Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMBELAJARAN PAI DI SEKOLAH


(Pengembangan Pembudayaan Nilai-nilai Agama di Sekolah, Teori dan
Implementasi Penerapan Nilai-nilai Religius di Sekolah)

DOSEN PEMBIMBING :

Aiman Fikri, S.Pd.I.,M.Pd.

DI SUSUN OLEH :

NAMA : Evi Zizalin


NIM : 201419062

JURUSAN : S1 Pendidikan Agama Islam (NR)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RAHMANIYAH STAIR SEKAYU

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam  yang atas karunia
dan  nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada Baginda Rasulillah Muhammad  SAW yang selau kita harapkan
syafaatnya kelak di yaumil kiyamah.
            Makalah yang saya susun ini bertemakan Pengembangan Pembudayaan Nilai-nilai
Agama di Sekolah, Teori dan Implementasi Penerapan Nilai-nilai Religius di Sekolah pada mata
kuliah Pembelajaran PAI di Sekolah. Dengan rujukan dari berbagai sumber dan bantuan dari
teman-teman lain akhirnya makalah ini  berhasil saya susun meskipun jauh dari kata sempurna.
Ahirnya, dengan segala kerendahan hati saya berharap kritikan dan saran dari pembaca
dan semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi semua khususnya saya sendiri

Sekayu, Oktober 2022

Evi Zizalin
NIM. 201419062

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................i

Daftar Isi..............................................................................................................................ii

1. Pendahuluan................................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
2. Pembahasan.................................................................................................................
A. Pendidikan Agama sebagai Sub system Pendidikan Nasional................................3
B. Pendidikan agama dan Wajar Dinas........................................................................5
C. Pembentukan Karakter Bangsa................................................................................8
D. Madrasah Pembangun..............................................................................................12
E. Madrasah Kejuruan..................................................................................................13
F. Kebijakan responsive dan Antipatif........................................................................14
G. Deskripsi Teori........................................................................................................16
1. Implementasi Pembelajaran...............................................................................16
2. Penanaman Nilai................................................................................................17
3. Nilai-nilai Religius............................................................................................19

4. Penutup.........................................................................................................................20

Daftar Pustaka...................................................................................................................... 22

ii
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang
berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun diri sendiri dan masyarakat.
Proses pembudayaan dan pemberdayaan berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses
tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan,
serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan
adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma
pembelajaran. Paradigma pengajaran lebih menitikberatkan peran pendidik dalam
mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma
pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan
potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memeliki estetika,
sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirnya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika
kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang, maka pemahaman tentang
kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertain dan pemahaman
terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang
juga kurang proporsional. Memahami manusia bukan pekerjaan yang mudah. Perbincangan
tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan
peradaban yang tak pernah usai. Karena pemahaman manusia yang terus berkembang maka
pendidikan itu sendiri harus dinamis.
Proses pendidikan harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek
perkembangan manusia. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan
manusia berkembang kearah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini
dipandang sebagai suatu upaya untuk menjadi manusia menjadi apa yang bias diperbuat dan
bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman
tentang hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya,
kemungkinannnya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan
terjadi dalam diri manusia.

1
Pendidikan bila di tinjau dari konteks kebudayaan, maka pendidikan dimaknai sebagai
proses pembudayaan peserta didik. Budaya itu sendiri merupakan buah keadaban manusia.
Selanjutnya melalui proses pendidikan, peserta didik dituntun menjadi manusia yang makin
beradab dan berahlak. Adalah keliru apabila peserta didik yang diberi pendidikan justru menjadi
manusia yang tidak beradab dan tidak berakhlak. Maka, melalui pendidikan agama dan budaya
Islami yang ada di madrasah-madrasah kiranya menjadikan peserta didik berilmu serta beradab
dan berakhlak.
Melalui makalah ini, penulis membahas mengenai pendidikan agama sebagai upaya
pembudayaan dan pemberdayaan dilihat dari sudut pandang dari tatanan sistem, kebijakan
hingga terhadap penerapannya di lapangan melalui lembaga-lembaga madrasah.

