Anda di halaman 1dari 62

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PADA KONDISI OVERDOSIS OBAT- OBATAN

Dosen Pengampu
Ns. Elvi Oktarina, M.Kep

Oleh Kelompok 3
1. Yuni Mellianti (2011316017)
2. Ahmad Mudhofir (2011316041)
3. Della Fatimah (2011316042)
4. Three Nur Oktavia (2011316043)
5. Rizki Cahaya Putri (2011316044)
6. Windi Wahyuni (2011316045)
7. Nadiya Ayu Nopihartati (2011316046)
8. Dina Annisa Utami (2011316047)
9. Salmi Dianita Nasution (2011316048)
10. Rada Putri Agusti (2011316049)
11. Anita Rahayu (2011316050)
12. Intan Putri Andriani (2011316051)
13. Fajar Alifah (2011316052)
14. Maya Rosita (2011316054)
15. Yoga Marsa Dinata (2011316055)
16. Dina Rahmiyanti Saputri (2011316056)
17. Fatria Surisna (2011316057)
18. Syafitri Wulandari (2011316058)
19. Rheynanda (2011316059)

PROGRAM B STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas berkat rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas Keperawatan Gawat Darurat yang berjudul “Konsep
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien dengan kasus overdosis obat-obatan”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis di Fakultas Keperawatan Unand.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-
pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Padang, April 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................
C. Tujuan Penelitian..............................................................................
D. Manfaat Penelitian............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Penyakit...............................................................................
a. Definisi........................................................................................
b. Etiologi .......................................................................................
c. Manifestasi Klinik.......................................................................
d. Patofisiologi dan WOC................................................................
e. Komplikasi ..................................................................................
f. Penatalaksaanaan Kegawatdaruratan...........................................
g. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................
B. Konsep asuhan keperawatan............................................................
a. Pengkajian Gawat Darurat...........................................................
b. Diagnosa Keperawatan................................................................
c. Perencanaan Keperawatan...........................................................
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian Gawat Darurat...............................................................
B. Diagnosa Keperawatan.....................................................................
C. Perencanaan Keperawatan................................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Penutup.............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan penvegahan kecacatan lebih lanjut. Instalasi Gawat
Darurat (IGD) memiliki peran sebagai gerbang utama masuknya rumah sakit secara
intensif atau sering disebut juga sebagai penderita gawat darurat. (Sitepu, 2019)
Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang
membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan
segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan permanen. Keadaan
gawat darurat yang sering terjadi di masyarakat antara lain, keadaan seseorang yang
mengalami henti napas, henti jantung, tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera misalnya
