Anda di halaman 1dari 23

PENDEKATAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI dan

MORAL di SD

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Konsep Dasar PKN SD
Yang dibina oleh Bapak Drs. Imam Nawawi, M.Si

Disusun oleh

Annas Budi Darmawan 160151601020


Ellyvia Rahmawati 160151601132
Ramadhani Aulia Santoso 160151601121
Rohmatul Fitria 160151601097

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
Februari 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah tentang Pendekatan PKN
Sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD ini dapat dengan baik terselesaikan
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada
Bapak Drs. Imam Nawawi, M.Si selaku Dosen pengampu mata kuliah Konsep
Dasar PKN SD yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, semoga Allah SWT,
membalas amal kebaikannya. Amin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Malang, Februari 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2

1.3 Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4

2.1 Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn SD ........................ 4

2.2 Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD ................ 6

2.3 PKn sebagai Mata Pelajaran yang Memiliki Misi Pendidikan Nilai
dan Moral ................................................................................................................ 7

2.4 Merancang dan Mengembangkan Nilai dalam Proses Pembelajaran


Pendidikan Kewarganegaraan untuk Semua Jenjang, Jalur, dan Jenis
Pendidikan............................................................................................................. 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 17

3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 17

3.2 Saran ............................................................................................................ 19

DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006


“Mata Pelajaran Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-
hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Dalam
konteks salah satu mata pelajaran di SD yaitu, Pendidikan Ilmu Sosial dan
Kewarganegaraan, yang merupakan mata pelajaran yang sarat dengan nilai sosial,
pendidikan nilai yang mencakup substansi dan proses pengembangan nilai
patriotisme yang sengaja dikemas untuk melahirkan individu sebagai warga negara
yang cerdas dan baik, rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, pendidikan moral secara formal-
kurikuler terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (Kurikulum 1994) atau Pendidikan Kewarganegaraan (UU RI
No 20 Thn 2003) dan Pendidikan Agama dan Bahasa. Ketiga mata pelajaran
tersebut berdiri sendiri namun ketiganya mengemban misi yang sama dalam hal
mengandung unsur pokok sebagai pendidikan nilai moral-sosial/etis (PKn), nilai
religius (Pendidikan Agama) dan nilai estetis dan etis (Bahasa). Dalam isi dan
prosesnya, masing-masing memiliki keunikan, pendidikan agama berisikan
pendidikan nilai yang menyangkut sikap, keyakinan dan perilaku dalam hubungan
manusia dengan Tuhan YME, hubungan manusia dengan manusia lain dan alam
semesta. Pendidikan kewarganegaraan berisikan pendidikan nilai yang menyangkut
sikap, keyakinan dan perilaku dalam hubungan manusia dengan negaranya,
masyarakatnya dan bangsanya. Pendidikan bahasa dan seni berisikan pendidikan
nilai yang menyangkut pemaknaan dan penghargaan terhadap harmoni (keindahan
dan keserasian) dalam hubungan alam dan semesta. Oleh karena itu, pendidikan
nilai di Indonesia bersifat tidak sekuler karena negara tidak melepaskan pendidikan

1
2

nilai keagamaan dari tanggungjawabnya. Dalam konteks itu maka pendidikan nilai
moral di Indonesia mencakup nilai moral keagamaan dan nilai moral sosial juga
nilai sosioestika.
Dengan berubahnya Pendidikan Kewaraganegaraan Negara (PKN) menjadi
Pendidikan Moral Pendidikan (PMP) Bbaik menurut Kurikulum tahun 1975/1976
maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture dalam
praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi
pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks pendidikan
cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada perubahan
kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya
paradigma civic Education yang melandasi dan memandu pengembangan
kurikulumnya.
Di SD PPKn bertujuan untuk menanamkan sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila baik sebagai
pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan
untuk mengikuti pendidikan di SLTP” (Depdikbud, 1993:1).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendidikan nilai dan moral dalam standar isi PKn SD?
2. Bagaimana pendekatan PKn sebagai pendidikan nilai dan moral di SD?
3. Bagaimana PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki misi pendidikan nilai
dan moral?
4. Bagaimana merancang dan mengembangkan nilai dalam proses
pembelajaran PKn untuk semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pendidikan nilai dan moral dalam standar
isi PKn SD.
2. Untuk mengetahui dan memahami pendekatan PKn sebagai pendidikan nilai
dan moral di SD.
3. Untuk mengetahui dan memahami PKn sebagai mata pelajaran yang
memiliki misi pendidikan nilai dan moral.
3