2
2. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan merupakan suatu usaha terencana yang
dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok tentu saja dalam proses pelaksanaannya
diperlukan adanya landasan yang menjiwai usaha-usaha pendidikan itu sendiri, yang bentuk dan
sifatnya sangat tergantung pada nilai-nilai dan falsafah yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa
yang bersangkutan.
Demikian halnya di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara telah ditetapkan tiga hal
pokok yang mendasari setiap usaha dan kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan yaitu Pancasila
sebagai landasan ideal, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional dan GBHN
sebagai landasan operasional yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur dan kehendak
yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, Pendidikan Agama dalam hal ini khususnya Pendidikan Agama Islam
yang merupakan sub bagian dari sistem Pendidikan Nasional tentu saja disamping didasarkan
pada Al-qur’an dan Hadits sebagai sumber dan materi Pendidikan Agama Islam itu sendiri, juga
pada norma yang melandasi dan menjiwai Pendidikan Nasional tersebut.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia nampak secara jelas
urgensi dan kedudukan Pendidikan Agama Islam diantara jenis pendidikan yang lain. Hal ini
tergambar dalam uraian sebagai berikut :
UUD 1945, pasal 29 :
Ayat 1 yang berbunyi :
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
Ayat 2 berbunyi :
“Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut menurut agama dan kepercayannya itu.”
Pada pasal UUD 1945 di atas tersurat secara gamblang akan jaminan kepada setiap warga
negara RI untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama yang dianutnya serta
kegiatan yang dapat menunjang bagi pelaksanaan ibadah. Dengan demikian Pendidikan Aagama
Islam yang searah bahkan menunjang pelaksanaan ibadah yang diyakininya, diizinkan dan
dijamin oleh negara.

3
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Di dalam GBHN tahun 1992-2000 pada bagian agama nomor 2 dinyatakan, sebagai berikut :

“Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan melalui penyempurnaan sistem pendidikan


agama sehingga lebih terpadu dan integral dengan sistim pendidikan nasional dengan
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai”.

Hal di atas menggambarkan dengan jelas tentang kedudukan dan perhatian pemerintah
terhadap pendidikan agama, termasuk Pendidikan Agama Islam. Bila dibandingkan dengan
GBHN sebelumnya, maka dalam GBHN ini memberikan penekanan lebih jelas dan tegas
terhadap eksistensi dan pembinaan pendidikan agama. Undang-Undang Sisdiknas no. 20 Tahun
2003 Tentang Pendidikan Nasional Dalam pasal 55 ayat 1 tentang pendidikan nasional
disebutkan bahwa :
“Diatur mengenai hak masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan pendidikan non formal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat”.
Selanjutnya dalam pasal 30 ayat 1 disebutkan :
“Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Pendidikan Agama Islam memiliki kekuatan
dan kedudukan yang sangat strategis dalam kerangka sistem yuridis formal di negara Republik
Indonesia. Selain itu, tergambar betapa pentingnya Pendidikan Agama Islam sebagai suatu
bagian dari usaha pembimbingan dan pemberdayaan sumber daya insani harus memiliki tujuan
yang jelas, terutama usaha pendidikan agama yang diselenggarakan oleh institusi-institusi
pendidikan formal.
Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah merupakan penjabaran dari bunyi Undang-
Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional tentang sistem pendidikan
nasional, Bab II pasal 4 yaitu: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan

4
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Dengan tercantumnya kata-kata beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama
berperan langsung dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional karena keimanan dan
ketaqwaan hanya dapat dicapai secara sempurna melalui pendidikan agama. Karena itu
pendidikan agama, termasuk Pendidikan Agama Islam, mempunyai kedudukan yang sangat
strategis dalam mencapai tujuan dan keberhasilan pendidikan nasional.
Jadi Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kualitas keberagamaan serta
kemampuan beradaptasi dengan masyarakat bangsa dan bernegara. Di bawah tujuan kurikulum
terdapat pula tujuan intruksional yang merupakan tujuan yang pencapaiannya dibebankan pada
satuan unit program pengajaran suatu bidang studi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam pada
dasarnya tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Islam.

B. Pendidikan Agama dan Wajar Diknas


Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis pemerintah untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan
pembangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan
nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain
itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan yang
dijangkaukan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga
negara.Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.Hal ini sejiwa
dengan Hasil Konferensi Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand,
Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari 155 negara tersebut menegaskan
bahwa “pendidikan merupakan hak bagi semua orang dan juga dapat membantu secara
meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan
lingkungan”.

5
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk semua tersebut, deklarasi pendidikan untuk semua di
Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengembangan pendidikan dasar, adalah pendidikan
semesta (Universal Education).Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan
untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara untuk
memperoleh pendidikan dasar.
Sejalan dengan isi deklarasi tersebut, awalnya Program Wajib Belajar di Indonesia
dimaknai sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga negara
untuk mengikuti pendidikan sampai dengan tingkat pendidikan tertentu.
Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional secara keseluruhan, Program Wajib Belajar
merupakan salah satu bentuk kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia.Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut
juga mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah
pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia tersebut, sistem pendidikan nasional harus dapat memberikan pendidikan dasar bagi
setiap warga negara agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan
kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.Oleh karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk dilaksanakan
sehubungan dengan tuntutan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah
satu aset dan potensi utama pembangunan nasional.
Menyadari betapa besar dan penting peran pendidikan dalam peningkatan dan
pengembangan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan
pencanangan dan pemberlakuan Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap
awal Pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya
merupakan prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat
membaca, menulis, dan berhitung.
Program Wajib Belajar 6 Tahun yang dicanangkan Pemerintah pada PELITA III tersebut
telah memberikan dampak positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pada percepatan
pemenuhan kualitas dasar manusia Indonesia. Salah satu hasil yang paling mencolok dirasakan,
bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun tersebut telah mampu menghantarkan Angka Partisipasi
(Murni) Sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara

