Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS, ADVOKASI, DAN PENDIDIKAN


KESEHATAN PADA KLIEN DENGAN AKI DAN ARDS

Dosen Pembimbing :
Harmayetty, S.Kp.,M.Kes.

Disusun oleh
Kelompok 5/A2/2017
1. Esa Nur Ramadhani 131711133010
2. Shella Panca Oktavia 131711133013
3. Monicha Saraswati 131711133071
4. Rizka Amalia S. 131711133092
5. Annisa Fitria 131711133094
6. Merry Noviyanti 131711133146

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Kritis, Advokasi, dan Pendidikan Kesehatan pada Klien dengan AKI dan ARDS”.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis hanturkan kepada junjungan kita, Nabi semesta alam
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Harmayetty,
S.Kp.,M.Kes. selaku dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah memberikan
kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini dan juga penulis berterimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
demi perbaikan makalah yang akan penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi para
pembaca dan penulis khususnya.

Surabaya, 25 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 AKI (Acute Kidney Injury) 3
2.1.1 Definisi 3
2.1.2Klasifikasi 3
2.1.3 Etiologi 5
2.1.4Patofisiologi8
2.1.5 WOC 14
2.1.6 Manifestasi Klinis 15
2.1.7Komplikasi 18
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik 18
2.1.9 Penatalaksanaan 21
2.1.10 Prognosis 25
BAB 3PENUTUP 26
3.1Kesimpulan 26
3.2 Saran 26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba
atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan
konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi
biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal,
sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin,
dimana jumlah urin mendadak berkurang di bawah 300 ml/m 2 dalam sehari disertai
gangguan fungsi ginjal lainnya. Sering dipergunakan istilah lain untuk keadaan tersebut
seperti nefrosis toksik akut atau nekrosis tubular akut.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kejadian AKI di negara-negara
berkembang dan di negara-negara maju. Di daerah perkotaan di negara berkembang,
penyebab utama AKI banyak ditemukan di Rumah Sakit (Sepsis, iskemia ginjal, dan
konsumsi obat nefrotoksik), sedangkan di daerah pedesaan, AKI disebabkan akibat
penyakit yang terdapat di masyarakat (diare, dehidrasi, penyakit menular, racun hewan,
dll). Kurangnya pelaporan AKI terutama di negara-negara berkembang menjadi masalah
besar terhadap tingkat pengetahuan tentang AKI di masyarakat. Namun dilaporkan bahwa
di negara-negara maju, prevalensi AKI turut meningkat. Di ICU diperkirakan terjadi
hingga 15% kasus dan lebih umum pada pasien yang sakit kritis, di mana prevalensinya
diperkirakan hingga 60%. Pada penelitian yang lain disebutkan juga bahwa prevalensi
terjadinya AKI mencapai 4,3% terjadi hampir di semua pasien rawat inap di rumah sakit.
Namun dampak dari AKI masih diremehkan oleh masyarakat sehingga penderita AKI
tidak dirujuk ke rumah sakit.
Kejadian AKI pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat
ditemukan terjadi pada 3,9 per 1000 pasien. Sebagian besar kasus AKI pada anak-anak
adalah penyakit sekunder pada mekanisme volume responsif (misalnya diare, hipoperfusi
ginjal setelah operasi) dan penyait sekunder akibat sepsis. Kondisi yang lainnya, seperti
penyakit hemolitik uraemik dan glomerulonefritis telah terbukti meningkatkan prevalensi
kejadian AKI di berbagai belahan dunia dengan hasil yang bervariasi, biasanya paling
banyak disebabkan karena telambatnya rujukan pasien AKI ke rumah sakit. Kejadian AKI
lebih sering terjadi pada lansia (lebih dari 65 tahun) karena terdapat perubahan pada
anatomi dan fisiologis pada tubuh lansia. Pada ginjal yang menua dan sebagian ke

1
berbagai penyakit penyerta seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal
kronis (CKD) yang mungkin memerlukan prosedur dan/atau obat-obatan yang bertindak
sebagai penekan ginjal dan mengubah hemodinamik ginjal atau bersifat nefrotoksik.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa AKI dikaitkan dengan koplikasi
jangka pendek dan jangka panjang. Dalam tinjauan sistematis dari 24 studi yang
melibatkan lebih dari 71000 pasien dengan kriteria RIFLE, digunakan untuk penentuan
stadium AKI yang diderita. Ditemukan bahwa tingkat kematian adalah 18,9% di kelas
'risiko', 36,1% di kelas 'cedera' dan 46,5% di kelas 'kegagalan'. Penderita AKI dalam unit
perawatan intensif (ICU), menunjukkan bahwa 4-5% semua pasien AKI dengan
penggantian ginjal (RRT) menunjukan angka kematian melebihi 60%. RIFLE sendiri
merupakan kriteria risk injury failure loss end stage, yang digunakan untuk mengetahui
klasifikasi AKI yang diderita oleh pasien.

