PENDIDIKAN PANCASILA
Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
AMALUIDIN (2022020132)
RENDI PRATAMA (2022020128)
WAHYU DARMANSYAH TOTOK (2022020137)
ANDI AIRIN NURAZZAH (2022020196)
NUR SAWAL (2022020184)
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmatnya sehingga
makala ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberilkan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makala ini dapat menamba pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh agar makala ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyususnan makala ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makala ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………….......................................................................iii
DAFTAR ISI..................….........…...................................................................................Vi
BAB 1 PENDAHULUAN . ..............................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................4
A. Pendidikan Agama Dan Kodrat Manusia Untuk Belajar
B. Gagasan Mengenai Pancasila Dan Dialektikanya
C. Menuju pendidikan Agama Yang Ber-Pancasila
D. Spirit Religius Sebagai Pondassi Kuat Untuk Menjaga Ideologi Pancasila
E. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari
F. Indahnya Keberagamaan dan Pentingnya Toleransi di Indonesia
G. Filsafat Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan di Indonesia
H. Kebebasan Beragama Dan Demokrasi di Indonesia
I. Pancasila Sebagai Pedoman Dalam Menjalani Kehidupan Pada Era Milienial
J. Nilai Dalam Sila-Sila Pancasila Sejalan Dengan Ajaran Semua Agama
K. Dampak Positif Dan Negatif Keberagamaan Agama di Indonesia
L. Peran Agama Dalam Pembentukan Dasar Falsafah Negara
M. Membangun Semangat Kebangsaan Melalui Nilai Pancasila yang Selaras
dengan Nilai-nilai Keagamaan
A. KESIMPULAN ......................................................................................6
B. SARAN .............................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas mengajar agama secara formal kepada anak didik bukanlah tugas yang mudah.
Pendidikan Agama (apapun agamanya) bukanlah ilmu yang serba pasti. Ada banyak persoalan di
sini: Pertama: tuntutan kurikulum yang hendak mengukur kemampuan siswa hanya dari angka
belaka juga merupakan sesuatu yang problematis bagi Pendidikan Agama, karena penghayatan
religius tentu tidak bisa disempitkan begitu saja dalam angka. Kedua, mengajarkan Pendidikan
Agama amat berkait dengan soal metodologi, yakni bagaimana cara mentransfer ilmu dengan
baik kepada anak didik. Jika mendidik adalah soal bagaimana mentransfer pengetahuan,
cukupkah dengan menyampaikan aneka kebenaran agamis dan dogmatis ke dalam sistem
pengajaran agama? Hal tersebut diperumit dengan pluralitas khas Indonesia karena bangsa ini
terdiri dari aneka suku, agama, bahasa, dan budaya.
Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003) memerintahkan supaya setiap anak didik mendapat Pendidikan Agama sesuai dengan
keyakinannya dari guru yang seagama. Harus diakui persoalan pluralitas agama di Indonesia
ternyata tidak selesai dengan mengajarkan agama sesuai dengan keyakinannya. Mengapa?
Karena yang justru mengemuka setelah Undang-Undang Sisdiknas tersebut disahkan adalah
formalisme sempit yang tampil dalam berbagai bentuk, dan semakin menguatnya derajat
intoleransi agama (Lubis, 2014:4). Situasi semacam ini diperparah pula oleh munculnya aksi
fanatis oleh berbagai kelompok dan ormas di berbagai tempat yang semakin menjauhkan
Indonesia dari Pancasila sebagai falsafah hidup bersamanya (Riyanto, 2000:16).
Hasil survey Media Indonesia serta penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(Media Indonesia, 2011:4) terhadap guru pendidikan agama Islam dan siswa SMP-SMA tentang
toleransi terhadap agama lain menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan bagi kehidupan
bersama. Survey tersebut menunjukkan bahwa lembaga pendidikan telah menjadi sumber
bertumbuhnya sikap membenci dan intoleransi terhadap mereka yang berbeda agama, dan
ironisnya hal ini dilakukan oleh guru-guru agama. Survey juga menunjukkan bahwa tingkat
dukungan terhadap aksi kekerasan cukup tinggi, begitu juga tingkat kesediaan mereka untuk
terlibat dalam aksi kekerasan terkait isu agama. The Wahid Institute bahkan merilis hasil
kajiannya tentang masih tingginya semangat antitoleran di antara kaum beragama di Indonesia
selama tahun 2012 dan 2013 setelah Undang-Undang Sisdiknas diterapkan. Sepanjang Januari
sampai dengan Desember 2013, jumlah pelanggaran sebanyak 245 kasus (dari intimidiasi,
pelarangan, hingga serangan fisik), sedangkan pada tahun 2012 terjadi 278 kasus (The Wahid
Institute, 2014:2).
Sejarah Indonesia dan dunia bahkan mencatat betapa besar andil agama dalam membakar
kebencian, meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian, dan mengundang konflik
(Haryatmoko, 2010: 82). Haryatmoko (2010:82-83) bahkan mengatakan bahwa agama justru
kerap kali memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi aneka konflik. Alih-
alih memecahkan masalah bangsa, Pendidikan Agama justru menjadi bagian dari masalah ketika
fanatisme agama kerap kali menjadi sumber konflik. Pendidikan Agama yang eksklusif tersebut
ternyata belum memekarkan semangat hidup bersama yang seharusnya mengembangkan dimensi
inklusivitas.
Bangsa ini telah menerima Pancasila sebagai pondasi hidup berbangsa. Pancasila
mengakui bahwa segenap warga Indonesia ber-Ketuhanan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing. Pancasila juga mengakomodasi perbedaan dan menolak semangat antitoleran
ketika memuat di dalamnya dimensi kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Realitas dewasa ini dan aneka penelitian di atas mengatakan bahwa pengakuan akan Pancasila
sebagai falsafah hidup bersama dan realitas pendidikan ternyata tidak berjalan dengan
semestinya. Di titik inilah penggalian akan Pancasila menjadi amat relevan. Pancasila sebagai
dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum harus digali kembali untuk memberikan
pemahaman baru mengenai berbagai permasalahan bangsa yang dewasa ini terjadi, juga ketika
menggagas Pendidikan Agama yang tepat di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa pentingnya pancasila sebagai pondasi pendidikan agama di indonesia..?
2. Mengapa tugas mengajar agama secara formal bukanlah suatu hal yang mudah..?
3. Kenapa pancasila di jadikan sebagai pondasi pendidikan agama di indonesia..?
4. Apa yang di maksud dengan pancasila sebagai pondasi pendidikan agama di indonesia..?
5. Kenapa pancasila sebagai kaitan erat dengan agama..?
6. Cukupka menyampaikan aneka kebenaran agamis dan domaktis kedalam sisten pengajaran
Agama..?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah
pendidikan pancasila, selain itu dengan penyusunan makalah ini juga merupakan sebagai suatu
cara untuk meningkatkan wawasan pemamhaman penyusun pada khususnya dan pembaca pada
umumnya mengenai pancasila sebagai pondasi pendidikan agama di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Aktivitas belajar adalah aktivitas kodrati manusia. Aristoteles (1995: 980a25) bahkan
mengatakan bahwa “man by nature have desire to know” (manusia dari kodratnya mempunyai
hasrat untuk mengetahui). Hal ini terjadi karena manusia memang dianugerahi akal budi yang
selalu menuntut kepuasan rasional. Aktivitas pendidikan (apalagi pendidikan formal) dimaknai
sebagai bagian kodrati dari setiap manusia untuk mendapat pengetahuan. Sekolah dan aneka
kegiatan pendidikan (terutama pendidikan formal) dalam alur pikir ini tentu tidak lagi bisa
dimaknai hanya sebagai upaya meraih nilai memuaskan atau mengejar indeks prestasi melulu.
Driyarkara (1980:72) mengatakan bahwa cipta, rasa, dan karsa adalah trias-dinamika
yang dimiliki manusia. Selaras dengan pemikiran Aristoteles, Driyarkara menggarisbawahi
keberadaan ketiga unsur tersebut yang ada secara kodrati dalam diri manusia. Pengertian
mendukung rasa, sebaliknya rasa mendukung keberadaan karsa manusia. Ketiga unsur tersebut
mesti berkembang dan berjalan secara seimbang satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur
dinamika tersebut melengkapi pemahaman mengenai gambaran manusia yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan refleksi diri. Puncak dari dinamika itu adalah kebersatuan manusia
dengan Sang Mutlak, Tuhan (Driyarkara, 1980:72- 74).