6
dan juga dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah
melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan
anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk
SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu mengantarkan
manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal.
Kompetensi Pendidikan Dasar yang dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat
dalam Pasal 13 UU No. 2/1989 yaitu kemampuan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi
(pendidikan menengah). Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar
yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development
Research Center, meliputi:
1. kemampuan berkomunikasi 
2. kemampuan dasar berhitung 
3. pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan sejarah 
4. pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bidang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga,
dan memperbaiki kondisi kerja 
5. kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat, memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara, bersikap dan
berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku bacaan, dan siaran radio.
Program wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua”
(universal basic education), juga sejalan dengan Piagam PBBtentang Hak Asasi Manusia,
tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Di samping itu, menurut May, wajib belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi
pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9
tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang
ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan
dasar dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).

7
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka
kemiskinan.Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka
Bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa
yang unggul pada kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi pengembangan jenjang pendidikan
lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan
perkembangan zaman dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan
masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun maupun 9 tahun secara umum bertujuan
untuk: 1) memberikan kesempatan setiap warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang
sederajat, 2) setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya
mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap
warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara,
dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.
Selanjutnya, berkaitan dengan hal di atas Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, merupakan pegangan hukum yang kuat dalam
menerapakan wajib belajar, seperti dijelaskan sebagai berikut:
Meningkatkan persentase peserta didik sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/pendidikan yang
sederajat terhadap penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi murni (APM)
sekurangkurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2008;
Meningkatkan persentase peserta didik sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah/pendidikan yang sederajat terhadap penduduk usia 13-15 tahun atau angka partisipasi
kasar (APK) sekurang-kurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2008.

C. Pembentukan Karakter Bangsa


Era globalisasi ini telah mendorong banyak perubahan di negara-negara dunia termasuk
dalam ranah pendidikan negara tersebut. Pendidikan memegang peranan penting bagi semua
aktor (negara, masyarakat sipil, kelompok bisnis) dan memegang peranan penting pada segala

8
jaman.Persoalannya adalah, pendidikan saat ini didesain untuk kepentingan siapa? Apakah aktor-
aktor pendidikan yang memiliki kepentingan dan logika sendiri-sendiri saling mengunci/non-
kolaboratif atau bersifat kolaboratif? Inilah salah satu pertanyaan dan tantangan besar bagi
pendidikan di Indonesia.
Ranah pendidikan selama ini banyak berfokus pada kapabilitas negara untuk
menyelenggarakan pendidikan. Padahal disisi lain, kapabilitas negara tidak begitu kuat dalam
menyelenggarakan pendidikan. Kita dapat melihat bagaimana masih banyaknya sekolah rusak
(infrastruktur), masih banyaknya anak muda yang tidak sekolah hingga kapasitas guru yang tidak
memadai.
Disisi lain, dunia bisnis semakin kuat menjadikan anak muda sebagai bagian dari kelas
konsumsi mereka, apabila anak muda cukup cerdas maka dia akan ditarik untuk memperkuat
bangun kepentingan bisnis. Organisasi masyarakat sipil tidak tinggal diam dengan tetap
menyelenggarakan pendidikan melalui dunia pesantren, seminari, hingga pendidikan alternatif.
Namun sayangnya organisasi masyarakat sipil ini sedikit mendapatkan perhatian dari pemerintah
dalam menyelamatkan generasi muda.
Generasi muda secara tidak sadar terhimpit oleh banyak kepentingan didalam dunia
pendidikan. Sayangnya mereka hanya menjadi obyek desain pendidikan yang ada sekarang ini.
Dominasi kepentingan bisnis didalam pengelolaan pendidikan telah masuk pada ranah negara
dan masyarakat sipil melalui standarisasi yang menjadi nafas globalisme. Akibatnya karakter
manusia Indonesia yang terbentuk adalah market minded. Karakter yang terbentuk ini tidak
sesuai dengan agenda bangsa/nasional karena tidak ada keterikatan dengan masyarkat dan
cenderung profit oriented.
Kita harus mengembalikan pendidikan kedalam kerangka nasional/negara. Hubungan
yang harus dibangun adalah hubungan antara negara dan warga negara. Logika dan kekuasaan
kepentingan bisnis saat ini sangat berbahaya disebabkan oleh karakter dari kekuatan modal yang
tidak mengenal batas teritorial negara. Akibatnya kepentingan bisnis tidak memiliki tanggung
jawab moral apapun terhadap negara dan masyarakat. Sifat modal yang berpindah-pindah harus
kita waspadai dan sudah saatnya kita kembali mengatakan dan berikhtiar bahwa pendidikan
bukan sektor yang diperjual belikan dan menjadi salah satu amanah berdirinya Negara Republik
Indonesia yang tercantum dalam preambule.

