KEPERAWATAN BENCANA
MANAGEMEN BENCANA PADA FASE INTRA INSIDEN
DI SUSUN OLEH :
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan
melimpahkan rahmat, karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat
terselesaikan. Dalam penulisan makalah ini kelompok banyak mendapatkan
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankan
kelompok mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Dekan yang senantiasa
memberikan motivasi untuk mahasiswanya agar memiliki semangat
berproses dan belajar
2. Harmayetti, S.Kp., M. Kes selaku PJMA mata ajar Keperawatan
Bencana
3. Arina Qonaah S.Kep., Ns., M. Kep selaku fasilitator yang memberikan
bimbingan serta arahan dalam penyusunan makalah ini.
Kelompok Penyusun
DAFTAR ISI
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8
1.3 Tujuan....................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 45
BAB I
PENDAHULUAN
3
1. 1. Latar Belakang
Indonesia ada 13.466 pulau. Luas daratan adalah 1.922.570 Km2 (37,1%),
dan luas perairan adalah 3.257.483 Km2 (62,9%), hingga total luas
4
menjadi pandemi. Pesatnya pertumbuhan industri dan pembangunan
dan terakhir yang menjadi pandemic di dunia adalah wabah covid 19.
Sumber: bnpb.cloud/dibi/
5
Sumber: bnpb.cloud/dibi/
sebelum bencana terjadi (pra bencana), pada waktu bencana sedang atau
menyeluruh pada saat terjadinya bencana adalah tujuan di fase intra bencana
6
ini (Hariadi, 2016). Saat bencana disebut juga sebagai tanggap darurat. Fase
tanggap darurat atau tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi
darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas
dengan membaginya menjadi “Fase Akut” dan “Fase Sub Akut”. Dalam
Fase Akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan
orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu minggu sejak terjadinya
bencana disebut dengan “Fase Akut”. Dalam fase ini, selain tindakan
bencana.
1. 2. Rumusan Masalah
7
Apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan perawat pada fase inra
1. 3. Tujuan
Tujuan Khusus :
darurat)
(tanggap darurat).
(tanggap darurat).
BAB 2
8
TINJAUAN PUSTAKA
Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam
Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan
oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage
darurat.Triage bukan saja supaya bertindak dengan cepat dan waktu yang
triase cepat dan efektif. Dalam rangka mengoptimalkan hasil pasien secara
yang terbaik untuk setiap pasien untuk melakukan kebaikan terbesar untuk
9
jumlah terbesar orang. Ada beberapa tumpang tindih dalam prinsip-prinsip
dasar dari korban massal dan sistem triase bencana yang sedang digunakan
ada data yang pasti di mana teknik triase bencana akan menghemat jumlah
terbesar korban. Saat ini, dua protokol triase paling umum diterima adalah
Lerner et al. Dalam Neal, D.J. (2009) menilai sistem triase yang saat ini
bahaya dan dapat diterapkan pada orang dewasa dan anak-anak. SALT Triage
SALT terdiri dari dua langkah ketika menangani korban. Hal ini termasuk
triase awal korban menggunakan perintah suara, perawatan awal yang cepat,
10
penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada korban yang diminta
untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji kemampuan gerakan secara
terarah / gerakan bertujuan. Pada korban yang tetap diam tidak bergerak
dari tempatnya dan dengan kondisi yang mengancam nyawa yang jelas
harus dinilai pertama karena pada korban tersebut yang paling
membutuhkan intervensi untuk penyelamatan nyawa.
2. Step 2 = ASSES Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk
memberikan intervensi menyelamatkan nyawa. Setelah intervensi
menyelamatkan nyawa disediakan, pasien diprioritaskan untuk pengobatan
berdasarkan ke salah satu dari lima warna-kode kategori.
- Pasien yang mengalami luka ringan yang self-limited jika tidak diobati
dan dapat mentolerir penundaan dalam perawatan tanpa meningkatkan
risiko kematian harus diprioritaskan sebagai minimal dan harus
ditunjuk dengan warna hijau.
