Anda di halaman 1dari 45

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN BENCANA
MANAGEMEN BENCANA PADA FASE INTRA INSIDEN

DI SUSUN OLEH :

1. Ranee Dwi Aneke 131911123025


2. Awanda Desiana Pratami 131911123026
3. Ahmad Syah Jihan 131911123027
4. Ulfa Nafi’atuzzakiyah 131911123028
5. Muhamad Abi Zakaria 131911123029
6. Muslimah Wiguna Arufina 131911123035
7. Elya Asasal Mahfudhoh 131911123036
8. Salsabila Sania Yahya 131911123037
9. Ipung Jatmiko 131911123038
10. Fortuna Lady Miranda 131911123039

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan
melimpahkan rahmat, karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat
terselesaikan. Dalam penulisan makalah ini kelompok banyak mendapatkan
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankan
kelompok mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Dekan yang senantiasa
memberikan motivasi untuk mahasiswanya agar memiliki semangat
berproses dan belajar
2. Harmayetti, S.Kp., M. Kes selaku PJMA mata ajar Keperawatan
Bencana
3. Arina Qonaah S.Kep., Ns., M. Kep selaku fasilitator yang memberikan
bimbingan serta arahan dalam penyusunan makalah ini.

Pada makalah ini kelompok menyadari masih jauh dari kesempurnaan,


untuk itu kelompok sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun untuk penyusunan makalah yang lebih baik lagi. Dan tentunya
kelompok mengharapkan makalah yang disusun dapat memberikan manfaat
bagi kelompok penyusun khususnya dan seluruh pembaca pada umumnya.

Surabaya, 27 September 2020

Kelompok Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2


DAFTAR DAFTAR ISI .................................................................................... 3

2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8
1.3 Tujuan....................................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Dasar Triage pada Korban Bencana................................................. 9
2.2 Konsep Dasar Treatment pada Korban Bencana......................................... 18
2.3 Macam – Macam Transportasi Gawat Darurat............................................ 32

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 44
3.2 Saran ........................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 45

BAB I

PENDAHULUAN

3
1. 1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.Berdasarkan

data Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 2013 jumlah pulau di

Indonesia ada 13.466 pulau. Luas daratan adalah 1.922.570 Km2 (37,1%),

dan luas perairan adalah 3.257.483 Km2 (62,9%), hingga total luas

Indonesia adalah 5.180.053 Km2 . Garis pantainya kurang lebih sepanjang

81.000 Km. Pulau-pulau Indonesia terbentuk tiga lempeng tektonik dunia

yaitu lempeng Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Kondisi

tersebut menyebabkan Negara Indonesia menjadi salah satu negara

mempunyai potensi tinggi terhadap bencana gempabumi, tsunami, letusan

gunungapi dan gerakan tanah (tanah longsor) (BNPB, 2014).

Posisi wilayah Indonesia yang berada di garis Katulistiwa dan

berbentuk Kepulauan menimbulkan potensi tinggi terjadinya berbagai jenis

bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca

ekstrim (angin puting beliung), abrasi, gelombang ekstrim dan kebakaran

lahan dan hutan. Fenomena perubahan iklim memberikan kontribusi

terhadap peningkatan bencana hidrometeorologi. Meningkatnya jumlah

penduduk yang diikuti meningkatnya permukiman yang kurang terkendali

serta tingginya perkembangan teknologi menimbulkan potensi tinggi

terjadinya bencana antropogenik yaitu epidemik dan wabah penyakit, serta

kegagalan teknologi (kecelakaan industri). Semakin menariknya Indonesia

sebagai tujuan investasi global serta meningkatnya intensitas keluar masuk

manusia yang berpotensi meningkatkan kejadian epidemi dan wabah

penyakit seperti HIV/AIDS, Ebola, MERS bahkan covid 19 yang sekarang

4
menjadi pandemi. Pesatnya pertumbuhan industri dan pembangunan

semakin menambah potensi

Selama 10 tahun terakhir tentunya banyak bencana yang menimpa

bangsa Indonesia seperti: banjir, tanah longsor, tsunami, gunung meletes

dan terakhir yang menjadi pandemic di dunia adalah wabah covid 19.

Secara real data tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber: bnpb.cloud/dibi/

5
Sumber: bnpb.cloud/dibi/

Siklus manajemen bencana ini terdiri dari 3 siklus antara lain:

sebelum bencana terjadi (pra bencana), pada waktu bencana sedang atau

masih terjadi intra bencana) dan sesudah terjadinya bencana (pasca

bencana). Pada tahap intra bencana berlanjut pada siklus kegiatan:

peringatan dini, penyelamatan dan pencarian, pengungsian. Pada kegiatan

penyelamatan dan pencarian, yaitu kegiatan yang meliputi pemberian

pertolongan dan bantuan kepada penduduk yang mengalami bencana.

Kegiatan ini meliputi mencari, menyeleksi dan memilah penduduk yang

meninggal, luka berat, luka ringan serta menyelamatkan penduduk yang

masih hidup (Sutanto, 2012).

Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan

pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta

penanganan pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan

menyeluruh pada saat terjadinya bencana adalah tujuan di fase intra bencana

6
ini (Hariadi, 2016). Saat bencana disebut juga sebagai tanggap darurat. Fase

tanggap darurat atau tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi

darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas

yang dilakukan secara kongkret yaitu: 1. instruksi pengungsian, 2. pencarian

dan penyelamatan korban, 3. menjamin keamanan di lokasi bencana, 4.

pengkajian terhadap kerugian akibat bencana, 5. pembagian dan penggunaan

alat perlengkapan pada kondisi darurat, 6. pengiriman dan penyerahan

barang material, dan 7. menyediakan tempat pengungsian, dan lain-lain.

Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi

dengan membaginya menjadi “Fase Akut” dan “Fase Sub Akut”. Dalam

Fase Akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan

dan pertolongan/pelayanan medis darurat”. Pada fase ini dilakukan

penyelamatan dan pertolongan serta tindakan medis darurat terhadap orang-

orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu minggu sejak terjadinya

bencana disebut dengan “Fase Akut”. Dalam fase ini, selain tindakan

“penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”, dilakukan juga

perawatan terhadap orang-orang yang terluka pada saat mengungsi atau

dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya

permasalahan kesehatan selama dalam pengungsian.

Berdasarkan uraian dan fakta diatas maka kelompok kami berusaha

menyusun suatu makalah tentang manajemen bencana pada fase intra

insiden sebagai bahan bacaan dan pembelajaran dalam usaha penanggulang

bencana.

1. 2. Rumusan Masalah

7
Apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan perawat pada fase inra

insiden (tanggap darurat) ?

1. 3. Tujuan

Tujuan Umum : Menjelaskan kegiatan perawat pada fase intra insiden.

Tujuan Khusus :

1. Mengidentifikasi system triage pada fase intra insiden (tanggap

darurat)

2. Mengidentifikasi konsep dasar penanganan fase intra insiden

(tanggap darurat).

3. Mengidentifikasi macam macam transportasi fase intra insiden

(tanggap darurat).

BAB 2

8
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Treatment pada Korban Bencana


Triage adalah hal yang paling dasar yang seharusnya dimiliki

anggota tim penanganan bencana. Triage merupakan suatu teknik

penilaian dan mengklasifikasikan tingkat kegawatan korban bencana.

Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam

Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan

oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage

lapangan, harusnya seorang first responder (yang pertama kali menangani

bencana) menguasai triage. Pentingnya triage untuk memilih siapa yang

harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir.

Untuk melakukan penanganan yang cepat terhadap korban

bencana, maka diperlukan sistem informasi yang dapat memberikan

kemudahan. Dengan menggunakan sistem informasi diharapkan masalah-

masalah tersebut dapat diatasi secepat mungkin. Sistem informasi triage

dalam penanggulangan bencana merupakan sistem untuk memilih korban

bencana atau kecelakaan masal berdasarkan beratnya cedera untuk

selanjutnya tim medis dapat menentukan jenis perawatan gawat

darurat.Triage bukan saja supaya bertindak dengan cepat dan waktu yang

tepat tetapi juga melakukan yang terbaik untuk korban

Menurut Lee, C.H., (2010) menerangkan pada situasi

diklasifikasikan sebagai bencana masal atau MCI, membutuhkan metode

triase cepat dan efektif. Dalam rangka mengoptimalkan hasil pasien secara

keseluruhan dalam situasi bencana, ada pergeseran dari melakukan apa

yang terbaik untuk setiap pasien untuk melakukan kebaikan terbesar untuk

9
jumlah terbesar orang. Ada beberapa tumpang tindih dalam prinsip-prinsip

dasar dari korban massal dan sistem triase bencana yang sedang digunakan

di seluruh dunia, namun data efikasi masih terbatas dalam literature.

Karena secara inheren sulit untuk menyelidiki dan membandingkan

protokol bencana dengan menggunakan pendekatan berbasis bukti, 2 tidak

ada data yang pasti di mana teknik triase bencana akan menghemat jumlah

terbesar korban. Saat ini, dua protokol triase paling umum diterima adalah

START dan SALT.

A. Model SALT Triage Untuk Insiden Korban Masal (Mass Casualty


Incident)

Lerner et al. Dalam Neal, D.J. (2009) menilai sistem triase yang saat ini

digunakan dan menggambarkan kekuatan dan kelemahan dari sistem ini.

Penelitian ini mengembangkan pedoman triase yang digunakan untuk semua

bahaya dan dapat diterapkan pada orang dewasa dan anak-anak. SALT Triage

singkatan (sort – assess – lifesaving – interventions – treatment/transport).

SALT terdiri dari dua langkah ketika menangani korban. Hal ini termasuk

triase awal korban menggunakan perintah suara, perawatan awal yang cepat,

penilaian masing-masing korban dan prioritas, dan inisiasi pengobatan dan

transportasi. Pendekatan Triase SALT memiliki beberapa karakteristik

tambahan. Pertama, SALT mengidentifikasi kategori expectant (hamil) yang

fleksibel dan dapat diubah berdasarkan faktor-faktor tertentu. Kedua, SALT

Triage awalnya mengkategorikan luka, tapi memberikan evaluasi sekunder

untuk mengidentifikasi korban langsung.

1. SORT SALT = dimulai dengan menyortir pasien secara global melalui


penilaian korban secara individu. Pasien yang bisa berjalan diminta untuk
berjalan ke suatu area tertentu dan dikaji pada prioritas terakhir untuk