4. Untuk mengetahui dan memahami merancang dan mengembangkan nilai


dalam proses pembelajaran PKn untuk semua jenjang, jalur, dan jenis
pendidikan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn SD

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006


“Mata Pelajaran Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-
hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.”
Selanjutnya digariskan dengan tegas bahwa Pkn bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
2. Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, serta anti-korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Berpikir kritis adalah proses psikologis untuk memberikan penilaian
terhadap suatu objek atau fenomena dengan informasi yang akurat dan otentik.
Berpikir rasional, adalah proses psikologis untuk memahami sesuatu objek dengan
logika. Bertindak cerdas, adalah aktivitas nyata untuk melakukan sesuatu dengan
pertimbangan yang matang dan utuh. Hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain
adalah sikap dan cara hidup dengan individu yang berasal dari bangsa lain dengan
prinsip saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai.
Dalam ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk
pendidikan dasar dan menengah, menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 secara

4
5

umum meliputi substansi kurikuler yang di dalamnya mengandung nilai dan moral
sebagai berikut.
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Partisipasi dalam
pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata
tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem
hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
3. Hak Asasi Manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan,
Penghormatan dan perlindungan ham.
4. Kebutuhan warga Negara, meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai
warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan
warga Negara.
5. Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan kontitusi yang
pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan
dasar negara dengan konstitusi.
6. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daearah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem
politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem
pemerintahan, Pers dalam mastrakat demokrasi.
7. Pancasila, meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideology
negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, Pengamatan nilai-
nilai Pancasila dalam kehidupan shari-hari, Pancasila sebagai ideologgi
terbuka.
8. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan
organisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi, dan
Mengevaluasi globalisasi.
6

Khusus untuk SD/MI lingkup isi Pendidikan Kewarganegaraan dikemas


dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, yang secara sekuensial telah
terorganisasikan.

2.2 Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD

Untuk dapat memahami konsep pendidikan nilai secara teoritik, Hermann


(1972) mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar, yakni bahwa “… value
is neither taught nor caught, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai
tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam
arti ditangkap, diinternalisasi dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam
kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Adalah suatu kenyataan bahwa
proses belajar memang tidaklah terjadi dalam ruang bebas-budaya tetapi dalam
masyarakat yang syarat-budaya karena kita hidup dalam masyarakat yang
berkebudayaan. Oleh karena itu memang benar bahwa proses pendidikan pada
dasarnya merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi untuk menghasilkan
manusia yang berkeadaban dan berbudaya.
Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
berlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi.
Contohnya, petatah-petitih adat, tradisi lisan turun temurun, seperti dongeng,
nasihat, simbol-simbol, kesenian daerah seperti “kakawihan” di tatar Pasundan dan
“berbalas pantun” di tatar Melayu. Walaupun demikian patut dicatat bahwa dengan
begitu pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti siaran
radio dan tayangan televisi juga jaringan internet yang menyuguhkan aneka ragam
informasi secara global, yang malah menyingkirkan unsur-unsur tradisional seperti
dongeng dan sejenisnya. Di situlah pendidikan nilai menghadapi tantangan
konseptual, instrumental dan operasional.
Berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, proses “indigasi”, yakni
pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata pelajaran lain dengan
tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan sekitar siswa menjadi
sangat penting. Hasil belajar akan lebih bermakna sebagai wahana pengembangan
watak individu sebagai warganegara. Contohnya legenda dari seluruh penjuru tanah
air yang digunakan sebagai suatu stimulus dalam pembahasan suatu konsep nilai
7

atau moral. Dalam konteks Pendidikan Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan, yang
merupakan mata pelajaran yang sarat dengan nilai sosial, pendidikan nilai yang
mencakup substansi dan proses pengembangan nilai patriotisme yang sengaja
dikemas untuk melahirkan individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik,
rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia telah ditegaskan dalam Pasal
1 butir 1 UU Sidikan 20/2003, ditegaskan bahwa pendidikan adalah: … Usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut
dalam pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