Dinamika antara cipta, rasa, dan karsa membuat manusia tetap hidup, tidak hanya secara
biologis, tetapi secara manusiawi. Dinamika dalam konteks ini menjelaskan mengenai situasi
sepanjang hidup manusia yang tidak pernah berakhir. Itulah eksistensi dinamika kehidupan
manusia. Unsur-unsur dinamika yang berfungsi secara seimbang dan integral menghantar
manusia sungguh-sungguh menjadi pribadi rohani-jasmani. Driyarkara (1980:71) lebih lanjut
mengatakan bahwa peraihan pengetahuan harus dilihat dalam kerangka yang lebih kompleks,
yakni sebagai aktivitas fundamental manusia dalam dunianya. Pendidikan dan aktivitas belajar
merupakan aktivitas fundamental, karena apa yang dikerjakan oleh manusia itu berkaitan dengan
pencarian akan jati dirinya dan membawa manusia ke taraf insani (Driyarkara, 1980:71).
Dalam konteks Pendidikan Agama, aktivitas belajar dengan demikian berisi rangkaian
aktivitas untuk mengubah dan menentukan hidup manusia dalam kaitan dengan diri, sesama, dan
Tuhannya. Pendidikan Agama pada akhirnya menjadi sebuah tindakan yang hendak
memanusiakan dan sekaligus mengillahikan manusia. Pendidikan Agama seharusnya juga
menjadi bagian dari aktivitas pengangkatan manusia ke taraf yang makin insani dan juga makin
Illahi. Jadi, proses dalam Pendidikan Agama sebenarnya merupakan proses pengungkapan jati
diri manusia untuk sampai pada penyadaran akan eksistensi dirinya sendiri yang makin otentik.
Pendidikan Agama yang holistik memberikan ruang kepada anak untuk memiliki
kesadaran baru dalam mengerti dirinya, kemampuannya, dan keberadaannya. Pendidikan Agama
yang baik seharusnya menekankan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan, yang akhirnya anak
semakin menyadari bahwa ia bukan hanya makhluk biologis, melainkan makhluk yang
berpribadi dengan kodrat rohaninya. Dalam alur pikir semacam ini, Pendidikan Agama
seharusnya memampukan tiap peserta didik untuk menemukan dirinya, sesamanya, dan
Tuhannya dengan lebih baik. Pendidikan Agama dengan demikian harus mempromosikan nilai-
nilai kebaikan, misalnya: antikekerasan, penghargaan akan keberagaman, hormat kepada
pemeluk agama lain, dan penghapusan eksklusivisme sempit yang seakan-akan menganggap diri
sebagai kaum yang paling suci.
Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu pertanyaan berikut:
“Apakah Weltanschauung (dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia merdeka?” Soekarno tidak menjawab pertanyaan ini dengan satu jawaban singkat.
Soekarno terlebih dahulu mengatakan bahwa dasar negara Indonesia ini haruslah ditemukan
dalam lubuk hati dan jiwa bangsa Indonesia jauh sebelum bangsa ini merdeka. Soekarno mau
mengatakan bahwa niat dan keinginan merdeka itu haruslah bulat, akan tetapi dasar yang akan
dipakai bagi Indonesia merdeka haruslah sesuatu yang sudah mendarah-daging dan ada dalam
semua sanubari rakyat Indonesia (Soemarno, 1990:42). Dalam kerangka inilah Soekarno
menyebut bahwa dasar negara Indonesia yang ia pikirkan sudah ada dalam renungannya sejak
1918:
“Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja
dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan
tetapi sejak tahun 1918” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:71).
Selanjutnya Soekarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu dimiliki bagi
bangunan Indonesia merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah: kebangsaan (nasionalisme),
internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan, kesejahteraan (keadilan sosial),
dan akhirnya Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima prinsip itulah yang dia namakan
Pancasila, dan diusulkannya sebagai Weltanschauung negara Indonesia merdeka.
Pertama, Kebangsaan yang dimaksud Soekarno adalah Nationale Staat dan nasionalisme
Indonesia. Setiap warga negara Indonesia harus merasa diri mempunyai satu bangsa dan tumpah
darah yang sama, yakni Indonesia. Kedua, kebangsaan yang dimaksud oleh Soekarno ini
bukanlah chauvinisme khas Hittler, maka prinsip kedua untuk menjaganya adalah
perikemanusiaan (internasionalisme). Hal ini penting agar bangsa Indonesia merasa diri menjadi
bagian dari seluruh umat manusia di dunia. Ketiga, permusyawaratan yang dimaksud Soekarno
adalah perjuangan ide dari seluruh rakyat Indonesia lewat wakil-wakilnya demi mewujudkan
kesejahteraan umum. Keempat, kesejahteraan sosial yang dimaksud Soekarno adalah
kemakmuran yang harus bisa dinikmati oleh segenap warga Indonesia, karena untuk kepentingan
inilah suatu bangsa terbentuk. Kelima, Ketuhanan yang dimaksud Soekarno adalah Ketuhanan
yang berkebudayaan. Artinya bangsa Indonesia menghargai pengakuan setiap manusia Indonesia
akan peran Tuhan dalam pencapaian kemerdekaan ini. Bangsa Indonesia mengakui keberadaan
agama-agama, dan hendaknya ada rasa saling menghargai di antara mereka, karena dengan
demikianlah bangsa Indonesia bisa disebut bangsa yang berbudaya. Soekarno mengatakan:
“Saudara-saudara! Dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah
Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti
kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Namanya bukan Panca
Dharma, tetapi saya namakan ini, dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas, dasar. Dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal abadi” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1995:71).
Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan istilah Pancasila, namun dengan
urutan dan nama yang sedikit berbeda. Tulisan M. Yamin juga mengamini bahwa lahirnya
Pancasila berasal dari Soekarno.
”Sila yang lima ini dinamai Bung Karno dalam uraian pidatonya pada tanggal 1
Juni 1945 di kota Jakarta ’Pancasila’ yang berarti paduan lima buah sila....
Tanggal 1 Juni 1945 dianggap oleh Republik Indonesia sebagai tanggal
lahirnya ajaran Pancasila, dan Bung Karno diterima sebagai penggalinya.”
(Yamin, 1960:289)
Sejak awal pembentukan negara ini, banyak terjadi kontroversi tentang bentuk negara mengenai
apakah negara ini didirikan atas dasar agama atau berbentuk negara sekular. Setidaknya ada dua
golongan besar yang saling berhadapan, yaitu antara kekuatan agamis dan kekuatan nasionalis.
”Semua buat semua” serta “tiada egoisme agamis,” demikian Soekarno berbicara. Darmaputera
(1989:291) di titik ini menyimpulkan bahwa Indonesia merdeka ‘bukanlah Negara Islam dan
bukan Negara sekular,’ tetapi negara Pancasila. Soekarno memimpikan terwujudnya ”Indonesia
bagi semua,” maka semua warga harus merasa sebagai orang Indonesia dan membangun
Indonesia yang sama:
“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-
saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa
bukan negara demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan
suatu negara ’semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, tetapi semua
buat semua. (Sekretariat Negara Republik Indonesia,1995:71).
Gagasan kebersamaan, kebangsaan, keadilan, dan kesejahteraan menjadi idaman rakyat
dan tujuan negara ini. Segala perbedaan sosial diakomodasi secara mengagumkan dalam
Pancasila, sehingga inilah letak keunggulan Pancasila sebagai landasan ideal bagi kehidupan
berbangsa serta bernegara, bahkan bermasyarakat.
Kemenangan idiologi adalah sesuatu hal yang diinginkan sebagai bentuk entitas yang unggul.
Tujuannya demi mengkooptasi peradaban yang ada di dunia. Segala macam teori dibangun
sebagai bentuk afirmasi idiologi, agar idiologi tersebut bisa diterimah publik dunia.
Penerimaan inilah sebagai bentuk legitimasi dan proses untuk mengkooptasi peradaban yang
dimenangkan agar penguasaan yang diinginkan bisa berjalan sesuai target.Dalam pandangan Ali
Harb bahwa berkembangnya idiologi sebaga spirit dari peradaban terdapat kepentingan
pengetahuan diatas pengetahuan, meskipun idiologi itu sendiri menyimpan subtansi kebaikan.
Idiologi juga dibangun atas dasar kesadaran dan mengedepankan pengetahuan rasional.
Namun dalam menjadikan sebuah paham, idiologi juga tetap membutuhkan legitimasi. Misi
tersebut menjadikan idiologi tetap menyimpan kepentingan. Untuk itu Ali Harb tetap
menyerukan agar nalar kritis tetap harus diaktifkan demi melihat secara utuh dan komprehensif
tentang idiologi.Dinamika peradaban sekarang sudah menemukan bentuknya untuk saling
mempengaruhi. Dalam realitasnya kompetisi idiologi cenderung saling menegasikan antara satu
dengan yang lainya, misal; antara sosialis dengan kapitalis, antara komunis dengan Islam dan
begitu pula idiologi lainya.
