Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PADA ERA GLOBALISASI”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : DR. H. Djenal Suhara

Oleh :
ARIEF SURYA ZULKIFLI
PAI 4C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Peran Pendidikan Agama Islam Pada Era Globalisasi” dengan tujuan
untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Pembelajaran PAI MA/SMA.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. H. Djaenal Suhara
selaku dosen mata kuliah Pembelajaran PAI MA/SMA yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi
bagi masyarakat atau mahasiswa/i dan bisa bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan kita tentang Pembelajaran PAI
MA/SMA.

Bandung, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................2
C. Tujuan... ............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam ................................................................3
B. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam .........................................4
C. Fungsi Pendidikan Agama Islam ......................................................................5
D. Tujuan Pendidikan Agama Islam ......................................................................6
E. Karakteristik Pendidikan Agama Islam ............................................................7
F. Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Anak (Peserta Didik) ....................8
G. Tantangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Globalisasi ..........................10
H. Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan Agama Islam ...............................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................................17
B. Saran................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia masih terus dihadapkan pada krisis multidimensional.
Dari hasil berbagai kajian disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan
pandangan bahwa segala macam krisis itu berpangkal dari krisis akhlak atau moral.
Krisis ini, secara langsung atau tidak, berhubungan dengan pendidikan. Kontribusi
pendidikan dalam konteks ini adalah pada pembangunan mentalitas manusia yang
merupakan produknya, dan sementara pihak menyebutkan bahwa krisis tersebut
karena kegagalan pendidikan agama, termasuk di dalamnya pendidikan agama
Islam. Untuk mengantisipasi berbagai krisis tersebut, maka pembelajaran agama
Islam di sekolah maupun Perguruan Tinggi harus menunjukkan kontribusinya.
Hanya saja perlu disadari bahwa selama ini terdapat berbagai kritik terhadap
pelaksanaan pendidikan agama Islam yang sedang berlangsung. Muchtar Buchori
(1992) dalam Muhaimin (2005: 23) menilai pendidikan agama masih gagal.
Kegagalan ini terjadi karena dalam praktiknya pendidikan agama hanya
memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai
agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni
kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Dengan perkataan
lain, pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, dan kurang
berorientasi pada belajar bagaimana cara beragama yang benar. Akibatnya, terjadi
kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam
kehidupan nilai agama. Dalam praktik, pendidikan agama berubah menjadi
pengajaran agama sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral,
padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral (Harun Nasution,
1995: 428).
Islam adalah syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia di muka
bumi agar mereka beribadah kepada-Nya. Penanaman keyakinan terhadap Tuhan
hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan baik di rumah, sekolah maupun
lingkungan. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai

1
makhluk pedagogis manusia dilahirkan dengan membawa potensi dapat dididik dan
mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, serta pendukung dan
pernegang kebudayaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah
ini diantaranya:
a. Apa pengertian Pendidikan Agama Islam?
b. Apa dasar-dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam?
c. Apa fungsi Pendidikan Agama Islam?
d. Apa tujuan Pendidikan Agama Islam?
e. Apa karakteristik Pendidikan Agama Islam?
f. Bagaimana pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi anak (peserta didik)?
g. Bagaimana tantangan Pendidikan Agama Islam dalam era globalisasi?
h. Bagaimana peran serta masyarakat dalam Pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Agama Islam.
b. Untuk mengetahui dasar-dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam.
c. Untuk mengetahui fungsi Pendidikan Agama Islam.
d. Untuk mengetahui tujuan Pendidikan Agama Islam.
e. Untuk mengetahui karakteristik Pendidikan Agama Islam.
f. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi anak (peserta
didik).
g. Untuk mengetahui tantangan Pendidikan Agama Islam dalam era
globalisasi.
h. Untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam Pendidikan Agama Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam


Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama
Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Al-Hadis, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Disertai dengan
tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa (Kurikulum PAI).
Menurut Zakiyah Daradjat (1987:87), Pendidikan Agama Islam adalah
suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami kandungan ajaran Islam secars menyeluruh, menghayati makna tujuan,
yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan
hidup.
Azizy (2002) mengemukakan bahwa esensi pendidikan, yaitu adanya proses
transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi
muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu, ketika kita menyebut
pendidikan Islam, maka akan mencakup dua hal, (a) mendidik siswa untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (b) mendidik siswa-siswi
untuk mempelajari materi ajaran Islam-subjek berupa pengetahuan tentang ajaran
Islam.
Jadi, Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan
pendidik dalam mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan
yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3
B. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah mempunyai dasar yang
kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. (1983:21) dapat ditinjau dari berbagai
segi, yaitu sebagai berikut:
1. Dasar Yuridis/Hukum
Dasar yuridis, yakni dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari
perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan
dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar
yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam.
a. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama:
Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD'45 dalam Bab XI pasal 29
ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas
KetuhananYang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu.
c. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/ MPR/1973/
yang kemudian dikukuhkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo.
Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No.
II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum
sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi.
2. Dasar Religius
Dasar religius adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut
ajaran Islam pendidikan agama adalah perintah dari Tuhan dan merupakan
perwujudan ibadah kepada-Nya. Dalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang
menunjukkan perintah tersebut, antara lain:
a. Q.S. Al-Nahl ayat 125: "Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik.......”
b. Q.S. Ali-Imran ayat 104: "Dan hendaklah di antara kamu ada

4
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang makruf, dan mencegah dari yang munkar...."
c. Al-Hadis: "Sampaikanlah ajaran kepada orang lain walaupun hanya
sedikit." Aspek Psikologis
3. Aspek Psikologis
Psikologis, yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan
kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya,
manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat
dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak
tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Sebagaimana
dikemukakan oleh Zuhairini dkk (1983:25) bahwa: Semua manusia di dunia
ini selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama.
Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang
mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan
tempat mereka memohon pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada
masyarakat yang masih primitif maupun masyarakat yang sudah modern.
Mereka merasa tenang dan tenteram hatinya kalau mereka dapat mendekat
dan mengabdi kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang dan
tenteram adalah dengan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Ar-Ra'd ayat 28, yaitu: "... Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

C. Fungsi Pendidikan Agama Islam


Pendidikan Agama Islam untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai
berikut.
1. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik
kepada Allah Swt. yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
3. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah

5
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-
kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,
pemahaman, dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau
dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat
perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya
6. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata
dan nirnyata), sistem dan fungsionalnya.
7. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara
optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang
lain.
Feisal (1999) berpendapat bahwa terdapat beberapa pendekatan yang
digunakan dalam memainkan fungsi agama Islam di sekolah.
1. Pendekatan nilai universal (makro), yaitu suatu program yang dijabarkan
dalam kurikulum.
2. Pendekatan Meso, artinya pendekatan program pendidikan yang memiliki
kurikulum, sehingga dapat memberikan informasi dan kompetisi pada anak.
3. Pendekatan Ekso, artinya pendekatan program pendidikan yang
memberikan kemampuan kebijakan pada anak untuk membudidayakan nilai
agama Islam.
4. Pendekatan makro, artinya pendekatan program pendidikan yang
memberikan kemampuan kecukupan keterampilan seseorang sebagai
profesional yang mampu mengemukakan ilmu teori, informasi, yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari (Puskur. 2002).

D. Tujuan Pendidikan Agama Islam


Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal

6
keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kurikulum PAI: 2002).
Tujuan pendidikan agama Islam di atas merupakan turunan dari tujuan
pendidikan nasional, suatu rumusan dalam UUSPN (UU No. 20 tahun 2003),
berbunyi: "Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kalau tujuan pendidikan nasional sudah terumuskan dengan baik, maka
fokus berikutnya adalah cara menyampaikan atau bahkan menanamkan nilai,
pengetahuan, dan keterampilan. Cara seperti ini meliputi penyampaian atau guru,
penerima atau peserta didik, berbagai macam sarana dan prasarana, kelembagaan
dan faktor lainnya, termasuk kepala sekolah/madrasah, masyarakat terlebih orang
tua dan sebagainya.
Oleh karena itu, berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun
tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan
melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam
rangka menuai keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang
kemudian akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.