1.2 Tujuan Masalah


1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pembelajaran mata kuliah keperawatan kritis tentang Acute
Kidney Injury (AKI) dan Acute Respiratory Distress Syndrom ( ARDS) mahasiswa
diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan yang komprehensif dalam Critical
Care.
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui Definisi dari Acute Kidney Injury (AKI)
2) Mengetahui Klasifikasi dari Acute Kidney Injury (AKI)
3) Mengetahui Etiologi dari Acute Kidney Injury (AKI)
4) Mengetahui Patofisiologis dari Acute Kidney Injury (AKI)
5) Mengetahui Manifestasi Klinis dari Acute Kidney Injury (AKI)
6) Mengetahui bagaimana Acute Kidney Injury (AKI) dapat menyebabkan Acute
Respiratory Distress Syndrom (ARDS)
7) Mengetahui Pemeriksaan Penunjang dari Acute Kidney Injury (AKI)
8) Mengetahui Penatalaksanaan dari Acute Kidney Injury (AKI)
9) Mengetahui Komplikasi dari Acute Kidney Injury (AKI)
10) Mengetahui Prognosis dari Acute Kidney Injury (AKI)
11) Mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien AKI dan ARDS

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AKI(Acute Kidney Injury)


2.1.1 Definisi
Cedera ginjal akut (AKI) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak
dengan penurunan filtrasi glomerulus dan akumulasi produk limbah nitrogen
dalam darah yang ditunjukkan oleh peningkatan kreatinin plasma dan
nitrogen urea darah.

2.1.2 Klasifikasi
1. Pre renal acute kidney injury
Keadaan menurunnya aliran darah, tekanan darah, atau perfusi
ginjal yang terjadi sebelum darah artery mencapai arteri renalis yang
memasok ginjal. Ketika hipoperfusi akibat curah jantung rendah,
hemorarge, vasodilatasi, thrombosis, atau penyebab lain yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke ginjal kemudian filtrasi
glomerulus berkurang dan mengakibatkan output urin juga berkurang.
2. Intrarenal acute kidney injury
Setiap kondisi yang menghasilkan kerusakan iskemik atau toksik
langsung di lokasi nefron yang menyebabkan pasien beresiko mengalami
pengembangan AKI intrarenal. kerusakan iskemik dapat disebabkan oleh
hipotensi yang berkepanjangan atau curah jantung yang rendah. Reaksi
cedera toksik dapat terjadi sebagai respons terhadap subtansi yang
merusak endotel tubulus ginjal, seperti beberapa obat antimikroba dan
pewarna kontras yang digunakan dalam studi diagnostik radiologis.
kerusakan bisa melibatkan glomeruli dan epitel tubular. ketika struktur
penyaringan internal dipengaruhi secara patologis, kondisi ini disebut
nekrosis tubular akut
3. Postrenal acute kidney injury
Obstruksi yang menghambat aliran urin dari luar ginjal melalui sisa
saluran kemih dapat menyebabkan aki postrenal. Obstruksi dapat terjadi
pada setiap tempat dalam saluran perkemihan. Hal ini bukan penyebab
umum gagal ginjal pada pada pasien sakit kritis. Jika tiba-tiba timbul

3
anuria (keluaran urin <100 ml / 24 jam) harus meminta verifikasi bahwa
kateter urin tidak tersumbat.
Klasifikasi AKI berdasarkan kriteria RIFLE
Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog
dan intensivis di Amerika mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria
RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi
ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihat
dalam table.
Kategori Peningkatan SCr Penurunan LFG Kriteria UO
Risk ≥1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
≥6 jam
Injury ≥2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
≥12 jam
Failure ≥3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
atau ≥4 mg/dL dengan ≥24 jam atau anuria
kenaikan akut ≥0,5 ≥12 jam
mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu
ESKD penyakit ginjal stadium akhir ( > 3 bulan terakhir)

Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN (Acute Kidney Injury Network)


Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO
≥1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam
1
≥0,3 mg/dL
2 ≥2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12 jam
≥3,0 kali nilai dasar atau ≥4 mg/dL <0,5 mL/kg/jam, ≥24 jam
3 dengan kenaikan akut ≥0,5 mg/dL atau atau anuria ≥12 jam
inisiasi terapi pengganti ginjal

Klasifikasi AKI
Prerenal AKI  Hipotensi yang berkepanjangan (sepsis, vasodilatasi)
 Curah jantung rendah yang berkepanjangan (gagal
jantung, syok kardiogenik)
 Kurangnya volume yang berkepanjangan (dehidrasi,
perdarahan)
 Renovaskular trombosis (tromboemboli)

4
Intrarenal AKI  Iskemia ginjal (Prerenal AKI stadium lanjut)
 Toksin endogen (rhabdomyolysis, tumor lysis
syndrome)
 Toksin eksogen (pewarna radiokontras, obat
nefrotoksik)
 Infeksi (glomerulonefritis akut, nefritis interstitial)
Postrenal AKI  Obstruksi (uretra, prostat, atau kandung kemih)

2.1.3 Etiologi
Kategori Abnormalitas Penyebab
Prerenal Hipovolemia  Perdarahan Hipovolemia
 Kekurangan volume
 Kehilangan cairan ginjal (over-
diuresis)
 Terbakar, peritonitis, trauma otot
Fungsi jantung  Gagal jantung kongestif
terganggu  Infark miokard akut
 Emboli paru masif
Vasodilatasi sistemik  Obat anti hipertensi
 Bakteri gram negatif
 Sirosis
 Anafilaksis
Peningkatan resistensi  Anestesi
pembuluh darah  Operasi
 Sindrom hepatorenal
 Obat-obatan NSAID
 Obat yang menyebabkan
vasokonstriksi ginjal
Intrarenal Tubular  Iskemia ginjal (syok, komplikasi
operasi, perdarahan, trauma,
bakteremia, pankreatitis, kehamilan)
 Obat-obatan nefrotoksik (antibiotik,
obat antineoplastik, media kontras,
pelarut organik, obat bius, logam berat)