9
Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai Tri Pusat pendidikan sangat bagus namun ada
tantangan serius terhadap konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut, yakni perkembangan teknologi
dan arus informasi yang cukup pesat. Perkembangan teknologi informasi ini telah masuk ke
ranah domestik/keluarga hingga individu. Situasi ini berbeda dengan pada masa Ki Hadjar
Dewantara dahulu.
Saat ini masyarakat dan keluarga tidak lagi menjadi institusi yang kuat, padahal melalui
keluarga dan masyarakat inilah landasan moral dan karakter diletakkan. Hal ini seiring juga
dengan melemahnya peranan ibu dalam mendidik meski secara insting, seorang ibu memiliki
naluri mendidik anaknya. Tidak jarang peran ibu yang mendidik dan meletakkan fondasi moral
dan karakter digantikan oleh pembantu rumah tangga dalam keluarga modern.
Untuk keluar dari jerat industrialisasi pendidikan, maka diperlukan sinergi antara negara
dan masyarakat sipil. Sinergi strategis ini menekankan bahwa persoalan pendidikan bukan hanya
ada pada ranah negara yang juga pada saat ini terbatas kemampuannya. Akan tetapi ranah
pendidikan juga merupakan wilayah dari masyarakat sipil yang menghadapi problema kehidupan
sehari-hari. Kolaborasi keduanya akan menjadi counter terhadap penguasaan pendidikan oleh
kepentingan bisnis.
Hal yang tidak kalah penting dari sinergi negara-masyarakat dalam membangun
pendidikan adalah pembangunan strategi pendidikan dan strategi kebudayaan. Tidak ada bentuk
perkembangan pendidikan yang keluar dari akar budaya peradabannya, oleh karena itu budaya
merupakan bagian yang melekat dengan pendidikan itu sendiri.
Pada dasarnya kebudayaan seharusnya tumbuh secara natural. Namun sejarah Indonesia
mencatat bahwa pembangunan peradaban di Indonesia tidak pernah tuntas. Pembangunan
kebudayaan dapat dilakukan dengan memperkuat ketahanan masyarakat dan membuka ruang
bagi ekspresi-ekspresi budaya dalam interaksi sosial masyarakat. Untuk membangun ini, maka
logika industri pendidikan harus dihilangkan karena hal ini mengasingkan manusia dari
kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan menjadi pionir dari pembentukan peradaban yang kemudian menjadi dasar
dari moralitas. Oleh karena itu perlu untuk dibangun ruang-ruang sosial untuk pengembangan
budaya. Dengan kata lain, pembangunan sudah seharusnya tidak terpaku pada pembangunan
ekonomi an sich tapi juga mengembangkan pembangunan menggunakan pendekatan budaya.
Barangkali pendekatan budaya ini dapat memberikan ruang bagi pembangunan perabadan