E. Karakteristik Pendidikan Agama Islam


Visi PAI di sekolah umum adalah terbentuknya sosok anak didik yang
memiliki karakter, watak, dan kepribadian dengan landasan iman dan ketakwaan
serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kukuh, yang tecermin dalam
keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari, untuk selanjutnya memberi corak bagi
pembentukan watak bangsa. Sedangkan misi PAI, Djamas (2000; 7) menyebutkan
sebagai berikut.
1. Melaksanakan pendidikan agama sebagai bagian integral dari keseluruhan
proses pendidikan di sekolah.
2. Menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah dengan mengintegrasikan
aspek pengajaran, pengamalan serta aspek pengalaman bahwa kegiatan
belajar mengajar di depan kelas diikuti dengan pembiasaan pengamalan

7
ibadah bersama di sekolah, kunjungan dan memperhatikan lingkungan
sekitar serta penerapan nilai dan norma akhlak dalam perilaku sehari-hari.
3. Melakukan upaya bersama antara guru agama dan kepala sekolah serta
seluruh unsur pendukung pendidikan di sekolah untuk mewujudkan budaya
sekolah (school culture) yang dijiwai oleh suasana dan disiplin keagamaan
yang tinggi yang tecermin dari aktualisasi nilai dan norma keagamaan
dalam keseluruhan interaksi antarunsur pendidikan di sekolah dan di luar
sekolah.
4. Melakukan penguatan posisi dan peran guru agama di sekolah secara terus-
menerus baik sebagai pendidik maupun sebagai pembimbing dan penasihat,
komunikator, serta penggerak bagi terciptanya suasana dan disiplin
keagamaan di sekolah.
Ditilik dari tujuan, visi, dan misi PAI tersebut di atas, tampak bahwa secara
implisit PAI memang lebih diarahkan ke "dalam" yakni peningkatan pengetahuan
dan keterampilan dalam melaksanakan praktik atau ritual ajaran agama, sedangkan
yang berkaitan dengan penyiapan peserta didik memasuki kehidupan sosial,
terutama dalam kaitan dengan realitas kemajemukan beragama kurang mendapat
perhatian. Hal tersebut makin tampak jelas dari beberapa indikator yang menjadi
karakteristik PAI, sebagaimana disebut Nasih (2006,15) sebagai berikut.
1. PAI mempunyai dua sisi kandungan, yakni sisi keyakinan dan sisi
pengetahuan.
2. PAI bersifat doktrinal, memihak, dan tidak netral.
3. PAI merupakan pembentukan akhlak yang menekankan pada pembentukan
hati nurani dan penanaman sifat-sifat ilahiah yang jelas dan pasti
4. PA bersifat fungsional.
5. PAI diarahkan untuk menyempurnakan bekal keagamaan peserta didik.
6. PAI diberikan secara komprehensif.

F. Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Anak (Peserta Didik)


Setiap orang tua berkeinginan mempunyai anak yang berkepribadian baik,
atau setiap orang tua bercita-cita mempunyai anak yang saleh, yang senantiasa
membawa harum nama orang tuanya, karena anak yang baik merupakan