5
 Racun endogen (mioglobin,
hemoglobin, asam urat)
Glomerular  Glomerulonefritis pasca infeksi akut
 Lupus nefritis
 Glomerulonefritis IgA
 Endokarditis infektif
 Sindrom Goodpasture
 Penyakit Wegener
Interstitium  Infeksi (bakteri, virus)
 Obat-obatan (antibiotik, diuretik,
NSAID, dan obat lainnya)
Vaskular  Pembuluh darah besar (stenosis arteri
ginjal bilateral, trombosis vena ginjal
bilateral)
 Pembuluh darah kecil (vaskulitis,
hipertensi maligna, aterosklerotik atau
emboli trombotik, sindrom uraemik
hemolitik, purpura trombositopenik
trombotik)
Postrenal Obstruksi ekstrarenal  Hipertrofi prostat
 Pemasangan kateter yang tidak tepat
 Kanker kandung kemih, prostat atau
serviks
 Fibrosis retroperitoneal
Obstruksi intrarenal  Nefrolitiasis
 Gumpalan darah
 Nekrosis papiler

2.1.4 Patofisiologi
Aliran Darah Ginjal
Ginjal adalah organ yang sangat vaskular dan biasanya menerima 1000
hingga 1200 ml darah per menit, atau sekitar 20% hingga 25% dari curah
jantung. Dengan hematokrit normal 45%, sekitar 600 hingga 700 ml darah
yang mengalir melalui ginjal per menit adalah plasma. Dari aliran plasma

6
ginjal (RPF), 20% (sekitar 120 hingga 140 ml / menit) disaring di glomerulus
dan masuk ke kapsul Bowman. Filtrasi plasma per unit waktu dikenal sebagai
laju filtrasi glomerulus (GFR), yang secara langsung berkaitan dengan
tekanan perfusi dalam kapiler glomerulus. Sisa 80% (sekitar 480 ml) plasma
mengalir melalui arteriol eferen ke kapiler peritubular. Rasio filtrat
glomerulus terhadap RPF per menit (120/600 = 0,20) disebut fraksi filtrasi.
Biasanya semua kecuali 1 hingga 2 ml filtrat glomerulus diserap kembali dan
dikembalikan ke sirkulasi oleh kapiler peritubular.
GFR berhubungan langsung dengan aliran darah ginjal (RBF),
yang diatur oleh mekanisme autoregulasi intrinsik, regulasi saraf, dan
regulasi hormon. Secara umum, aliran darah ke organ apa pun ditentukan
oleh perbedaan tekanan arteriovenosa di seluruh pembuluh darah. Jika
resistensi tekanan arteri rata-rata meningkat, maka RBF berkurang.
Autoregulasi
Di dalam ginjal mekanisme autoregulasi menjaga laju aliran darah
glomerulus sehingga GFR cukup konstan pada kisaran tekanan arteri antara
80 dan 180 mmHg. Tujuan autoregulasi ginjal adalah untuk mencegah
fluktuasi dalam tekanan arteri sistemik yang ditransmisikan ke kapiler
glomerulus. Dengan cara ini, fluktuasi besar pada GFR dicegah, zat terlarut
dan ekskresi air secara konstan dipertahankan ketika tekanan arteri berubah.
Hormon yang mempengaruhi ginjal
Regulator hormon utama RBF adalah sistem renin-angiotensin-
aldosteron, yang dapat meningkatkan tekanan arteri sistemik, mengubah RBF,
dan meningkatkan reabsorpsi natrium. Renin adalah enzim yang dibentuk
dan disimpan dalam sel granular arteriol aferen juxtaglomerular. Beberapa
mekanisme fisiologis yang kompleks merangsang pelepasan renin.
Ketika renin dilepaskan, ia membelah a-globulin (angioten-sinogen
yang diproduksi oleh hepatosit hati) dalam plasma untuk membentuk
angiotensin 1, yang secara fisiologis tidak aktif. Kehadiran angiotensin-
converting enzyme (ACE) yang dihasilkan dari endotel paru dan ginjal,
angiotensin I dikonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II menstimulasi
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal yang merupakan vasopresor yang
kuat, menghambat pelepasan renin, dan menstimulasi sekresi dan hormon
antidiuretik (ADH). Vitamin D, adalah regulator endokrin negatif yang

7
potensial untuk ekspresi gen renin. Terdapat beberapa fungsi dari sistem
renin-angiotensin-aldosteron yakni untuk menstabilkan tekanan darah
sistemik dan menjaga volume cairan ekstraseluler selama hipotensi atau
hipovolemia, termasuk reabsorpsi natrium, ekskresi kalium, vasokonstriksi
sistemik, stimulasi saraf simpatik. ACE hibitor adalah obat yang menurunkan
tekanan darah.
Natriuretik peptida adalah kelompok hormon peptida yang didalamnya
termasuk atrium natriuretik peptida (ANP) yang disekresikan dari atrium
kanan, peptida natriuretik otak (BNP) yang disekresikan dari ventrikel
jantung, jenis natriuretik C-type dari endotelium pembuluh darah, dan
urodilantin yang dikeluarkan oleh tubulus distal dan saluran pengumpul.
ketika jantung dilatasi selama ekspansi volume atau gagal jantung, ANP dan
BNP menghambat sekresi renin, menghambat sekresi aldosteron yang
diinduksi angiotensin, vasodilatasi aferen dan menghambat penyerapan
natrium dan air oleh tubulus ginjal. peptida natriuretik tipe-c adalah
vasodilator, dan urodilantin meningkatkan ekskresi natrium klorida ginjal.
hasilnya terjadi peningkatan pembentukan urin, penurunan volume darah dan
tekanan darah.
Cedera ginjal akut prerenal adalah penyebab paling umum AKI dan
disebabkan oleh hipoperfusi ginjal yang terjadi dengan cepat selama beberapa
jam dengan peningkatan kadar BUN dan kadar kreatinin plasma. Selama fase
awal mekanisme autoregulatori mempertahankan GFR pada tingkat yang
relatif konstan melalui pelebaran arteriol aferen dan vasokonstriksi arteriol
eferen (oleh angiotoensin II). GFR pada akhirnya menurun karena penurunan
tekanan filtrasi. Perfusi yang buruk dapat diakibatkan oleh hipotensi,
hipovolemia, perdarahan, atau curah jantung yang tidak adekuat. Kegagalan
untuk mengembalikan volume darah atau tekanan darah dan pengiriman
oksigen dapat menyebabkan cedera sel dan nekrosis tubular akut atau
nekrosis interstitial akut, bentuk yang lebih parah dari AKI. Karena
berkurangnya sirkulasi ginjal, zat terlarut yang absorbs dari cairan tubulus
dikeluarkan lebih lambat dari normal di interstitium medula ginjal. Hal ini
menyebabkan peningkatan tonisitas medula sehingga menambah reabsorbsi
air dan jumlah cairan tubular. Sebagai akibat dari kejadian ini, volume urin