10
penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada korban yang diminta
untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji kemampuan gerakan secara
terarah / gerakan bertujuan. Pada korban yang tetap diam tidak bergerak
dari tempatnya dan dengan kondisi yang mengancam nyawa yang jelas
harus dinilai pertama karena pada korban tersebut yang paling
membutuhkan intervensi untuk penyelamatan nyawa.
2. Step 2 = ASSES Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk
memberikan intervensi menyelamatkan nyawa. Setelah intervensi
menyelamatkan nyawa disediakan, pasien diprioritaskan untuk pengobatan
berdasarkan ke salah satu dari lima warna-kode kategori.
- Pasien yang mengalami luka ringan yang self-limited jika tidak diobati
dan dapat mentolerir penundaan dalam perawatan tanpa meningkatkan
risiko kematian harus diprioritaskan sebagai minimal dan harus
ditunjuk dengan warna hijau.
- Pasien yang tidak bernapas bahkan setelah intervensi live saving yang
diprioritaskan sebagai mati dan harus diberi warna hitam.
- Pasien yang tidak mematuhi perintah, atau tidak memiliki pulsa
perifer, atau dalam gangguan pernapasan, atau perdarahan besar yang
tidak terkendali harus diprioritaskan immediate dan harus ditunjuk
dengan warna merah.
- Penyedia harus mempertimbangkan apakah pasien ini memiliki cedera
yang mungkin tidak sesuai dengan kehidupan yang diberikan sumber
daya yang tersedia, jika ada, maka provider harus triase pasien sebagai
expectant /hamil dan harus ditunjuk dengan warna abu-abu.
- Para pasien yang tersisa harus diprioritaskan sebagai delayed dan harus
ditunjuk dengan warna kuning.

11
ALGORITMA SALT

12
B. Model START/ JUMPSTART Triage Untuk Insiden Korban Masal
(Mass Casualty Incident)

START

Sistem START tidak harus dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan

yang sangat terampil (Stein, L., 2008). Bahkan, dapat dilakukan oleh penyedia

dengan tingkat pertolongan pertama pelatihan. Tujuannya adalah untuk dengan

cepat mengidentifikasi individu yang membutuhkan perawatan, waktu yang

dibutuhkan untuk triase setiap korban kurang dari 60 detik.

START membagi korban menjadi 4 kelompok dan masing-masing

memberikan mengelompokkan warna. START triase memiliki tag empat warna

untuk mengidentifikasi status korban.

1. Langkah pertama adalah meminta semua korban yang membutuhkan


perhatian untuk pindah ke daerah perawatan. Ini mengidentifikasi semua
korban dengan luka ringan yang mampu merespon perintah dan berjalan
singkat jarak ke area pengobatan. Ini adalah GREEN kelompok dan
diidentifikasi untuk pengobatan delayed, mereka memang membutuhkan
perhatian.
2. Langkah selanjutnya menilai pernapasan. Jika respirasi lebih besar dari 30 tag
korban sebagai RED (Immediate), Jika tingkat pernapasan kurang dari 30
bpm, periksa denyut nadi radial dan refill kapiler. Jika tidak ada pulsa radial
teraba atau jika kapiler isi ulang lebih besar dari 2 detik, menandai korban
RED (Immediate
3. Jika tidak ada reposisi respirasi jalan napas. Jika tidak ada respirasi setelah
reposisi untuk membuka jalan napas, tag korban BLACK (mati).
4. Jika ada nadi radial, nilai status mental korban dengan meminta mereka untuk
mengikuti perintah sederhana seperti meremas tangan. Jika mereka tidak bisa
mengikuti perintah sederhana, maka tag mereka RED (Immediate) dan jika
mereka dapat mengikuti perintah sederhana, maka tag mereka YELLOW
(delayed).

13
ALGORITMA START

14
15
JUMPSTART

Anak-anak memiliki nilai rentang normal yang berbeda dari yang

pernapasan tergantung pada usia mereka, sehingga metode START

berdasarkan tingkat pernapasan 30 tidak akan sesuai untuk anak-anak. Selain

itu, anak-anak lebih cenderung memiliki masalah pernapasan utama sebagai

lawan masalah kardiovaskular dan anak-anak yang tidak bernapas mungkin

hanya memerlukan pernapasan buatan untuk diresusitasi. Jumpstart ini

digunakan untuk anak-anak usia 1 dan 8 tahun. Mungkin tidak mudah untuk

menentukan usia anak sehingga korban tampak masih anak- anak maka

menggunakan JUMPSTART dan jika korban terlihat seperti orang dewasa

muda menggunakan START. Modifikasi dan penilaian tambahan akan

diperlukan untuk anak- anak kurang dari usia 1 tahun, denganketerlambatan

perkembangan, cacat kronis atau cedera terjadi sebelum kejadian. (Jumpstart,

2008 dalam Stein, L., 2008)

16
ALGORITMA JUMPSTART

17
2.2 Konsep Dasar Treatment pada Korban Bencana
1. Pos Medis Lanjutan

Pos Medis Lanjutan didirikan sebagai upaya untuk menurunkan


jumlah kematian dengan memberikan perawatan efektif (stabilisasi)
terhadap korban secepat mungkin. Upaya stabilisasi korban mencakup
intubasi, trakeostomi, pemasangan drain thoraks, pemasangan ventilator,
penatalaksanaan syok secara medikamentosa, analgesia, pemberian infus,
fasiotomi, imobilisasi fraktur, pembalutan luka, pencucian luka bakar.
Fungsi pos medis lanjutan ini dapat disingkat menjadi “Three ‘T’ rule”
(Tag, Treat, Transfer) atau hukum tiga (label, rawat, evakuasi). (Rustam
S.Pakaya.2007)
Menurut (Rustam S.Pakaya.2007) Lokasi pendirian pos medis
lanjutan sebaiknya di cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki dari
lokasi bencana (50–100 meter) dan daerah tersebut harus:
1) Termasuk daerah yang aman
2) Memiliki akses langsung ke jalan raya tempat evakuasi dilakukan.
3) Berada di dekat dengan Pos Komando.
4) Berada dalam jangkauan komunikasi radio.
Pada beberapa keadaan tertentu, misalnya adanya paparan material
berbahaya, pos medis lanjutan dapat didirikan di tempat yang lebih jauh.
Sekalipun demikian tetap harus diusahakan untuk didirikan sedekat
mungkin dengan daerah bencana.