- Pasien yang tidak bernapas bahkan setelah intervensi live saving yang
diprioritaskan sebagai mati dan harus diberi warna hitam.
- Pasien yang tidak mematuhi perintah, atau tidak memiliki pulsa
perifer, atau dalam gangguan pernapasan, atau perdarahan besar yang
tidak terkendali harus diprioritaskan immediate dan harus ditunjuk
dengan warna merah.
- Penyedia harus mempertimbangkan apakah pasien ini memiliki cedera
yang mungkin tidak sesuai dengan kehidupan yang diberikan sumber
daya yang tersedia, jika ada, maka provider harus triase pasien sebagai
expectant /hamil dan harus ditunjuk dengan warna abu-abu.
- Para pasien yang tersisa harus diprioritaskan sebagai delayed dan harus
ditunjuk dengan warna kuning.
11
ALGORITMA SALT
12
B. Model START/ JUMPSTART Triage Untuk Insiden Korban Masal
(Mass Casualty Incident)
START
yang sangat terampil (Stein, L., 2008). Bahkan, dapat dilakukan oleh penyedia
13
ALGORITMA START
14
15
JUMPSTART
digunakan untuk anak-anak usia 1 dan 8 tahun. Mungkin tidak mudah untuk
menentukan usia anak sehingga korban tampak masih anak- anak maka
16
ALGORITMA JUMPSTART
17
2.2 Konsep Dasar Treatment pada Korban Bencana
1. Pos Medis Lanjutan
18
Tempat perawatan ini dibagi lagi menjadi:
1) Tempat perawatan korban gawat darurat (korban yang diberi tanda
dengan label merah dan kuning). Lokasi ini merupakan proporsi
terbesar dari seluruh tempat perawatan.
2) Tempat perawatan bagi korban nongawat darurat (korban yang
diberi tanda dengan label hijau dan hitam).
19
5) Tempat perawatan Non Gawat Darurat, berhubungan dengan
tempat triase Non Gawat Darurat, dibagi menjadi:
a. Tempat korban meninggal (langsung berhubung-an dengan
tempat triase)
b. Tempat perawatan korban dengan tanda hijau (setelah tempat
korban meninggal) Setiap tempat perawatan ini ditandai dengan
bendera sesuai dengan kategori korban yang akan dirawat di
tempat tersebut.
6) Sebuah tempat evakuasi yang merupakan tempat korban yang
kondisinya telah stabil untuk menunggu pemindahan ke Rumah
Sakit.
Dengan demikian, luas minimum yang diperlukan untuk sebuah pos medis
lanjutan adalah 73 m2. (Rustam S.Pakaya.2007)
4. Tenaga Pelaksana Pos Medis
Menurut Tenaga medis yang akan dipekerjakan di pos ini adalah
dokter dari Unit Gawat Darurat, ahli anestesi, ahli bedah dan tenaga
perawat. Dapat pula dibantu tenaga Perawat, Tenaga Medis Gawat Darurat,
20
dan para tenaga pelaksana Pertolongan Pertama akan turut pula bergabung
dengan tim yang berasal dari Rumah Sakit. (Rustam S.Pakaya.2007)
Menurut (Depkes RI. 2011) Tenaga pelaksana pos medis lanjutan
standar dapat dibedakan berdasarkan lokasi tempat pemberian pelayanan,
baik itu triase maupun perawatan seperti berikut:
1. Tempat Triase, tenaganya terbagi sesuai:
Triase Gawat Darurat
a. Pelaksana triase, terdiri dari seorang dokter yang telah
berpengalaman (dianjurkan dokter yang bekerja di Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit, ahli anestesi atau ahli bedah).
b. Dibantu oleh perawat, Tenaga Medis Gawat Darurat, atau tenaga
pertolongan pertama.
c. Petugas administrasi yang bertugas untuk meregistrasi korban.
Triase Non Gawat Darurat
a. Pelaksana triase adalah perawat yang berpengalaman, Perawat
atau Tenaga Medis Gawat Darurat.
b. Dibantu oleh tenaga Pertolongan Pertama.
c. Petugas administrasi (diambil dari tenaga Pertolongan Pertama).