10
Indonesia melalui terbukanya ruang interaksi sosial. Mengingat tantangan globalisasi akan
budaya sangat nyata, yakni mensubsitusi budaya lokal dengan budaya global sehingga
masyarakat menjadi masyarakat global/beridentitas global.
Kembali ke penjabaran awal pembahasan ini, dominasi dari kepentingan bisnis dalam
dunia pendidikan telah melahirkan keterjarakan antara siswa didik dengan realitas
masyarakatnya. Hal ini disebabkan pendidikan mendesain siswa didik menjadi market minded.
Sekolah menjadi tempat pendidikan yang mudah dikuasai karena memiliki dasar
pengaturan,karakter yang dibangunpun adalah karakter cari untung karena pendidikan didesain
untuk membangun kompetensi mencari uang.
Berkaitan dengan hal di atas, membangun karakter sangat diperlukan dalam memaknai
kehidupan merdeka yang telah dicapai oleh bangsa kita atas karunia Tuhan. Pembentukan
karakter adalah proses membangun dari bahan mentah menjadi cetakan yang sesuai dengan bakat
masing-masing. Pendidikan adalah proses pembangunan karakter. Pembangunan karakter
merupakan proses membentuk karakter, dari yang kurang baik menjadi lebih baik, tergantung
pada bekal masing-masing. Mau dibawa kemana karakter tersebut dan mau dibentuk seperti apa
nantinya, tergantung pada potensinya dan juga tergantung pada peluangnya.
Pembangunan dan pendidikan karakter sebenarnya telah dibatasi (kontradiktif) dengan
pendidikan mahal dan komersil atau kapatalisme pendidikan. Bangsa adalah kumpulan manusia
individual, karakter bangsa dicerminkan oleh karakter manusia-manusia yang ada di dalam
bangsa tersebut. Sebuah bangsa lahir mirip dengan seorang manusia lahir. Seorang bayi lahir dari
perjuangan keras seorang ibu. Pembangunan karakter bangsa juga demikian, dimana
pembangunan karakter bangsa berkaitan dengan sejarah dimasa lalu yang memberikan syarat-
syarat material yang memunculkan persepsi masyarakat terhadap kondisinya tersebut,
dipengaruhi oleh kejadian konkret di masa kini.
Pembangunan karakter diperlukan untuk menumbuhkan watak bangsa yang bisa dikenali
secara jelas, yang membedakan diri dengan bangsa lainnya, dan ini diperlukan untuk
menghadapi situasi zaman yang terus berkembang. Pembangunan karakter menjadi penting
karena situasi kehidupan tertentu dan konteks keadaan tertentu membutuhkan karakter yang
sesuai untuk menjawab keadaan yang ada tersebut. Misalnya, bangsa yang masih rendah
teknologinya memerlukan karakter yang produktif dan kreatif dari generasi bangsanya, tempat
berpikir ilmiah menjadi titik tekan karena hal itulah yang sangat dibutuhkan untuk menjawab

11
tuntutan sehingga tidak ketergantungan yang menciptakan manusia yang market minded.
Pembangunan karakter yang keras harus dilakukan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Jangan sampai titik tekan pembangunan karakter tersebut justru menjadi tidak cocok
dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah yang ada. Pembanguna karakter itulah yang
kemudian dapat dilakukan oleh pendidikan karena didalamnya proses sosial mengarahkan
generasi yang dilakukan.

H. Madrasah Pembangunan
Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah
sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah
ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan
kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang
sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau
sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah
Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan
bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem
pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan
dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran
siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat
kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan
apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
harus berbicara dalam bahasa Inggris. Seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah
Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya
adalah beberapa contoh diantaranya.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak
diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya
memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya
juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang,
Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era
globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas

12
keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para
siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh
madrasah. Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang
mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan
madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa
berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau
kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga
kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus
dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa
yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas
misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di
madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi
madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa
akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam.
Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional. Dengan adanya pendidikan
keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu
merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga
tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak
kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.

I. Madrasah Kejuruan
Sudah menjadi wacana umum bahwa pemerintah tengah menggalakkan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Promosi besar-besaran dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
mensukseskan program ini, baik melalui media massa maupun berbagai kesempatan penting
lainnya. Anggaran untuk SMK ditingkatkan. Bahkan Menteri Pendidikan menargetkan rasio
perbandingan antara SMK dan SMU adalah 70 banding 30 sampai tahun 2015 nanti. Out put
SMK dianggap lebih siap untuk bersaing dalam dunia kerja dibandingkan dengan SMU.
Kurikulum SMK didesain sedemikian rupa untuk siap bekerja setelah lulus, tanpa harus
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan SMU (termasuk Madrasah

13
Aliyah Umum), kurikulumnya disiapkan untuk peserta didik yang akan melanjutkan studinya ke
jenjang perguruan tinggi.
Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Kejuruan, pengalihan SMK dengan
perbandingan 70 : 30 ini diantaranya untuk mempersiapkan tenaga-tenaga siap terampil di
Indonesia dalam menghadapi APEC tahun 2020. Sampai pada tahun 2008, perbandingan SMK:
SMA telah mencapai 61 : 39 %, naik cukup signifikan dibanding dengan tahun 2003, yakni 30 :
70 %. Di Jawa Timur, gaung pendirian dan pengembangan SMK ini disambut luar biasa oleh
dinas terkait. Kepala Dispendik Jatim, Suwanto bahkan menargetkan di setiap kecamatan harus
berdiri satu SMK, yang berarti di Jatim saja akan tumbuh sekitar 650 SMK.
Lalu bagaimana dengan sekolah SMU yang ada saat ini? Akankah dimerger, dikonversi
atau bahkan ditutup? Pembahasan ini tidak akan berspekulasi untuk mencari jawaban pertanyaan
itu, akan tetapi ingin mencoba untuk mempertanyakan diri tentang bagaimana masa depan
Madrasah Aliyah yang merupakan bagian dari SMU. Sampai sejauh ini, Departemen Agama
sebagai steakholder pendidikan MA, belum tampak serius dalam menanggapi gencarnya wacana
pengembangan SMK ini. Bahkan masih tampak mempermudah pendirian MA Umum. Untuk itu
dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menggambarkan kebutuhan dan kemungkinannya
adanya MA Kejuruan.