2. Organisasi Pos Medis Lanjutan


Menurut (Rustam S.Pakaya.2007) struktur internal pos medis lanjutan
dasar, terdiri atas:
1) Satu pintu masuk yang mudah ditemukan atau diidentifikasi.
2) Satu tempat penerimaan korban/tempat triase yang dapat
menampung paling banyak dua orang korban secara bersamaan.
3) Satu tempat perawatan yang dapat menampung 25 orang korban
secara bersamaan.

18
Tempat perawatan ini dibagi lagi menjadi:
1) Tempat perawatan korban gawat darurat (korban yang diberi tanda
dengan label merah dan kuning). Lokasi ini merupakan proporsi
terbesar dari seluruh tempat perawatan.
2) Tempat perawatan bagi korban nongawat darurat (korban yang
diberi tanda dengan label hijau dan hitam).

Pos medis lanjutan standar, terdiri atas:


1) Satu pintu keluar
2) Dua buah pintu masuk (Gawat Darurat dan Non- Gawat Darurat).
Untuk memudahkan identifikasi, kedua pintu ini diberi tanda
dengan bendera merah (untuk korban gawat darurat) dan bendera
hijau (untuk korban non gawat darurat).
3) Dua tempat penerimaan korban/triase yang saling berhubungan
untuk memudahkan pertukaran/pemindahan korban bila
diperlukan.
4) Tempat perawatan Gawat Darurat yang berhubungan dengan
tempat triase Gawat Darurat, tempat ini dibagi menjadi:
a. Tempat perawatan korban dengan tanda merah (berhubungan
langsung dengan tempat triase)
b. Tempat perawatan korban dengan tanda kuning (setelah tempat
perawatan merah)

19
5) Tempat perawatan Non Gawat Darurat, berhubungan dengan
tempat triase Non Gawat Darurat, dibagi menjadi:
a. Tempat korban meninggal (langsung berhubung-an dengan
tempat triase)
b. Tempat perawatan korban dengan tanda hijau (setelah tempat
korban meninggal) Setiap tempat perawatan ini ditandai dengan
bendera sesuai dengan kategori korban yang akan dirawat di
tempat tersebut.
6) Sebuah tempat evakuasi yang merupakan tempat korban yang
kondisinya telah stabil untuk menunggu pemindahan ke Rumah
Sakit.

3. Luas Pos Medis Lanjutan


Sebaiknya pos ini menampung sekitar 25 orang korban bersama para
petugas yang bekerja di sana. Luas pos medis lanjutan yang dianjurkan:
1) Untuk daerah perawatan 2,6 m2 untuk setiap korban.
2) Dengan mempertimbangkan banyaknya orang yang berlalu lalang, luas
tempat triase adalah minimum 9 m2.
3) Luas minimum tempat perawatan untuk pos medis lanjutan dasar
adalah 65 m2.
4) Luas minimum tempat perawat untuk pos medis lanjutan standar
adalah 130 m2.
5) Tempat evakuasi 26 m2.

Dengan demikian, luas minimum yang diperlukan untuk sebuah pos medis
lanjutan adalah 73 m2. (Rustam S.Pakaya.2007)
4. Tenaga Pelaksana Pos Medis
Menurut Tenaga medis yang akan dipekerjakan di pos ini adalah
dokter dari Unit Gawat Darurat, ahli anestesi, ahli bedah dan tenaga
perawat. Dapat pula dibantu tenaga Perawat, Tenaga Medis Gawat Darurat,

20
dan para tenaga pelaksana Pertolongan Pertama akan turut pula bergabung
dengan tim yang berasal dari Rumah Sakit. (Rustam S.Pakaya.2007)
Menurut (Depkes RI. 2011) Tenaga pelaksana pos medis lanjutan
standar dapat dibedakan berdasarkan lokasi tempat pemberian pelayanan,
baik itu triase maupun perawatan seperti berikut:
1. Tempat Triase, tenaganya terbagi sesuai:
 Triase Gawat Darurat
a. Pelaksana triase, terdiri dari seorang dokter yang telah
berpengalaman (dianjurkan dokter yang bekerja di Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit, ahli anestesi atau ahli bedah).
b. Dibantu oleh perawat, Tenaga Medis Gawat Darurat, atau tenaga
pertolongan pertama.
c. Petugas administrasi yang bertugas untuk meregistrasi korban.
 Triase Non Gawat Darurat
a. Pelaksana triase adalah perawat yang berpengalaman, Perawat
atau Tenaga Medis Gawat Darurat.
b. Dibantu oleh tenaga Pertolongan Pertama.
c. Petugas administrasi (diambil dari tenaga Pertolongan Pertama).

Pada pos medis lanjutan standar hanya satu tim triase yang akan bekerja
memberi pelayanan kepada seluruh korban dimana tim ini
beranggotakan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk tim
triase Gawat Darurat. Tempat triase hanya diperuntukkan sebagai
tempat menerima korban, tidak sebagai tempat perawatan/pengobatan.
2. Tempat perawatan, tenaganya terbagi sesuai:
 Tempat Perawatan Gawat Darurat
a. Penanggung Jawab perawatan gawat darurat, merupakan seorang
dokter spesialis, konsulkan atau dokter terlatih. Penanggung jawab
perawatan gawat darurat ini akan bekerja untuk menjamin suplai
ke pos medis lanjutan, melakukan koordinasi dengan bagian lain
dalam pos medis lanjutan, mengatur pembuangan alat dan bahan
yang telah dipakai dan komunikasi radio. Ia juga akan berfungsi
sebagai manajer bagi pos medis lanjutan tersebut.