Idiologi yang semestinya dijiwai demi kebaikan universal, kini malah menjadi instrumen
propaganda untuk saling mendiskriditkan dan memunculkan benturan peradaban (the clash of
civilization).Dalam buku The End of History And The Last Man, Francis Fukuyama mengatakan
sejarah telah berakhir dan peradaban dimenangkan oleh idiologi kapitalis dan demokrasi liberal
dengan ditandai runtuhnya tembok Berlin di Jerman dan pecahnya negara Uni Soviet.
Namun dalam realitasnya kemenangan sistem kapitalis tidak menemukan arti sepenuhnya
tentang berakhirnya sejarah (bahwa penguasa tungal tidaklah kapitalis dan demokrasi liberal), di
awal abad 21 ini justru banyak muncul kekuatan baru dengan idiologinya yang menjadi energi
besar, sebagai penyeimbang atas kekuatan kapitalis.
Diantaranya China, Rusia, Iran, dan lain- lainya. Artinya dinamika predaban masih begitu
dinamis dengan segalah kepentinganya.Goncangan peradaban masih sering kita saksikan dimuka
bumi ini. Fenomena benturan antar peradaban masih sering kita saksikan, diantaranya perang
antara Israel dan Palestina, bahkan di era digital ini perang telah mengalami mutasi yang
awalnya perang militer sekarang berubah menjadi perang ekonomi, perang dagang dan akhir-
akhir ini perang biologis (Covid-19).
Ramalan seperti yang ditulis oleh Francis Fukuyama dalam buku The End of History And The
Last Man, bahwa dengan selesainya perang dingin yang dimenangkan kapitalis dan demokrasi
akan memunculkan perdamain dunia ternyata masih menyisakan ifinitas-ifinitas kultural. Suatu
kesamaan budaya yang menyatu dan bisa menjadi sebuah kekuatan yang baru dan
berkonsekwensi pada benturan peradaban.Berakhirnya sejarah dengan kemenangan yang
berpihak kepada kapitalis dan demokrasi dengan segalah kebaikan yang dimilikinya. Kapitalisme
dan demokrasi liberal tidak mampu membendung perubahan idiologi yang masih menyisakan
residu terjadinya benturan peradaban.
Selain dipicu oleh perbedaan idiologi benturan peradaban menurut Samuel P. Huntington
terjadi juga karena kekuatan ifinitas (kesamaan budaya) yang manyatu dan membuat kekuatan
baru.
Kekuatan baru yang timbul karena memiliki kesamaan kultur juga dinilai sebagai pesaing baru
dalam konstalasi global. Persaingan antar umat manusia diera globalisasi sampai era digitalisasi
seolah membenarkan teori Plato tentang tabiat manusia.Plato berpandangan bahwa pada
dasarnya kelompok manusia memiliki instrumen berupa thymos gairah atau hasrat untuk diakui
dan ingin menguasai sehingga hasrat ini yang memicu terjadinya peperangan.
Di dalam negeripun juga mengalami hal yang sama, benturan-benturan idiologi semakin hari
eskalasinya semakin menguat, yang mengakibatkan pembelahan atau disparitas sosial.
Benar apa yang dikatan Fukuyama dalam bukunya yang berjudul identity bahwa kelemahan
yang diakibatkan kapitalisme liberal adalah berubahnya sepektrum idiologi besar dunia antara
blok kanan yang mengkampanyekan (kebebasan, demokrasi dan rational choice), dan blok kiri
yang mengkampanyekan kesetaraan kelas.Di abad 21 ini mereka (dua sepektrum idiologi besar)
sudah tidak berbicara lagi tentang kapitalisme dan sosialisme, spektrum idiologi besar dunia
tersebut sudah bertransformasi pada politik identitas yang blok kanan cenderung berbicara
tentang etnis, ras dan suku.Sedangkan blok kiri yang dulu kampanye tentang kesetaraan ekonomi
yang tidak adil sekarang berubah cenderung berbicara pada kaum yang diangap minoritas seperti
gender, LGBT, feminisme, dan lain-lainya. Hal tersebut yang menimbulkan kohesi sosial dan
memudarnya rasa kebangsaan dan nasionalisme menjadi tidak lagi otentik.
Dengan merebaknya berbagai idiologi dan politik identitas, sebagai anak bangsa juga harus
memiliki pondasi dan pedoman yang kuat agar tidak terombang ambing dengan dinamika dan
propaganda-propaganda yang dimainkan lewat media.
Sudah pernah dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa media yang seharusnya sebagai pilar
demokrasi dan alat kontrol kini berubah peran sebagai alat propaganda. Selain itu Chomsky
menegaskan bahwa siapa yang menguasai media merekalah yang memenangkan propaganda
yang diciptakan.Untuk itu agar kita terhindar dari propanganda kita harus memiliki kesadaran
kritis dan kesadaran nasionalis. Selain untuk mengcounter propaganda dari berbagai idiologi dan
kepentingan, membangun kesadaran nasionalis dilakukan juga demi menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa.Jika kita flashback pada historikal perjuangan bangsa yang begitu berat
melawan kolonial, kita akan sadar bahwa sebagai anak bangsa harusnya memiliki rasa nasionalis
sebagai pegangan dan prinsip perjuangan.
Bangsa ini dibangun atas dasar kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita sehingga refleksi dari
itu mewujudkan sebuah negara (Negara Bangsa). Rasa nasionalisme yang dibangun oleh para
pejuang harus terus kita semai agar subur dalam sanubari kita, nilai kebangsa kita harus
dilestarikan demi mewujudkan cita-cita bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka dan
beradab.Tentunya, nasionalisme yang kita bangun bukan nasionalis chauvinisme atau mencintai
negaranya dengan berlebih-lebihan yang berakibat anti terhadap bangsa lain.Perasaan senasib
dan sepenanggungan bangsa kita harus mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama, demi
menjaga keragaman untuk persatuan (diversity of unity).Nasionalisme dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme adalah kesadaran bernegara dan
berbangsa.
Menurut Benedict Anderson Nasionalisme bukanlah sekedar instrumen yang berfungsi sebagai
perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan
identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturnya.
Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada
kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak
tatanan kehidupan bersama.Nasionalisme juga merupakan suatu perayaan kesadaran bahwa
bangsa ini memiliki nasib yang sama , sejarah yang sama dan cita-cita yang sama, atau
keinsyafan rakyat sebagai suatu bangsa yang harus bersatu demi kemerdekaan, kemakmuran,
kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Sedangkan kita sebagai anak bangsa yang berhaluan idiologi Pancasila harus memiliki jiwa
dan sikap religius. Religius merupakan suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan menjalankan
ajaran agama serta sebagai cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang
dianutnya.Sikap religius diperlukan untuk membangun atitut yang baik di rana sosial, selain itu
sikap religius juga mampuh menghadirkan kesolehan sosial yang merupakan sikap atau
perbuatan yang dilakukan secara sopan santun, ramah, tangung jawab dan memiliki dampak
positif serta berkelanjutan.Bila manusia memiliki, baik pengetahuan maupun sikap religi yang
kuat manusia tersebut pasti akan menjadi tauladan (Uswah) bagi masyarakatnya, kebaikan-
kebaikan universal yang ada dalam agama harus diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa
dan negara ini.
Negara kita masih membutuhkan banyak manusia-manusia teladan (the great people) untuk
bisa menuntun negeri ini menjadi negeri yang lebih baik, makmur, sejahtera dan sentosa.
Religi sendiri memiliki peran penting dalam menata tatanan individu dan sosial bahkan religi
juga bisa memberikan solusi atas problematika diberbagai bidang, maka religi menjadi penting
untuk sebuah pegangan dalam kehidupan.Selain Pancasila sebagai idiologi bangsa dan Negara
kita. Nasionalisme-religius juga memberi afirmasi yang kuat dalam menjaga kesatuan dan
perdamainan dinegeri ini. Nilai kebaikan universal yang ada dalam nasionalis-religius harus
diaktualisasi agar negeri ini selamat dan terhindar dari sekenario negatif dan berbagai
propaganda yang ada.
E. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari
Hidup Bergama tampak pada sikap dan cara perwujudan sikap hidup beragama seorang yang menerima
sesame yang beragama apapun sebagai sesame hamba Allah. Karena keyakinan seorang bahwa Allah
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengasihi setiap manusia dan seluruh umat manusia tanpa
diskriminasi berdasarkan kemaha-adilan Tuhan, maka dia pun wajib dan tak punya pilihan lain, selain
mengasihi sesamanya tanpa diskriminasi berdasarkan agama, budaya, etika, profesi, atau, kepentingan
tertentu yang berbeda,
Perbedaan ciptaan Allah ditengah alam semesta adalah suatu keniscayaan yang patut diterima sebagai
anugrah yang harus disyukuri. Hal demikian harus menjadi lebih nyata pada hidup beragama ditengah
pluralitas agama sebagai keniscayaan yang diterima dan disyukuri sebagai anugrah Allah.
