Anda di halaman 1dari 62

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH - 3

“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Persepsi Sensori:


Meniere’s Disease”

Dosen Pengampu : Herman, S.Kep., Ners., M. Kep.

DISUSUN OLEH :
Asih Islamiati (I1031181001)
Elly Kuwanti (I1031181002)
Shafira Aulya (I1031181003)
Sofila (I1031181004)
Rachel Novemberia Bornok Sitorus (I1031171033)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah-3. Dalam proses menyelesaikan
penyusunan tugas kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Persepsi Sensori: Meniere’s Disease”, kami juga mendapat dukungan
dan juga bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu kami menyampaikan terima
kasih kepada :
1. Allah SWT atas berkat dan anugrah-Nya yang luar biasa, yang tidak pernah
berkesudahan hingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tepat
pada waktunya.
2. Bapak Herman, S.Kep. Ners., M. Kep.selaku dosen pembimbing.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
penulisan dan penyajian materi pada makalah yang sederhana ini. Untuk itu kami
menerima saran dan kritik dari pembaca. Kami berharap makalah ini dapat
diterima dengan baik dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Pontianak, 20 Oktober 2020

TIM PENYUSUN

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 3
1.4 Metode Penulisan .......................................................................................... 3
BAB II KONSEP PENYAKIT .......................................................................... 5
2.1 Pengertian Meniere’s Disease ....................................................................... 5
2.2 Etiologi .......................................................................................................... 6
2.3 Patofisiologi ................................................................................................... 10
2.4 Manifestasi Klinik .......................................................................................... 14
2.5 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 15
2.6 Penatalaksanaan ............................................................................................ 20
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................. 28
3.1 Pengkajian ..................................................................................................... 35
3.2 Rumusan Diagnosa Keperawatan ................................................................. 35
3.3 Intervensi Keperawatan ................................................................................. 38
3.4 Evaluasi ......................................................................................................... 43
3.5 Evidence Base ............................................................................................... 47
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 55
4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 55
4.2 Saran ............................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.1 Meniere’s Disease ......................................................................... 6

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sensorik persepsi berfungsi untuk mengenali setiap perubahan
lingkungan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar tubuh. Indra yang ada
pada makhluk hidup, memiliki sel-sel reseptor khusus yang berfungsi untuk
mengenali perubahan lingkungan yang terjadi. Salah satu gangguan pada
sistem sensori persepsi adalah meniere's disease. Meniere's disease
merupakan masalah atau gangguan pada telinga bagian dalam yang
menyebabkan munculnya episode vertigo (rasa berputar), tinnitus (telinga
berdenging), perasaan penuh dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang
bersifat fluktuatif. Penyakit ini juga dapat disebut sebagai hidrops
endolimfatik idiopatik (Sabig, 2018).
Menurut WHO (2020) Sekitar 466 juta orang di seluruh dunia
mengalami gangguan pendengaran, dan 34 juta di antaranya adalah anak-
anak. Diperkirakan pada tahun 2050 lebih dari 900 juta orang akan
mengalami gangguan pendengaran. Penyakit Ménière dapat berkembang pada
semua usia, tetapi lebih mungkin terjadi pada orang dewasa berusia antara 40
dan 60 tahun. National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders (NIDCD) memperkirakan bahwa sekitar 615.000 orang di Amerika
Serikat saat ini didiagnosis dengan penyakit Ménière dan 45.500 kasus baru
didiagnosis setiap tahun (NIDCD, 2017).
Sindrom Meniere pada anak-anak yang paling sering dikaitkan dengan
cacat bawaan dari telinga bagian dalam. Insiden yang tepat dari penyakit
meniere sulit untuk ditentukan karena kriteria diagnosis yang tidak standar
tetapi kejadian yang dilaporkan berkisar 10-150 per 100.000 orang. Penyakit
Meniere tampaknya lebih umum pada wanita daripada laki-laki, dengan rasio
dilaporkan antara 1,3:1 hingga 1,8:1. Angka-angka ini mungkin
mencerminkan adanya bias pelaporan, dimana wanita lebih mungkin mencari
pengobatan dibanding pria (Sutarni, 2018).

1
Sindrom ini biasanya dimulai antara usia 30 dan 50 tahun, dan
prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan pasien
melaporkan gejala koklea di satu telinga, tetapi keterlibatan bilateral
bervariasi antara 10% dan 40% kasus, sesuai dengan durasi penyakit. Riwayat
keluarga ditemukan pada 5–15% kasus sporadis, biasanya dengan pola
pewarisan autosom dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap dan
sindrom parsial dalam keluarga (Bruderer SG, 2017).
Prosper Meniere Menggambarkan manifestasi klinik yang berkaitan
dengan hidrops endolimfatik yang ditandai oleh berbagai kumpulan gejala
berupa vertigo yang episodik, gangguan pendengaran, tinitus, dan rasa penuh
atau tertekan di dalam telinga. Penyakit ini dapat dimulai pada setiap usia
tetapi pasien biasanya datang dengan gejala antara usia 20 dan 40 tahun.
Insidensi puncak penyakit meniere adalah antara usia 40-60 tahun. Sindrom
Meniere pada anak-anak yang paling sering dikaitkan dengan cacat bawaan
dari telinga bagian dalam. Insiden yang tepat dari penyakit meniere sulit
untuk ditentukan karena kriteria diagnosis yang tidak standar tetapi kejadian
yang dilaporkan berkisar 10-150 per 100.000 orang (Sutarni, 2018).
Peran dan fungsi perawat adalah memberi penyuluhan kesehatan agar
masyarakat dapat mencegah dan mengobati meinere’s disease, merawat
pasien dengan meinere’s disease adalah memberikan pemahaman tentang
penyakit dan pengobatanya. Dalam tugas ini penulis akan membahas tentang
asuhan keperawatan pada pasien dengan Meinere’s disease untuk
memudahkan kita sebagai perawat dalam merawat pasien dengan penyakit
Meniere, memberikan penanganan yang tepat dan asuhan keperawatan yang
komprehensif.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi masalah
dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien meniere’s disease sebagai
berikut:
1. Apa definisi meniere’ disease ?

2
2. Apa etiologi dari meniere’s disease ?
3. Bagaimana patofisiologi dari meniere’s disease ?
4. Apa saja manifestasi klinik dari meniere’s disease ?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien meniere’s disease ?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien meniere’s disease ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan meniere’s disease ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan yaitu :
1. Dapat mendeskripsikan definisi meniere’s disease.
2. Dapat mengetahui etiologi dari meniere’s disease.
3. Memahami patofisiologi dari meniere’s disease.
4. Mengenal apa saja manifestasi klinik dari meniere’s disease.
5. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien meniere’s
disease.
6. Dapat menerapkan penatalaksanaan yang tepat pada pasien meniere’s
disease.
7. Dapat memahami asuhan keperawatan yang tepat pada pasien meniere’s
disease.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan pada makalah ini tersusun dari:
a. Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan metode
penulisan.
b. Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan teori yang berupa definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan yang
diambil dari kutipan buku yang berkaitan dengan penyusunan makalah
serta beberapa literature review yang berhubungan dengan penelitian.
c. Bab III Asuhan Keperawatan

3
Bab ini berisikan suatu kasus yang diulas berdasarkan teori yang berupa
pengkajian, rumusan diagnose keperawatan, intervensi, evaluasi serta
evidence base yang diambil dari kutipan buku yang berkaitan dengan
penyusunan makalah serta beberapa literature review yang berhubungan
dengan penelitian.
d. Bab IV Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan analisa dan
optimalisasi sistem berdasarkan yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya.

4
BAB II
KONSEP PENYAKIT
MENIERE’S DISEASE

2.1 Pengertian Meniere’s Disease


Penyakit Meniere adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
serangan vertigo yang spontan, gangguan pendengaran yang berfluktuasi,
tinnitus, aural fullness, dan gejala lainnya (Zhang, 2020). Penyakit Ménière
(MD) adalah gangguan multifaktorial pada telinga bagian dalam yang
ditandai dengan vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran senso-rineural
(Girasoli L, 2018). Penyakit meniere yang juga dikenal sebagai hidrops
endolimfatik, merupakan disfungsi labirintin yang menyebabkan vertigo
parah, kehilangan pendengaran sensorineural dan tinnitus (Williams., 2011).
Meniere's disease adalah sekumpulan gangguan kronis telinga bagian
dalam dengan prevalensi rendah yang ditandai dengan episode vertigo
spontan yang berulang, terkait dengan gangguan pendengaran sensorineural
yang berfluktuasi, tinitus, dan telinga penuh. Serangan vertigo biasanya acak
dan diagnosis klinis mungkin memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun sampai hubungan temporal antara gangguan pendengaran dan
vertigo dikonfirmasi. Gangguan pendengaran alami pada penyakit Meniere
(MD) biasanya bersifat progresif dan serangan vertigo dapat membaik atau
tidak seiring waktu. Maka dari itu, tujuan pertama pengobatan adalah
mengurangi durasi dan frekuensi serangan vertigo, dan kedua untuk
mencegah gangguan pendengaran dan meredakan tinnitus (Sanchez, 2020).
Penyakit meniere adalah suatu masalah kronis pada telinga bagian
dalam, tidak berakibat fatal namun dapat memengaruhi kualitas hidup.
penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli dari negara Prancis
bernama Prospere Meniere dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada
tahun 1861. Istilah hidrops endolimfatik sering digunakan secara sinonim
pada penyakit meniere, dimana keduanya dipercaya sebagai hasil peningkatan
tekanan dalam sistem endolimfatik. Namun, menurut definisi penyakit

5
meniere adalah idiopatik, sedangkan sindrom meniere dapat terjadi sekunder
untuk berbagai proses yang mengganggu produksi normal atau resorpsi
endolimfe (misalnya, kelainan endokrin, trauma, ketidakseimbangan
elektrolit, disfungsi autoimun, obat-obatan, infeksi parasit, hyperlipidemia)
(Sutarni, 2018).
Dari berbagai definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Meniere's Disease merupakan penyakit yang juga dikenal sebagai hidrops
endolympatik yaitu suatu gangguan kronis saluran semisirkular dan labirin
telinga dalam serta mempunyai trias gejala yang khas yaitu gangguan
pendengaran, telinga berdenging (tinitus) dan dapat menyebabkan vertigo.

Gambar 2.2.1 Meniere’s Disease

2.2 Etiologi
Menurut definisi, penyakit meniere adalah idiopatik. Penyebab pasti
dari penyakit Meniere sampai sekarang belum diketahui secara pasti,
banyak ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Sampai saat ini dianggap
penyebab dari penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan dalam
fisiologi sistem endolimfe yang dikenal dengan hidrops endolimfe, yaitu
suatu keadaan dimana jumlah cairan endolimfe mendadak meningkat

6
sehingga mengakibakan dilatasi dari skala media. Tetapi, penyebab hidrops
endolimfe sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa teori telah
diusulkan untuk menjelaskan etiologi penyakit ini tetapi belum ada yang
terbukti. Beberapa teori melaporkan beberapa faktor yang dapat menimbulkan
penyakit ini Menurut Sutarni (2018), adalah:
a. Familial: 5-20% mempunyai keluarga yang mempunyai gejala yang sama.
b. Anomali dan malformasi fisik.
c. Genetik, akibat mutasi gen COCH.
d. Autoimun. Terdapat bukti adanya penimbunan kompleks imun dalam
endolimfe pada pasien dengan penyakit meinere memperkuat dugaan
bahwa penyakit ini merupakan suatu gangguan imun.
e. Osteoklerosis.
f. Gangguan lokal keseimbangan garam dan air, yang menyebabkan edema
endolimfe.
g. Gangguan regulasi otonom sistem endolimfe.
h. Alergi lokal telinga dalam yang menyebabkan edema dan gangguan
kontrol otonom.
i. Gangguan vaskularisasi telinga dalam, terutama stria vaskularis.
j. Gangguan duktus atau sakus endolimfatik yang mengganggu absorbsi
endolimfe.