21
b. Tempat Perawatan Merah terdiri dari:
 Ketua tim, merupakan seorang ahli anestesi, dokter Unit Gawat
Darurat atau seorang perawat yang berpengalaman.
 Perawat/penata anestesi dan/atau perawat dari Unit Gawat
Darurat.
 Sebagai tenaga bantuan adalah Tenaga Medis Gawat Darurat
atau para tenaga Pertolongan Pertama.
 Tenaga pengangkut tandu.
c. Tempat Perawatan Kuning terdiri dari:
 Ketua tim, merupakan seorang perawat (penata anestesi atau
perawat dari Unit Gawat Darurat) atau seorang Perawat.
 Sebagai tenaga bantuan adalah Tenaga Medis Gawat Darurat
atau para tenaga Pertolongan Pertama.
 Tenaga pengangkut tandu.
 Tempat Perawatan Non-Gawat Darurat
a. Tim perawatan Area Hijau
 Ketua tim, merupakan tenaga medis gawat darurat yang
berpengalaman.
 Sebagai tenaga bantuan adalah tenaga medis gawat darurat
atau para tenaga pertolongan pertama.
 Tenaga pengangkut tandu.
b. Daerah penempatan korban yang telah meninggal dunia
(korban yang diberi tanda dengan kartu hitam).
 Tidak diperlukan petugas di bagian ini.
3. Lokasi Evakuasi
 Dipimpim oleh seorang Perawat/tenaga medis gawat darurat
berpengalaman yang mampu:
a. Memeriksa stabilitas korban
b. Memeriksa peralatan yang dipasang pada korban
c. Monitoring korban sebelum dilakukan pemindahan ke fasilitas lain
d. Supervise pengangkutan korban
e. Menyediakan/ mengatur pengawalan

22
 Petugas administrasi
 Penanggung jawab transportasi yang merupakan petugas senior daru
Dinas Pemadam Kebakaran atau Layanan Ambulans. Petugas ini
berhubungan dengan Kepala pos medis lanjutan dan pos komando.
4. Peralatan (kebutuhan minimum) untuk:
 Tempat Triase
a. Tanda pengenal untuk menandai setiap tempat/ bagian dan petugas
b. Kartu triase
c. Peralatan administrasi
d. Tandu (empat buah)
e. Alat penerangan
f. Sfigomanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
 Tempat Perawatan Gawat Darurat (minimum untuk kebutuhan 25
orang korban)
a. Tanda pengenal untuk Ketua (jaket merah dengan tulisan
“Ketua”), dan untuk setiap Ketua tim (kain berwarna merah/
kuning yang dipergunakan di lengan)
b. Alat penerangan
c. Tandu
d. Selimut
e. Peralatan administrasi
f. Sfigomanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
g. Peralatan medis bencana alam, terdiri dari:
 Peralatan resusitasi jalan napas
o Oksigan tabung
o Peralatan intubasi
o Peralatan trakeostomi
o Peralatan drain thoraks
o Ambu bag
o Alat cricothiroidectomy
 Peralatan resusitasi jantung
o Infus set + cairan

23
o Obat-obatan untuk pelaksanaan syok
o Alat fiksasi pada trauma thoraks (MASTrousers)
 Peralatan listrik/ pneumatic
o Penghisap lendir (suction)
o Lampu khusus
o Defibrillator
o Ventilator
o Baterai atau generator
 Perlengkapan peralatan luka
o Kapas, verband elastic
o Peralatan penjahitan luka
o Sarung tangan
o Obat antiseptic
o Selimut pengaman
o Bidai (termasuk kolar leher)
o ATS/ABU
 Tempat Perawatan Non Gawat Darurat
a. Peralatan penerangan khusus
b. Alat membalut/ bidai
c. Peralatan administrasi
d. Sfigmanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan
 Lokasi Evakuasi
a. Alat penerangan
b. Tandu
c. Peralatan administrasi
d. Sfigmanometer, stetoskop, lampu senter, sarung tangan

5. Pos Penatalaksanaan Evakuasi


Menurut (Depkes RI. 2011) Pos penatalaksanaan evakuasi ini berfungsi untuk:
1. Mengumpulkan korban dari berbagai pos medis lanjutan
2. Melakukan pemeriksaan ulang terhadap para korban
3. Meneruskan/memperbaiki upaya stabilisasi korban

24
4. Memberangkatkan korban ke fasilitas kesehatan tujuan

Jika bencana yang terjadi mempunyai beberapa daerah pusat bencana,


di setiap daerah pusat bencana tersebut harus didirikan pos medis lanjutan.
Dengan adanya beberapa pos medis lanjutan ini pemindahan korban ke
sarana kesehatan penerima harus dilakukan secara terkoordinasi agar
pemindahan tersebut dapat berjalan secara efisien.
Untuk mencapai efisiensi ini korban yang berasal dari berbagai pos
medis lanjutan akan dipindahkan ke satu tempat dengan fasilitas stabilisasi
dan evakuasi yang lebih baik, dimana dari tempat ini transfer selanjutnya
akan dikoordinasi. Tempat penampungan korban sebelum pemindahan ini
disebut sebagai Pos Penatalaksanaan Evakuasi yang dapat berupa sebuah
“Rumah Sakit Lapangan”, Poliklinik, Rumah Sakit tipe B, atau fasilitas
sejenis.
5. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan oleh para sukarelawan,
petugas Pemadam Kebakaran, Polisi, tenaga dari unit khusus, Tim Medis
Gawat Darurat dan Tenaga Perawat Gawat Darurat Terlatih. Menurut
(Depkes RI. 2011) Pertolongan pertama dapat diberikan di lokasi seperti
berikut:
a. Lokasi bencana, sebelum korban dipindahkan.
b. Tempat penampungan sementara
c. Pada “tempat hijau” dari pos medis lanjutan, dimana pada fase ini
korban dibagi atau dipilah menjadi beberapa
d. Dalam ambulans saat korban dipindahkan ke fasilitas kesehatan
Pertolongan pertama yang diberikan pada korban dapat berupa kontrol
jalan napas,fungsi pernapasan dan jantung, pengawasan posisi korban,
kontrol pendarahan, imobilisasi fraktur, pembalutan dan usaha-usaha untuk
membuat korban merasa lebih nyaman. Harus selalu diingat bahwa bila
korban masih berada di lokasi yang paling penting adalah memindahkan
korban sesegera mungkin, membawa korban gawat k epos medis lanjutan
sambil melakukan usaha pertolongan pertama utama, seperti
mempertahankan jalan napas, dan kontrol pendarahan. Resusitasi