8
berkurang menjadi kurang dari 400 mL / hari (<17 mL / jam), berat jenis urin
meningkat, dan konsentrasi natrium urin rendah (biasanya <5 mEq / L).
Pada intra renal acute kidney injury berkaitan dengan adanya
kerusakan pada jaringan parenkim ginjal. Kerusakan ini dipicu oleh trauma
maupun penyakit-penyakit pada ginjal itu sendiri jaringan yang menjadi
tempat utama fisiologis ginjal, jika rusak akan mempengaruhi berbagi fungsi
ginjal. Cedera ginjal akut postrenal jarang terjadi dan biasanya terjadi dengan
obstruksi saluran kemih yang memengaruhi ginjal secara bilateral. Obstruksi
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal hulu dari obstruksi dengan
penurunan bertahap GFR. Akibatnya, reabsorpsi natrium, air, dan urea
meningkat, yang mengarah ke rendahnya konsentrasi natrium urin
meningkatnya osmolalisasi urin dan BUN. Kadar kreatinin serum juga
meningkat. Dengan tekanan berkepanjangan dari obstruksi saluran kemih,
seluruh sistem pengumpulan melebar, menekan dan merusak nefron. Hal ini
mengakibatkan disfungsi pada mekanisme pemekatan dan pengenceran,
sehinga osmolalitas urin dan konsentrasi natrium urin menjadi serupa dengan
plasma.
Studi terbaru telah menemukan hubungan antara disfungsi ginjal dan
organ jauh. Dalam kebanyakan kasus penyakit ginjal secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi fungsi paru-paru dan menyebabkan paru-paru
diakui sebagai salah satu organ yang paling terkena dampak dari cedera
ginjal. Komplikasi pernapasan sebagian besar berhubungan dengan gagal
ginjal, dan sebaliknya AKI adalah kejadian umum pada pasien dengan
ventilasi mekanik.
Crosstalk ini melibatkan interaksi kompleks antara banyak faktor
biokimia, seluler dan jaringan spesifik yang merangsang persinyalan pro-
inflamasi dan pro-apoptosis jarak jauh. Jalur imun bawaan sebagian besar
dimediasi melalui produksi radikal bebas oksigen, sekresi sitokin inflamasi
dan perekrutan sel polimorfonuklear. Gangguan filtrasi ginjal menyebabkan
peningkatan gradien tekanan filtrasi trans-kapiler dan meningkatkan edema
jaringan. Edema terutama memiliki konsekuensi serius pada paru-paru karena
edema paru merusak pertukaran gas dan dapat menyebabkan kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa. Gagal paru dapat berkembang menjadi cedera
paru akut (ALI) dan akhirnya sindrom gangguan pernapasan.

9
Salah satu efek terbesar AKI pada sistem paru adalah melalui
ketidakseimbangan air. Transporter cairan paru dan elektrolit berubah setelah
AKI. Pompa natrium ATPase dan saluran natrium epitel (ENaC)
meningkatkan penyerapan natrium dari rongga alveolar ke dalam sel epitel
alveolar. Kemudian, air secara pasif mengikuti natrium dari alveoli. Studi
telah menunjukkan bahwa gagal ginjal dapat menurunkan regulasi transporter
air garam epitel seperti ENaC, natrium-kalium ATPase dan aquaporin-5 di
paru-paru, yang semuanya berkontribusi terhadap permeabilitas pembuluh
darah paru yang tinggi dan pembersihan cairan alveolar yang rendah. Edema
jenis ini merupakan konsekuensi dari gangguan berikut: retensi natrium air
yang disebabkan oleh cedera ginjal; peningkatan tekanan kapiler paru
hidrostatik dan mengubah kekuatan Starling; hilangnya integritas membran
pada epitel endotel kapelaris dan alveoli; kebocoran protein plasma dan
akumulasi cairan alveolar. Karena paru-paru mengandung banyak pembuluh
darah, itu adalah organ yang paling rentan terhadap cedera. Pasien edema
paru memiliki masa tinggal yang lama di rumah sakit, ventilasi mekanik, dan
tingkat pneumonia yang lebih tinggi. Retensi air yang diinduksi cedera ginjal
menghasilkan penurunan kepatuhan paru dan peningkatan kerja pernapasan
pada pasien. Kondisi ini menyebabkan pertukaran gas terganggu, yang dapat
menjadi hipoksemia arteri refrakter yang parah dan mengancam jiwa. Setiap
intervensi untuk mengurangi edema paru dapat memiliki efek signifikan
dalam meningkatkan kesehatan pasien.
Edema paru memiliki banyak protein plasma termasuk enzim
proteolitik, protein, fibrinogen dan fibrin dalam isinya, yang dapat
menyebabkan penghancuran protein surfaktan. Kerusakan sel epitel alveolar
yang disebabkan oleh mediator inflamasi dapat memiliki efek tambahan
dalam penghancuran dan penurunan surfaktan. Meskipun volume gagal ginjal
yang berlebih memiliki peran penting dalam timbulnya ALI tetapi bukti
menunjukkan bahwa kerusakan paru-paru dapat terjadi bahkan tanpa adanya
keseimbangan cairan positif. Di sisi lain, tampaknya uremia bertanggung
jawab atas efek cedera ginjal pada pengangkut garam dan air paru-paru.
Efek berbahaya AKI pada fungsi paru-paru bisa berhubungan dengan
hilangnya keseimbangan normal dari metabolisme mediator imun, inflamasi
dan terlarut. Ginjal memainkan peran penting dalam metabolisme dan