Seorang yang tulus dalam beragama akan menghormati, menghargai dan bahkan mengasihi atau
merahmati sesamanya karena sesamanya adalah manusia yang dikasihi Allah. Seorang yang tulus
beragama mengasihi sesamanya hanya dengan pamrih pada tuhan sebagai sumber segala kasih dan
rahmat. Kasih atau cinta kepada sesama manusia harus dapat menembus atribut-atribut yag
mengemasnya. Atribut-atritbut perbedaan Yang melekat pada diri seseorang tak harus menjadi perisai
yang menangkis atau menangkal kasih atau rahmat yang diberikan oleh orang lain kepadnaya. Secara
hakiki, manusia adalah maunusia ciptaan Allah sehingga saling berbeda tidak mengharuskan seorang
untuk berlaku tak adil dengan membeda-bedakan seorang dengan dirinya atau dengan oranbg lain atau
dengan memperlakukan sesama secara diskriminasi karena berbeda agama, suku, atau status dan lain
sebagainya.
Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan cara
– Meningkatkan dan menerapkan sikap timbang rasa dan rasa saling tolong-menolong dengan publik
lainnya.
– Menghargai adanya perbedaan antar sesama anggota masyarakat antar RAS, Suku,agama,dan juga
kerumunan-kelompok.
– Aktif di beragam kegiatan sosial, padahal bela negara yang bisa kita bikin sehari-hari dilingkungan
negara sebagai halnya :
– Mengamalkan setiap nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila yang merupakan ideologidan radiks
negara.
– Aktif, responsif dan siaga mencurigai serta melaporkan terkait aktifitas keropok orang terkait
terorisme, perdangangan narkoba dan tindakan- tindakan lain yang mengacam keamanan negara
Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya.
Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama,
keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.
Keberagaman suku
Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia
memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai
pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok
suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis
yang dimiliki.
Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya.
Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa.
Keberagaman agama
Indonesia adalah negara yang religius. Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 yang
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Di Indonesia sendiri, ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh
negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus
hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.
Keberagaman ras,
Ras merupakan klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia melalui ciri fenotipe
(ciri fisik) dan asal usul geografis. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh
beberapa faktor seperti bangsa asing yang singgah di Tanah Air, sejarah penyebaran ras dunia, dan
juga kondisi geografis.
Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Malayan-Mongoloid yang
berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid
mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga ras Asiatic
Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan
Korea. Terakhir, ada ras Kaukasoid, yaitu orang-orang India, Timur-Tengah, Australia, Eropa, dan
Amerika.
Dalam masyarakat multikultural, keberagaman golongan bisa terjadi secara vertikal dan
horizontal. Untuk vertikal, terdapat hierarki lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Contohnya seperti status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Secara horizontal, biasanya
anggota golongan setara dan tidak ada hierarki. Namun, hal ini mengakibatkan banyak yang merasa
anggota golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. Contohnya
adalah agama, idealisme, adat-istiadat, dan sebagainya.
Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut
membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa
memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak.
Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan
kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima
perbedaan yang ada.
Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mengakui adanya hak setiap warga negara atas
kebebasan beragama atau kepercayaan, demikian juga Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan
kedua, menjelaskan hak beragama dan berkepercayaan adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang
tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi apapun. Bahkan Pasal 28 ayat 4 UUD 1945
perubahan kedua, mempertegas kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi,
memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM. Kewajiban negara melindungi dan memenuhi
hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian, bahwa negara tidak
mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya.
Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk
melaksanakan ibadah keagamaan atau kepercayaan. Hak Asasi Manusia merupakan suatu konsep
etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia
dan kemanusiaan. Gagasan ini mengandung konsekuensi tuntutan moral bagaimana seharusnya
manusia memperlakukan sesamanya.
Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua
agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada
pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi
seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al mustad’afin)
dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran
akan pentingnya menempatkan manusia titik sentral pembangunan (human centred
development), yang dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin,
suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), ditemukan juga dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen
International Bill of-Harakah, Rights (1966), Rights of Man France (1789), dan Bill of Rights of
USA (1791). Pasal 2 DUHAM menyatakan:“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-
kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yangberlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” (Musdah, 2005: 6). Pemerintah
dan DPR telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui UU No
12/2005. Pasal 18 ayat 1 Kovenan Internasional Sipil-Politik yang melindungi hak atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, termasuk hak untuk memeluk
kepercayaan. Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan tidak dapat dikurangi.
Pluralisme agama memiliki afinitas yang kuat bagi kehidupan demokrasi di masa depan, dan
oleh karenanya dapat dijadikan dasar untuk memahami dan bersikap terhadap pluralitas agama
dan keberadaan aliran keagamaa yang ada, serta menjadi landasan bagi pemberdayaan
masyarakat sipil yang demokratis dan menjunjung tinggi martabat manusia (Billah, 2007: 8-9).
el-Harakah, Kebebasan Beragama dan Demokratisasi di Indonesia Demokrasi sering diartikan
sebagai penghargaan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti
egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),
dan seterusnya.
Diskursus toleransi dan kebebasan beragama yang digagas oleh John Locke menegasikan
adanya pemaksaan baik secara pribadi maupun kelompok dan bahkan lewat institusi untuk
memeluk satu agama. Sejalan dengan Locke, keprihatinan Leibniz terhadap konflik Katolik-
Kristen yang berujung perang selama kurang lebih 30 tahun (1618-1645) mendorongnya untuk
berpikir secara plural. Dalam pandangan Leibniz, dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil atau
substansi-substansi sederhana yang disebut monade, setiap monade mencerminkan dunia
secara keseluruhan (universal). Oleh sebab itu, konflik atau perang berarti berlawanan dengan
harmoni universal dunia (Haryatmoko,1999:99).
Suatu Negara yang memaksakan agama tertentu kepada rakyatnya akan membahayakan terhadap
stabilitas politik. Hal ini dijelaskan pula oleh Spinoza, bahwa pemaksaan keyakinan kepada
rakyat akan mengakibatkan pemberontakan sipil, politik dan agama. Oleh karena itu,
menurutnya, negara harus mendukung toleransi dengan menjamin keamanan warga negara
dalam mengeluarkan pendapatnya secara bebas, asalkan pendapat tersebut tidak berisi hasutan
(Reese, 1999: 51). Penindasan yang mengatasnamakan agama ditentang oleh John Locke, dia
menambahkan bahwa toleransi agama harus diperluas kepada semua varian keyakinan dan ritual
agama, namun dia mengeliminasi atheisme dalam perluasan toleransi tersebut.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama sebetulnya memiliki arti, bebas untuk memeluk
agama yang diakui di Indonesia (Hindu, Budha, Islam Kristen, Katolik dan Konghucu). Bebas
untuk berpindah dari agama satu ke agama lain, bebas untuk berpendapat dan mengekspresikan
ajaran agama yang dipeluknya (bebas berijtihad).el-Harakah, Abraham Kuyper membagi
kebebasan beragama (religious freedom) menjadi tiga pengertian, religious pluralism, social
pluralism dan confessional pluralism. Religious pluralism artinya, bahwa manusia
berhak untuk memilih dan pindah agama tanpa campur tangan orang lain. Confessional pluralism
artinya, manusia selain berhak memilih, juga berhak untuk menjalankan agama yang dipilihnya.
Social pluralism artinya, agama berhak untuk menjadi hati nurani masyarakat Secara normatif-
institusional, kebijakan toleransi beragama telah dirumuskan dalam perundang-undangan, namun
dalam level praksis, rumusan yang ideal tersebut belum bisa diterjemahkan secara sempurna
oleh sebagian masyarakat kita ke dalam kehidupan sehari-hari dengan indikasi masih adanya
konflik dan gejolak di masyarakat yang mengusung isu-isu agama.