Pada pos medis lanjutan standar hanya satu tim triase yang akan bekerja
memberi pelayanan kepada seluruh korban dimana tim ini
beranggotakan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk tim
triase Gawat Darurat. Tempat triase hanya diperuntukkan sebagai
tempat menerima korban, tidak sebagai tempat perawatan/pengobatan.
2. Tempat perawatan, tenaganya terbagi sesuai:
Tempat Perawatan Gawat Darurat
a. Penanggung Jawab perawatan gawat darurat, merupakan seorang
dokter spesialis, konsulkan atau dokter terlatih. Penanggung jawab
perawatan gawat darurat ini akan bekerja untuk menjamin suplai
ke pos medis lanjutan, melakukan koordinasi dengan bagian lain
dalam pos medis lanjutan, mengatur pembuangan alat dan bahan
yang telah dipakai dan komunikasi radio. Ia juga akan berfungsi
sebagai manajer bagi pos medis lanjutan tersebut.
21
b. Tempat Perawatan Merah terdiri dari:
Ketua tim, merupakan seorang ahli anestesi, dokter Unit Gawat
Darurat atau seorang perawat yang berpengalaman.
Perawat/penata anestesi dan/atau perawat dari Unit Gawat
Darurat.
Sebagai tenaga bantuan adalah Tenaga Medis Gawat Darurat
atau para tenaga Pertolongan Pertama.
Tenaga pengangkut tandu.
c. Tempat Perawatan Kuning terdiri dari:
Ketua tim, merupakan seorang perawat (penata anestesi atau
perawat dari Unit Gawat Darurat) atau seorang Perawat.
Sebagai tenaga bantuan adalah Tenaga Medis Gawat Darurat
atau para tenaga Pertolongan Pertama.
Tenaga pengangkut tandu.
Tempat Perawatan Non-Gawat Darurat
a. Tim perawatan Area Hijau
Ketua tim, merupakan tenaga medis gawat darurat yang
berpengalaman.
Sebagai tenaga bantuan adalah tenaga medis gawat darurat
atau para tenaga pertolongan pertama.
Tenaga pengangkut tandu.
b. Daerah penempatan korban yang telah meninggal dunia
(korban yang diberi tanda dengan kartu hitam).
Tidak diperlukan petugas di bagian ini.
3. Lokasi Evakuasi
Dipimpim oleh seorang Perawat/tenaga medis gawat darurat
berpengalaman yang mampu:
a. Memeriksa stabilitas korban
b. Memeriksa peralatan yang dipasang pada korban
c. Monitoring korban sebelum dilakukan pemindahan ke fasilitas lain
d. Supervise pengangkutan korban
e. Menyediakan/ mengatur pengawalan
22
Petugas administrasi
Penanggung jawab transportasi yang merupakan petugas senior daru
Dinas Pemadam Kebakaran atau Layanan Ambulans. Petugas ini
berhubungan dengan Kepala pos medis lanjutan dan pos komando.
4. Peralatan (kebutuhan minimum) untuk:
Tempat Triase
a. Tanda pengenal untuk menandai setiap tempat/ bagian dan petugas
b. Kartu triase
c. Peralatan administrasi
d. Tandu (empat buah)
e. Alat penerangan
f. Sfigomanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
Tempat Perawatan Gawat Darurat (minimum untuk kebutuhan 25
orang korban)
a. Tanda pengenal untuk Ketua (jaket merah dengan tulisan
“Ketua”), dan untuk setiap Ketua tim (kain berwarna merah/
kuning yang dipergunakan di lengan)
b. Alat penerangan
c. Tandu
d. Selimut
e. Peralatan administrasi
f. Sfigomanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
g. Peralatan medis bencana alam, terdiri dari:
Peralatan resusitasi jalan napas
o Oksigan tabung
o Peralatan intubasi
o Peralatan trakeostomi
o Peralatan drain thoraks
o Ambu bag
o Alat cricothiroidectomy
Peralatan resusitasi jantung
o Infus set + cairan
23
o Obat-obatan untuk pelaksanaan syok
o Alat fiksasi pada trauma thoraks (MASTrousers)
Peralatan listrik/ pneumatic
o Penghisap lendir (suction)
o Lampu khusus
o Defibrillator
o Ventilator
o Baterai atau generator
Perlengkapan peralatan luka
o Kapas, verband elastic
o Peralatan penjahitan luka
o Sarung tangan
o Obat antiseptic
o Selimut pengaman
o Bidai (termasuk kolar leher)
o ATS/ABU
Tempat Perawatan Non Gawat Darurat
a. Peralatan penerangan khusus
b. Alat membalut/ bidai
c. Peralatan administrasi
d. Sfigmanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
Lokasi Evakuasi
a. Alat penerangan
b. Tandu
c. Peralatan administrasi
d. Sfigmanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
24
4. Memberangkatkan korban ke fasilitas kesehatan tujuan
25
kardiopulmoner tidak boleh dilakukan dilokasi kecelakaan pada bencana
massal karena membutuhkan waktu dan tenaga .