8
kebanggaan orang tua, baik buruknya kelakuan akan memengaruhi nama baik orang
tuanya. Juga anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya merupakan amal
baik bagi orang tua yang akan mengalir terus menerus pahalanya walaupun orang
itu sudah meninggal dunia, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
Artinya: "Jikalau manusia itu sudah meninggal dunia, maka putuslah semua
amalnya, kecuali tiga macam: yaitu Shadaqah jariyah (yang mengalir
kemanfaatannya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang saleh (yang baik
kelakuannya) yang senantiasa mendoakan orang tuanya (untuk keselamatan dan
kebahagiaan orang tuanya)."
Untuk mencapai hal yang diinginkan itu dapat diusahakan melalui
pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, maupun
pendidikan di masyarakat. Jadi, pendidikan agama Islam adalah ikhtiar manusia
dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah
agama si anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran
agama.
Lapangan pendidikan agama Islam menurut Hasbi Ash-Shidiqi meliputi
hal-hal berikut ini:
1. Tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya
menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat
merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya.
2. Tarbiyah aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang
akibatnya mencerdaskan akal menajamkan otak semisal ilmu berhitung
3. Tarbiyah adabiyah, yaitu segala rupa praktik maupun berupa teori yang
wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai.
4. Tarbiyah adabiyah atau pendidikan budi pekerti/akhlak dalam ajaran Islam
merupakan salah satu ajaran pokok yang harus diajarkan agar umatnya
memiliki/melaksanakan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. Bahkan tugas utama Rasulullah Muhammad Saw. diutus
ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya:
Artinya: "Aku diutus (oleh Tuhan) untuk menyempurnakan akhlak budi
pekerti yang mulia" (Hadis Ahmad).

9
Pendidikan Islam sangat penting sebab dengan pendidikan Islam, orang tua
atau guru berusaha secara sadar memimpin dan mendidik anak diarahkan pada
perkembangan jasmani dan rohani sehingga mampu membentuk kepribadian yang
utama sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil sebab
pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk
pendidikan selanjutnya. Sebagaimana menurut pendapat Zakiyah Daradjat (tt:48)
bahwa: "Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman,
dan latihan yang dilaluinya sejak kecil".
Jadi, perkembangan agama pada seseorang sangat ditentukan oleh
pendidikan dan pengalaman hidup sejak kecil; baik dalam keluarga, sekolah,
maupun dalam lingkungan masyarakat terutama pada masa pertumbuhan.
Perkembangan agama pada anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil
dalam keluarga, di sekolah, dan lingkungan masyarakat".
Oleh sebab itu, seyogianyalah pendidikan agama Islam ditanamkan dalam
pribadi anak sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian hendaklah
dilanjutkan pembinaan pendidikan ini di sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak
sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pendidikan agama Islam perlu diajarkan sebaik-baiknya dengan memakai
metode dan alat yang tepat serta manajemen yang baik. Bila pendidikan agama
Islam di sekolah dilaksanakan dengan sebaik baiknya, maka insya Allah akan
banyak membantu mewujudkan harapan setiap orang tua, yaitu memiliki anak yang
beriman, bertakwa kepada Allah Swt., berbudi luhur, cerdas, dan terampil, berguna
untuk nusa, bangsa, dan agama (anak yang saleh).
Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama Islam dalam mewujudkan
harapan setiap orang tua dan masyarakat, serta untuk membantu terwujudnya tujuan
pendidikan nasional, maka pendidikan agama Islam harus diberikan dan
dilaksanakan di sekolah dengan sebaik baiknya

G. Tantangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Globalisasi


Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi
dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan

10
nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat
agama. Oleh karena itu, respons-respons konstruktif dari kalangan pemikir dan
aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur
seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-
norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun
demikian, penting untuk dicatat, bahwa "pertemuan" (encounter) masyarakat
agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang
konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk
kesan bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di
pinggiran.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam
atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan
perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa
perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran
intelektual teoretis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses
penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi, tetapi
yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan
pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating
force) dari impitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan
ekonomi.
Dalam makalahnya, Nining menjelaskan tentang peran masyarakat dalam
meningkatkan pendidikan agama terhadap berbagai persoalan yang saat ini tengah
dihadapi pendidikan agama, di antara persoalan persoalan tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Krisis Moral-Akhlak
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita,
tentunya penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan
dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan
kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi
kemerosotan akhlak yang sudah parah itu. Pendidikan agama merupakan
pendidikan nilai. Pendidikan nilai apa pun tidak mudah menanamkannya ke
dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang memengaruhinya, baik