10
pembersihan sitokin. Gangguan fungsi ginjal dikaitkan dengan
ketidakseimbangan sitokin (baik produksi dan eliminasi) dalam sirkulasi. Ini
mengungkapkan bahwa jalur penting cedera paru setelah cedera ginjal dapat
timbul dari disregulasi sitokin di ginjal, dengan aktivasi lebih lanjut sel-sel
kekebalan asli paru-paru dan komplikasi pernapasan. Selain itu ada sistem
pembuluh darah besar di paru-paru yang mempercepat deposisi paru dari
beberapa mediator inflamasi. Regulasi gen pro-inflamasi dan sitokin inflamasi
setelah AKI memiliki efek penting pada onset dan perkembangan ALI.
Percobaan pada hewan telah menunjukkan bahwa AKI menyebabkan aktivasi
gen mediator proinflamasi dan anti-inflamasi di paru-paru. Produk dari gen
proinflamasi ini seperti Cd14, lipocalin-2, chemokine ligand-2 (CXCL2), dan
IL-6 dapat dilepaskan ke dalam sirkulasi dan memulai radang peradangan di
paru-paru.
Selain itu, sitokin inflamasi terutama interleukin (IL-6, IL-8, IL-1β),
faktor nekrosis tumor α (TNF-α), protein inflamasi makrofag 2, protein
amiloid A adalah mediator utama yang terlibat dalam perkembangan organ
jauh. cedera termasuk gagal paru-paru setelah AKI. NF-κB adalah faktor
transkripsi pro-inflamasi yang mengarah pada ekspresi gen protein inflamasi,
termasuk sitokin, kemokin, dan molekul adhesi.
Reaksi inflamasi sistematis, akumulasi metabolit toksik setelah AKI,
dan penurunan kelalaian dan inaktivasi mediator inflamasi melalui ginjal,
menyebabkan peningkatan mediator dalam plasma. Mediator ini dapat
mengubah permeabilitas pembuluh darah paru yang memperburuk edema,
infiltrasi leukosit, dan gangguan pernapasan. IL-6 tampaknya menjadi faktor
kematian pasien di AKI karena peran khususnya dalam inisiasi dan perluasan
proses inflamasi. Baru-baru ini, Klein et al 12 menunjukkan bahwa model
tikus KO IL-6 memiliki infiltrasi neutrofil yang lebih sedikit, aktivitas
myeloperoxidase dan permeasi kapiler yang mengakibatkan edema paru yang
lebih rendah. TNF-α juga merupakan sitokin vital dalam mediasi ALI. Ini
membujuk aktivasi sel endotel paru, migrasi sel darah putih, degranulasi
granulosit, stimulasi spesies oksigen reaktif dan kebocoran kapiler.
Selanjutnya, TNF-α berinteraksi dengan banyak sitokin yang dapat
menyebabkan efek luas. Misalnya TNF-α meningkatkan genesis IL-6. Kita
dapat mengklasifikasikan pelepasan berbagai sitokin pada AKDS yang

11
diinduksi AKI sebagai biomarker diagnostik dalam fase-fase kejadian varian
waktu.
Neutrofil adalah sel imun pertama yang tiba di lokasi cedera atau
peradangan. Setelah aktivasi, neutrofil mengalir dari sel endotel vaskular ke
interstitium dan masuk ke ruang alveolar. Rekrutmen neutrofil ke paru-paru
adalah salah satu peristiwa penting dalam pengembangan ARDS. Kapiler
alveolar adalah situs utama sekuestrasi dan marginasi neutrofil. Jaringan
kapiler paru terdiri dari sejumlah besar segmen dengan sekitar 40% sama
dengan, atau diameter lebih kecil dari neutrofil. Hampir 50% populasi
leukosit yang bersirkulasi dapat dipisahkan dalam pembuluh darah paru-paru.
Penyerapan neutrofil paru adalah peristiwa awal yang terjadi pada peradangan
paru-paru patologis. Peristiwa apoptosis dan mediator inflamasi terutama
sitokin IL-6 dan IL-8 bertanggung jawab atas perekrutan leukosit selama
respons inflamasi AKI. Selain itu, sitokin dan kemokin menyebabkan aktivasi
integrin yang mengarah ke adhesi neutrofil pada endotelium. Tampaknya
integrin β2 memiliki peran khusus dalam perekrutan neutrofil.
Margin neutrofil untuk endotelium vaskular berpartisipasi dalam
sumbat mikrovaskular, kemacetan vaskular dan kerusakan dengan
melepaskan spesies oksigen reaktif dan enzim proteolitik yang kuat.Neutrofil
juga dapat melepaskan berbagai sitokin termasuk interferon (IFN) -γ, 53 IL-4,
54 IL-6, 55 IL-10, 56 dan TNF-α.
Tampaknya neutrofil dan neutrofil elastase, serase protease yang
tersedia dalam butiran neutrofil, memiliki peran penting dalam cedera endotel
dan meningkatkan permeabilitas vaskular pada ARDS.
Stres oksidatif dan konsekuensi sistemiknya mungkin memainkan
peran penting dalam cedera paru yang diinduksi AKI. Peningkatan kadar
malondialdehyde (MDA) jaringan paru (penanda peroksidasi lipid) telah
diamati pada tikus dengan AKI.
Ada tiga sumber utama stres oksidatif: 1) Aktivasi neutrofil dalam
sirkulasi paru menyebabkan pelepasan radikal bebas dalam jumlah besar dan
spesies oksigen reaktif , 2) Akumulasi makrofag teraktivasi pada jaringan
yang terluka dapat menyebabkan kematian sel dengan melepaskan spesies
oksigen reaktif; 3) Sumber terakhir stres oksidatif pada pasien ARDS adalah
ketersediaan oksigen tingkat tinggi yang digunakan selama terapi ventilator.