Ketiga, pembatasan kebebasan berekspresi sebanyak 27 kasus. Sungguh hal tersebut adalah
kasus-kasus yang fantastis, dan ini merupakan ironi bagi agama-agama sekaligus sebagai
tantangan besar yang harus segera diatasi. Bahwa dalam konteks agama dan demokrasi,
seharusnya agama menjadi penggerak demokrasi itu sendiri, sebab dipercaya, bahwa semua
agama memiliki misi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal, ini merupakan bagian dari
idiom demokrasi. Sementara manusia beragama harus membawa misi tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada banyak ragam agama di dunia ini
merupakan hal yang niscaya, itu adalah sebagai sunntullah. Namun yang harus dipahami, bahwa
semua agama menyeru kepada kebaikan dan keharmonisan. Kebanyakan orang beragama
demikian pula tokoh agamanya sering lupa, bahwa mereka hidup dalam negara Pancasila, yang
sudah diatur oleh undang-undang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada
alasan untuk memaksa dan melakukan hegemoni terhadap orang lain atau agama dan
kepercayaan lain. Begitu pula sebagian umat Islam juga tidak ingat,bahwa Nabi Muhammad
SAW sebagai pemimpin agama dan negara di Madinah pada masa itu tidak pernah melakukan
pemaksaan dan kekerasan terhadap pemeluk agama non-Islam (Pulungan, 1994: 32). Jika
dibayangkan, alangkah indahnya jika semua umat beragama saling bahu- membahu untuk
membagun bangsa dan negara ini, tanpa ada saling curiga satu sama lain. Secara teologis
memang antara satu agama dengan agama yang lain berbeda, namun tidak ada alasan dengan
perbedaan el-Harakah, itu lalu kita tidak mampu hidup bersama, sebab ada nilai kemanusiaan
universal yang mesti ditegakkan oleh setiap umat beragama, misalnya, menegakkan keadilan,
kejujuran kasih-sayang sesama dan seterusnya. Hidup berbangsa dan bernegara dalam pluralitas
keberagamaan ini ibarat kita berada di tengah-tengah pasar tradisional. Dalam pasar ini berbagai
macam dagangan dipasarkan oleh berbagai penjual yang beragam agama dan aliran
kepercayaannya. Hampir-hampir tidak pernah ada konflik karena dagangannya itu. Dan pembeli
tidak pernah berpikir siapa yang menjual dagangan itu, apakah Muslim, Krsiten atau apa saja
(kecuali terkait dengan kehalalan atau keharaman barang tersebut). Bahkan justru kita lebih
senang membeli barang kepada penjual yang dapat memuaskan kita (costumer focus), plus
lengkap dagangannya. Di sini setiap penjual dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada pelanggan atau pembeli, dan dituntut pula menyediakan barang dagangan yang lengkap
dan terjamin kualitasnya. Ibarat pasar tersebut, orang beragama dituntut dapat melayani umat
dengan sebaik-baiknya, menawarkan misi agamanya secara menarik dan menawan hati umat
(fastabiq al khairat). Kita tidak perlu terjebak oleh seberapa besar kuantitas yang menjadi
pengikut kita. Sebab ini tidak menjadi tuntutan agama, yang dituntut kepada kita adalah,
seberapa besar keseriusan dan ketulusan kita dalam berdakwah, mengemban misi agama itu
sendiri, soal mereka bersedia menjadi pengikut atau tidak itu adalah urusan Tuhan. Namun, kita
yakin, bahwa mereka akan memilih menjadi pengikut bagi penyeru agama yang serius
menegakkan keadilan, kasih-sayang dan kemanusiaan universal.
Kita tahu bahwa Pancasila merupakan salah satu pedoman hidup dalam berbangsa, selain itu
juga sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Hal ini telah dilakukan oleh para pemuda
bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Akan tetapi, apakah pada era millenial seperti saat
ini Pancasila masih menjadi pandangan hidup para pemuda khususnya? maka dari itu saya akan
mengangkat judul ini dalam penulisan essay saya.
Tujuan penulisan essay ini adalah untuk mengetahui eksistensi Pancasila di kalangan
pemuda sebagai pedoman hidup bernegara. Apakah para pemuda masih mengenal apa makna
dari Pancasila. Dan juga solusi untuk para pemuda era millennial dalam pemaknaan Pancasila.
Menurut Woolfolk dalam Yasmin (2010: 28), gaya berpikir menunjukkan perbedaan
individu tentang bagaimana mereka mendekati suatu tugas, tetapi variasi – variasi ini tidak
menunjukkan tingkat inteligensi atau bentuk kemampuan tertentu . Gaya berpikir merupakan
suatu cara yang dipilih, yang menunjukkan perbedaan setiap individu dalam memproses dan
mengorganisasi informasi sebagai respon terhadap stimuli lingkungannya. (Nadiroh &
Budiaman, 2015)
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa atau oleh Notonagoro disebut sebagai
pelaksanaan Pancasila secara subyektif adalah pelaksanaan Pancasila oleh setiap pribadi
perseorangan, setiap warga Negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap orang Indonesia.
(Pelajaran et al., 2017)
Jadi, penerapan Pancasila sebagai pedoman bangsa haruslah dimulai dengan menjadikan Pancasila
sebagai pedoman individual. Masyarakat Indonesia diharuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai
pedoman dalam menjalankan kehidupan.
Namun demikian, otoritas Pancasila tidak boleh melebihi agama yang dianut, karena ia bukan
agama apalagi di-Tuhan-kan.(Nkri, n.d.)
Jika dilihat pada saat ini, sepertinya Pancasila sudah tergeser posisinya sebagai pedoman hidup
masyarakat Indonesia. Banyak dari mereka yang saat ini telah terbawa oleh derasnya arus
westernisasi. Pengaruh ini terbawa karena adanya perkembangan zaman. Namun, kita sebagai
masyarakat harusnya tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar pedoman kita.
Banyak prilaku para pemuda yang sudah menyimpang dari Pancasila, seperti sudah tidak
menghargai guru maupun orang tua, tawuran dengan sekolah lain, tidak melakukan ibadah, dan
bahkan saling menjelek – jelekkan agama, ras, suku dan golongan mereka. Hal ini sangatlah
memprihatinkan karena dapat merusak persatuan dan kesatuan Negara Indonesia.
Seharusnya pemuda saat ini tetaplah berpegang teguh kepada Pancasila sebagai pedoman
dalam menjalani kehidupan bernegara. Mereka harus dapat memaknai arti dari sila – sila yang
terkandung dalam Pancasila. Seperti misalnya yaitu pada:
sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini dapat kita maknai bahwasanya
kita haruslah memiliki agama. Karena agama dipercaya dapat membuat diri seseorang menjadi
pribadi yang baik dengan segala peraturan yang ada di agama tersebut. Tidak ada agama yang
mengajarkan untuk melakukan tindakan tidak baik, pasti seluruh agama menyuruh para
pengikutnya untuk melakukan kebaikan agar mendapatkan pahala dari Tuhan YME.
Dalam perspektif yang agak moderat, Pancasila ada dalam agama. Penggagas dasar Negara
tersebut adalah orang-orang yang beragama. Dan agama bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki kemutlakan dan kebenaran sejati (The ultimate reality). (Nkri, n.d.)
Sila kedua ialah “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” ini dapat kita maknai dengan
menjadi individu yang bersikap adil dalam segala apapun. Seperti dalam hal jual beli, selain
dalam agama yang menyuruh kita untuk adil. Pancasila juga menyuruh kita untuk berbuat adil.
Selain itu juga beradab. Masyarakat Indonesia harus memiliki adab yang bagus. Dari zaman
dahulu kita telah di didik oleh orang tua kita untuk bersopan santun. Tetapi, sepertinya hal ini
telah menghilang dikalangan pemuda Indonesia. Dapat dilihat dari banyaknya kasus anak yang
tega membunuh orang tuanya, atau murid yang berkelakuan tidak baik kepada gurunya. Nah hal
ini harus di benahi secara serius oleh kita semua. Seperti menjadikan Pancasila sebagai pedoman
bangsa kembali.
Sila ketiga adalah “Persatuan Indonesia” ini bermakna untuk kita terus menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Dalam menjaga kesatuan dan persatuan dapat kita lakukan dengan
saling bertoleransi. Kita memang memiliki latar belakang yang berbeda akan tetapi sebenarnya
kita satu dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para perumus Pancasila mengharapkan kita untuk tetap bersatu. Dengan adanya Pancasila
bisa menjadikan dasar kita untuk tetap bersatu demi kautuhan NKRI. Kita sebagai masyarakat
harus menjadikan Pancasila ini sebagai pedoman hidup dalam menjalankan toleransi, menjaga
silaturahmi antar sesama demi persatuan Indonesia. Walau kita berbeda dalam keyakinan agama,
suku, ras maupun berbeda dalam menentukan pilihan calon pemimpin. Kita harus tetap bersatu,
karena kita tidak harus lagi melawan para penjajah seperti para pahlawan kita. Tugas kita saat ini
hanyalah mengisi kemerdekaan dengan berbagai prestasi yang dapat membanggakan bangsa.
