Guru dapat membiasakan shalat
berjamaah di sekolah bersama anak didiknya, memberikan contoh keteladanan
kepada anak didiknya untuk shalat berjamaah di sekolah, dan melaksanakan shalat
berjamaah di sekolah dengan tepat waktu.
c. Pengajian dan baca tulis al-Qur’an. Pada kegiatan ini upaya guru pendidikan agama
Islam adalah bertadarus al-Qur’an di sekolah dalam rangka menumbuhkan suasana
religius di sekolahnya, senantiasa mengajak anak didiknya untuk belajar membaca

19
Hary.

11
dan memahami al-Qur’an, dan berupaya menghidupkan kegiatan pengajian atau
ceramah keagamaan
d. Kegiatan Praktek Ibadah. Pada kegiatan ini, guru pendidikan agama Islam berupaya
melaksanakan kegiatan praktek ibadah shalat di sekolah, mengingatkan anak
didiknya untuk mempraktekkan kehidupan keagamaan di sekolah, dan memberikan
keteladanan dalam mempraktekkan amaliyah ibadah kepada anak didiknya.
e. Kegiatan silaturahim di kalangan peserta didikdan guru. Pada kegiatan ini, guru
berupaya untuk mengajak peserta didikuntuk bersama-sama menjenguk peserta
didikyang sedang sakit, menjalin keakraban dengan anak didiknya dan guru yang
lainnya, dan menaruh sikap hormat terhadap sesama dan menyayangi anak
didiknya.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah, bertujuan untuk


menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh peserta didik dari hasil pembelajaran,
agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku peserta didik sehari-hari dalam
lingkungan sekolah atau masyarakat. Budaya agama di sekolah adalah sekumpulan nilai-
nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
di praktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas, dan tenaga kependidikan lainnya, siswa,
atau warga sekolah pada umumnya.

Untuk mencapai keberhasilan penjamin pengembangan budaya agama di sekolah adalah


perlunya dukungan secara berkelanjutan, baik melalui peraturan-peraturan pemerintah pusat
hingga daerah, maupun melalui sokongan finansial guna memenuhi sarana prasarana, dan
tidak kalah penting yaitu komitmen dari pelaksana penggerak pengembangan budaya
agama disekolah untuk memberikan tauladan yang baik agar dicontoh oleh peserta didik.
Adapun strategi yang dapat dilaksanakan yaitu dengan mementingkan Tiga fokus utama,
yaitu; (1) melalui tataran nilai, yang menghubungkan kesatuan tujuan antara manusia
dengan Tuhannya, sesamanya dan alam semesta, (2) tataran perilaku keseharian dan (3)
dalam simbol-simbol yang dipraktikan secara ritual maupun kebiasaan.

Selanjutnya guru Pendidikan agama Islam dapat melaksanakan pengembangan budaya


agama di sekolah melalui beberapa hal yang perlu di penuhi, seperti kompetensi sebagai
guru pendidikan agama Islam, memahami karakteristik dan sifat sebagai seorang guru
agama Islam sekaligus perilakunya tercermin dalam kehidupan sehari-hari disekolah seperti
menebarkan salam, melaksanakan sholat jamaah, melakukan pengajian, praktik ibadah dan
saling bersilaturahim.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amiyah, F, and H Subiyantoro. “Membangun Budaya Religius Siswa Melalui Kegiatan Sekolah
Di Lingkungan SMA Sunan Ampel.” Jurnal Ilmu Ilmu Sosial 17, no. 2 (2020): 346–57.

Besuki, MI Sunan Kalijogo Karang. “Pengamalan Budaya Agama (Religious Cultur) Di Sekolah
Umum,” n.d. https://misunankalijogo.blogspot.com/2008/03/pengamalan-budaya-agama-
religious.html.

Daring, KBBI. “Budaya,” n.d. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/budaya.

Fuadi, Moh. “Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Budaya Agama Di MTs N
01 Ogan Ilir.” Raudhah Proud To Be Professionals : Jurnal Tarbiyah Islamiyah 3, no. 1
(2018): 1–18. https://doi.org/10.48094/raudhah.v3i1.19.

Hary, Priatna Sanusi. “Peran Guru PAI Dalam Pengembangan Nuansa Religius Di Sekolah.”
Pendidikan Agama Islam 11, no. 2 (2013): 143–52.

Kemenag, Qur’an. “Surah Ar-Rūm [30]; 30,” n.d. https://quran.kemenag.go.id/surah/30/30.

M. Jadid Khadavi. “Pengembangan Budaya Religius Dalam Komunitas Sekolah.” Journal of


Chemical Information and Modeling 1, no. 9 (2016): 1689–99.

Permendiknas No. 22/2006, n.d.

Permendiknas No. 23/2006, n.d.

Prasetya, Benny. “Pengembangan Budaya Religius Di Sekolah.” Edukasi 02, no. 01 (2014): 100–
112.

Siswanto, Heru. “Pentingnya Pengembangan Budaya Religious Di Sekolah.” Madinah: Jurnal


Studi Islam 6, no. 1 (2019): 51 – 62–51 – 62. http://ejournal.iai-
tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/312.

Uszaman, Kamil. “Pengetahuan: Penjamin Pengembangan Budaya Agama Di Sekolah


SMP/SMU/SMK,” n.d. http://kamiluszaman.blogspot.com/2017/07/penjamin-
pengembangan-budaya-agama-di.html.

“UU. No. 20/2003 Tentang Sidiknas,” n.d.

14

Anda mungkin juga menyukai