12
Tampaknya aktivitas dan potensi antioksidan juga menurun pada pasien ini.
Glutathione adalah antioksidan penting dalam paru-paru yang menurun pada
pasien-pasien dengan ARDS. Metnitz dan rekan menunjukkan bahwa kadar
alfa-tokoferol, vitamin C, beta-karoten, dan selenium plasma berkurang pada
pasien ARDS. Kejadian-kejadian ini menyebabkan peningkatan produksi
oksidan, menciptakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan
yang akan mengarah pada jalur kematian sel. Kondisi peradangan pada cedera
paru-paru merupakan peluang yang cocok bagi radikal bebas untuk
membanjiri antioksidan endogen.
Faktor peradangan berikut AKI mengaktifkan stres oksidatif dan
produksi spesies oksigen reaktif yang dapat menyebabkan ALI dengan
beberapa mekanisme termasuk: peroksidasi lipid, kerusakan oksidatif
langsung dan mutasi dalam DNA, perubahan aktivitas protein seluler oleh
protein dan oksidasi enzim, perubahan dalam transkripsi genomik dan
langsung kerusakan surfaktan. Kerusakan DNA sel menghambat sintesis
protein yang terlibat dalam pertumbuhan sel, gen yang mengkode enzim
antioksidan dan perbaikan sel.
AKI mengaktifkan varian gen yang berhubungan dengan apoptosis
paru-paru termasuk tumor necrosis factor receptor 1 (TNFR1) dan kematian
sel terprogram.
Tumor nekrosis factor receptor 1 (TNFR1) yang diprogramkan dengan
kematian sel dan disfungsi penghalang mikrovaskuler paru telah diidentifikasi
faktor-faktor utama dalam memediasi disfungsi paru-paru melalui apoptosis
sel endotel. Apoptosis sel endotel memiliki efek buruk pada transpor terlarut
melintasi membran vaskular. Gangguan fungsi penghalang endotel memiliki
peran penting dalam meningkatkan permeabilitas dan peradangan pembuluh
darah. Ada peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru-paru pada 24 dan
48 jam pasca iskemia pada model tikus dari cedera reperfusi iskemia ginjal
bilateral, dikuantifikasi oleh kebocoran albumin berlabel di luar ruang
vascular. Apoptosis seluler paru juga dapat berkontribusi terhadap
ARDS.AKI juga menyebabkan peningkatan caspases paru-paru. Pemberian
inhibitor caspase mengurangi cedera paru-paru setelah gagal ginjal akut.

13
14
2.1.5 WOC

Pre Renal Intra Renal Post Renal

hipovolemia Nefrotoxic, sepsis, Obstruksi ureter


trauma berat

Iskemik/aliran Peningkatan tek.


Acute tubular necrosis
darah ke ginjal intraluminal
(ATN)
berkurang

Alveoli Melepas mediator


Kelainan vascular dan
inflamasi dan cedera
Oksigen di cedera tubular
vascular sel endotelial
ginjal

Stress oksidatif Mediator inflamasi Edema sel intersisial


Metabolisme meningkat
anaerob
Peningkatan
Ca2+
sitosolik
2 ATP + As.
Laktat + C02
GFR GFR GFR

CO2 dalam
darah
meningkat
Acute Kidney Injury (AKI)
RR meingkat untuk
kompensasi oksigen

Kreatin serum Gangguan elektrolit Hormone


Beban meningkat erythropotein
kerja paru tidak terpenuhi
meningkat
Elektrolit keluar
Menumpuk
Produksi
Kegagalan dikulit
hiperkalemia eritrosit
napas tipe II

Gatal-gatal
Gangguan Hb
ritme jantung

Gangguan Rasa
Anemia
Nyaman

15
Kegagalan Factor pro inflamasi dan Gangguan Anemia
napas tipe II pro apoptosis (peradangan ritme jantung
leukosit, cytokine, stress
oksidatif, racun uremik)
Alveoli Energi
Nafsu makan
kolaps menurun