Berikut akan dijelaskan mengenai penyebab yang dianggap dapat


mencetuskan penyakit Meniere (Flook, 2018):
a. Virus
Studi yang menguji kantung endolimfatik pasien Meniere’s Disease
menunjukkan adanya DNA virus terutama virus Varicella-Zoster (VZV),
virus Epstein ‐ Barr, cytomegalovirus, dan tidak adanya herpes simples
virus 1 dan 2 atau keberadaannya di ruang depan ganglion, dengan titer
serum tidak aktif selama serangan, yang mengarah ke teori berbasis
statistik dari infeksi virus tidak aktif laten terkait dengan MD, dengan
kemungkinan infeksi VZV dini di masa kanak-kanak mempengaruhi

7
kantung endolimfatik di kemudian hari. Namun, obat antivirus tidak
berperan dalam pengobatan Meniere’s Disease (Gokhale, 2017).
b. Herediter
Pada penelitian didapatkan 1 dari 3 orang pasien mempunyai orang
tua yang menderita penyakit Meniere juga. Predisposisi herediter
dianggap mempunyai hubungan dengan kelainan anatomis saluran
endolimfatikus atau kelainan dalam sistem imunnya. MD keluarga adalah
entitas terkenal yang mempengaruhi sekitar 5% pasien MD. Pasien-
pasien ini cenderung memiliki onset penyakit lebih awal (dekade
keempat daripada kelima) dan lebih mungkin untuk memiliki penyakit
bilateral. Penularan biasanya mengikuti pola autosom dominan, dan
antisipasi genetik khas (Luryi, 2019). Bukti epidemiologis mendukung
kontribusi genetik dalam MD termasuk (a) prevalensi MD yang lebih
tinggi di Kaukasia di atas etnis lain dan (b) pengelompokan keluarga,
karena MD keluarga terjadi pada 6-10% pasien dengan MD di populasi
Eropa dan keturunan Asia, dan ithas rasio risiko kekambuhan saudara
kandung yang tinggi (λ = 24-45).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa meniere's disease di
pengaruhi oleh predisposisi genetik. Meniere's disease berhubungan
dengan alel HLA kelas I dan / atau kelas II tertentu. Studi Inggris, Korea,
Iran, dan (sekarang) Taiwan telah mengungkapkan bahwa antigen HLA
kelas I dikaitkan dengan MD. Namun, antigen HLA kelas II dikaitkan
dengan MD pada pasien Jepang, Cina Utara (populasi Han Beijing), dan
MD Mediterania. Oleh karena itu, perbedaan etnis dalam pergaulan
semacam itu berperan (Chan, 2018).
c. Alergi
Hubungan antara MD dan alergi pertama kali dibuat pada tahun
1923, ketika Duke mengamati dua pasien dengan gambaran klinis yang
konsisten dengan MD yang gejala mereka teratasi setelah pengobatan
dengan epinefrin. Prevalensi alergi yang didiagnosis tiga kali lebih tinggi
pada pasien MD dibandingkan pada populasi umum, menjadi alergen

8
inhalan dan makanan yang terkait dengan MD.
Yakni, gluten telah dianggap sebagai alergen makanan paling
umum untuk pasien MD. Gliadin adalah mediator hipersensitivitas IgE
utama pada alergi gandum. Dalam studi yang melibatkan 58 pasien MD,
25 kontrol sehat, dan 25 pasien kontrol dengan rinokonjungtivitis
grasspollen, ditunjukkan bahwa 57% pasien MD memiliki tes tusuk
positif terhadap gliadin, sedangkan kelompok kontrol negatif. Topuz dkk.
mempelajari 48 pasien MD, dan mengamati bahwa uji tusuk
menyebabkan gejala aural dan tinnitus pada 62% kasus, dengan
peningkatan tekanan endolimfatik yang diukur dengan elektrookleografi
pada 77% pasien. Oleh karena itu, Topuz et al. menyimpulkan bahwa
paparan alergen menginduksi reaksi histaminergik, menyebabkan
peradangan pada kantung endolimfatik atau striavascularis dan sirkulasi
endolimf yang tidak teratur.
d. Trauma Kepala
Jaringan parut akibat trauma pada telinga dalam dianggap dapat
menggangu aliran hidrodinamik dari endolimfatikus. Anggapan ini
diperkuat dengan adanya pasien Meniere yang mempunyai riwayat
fraktur tulang temporal.
e. Otitis Media
Otitis media telah dikaitkan dengan perkembangan Meniere's
Disease baik di kemudian hari (dalam eksposur masa kanak-kanak,
dengan gejala vertiginous mendominasi) atau bersamaan dengan
gangguan pendengaran yang berfluktuasi menjadi presentasi yang
dominan. Patofisiologi yang ditunjukkan melibatkan perkembangan
hidrops terkait dengan labirinitis dan atau otitis media karena duktus dan
kantung yang kurang berkembang karena gejala sisa inflamasi terkait di
mastoid. Kemungkinan lain adalah penyebaran produk infeksi atau
inflamasi ke dalam ruang perilimfatik, yang dapat mengganggu
homeostasis elektrolit dan tekanan osmotik sehingga mengakibatkan
hidrops (Gokhale, 2017).

9
f. Autoimun
Studi yang berbeda menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga kasus
MD memiliki asal autoimun. Namun, mekanisme yang terlibat masih
belum diketahui. Ada beberapa teori untuk pengembangan AIED, yang
dapat dibagikan dengan MD: (a) reaksi silang karena antigen bersama
antara zat berbahaya dan telinga bagian dalam; (b) oleh kerusakan
standar, karena sitokin dapat memicu reaksi kekebalan yang tertunda,
mungkin menjelaskan siklus serangan / remisi MD; (c) intoleransi diri,
karena tidak terbiasa dengan antigen telinga bagian dalam; dan (d) faktor
genetik yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Riente et al.
mengamati adanya autoantibodi pada antigen telinga bagian dalam pada
pasien MD. Namun, mereka tidak dapat menentukan apakah keberadaan
antibodi adalah penyebab MD atau jika itu adalah hasil dari peradangan
dan kerusakan jaringan. Jalur TWEAK / Fn14 terlibat dalam modulasi
peradangan pada beberapa penyakit autoimun kronis, termasuk sklerosis
multipel, lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, atau kolitis
ulserativa. Namun, jalur ini sudah mulai diselidiki di MD.

2.3 Patofisiologi
MD adalah gangguan progresif yang menyebabkan penumpukan
endolimf di telinga bagian dalam. Tidak jelas mengapa kelebihan cairan
menumpuk di ruang endolimfatik telinga bagian dalam. Beberapa teori
termasuk kelainan pembuluh darah, infeksi virus, mekanisme imunologi, dan
kecenderungan genetic. Gejala pendengaran dan keseimbangan terjadi ketika
volume normal endolimfe terganggu. Endolimfe disimpan dan diserap dalam
kantung endolimfatik, yang diyakini berperan penting dalam respons imun
telinga bagian dalam (Pullen, 2017).
Produksi berlebih, penyerapan terbatas, dan aliran endolimf yang
terhambat menyebabkan kantung endolimfatik membesar, yang mengarah ke
tanda dan gejala Meniere’s Disease. Terkadang kantung endolimfatik yang
membengkak disebut hidrops endolimfatik, yang berarti peningkatan tekanan

10
dalam sistem endolimfatik dan dilatasi kantung endolimfatik (Pullen, 2017).
Cairan lain di telinga bagian dalam adalah perilimfe, cairan
ekstraseluler dengan natrium tinggi dan konsentrasi kalium rendah, itu
sepenuhnya terpisah dari endolimfe. Sebuah membran tipis memisahkan
ruang perilimfatik dan endolimfatik. Distensi kantung endolimfatik
meningkatkan ketegangan pada membran ini, menyebabkan perasaan tertekan
atau penuh, tinitus, dan gangguan pendengaran sensorineural yang
berfluktuasi di telinga yang terkena. Saat endolimfe terus menumpuk, selaput
tipis yang memisahkan perilimfe dan endolimfe pecah, dan kedua cairan
bercampur. Karena ini berbeda secara kimiawi, campuran tersebut
menyebabkan peningkatan laju pembakaran vestibular yang menyebabkan
vertigo (Pullen, 2017).
Menurut Gokhale (2017) bahwa kelebihan endolimfe disebabkan oleh
produksi berlebih atau resorbsi yang berkurang, baik idiopatik atau karena
berbagai etiologi, kemungkinan besar merupakan obstruksi pada tingkat
duktus atau kantung, yang mengakibatkan hidrops endolimfatik. Ketajaman
serangan dapat dijelaskan dengan meningkatnya tekanan dalam media skala
yang mengakibatkan pecahnya labirin membran. Pecah ini diduga sering
terjadi pada Meniere's Disease dan telah ditemukan di semua bagian telinga
bagian dalam pada pasien Meniere's Disease. Ini mungkin menjelaskan
serangan mendadak dan fluktuasi gejala. Teori Schuknecht menonjol karena
menyoroti perubahan ionik; pecahnya labirin membran menyebabkan
pencampuran endolimfe kaya kalium ke dalam perilimfe. Kalium ini bersifat
eksitotoksik saat terpapar saraf vestibulokoklear dan sel rambut karena
menyebabkan depolarisasi sel saraf dan selanjutnya menjadi tidak aktif. Hal
ini menyebabkan penurunan fungsi koklea dan vestibular serta gejala
serangan Meniere. Ketika selaput yang pecah sembuh, gejala mereda.
Sementara temuan patologis lain pada hidrops termasuk pecahnya
membran, sklerosis periduktal, kerusakan sel rambut dan sel ganglion spiral,
penelitian juga menyoroti perbedaan lain yang diamati seperti metabolisme
glikoprotein abnormal di kantung endolimfatik. Sementara fibrosis di sekitar

11
kantung tidak perlu ada pada setiap kasus Meniere's Disease,
ketidakseimbangan glikoprotein yang meluas bisa menjadi nilai dalam
menjelaskan pembentukan hidrops endolimfatik melalui efek osmotik yang
mempengaruhi homeostasis telinga bagian dalam. Hidrops telah ditemukan
secara eksperimental cukup besar untuk meluas ke kanal setengah lingkaran
dan dengan demikian mengganggu crista ampullaris, penyebab vertigo.
Gangguan mekanis dari konduksi gelombang oleh hidrops terkait dengan
disfungsi koklea (Gokhale, 2017).