Sila keempat adalah “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan”. Pada sila ini terdapat makna yang dapat kita jadikan pedoman,
khususnya dalam menentukan pemimpin ataupun mengatasi sebuah masalah. Musyawarah
menjadi jalan alternatif yang baik untuk mengatasi berbagai masalah ataupun menentukan suatu
pilihan. Hal ini telah dirumuskan oleh para perumus Pancasila. Kita sebagai pemuda saat ini
haruslah mengamalkan makna sila keempat ini. Janganlah kita menjadi pemuda yang arogan,
yang memiliki ego yang tinggi dalam mengatasi sebuah masalah. Jadikanlah Musyawarah ini
sebagai jalannya.
Sila Kelima yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pada sila ini dapat
dimaknai dengan jika kita menjadi pemimpin nanti yang akan mengagantikan generasi
sebelumnya, maka kita harus memiliki sikap adil terhadap seluruh rakyat yang kita pimpin.
Karena kita menjadi pemimpin juga berkat suara dan dukungan mereka. Itu artinya kita
mendapatkan kepercayaan penuh dari mereka, dan mereka pun berharap penuh kepada kita untuk
memimpin bangsa dan membenahi Negara Indonesia ini.
Nah maka dari itu, solusi dan saran bagi para pemuda Bangsa Indonesia. Marilah kita
menjadikan kembali Pancasila sebagai pedoman kita dalam menjalani kehidupan bernegara
maupun kehidupan sosial. Karena jika dimaknai, di dalam Pancasila tersebut telah terkandung
banyak peraturan dan pelajaran yang dapat kita implementasikan di kehidupan kita.
Sungguh luar biasa para perumus dasar negara ini yang dapat membungkus semua keperluan
untuk persatuan seluruh masyarakat Indonesia yang mempunyai latar belakang dan juga culture
yang berbeda. Nah, saat ini tugas kita sebagai para pemuda Indonesia adalah menjaga kesatuan
dan persatuan Negara Indonesia ini. Janganlah mudah terpengaruh dengan semua yang dapat
merusak NKRI. Isilah kemerdekaan yang telah direbut oleh para pahlawan kita ini dengan
semangat juang membanggakan Indonesia di kancah Internasional. Buatlah mereka bangga di
alam sana, dan buatlah perjuangan mereka menjadi tidak sia – sia.
“Semua nilai dalam sila-sila Pancasila itu sejalan dengan ajaran semua agama,” kata Menteri
Agama RI Jenderal (Purn) Fachrul Razi saat memberikan ceramah kepada peserta Program
Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61, Senin 18 Mei 2020. Pada kesempatan tersebut Fachrul
mengangkat topik “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Beragama”.
Topik tersebut diangkat dengan tujuan untuk menyampaikan pentingnya menerjemahkan nilai-
nilai Pancasila dalam konteks kehidupan keagamaan. Fachrul menyampaikan bahwa Pancasila
mempersatukan berbagai keragaman yang Indonesia miliki, baik dari segi agama, budaya,
bahasa, suku, etnis, dan keragaman lainnya. Akan tetapi, Fachrul juga mengakui bahwa dalam
perjalanan Bangsa Indonesia, masih ada pihak-pihak yang masih berusaha membenturkan nilai-
nilai Pancasila dengan nilai-nilai agama. Ada sebagian pihak yang menyebutkan bahwa tidak ada
hukum yang lebih tinggi selain hukum Tuhan. “Padahal, Pancasila itu sendiri dirumuskan oleh
para pendiri bangsa yang termasuk di dalamnya ahli agama,” tutur Fachrul.
Indonesia sebagai negara Pancasila juga memfasilitasi dan mengakomodasi penyelenggaraan
aktivitas keagamaan setiap warga negara, serta pada saat yang sama tetap menjamin kebebasan
setiap warga negaranya untuk menjalankan keyakinan serta kepercayaannya masing-masing,
tanpa ditentukan oleh Negara. Maka, Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama mana pun.
“Keragaman dalam hal agama merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh
Bangsa Indonesia,” ujar Fachrul. Menurut Fachrul, saat ini konflik yang berbasis isu keagamaan
masih sesekali terjadi diakibatkan menajamnya perbedaan penafsiran, hingga konflik yang
diakibatkan oleh adanya sikap intoleransi, ekstremisme, radikalisme, hingga terorisme.
Oleh karena itu, perlu ada upaya terus menerus untuk menjelaskan dan memberikan pengertian
bahwa nilai-nilai Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama mana pun.
Bahkan Pancasila dapat dianggap sebagai jalan tengah yang mampu mengakomodasi nilai-nilai
agama untuk diterjemahkan dalam konteks bernegara dan dapat dikatakan bahwa pengaruh
agama sangat kuat mewarnai rumusan berbagai isi perundang-undangan, peraturan, serta
regulasi-regulasi turunannya di Indonesia.
Pancasila sebagai sebuah ideologi negara telah teruji karena lahir dari kesepakatan bersama
antarkelompok yang beragam. Lahirnya Pancasila tidak hanya melibatkan tokoh dari kalangan
satu agama saja, melainkan juga tokoh-tokoh agama lain dan kelompok nasionalis. “Namun,
dalam implementasinya, nilai-nilai Pancasila masih perlu diterjemahkan secara lebih konkret
agar betul-betul dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat beragama,” kata Fachrul.
Kemudian Fachrul menyampaikan bahwa sebagai upaya mensinergikan nilai-nilai Pancasila
dengan ajaran agama, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah merumuskan sebuah gagasan
yang disebut sebagai Moderasi Beragama. Melalui Moderasi Beragama, Kemenag mendorong
pertumbuhan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang moderat, tidak ekstrem atau
berlebihan, karena agama apapun memang melarang setiap umatnya untuk berlebih-lebihan.
Kemenag sudah merumuskan sejumlah indikator keberhasilan Moderasi Beragama, yang salah
satunya adalah adanya wawasan kebangsaan yang kuat pada umat beragama. “Komitmen
kebangsaan umat beragama penting sebagai benteng dari dalam untuk menghalau merebaknya
ideologi yang berlawanan dengan Pancasila,
Apa saja dampak positif keberagaman budaya di Indonesia? Banyak sekali dampak positif yang
dihasilkan dari keragaman budaya yang ada.
Berikut contoh dampak positif keberagaman di Indonesia yang dapat kamu ambil manfaatnya.
Sebuah negara akan menjadi negara yang memiliki keragaman adat istiadat yang juga
menjadikan sebuah masyarakat dapat mengenal satu sama lain.
– Identitas Bangsa
Keberagaman adalah identitas bangsa yang unik dan membedakan dengan bangsa lain, sehingga
membuat sebuah bangsa dikenal secara positif di mata bangsa lain.
– Interaksi Dinamis
Masyarakat dapat berinteraksi secara dinamis, karena bertemu dengan orang yang memiliki
latar belakang berbeda. Setiap keberagaman individu tersebut menciptakan perpaduan yang
baru.
Menjadikan masyarakat memiliki sikap tenggang rasa dan toleransi antar sesama. Karena
masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda dan memiliki rasa saling membutuhkan .
Selain dampak positif, ternyata ada dampak negatif di dalam keberagaman. Apa saja dampak
negatif keberagaman masyarakat Indonesia?
– Dapat memunculkan persaingan di dalam masyarakat yang memiliki latar belakang budaya
berbeda.
– Dapat memunculkan etnosentrisme, adalah perlakuan yang menilai budaya sendiri lebih baik
dari budaya yang dimiliki orang lain.
– Dapat menimbulkan konflik fisik yang bisa berbentuk apapun, termasuk perang adat, konflik
antar golongan, antar umat beragama, dan lainnya.
– Masyarakat yang acuh tak acuh karena menilai budaya bangsa lain lebih baik, kebalikan dari
etnosentrisme. Karena sudah merasa mengenal budaya sendiri dan tidak melestarikannya.
2. Sila kedua; disimbolkan dengan rantai. Mata rantai tersebut berbentuk persegi dan lingkaran yang
saling mengaitkan. Mata rantai berbentuk persegi empat merupakan lambang laki-laki, sedangkan
mata mengaitkan melambangkan hubungan timbal balik, saling tolong menolong, antar umat
manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Sila ketiga; disimbolkan dengan pohon beringin. Pohon beringin memiliki arti tempat berteduh bagi
seluruh Warga Negara Indonesia untuk berlindung. Pohon beringin memiliki akar tunggang yang
kuat, hal ini memiliki arti persatuan dan kesatuan Indonesia yang kokoh tertanam dalam akar yang
kuat. Sedangkan, sulur-sulur pada pohon beringin melambangkan suku, adat, kebudayaan, bahasa
dan agama yang berbedabeda di Indonesia. Meskipun berbeda-beda, mereka tetap bersatu sebagai
bangsa Indonesia di bawah lambang Pancasila.