25
kardiopulmoner tidak boleh dilakukan dilokasi kecelakaan pada bencana
massal karena membutuhkan waktu dan tenaga .
A. Langkah – langkah yang perlu dilakukan saat menolong korban
bencana ialah:
a. Tetap tenang
Hanya orang yang tenang dapat menolong orang lain
b. Selamatkan diri terlebih dahulu, kemudian baru monolong korban.
Periksa bahaya lalu lintas, kebakaran, aliran listrik, atau apa saja
yang mengancam keselamatan orang sekitar.
c. Cari bantuan
Sangatlah penting untuk meminta bantuan dari seorang ahli. Jika
memungkinkan, kirimlah seseorang untuk mencari bantuan karena
korban sebaiknya tidak ditinggalkan sendiri.
d. Hubungi rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat. Keterangan
yang diberikan harus singkat dan jelas termasuk (1) kondisi korban,
(2) berapa jumlah korban, dan (3) lokasi korban 5. Jangan
pindahkan korban patah tulang atau luka di bagian punggung tanpa
menggunakan tandu
e. Jangan memberikan makanan atau minuman kepada korban
f. Beri korban dukungan kejiwaan. Dukungan kejiwaan
meningkatkan kemungkinan korban untuk bertahan hidup. Bahkan
orang yang tidak menjawab atau tidak sadarkan diri mungkin apat
mendengar suara orang lain. (Depkes RI. 2011)
B. Menyadarkan korban bencana
Pindahkan bahu korban secara perlahan sambil menanyakan beberapa
pertanyaan mudah seperti siapa nama korban, bagaimana perasaan
korban, dll. Orang yang sadar akan membalas dengan gerakan,
membuat suara, atau menjawab pertanyaan. Jika tidak ada gerakan
atau reaksi, berarti korban tidak sadar; maka yang harus dilakukan
ialah :
a. Hubungi 112 atau nomor gawat darurat daerah

26
b. Baringkan korban dan berlututlah di samping korban, dekat
dengan bahunya.
c. Bersihkan saluran udara korban
Angkat dagu korban dan miringkan kepala korban ke belakang dan ke
atas, pegang rahangnya. Pastikan tidak ada hal yang menyumbat
saluran pernapasan, seperti makanan atau lidah yang terlipat.
Apabila korban di curigai mengalami cidera servikal, maka
dilakukan jowtrash.
d. Melakukan RJP
Apabila pasien nadi tidak teraba maka dilakukan RJP. Letakkan salah
satu telapak tangan Anda di tengah dada korban di antara puting
susu dan letakkan tangan satunya lagi di atas yang pertama.
Tekan dada korban sedalam 4-5cm dengan lembut dan cepat
(setidaknya 100 tekanan per menit). Setelah 30 tekanan, beri 2
napas bantuan. Hal ini dilakukan sampai nadi ditemukan.
e. Lihat – Dengar – Rasakan
Untuk mengetahui apakah korban telah mulai bernapas dengan
sendirinya. Bila perlu, bergantian dengan penolong lainnya.
f. Apabila korban mulai bernapas, miringkan badannya dalam posisi
pemulihan serta periksa pernapasan secara berkala. (Depkes RI.
2011)
C. Cara menempatkan seseorang dalam posisi pemulihan
a. Baringkan korban dalam posisi telentang, luruskan kedua kakinya
b. Periksa bagian saku/kantong korban untuk memastikan tidak ada
benda tajam atau benda berbahaya lainnya
c. Silangkan salah satu tangannya ke bahu dan tekukkan salah satu
kakinya. Biarkan tangan lainnya terulur
d. Gulirkan korban ke samping dengan mendorong bahu dan
pinggang korban menjauhi penolong.
e. Letakkan kepala korban di atas tangan yang disilangkan ke bahu.
Tangan tersebut akan berperan sebagai bantal atau penopang kepala
korban sekaligus mencegah cairan dari mulut korban masuk

27
kembali ke dalam mulut pada saat korban muntah. (Depkes RI.
2011
6. Peran Perawat dalam Keperawatan Bencana
Menurut (Rosyidi et al. 2013) Pelayanan keperawatan tidak hanya
terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit
saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan
dalam situasi tanggap bencana.Perawat tidak hanya dituntut memiliki
pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari
itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan
darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun
memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita
lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan
pertolongan lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu
sudah terkesan lambat.Kegiatan penanganan siaga bencana memang
berbeda dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya.
Menurut (Rosyidi et al. 2013) Ada beberapa hal yang menjadi perhatian
penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat
dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan
isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling
urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga
kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi
dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun
juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat,
menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan
pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan
lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.