2.3 PKn sebagai Mata Pelajaran yang Memiliki Misi Pendidikan Nilai dan
Moral

Dalam penjelasan pasal 37 UU RI No. 20 Thn 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional, secara khusus tidak menyebutkan mengenai pendidikan nilai,
namun secara implisit tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan, yang
secara substansif dan pedagogis yang mempunyai misi mengembangkan peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaaan dan rasa cinta tanah air.
Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang dalam Pasal 36 ayat
3 secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan, perkembangan IPTEK dan seni, keragaman potensi daerah dan
lingkungan juga peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. Namun
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, masih
banyak kita jumpai fenomena yang justru potensial memperlemah komitmen nilai
kebangsaan tersebut, seperti konflik sosial-kultural, etnosentrisme yang
8

mengemuka dalam pelaksanaan desentralisasi, polarisasi kehidupan politik dengan


sistem multi partai, demonstrasi yang cenderung brutal dan destruktif dan lain-lain.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kita perlu mengkaji apa yang tersurat dalam
UU RI No. 20 Thn 2003 tentang Sisdiknas yang dengan tegas menyatakan bahwa
“pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Proses
pembudayaan harus menuju ke arah kemajuan dalam adab dan budaya persatuan
Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika, dengan tetap mengakomodasikan unsur-
unsur yang dinilai baru, yang secara substansif bersumber dari kebudayaan asing.
Semua itu harus dilakukan dalam rangka mengembangkan atau memperkaya
kebudayaan asli serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Secara konseptual, pendidikan nilai merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena pada dasarnya tujuan akhir dari
pendidikan bagaimana tersurat dalam UU RI No. 20 Thn 2003 tentang Sisdiknas
(pasal 3) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung
jawab”. Pendidikan nilai secara substansif melekat dalam semua dimensi tujuan
tersebut yang memusatkan perhatian pada nilai aqidah keagamaan, nilai sosial
keberagaman, nilai kesehatan jasmani dan rohani, nilai keilmuan, nilai kreativitas,
nilai kemandirian dan nilai demokratis yang bertanggung jawab.
Pendidikan nilai memiliki dimensi pedagodis praktis yang jauh lebih
kompleks daripada dimensi teoritisnya karena terkait pada konteks sosial-kultural
dimana pendidikan nilai itu dilaksanakan. Seperti yang dikemukakan oleh Lickona
(1992, 12-22) di Amerika dirasakan telah terjadi penurunan kualitas moralita di
kalangan pemuda, termasuk yang juga terdidik. Dari hasil berbagai survey
dilaporkan sebagai berikut:
1. 41% mengendarai mobil dalam keadaan mabuk atau dalam pengaruh narkoba
2. 33 % menipu teman baiknya mengenai hal yang penting.
3. 38% berbohong dalam melaporkan pajak pendapatan.
4. 45% termasuk didalamnya 49% suami dan 44% istri berselingkuh.
9