A. Langkah – langkah yang perlu dilakukan saat menolong korban
bencana ialah:
a. Tetap tenang
Hanya orang yang tenang dapat menolong orang lain
b. Selamatkan diri terlebih dahulu, kemudian baru monolong korban.
Periksa bahaya lalu lintas, kebakaran, aliran listrik, atau apa saja
yang mengancam keselamatan orang sekitar.
c. Cari bantuan
Sangatlah penting untuk meminta bantuan dari seorang ahli. Jika
memungkinkan, kirimlah seseorang untuk mencari bantuan karena
korban sebaiknya tidak ditinggalkan sendiri.
d. Hubungi rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat. Keterangan
yang diberikan harus singkat dan jelas termasuk (1) kondisi korban,
(2) berapa jumlah korban, dan (3) lokasi korban 5. Jangan
pindahkan korban patah tulang atau luka di bagian punggung tanpa
menggunakan tandu
e. Jangan memberikan makanan atau minuman kepada korban
f. Beri korban dukungan kejiwaan. Dukungan kejiwaan
meningkatkan kemungkinan korban untuk bertahan hidup. Bahkan
orang yang tidak menjawab atau tidak sadarkan diri mungkin apat
mendengar suara orang lain. (Depkes RI. 2011)
B. Menyadarkan korban bencana
Pindahkan bahu korban secara perlahan sambil menanyakan beberapa
pertanyaan mudah seperti siapa nama korban, bagaimana perasaan
korban, dll. Orang yang sadar akan membalas dengan gerakan,
membuat suara, atau menjawab pertanyaan. Jika tidak ada gerakan
atau reaksi, berarti korban tidak sadar; maka yang harus dilakukan
ialah :
a. Hubungi 112 atau nomor gawat darurat daerah
26
b. Baringkan korban dan berlututlah di samping korban, dekat
dengan bahunya.
c. Bersihkan saluran udara korban
Angkat dagu korban dan miringkan kepala korban ke belakang dan ke
atas, pegang rahangnya. Pastikan tidak ada hal yang menyumbat
saluran pernapasan, seperti makanan atau lidah yang terlipat.
Apabila korban di curigai mengalami cidera servikal, maka
dilakukan jowtrash.
d. Melakukan RJP
Apabila pasien nadi tidak teraba maka dilakukan RJP. Letakkan salah
satu telapak tangan Anda di tengah dada korban di antara puting
susu dan letakkan tangan satunya lagi di atas yang pertama.
Tekan dada korban sedalam 4-5cm dengan lembut dan cepat
(setidaknya 100 tekanan per menit). Setelah 30 tekanan, beri 2
napas bantuan. Hal ini dilakukan sampai nadi ditemukan.
e. Lihat – Dengar – Rasakan
Untuk mengetahui apakah korban telah mulai bernapas dengan
sendirinya. Bila perlu, bergantian dengan penolong lainnya.
f. Apabila korban mulai bernapas, miringkan badannya dalam posisi
pemulihan serta periksa pernapasan secara berkala. (Depkes RI.