28
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan
di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban
saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan
bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat
sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam
massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka
akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban
bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah
pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada
orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah
anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan
sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan
permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri
mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat

29
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda
yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah
dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat
menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan
pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan
masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal
yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam
penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan
bekal tersebut perawat akan mampu memberikan pertolongan medis
yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap
elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin
dari rasa empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala
situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian
tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban
bencana.
c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal
hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik,
mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus
dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan
salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana,
perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun
jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan

30
peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir
dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat
harus mengerti konsep siaga bencana.
7. Teknik Pengkajian Fisik
a) Pengamatan Pernapasan
Periksa ada tidaknya napas dengan jalan lihat, dengar, dan rasakan, nilai
selama 3-5detik. Pernapasan yang cukup baik bila didapatkan tanda
sebagai berikut:
- Dada naik dan turun secara penuh
- Bernapas mudah dan lancer
- Kualitas pernapasan normal
Bila Anda mendapatkan beberapa tanda di bawah maka termasuk
pernapasan yang kurang baik:
- Dada tidak naik atau turun secara penuh
- Terdapat kesulitan bernapas
- Cyanosis (warnna biru/ abu-abu pada kulit, bibir, atau kuku)
- Kualitas pernapasan tidak normal (Krisanty et al. 2013)
b) Pengamatan Sirkulasi Darah
Pastikan denyut jantung cukup baik dan pastikan bahwa tidak ada
perdarahan yang dapat mengancam nyawa yang tidak terlihat. Pakaian
tebal dapat mengumpulkan darah dalam jumlah yang cukup banyak.
Periksalah nadi radial (pergelangan tangan) pada penderita yang memiliki
respon positif. Bila korban tidak memiliki respons maka periksalah nadi
karotis (leher), kecuali pada bayi pemeriksaan nadi tetap dilakukan pada
nadi brakial. Ada tidaknya nadi diperiksa selama 5-10 detik. Bila tidak
didapatkan denyut nadi maka segeralah lakukan resusitasi jantung paru.
Pastikan tidak ada perdarahan yang terjadi. (Krisanty et al. 2013)
c) Pengamatan Kesadaran
Cek kesadaran korban dengan memeriksa respon. Ada 4 tingkatan yang
biasanya dipakai utuk memeriksa respon seseorang:
A -> alert : korban sadar, jika tidak sadar lanjut ke langkah berikutnya

31
V-> Verbal :caranya dengan memanggil nama korban dengan sekeras-
kerasnya diatas telinga korban. Jika masih tidak merespon lanjut ke pos
selanjutnya.
P-> pinful: rangsangan nyeri, coba untuk memberi rangsangan nyeri pada
pasien, yang paling mudahadalah menekan bagian putih dari kuku tangan
(dipangkal kuku).
U-> Unresponsive : korban tidak bereaksi apapun setelah mendapat
rangsangan nyeri maupun terhadap suara, hal ini menandakan korban tidak
sadar. (Krisanty et al. 2013)

2.3 Macam – Macam Transportasi Gawat Darurat

A. Transportasi Tanpa Alat

Pertolongan satu orang


a) Human crutch ( memapah)
1. Berdirilah disamping korban disisi yang cidera atau yang lemah,
rangkulkan satu lengan penderita pada leher penolong dan gaitlah
tangan korban atau pergelangannya.
2. Rangkulkan tangan penolong yang lain dari arah belakang mengait
pinggang korban.
3. Bergeraklah pelan-pelan maju.

b) Cradle (dibopong)
1. Jongkoklah disamping korban letakkan satu lengan penolong
merangkul dibawah punggung korban sedikit diatas pinggang.
2. Letakan tangan yang lain dibawah dibawah paha korban tepat
dilipatan lutut. Berdirilah pelan-pelan dan bersamaan
mengangkat korban

32
c) Pick a back (menggendong)
1. Jongkoklah didepan korban dengan punggung menghadap
korban. Anjurkan korban meletakkan kedua tangannya
merangkul diatas pundak penolong.
2. Gapailah dan peganglah paha korban, . Berdirilah pelan-pelan
dan bersamaan mengangkat korban

33
d) Piggyback Carry e) Pack-strap Carry f) Head First Drag

g) fire fighter’s drag h) Drag Method (diseret)

Pertolongan 2 orang
a) Ditandu dengan kedua lengan penolong (the two-handed seat)
1. Kedua penolong jongkok dan saling berhadapan disamping
kiri dan kanan korban, lengan kanan penolong kiri dan lengan
kiri penolong kanan menyilang dibelakang punggung korban.
2. Kedua tangan penolong yang menerobos dibawah lutut korban
saling bergandengan dan mengait dengan cara saling
memegang pergelangan tangan.
3. Makin mendekatlah para penolong. Tahan dan aturlah
punggung penolong selalu tegap.
4. Berdirilah secara pelanpelan bersamaan dengan mengangkat
korban.

34
b) The fore and aft carry
1. Dudukan korban. Kedua lengan menyilang didada. Rangkul
dengan menyusupkan lengan penolong dibawah ketiak korban.
2. Pegang pergelangan tangan kiri oleh tangan kanan penolong, dan
tangan kanan penolong ketangan kiri korban.
3. Penolong yang lain jongkok disamping korban setinggi lutut dan
mencoba mengangkat kedua paha korban

c) Memakai Kursi

35
a) Cara 3 Penolong
1. Ketiga penolong berlutut pada salah satu sisi penderita. Jika
memungkinkan beradalah pada sisi yang paling sedikit cidera.
2. Penolong perama menyisipkan satu lengan dibawah leher dan bahu.
Lengan yang satu disisipkan dibawah punggu penderita.
3. Penolong kedua menyisipkan tangan punggung dan bokong penderita.
4. Penolong ketiga menyisipkan lengan dibawah bokong dan dibawah
lutut penderita.
5. Penderita siap diangkat dengan satu perintah.
6. Angkat penderita diatas lutut ketiga penolong secara bersamaan.
7. Sisipkan tandu yang akan digunakan dan atur letaknya oleh penolong
yang lain.
8. Letakan kembali penderita penderita diatas tandu dengan satu perintah
yang tepat.
9. Jika akan berjalan tanpa memakai tandu , dari langkah no. 6 terus
dengan memiringkan penderita kedada penolong.
10. Penolong berdiri secara bersamaan dengan satu perintah.