4. Sila keempat; disimbolkan dengan kepala banteng. Banteng adalah hewan sosial yang suka
bergerombol, berkumpul, dan kompak dalam mengambil keputusan. Banteng menjadi lebih kuat
dan sulit diserang lawan ketika mereka sedang berkumpul, . Jadi, lambang kepala banteng tersebut
mengartikan budaya bangsa Indonesia yang senang berkumpul, bermufakat, dan berdiskusi.
Manusia mengambil keputusan diumpamakan dengan Kepala banteng yakni yang harus dilakukan
secara tegas.
5. Sila kelima; disimbolkan dengan padi dan kapas. Padi dan kapas menggambarkan dua hal penting
yang sangat dibutuhkan manusia untuk bisa bertahan hidup. Padi menggambarkan ketersediaan
makanan atau biasa disebut pangan, sedangkan kapas menggambarkan ketersediaan pakaian atau
sandang. Dengan adanya ketersediaan pangan dan pakaian, manusia akan bisa bertahan serta hidup
menjadi nyaman. Jadi, setiap warga Indonesia berhak atas pangan dan sandang secara adil dan tanpa
membeda-bedakan status sosial setiap Warga Negara Indonesia. Suatu negara dikatakan sejahtera
ketika pangan dan sandang bisa terpenuhi dengan baik.
Manifestasi Moderasi Beragama Didalam Pancasila
Stigma negatif yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat Indonesia yakni pengarusutamaan
moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat maupun bernegara dipandang sebagai bentuk
liberalisasi agama yang akan menjauhkan pemeluk umat beragama dari ajaran agamanya. Tidak
berhenti di situ, kesalahpahaman atas term moderasi beragama juga seringkali dibenturkan dengan
karakter keberagamaan individu yang berpegang teguh terhadap ajaran normatif agama. Implikasi
dari stigma buruk terhadap moderasi beragama tersebut yakni munculnya sikap antipati masyarakat
yang cenderung tidak menerima bahkan menentang segala bentuk pengarusutamaan nilai-nilai
moderasi beragama. Moderasi beragama sejatinya merupakan paham maupun sikap keberagamaan
individu yang seimbang. Keseimbangan yang dimaksud yakni prinsip jalan tengah dalam praktik
keberagamaan yang akan menjauhkan seorang individu dari sikap ekstrem berlebihan, yakni tidak
ekstrem kiri maupun ekstrem kanan. Oleh sebab itulah, moderasi beragama dapat menjadi kunci
terwujudnya toleransi dan kerukunan dalam pluralitas kehidupan sosial. Moderasi beragama juga
akan menolak segala bentuk ekstremisme dan liberalisme dalam beragama, sehingga demi
terpeliharanya peradaban dan terwujudnya perdamaian. Melalui semangat moderasi beragama
tersebutlah masing-masing umat beragama dapat menyikapi orang lain dengan sikap toleransi secara
harmonis. Atas dasar inilah, pada konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia, moderasi
beragama bukan pilihan, melainkan keniscayaan yang penting diwujudkan (Tim Penyusun
Kementerian Agama RI, 2019: 13–18). Lebih lanjut, upaya untuk membumikan paham dan sikap
sosial keberagamaaan yang moderat di Indonesia dibutuhkan peran aktif seluruh elemen masyarakat,
terlebih para tokoh agama dan pemerintah. Mengingat pengarusutamaan nilai-nilai moderasi
beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Butuh usaha
perjuangan kolektif yakni seluruh elemen masyarakat melalui pelbagai medium dalam
menginternalisasikan nilai-nilai agama dan sosial bangsa yang moderat, seperti halnya melalui
lembaga pendidikan yang ada di Indonesia (Zaman et.al., 2022: 139). Pada sub pembahasan ini akan
penulis jelaskan tentang empat indikator moderasi beragama di Indonesia yang telah dirumuskan oleh
Kemenag RI, meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap
tradisi lokal. Uraian penjelasan lebih lanjut, sebagai berikut: POROS ONIM, Volume 3, Nomor 1,
Juni 2022 Athoillah Islamy 22 Pertama, komitmen kebangsaaan. Sikap komitmen kebangsaan
merupakan bagian dari indikator untuk memahami paradigma, pola sikap, dan praktik keberagamaan
sosial individu atas komitmennya dengan konsensus dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia,
terlebih terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia serta pelbagai prinsip
berbangsa yang tertuang dalam Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya. Komitmen
kebangsaan merupakan bagian indikator moderasi beragama yang penting untuk mengidentifikasi
paham dan sikap keberagamaan individu terkait kehidupan sosial keberagamaannya apakah dapat
mengejawantahkan ajaran agamanya secara moderat dalam konteks norma kehidupan bernegara di
Indonesia (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019: 42–43). Kedua, toleransi. Manifestasi sikap
toleransi menjadi bagian dari indikator paradigma, pola sikap, dan praktik keberagamaan sosial
seseorang dalam menghargai sekaligus menerima perbedaan kehidupan sosial sebagai hukum alam.
Atas dasar ini, manifestasi sikap toleransi bagi umat berragama di Indonesia khususnya menjadi
elemen yang sangat urgen dalam membangun kehidupan pluralitas masyarakat Indonesia yang
harmonis. Mengingat demokrasi yang menjadi sistem politik bangsa Indonesia dapat terwujud ketika
antar individu (kelompok) dapat bersikap toleran dalam merespons kemajemukan yang ada. Oleh
sebab itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan semakin tinggi toleransi terhadap pluralitas suatu negara,
maka akan semakin demokratis. Dalam ranah praktiknya, indikator toleransi dalam konteks moderasi
beragama di Indonesia akan menekankan intensitas sikap toleransi antar umat beragama maupun intra
agama, baik berkaitan kehidupan sosial maupun politik. Internalisasi nilai toleransi tersebut dapat
direalisasikan dalam pembentukan paham dan sikap sosial yang mengacu pada semangat toleransi
beragama. Oleh karena itulah, melalui sikap toleransi antar umat beragama yang berbeda, maka
diharapkan dapat terwujud ketersediaan sikap saling berdialog, bekerja sama di dalam konteks
pluralitas kehidupan sosial umat beragama. Sedangkan toleransi intra agama diharapkan dapat
menjadikan individu pemeluk agama dapat bersikap bijak dalam merespons pelbagai bentuk sekte
minoritas yang dinilai melakukan deviasi dari arus utama (besar) ajaran dalam komunitas agama
tertentu (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019: 45). Ketiga, anti radikalisme. Pemahaman
tentang apa yang dimaksud dengan istilah radikalisme dalam pembahsan tentang moderasi beragama,
yakni sebuah paham maupun sikap (aksi) individu yang memiliki orientasi dalam mengganti sistem
sosial maupun politik di Indonesia melalui pelbagai kekerasan atas nama ajaran agama. Secara
umum, pelbagai bentuk radikalisme atas nama agama mengharapakan perubahan signifikan secara
cepat kendatipun harus bertentangan dengan sistem sosial masupun norma di suatu tempat (negara).
Argumen mendasar mengapa komitmen kebangsaan sangat urgen untuk dijadikan sebagai nilai dalam
pembentukan sikap moderasi beragama, disebabkan dalam perspektif moderasi beragama, kesadaran
untuk mengimplementasikan ajaran agama sama halnya dengan mengimplementasikan kewajiban
sebagai warga negara. Dengan kata lain, merealisasikan kewajiban sebagai warga negara menjadi
bentuk manifestasi dari pengamalan ajaran agama. Pada ranah aksinya, radikalisme juga sering
diidentikan dengan aksi terorisme atas nama agama. Hal ini disebabkan Moderasi Beragama Dalam
Ideologi Pancasila POROS ONIM, Volume 3, Nomor 1, Juni 2022 23 kelompok radikal juga dapat
melakukan pelbagai bentuk dan cara agar orientasinya terealisasi kendatipun harus meneror atau
merugikan pihak lain yang tidak sejalan. Selain itu, penting untuk dipahami juga bahwa aksi
radikalisme atas nama agama dapat terjadi pada semua pemeluk agama (keyakinan) apapun, yakni
tidak hanya agama tertentu. Keempat, akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Indikator moderasi
beragama yang keempat ini dapat menjadi basis nilai dalam pembentukan karakteri keberagamaan
individu agar dapat bersikap moderat dalam merespons pluralitas kearifan lokal yang sudah
mentradisi, yakni membudaya pada pelbagai daerah di Indonesia. Pada konteks inilah, sikap
akomodatif terhadap tradisi lokal diharapkan dapat membentuk paradigma dan sikap moderasi
beragama individu yang ramah terbuka dan toleran dalam merespons ragam praktik tradisi kearifan
lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran agamanya (Tim Penyusun Kementerian Agama RI,
2019: 43–47). Terlebih tingginya pluralitas budaya sebagaimana di Indonesia menjadi aset kultural
sekaligus penting mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat
untuk menjaga keharmonisannya. Hal ini disebabkan aset kultural dapat berpotensi besar dalam
memicu terjadinya konflik sosial maupun agama (Prasojo & Pabbajah, 2020). Sikap perilaku
beragama yang akomodatif terhadap pelbagai bentuk budaya lokal dapat menjadi medium untuk
digunakan dalam mengidentifikasi kesediaan individu umat beragama dalam menghormati dan
mengharagi kemajemukan bentuk kearifan budaya lokal yang ada di Indonesia. Pada konteks inilah,
setiap masing-masing individu yang cenderung berpaham dan bersikap moderat dalam kehidupan
keberagamaannya dalam ranah praksisnya akan lebih ramah terhadap realitas kemajemukan tradisi
dan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran pokok (prinsipil) dalam agama tertentu.