12
Pathway

13
2.4 Manifestasi Klinik
Akumulasi tekanan berlebih di endolimfe dapat menyebabkan empat
gejala, yaitu (Sutarni, 2018):
a. Vertigo
Rasa berputar, episodik, derajat ringan sampai berat, rotasional,
dengan durasi minimal 20 menit setiap episode serangan, tidak pernah
lebih dari 24 jam. Serangan-serangan ini digambarkan sebagai sensasi
berputar atau gerak dan biasanya tidak bersifat posisional. Sementara
pedoman diagnostik memungkinkan berbagai durasi serangan, serangan
biasanya berlangsung antara 1 dan 4 jam, dan kebanyakan pasien menilai
serangan mereka sebagai tingkat keparahan sedang (Luryi, 2019).
b. Pendengaran menurun
Berfluktuasi, tuli sensoris frekuensi rendah yang memberat saat
serangan, dan makin lama bisa semakin memberat. Pada tahap awal
penyakit, pendengaran dapat pulih di antara serangan, tetapi defisit
permanen terlihat dengan perkembangan penyakit. Empat belas tahun
setelah diagnosis, sekitar 50% pasien sama sekali tidak dapat mendengar
di telinga yang terkena (Ueberfuhr MA, 2017).
c. Tunitis
Khas seperti dering bernada rendah atau roaring noise di telinga. Pada
tahap awal penyakit, tinitus terjadi terutama dengan episode vertiginous,
menjadi lebih intens segera sebelum serangan. Seiring waktu, tinnitus
menjadi persisten bahkan di antara serangan, mencerminkan
perkembangan gangguan pendengaran. Tinnitus di MD biasanya frekuensi
rendah (125-250 Hz), cocok dengan gangguan pendengaran, dan
digambarkan sebagai "menderu" atau "berdering" (Ueberfuhr MA, 2017).
d. Gejala lain
Kebanyakan pasien MD juga melaporkan rasa penuh di sisi yang
terkena. Pasien mungkin menggambarkan perasaan "tertekan" atau
"sensasi tersumbat" di telinga. Sensasi ini biasanya dinilai sedang hingga
parah dan biasanya intensitas puncaknya segera sebelum serangan. Selama

14
serangan, pasien mengalami kehilangan keseimbangan yang tiba-tiba
sering disamakan dengan sensasi didorong, mengakibatkan jatuh tanpa
kehilangan kesadaran (Luryi, 2019).
Biasanya terdapat suatu periode rasa penuh atau tertekan pada telinga
yang dirasakan penderita selama berjam-jam, berhari-hari, atau
berminggu-minggu. Namun sensasi ini terlupakan karena adanya serangan
vertigo yang hebat yang timbul tiba-tiba disertai mual dan muntah.
Terdapat adanya kurang pendengaran yang hampir tidak dirasakan pada
telinga yang bersangkutan karena gemuruh tinitus yang timbul bersamaan
dengan vertigo. Episode awal biasanya berlangsung selama 2-4 jam,
setelah itu vertigo mereda, meskipun pusing (dizziness) pada gerakan
kepala menetap selama beberapa jam (Koenen, 2020).

Ada 3 tingkat derajat keparahan penyakit Meniere:


a. Derajat I, gejala awal pada penderita Meniere yaitu vertigo diikuti mual
dan muntah. Gangguan vagal seperti pucat dan berkeringat dapat terjadi.
Sebelum gejala vertigo menyerang, pasien dapat merasakan sensasi di
telinga yang berlangsung selama 20 menit hingga beberapa jam. Diantara
serangan, pasien sama sekali normal.
b. Derajat II, gangguan pendengaran semakin menjadi-jadi dan berfluktuasi.
Muncul gejala tuli sensorineural terhadap frekuensi rendah.
c. Derajat III, gangguan pendengaran tidak lagi berfluktuasi namun progresif
memburuk. Kali ini mengenai kedua telinga sehingga pasien seolah
mengalami tuli total. Vertigo mulai berkurang atau menghilang.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan oleh pasien
dengan meniere’s disease menurut (Sanchez, Meniere's Disease, 2016) yaitu:
a. Pure-Tone Audiometry
AAO-HNS membentuk sistem pementasan pendengaran, sesuai
dengan ambang batas nada murni pada 0,5, 1, 2, dan 3 kHz yang diperoleh

15
dalam audiogram (tabel 2.5.1). SNHL unilateral nada rendah berfluktuasi
yang didokumentasikan secara audiometri adalah kunci untuk diagnosis
MD saat menghadapi pasien dengan sindrom vestibular episodik. Dengan
tindak lanjut, mudah untuk mendokumentasikan fluktuasi saat pemulihan
dihargai, sehingga mendukung diagnosis MD. Pergeseran ambang batas
nada murni untuk konduksi tulang setidaknya 30 dB tingkat pendengaran
pada masing-masing dari dua frekuensi yang berdekatan di bawah 2000 Hz
diperlukan untuk MD unilateral. Frekuensi rendah (250 dan 500 Hz)
biasanya terpengaruh pada tahap-tahap awal. Saat penyakit berkembang,
semua frekuensi mungkin terlibat dan pola audiogram diratakan pada
tingkat sedang atau berat.
Pementasan didasarkan pada rata-rata empat nada (rata-rata aritmatika
dibulatkan ke bilangan bulat terdekat) dari ambang batas nada murni pada
0,5, 1, 2, dan 3 kHz dari audiogram terburuk selama interval 6 bulan
sebelum pengobatan. Ini adalah audiogram yang sama yang digunakan
sebagai evaluasi dasar untuk menentukan hasil pendengaran dari
pengobatan. Pementasan harus diterapkan hanya untuk kasus penyakit
Menie`re tertentu atau tertentu.
Stage Pure Tune Average (dB)
1 ≤ 25
2 26 – 40
3 41 - 70
4 > 70
Tabel 2.5.1 Pure Tune Average

b. Electrocochleography (ECOG)
ECoG adalah teknik neurofisiologis di mana potensi bangkitan
pendengaran diperoleh sebagai respons terhadap rangsangan suara singkat
dan direkam dengan elektroda intratimpani atau ekstratimpani
(noninvasif). Mikrofonik koklea dan potensial penjumlahan (SP)
dihasilkan oleh sel-sel rambut dari organ Corti, sedangkan potensial aksi

16
majemuk (AP) dari saraf pendengaran mewakili respon tersinkronisasi
yang dijumlahkan dari banyak serabut saraf individu. Parameter pengujian
meliputi latensi dan amplitudo SP dan AP, rasio amplitudo SP / AP, dan
area di bawah kurva rasio SP / AP.
Perubahan respon SP dapat mencerminkan perbedaan tekanan antara
scala media dan scala vestibuli, yang menunjukkan tekanan cairan yang
berlebihan, sehingga merusak membran basilar ke arah scala tympani,
sehingga amplitudo SP yang ditingkatkan dianggap mencerminkan EH.
Rasio SP / AP adalah parameter yang paling umum untuk diagnosis EH.
Namun, respons EKoG yang normal juga telah dilaporkan pada pasien
dengan EH.
Peningkatan amplitudo SP dengan rasio SP / AP yang diperbesar dan
pergeseran latensi AP yang berkepanjangan telah diamati pada pasien
dengan MD. Namun demikian, sensitivitas dan spesifisitas rasio SP / AP
untuk mendeteksi MD sangat bervariasi, dengan sensitivitas rendah dan
spesifisitas yang lebih tinggi. Penggunaan tone burst sebagai pengganti
klik, dan kombinasi rasio SP / AP dengan area di bawah kurva SP / AP
dapat meningkatkan sensitivitas ECoG. Juga dilaporkan bahwa sensitivitas
EKoG meningkat seiring dengan durasi dan tingkat keparahan penyakit.
Saat ambang pendengaran mencapai 60 dB, EcoG tidak dapat digunakan.
EKoG telah dilakukan untuk menentukan hasil pendengaran dan untuk
memantau respons terhadap terapi steroid intratimpani.

c. Caloric Test
Irigasi kalori bitermal dengan elektronistagmografi terkomputerisasi
atau videonystagmography telah menjadi tes laboratorium utama untuk
mengevaluasi fungsi refleks vestibulo-okular (VOR). Tes kalori menilai
fungsi kanal setengah lingkaran horizontal, dengan persentase kelemahan
kalori unilateral atau paresis kanal sebagai ukuran hasil utama. Hipofungsi
vestibular unilateral pada pengujian kalori diamati pada 75% pasien MD
unilateral, meskipun perlu dicatat bahwa respons kalori bithermal normal

17
telah dilaporkan pada hingga 50% pasien dalam beberapa seri. Paresis
kanal unilateral biasanya menunjukkan telinga yang terlibat, tetapi juga
telah ditunjukkan pada 19% pasien di sisi normal.

d. Video-Head Impulse Test (VHIT)


Ini adalah perangkat video-okulografi yang memungkinkan penilaian
VOR pada frekuensi tinggi selama HIT. Sistem ini menjadi teknik
samping tempat tidur karena tidak invasif, cepat, dan lebih mudah diakses
daripada kumparan pencarian scleral. VHIT tidak hanya merekam
saccades refixation tetapi juga menunjukkan saccades awal, tidak terlihat
oleh mata manusia (saccades rahasia). Peralatan dapat memberikan
pengukuran objektif keuntungan VOR ketika impuls kepala dilakukan di
bidang masing-masing dari enam kanal setengah lingkaran.
Telah dilaporkan bahwa 67% pasien dengan MD menunjukkan
peningkatan VOR yang berkurang pada setidaknya satu kanal
semisirkularis ketika enam kanal diuji; kanal semisirkularis posterior
telinga yang terkena adalah kanal yang paling sering terkena.

e. Vestibular-Evoked Myogenic Potentials (VEMPS)


Ini adalah refleks latensi menengah yang dimediasi oleh otolith yang
direkam dari sternokleidomastoid (cVEMPs) atau elektromiografi
infraokular (oVEMP) sebagai respons terhadap rangsangan pendengaran
intensitas tinggi (konduksi udara) atau stimulasi getaran frekuensi tinggi
(konduksi tulang). Konduksi udara lebih disukai untuk cVEMPs,
sedangkan getaran yang dihantarkan oleh tulang banyak digunakan dalam
oVEMP. VEMP menunjukkan bentuk gelombang bifasik dengan puncak
positif dan negatif. Latensi onset pendek cVEMPs dihasilkan oleh aferen
vestibular primer yang memproyeksikan ke inti vestibular dan karenanya
melalui saluran vestibulospinal medial ipsilateral ke nukleus aksesorius.
Telah diterima secara luas bahwa cVEMP mengevaluasi integritas sakulus
dan saraf vestibular inferior, sedangkan oVEMP terutama mengevaluasi

18
utrikulus kontralateral dan saraf vestibular superior. Parameter respon
yang biasa digunakan adalah latency dan amplitudo interpeak dari respon
tersebut. VEMP saat ini merupakan teknik standar dan memberikan
metode cepat dan non-invasif untuk menilai fungsi otolith pada pasien
dengan sindrom vestibular episodik.
Pasien dengan MD unilateral biasanya menunjukkan kelainan pada
VEMP dengan respons yang berkurang atau tidak ada, meskipun pada
tahap awal respons yang bertambah kadang-kadang dicatat. Juga telah
dilaporkan bahwa rasio asimetri cVEMP meningkat seiring perkembangan
penyakit. Namun demikian, sensitivitas dan spesifisitas VEMP dalam
mendiagnosis MD masing-masing serendah 50% dan 49%.

f. Imaging Techniques
Gambar computed tomography (CT) mengungkapkan bahwa saluran
air vestibular secara signifikan lebih pendek dan lebih sempit dan rata-rata
memiliki aperture eksternal yang lebih kecil pada pasien MD, baik di
telinga yang terkena dan kontralateral. Meskipun temuan ini dapat
berkontribusi untuk menjelaskan patogenesis penyakit, signifikansi
diagnostiknya terbatas.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) yang diperoleh setelah
pemberian gadolinium intratimpani atau intravena tidak hanya
memungkinkan visualisasi in vivo labirin membran. Berbagai penulis telah
menunjukkan EH pada 90% atau lebih pasien dengan MD pasti ketika
protokol MRI telinga bagian dalam dilakukan. Urutan pemulihan inversi
tiga dimensi yang dilemahkan cairan dengan bobot T2 berat pada pemindai
3-T tampaknya menawarkan gambar terbaik. Secara khusus, saat
gadolinium mencapai ruang perilimfatik, sinyal kosong muncul, sesuai
dengan ruang endolimpatis yang membesar.
Beberapa penelitian telah menemukan korelasi yang baik antara
koklea hidrops pada MRI dan EKoG abnormal atau VEMP abnormal.
Namun demikian, tingkat EH yang divisualisasikan pada MRI tidak selalu

19
berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala kokleovestibular. MRI
muncul sebagai alat yang berguna tidak hanya untuk diagnosis EH, tetapi
juga untuk deteksi dini keterlibatan kontralateral, untuk mengevaluasi
permeabilitas dari jendela bulat dan oval untuk obat intratimpani dan untuk
mendokumentasikan perkembangan penyakit.