Data tersebut menunjukkan bahwa di masyarakat Barat yang secara


ekonomi termasuk masyarakat modern berbasis industri terdapat berbagai
persoalan moral yang dirasakan perlu mendapat perhatian pendidikan nilai.
Melihat keadaan seperti itu, dirasakan perlunya upaya pendidikan nilai
moral yang dilakukan secara menyeluruh dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Pendidikan nilai merupakan suatu kebutuhan sosiokultural yang jelas dan
mendesak bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadaban.
2. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana
sosiopsikologis dan selalu menjadi tugas dari proses peradaban.
3. Peranan sekolah sebagai wahana psikopedagogis dan sosiopedagogis yang
berfungsi sebagai pendidik moral menjadi semakin penting.
4. Dalam setiap masyarakat terdapat landasan etika umum, yang bersifat universal
melintasi batas ruang dan waktu, sekalipun dalam masyarakat pluralistik yang
mengandung banyak potensi terjadinya konflik nilai.
5. Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan moral karena inti
dari demokrasi adalah pemerintahan yang berakar dari rakyat, dilakukan oleh
wakil pembawa amanah rakyat dan mengusung komitmen mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan rakyat.
6. Pertanyaan yang selalu dihadapi baik individu maupun masyarakat adalah
pertanyaan moral.
7. Terdapat dukungan yang mendasar dan luas bagi pendidikan nilai di sekolah.
8. Komitmen yang kuat terhadap pendidikan moral sangatlah essensial untuk
menarik dan membina guru-guru yang berkeadaban dan profesional.
9. Pendidikan nilai adalah pekerjaan yang dapat dan harus dilakukan sebagai suatu
keniscayaan kehidupan bermasyarakat, erbangsa dan bernegara.
Dilihat dari substansinya dan prosesnya, menurut Lickona (1992: 53-63)
yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai tersebut adalah nilai
karakter yang baik (good character) yang di dalamnya mengandung tiga dimensi
nilai moral sebagai berikut:
a. Dimensi Wawasan Moral (Moral Knowing)
1) Kesadaran moral (Moral awareness)
2) Wawasan nilai moral (knowing moral values)
10

2.1 Kemampuan mengambil pandangan orang lain (perspective taking)


2.2 Penalaran moral (Moral reasoning)
2.3 Mengambil keputusan (Decision making)
2.4 Pemahaman diri sendiri (Self knowledge)
3) Dimensi perasaan moral
3.1 Perasaan Moral
3.1.1 Kata hati atau nurani
3.1.2 Harapan diri sendiri
3.1.3 Merasakan diri orang lain
3.1.4 Cinta kebaikan
3.1.5 Kontrol diri
3.1.6 Merasakan diri sendiri
4) Dimensi perilaku moral
4.1 Kompetensi
4.2 Kemauan
4.3 Kebiasaan
Ketiga domain moralita tersebut satu dengan yang lainnya memiliki
keterkaitan substantif dan fungsional. Artinya bahwa wawasan, perasaan atau sikap
dan perilaku moral merupakan tiga hal yang secara psikologis bersinergi.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, pendidikan moral secara formal-
kurikuler terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (Kurikulum 1994) atau Pendidikan Kewarganegaraan (UU RI
No 20 Thn 2003) dan Pendidikan Agama dan Bahasa. Ketiga mata pelajaran
tersebut berdiri sendiri namun ketiganya mengemban misi yang sama dalam hal
mengandung unsur pokok sebagai pendidikan nilai moral-sosial/etis (PKn), nilai
religius (Pendidikan Agama) dan nilai estetis dan etis (Bahasa). Dalam isi dan
prosesnya, masing-masing memiliki keunikan, pendidikan agama berisikan
pendidikan nilai yang menyangkut sikap, keyakinan dan perilaku dalam hubungan
manusia dengan Tuhan YME, hubungan manusia dengan manusia lain dan alam
semesta. Pendidikan kewarganegaraan berisikan pendidikan nilai yang menyangkut
sikap, keyakinan dan perilaku dalam hubungan manusia dengan negaranya,
masyarakatnya dan bangsanya. Pendidikan bahasa dan seni berisikan pendidikan
11

nilai yang menyangkut pemaknaan dan penghargaan terhadap harmoni (keindahan


dan keserasian) dalam hubungan alam dan semesta. Oleh karena itu, pendidikan
nilai di Indonesia bersifat tidak sekuler karena negara tidak melepaskan pendidikan
nilai keagamaan dari tanggungjawabnya. Dalam konteks itu maka pendidikan nilai
moral di Indonesia mencakup nilai moral keagamaan dan nilai moral sosial juga
nilai sosioestika.
Secara historis, dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewarganegaraan
diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi
Pancasila. Mata pelajaran PMP saat itu merupakan mata pelajaran wajib untuk SD,
SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan yang terus dipertahankan baik istilah
maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan
dari kurikulum 1975. Kurikulum Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum PPKn 1994
mengorganisasikan materi pembelajarannya atas dasar konsep nilai yang
disaripatikan dari P4. Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan
jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam
setiap kelas. Sesuai dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN
Pendidikan Pancasila mencakup penddikan Pedoman Penghayatan dan
Pengalmalan Pancasila (P4), Pendidikam Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah
Perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan
jiwa, semangan dan nilai-nilai 1945 pada generasi muda.
Dengan berlakunya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi secara imperatif
wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
Menurut UU Sisdiknas tersebut pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana
pedagogis untuk mengembangkan rasa intuisi kebangsaan dan cinta tanah air atau
patriotisme serta nilai dan kebajikan demokratis (democratic virtues dan culture).
12