Dengan kata lain, sikap akomodatif terhadap kearifan tradisi lokal dapat melahirkan paham dan sikap
moderasi beragama guna merealisasikan keharmonisan hidup dalam keragaman praktik
keberagamaan yang sarat dengan budaya lokal (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019: 46–
47). Keberadaan empat indikator moderasi beragama yang telah diuraikan di atas akan menjadi teori
analisis dalam mengeksplorasi sekaligus mengidentifikasi dimensi nilai-nilai moderasi beragama
dalam konstruksi Pancasila.
Pendidikan agama sungguh menjawab tantangan zaman. Sekolah bukan mendidik ke masa
lampau, tetapi menyambut masa depan yang lebih cerah. Sekolah-sekolah di bawah naungan
Agama diharapkan mampu mendidik peserta didik yang memiliki hati yang arif dan
bijaksana, mendidik akal, dan memiliki intelektual yang baik. Pendidikan agama mempunyai
peran penting untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki sikap religius yang baik.
Dengan memiliki sikap religius yang baik peserta didik mampu menyikapi perkembangan
zaman secara bijak, tanpa melanggar norma-norma agama yang menjadi sumber nilai-nilai
kebenaran.
Perbedaan Pendidikan Agama Di Indonesia Dan Diluar Negeri
Pendidikan Agama di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk
karakter siswa disamping menumbuhkan keterampilan ilmu pengetahuan. Itulah yang
membedakan fungsi dan tujuan pendidikan agama di Indonesia dengan negara-negara lain di
Timur Tengah, Eropa, dan Amerika.
di negara-negara Eropa dan Amerika, pendidikan agama hanya sebagai instrumen
menciptakan kohesi sosial. Sedangkan di negara-negara Timur Tengah, pendidikan agama
untuk membentuk manusia yang shaleh. “Di Indonesia, pendidikan agama mempunyai tujuan
kedua-duanya. Selain untuk menciptakan manusia-manusia berilmu pengetahuan dan
menumbuhkan kohesi sosial, artinya mewujudkan keseimbangan kehidupan di tengah
masyarakat, pendidikan agama di Indonesia juga untuk membentuk manusia yang shaleh.
Indonesia terbentuk dari berbagai pulau, bermacam agama, budaya, suku dan bahasa tentunya memiliki
banyak sekali tantangan untuk dapat mempertahankan semangat kebangsaan. Berdasarkan perbedaan
yang ada tersebut tentunya tidak menyurutkan semangan kebangsaan
para generasi bangsa. Pancasila dipilih sebagai dasar negara bukan tanpa alasan dan sebab yang
mendukung. Berdasarkan latar belakang bangsa Indonesia yang nemiliki keberagaman, maka
dirumuskanlah pancasila yang dapat mempererat dan mempersatukan hubungan antara setiap
masyarakat. Sebagai dasar negara Indonesia pancasila terbukti sebagai media pemersatu bangsa.
Berdasarkan kelima sila yang terdapat dalam pancasila dapat menjadikan kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi lebih kokoh terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.
Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa memiliki arti bahwa segala aktivitas kehidupan yang
ada harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, tentunya
Indonesia juga memiliki cita-cita yang telah tertuang pada pembukaan
UUD 1945. Cita-cita yang ingin dicapai bangsa Indonesia tentunya harus berdasarkan dengan sila-sila
yang ada pada Pancasila. Salah satu dari cita-cita bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan
umum.
Jika dilihat melalui butir-butir pancasila tetunya cita-cita tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam sila pancasila. Pancasila yang mengandung nilai-nilai penting sebagai landasan untuk
bertingkah laku, harus ditanamkan dalam diri masing-masing
rakyat Indonesia karena dengan begitu akan membantu meningkatkan semangat kebangsaan para rakyat
Indonesia. Akan tetapi, Pancasila tidak dapat berdiri sendiri, kembali lagi Pancasila juga membutuhkan
agama karena ajaran agama akan menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap
negara atau bangsa sehingga rasa ingin setia terhadap bangsa atau negara juga tumbuh dengan sendirinya
dari dalam diri sendiri. Meski
4 Sinergi Pancasila dan Agama dalam Penguatan Semangat Kebangsaan
banyak yang ragu karena setiap ajaran agama satu dengan yang lain memiliki perbedaan, tetapi Pancasila
telah dibentuk sebagai media bagi pemersatu perbedaan yang ada di Indonesia termasuk agama sehingga
dengan adanya Pancasila terdapat tujuan yang jelas yaitu menciptakan
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI yang harmonis. Oleh karena itu, apabila nilai-nilai
Pancasila dan agama ditanamkan dan diterapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka akan tercipta
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI yang mensejahterakan seluruh
masyarakatnya. Wujud dari implementasi cita-cita bangsa Indonesia salah satunya adalah adanya
pemenuhan hak-hak setiap masyarakat dalam memlilih agamanya masing-masing tanpa ada pemaksaan
dari pihak manapun. Sekarang ini di Indoneisa telah diakui beberapa agama yaitu
Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu.
Pemenuhan hak mengenai kebebebasan memilih agama juga sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 E
ayat 1. Sila pertama dalam pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” secara tidak langsung
memiliki posisi yang sangat kuat dalam sila-sila yang lain,sehingga dapat
menguatkan sila-sila yang lain. Dengan adanya sila pertama tersebut diharapkan ajaran mengenai
agama yang ada dapat dengan mudah tersampaikan kepada masyarakat. Akan tetapi, terdapat beberapa
orang yang salah mengartikan makna yang terkandung dalam pancasila sehingga memberikan dampak
buruk terhadap pemikiran mengenai dasar negara yang selaras dengan agama. Untuk menyikapi adanya
hal seperti ini perlu dilakukan peningkatan pemahaman kembali mengenai pentingnya pancasila sebagai
dasar negara dan hubungan pancasila dengan agama yang diyakini.
Nilai-nilai pancasila merupakan nilai yang sangat penting karena mengandung nilai-nilai luhur bangsa
dan sangat sesuai untuk dijadikan
Tim Asosiasi Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan (ADPK) sebagai pembangunan karakter
generasi bangsa agar tercipta semangat kebangsaan. Jika kita menilik kembali pada masa perumusan
pancasila, dimana pancasila dirumuskan berdasarkan pemikiran tokoh, kebudayaan dan agama yang ada.
Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pancasila tidak hanya berfokus pada satu hal saja,melainkan
seluruh permasalahan yang muncul telah didasarkan pada pancasila sebagai dasar negara. Salah satu
permasalahan yang sering muncul di Indonesia adalah mengenai agama. Sebagai negara yang memiliki
banyak sekali keberagaman tentunya sudah bisa dipastikan akan memiliki masalahmasalah yang muncul.
Permsalahan agama bukan hal yang sepele karena menyangkut dengan keyakinan. Menggunakan
pancasila sebagai pemersatu dari perbedaan yang ada dalam setiap agama bukanlah hal yang salah karena
pancasila merupak memiliki nilai-nilai yang relevan untuk dijadikan solusi dari keberagaman yang ada.
Berdasarkan riset yang telah ada telah terjadi konflik antar umat beragama karena munculnya presepsi
satu kelompok lain yang berbeda agama memicu adanya konflik. Seperti yang terjadi beberapa waktu
yang lalu terdapat beberapa umat beragama yang memberikan presepsi bahwa umat Islam merupakan
umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran agama lain.
Sementara itu, umat kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius. Terjadinya konflik ini
tidak hanya semata-mata berdasarkan agama, tetapi juga berdasakan permasalahan sosial-ekonomi dan
politik. Sebagai negara yang menggunakan Pancasila sebagai dasar negara tentunya diharapkan konflik
antar agama bisa terselesaikan dan tidak bermunculan kembali. Akan tetapi masih muncul konflik-konflik
tersebut, sehingga perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai nilai-nilai pancasila yang
seharusnya dapat mempersatukan agama yang satu dengan yang lainnya.
Daftar Pustaka