11
faktor penunjang maupun faktor penghambat.
Perlu diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya
dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama
di sekolah yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak
bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis
ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya
krisis ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur,
dan lain-lain.
2. Disorientasi Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga yang dikenal sebagai tempat pendidikan utama dan
pertama, tampaknya saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi
dalam setiap lini kehidupan. Fungsi keluarga yang semula menjadi
basecamp pendidikan pertama bagi anggota keluarga (anak, ibu, dan bapak),
saat ini mulai bergeser ke luar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah
dan masyarakat.
Ibu yang sering disebut sebagai "madrosatul ula" saat ini sudah banyak yang
bekerja atau berprofesi di luar rumah sehingga pada gilirannya anggota
keluarga, terutama anak-anak sering menjadi korban, kurang terperhatikan,
terutama dalam kebutuhan psikologisnya, tingkat kedekatan, dan kasih
sayangnya. Akhirnya mereka banyak yang sering melampiaskan
kegiatannya di luar rumah, dan terjerumus ke jurang kenistaan dan
kehinaan.
3. Lemahnya Learning Society
Seiring dengan era globalisasi, sikap individualitas semakin menguat dan
gaya interaksi antarindividu tersebut sangat fungsional. Hal tersebut telah
berakibat pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di
lingkungan keluarga. Learning society secara praktik sudah dilakukan oleh
masyarakat Indonesia-meskipun belum secara maksimal-secara konsep
masih meraba-raba. Dalam batasan ini, yang dimaksud dengan learning
society adalah pemberdayaan peran masyarakat dalam keluarga dalam
bidang pendidikan, termasuk pendidikan agama. Selama ini peran

12
pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang baru mendapatkan perhatian.
Sementara pendidikan nonformal dan informal di Indonesia belum
mendapatkan perhatian, hanya dalam porsi yang sedikit.
4. Menguatnya Paham Sekuler dan Liberal
Di antara tantangan yang cukup serius, yang dihadapi pendidikan agama
adalah menguatnya paham sekuler dan liberal. Kedua paham tersebut tak
jarang masyarakat. Sekularisme atau (U) adalah sebuah gerakan yang
menyeru ke kehidupan. duniawi tanpa campur tangan agama. Ini berarti
bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar pada
sekularisme. Sementara Liberalisme adalah paham kebebasan dalam
memahami syari'at, yaitu dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad
yang menekankan aspek kontekstualitas historis, rasio sehingga hukum
Islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian. Padahal agama Islam yang
merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai agama yang universal
dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan), mempunyai pandangan
yang serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah dalam setiap
persoalan (manhaj al-wustho).
5. Masih Kuatnya Manajemen Patriarki
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering
kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur
pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-
kerabat, misalnya dari unsur ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus,
kepala sekolah, bahkan guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini
dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi
kelembagaan pendidikan yang ada. Hal tersebut sudah barang tentu akan
mengganggu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut,
sehingga dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit
dipertanggungjawabkan.

H. Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Agama Islam


Berdasarkan tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 tersebut di atas, maka bentuk bentuk peranan masyarakat dalam

13
meningkatkan pendidikan agama adalah sebagai berikut.
1. Revitalisasi dan Reorientasi Pendidikan Agama di dalam Keluarga
Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki
peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan
agama. Tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan agama
terhadap anggota keluarga akan memberi dampak yang paling nyata dalam
peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri teladan yang baik
dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam proses
pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan pribadi yang
sempurna (berkepribadian Islami). Di tengah-tengah terjadinya disfungsi
keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama, adalah peranan
nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan fungsinya sebagai
"madrosatul ula". Fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat
penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak, yang merupakan
lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan, Pemberian Bahan, dan Sarana Pendidikan Agama dan
Keagamaan
Salah satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan
pendidikan agama dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan
pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa terutama pendidikan
formal bercorak keislaman yang berada di bawah naungan Kementerian
Agama RI, seperti RA, MI, MTS, MA atau sejenisnya masih cukup
memprihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di bawah
naungan kemendiknas RI. Rata rata pembiayaan satuan pendidikan agama
(unit cost) tersebut, hanya 38% yang ditanggung pemerintah, selebihnya
(62%) masih ditanggung anggota masyarakat (orang tua). Peran serta
masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk penambahan bangunan
madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid Madrasah,
dan sarana penunjang lainnya.
3. Penguatan Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah masjid,
musala, langgar, dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW memiliki