2.4 Merancang dan Mengembangkan Nilai dalam Proses Pembelajaran


Pendidikan Kewarganegaraan untuk Semua Jenjang, Jalur, dan Jenis
Pendidikan

Perlu diadakan pengkajian secara historis tentang perkembangan pemikiran


mengenai pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus
1945 sampai dengan tahun 1999 sebagai titik akhir abad ke 20.
Dalam tes Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditanda tangani oleh Soekarno
dan Hatta atas nama bangsa Indonesia, yang secara substantif merupakan the
highest political desicion bangsa Indonesia, pada kalimat pertama dengan tegas
dinyatakan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan
Indonesia”. Dengan proklamasi tersebut berarti akta pada saat itu memasuki
kehidupan bermasyarakat-bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Selanjutnya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di syahkan
oleh dan dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
tanggal 18 Agustus 1945, selain ditegaskan kembali tentang pertimbangan pokok
dan pernyataan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana tersurat dalam alenia
pertama, kedua, dan ketiga, juga dinyatakan tujuan dan dasar negara Indonesia ,
sebagaimana tertuang dalam alenia keempat. Dalam alenia tersebut dengan tegas
dinyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk “ ... melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan
sosial, ...”. jika dikaji dengan cemat, tujuan yang ketiga, yakni “... mencerdaskan
kehidupan bangsa”, secara tersirat mengandung arti bahwa kehidupan yang perlu
dibangun itu adalah kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang cerdas.
Lebih jauh ditegaskan dalam alinea tersebut, bahwa kehidupan masyarakat-
bangsa tersebut ditata dengan UUD 1945, dalam susunan negara Republik
Indonesia yang berkaudalatan rakyat. Di situ juga tersirat bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Lebih lanjut
ditegaskan bahwa yang menjadi dasar kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia
adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
13

permusyawaratan/perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh


rakyat Indonesia”. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang
hendak diwujudkan adalah masyarakat-bangsa yang cerdas, religius, adil dan
beradab, bersatu, demokratis, dan sejahtera. Karakteristik internal konseptual
masyarakat tersebut, pada dasarnya sangat koheren dengan konsep dan nilai
“masyarakat madani”.
Secara historis kita dapat melihat usulan yang diajukan oleh BP KNIP
tanggal 29 Desember 1945 )Djojonegoro, 1996:73) ditekankan bahwa : “untuk
menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan
pengajaran. Paham perseorangan yang pada saat itu berlaku haruslah diganti dengan
paham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran
harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa
tanggung jawab”. Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan tujuan pendidikan
“... untuk mendidik warga negara yang sejati dan bersedia menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara dan masyarakat”, dengan sifat-sifat sebagai berikut.
“perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; Perasaan cinta kepada alam;
perasaan cinta kepada negara; Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak;
Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; Perasaan berhak dan wajib ikut
memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuataannya; Keyakinan bahwa
orang menjadi bagian tak terpisah dari keluarga masyarakat; Keyakinan bahwa
orang yang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib; Keyakinan
bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota
masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang
teguh pada harga diri; dan Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara
yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.”
(Djojonegoro, 1996:75-76)
Di dalam kurikulum atau Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1947,
walaupun hakikat tujuan membentuk warga negara yang cerdas, demokratis, dan
religius itu sudah ditegaskan, ternyata tidak diwadahi oleh mata pelajaran khusus
dengan nama semacam kewarganegaraan, tapi tampaknya diwadahi oleh mata
pelajaran Didikan Budi Pekerti mulai dari kelas I s/d VI, dan Pendidikan Agama
mulai kelas IV s/d VI. Di dalam Kurikulum SMP tahun 1962 juga hanya diwadahi
14