2.6 Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien Meniere’s
disease menurut (Pullen, 2017) yaitu:
1. Non Farmakologi
a. Pengurangan stres.
Stres memicu eksaserbasi gejala pendengaran dan keseimbangan di
MD. Teknik pengurangan stres termasuk meditasi dengan pernapasan
dalam, yoga, dan olahraga.
b. Nutrisi.
Asupan natrium harian yang dibatasi 1.000 hingga 2.000 mg
mengurangi edema dan menurunkan tekanan pada kantung endolimfatik
untuk mengurangi risiko pecahnya membran. Pengambilan garam yang
rendah diyakini membantu dalam menurunkan tekanan endolimfatik.
Pembatasan natrium biasanya direkomendasikan sebagai bagian dari
terapi awal, meskipun data yang mendukung kemanjurannya tidak
tersedia. Penderita juga harus menghindari zat lain yang meningkatkan
tekanan kantung endolimfatik seperti alkohol, nikotin, kafein, dan
makanan tinggi gula. Karena bersifat vasokonstriktor, kafein dan
nikotin dapat memengaruhi aliran dalam sistem labirin. Alkohol dapat
memindahkan cairan dan elektrolit ke dalam telinga bagian dalam.
Hipoglikemia, yang mungkin menjadi pemicu, juga harus dihindari.
c. Diuretik.
Hydrochlorothiazide dengan triamterene (diresepkan paling
umum), acetazolamide, spironolactone, dan furosemide adalah diuretik
yang digunakan untuk membantu mengurangi volume cairan

20
endolymphatic yang berlebihan. Pantau elektrolit serum pasien,
terutama kadar natrium dan kalium, dan anjurkan pasien untuk
meningkatkan asupan cairan, terutama air, untuk menghindari dehidrasi.
Bagi banyak pasien, membatasi asupan natrium dan melakukan terapi
diuretik sudah cukup untuk mengontrol pendengaran dan
menyeimbangkan gejala tanpa intervensi lebih lanjut. Perawatan agresif
seperti terapi kortikosteroid dan terapi tekanan positif dimulai saat
pasien mengalami gangguan pendengaran atau peningkatan frekuensi
dan intensitas vertigo atau keduanya.
d. Terapi fisik vestibular
VPT adalah rehabilitasi khusus yang menginstruksikan pasien
dalam rutinitas olahraga di rumah yang meningkatkan tatapan mata dan
stabilitas postur tubuh sekaligus mengurangi risiko jatuh. Latihan
stabilitas tatapan dirancang untuk menantang otak agar mata tetap diam
selama rotasi kepala, ketika refleks vestibulookular (VOR) kurang
dalam melakukannya. Bukti menunjukkan bahwa ini terjadi dari dua
cara: peningkatan kecepatan mata fase lambat yang dihasilkan
vestibular (penguatan VOR) dan peningkatan frekuensi kantung
kompensasi. Latihan postural menantang keseimbangan dengan
mengubah aferen visual dan proprioseptif. Sekarang ada bukti kuat
yang dirangkum melalui ulasan Cochrane bahwa VPT adalah cara yang
efisien untuk meningkatkan keseimbangan, gaya berjalan, dan
mengurangi risiko jatuh. Baru-baru ini, VPT yang menggunakan
metode realitas maya terbukti mengurangi persepsi kecacatan akibat
pusing dan meningkatkan stabilitas postural pada pasien penyakit
Menière (Sharon, 2017).
e. Terapi tekanan positif.
Untuk terapi ini, perangkat terapi tekanan positif ditempatkan di
telinga luar untuk menghasilkan urutan denyut tekanan rendah (tekanan
mikro). Pertukaran cairan di telinga bagian dalam dapat ditingkatkan
dengan memberikan tekanan positif ke telinga tengah. Denyut ini

21
ditransmisikan ke sistem vestibular telinga bagian dalam untuk
mengurangi tekanan endolimfatik. Tabung timpanostomi dimasukkan
untuk memberikan tekanan positif.

2. Farmakologi
a. Kortikosteroid.
Obat-obatan ini digunakan untuk mengurangi edema di kantung
endolimfatik. Kortikosteroid oral jangka pendek dapat diresepkan atau,
untuk menghindari reaksi merugikan sistemik, kortikosteroid
intratimpani dapat diinfuskan ke telinga yang terkena. Pantau kadar
natrium, kalium, dan glukosa darah serta jumlah sel darah putih dan kaji
retensi cairan bersama dengan perubahan status mental. Reaksi yang
merugikan biasanya dibatasi dengan penggunaan jangka pendek
(Pullen, 2017).
b. Betahistin
Betahistine banyak digunakan di Eropa sebagai agen pengobatan
lini pertama untuk penyakit Menière. Ini adalah agonis H1 dan
antagonis H3 dan dipikirkan untuk meningkatkan aliran darah melalui
stria vascularis ke dalam chochlea dengan cara yang bergantung pada
dosis. Selain itu, dapat menurunkan aktivitas di inti vestibular melalui
pelepasan neurotransmitter. Ulasan ACochrane menemukan beberapa
bukti kemanjurannya tetapi disebut uji coba yang lebih besar. Dosis
yang paling efektif masih kontroversial, dengan penelitian terbaru
menunjukkan kemanjuran yang lebih besar dari 48 mg TID
dibandingkan dengan 16 mg TID dan penelitian lain menunjukkan
kemanjuran lebih lanjut dari dosis hingga 480 mg setiap hari (Sharon,
2017).
Dosis standar : 8 sampai 48 mg diminum tiga kali sehari
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, pheochromocytoma. Perhatian
dengan asma, tukak lambung, dan penyakit hati.
Interaksi obat : Anti-histamin dapat memblokir efek.

22
Efek samping : Mual, sakit kepala, insomnia, gangguan GI, reaksi
hipersensitivitas, ruam, pruritis, frekuensi kencing
c. Benzodiazepines
Benzodiazepin digunakan sebagai penekan vestibular untuk
pengendalian gejala selama serangan vertigo akut. Antagonis H1 yang
bekerja secara sentral juga dapat digunakan untuk tujuan ini (Sharon,
2017).
Dosis standar : 2-5 mg secara oral tiga kali sehari sesuai
kebutuhan untuk mual.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, penyakit hati, glaucoma.
Interaksi obat : Hati-hati dengan obat lain yang menyebabkan
depresi SSP dan obat yang dimetabolisme oleh hati.
Efek samping : Serius: depresi pernapasan, depresi, pikiran untuk
bunuh diri. Umum: mengantuk, ataksia, pusing
Poin-poin khusus : Benzodiazepin hanya boleh digunakan "sesuai
kebutuhan"
d. Intratympanic gentamicin injection
Gentamisin adalah antibiotik yang bersifat vestibulotoksik dan
kokleotoksik. Namun, ia memiliki afinitas yang tinggi untuk sel rambut
vestibular tipe 1 dan karena itu menghasilkan gangguan vestibular yang
relatif lebih banyak daripada gangguan pendengaran. Streptomisin
bekerja dengan cara yang sama. Perlu dicatat bahwa tujuan pengobatan,
mirip dengan prosedur ablatif lainnya, adalah pengurangan episode
vertiginus akut, tetapi yang utama adalah hipofungsi vestibular
unilateral, yang dapat menyebabkan gejala ketidakseimbangan dengan
putaran kepala ipsilateral yang cepat. Jarang, stabilitas postural dan
osilopsia terlihat (Sharon, 2017).
Ablasi farmakologis dengan gentamisin telah dipelajari dalam uji
coba terkontrol secara acak, yang menunjukkan penurunan yang jauh
lebih besar dalam frekuensi episode vertiginus akut dibandingkan
dengan suntikan garam, dengan tidak ada perubahan pada ambang

23
pendengaran. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa dengan dosis yang
tepat, ada jendela terapi yang tersedia di mana pengurangan gejala
dapat diatasi dengan hanya efek merusak subklinis pada fungsi
pendengaran dan keseimbangan gejala. Dalam uji coba terkontrol acak
lainnya yang membandingkan gentamisin intratimpani dengan saline,
penurunan skor invertigo yang signifikan terlihat pada lengan
gentamisin, sepanjang penurunan kecil di ambang pendengaran (rata-
rata 8 dB) (Sharon, 2017).
Makalah lain menunjukkan risiko 17% dari perburukan
pendengaran. Penting untuk ditekankan bahwa Argentamisin efektif
untuk pengendalian vertigo sementara hanya menghasilkan kehilangan
sebagianvestibular, sementara pilihan bedah ablatif membuat kerugian
total unilateralvestibular. Kadang-kadang, beberapa suntikan
diperlukan, dan ini dapat dititrasi untuk mengontrol gejala vertigo,
meskipun beberapa orang berpendapat untuk titrasi sampai ada tanda
kelemahan vestibular unilateral, seperti tanda head dorong positif,
nistagmus pasca jabat kepala, atau nistagmus spontan yang berdebar ke
arah sebaliknya. telinga. Titrasi genta-micin sampai fungsi vestibular
unilateral hilang sepenuhnya, dengan tidak adanya respons kalori air es,
biasanya tidak diperlukan dan dapat menyebabkan hasil pendengaran
dan keseimbangan yang lebih buruk (Sharon, 2017).
Kontraindikasi : Hanya telinga dengan fungsi pendengaran atau
keseimbangan. Infeksi telinga tengah yang aktif.
Komplikasi : Gangguan pendengaran, hipofungsi vestibular
unilateral.

3. Pembedahan
Bedah ablatif melibatkan interupsi bedah input vestibular perifer
unilateral. Meskipun ini menjamin kelemahan vestibular unilateral,
kompensasi sentral untuk defisit unilateral statis terjadi seiring waktu.
Kompensasi ini dapat dipercepat dengan terapi fisik vestibular. Namun,

24
potensi untuk berkembangnya penyakit bilateral, yang diperkirakan secara
konservatif oleh sebuah makalah pada risiko 5%, menurunkan daya tarik
dari pilihan ablatif total. Prosedur bedah spesifik yang dipilih tergantung
pada status pendengaran: untuk kasus dengan sisa pendengaran, bagian
saraf vestibular lebih disukai, dan untuk kasus tanpa sisa pendengaran,
dipilih labirinektomi. Perlu juga dicatat bahwa karena gentamisin dapat
mencapai labirinektomi kimia parsial tetapi efektif dalam banyak kasus,
operasi ini biasanya sekarang hanya dilakukan untuk gentamisin yang
tidak menanggapi. Selain itu, terdapat bukti klinis bahwa sebagian besar
non-responders gentamisin, faktor anatomi seperti adhesi atau debu tulang
secara fisik menghalangi membran jendela bundar, menghalangi
penyerapan obat. Oleh karena itu, eksplorasi telinga tengah dengan
paparan membran jendela bundar dan aplikasi langsung dari alat
gentamisin efektif untuk mengendalikan vertigo pada 75% non-responden
gentamisin, sehingga menghindari kebutuhan untuk operasi yang lebih
invasive (Sharon, 2017).
a. Operasi kantung endolimfatik
Kantung endolimfatik adalah kantong dari membran endolimfatik
ke dura di bawah lempeng fossa posterior tulang. Kantung terhubung ke
utrikulus membran melalui saluran endolimfatik. Itu secara klasik
dianggap terlibat dalam resorpsi endolimf. Namun, ada juga bukti
bahwa kantung tersebut terlibat dalam fungsi kekebalan telinga bagian
dalam, kemungkinan memulai respons imun setelah pemrosesan dan
presentasi antigen. Operasi kantung endolimfatik ditujukan untuk
melangsingkan, mengeringkan, atau mendekompresi kantung, sehingga
mencegah hidrops dengan memfasilitasi aliran keluar dari endolimf. Ini
dianggap sebagai prosedur yang tidak merusak (Sharon, 2017).
Prosedur standar : Diperkenalkan oleh Dandy pada tahun 1928,
bagian saraf vestibular dapat dilakukan melalui pendekatan
retrosigmoid atau retrolabyrinthine. Pada pelakunya, kraniotomi
suboksipital dilakukan dengan memantau saraf wajah dan potensi