J. Kebijakan Responsif dan Antisipatif


Dalam menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan, perlu adanya
pengembangan kebijakan yang bersifat responsif, antisipatif dan futuristik. Dengan kebijakan ini,
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kekinian dan masa mendatang dan berguna sebagai
perbaikan fungsi dan peran pendidikan kedepan, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan
yang dihadapi sebagai petunjuk jalan bagi transformasi dunia pendidikan dan kebudayaan.
Perlu di soroti bersama bahwa, dalam menjawab tantangan ke depan, pendidikan
kejuruan dirasa lebih dapat diandalkan. Melalui pendidikan kejuruan ini dan ditambah dengan
adanya kebijakan yang responsif dan antisipatif tersebut, pendidikan kejuruan harus mempunyai
ciri berupa kepekaan (responsif) atau daya saing terhadap perkembangan masyarakat pada
umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Perkembangan ilmu dan teknologi, inovasi dan
penemuan-penemuan baru di bidang produksi dan jasa, besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pendidikan kejuruan. Untuk itulah pendidikan kejuruan harus bersifat responsif

14
dan proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan upaya lebih menekankan
kepada sifat adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi prospek karir peserta didik dalam
jangka panjang.
Selain pendidikan kejuruan, dalam hal ini madrasah ikut andil dalam mengembangkan
pendidikan kejuruan tersebut. Madrasah harus responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Artinya, Madrasah harus mampu juga mengantisipasi setiap kejadian yang ada di Madrasah
terutama menyangkut mutu pendidikan kejuruan. Madrasah tidak pasif melainkan anatisipatif
mencari ke madrasah-madrasah lain atau ke lembaga-lembaga pendidikan kejuruan terhadap
perkembangan yang terjadi, dengan kata lain menjemput bola demi kemajuan madrasah.
Dalam memajukan madrasah di Indonesia, pada saat sekarang ini pemerintah telah
memberikan keleluasaan kebijakan melalui otonomi pendidikan dengan model MBS/M. Model
MBS/M di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah
(MPMBS/M). MPMBS/M dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada madrasah, fleksibilitas kepada madrasah, dan mendorong partisipasi secara
langsung warga madrasah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu madrasah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS
merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi madrasah adalah kewenangan madrasah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional
yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga madrasah
di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan madrasah. Sehingga diharapkan madrasah akan
menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif,
dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya,
memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan
prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

15
K. Deskripsi Teori
1. Implementasi pembelajaran
Implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan atau
penerapan. Artinya yang dilaksanakan atau diterapkan adalah kurikulum yang telah dirancang
atau didesain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya.
Begitu penting penerapan (implementasi) pembelajaran bagi anak didik dalam kehidupannya
agar proses pembelajaran bisa berjalan dengan lancar, efektif, dan efisien. maka Kegiatan
pembelajaran tidak lain adalah untuk menanamkan sejumlah norma ke dalam jiwa anak didik.
Semua norma yang diyakini mengandung kebaikan perlu ditanamkan ke dalam jiwa anak didik
melalui peranan guru dalam pembelajaran. Interaksi antara guru dan anak didik terjadi karena
saling membutuhkan.
Kata pembelajaran merupakan perpaduan dua aktivitas belajar dan mengajar. Aktivitas
belajar secara metodologis cenderung lebih dominan pada siswa, sementara mengajar secara
instruksional dilakukan oleh guru. Jadi, istilah pembelajaran adalah ringkasan dari kata belajar
dan mengajar. Dengan kata lain, pembelajaran adalah penyederhanaan dari kata belajar dan
mengajar (BM), proses belajar mengajar (PBM), atau kegiatan belajar mengajar(KBM).
Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata “ajar”, yang berarti
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui. Kata pembelajaran yang semula
diambil dari kata “ajar” ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pembelajaran”,
diartikan sebagai proses, perbuatan, cara mengajar, atau mengajarkan sehingga anak didik mau
belajar. Menurut Oemar Hamilik, pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi
unsur-unsur manusiawi, internal material fasilitas perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Mulyasa, pembelajaran pada
hakekatnya adalah interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi
perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
Sedangkan adalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pedidikan nasional pasal 1 ayat 20 disebutkan bahwa “ pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkup belajar.
Menutut pengertian ini, pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar
terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan tabiat, serta