patah tulang, kasus stroke, kejang, keracunan, overdosis obat-obatan, dan korban
bencana. (Sitepu, 2019)
Salah-satu kejadian gawat darurat yang mengancam nyawa manusia adalah overdosis
obat-obatan yang merupakan keracunan pada penggunaan obat baik yang tidak disengaja
maupun sengaja. Kematian karena overdosis obat-obatan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Data yang baru saja dirilis Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika
Serikat (CDC) menunjukkan kematian akibat overdosis mencetak rekor tertinggi
sepanjang 2019. (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2019)
CDC mencatat, kematian karena overdosis pada tahun lalu mencapai 70.980. Angka
ini melonjak setelah pada 2018 mengalami penurunan 5,1 persen untuk pertama kalinya
dalam beberapa dekade terakhir. Jumlah pada 2019 itu diketahui lebih tinggi dari rekor
sebelumnya yakni 70.699 kematian pada 2017. Lebih dari 35 negara bagian di AS
mengalami peningkatan kematian karena overdosis. Para ahli memperkirakan jumlah
tersebut bisa lebih buruk di tahun ini karena pandemi virus corona. (Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), 2020)
Menurut CDC, lebih dari setengah kematian overdosis disebabkan oleh fentanyl dan
opioid sintetis atau obat penghilang rasa sakit. Selain itu penyalahgunaan kokain dan
metamfetamin juga melonjak. Kematian akibat overdosis obat diidentifikasi sebagai
kematian karena tidak sengaja, bunuh diri, dan pembunuhan yang melibatkan penggunaan
obat berlebihan seperti heroin, analgesik opioid alami, analgesik opioid sintetik, kokain,
dan psikostimulan. (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2020)
World Drugs Reports 2018 yang diterbitkan United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC), menyebutkan sebanyak 275 juta penduduk di dunia atau 5,6 % dari
penduduk dunia (usia 15-64 tahun) pernah mengonsumsi narkoba. Sementara di
Indonesia, BNN selaku focal point di bidang Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) mengantongi angka
penyalahgunaan narkoba tahun 2017 sebanyak 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59
tahun. (PUSLITDATIN BNN RI, 2019)
Sedangkan angka penyalahgunaan Narkoba di kalangan pelajar di tahun 2018 (dari 13
ibukota provinsi di Indonesia ) mencapai angka 2,29 juta orang. Salah satu kelompok
masyarakat yang rawan terpapar penyalahgunaan narkoba adalah mereka yang berada
pada rentang usia 15-35 tahun atau generasi milenial. (PUSLITDATIN BNN RI, 2019)
Penyebab pasti yang sering terjadi pada overdosis obat adalah usia, lansia sering lupa
bahwa ia sudah minum obat, sehingga sering terjadi kesalahan dosis karena lansia minum
lagi. Merk dagang, banyaknya merek dagang untuk obat yang sama, sehingga pasien
bingung, misalnya furosemide (antidiuretik) dikenal sebagai lasix, uremia dan unex.
Gangguan emosi dan mental. Menyebabkan ketagihan penggunaan obat untuk terapi
penyakit (habituasi) misalnya barbiturate, antidepresan dan tranquilizer. (Maria,
Zubaidah. 2019). Mengkonsumsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya, misalnya
jika seseorang memakai narkoba walaupun hanya seminggu, tetapi apabilah dia memakai
lagi dengan takaran yang sama seperti biasanya kemungkinan besar terjadi overdosis.
(Maria, Zubaidah. 2019).
Oleh karena itu, peran perawat sangat penting untuk penanganan kegawatdaruratan
agar tidak terjadi komplikasi, sehingga perawat harus tahu konsep kegawatdaruratan,
konsep overdosis obat atau NAPZA, dan penanganan pada pasien overdosis, untuk itu
kelompok mengangkat masalah kegawatdaruratan overdosis obat sebagai makalah untuk
memberikan gambaran kepada pembaca mengenai konsep asuhan keperawatan
kegawatdaruratan overdosis obat