oleh Budi Pekerti yang diintegrasikan kedaiam semua mata pelajaran dan usaha
sekolah, mata pelajaran Agama yang diatur oleh Kementrian Agama, dan
Kelompok Pengetahuan Sosial yang mencakup Ilmu Bumi dan Sejarah. Sedangkan
di dalam Kurikulum SMA tahun 1950/1951, kelihatannya diwadahi oleh mata
pelajaran Tata Negara, Sejarah, dan Ilmu Bumi. (Djojonegoro, 1996:96-100)
Sebagai perbandingan, pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang
No.12 Tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, yang
pada dasarnya merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kurun waktu berlakunya
undang-undang tersebut terbit Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965, yang
isinya antara lain menetapkan tujuan pendidikan nasional untuk “...melahirkan
warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat
Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang
berjiwa Pnacasila...” (Djojonegoro, 1996:103). Tujuan tersebut, tampaknya bersifat
ambivalen karena menekankan pada pengembangan warga negara yang sosialis,
dan yang berjiwa Pancasila, dan memberi indikasi masuknya paham komunisme,
yang memang pada saat itu masuk melalui PGRI nun-vak sentral yang beraliran
kiri. Pada era inilah SMP dan SMA muncul mata pelajaran “Civics” yang isinya
didominasi oleh materi indoktrinasi Manipol USDEK. Pelajaran Civics ini pada
kenyataanya digunakan untuk kepentingan indoktrinasi penguasa pada saat itu.
Jika dianalisa secara cermat, baik ide, instrumentasi, maupun praksisnya,
walaupun namanya sudah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan Negara, yang
dapat diidentikkan dengan Civic Education di Amerika Serikat, nuansa
kurikulernya masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi
pendekatan yang demokratis. Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma
civic Education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi misinya berorientasi pada value
inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini
bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP Thun 1975/1976 menjadi
Kurikulum PMP tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan
muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila (P-4)
atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 butir nilai Pncasila sebagai muatannya.
15

Namun demikian visi dan misinya masih kental dengan value inculcation, yang ada
dasarnya merupakan improvisasi dari unavoidable indoctrination.
Dengan berubahnya Pendidikan Kewaraganegaraan Negara (PKN) menjadi
Pendidikan Moral Pendidikan (PMP) Bbaik menurut Kurikulum tahun 1975/1976
maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture dalam
praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi
pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks pendidikan
cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada perubahan
kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya
paradigma civic Education yang melandasi dan memandu pengembangan
kurikulumnya.
Keadaan ini ternyata terus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP
1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
tahun 1994, yang walaupun namanya mencakup kajian pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan sesuai dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1989,
tetapi karakteristik kurikulernya sangat kental dengan pendidikan moral Pancasila,
yang didominasi oleh proses value inculcation dan knowledge dissemination. Hal
tersebut dapat disimak dari profil kurikulum PPKn 1994, yang menunjukkan
karakteristik sebagai berikut (Depdikbud:1993). Di SD PPKn bertujuan untuk
menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan
kepada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di
SLTP” (Depdikbud, 1993:1). Sementara itu di SLTP, PPKn bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-
nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku sebagai pribadi,
anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab serta memberi
bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah”
(Depdikbud, 1994:2). Sedangkan di SMU, PPKn bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, mengahayati, dan
meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warga negara yang
16

bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta memberi bekal kemampuan untuk
belajar lebih lanjut. (Depdikbud, 1994b:2)
Keadaan itu sangat paradoksal dengan hakikat kehidupan bermasyarakat-
bangsa dan bernegara yang cenderung lebih bersifat dan bernuansa holistik. Oleh
karena itu proses pembelajaran lebih mendorong pada penerimaan nilai Pancasila
sebagai kapalan dari pada sebagai tilikan holistik yang kontekstual.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa PPKn 1994 secara paradigmatik
sesungguhnya masih sama dengan PMP sebelumnya. Dengan kata lain, Pendidikan
Pancasila masih tetap berperan sebagai core atau concerto-nya, dengan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai salah satu accompanyment-nya. Dari situ dapat
dipahami, mengapa prilaku demokratis yang cerdas dan religius, yang menjadi
karakteristik civic Education dalam masyarakat madani, belum sepenuhnya
berkembang dalam masyarakat-bangsa Indonesia. Hal itu tampak dalam berbagai
gejala lawlessness atau ketakpatuhan hukum yang melanda semua lapisan
masyarakat-bangsa Indonesia saat ini. Demokrasi ternyata kini lebih banyak
diucapkan sebagai retorika politik, dari pada diwujudkan dalam perilaku
bermasyarakat-bangsa dan bernegara Indonesia. Sepertinya pendidikan moral
Pancasila yang disampaikan melalui PPKn di Sekolah dan Penataran P-4 diberbagai
lapisan masyarakat nyaris tanpa bekas dan tanpa makna (meaningless).
Isi dan strategi pendidikan nilai di dunia Barat yang lebih cenderung bersifat
sekuler dan berpijak serta bermuara pada perkembangan moral kognitif, kiranya
terdapat beberapa hal yang dapat diadaptasikan bagi kepentingan pendidikan nilai
di Indonesia dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk


pendidikan dasar dan menengah, menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 secara
umum meliputi substansi kurikuler yang di dalamnya mengandung nilai dan moral
sebagai berikut.
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Partisipasi dalam
pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata
tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum
dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
3. Hak Asasi Manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan,
Penghormatan dan perlindungan HAM.
4. Kebutuhan warga Negara, meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai
warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan
warga Negara.
5. Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan kontitusi yang
pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan
dasar negara dengan konstitusi.
6. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daearah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem
politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem
pemerintahan, Pers dalam mastrakat demokrasi.

17
18

7. Pancasila, meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideology


negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, Pengamatan nilai-
nilai Pancasila dalam kehidupan shari-hari, Pancasila sebagai ideologgi terbuka.
8. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan
organisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi, dan
Mengevaluasi globalisasi.
Khusus untuk SD/MI lingkup isi Pendidikan Kewarganegaraan dikemas
dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, yang secara sekuensial telah
terorganisasikan.
Dalam konteks Pendidikan Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan, yang
merupakan mata pelajaran yang sarat dengan nilai sosial, pendidikan nilai yang
mencakup substansi dan proses pengembangan nilai patriotisme yang sengaja
dikemas untuk melahirkan individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik,
rela berkorban untuk bangsa dan negara. Secara konseptual, pendidikan nilai
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan,
karena pada dasarnya tujuan akhir dari pendidikan bagaimana tersurat dalam UU
RI No. 20 Thn 2003 tentang Sisdiknas (pasal 3) adalah “untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis juga bertanggung jawab”. Pendidikan nilai secara
substansif melekat dalam semua dimensi tujuan tersebut yang memusatkan
perhatian pada nilai aqidah keagamaan, nilai sosial keberagaman, nilai kesehatan
jasmani dan rohani, nilai keilmuan, nilai kreativitas, nilai kemandirian dan nilai
demokratis yang bertanggung jawab. Di SD PPKn bertujuan untuk menanamkan
sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai
Pancasila baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan
memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP” (Depdikbud,
1993:1).

18
19

3.2 Saran

1. Untuk para tenaga pendidik di sekolah dasar, agar selalu menanamkan dan
mengembangkan pendidikan nilai dan moral kepada para peserta didik
dalam setiap proses belajar mengajar.
2. Untuk para peserta didik di sekolah dasar, agar selalu menerapkan
pendidikan nilai dalam setiap kegiatan sehari-hari.
3. Untuk para orang tua, agar selalu menanamkan, menguatkan,
mengembangkan dan menerapkan pendidikan nilai dan moral kepada anak-
anaknya di rumah dan di setiap kegiatan sehari-hari.
4. Untuk pemerintah, agar selalu merancang dan mengembangkan pendidikan
nilai dan moral dalam proses pembelajaran di setiap jenjang pendidikan,
khususnya di jenjang sekolah dasar.

19
DAFTAR RUJUKAN

Winataputra, Udin S. 2014. Pembelajaran PKn di SD. Tangerang: Universitas


Terbuka.

20

Anda mungkin juga menyukai