36
B. Transportasi dengan Alat Bantu
 Beberapa aturan terkait dengan pengangkatan dan pemindahan korban :
1. Pemindahan korban dilakukan apabila diperlukan betul dan tidak
membahyakan penolong
2. Terangkan secara jelas pada korban apa yang akan dilakukan agar
korban dapat kooperatif
3. Libatkan penolong lain.Yakinkan penolong lain mengerti apa yang
akan dikerjakan
4. Pertolongan pemindahan dibawah satu komando agar dapat dikerjakan
secara bersamaan
5. Pakailah cara mengangkat korban dengan teknik yang benar agar tidak
menambah cedera yang lebih berat
 Memindahkan pasien dengan curiga cedera spinal : Immobilisasi kepala,
leher dan spinal sebelum transportasi.
Kecurigaan cedera cervical spinal:

 Ada jejas di atas klavikula


 Moi (Mekanism of injury)
 Defisit neurologis
 Multiple fraktur
 Penurunan Kesadaran

Memindahkan pasien tanpa adanya cedera spinal

37
a) Dengan Slimut

b) Long Spine Board

38
c) SCOP STRETCHER / Orthopaedic Strecher, untuk jarak pendek (antar
tempat tidur)

d) Tandu beroda / Tandu Ambulans(The Trolley Cot)

e) Tandu Portable

39
f) Stair Chair

g) Short Spine Board

h) Vest-Type Extrication Device

40
i) Basket Stretcher (sering digunakan pada vertical rescue)

j) Vakum Matras

C. Kendaraan Transportasi

41
a) Ambulance
 Atap ambulanns harus tinggi agar kita dapat bekerja di
dalamnya
 Alat Resusitasi harus lengkap
 Ambulans darat
Keuntungan ambulans darat

» Mobilisasi cepat
» Tidak perlu tempat mendarat
» Langsung ke tempat kejadian dan tempat rujukan
» Tidak membutuhkan personel yang khusus
» Biaya murah
 Kerugian ambulans darat
» Waktu lama apabila ada kemacetan, dll
» Akses terbatas dan kekuatan terbatas
» Sulit memasuki area yang terbatas
» Kurang nyaman

42
43
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Secara geografis dan geologis Indonesia sebenarnya rawan terhadap
bencana, seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami, banjir, letusan gunung
berapi, angin kencang bahkan kebakaran hutan. Bencana ini menimbulkan
kerugian dan kerusakan yang sangat parah. Bencana, utamanya bencana
alam sebagai fenomena geografis, geologis dan geofisis tidak dapat dicegah
terjadinya oleh manusia. Penanganan bencana pada dasarnya di tujukan
sebagai upaya untuk meredam dampaknya dan memperkecil korban jiwa,
kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Jadi penanganan
bencana bukan mencegah untuk terjadinya melainkan mencegah dampak
atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana dan memperkecil korban jiwa,
kerugian secara ekonomis dan kerusakannya.
Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan
pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada
saat terjadinya bencana adalah tujuan di fase intra bencana.
3.2 Saran
Fase intra bencana merupakan salah satu fase yang penting perlu
dipelajari, dikaji, serta dievalusi untuk peningkatan sistem penanggulangan
bencana yang lebih baik sehingga diharapkan dapat diterapkan dan
bermanfaat bagi masyarakat.

44
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana.Jakarta:Kementrian Kesehatan RI.
dr. Rustam S. Pakaya. MPH, d. E. M. M. e. a., 2007. Pedoman Teknis
Penanggulangan Krisis Kesehatan akibat Bencana. Jakarta: Dapartemen
Kesehatan RI.
Krisanty P., dkk. (2009). Asuhan Keperawtan Gawat Darurat. Jakarta: TIM
Rosyidi M N, K., & Wulansari, N. D. 2013. Prosedur Praktik Keperawatan .
Jakarta: CV Trans Info Media
BNPB (2014) ‘Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019’, Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 RINGKASAN, pp. 1–115.
Available at: https://www.bnpb.go.id//uploads/renas/1/BUKU RENAS
PB.pdf.
Hariadi, E. (2016) Proses Manajemen Bencana. Available at:
https://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Pert_4_Proses_manajemen_bencana.pd
f.
Sutanto (2012) ‘Peranan K 3 Dalam Manajemen Bencana’, Peranan K 3 Dalam
Manajemen Bencana, 8(02), pp. 37–40. doi: 10.14710/metana.v8i02.6836.

Kahn, Schultz, Miller dan Anderson, (2008). Does START Triage Work? An
Outcomes Assessment After a Disaster. Annals of Emergency Medicine
Volume 54, Issue 3, Pages 424-430.e1, September 2009

Lee, C.H., (2010). Disaster and Mass Casualty Triage. American Medical
Association

Journal of Ethics. June 2010, Volume 12, Number 6: 466-470. Lee, Et al. (2011).
The validity of the Canadian Triage and Acuity Scale in predicting resource
utilization and the need for immediate life-saving interventions in elderly
emergency department patients. Scandinavian of Journal Trauma, Resucitation
and Emergency Medicine. 19 : 68. p 1-8.

Stein, L., (2008). Mass Casualty Triage. The Oklahoma Nurse. P 18-21.

45

Anda mungkin juga menyukai