16
pembentukan sikap dan keyakinan pada peserta didik. Bisa disimpulkan bahwasanya pengertian
dari pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

2. Penanaman nilai
Penanaman berasal dari kata tanam. Penanaman adalah proses, cara, perbuatan menanam,
menanami atau menanamkan. Dalam hal ini, penanaman berarti sebuah upaya atau strategi untuk
menanamkan sesuatu.
Bagaimana usaha seorang guru menanamkan nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai-nilai
akhlak. Penanaman merupakan tahap ditanamkanya nilai-nilai kebaikan agar menjadi suatu
kebiasaan. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilainilai karakter pada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia kamil.
Adapun pengertin nilai itu sendiri, diantaranya: Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai
berarti sifatsifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.Dalam pengertian yang
lain Nilai mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Maksudnya kwalitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.
Nilai berasal dari bahasa latin vale‟re yang mempunyai arti berguna, mampu, dan berdaya,
sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling benar
menurut keyakinan seseorang. Nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi yang dapat
menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut
pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang erat antara nilai dan etika. Target
pendidikan nilai moral secara sosial ialah membangun kesadaran interpersonal yang mendalam.
Peserta didik dibimbing untuk mampu menjalin hubungan sosial secara harmonis dengan orang lain
melalui sikap dan perilaku yang baik.
Menurut Milton Rokeach dan James Bank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam
lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai
sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Nilai akan selalu berhubungan dengan kebaiakan,
kebijaksanaan dan keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi serta
dikejar oleh seseorang. Menurut Raths, et al yang dikutip dari Sutarjo Adisusilo nilai adalah :
a. Nilai memberi tujuan atau arah (goals or purposes).

17
b. Nilai member aspirasi (aspirations) atau inspirasi kepada seseorang untuk hal yang berguna dan
positif bagi kehidupan.
c. Nilai mengarahkan seseorang untuk bertingkah laku (attitudes), atau bersikap sesuai dengan
moralitas masyarakat, jadi nilai memberi pedoman bagaimana seharusnya seseorang harus
bertingkah laku.
d. Nilai itu menarik (interests), memikat hati seseorang untuk berfikir, untuk direnungkan,
untuk dimiliki, untuk diperjuangkan dan untuk dihayati.
e. Nilai mengusik perasaan (feelings), hati seseorang ketika sedang mengalami berbagai
perasaan, atau suasana hati, separti: senang, sedih, tertekan, bergembira, bersemangan dan
lain sebagainya.
f. Nilai terkait dengan keyakinan atau kepercayaan (beliefs and convictions) seseorang.
g. Suatu nilai menuntut akan adanya aktivitas (activities) perbuatan tertentu sesuai dengan nilai
tersebut. Jadi nilai tidak berhenti pada pemikiran, tetapi mendorong atau menimbulkan niat
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan nilai tersebut.
h. Nilai muncul dalam kesadaran, hati nurani atau pikiran seseorang ketika bersangkutan dalam
situasi kebingungan, mengalami kebingungan, mengalami dilema atau menghadapi berbagai
persoalan hidup (worries, problems, obstacles).
Sedangkan menurut Prof. Notonegoro, nilai spiritual/rohani yaitu suatu hal yang berguna
untuk kebutuhan rohani. Nilainilai tersebut dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Nilai Religius
merupakan nilai yang berisi filsafat-filsafat hidup yang diyakini kebenarannya. Misalnya
nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci.
b. Nilai estetika
Merupakan nilai keindahan yang bersumber dari unsure rasa manusia. Misalnya kesenian
daerah atau penghayatan sebuah lagu.
c. Nilai moral
Merupakan nilai untuk mengenal baik buruknya suatu perbuatan. Misalnya kebiasaan
merokok pada anak sekolah.
d. Nilai kebenaran/empiris Merupakan nilai yang bersumber dari proses berfikir menggunakan
akal dan sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi (logika/rasio), misalnya ilmu pengetahuan
bahwa bumi berbentuk bulat.