2011)
C. Cara menempatkan seseorang dalam posisi pemulihan
a. Baringkan korban dalam posisi telentang, luruskan kedua kakinya
b. Periksa bagian saku/kantong korban untuk memastikan tidak ada
benda tajam atau benda berbahaya lainnya
c. Silangkan salah satu tangannya ke bahu dan tekukkan salah satu
kakinya. Biarkan tangan lainnya terulur
d. Gulirkan korban ke samping dengan mendorong bahu dan
pinggang korban menjauhi penolong.
e. Letakkan kepala korban di atas tangan yang disilangkan ke bahu.
Tangan tersebut akan berperan sebagai bantal atau penopang kepala
korban sekaligus mencegah cairan dari mulut korban masuk
27
kembali ke dalam mulut pada saat korban muntah. (Depkes RI.
2011
6. Peran Perawat dalam Keperawatan Bencana
Menurut (Rosyidi et al. 2013) Pelayanan keperawatan tidak hanya
terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit
saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan
dalam situasi tanggap bencana.Perawat tidak hanya dituntut memiliki
pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari
itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan
darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun
memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita
lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan
pertolongan lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu
sudah terkesan lambat.Kegiatan penanganan siaga bencana memang
berbeda dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya.
Menurut (Rosyidi et al. 2013) Ada beberapa hal yang menjadi perhatian
penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan
isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling
urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga
kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi
dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun
juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat,
menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan
pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan
lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
28
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan
di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban
saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan
bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat
sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam
massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka
akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban
bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah
pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada
orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah
anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan
sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan
permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri
mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat
29
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda
yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah
dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat
menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan
pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan
masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal
yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam
penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan
bekal tersebut perawat akan mampu memberikan pertolongan medis
yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap
elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin
dari rasa empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala
situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian
tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban
bencana.
c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal
hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik,
mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus
dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan
salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana,
perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun
jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan
30
peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir
dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat
harus mengerti konsep siaga bencana.
7. Teknik Pengkajian Fisik
a) Pengamatan Pernapasan
Periksa ada tidaknya napas dengan jalan lihat, dengar, dan rasakan, nilai
selama 3-5detik. Pernapasan yang cukup baik bila didapatkan tanda
sebagai berikut:
- Dada naik dan turun secara penuh
- Bernapas mudah dan lancer
- Kualitas pernapasan normal
Bila Anda mendapatkan beberapa tanda di bawah maka termasuk
pernapasan yang kurang baik:
- Dada tidak naik atau turun secara penuh
- Terdapat kesulitan bernapas
- Cyanosis (warnna biru/ abu-abu pada kulit, bibir, atau kuku)
- Kualitas pernapasan tidak normal (Krisanty et al. 2013)
b) Pengamatan Sirkulasi Darah
Pastikan denyut jantung cukup baik dan pastikan bahwa tidak ada
perdarahan yang dapat mengancam nyawa yang tidak terlihat. Pakaian
tebal dapat mengumpulkan darah dalam jumlah yang cukup banyak.
Periksalah nadi radial (pergelangan tangan) pada penderita yang memiliki
respon positif. Bila korban tidak memiliki respons maka periksalah nadi
karotis (leher), kecuali pada bayi pemeriksaan nadi tetap dilakukan pada
nadi brakial. Ada tidaknya nadi diperiksa selama 5-10 detik. Bila tidak
didapatkan denyut nadi maka segeralah lakukan resusitasi jantung paru.
Pastikan tidak ada perdarahan yang terjadi. (Krisanty et al. 2013)
c) Pengamatan Kesadaran
Cek kesadaran korban dengan memeriksa respon. Ada 4 tingkatan yang
biasanya dipakai utuk memeriksa respon seseorang:
A -> alert : korban sadar, jika tidak sadar lanjut ke langkah berikutnya
31
V-> Verbal :caranya dengan memanggil nama korban dengan sekeras-
kerasnya diatas telinga korban. Jika masih tidak merespon lanjut ke pos
selanjutnya.