25
pendengaran. Saraf inferior dan superiorvestibular diidentifikasi dan
dibelah di porus acusticus, berhati-hati agar tidak melukai saraf fasial
atau koklea. Identifikasi saraf ventibular dapat difasilitasi dengan
dekompresi kanal auditori interna secara lateral sehingga dapat secara
definitif menemukan landmark seperti puncak horizontal dan vertikal
(bilah Bill) dan saraf singular ke ampula kanal semisirkularis posterior.
Luka kemudian ditutup dengan cara standar setelah kranioplasti. Pada
pendekatan retrolabyrinthine, amastoidektomi dilakukan, dengan
dekompresi sinus sigmoid dan identifikasi kanal posterior dan segmen
vertikal saraf wajah. Fossa dura posterior kemudian masuk di antara
sigmoid dan kapsul otic, dan kanal auditorius interna didekompresi
untuk memvisualisasikan saraf individu. Saraf vestibular, koklea, dan
fasial diidentifikasi, dan saraf vestibular kemudian dipotong dengan
hati-hati. Sebuah cangkok lemak ditempatkan di dalam rongga mastoid
untuk mencegah kebocoran CSF, dan lukanya ditutup (Sharon, 2017).
Kontraindikasi : Jika tidak ada pendengaran yang berguna,
labirinektomi lebih disukai karena profil risiko yang lebih rendah.
Komplikasi : Komplikasi dari pembedahan fossa posterior
termasuk kebocoran CSF, meningitis, neuropati kranial, kejang, stroke,
kematian, sebagai tambahan, risiko pembedahan dan anestesi yang
biasa. Rute retrolabyrinthine mengurangi risiko pembedahan fosil
posterior tetapi menambah beberapa risiko dari mastoidektomi. Dalam
satu penelitian besar, risiko gangguan pendengaran sensorineural lebih
dari 10 dB untuk operasi pemotongan saraf vestibular retrolabyrinthine
diperkirakan sebesar 10%.
Poin-poin khusus : Prosedur ini sekarang jarang dilakukan karena
tersedia alternatif yang lebih sedikit berisiko dan mahal untuk ablasi
vestibular. Terapi fisik vestibular sangat membantu pasca operasi untuk
membantu kompensasi sentral dan kembali ke fungsi.
b. Labirinektomi
Prosedur standar : Tujuan pembedahan adalah pengangkatan

26
neuroepithelium dari lima organ ujung vestibular: tiga kanal
semisirkularis, utricle, dan saccule. Pasien ditempatkan di bawah
pengaruh bius total, dan elektroda pemantauan saraf wajah dipasang.
Antibiotik diberikan, dan mastoidektomi standar dilakukan. Tegmen,
sinus sigmoid, kanal horizontal, dan saraf wajah semuanya
teridentifikasi. Kanalis semisirkularis horizontal kemudian dimasukkan,
dan diikuti secara posterior ke kanal semisirkularis posterior, yang
kemudian diikuti ke krus umum untuk mengidentifikasi kanal superior.
Aspek anterior kanal horizontal dan posterior sangat hati-hati untuk
menghindari cedera pada saraf fasialis. Kanal ini kemudian diikuti ke
ruang depan. Neuroepithelium kemudian dikeluarkan dari ujung yang
diampulasi dari setiap kanal setengah lingkaran, dan utricle dikeluarkan
dari reses elips ke arah superior di ruang depan, dan sakul dari reses
bola yang terletak di inferior. Setelah semua neuroepithelium diangkat,
luka ditutup berlapis-lapis, dan balutan mastoid diterapkan (Sharon,
2017).
Kontraindikasi : Prosedur menghasilkan gangguan pendengaran
dan kelemahan vestibular unilateral, dan oleh karena itu
dikontraindikasikan pada gangguan vestibular kontralateral.
Komplikasi : Komplikasi berhubungan dengan operasi mastoid;
termasuk pusing, kebocoran cairan serebrospinal, kerusakan pada sinus
sigmoid, kelumpuhan wajah, dan risiko umum dari pembedahan dan
anestesi.
Poin-poin khusus : Setelah operasi, tergantung pada fungsi vestibular
pra operasi, adalah normal untuk memiliki nistagmus putar horizontal
dengan fase cepat diarahkan ke telinga yang kemudian dioperasi. Ini
biasanya diselesaikan dalam beberapa hari. Selain itu, deviasi miring
terkadang dapat diamati karena gangguan akut input unilateralutrikular.
Terapi fisik vestibular sangat membantu pasca operasi untuk membantu
kompensasi sentral dan mengembalikan fungsionalitas.

27
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
MENIERE’S DISEASE

3.1 Pengkajian
A. Identitas
1. Jenis Kelamin : Penyakit Meniere tampaknya lebih umum pada
wanita daripada laki-laki, dengan rasio dilaporkan antara 1,3:1 hingga
1,8:1. Angka-angka ini mungkin mencerminkan adanya bias pelaporan,
dimana wanita lebih mungkin mencari pengobatan dibanding pria
(Sutarni, 2018). Hubungan ketergantungan pada jenis kelamin wanita
yang lebih banyak mungkin merupakan hasil dari efek hormonal pada
wanita (Mohseni, 2020).
2. Usia : Berdasarkan penelitian, Penyakit Ménière dapat
berkembang pada semua usia, tetapi lebih mungkin terjadi pada orang
dewasa berusia antara 40 dan 60 tahun dan prevalensinya meningkat
dengan bertambahnya usia (Sutarni, 2018).

B. Keluhan Utama
Menurut (Nair, 2015) pasien meniere masuk ke RS dengan keluhan
utama pasien merasakan sensasi berputar, nyeri kepala seperti hilang
timbul, derajat ringan sampai berat, rotasional, dengan durasi minimal 20
menit setiap episode serangan, tidak pernah lebih dari 24 jam dan
keseimbangan terganggu. Tinitus dan rasa penuh pada telinga timbul
mendahului vertigo, hal ini biasanya tidak dirasakan mengganggu oleh
pasien, diikuti mual, muntah dan anoreksia, berkeringat serta penurunan
pendengaran. Pasien sering mengetahui adanya rasa penuh pada telinga
yang mengalami kelainan.

28
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien dengan Meniere disease biasanya mempunyai riwayat
terinfeksi virus, otitis media dan trauma kepala. Terjadi ketidak
seimbangan cairan telinga tengah yang abnormal yang disebakan oleh
malabsorbsi dalam sakus endolinfatikus. Namun, ada bukti menunjukkan
bahwa banyak orang yang menderita penyakit Meniere mengalami
sumbatan pada duktus endolinfatikus. Apapun penyebabnya,selalu terjadi
hidrops endolinfatikus, yang merupakan pelebaran ruang endolinfatikus.
Baik peningkatan tekanan dalam sistem ataupun ruktur membrane telinga
dalam dapat terjadi dan menimbulkan gejala Meniere (Gokhale, 2017).

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Pada penelitian didapatkan 1 dari 3 orang pasien mempunyai orang
tua yang menderita penyakit Meniere juga. Predisposisi herediter dianggap
mempunyai hubungan dengan kelainan anatomis saluran endolimfatikus
atau kelainan dalam sistem imunnya. MD keluarga adalah entitas terkenal
yang mempengaruhi sekitar 5% pasien MD. Pasien-pasien ini cenderung
memiliki onset penyakit lebih awal (dekade keempat daripada kelima) dan
lebih mungkin untuk memiliki penyakit bilateral. Penularan biasanya
mengikuti pola autosom dominan, dan antisipasi genetik khas (Luryi,
2019).

E. Pola Aktivitas dan Latihan


Berdasarkan penelitian (Jessica Tyrrell, 2015) meniere dikaitkan
dengan kelelahan, ketegangan, dan tidak antusias.

F. Pola Nutrisi dan Metabolik


Tinitus dan rasa penuh pada telinga timbul mendahului vertigo, hal
ini biasanya dirasakan mengganggu oleh pasien, diikuti mual, muntah dan
anoreksia, berkeringat serta penurunan pendengaran (Nair, 2015).

29
G. Pola Tidur dan Istirahat
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa penderita Meniere
dengan gejala vertigo dikaitkan dengan adanya gangguan tidur. Gangguan
tidur yang umum termasuk insomnia (ketidakmampuan untuk tidur), sleep
apnea, narkolepsi, berjalan dalam tidur, gejala pada malam hari, gangguan
gerakan tungkai periodik, dan nokturia (Peijen Su, 2015).

H. Pola Toleransi dan Koping Stress


Vertigo diketahui menyebabkan kecemasan dan membatasi aktivitas fisik
dan sosial, oleh karena itu berdampak signifikan pada kesehatan dan
kesejahteraan pasien (Tyrrell, 2017). Menurut (Jessica Tyrrell, 2015)
individu dengan Meniere lebih cenderung mengalami serangan depresi dan
kecemasan yang lebih lama.

I. Pola Hubungan Peran


Berdasarkan penelitian (Jessica Tyrrell, 2015) tidak ada hubungan antara
status Meniere dengan kebahagiaan dan kepuasan individu dengan
hubungan keluarga, pertemanan, dan situasi keuangan mereka. Individu
dengan Meniere memiliki kemungkinan besar untuk melakukan interaksi
sosial dengan keluarga dan teman setiap hari.