14
masjid atau musala, yang secara umum mempunyai jamaah masing-masing
(yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam konteks ini, masjid telah
berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan
keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang
agama telah berdiri di masjid selama berabad-abad sampai sekarang.
Namun, di era teknologi informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony
hampir seluruh lapisan kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, musala,
dan langgar pada saat ini berkurang. Jutaan mata masyarakat muslim yang
biasa belajar agama selepas salat Magrib sambil menunggu salat Isya.
Sekarang telah beralih di depan televisi, menonton sinetron dan atau jalan-
jalan ke mall.
Dalam kondisi seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam
mengembalikan kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning
society melalui pengajian-pengajian di musala, masjid, langgar, dan lain-
lain, menjadi sangat penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif, dan
kreatif. Selain itu, untuk meminimalisasi distorsi pemahaman agama
masyarakat, dapat dipelopori juga gerakan televisi dan internet sehat, dan
lain-lain.
4. Berpartisipasi Aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas
pendidikan agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite
Sekolah/Madrasah sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang pendidikan
agama.
5. Mendorong dan Mendukung Semua Program Pendidikan Agama di
Madrasah/Sekolah
Peran serta masyarakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat
dilakukan dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan
sekolah/madrasah yang terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik
melalui program kurikuler, misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus

15
jam pelajaran agama (Membaca Al-Quran setiap hari pada awal
pembelajaran, seperti di Al-Azhar dan Islamic Fullday School, atau
beberapa sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana Muslim di
sekolah umum, dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler,
seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Duha, dan Pesantren Kilat.
6. Mendirikan dan Mengembangkan Lembaga Pendidikan Agama yang
Berbasis Mutu
Diakui atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih
dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan
sekolah-sekolah umum lainnya. Hal inilah yang menjadi keprihatinan para
pengamat pendidikan Islam. Salah satu peran serta aktif masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan
mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu.
7. Penguatan Manajemen Pendidikan Agama
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/ keagamaan yang
mayoritas dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-
ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga,
dari mulai ketua Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah,
Guru, dan lainnya adalah mayoritas terdiri dari unsur keluarga, sehingga
yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan terkadang mengabaikan
mutu dan profesionalitas. Misalnya, yang banyak terjadi adalah antara
Kepala Madrasah/Sekolah dan Bendahara sekolah adalah suami istri,
gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah tersebut, dan
kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur
manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi
pencapaian program-progam sekolah yang ada, termasuk dalam bidang
pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur yang
ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta
masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga
pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya
tetap memperhatikan profesionalitas.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik
dalam mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan
yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendidikan Agama Islam berfungsi sebagai; Pengembangan, Penanaman
nilai, Penyesuaian mental, Perbaikan, Pencegahan, Pengajaran dan Penyaluran
keyakinan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Islam sangat penting sebab dengan pendidikan Islam, orang tua
atau guru berusaha secara sadar memimpin dan mendidik anak diarahkan pada
perkembangan jasmani dan rohani sehingga mampu membentuk kepribadian yang
utama sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam
atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan
perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa
perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran
intelektual teoretis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses
penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi, tetapi
yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan
pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating
force) dari impitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan
ekonomi.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat
banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan-
kekurangan yang ada dalam makalah ini untuk kedepannya.

17
Demikianlah makalah ini yang dapat kami susun. Jika ada hal yang tidak
berkenan di hati para pembaca kami memohon maaf yang sebesar- besarnya,
mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan manfaat khususnya untuk kami
sebagai penulis dan umumnya untuk kita semua.

18
DAFTAR PUSTAKA

Majid. Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2019.

19

Anda mungkin juga menyukai