P-> pinful: rangsangan nyeri, coba untuk memberi rangsangan nyeri pada
pasien, yang paling mudahadalah menekan bagian putih dari kuku tangan
(dipangkal kuku).
U-> Unresponsive : korban tidak bereaksi apapun setelah mendapat
rangsangan nyeri maupun terhadap suara, hal ini menandakan korban tidak
sadar. (Krisanty et al. 2013)
b) Cradle (dibopong)
1. Jongkoklah disamping korban letakkan satu lengan penolong
merangkul dibawah punggung korban sedikit diatas pinggang.
2. Letakan tangan yang lain dibawah dibawah paha korban tepat
dilipatan lutut. Berdirilah pelan-pelan dan bersamaan
mengangkat korban
32
c) Pick a back (menggendong)
1. Jongkoklah didepan korban dengan punggung menghadap
korban. Anjurkan korban meletakkan kedua tangannya
merangkul diatas pundak penolong.
2. Gapailah dan peganglah paha korban, . Berdirilah pelan-pelan
dan bersamaan mengangkat korban
33
d) Piggyback Carry e) Pack-strap Carry f) Head First Drag
Pertolongan 2 orang
a) Ditandu dengan kedua lengan penolong (the two-handed seat)
1. Kedua penolong jongkok dan saling berhadapan disamping
kiri dan kanan korban, lengan kanan penolong kiri dan lengan
kiri penolong kanan menyilang dibelakang punggung korban.
2. Kedua tangan penolong yang menerobos dibawah lutut korban
saling bergandengan dan mengait dengan cara saling
memegang pergelangan tangan.
3. Makin mendekatlah para penolong. Tahan dan aturlah
punggung penolong selalu tegap.
4. Berdirilah secara pelanpelan bersamaan dengan mengangkat
korban.
34
b) The fore and aft carry
1. Dudukan korban. Kedua lengan menyilang didada. Rangkul
dengan menyusupkan lengan penolong dibawah ketiak korban.
2. Pegang pergelangan tangan kiri oleh tangan kanan penolong, dan
tangan kanan penolong ketangan kiri korban.
3. Penolong yang lain jongkok disamping korban setinggi lutut dan
mencoba mengangkat kedua paha korban
c) Memakai Kursi
35
a) Cara 3 Penolong
1. Ketiga penolong berlutut pada salah satu sisi penderita. Jika
memungkinkan beradalah pada sisi yang paling sedikit cidera.
2. Penolong perama menyisipkan satu lengan dibawah leher dan bahu.
Lengan yang satu disisipkan dibawah punggu penderita.
3. Penolong kedua menyisipkan tangan punggung dan bokong penderita.
4. Penolong ketiga menyisipkan lengan dibawah bokong dan dibawah
lutut penderita.
5. Penderita siap diangkat dengan satu perintah.
6. Angkat penderita diatas lutut ketiga penolong secara bersamaan.
7. Sisipkan tandu yang akan digunakan dan atur letaknya oleh penolong
yang lain.
8. Letakan kembali penderita penderita diatas tandu dengan satu perintah
yang tepat.
9. Jika akan berjalan tanpa memakai tandu , dari langkah no. 6 terus
dengan memiringkan penderita kedada penolong.
10. Penolong berdiri secara bersamaan dengan satu perintah.
36
B. Transportasi dengan Alat Bantu
Beberapa aturan terkait dengan pengangkatan dan pemindahan korban :
1. Pemindahan korban dilakukan apabila diperlukan betul dan tidak
membahyakan penolong
2. Terangkan secara jelas pada korban apa yang akan dilakukan agar
korban dapat kooperatif
3. Libatkan penolong lain.Yakinkan penolong lain mengerti apa yang
akan dikerjakan
4. Pertolongan pemindahan dibawah satu komando agar dapat dikerjakan
secara bersamaan
5. Pakailah cara mengangkat korban dengan teknik yang benar agar tidak
menambah cedera yang lebih berat
Memindahkan pasien dengan curiga cedera spinal : Immobilisasi kepala,
leher dan spinal sebelum transportasi.