J. Pengkajian Fisik
a. ROS
Keadaan Umum : Pasien tampak lemah dan cemas
(Kesehatan yang dirasakan, kecemasan, dan depresi secara signifikan
berkorelasi dengan kualitas hidup pasien yang menderita meniere
disease (Joung, 2020)).
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Eye : 4, Verbal : 5, Motorik : 6.
Tanda-tanda Vital

30
1. Tekanan Darah : Hipotensi
2. Nadi : normal
3. Suhu : Normal
4. Respirasi : Normal
Masalah keperawatan : Intoleransi aktivitas

b. Sistem Pernafasan
Sesak Nafas : Tidak ada
Bentuk Dada : Tampak simetris, tidak ada massa
Sekresi Batuk : Tidak ada
Pola Nafas : Normal, tampak teratur
Bunyi Nafas : Normal
Retraksi Otot Bantu Nafas : Tidak ada
Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

c. Sistem Kardiovaskuler
Riwayat Nyeri Dada : Tidak ada
Suara Jantung : S1 S2 Tunggal
Irama Jantung : Normal
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

d. Sistem Persarafan
Tingkat Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Eye : 4, Verbal : 5, Motorik : 6.
Mata : Tampak simetris, pupil isokor
Telinga : Penurunan pendengaran, Pasien juga
mungkin memiliki masalah dengan
diskriminasi bicara; hal ini, mereka
mungkin kesulitan membedakan suara yang
mirip. Misalnya, mereka mungkin tidak

31
dapat membedakan kata sit and fit, dan kata
day and bay (Pullen, 2017).
Tinnitus yaitu seperti dering bernada rendah
atau roaring noise di telinga. Tinnitus di
MD biasanya frekuensi rendah (125-250
Hz), cocok dengan gangguan pendengaran,
dan digambarkan sebagai "menderu" atau
"berdering" (Ueberfuhr MA, 2017).
Pasien mungkin menggambarkan perasaan
"tertekan" atau "sensasi tersumbat" di
telinga (Luryi, 2019).
Vertigo yaitu rasa berputar, episodik,
derajat ringan sampai berat, rotasional,
dengan durasi minimal 20 menit setiap
episode serangan, tidak pernah lebih dari 24
jam (Luryi, 2019).
Masalah Keperawatan : Risiko jatuh

e. Sistem Perkemihan
Produksi Urin : Tampak normal, berwarna kuning jernih
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

f. Sistem Pencernaan
Bibir : Tampak pucat, tidak ada pembengkakan
Rongga Mulut : Normal, tidak terdapat stomatitis
Tenggorokan : Saat pasien disuruh menelan, tidak ada
masalah dalam menelan
Abdomen : Saat diinspeksi perut pasien tampak
simetris tidak ada pembengkakan, saat
dipalpasi tidak ada nyeri tekan, bising usus
normal 5-16 kali per menit, bunyi timpani

32
Pembesaran Hepar : Tampak normal, tidak ada pembengkakan
pada hepar
Pembesaran Lien : Normal, tidak terdapat pembengkakan pada
lien
Asites : Tidak terdapat asites
Mual : Pasien akan merasa mual
Muntah : Pasien muntah
Pola Makan : Pasien tidak nafsu makan (anoreksia)
Masalah Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh dan mual

g. Sistem Otot, Tulang, dan Integumen


ROM : Kelemahan otot
Kulit : Turgor kulit menurun
Masalah Keperawatan : Intoleransi aktivitas

h. Sistem Endokrin
Pembesaran Kelenjar Tyroid : Saat di inspeksi dan palpasi, tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid pada
pasien
Pembesaran kelenjar getah bening : Saat di inspeksi dan palpasi, tidak
ada pembesaran kelenjar getah
bening pada pasien
Hiperglikemia : Gula darah pasien tidak mengalami
peningkatan
Hipoglikemia : Gula darah pasien tidak mengalami
penurunan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

33
K. Pemeriksaan Penunjang
1. Multi-frequency Tympanometry
Telah dibuktikan bahwa frekuensi resonansi (RF) pasien MD
tampaknya meningkat selama serangan (atau tepat sebelum serangan),
menurun dalam periode antar-serangan, dan kembali ke nilai normal
setelah asupan gliserol. Multi-frequency tympanometry (MFT), yang
memungkinkan pengukuran impedansi sistem konduksi telinga tengah
dalam rentang frekuensi yang luas dari 0,2 hingga 2 kHz, juga dapat
digunakan untuk diagnosis MD dan EH (Güneri, 2016).
2. ECoG
Temuan EH di EcoG adalah peningkatan rasio SP / AP (di atas
0,4), gelombang SP yang diperbesar (di atas 3 ms), dan latensi AP
yang berkepanjangan (di atas 0,2 ms). Nilai cut-off dari rasio
amplitudo SP / AP normal adalah 0,50 untuk elektroda kanal, 0,40
untuk elektroda membran timpani, 0,30 untuk elektroda transtimpani,
dan 0,34 untuk elektroda ekstratimpani (Güneri, 2016).
3. Dehydration Tests
Tes gliserol adalah salah satu tes dehidrasi paling umum dengan
validitas tertinggi. Setelah asupan gliserol oral segera setelah
merekam audiogram basal, pengukuran audiometri kedua dan ketiga
dilakukan pada menit ke-90 dan jam ke-3. Peningkatan 10 dB atau
lebih pada ambang pendengaran nada murni atau peningkatan 10%
atau lebih pada skor diskriminasi bicara pada dua frekuensi atau lebih,
berarti hasil tes positif. Hasil tes dehidrasi yang positif merupakan
bukti adanya fluktuasi pendengaran (Güneri, 2016).
4. Blood Tests and Autoimmunity
Tidak ada tes darah khusus untuk MD. Sifilis kongenital atau
didapat terkadang bisa menyerupai MD. Oleh karena itu, kontrol
serologis harus dilakukan jika terjadi kecurigaan klinis. Selain itu,
karena penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, ankylosing
spondylitis, dan systemic lupus erythematosus meningkatkan kejadian

34
MD 3-8 kali lipat, maka penanda autoimun harus dianalisis. Selain itu,
pada beberapa pasien dengan MD, banyak autoantibodi telah
ditemukan, kebanyakan melawan HSP 70, HSP 68, myeloperoksidase,
dan tiroperoksidase. Namun, biomarker yang spesifik dan cukup
sensitif untuk MD belum teridentifikasi (Güneri, 2016).
5. VEMP
VEMP adalah tes objektif yang mengukur fungsi otolith
dinamis. Cervical VEMP (cVEMP) memberikan data tentang saccule,
dan ocular VEMP (oVEMP) memberikan data tentang utricle. Karena
EH diketahui melibatkan sebagian besar koklea, dan kemudian
saccule, utricle, dan kanal semisirkular, hasil VEMP seriatim
dianggap berkorelasi dengan stadium penyakit. Jika tes VEMP
diterapkan dalam 24 jam pertama setelah serangan Ménière, temuan
abnormal ditemukan pada 67% pasien. Akibat pecahnya membran
sakular akibat hidrops sakular, amplitudo cVEMP dapat berkurang
dan akhirnya menghilang. Namun, peningkatan tekanan karena hidrop
tidak memungkinkan penurunan tekanan di utricle karena sifat searah
katup utriculo-endolymphatic (katup Bast). Oleh karena itu,
peningkatan kompensasi terjadi pada nilai oVEMP. Di sisi lain, dalam
kasus yang melewati 48 jam, hasil tes kembali normal pada setengah
dari pasien dengan temuan abnormal di awal. Oleh karena itu, tes
oVEMP dapat menunjukkan serangan Ménière baru-baru ini.
Peningkatan oVEMP dan amplitudo cVEMP yang abnormal adalah
tanda penyakit tahap awal (Güneri, 2016).

3.2 Rumusan Diagnosa Keperawatan


Analisis Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1. DS: Agens cedera biologis Nyeri akut
- Klien mengatakan nyeri Domain 12, kelas 1,
atau sakit kepala 00132 (Hal 445)

35
- P: Klien mengeluh nyeri
kepala saat beralih posisi
- Q: Klien mengatakan
rasa sakit kepala seperti
berputar-putar
- R: klien mengatakan
nyeri diseluruh kepala
- S: Klien mengatakan
Skala nyeri dari 0-5
- T: Klien mengatakan
nyeri berlangsung lama
dan hilang timbul

DO:
- Ekspresi wajah nyeri dari
wajah klien
- Klien mengalami
gangguan tidur
- TTV
TD: Hipotensi
N: Normal
RR: Normal
S: Normal
2. DS: Stressor (Perubahan Ansietas – Domain
- Klien mengatakan status kesehatan) 9, kelas 2, 00146
merasa cemas dengan (Hal 324)
penyakitnya
- Klien mengatakan
merasa khawatir dengan
penyakitnya

36
DO:
- Klien mengalami
gangguan tidur
- Klien tampak cemas
- Klien mengalami nyeri
kepala
3. DS: Gangguan Risiko jatuh –
- Klien mengatakan nyeri keseimbangan Domain 11, kelas 2,
pada kepalanya 00155 (Hal 390)
- Klien mengatakan setiap
kali berdiri ia merasa
berputar

DO:
- Klien tampak memegang
kepala dan menahan sakit
- Klien kehilangan
keseimbangan

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agens cedera biologis d.d ekspresi wajah nyeri
2. Ansietas b.d stressor d.d perubahan pola tidur
3. Risiko jatuh b.d gangguan keseimbangan

3.3 Intervensi

37
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d agen NOC Pain Menegement
cedera biologis d.d 1. Pain level - Lakukan pengkajian nyeri secara
ekspresi wajah nyeri 2. Pain control komprehensif termasuk lokasi,
3. Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
Setelah dilakukan tindakan - Kaji kultur yang mempengaruhi
keperawatan 3x24 jam, respon nyeri
diharapkan masalah nyeri akut - Observasi reaksi nonverbal dari
dapat teratasi dengan kriteria hasil ketidaknyamanan
: - Pilih dan lakukan penanganan
1. Mampu mengontrol nyeri nyeri (farmakologi,
(tahu penyebab nyeri, mampu nonfarmakologi dan interpersonal)
menggunakan teknik - Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri) pengalaman nyeri pasien
2. Mampu mengenali nyeri - Tingkatkan istirahat
(skala, intensitas, frekuensi - Kontrol lingkungan yang dapat
dan tanda nyeri) mempengaruhi nyeri seperti suhu
3. Menyatakan rasa nyaman ruangan, pencahayaan dan
setelah nyeri berkurang kebisingan
4. Melaporkan bahwa nyeri - Ajarkan tentang teknik non
berkurang dengan farmakologi
menggunakan manajemen - Berikan analgetik untuk
nyeri mengurangi nyeri
- Kolaborasikan dengan dokter jika
ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil

Analgesic Administration

38
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
- Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
- Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara
teratur
- Lakukan tindakan-tindakan untuk
menurunkan efek samping
analgesik (misal, konstipasi dan
iritasi lambung)
- Ajarkan tentang penggunaan
analgesik, strategi untuk
menurunkan efek samping, dan
harapan terkait dengan keterlibatan
dalam keputusan pengurangan
nyeri
- Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
- Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
- Kolaborasikan dengan dokter
apakah obat, dosis, rute pemberian,
dan perubahan interval di
butuhkan, buat rekomendasi
khusus berdasarkan prinsip
analgesik
2 Ansietas b.d stressor NOC Anxiety reduction (penurunan
d.d perubahan pola 1. Anxiety level kecemasan)

39
tidur 2. Sosial anxiety level - Identifikasi tingkat kecemasan
- Kaji keadaan umun pasien dan
Setelah dilakukan tindakan TTV
keperawatan 3x24 jam, - Pahami prespektif pasien terhadap
diharapkan masalah ansietas situasi stres
dapat teratasi dengan kriteria hasil - Dorong pasien untuk
: mengungkapkan perasaan,
1. Klien mampu mengidentifikasi ketakutan dan persepsi
dan mengungkapkan gejala - Temani pasien untuk memberikan
cemas keamanan dan mengurangi takut
2. Mengidentifikasi, - Bantu pasien mengenai situasi
mengungkapkan dan yang menimbulkan kecemasan
menunjukkan teknik untuk - Berikan informasi faktual
mengontrol cemas mengenai diagnosis, tindakan
3. Vital sign dalam batas normal prognosis
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, - Instruksikan pasien menggunakan
bahasa tubuh dan tingkat teknik relaksasi
aktivitas menunjukkan - Berikan obat untuk mengurangi
berkurangnya kecemasan kecemasan

Relaxation therapy
- Identifikasi teknik relaksasi yang
pernah efektif digunakan
- Periksa ketegangan otot, frekuensi
nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
- Monitor respons terhadap terapi
relaksasi
- Ajak pasien untuk bersantai dan
membiarkan sensasi terjadi
- Menciptakan lingkungan yang

40
tenang dengan cahaya redup dan
suhu yang senyaman mungkin
- Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgesik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
- Jelaskan alasan untuk relaksasi dan
manfaat, batas dan jenis relaksasi
yang tersedia
- Jelaskan secara rinci intervensi
relaksasi yang dipilih
- Ajarkan latihan dan teknik
relaksasi