18
3. Nilai-nilai religius
a. Pengertian religius
Religius berasal dari kata religi atau sama dengan agama. Perkataan religi berasal dari
bahasa latin yang tersusun dari dua kata yaitu “re” berarti “kembali” dan “ligere” berarti “terkait
atau terikat”. Maksudnya adalah bahwa manusia dalam hidupnya tidak bebas menurut
kemauannya sendiri, tetapi harus menurut ketentuan hokum karena perlu adanya hokum yang
mengikatnya. Kemudian perkataan religi berkembang ke seluruh penjuru Benua Eropa dengan
lafal yang berbeda, seperti religie (Belanda), religion, dan religious, (Inggris) dan sebagainya.
Pengertian agama atau religi secara terminologis menurut pendapat para ahli adalah:
1. Emile Durkheim mengartikan suatu kesatuan system kepercayaan dan pengalaman terhadap
suatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu
komunitas moral.
2. John R. Bennet mengartikan penerimaan atas tata aturan terhadap kekuatan-kekuatan yang
lebih tinggi daripada kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh manusia sendiri.
3. Frans Dahler mengartikan hubungan manusia dengan sesuatu kekuatan suci yang lebih
tinggi daripada manusia itu sendiri, sehingga ia berusaha mendekatinya dan memiliki rasa
ketergantungan kepadanya.
4. Ulama Islam mengartikan sebagai undang-undang kebutuhan manusia dari Tuhannya yang
mendorong mereka untuk berusaha agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari beberapa pengertian agama atau religi di atas, dapat disimpulkan bahwa agama
merupakan satu sistem tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di
luar manusia, dan satu sistem tata peribadatan manusia kepada yang dianggapnya mutlak serta
sistem tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan
manusia dengan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) dinyatakan bahwa religius berarti: bersifat
religi atau keagamaan, atau yang bersangkut paut dengan religi (keagamaan). Penciptaan
suasana religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks
pendidikan agama islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi berarti penciptaan suasana
kehidupan keagamaan islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup

19
yang bernafaskan atau dijawi oleh ajaran dan nilai-nilai agama islam, yang diwujudkan dalam
sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah atau akademik di
perguruan tinggi.

3. PENUTUP

Pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika


kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang, maka pemahaman tentang
kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertain dan pemahaman
terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang
juga kurang proporsional. Memahami manusia bukan pekerjaan yang mudah. Perbincangan
tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan
peradaban yang tak pernah usai. Karena pemahaman manusia yang terus berkembang maka
pendidikan itu sendiri harus dinamis.
Berkaitan dengan hal di atas, pendidikan agama berperan langsung dalam usaha
pencapaian tujuan pendidikan nasional, karena sesuai dengan bunyi Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional tentang sistem pendidikan nasional, Bab II
pasal 4 yaitu: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Karena keimanan dan ketaqwaan hanya dapat
dicapai secara sempurna melalui pendidikan agama. Oleh sebab itu, pendidikan agama termasuk
Pendidikan Agama Islam, mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam mencapai tujuan
dan keberhasilan pendidikan nasional.
Namun, kedudukan Pendidikan Islam tersebut baru muncul pada segi lingkup sejauh
mana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada pendidikan Islam dalam pengertian
agama secara murni, atau pendidikan Islam dalam pengertian sistem yang mengajarkan berbagai
aspek kehidupan yang berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat
menentukan pola dan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.

20
Kita tahu bahwa image yang ada tentang madrasah cenderung mengarah ke sesuatu yang
bersifat agamis saja, berbeda dengan Sekolah Umum yang masyhur dengan sainsnya. Semua itu
bisa kita rubah dengantetap mempertahankan dasar madrasah sebagai wadah pendidikan
pembudayaan dan pemberdayaan yang bersifat agamis, tanpa mengenyampingkan ilmu
pengetahuan umum atau dalam hal ini adalah sains dan keterampilan.

Dalam menjawab tantangan tersebut, maka diciptakanlah sebuah madrasah pembangunan dan
madrasah kejuruan yang dapat dapat memenuhi kebutuhan kekinian dan masa mendatang dan
berguna sebagai perbaikan fungsi dan peran pendidikan kedepan, sehingga mampu menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi sebagai petunjuk jalan bagi transformasi dunia pendidikan dan
kebudayaan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut.
Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan
Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan
memberikan pengetahuan – misalnya bahasa asing – kepada para siswanya dan desain kurikulum
pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah. Akan tetapi, justru
madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas
madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat
diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra
kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis,
musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola,
basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.

21
Daftar Pustaka

Abdullah Mustofa. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1999.
David Atchoarena dan Francoise Caillods. Pendidikan Untuk Abad XXI.UNESCO: Unesco
Publishing, 1998.
H.A.R. Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
IDRC, World Literacy.1989.
M. May. Pekerja Anak dan Perencanaan.AusAID, 1998.
Prayitno. Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak. Padang: Jurusan BK FI P UNP, 2000.
The World Bank Annual Report. Washington DC: 1991.
Tim Penulis, Panduan Siswa Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Renstra Kemendiknas 2010-2014.
UU no 4 tahun 1950
UU NO. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan.

22

Anda mungkin juga menyukai