Kecurigaan cedera cervical spinal:
37
a) Dengan Slimut
38
c) SCOP STRETCHER / Orthopaedic Strecher, untuk jarak pendek (antar
tempat tidur)
e) Tandu Portable
39
f) Stair Chair
40
i) Basket Stretcher (sering digunakan pada vertical rescue)
j) Vakum Matras
C. Kendaraan Transportasi
41
a) Ambulance
Atap ambulanns harus tinggi agar kita dapat bekerja di
dalamnya
Alat Resusitasi harus lengkap
Ambulans darat
Keuntungan ambulans darat
» Mobilisasi cepat
» Tidak perlu tempat mendarat
» Langsung ke tempat kejadian dan tempat rujukan
» Tidak membutuhkan personel yang khusus
» Biaya murah
Kerugian ambulans darat
» Waktu lama apabila ada kemacetan, dll
» Akses terbatas dan kekuatan terbatas
» Sulit memasuki area yang terbatas
» Kurang nyaman
42
43
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Secara geografis dan geologis Indonesia sebenarnya rawan terhadap
bencana, seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami, banjir, letusan gunung
berapi, angin kencang bahkan kebakaran hutan. Bencana ini menimbulkan
kerugian dan kerusakan yang sangat parah. Bencana, utamanya bencana
alam sebagai fenomena geografis, geologis dan geofisis tidak dapat dicegah
terjadinya oleh manusia. Penanganan bencana pada dasarnya di tujukan
sebagai upaya untuk meredam dampaknya dan memperkecil korban jiwa,
kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Jadi penanganan
bencana bukan mencegah untuk terjadinya melainkan mencegah dampak
atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana dan memperkecil korban jiwa,
kerugian secara ekonomis dan kerusakannya.
Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan
pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada
saat terjadinya bencana adalah tujuan di fase intra bencana.
3.2 Saran
Fase intra bencana merupakan salah satu fase yang penting perlu
dipelajari, dikaji, serta dievalusi untuk peningkatan sistem penanggulangan
bencana yang lebih baik sehingga diharapkan dapat diterapkan dan
bermanfaat bagi masyarakat.
44
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana.Jakarta:Kementrian Kesehatan RI.
dr. Rustam S. Pakaya. MPH, d. E. M. M. e. a., 2007. Pedoman Teknis
Penanggulangan Krisis Kesehatan akibat Bencana. Jakarta: Dapartemen
Kesehatan RI.
Krisanty P., dkk. (2009). Asuhan Keperawtan Gawat Darurat. Jakarta: TIM
Rosyidi M N, K., & Wulansari, N. D. 2013. Prosedur Praktik Keperawatan .
Jakarta: CV Trans Info Media
BNPB (2014) ‘Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019’, Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 RINGKASAN, pp. 1–115.
Available at: https://www.bnpb.go.id//uploads/renas/1/BUKU RENAS
PB.pdf.
Hariadi, E. (2016) Proses Manajemen Bencana. Available at:
https://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Pert_4_Proses_manajemen_bencana.pd
f.
Sutanto (2012) ‘Peranan K 3 Dalam Manajemen Bencana’, Peranan K 3 Dalam
Manajemen Bencana, 8(02), pp. 37–40. doi: 10.14710/metana.v8i02.6836.
Kahn, Schultz, Miller dan Anderson, (2008). Does START Triage Work? An
Outcomes Assessment After a Disaster. Annals of Emergency Medicine
Volume 54, Issue 3, Pages 424-430.e1, September 2009
Lee, C.H., (2010). Disaster and Mass Casualty Triage. American Medical
Association
Journal of Ethics. June 2010, Volume 12, Number 6: 466-470. Lee, Et al. (2011).
The validity of the Canadian Triage and Acuity Scale in predicting resource
utilization and the need for immediate life-saving interventions in elderly
emergency department patients. Scandinavian of Journal Trauma, Resucitation
and Emergency Medicine. 19 : 68. p 1-8.
Stein, L., (2008). Mass Casualty Triage. The Oklahoma Nurse. P 18-21.
45