3 Resiko jatuh b.d NOC : Fall prevention


gangguan 1. Trauma risk for - Mengidentifikasi defisit kognitif
keseimbangan 2. Injury risk for atau fisik pasien yang dapat
meningkatkan potensi jatuh dalam
Setelah dilakukan tindakan lingkungan tertentu
keperawatan 3x24 jam, - Mengidentifikasi perilaku dan
diharapkan masalah risiko jatuh faktor yang mempengaruhi risiko
dapat teratasi dengan kriteria hasil jatuh
: - Mengidentifikasi karakteristik
1. Keseimbangan : kemampuan lingkungan yang dapat
untuk mempertahankan meningkatkan potensi untuk jatuh
ekuilibrium (misal, lantai yang licin dan tangga
2. Perilaku pencegahan jatuh : terbuka)
tindakan individu atau pemberi - Mendorong pasien untuk
asuhan untuk meminimalkan menggunakan tongkat atau alat
faktor risiko yang dapat bantu jalan
memicu jatuh di lingkungan - Membantu ke toilet seringkali,
individu interval di jadwalkan

41
3. Kejadian jatuh : tidak ada - Hindari kekacauan pada
kejadian jatuh permukaan lantai
4. Gerakan terkoordinasi - Menyediakan pegangan tangan
terlihat dan memegang tiang
- Menyediakan lajur anti tergelincir,
permukaan lantai nontrip/tidak
tersandung
- Mendidik anggota keluarga tentang
faktor risiko yang berkontribusi
terhadap jatuh dan bagaimana
mereka dapat menurunkan risiko
tersebut
- Ajarkan pasien bagaimana jatuh
untuk meminimalkan cedera
- Berkolaborasi dengan anggota tim
kesehatan lain untuk
meminimalkan efek samping dari
obat yang berkontribusi terhadap
jatuh (misal, hipotensi, ortostatik
dan kiprah goyah)

3.4 Evaluasi
No Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1 Nyeri akut b.d agen S:
cedera biologis d.d - Klien mengatakan masih merasakan nyeri :
ekspresi wajah nyeri P : Klien mengeluh nyeri kepala saat beralih posisi
Q : Klien mengatakan rasa sakit kepala seperti
berputar-putar
R : klien mengatakan nyeri diseluruh kepala
S : Klien mengatakan Skala nyeri dari 0-5

42
T : Klien mengatakan nyeri berlangsung lama dan
hilang timbul
O:
- Kesadaran compos mentis
- Tanda-tanda vital :
TD: Hipotensi
N: Normal
RR: Normal
S: Normal
- Klien tampak nyeri terlihat dari ekspresi wajah
A : nyeri akut
P : intervensi dilanjutkan
O:
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
(lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi)
- Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
- Monitor tanda-tanda vital
N:
- Lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan interpersonal)
- Tingkatkan istirahat
- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
E:
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi (teknik
relaksasi nafas dalam)

43
- Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
C:
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

2 Ansietas b.d stressor d.d S:


perubahan pola tidur - Klien mengatakan masih merasa cemas dengan
penyakitnya
- Klien mengatakan masih merasa khawatir dengan
penyakitnya
O:
- Kesadaran compos mentis
- Tanda-tanda vital :
TD: Hipotensi
N: Normal
RR: Normal
S: Normal
- Klien tampak cemas
- Klien mengalami gangguan tidur
A : ansietas
P : intervensi dilanjutkan
O:
- Identifikasi tingkat kecemasan
- Kaji keadaan umun pasien dan TTV
- Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu sebelum dan sesudah latihan
- Monitor respons terhadap terapi relaksasi
N:
- Menciptakan lingkungan yang tenang dengan
cahaya redup dan suhu yang senyaman mungkin
- Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgesic

44
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut
- Bantu pasien mengenai situasi yang
menimbulkan kecemasan
E:
- Jelaskan alasan untuk relaksasi dan manfaat,
batas dan jenis relaksasi yang tersedia
- Ajarkan latihan dan teknik relaksasi
C:
- Berikan obat untuk mengurangi kecemasan

3 Resiko jatuh b.d S:


gangguan keseimbangan - Klien mengatakan masih merasakan nyeri pada
kepalanya
- Klien mengatakan setiap kali berdiri ia masih merasa
berputar-putar
O:
- Kesadaran compos mentis
- Klien tampak memegang kepala
- Klien tampak menahan rasa sakit
- Klien kehilangan keseimbangan
A : risiko jatuh
P : intervensi dilanjutkan
O:
- Mengidentifikasi defisit kognitif atau fisik pasien
yang dapat meningkatkan potensi jatuh dalam
lingkungan tertentu
- Mengidentifikasi perilaku dan faktor yang
mempengaruhi risiko jatuh
N:

45
- Mendorong pasien untuk menggunakan tongkat
atau alat bantu jalan
- Membantu pasien ke toilet
- Menyediakan lajur anti tergelincir, permukaan
lantai nontrip/tidak tersandung
E:
- Ajarkan pasien bagaimana jatuh untuk
meminimalkan cedera
C:
- Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain
untuk meminimalkan efek samping dari obat
yang berkontribusi terhadap jatuh

3.5 Evidence Base


No. Judul Jurnal Tahun Desain Jumlah Sample Intervensi Hasil Penelitian
Jurnal
1. Hormonal changes 2016 True Sampel terdiri dari Pemantauan Mekanisme diet rendah
following a low- experiment 13 pasien (6 laki- asupan garam melibatkan
salt diet in patient laki dan 7 natrium Peningkatan aldosteron
with meniere’s perempuan) dalam dengan plasma yang dapat
disease rentang usia 32-47 mengukur meningkatkan hidrops
(Miyashita et al., tahun dengan MD ekskresi endolimfatik melalui
2016) pasti unilateral natrium urin peningkatan
yang didiagnosis di 24 jam selama penyerapan
Rumah Sakit pengobatan endolimfatik dikantung
Universitas diet rendah endolimfatik yang
Kagawa. garam pada menghasilkan
pasien MD, perbaikan gejala pada

46
dilakukan pasien dengan MD.
selama 2 Diet rendah garam
tahun. merupakan bentuk
pengobatan penyakit
meniere yang efektif,
dan mungkin lebih
baik. Efektif bila
asupan natrium
dikurangi menjadi < 3
g/hari. Diet rendah
garam ini (< 3 g/hari)
juga efektif untuk
memperbaiki
hipertensi, dan
dosisnya tidak
menyebabkan hipotensi
berlebihan atau
hipotensi ortostatik.
2. Long Term 2019 Study Sampel terdiri dari Pasien dirujuk rehabilitasi vestibular
Medical Treatment experiment Pasien pria usia 42 untuk terutama difokuskan
and Vestibular tahun memiliki rehabilitasi pada latihan adaptasi
Rehabilitation in A episodic vertigo vestibular dan stabilitas
Patient with yang berlangsung secara sinkron. pandangan karena
Complicated selama beberapa Pasien kelainan statis dan
Active Bilateral jam dan uga dipantau dinamis. Perawatan ini
Meniere’s Disease mengalami selama lebih berhasil menurunkan
(Jafarzadeh & gangguan dari 3 tahun. skor DHI dari 56
Sani, 2019) pendengaran, menjadi 28 selama tiga
tinnitus nada bulan dan secara
rendah, telinga signifikan
penuh, vertigo meningkatkan dynamic

47
posisional, visual acuity (DVA)
osilopsia, serta fungsi
ketidakseimbangan, keseimbangan
kelainan gaya (Romberg dan
berjalan dan tandemgait). Pada
riwayat beberapa bulan Oktober 2016,
jatuh. pasien mengalami
episode vertigo yang
sangat parah yang
sangat mempengaruhi
keseimbangannya
terutama berjalan. Pada
tahap ini, pasien
dijadwalkan untuk
timpanostomi dan
ablasi Gentamisin
untuk telinga kiri.
Sejak ablasi
Gentamisin, pasien
tidak mengalami
episode vertigo tetapi
mengalami
ketidakseimbangan
(berdiri dan berjalan)
yang terkait dengan
gangguan ketajaman
visual dinamis. Pada
tahap ini, pasien
dirawat dengan latihan
substitusi rehabilitasi
vestibular. Latihan

48
dilakukan setidaknya
tiga kali setiap hari.
Selama perawatan ini,
jalannya berubah
menjadi normal dalam
4 bulan. Sekarang,
penderita tidak
mengalami vertigo dan
hanya mengeluh
kelainan minimal pada
keseimbangan.
3. Food‐induced 2019 Studi Sampel terdiri dari Pasien dibagi SPC dan gliserol
stimulation kohort 26 (8 laki-laki dan menjadi dua intravena dan
of the antisecretory prospektif 18 perempuan), kelompok: deksametason tidak
factor to improve multisenter usia antara 18 dan kelompok SPC meningkatkan
symptoms 65 tahun dengan dirawat pendengaran, seperti
in Meniere’s diagnosis MD pasti dengan SPC- yang didokumentasikan
disease: our result menurut kriteria Flakes, Piam oleh ambang batas
(Scarpa et al., (AAO-HNS) yang Farmaceutici PTA. Kualitas hidup,
2019) datang ke layanan SpA;kelompok yang didokumentasikan
audiologi dari terapi infus oleh kuesioner TFL,
Departemen diobati dengan menunjukkan
Otolaringologi terapi infus peningkatan aktivitas
University of yang terdiri sehari-hari pada pasien
Salerno dan Unit dari 10% kelompok SPC
Audiologi gliserol, 250 dibandingkan dengan
Universitas Magna ml / hari kelompok terapi infus,
Graecia dalam meskipun skor
kecepatan keseluruhan tidak
infus 200 ml / berbeda secara
jam dan signifikan.

49
deksametason EI keseluruhan pada
8 mg / 2 ml kelompok SPC dan
per hari dalam terapi infus tidak
bolus tunggal berubah secara
dan signifikan sebelum dan
pantoprazol 40 sesudah pengobatan
mg per hari dan tidak berbeda antar
diencerkan kelompok. Namun,
dalam 100 mL lebih besar jumlah
natrium pasien melaporkan
klorida 0,9%. penurunan serangan
Pasien pada vertigo seperti yang
kelompok SPC ditunjukkan oleh
mengkonsumsi peningkatan kelas pada
sereal dua kali kelompok SPC (61,5%)
sehari dengan dibandingkan dengan
dosis 1 g / kg kelompok terapi infus
berat badan / (30,8%).
perhari
4. Treating Meniere’s 2016 Study Pasien pria usia 35 Melakukan Akupunktur telah
Disease with experiment tahun, yang pengobatan terbukti efektif untuk
Acupuncture didiagnosis dengan akupunktur mengatasi penyakit
(Sudhakaran, penyakit Ménière karena vertigo Ménière, terutama
2016) dan dirawat oleh yang terus untuk mengendalikan
seorang ahli THT berlanjut vertigo. Akupunktur
dilakukan dua dilakukan untuk pasien
kali seminggu ini dua kali seminggu
selama 8 selama 8 minggu. Hal
minggu ini mengakibatkan
vertigonya hilang total,
tetapi tinnitus dan

50
gangguan
pendengarannya tetap
ada. Perawatan
kemudian dilanjutkan
setiap bulan selama 6
bulan. Hal ini
menghasilkan sedikit
kelegaan dari tinitus
dan gangguan
pendengarannya.