System imun
Defisit Intoleransi
ALI menurun
nutrisi AKtivitas

ALO mudah
terinfeksi

Acute Respiratory
distress Sindrome Resiko infeksi

16
2.1.6 Manifestasi Klinis
Berikut Manifestasi Klinis AKI menurut M. Nursalam (2006):
1. Pasien tampak sangat menderitadan mual muntah, diare.
2. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi dan nafas mungkin
berbau urine (fetouremik).
3. Manifestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang).
4. Perubahan pengeluaran produksi urine sedikit, dapat mengandung darah.
5. Anoreksia (disebabkan oleh akumulasi produk sisa nitrogen).
6. Sakit dan nyeri pada tulang dan sendi (karena kehilangan kalsium dari
tulang).
7. Kelelahan akibat anemia.
8. Hipertensi, peningkatan BB dan edema.
Menurut Hadjiliadis et al (2014) dan American Lung Association (2014),
gejala ARDS biasanya berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam dari
kejadian cedera atau sakit. ARDS didefinisikan oleh tiga tanda dan gejala
utama, yaitu :
1. Napas cepat
2. Kesulitan napas : tidak bisa mendapatkan cukup udara kedalam paru-paru
3. Kadar oksigen yang rendah dalam darah dapat menyebabkan kegagalan
organ dan gejala seperti detak jantung yang cepat, irama jantung yang
abnormal, kebingungan, dan kelelahan ekstrim pada organ.
Menurut NHLBI (2012), tanda dan gejala lain pada ARDS antara lain
adalah :
1. Batuk dan demam ( pada ARDS yang disebabkan pneumonia)
2. Tekanan darah rendah
3. Kebingungan
4. Kelelahan ekstrim
Berdasarkan fase terjadinya, manifestasi klinis dari ARDS dibedakan
menjadi berikut ini :
1. Stage 1 (12 jam)
Terdapat dyspnea, takipnea, dan pada pemeriksaan X – ray paru tampak
normal
2. Stage 2 (24 jam )

17
Infiltrate alveolar sebagian, ukuran jantung normal, terdapat dyspnea,
takipnea, sianosis, takikardi, crackles, dan hipoksemia
3. Stage 3 ( 2- 10 hari)
Infiltrate alveolar meluas, penurunan volume paru, kemungkinan air
bronchograms, ukuran jantung normal, hiperdinamik pada parameter
hemodinamik, Nampak syndrome respon inflamasi sitemik ( SIRS).
4. Stage 4 (>10 hari)
Infiltrate alveolar menetap, muncul infiltrate baru pada paru,
pneumothorax berulang, melibatkan beberapa organ, kesulitan
mempertahankan oksigen yang adekuat, sepsis, pneumonia.

Gambar 2.1 Gambaran Alveolus pada pasien ARDS stage 1

18
Gambar 2.2 Gambaran Alveolus pada pasien ARDS stage 2

Gambar 2.3 Gambaran Alveolus pada pasien ARDS stage 3

19
2.1.7 Komplikasi
Menurut Herridge 2011, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain :
1. Kegagalan banyak system organ
2. Kerusakan paru-paru (seperti kolaps paru-paru juga disebut
pneumothorax) karena cidera dari system pernapasan yang diperlukan
untuk mengobati penyakit.
3. Fibrosis paru (jaringan parut di paru-paru)
4. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
5. Edema paru-paru
6. Hiperkalemia

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


1. PendekatanDiagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai
dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan
apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan
suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat
membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK,
riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada
PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal.
Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran
normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit
ginjal polikistik.Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah
pada penentuan etiologi,tahap AKI, dan penentuankomplikasi.
2. PemeriksaanKlinis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan
pre-renal, renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal
ginjal akutdiperiksa:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari
penyebabnya seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi,
riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran
kemih), riwayat bengkak, riwayat kencingbatu.

20
b. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan
ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjalkronis.
c. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi
ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus.
Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat
badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan
cairan tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal
ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema
paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan
asidosis metabolic dengankompensasi pernapasan Kussmaul.
Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi oleh factor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
3. Assessment pasien denganAKI
a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum
kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung
dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi
olehginjal.
b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator
yang spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum
perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume
urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prarenal biasanya
hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai
baik oleh anuria maupunpoliuria.
c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai
dengan kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis
diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis
ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak,
seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase,
alanine aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu
penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinase-

21
associated lipocain (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah
pembedahan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin.

Prosedur Informasi yang dicari


Anamnesis dan pemeriksaan fisik - Tanda-tanda untuk penyebabAKI
- Indikasi beratnya gangguan
metabolic
- Perkiraan status volume
(hidrasi)
Mikroskopik urin - Pertanda inflamasi glomerulus atau
tubulus
- Infeksi saluran kemih atau uropati
Kristal
Pemeriksaan biokimia darah Mengukur pengurangan LFG dan gangguan
metabolis yang diakibatkannya
Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal prarenal dan renal
Darah perifer lengkap Menentukan ada tidaknya anemia,
leukositosis dan kekurangan trombosit
akibat pemakaian
USG ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada tidkanya
obstruksi, tekstur parenkim ginjal yang
abnormal
CT Scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari ginjal
dan traktus urinarius
Pemindaian radionuklir Mengetahui perfusi ginjal yang abnormal
Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus
urinarius
Biopsi ginjal Menentukan berdasarkan pemeriksaan
patologi penyakit ginjal

4. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda
inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal.
Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung
cast hialin yang transparan. AKI postrenal juga menunjukkan gambaran
sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada
obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan

22
berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain
pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel
tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented
“muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan
biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin,
kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Kelainan Analisis Urin


Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal
Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik >1,020 1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH.0) >500 300
Kadar natrium urin (mmol/L) >10 (>20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi Na (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin dan Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

2.1.9 Penatalaksanaan
Manajemen penatalaksanaan fokus pada penghapusan hemodinamik
kelainan penyebab atau toksin, menghindari gejala tambahan, dan
pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab
lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari.
1. AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prarenal
akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan
yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi
dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti
yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal
dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik.
Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan

23
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prarenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal,
walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah.
Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan
isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-
basa harus dimonitor dengan hati- hati. Gagal jantung mungkin
memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif,
preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat
bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan
hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan
volume intravaskular sulit.
2. AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti
glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid,
alkylating agen, dan atau plasmapheresis, tergantung pada patologi
primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus
interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik
adalah penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi
ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh
darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin
sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE.
3. AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau
kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan
transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang
memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi
diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi
ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi
perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh
penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien
mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief

24
obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-
wasting sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium
intravena untuk menjaga tekanandarah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh
penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan
pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang
dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk
mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi
rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat
mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan
ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum.
4. Terapi Nutrisi
Diet atau suplemen nutrisi untuk pasien AKI di unit perawatan
kritis dirancang untuk mengurangi kapasitas eksresi ginjal. Asupan
energi yang direkomendasikan adalah antara 20-30 kkl/kg per hari
dengan 1,2-1,5 g/kg protein per hari untuk mengendalikan
peningkatan kadar BUN. Nutrisi oral lebih disarnkan, jika pasien tidak
bisa makan maka disarankan nutrisi secara enteral dibandingkan
parenteral. Cairan terbatas dan konrol glukosa yang ketat dianjurkan.
KebutuhannutrisipasienAKIbervariasitergantungdaripenyakitdasarnya
dankondisikomorbidyangdijumpai.Sebuahsistemklasifikasipemberiann
utrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun
2005 dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI


Katabolisme
Variabel
Ringan Sedang Berat

25
Contoh Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,

keadaan klinis obat infeksi MODS


Dialisis Jarang Sesuai Sering

kebutuhan
Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-

Nutrisi parenteral parenteral


Rekomendasi 20-25 25-30 25-30

Energy kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari


Sumber energy Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 Glukosa 3-5
g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari
Lemak 0,5-1 Lemak 0,8-1,2
g/kgBB/hari g/kgBB/hari
Kebutuhan 0,6-1 0,8-1,2 1,0-1,5

Protein g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari


Pemberian Makanan Formula enteral Formula enteral
nutrisi Glukosa 50- Glukosa 50-
70% 70%

Lemak 10-20% Lemak 10-20%

AA 6,5-10% AA 6,5-10%

Mikronutrien Mikronutrien

Adapun kriteria untuk memulai terapi pengganti ginjal pada pasien kritis
dengan gangguan ginjal akut yaitu :
 Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12jam
 Anuria : produksi urin < 50 ml dalam 12jam
 Hiperkalemia : Kadar potassium > 6.5 mmol/L
 Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH <7.0
 Azotemia : kadar urea > 30mmol/L
 Ensefalopatiuremikum
 Neuropati / miopatiuremikum
 Pericarditisuremikum
 Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau <120
mmol/L

26
 Hipertermia
 Keracunanobat

2.1.10 Prognosis
Mortalitas akibat AKI bergantung keadaan klinik dan derajat gagal
ginjal. Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya,
adanya infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang
berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah
infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-
20%), gagal nafas/ARDS (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi
hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan AKI yang menjalani
dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%, karena itu pencegahan,
diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.

27
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut (AKI) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan
kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk
keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau
patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta
terjadinya azotemia. Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal
ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari
AKI dimana sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari empat komponen yaitu: gagal
napas akut, perbandingan PaO2/FiO2, gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai
dengan gambaran edema paru pada foto toraks, dan tidak ada hipertensi atrium kiri serta
tekanan kapiler wedge paru. Hal ini terjadi karena peningkatan permeabilitas membrane
alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma disertai kerusakan alveolar difus
dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru. ARDS muncul
sebagai respon terhadap berbahai trauma dan penyakit yang mempengaruhi paru baik
secara langsung maupun tidak langsung.Penanganan yang holistik pada tahap awal
penyakit sangat penting. Prinsip-prinsip dasar penangan ARDS adalah pertama:
pemberian oksigen, PEEP dan ventilasi tekanan positif, kedua: atasi infeksi, MODS dan
penyebab dasarnya, ketiga: pengaturan ventilasi mekanik yang hati-hati terutama volume
tidal.

3.2 Saran
1. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya
pencegahan penyakit AKI dan ARDS agar terciptanya kesehatan masyarakat yang
lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang AKI dan ARDS lebih
dalam sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit tersebut

28
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan AKI
dan ARDS sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang lebih baik.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang AKI dan ARDS serta dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap penyakit ini.

29
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, R. C., & Gallo, R. B. 2004. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik(Critical


CareNursing A Holistic Approach). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
ARDS Foundation.2014. Information about Acute Respiratory Distress Syndrome. Diakses
pada 10 Februari 2020 dari http://www.ardsil.com/acute-respiratory-distress-
syndrome.htm
Urden, Linda D., Kathleen M. Stacy., Marry E. Lough. 2014. Critical Care Nursing:
Diagnosis and Management Edition 6th.. Canada: Elsevier.
American Lung Association.2016. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).USA :
WebMD Medical Reference.
Triastuti, Indriana. 2017. Acute Kidney Injury (AKI). Bagian Ilmu Anestesi Dan Terapi
Intensif Rsup Sanglah. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Bali.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) :
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI.
Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi
dan Kriteria Hasil. Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI.
Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) :
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI.
Boskey, Elizabeth., et al. 2018.Adult Respiratory Distress Syndrome. Diakses pada 10
februari 2020 dari http://www.healthline.com health/acute-respiratory-distress-
syndrome#Prevention8.
Arumwati, Nita. 2018. Karya Tulis Ilmiah : Studi Kasus “Asuhan Keperawatan Pada Klien
Gagal Ginjal Akut dengan Masalah Kelebihan Volume Cairan di Ruang
HemodialisaRumah Sakit Umum Daerah Bangil Pasuruan”. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Insan Cendekia Medika: Jombang.

30

Anda mungkin juga menyukai