Mekanisme patofisiologis yang mendasari gejala khas MD adalah


adanya hidrops endolimfatik (EH) di telinga bagian dalam, yang
mengakibatkan distensi membran Reissner dan kanal setengah lingkaran.
Temuan histopatologi menunjukkan bahwa kemungkinan penyebab EH
termasuk produksi endolimf yang berlebihan dan / atau penurunan
penyerapan endolimf. Namun, EH sendiri tidak dapat menjelaskan
patofisiologi gejala koklea dan vestibular; bukti yang terkumpul
menunjukkan bahwa penyebab gejala MD adalah multifaktorial dan
melibatkan mekanisme patogen yang berbeda.
Terapi untuk MD mencakup modifikasi diet seperti pembatasan
asupan garam. Pengurangan garam menyebabkan peningkatan fisiologis
aldosteron plasma, dan aldosteron itu mungkin dapat meningkatkan absorpsi
endolimf di kantung endolimfatik melalui aktivitas transfer ion, seperti
saluran natrium epitel, kotransporter Na-Cl yang sensitif terhadap tiazida, dan
ATPase Na-K. Kadar aldosteron plasma yang lebih tinggi dilaporkan
berkolerasi secara signifikan dengan ambang pendengaran yang lebih rendah
di usia tua, menunjukkan bahwa aldosteron mungkin memiliki efek
perlindungan pada pendengaran. Peningkatan aldosteron plasma karena diet
rendah garam dapat meningkatkan hidrops endolimfatik melalui peningkatan
penyerapan endolimfatik di kantung endolimfatik, yang menghasilkan

51
perbaikan gejala pada pasien MD.
Penyakit Bilateral Meniere muncul dengan serangan vertigo yang
menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia yang parah dan disarankan
untuk menggunakan rehabilitasi vestibular setelah prosedur destruktif.
Rehabilitasi vestibular digunakan untuk pengobatan kelainan vestibular
unilateral, bilateral, perifer, sentral, akut dan kronis dan dapat meningkatkan
fungsi keseimbangan dan memiliki hasil positif yang serupa pada pasien
muda atau pasien tua. Kombinasi pengobatan dan rehabilitasi vestibular dapat
membantu penyakit Meniere. Ablasi vestibular dilakukan dalam kondisi
parah tetapi pada beberapa pasien termasuk penyakit Meniere bilateral dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dan kecacatan yang parah dengan
menghancurkan fungsi vestibular yang tersisa. Namun, ablasi kimiawi
menggunakan gentamisin pada pasien dengan gangguan pendengaran
sensorineural yang patut diperhatikan dianggap sebagai pilihan dan biasanya
digunakan pada kasus parah penyakit Meniere aktif. Prosedur ini bisa berhasil
dalam pengendalian vertigo jangka panjang.
Pada penyakit meniere, penggunaan sereal yang diproses secara
khusus (SPC) telah diusulkan untuk meningkatkan sintesis antisecretory
factor (AF) endogen untuk memperbaiki gejala MD dengan hasil yang
kontroversial. AF adalah protein 41 kDa, awalnya dicirikan sebagai zat
hipofisis, yang bertindak sebagai pengatur transportasi air dan ion melintasi
membran seluler. Studi klinis telah menunjukkan bahwa asupan SPC dapat
memperbaiki gejala pasien diare serta pasien yang terkena penyakit radang
usus, diare endokrin, dan mastitis. Penelitian ini menunjukkan efek positif
pada ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh tinnitus dan kualitas hidup dan
penurunan jumlah serangan vertigo pada pasien dengan MD pasti unilateral
yang diobati dengan AF melalui SPC sebelum dan setelah terapi, dan bila
dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan gliserol dan deksametason
intravena. Tidak ada efek pada ambang pendengaran dan mendorong
penggunaan AF untuk mengurangi frekuensi dan intensitas serangan vertigo
pada pasien yang terkena MD unilateral. EI keseluruhan pada kelompok SPC

52
dan terapi infus tidak berubah secara signifikan sebelum dan sesudah
pengobatan. Namun, lebih besar jumlah pasien melaporkan penurunan
serangan vertigo pada kelompok SPC dibandingkan dengan kelompok terapi
infus.
Pada penyakit meniere akupunktur juga menawarkan banyak hal,
terutama untuk menstabilkan gangguan pendengaran dan mengendalikan
vertigo. Kriteria Pengobatan Cina untuk diagnosis tinnitus dan gangguan
pendengaran sangat mirip. Gejala onset akut biasanya disebabkan oleh
kondisi Kelebihan, sedangkan onset bertahap dan kondisi kronis
menunjukkan Defisiensi. Pola Defisiensi yang biasa adalah: defisiensi Yin
Hati menyebabkan Kelebihan Hati Yang; tinnitus biasanya berupa defisiensi
ginjal bernada tinggi yang menyebabkan ketulian, tinitus, sakit punggung
bagian bawah, rambut rontok di kulit kepala, dan penurunan libido; dalam
situasi ini tinnitus biasanya bernada rendah. Defisiensi Qi Jantung
menyebabkan tuli, tinitus, palpitasi, dan insomnia Defisiensi Qi Paru
menyebabkan gangguan pendengaran, tinitus, sesak nafas, dan suara lemah.
Manfaat sebenarnya dari akupunktur adalah kemampuannya untuk
menghentikan perkembangan gangguan pendengaran, yang tidak mungkin
dilakukan dengan perawatan biomedis. Jika ambang pendengaran tetap stabil,
biasanya gejala lain juga tidak berlanjut.

53
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit Meniere adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
serangan vertigo yang spontan, gangguan pendengaran yang berfluktuasi,
tinnitus, aural fullness, dan gejala lainnya. Sindrom ini biasanya dimulai
antara usia 30 dan 50 tahun, dan prevalensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Kebanyakan pasien melaporkan gejala koklea di satu
telinga, tetapi keterlibatan bilateral bervariasi antara 10% dan 40% kasus,
sesuai dengan durasi penyakit. Riwayat keluarga ditemukan pada 5–15%
kasus sporadis, biasanya dengan pola pewarisan autosom dominan dengan
penetrasi yang tidak lengkap dan sindrom parsial dalam keluarga.
Intervensi yang dapat diberikan yaitu dengan membantu mengurangi
stress pasien, pembatasan natrium, diuretik, terapi fisik vestibular, dan terapi
tekanan positif. Adapun terapi farmakologi yang dapat diberikan yaitu berupa
kortikosteroid, betahistin, benzodiazepines, intratympanic gentamicin
injection. Intervensi yang dapat diberikan untuk penderita meniere dapat juga
dilakukan dengan pembedahan.

4.2 Saran
Berbagai upaya dalam hal mengembangkan suatu intervensi bagi
pasien meniere dapat saja dilakukan oleh tenaga kesehatan. Kita sebagai
tenaga kesehatan khususnya sebagai perawat untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam memberikan pelayanan kesehatan disarankan untuk
mendalami, memahami dan mengetahui teori asuhan keperawatan mengenai
penyakit meniere dan mempelajari dalam menentukan diagnosa
keperawatannya.
Saran bagi penderita meniere diharapkan untuk lebih dapat
memperhatikan kesehatannya, terutama untuk pola makan dan aktivitas yang

54
dilakukan untuk memantau status kesehatannya dan meningkatkan kualitas
hidup bagi penderita meniere.

55
DAFTAR PUSTAKA

Bruderer SG, B. D. (2017). Population-based study on the epidemiology of


Ménière’s disease. Audiol Neurotol, 22(2), 74-82.
Chan, K. e. (2018). Association of Ménière Disease with Human Leukocyte
Antigen in Taiwanese Population. ENT-Ear, Nose & Throat Journal,
97(12), 396-402.
Disorders, N. I. (2017). Meniere's Disease. NIDCD Information Clearinghouse.
Flook, M. &. (2018). Meniere’s Disease: Genetics and the Immune System.
Current Otorhinolaryngology Reports, https://doi.org/10.1007/s40136-
018-0182-8.
Girasoli L, C. D.-l. (2018). Update on vertigo in autoimmune disorders, from
diagnosis to treatment. J Immunol Res, 2018:5072582.
Gokhale, S. M. (2017). athophysiology of Meniere's Disease. Texas: Intechopen.
Güneri, E. A. (2016). Validity and reliability of the diagnostic tests for Ménière’s
disease. Turkish archives of otorhinolaryngology, 54(3), 124–130.
10.5152/tao.2016.1697.
Jafarzadeh, s. &. (2019). Long term medical treatment and vestibular
rehabilitation in a patient with complicated active bilateral Meniere's
disease. Journal of Rehabilitation Sciences and Research, 6(1), 47-50.
Jessica Tyrrell, M. P. (2015). Mental Helath and Subjective Well-being of
Individuals with Meniere's: Cross-sectional Analysis in the UK Biobank.
Otology & Neurology, 36(5), 854-861.
Joung, R. Y. (2020). Influence of Perceived Health, Anxiety, Depression, and
Social Support on Quality of Life in Patients with Meniere Disease.
Korean J Adult Nurs, 32(4), 399-408. 10.7475/kjan.2020.32.4.399.
Koenen, L. &. (2020). Meieres Disease. In L. Koeanen, & C. Andaloro, Meieres
Diesease. StatPearls, Treasure Islad.
Luryi, A. e. (2019). Pathophysiology and Diagnosis of Meniere’s Disease.
Diagnosis and Treatment of Vestibular Disorders, 165-188.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-97858-1_13.

56
Miyashita, T. I. (2016). Hormonal changes following a low-salt diet in patients
with Meniere's disease. Auris Nasus Larynx, 44(1), 1-6.
Mohseni, M. e. (2020). Sex-dependent association of ACE (I/D) polymorphism
with Meniere's disease. Meta Gene, 1-4.
https://doi.org/10.1016/j.mgene.2020.100659.
Nair, M. &. (2015). Dasar-Dasar Patofisiologi Terapan. Jakarta: Bumi Medika.
Organizatio, W. H. (2020). Deafness and Hearing Loss.
Peijen Su, Y.-C. L.-C. (2015). Risk Factors for the Recurrence of Post-
Semicircular Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo after Canalith
Repositioning. Journal Neurol, 263(1), 45-51.
Pullen, R. (2017). Navigating the challenges of Meniere disease. Olters Kluwer
Health, 47(7), 38-45. doi: 10.1097/01.NURSE.0000520504.06428.ce.
Sabig, L. &. (2018). Tatalaksana Non Intervensional Pasien dengan Penyakit
Meniere. Medica Hospitalia, 5(1), 47-53.
Sanchez, J. &. (2016). Meniere's Disease. Handbook of Clinical Neurology,
137(3), 257-277. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-63437-5.00019-4.
Sanchez, J. &. (2020). The pharmacological management of vertigo in Meniere
disease. Expert Opinion On Pharmacotherapy,
https://doi.org/10.1080/14656566.2020.1775812.
Scarpa, A. R. (2019). Food-induced stimulation of the antisecretory factor to
improve symptoms in Meniere's disease: our results. European Achives of
Oto-Rhino-Laryngology, 277(1), 77-83.
Sharon, J. D. (2017). Treatment of Meniere’s disease. Current treatment options
in neurology, 17(4), 2-16.
Sudhakaran, P. (2016). Treating Meniere's disease with acupunctur. Medical
Acupunctur, 28(4), 175-180.
Sutarni, S. d. (2018). Bunga Rampai Vertigo. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tyrrell, J. B. (2017). Living with Meniere's Disease: Understanding Patient
Experiences of Mental Health and Well-Being in Everyday Life. Up to
Date on Meniere's Disease, 9-25.

57
Ueberfuhr MA, W. L. (2017). Tinnitus in normal hearing participants after
exposure to intense lowfrequency sound and in Ménière’s disease patients.
Front Neurol, 7:239.
Williams., &. W. (2011). Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala
Penyakit. Jakarta: PT Indeks.
Zhang, W. d. (2020). The Correlation Between Endolymphatic Hydrops and
ClinicalFeatures of Meniere Disease. The American Laryngological, DOI:
10.1002/lary.28576, 1-7.

58

Anda mungkin juga menyukai