B. Rumusan masalah
1. Apa saja konsep medis dari overdosis?
2. Apa definisi dari overdosis?
3. Apa saja penyebab terjadinya overdosis?
4. Bagaiamana proses perjalanan terjadinya overdosis?
5. Apa saja tanda dan gejala dari overdosis?
6. Bagaimana pengobatan pada overdosis?
7. Bagaimana terapi pada kasus overdosis?
8. Bagaimana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada overdosis?

C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep medis overdosis
2. Mahasiswa mampu mengetahui definisi dari overdosis
3. Mahasiswa mampu memahami etiologi dari overdosis
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari overdosis
5. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi dari overdosis
6. Mahasiswa mampu memahami jenis pemeriksaan penunjang overdosis
7. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan pada overdosis
8. Mahasiswa mampu Mengetahui asuhan keperawatan (Pengkajian-Intervensi)
keracunan
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit
a. Definisi
Overdosis Adalah saat seseorang mengkonsumsi dalam jumlah yang sangat
berlebih dan dalam intensitas yang tinggi, ia akan beresiko tinggi mengalami
overdosis. Overdosis atau yang biasa disebut OD adalah penggunaan obat dalam
dosis/kuantitas yang melebihi dari dosis yang direkomendasikan. Overdosis dapat
menjadi sebuah kecelakaan ketika seseorang mengkonsumsi obat dengan dosis yang
lebih besar atau kuat dari sebelumnya. Overdosis dapat dilakukan dengan sengaja saat
seseorang berusaha untuk melakukan bunuh diri. Semakin tinggi dosis atau semakin
lama terpapar obat, maka semakin besar kemungkinan seseorang mengalamin
keracunan. Overdosis dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan dapat berujung
kematian. Sebagai gambaran, kita dapat dengan mudah mengalami overdosis saat
mengkonsusmsi obat-obatan dari resep dokter seperti paracetamol. Konsumsi 4gr
paracetamol per hari dapat menyebabkan hepatotoksisitas (kerusakan hati yang
disebab kan oleh zat kimia), Hilman (2020) hal 32.
b. Etiologi
Menurut Hilman (2020) OD (Overdosis) atau Kelebihan dosis terjadi karena
beberapa hal yaitu:
1. Mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat/narkoba misalnya putaw hamper
bersamaan dengan alcohol atau obat tidur seperti valium, magadom/BK, dll.
2. Mengkonsumsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya misalnya jika
seseorang memakai obat walau hanya seminggu tetapi apabila dia memakai lagi
dengan takaran yang sama seperti biasanya kemungkinan besar terjadi OD.
3. Kualitas barang di konsumsi berbeda, pada umumnya setiap obat akan berbeda
dosis meskipun dengan fungsi yang sama
c. Manifestasi Klinik
Banyak sekali gejala dan tanda tanda keracunan yang mirip dengan gejala atau
tanda dari suatu penyakit, seperti kejang, stroke dan reaksi insulin. Seseorang yang
telah mengalami keracunan kadang dapat diketahui dengan adanya gejala keracunan.
Gejala gejala keracunan tersebut secara umum dapat berupa gejala non spesipik dan
spesifik, namun kadang kadang sulit untuk menentukan adanya keracunan hanya
dengan melihat gejala gejala saja. Perlu dilakukan tindakan untuk memastikan telah
terjadi keracunan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium. Pemerikasaan
laboratorium ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan periodik urin, tinja, darah,
kuku, rambut dan lain lain. Bila dicurigai telah terjadi keracunan maka perlu
diidentifikasi tanda dan gejala yang muncul Umumnya manifestasi klinis yang
timbul pada klien yang mengalami overdosis menurut (Fitria, dkk, 2019) :
1. Kelainan visus
2. Hiperaktifitas kelenjar ludah
3. Keringat
4. Gangguan saluran pencernaan
5. Tidak merespon pada sentuhan atau suara
6. Wajah pucat atau membiru
7. Tubuh dingin dan kulit lembab
8. Tidak bernafas selama 3-5 menit
9. Bernafas tetapi sangat lambat, kira-kira 2-4 kali dalam 1 menit
10. Keluar busa pada mulut
11. Sakit atau seperti ada tekanan yang sangat kuat di dada
12. Menggigil
13. Pingsan
14. Kejang-kejang

Gejala ringan meliputi :


1. Anoreksia
2. Nyeri kepala
3. Rasa lemah
4. Rasa takut
5. Tremor pada lidah, kelopak mata
6. Pupil miosis
Gejala sedang :
1. Nausea
2. Muntah-muntah
3. Kejang atau kram perut
4. Hipersaliva
5. Hiperhidrosis
6. Fasikulasi otot dan bradikardi.
Gejala berat :
1. Diare
2. Reaksi cahaya negatif
3. Sesak nafas
4. Sianosis
5. Edema paru
6. Inkontenesia urine dan feces
7. Kovulsi
8. Koma Blokade jantung akhirnya meningal
d. Patofisiologi dan WOC
Opioid bekerja melalui sistem opioid endogen dengan bertindak sebagai agonis
kuat pada reseptor mu (µ) (Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J.
Mechanic. (2020)). Reseptor ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Morfin
adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor μ dapat
ditemukan di otak (amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus),
saraf tulang belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru,
sistem imun, dan saluran pencernaan) (M.A. Schumacher, A.I. Basbaum. R. K.
(2015))
Menurut Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic. (2020) Hal
ini menghasilkan aliran kompleks sinyal intraseluler yang mengakibatkan pelepasan
dopamin, blokade sinyal nyeri, dan sensasi euforia yang dihasilkan. Reseptor opioid
terletak di otak, sumsum tulang belakang, dan usus. Pada overdosis, ada efek
berlebihan pada bagian otak yang mengatur laju pernafasan, mengakibatkan depresi
pernafasan dan akhirnya kematian. Gejala khas yang terlihat pada overdosis adalah
pupil mata tajam, depresi pernapasan, dan penurunan tingkat kesadaran. Ini dikenal
sebagai "triad overdosis opioid".
Menurut Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic. (2020)
Opioid bisa berupa agonis, agonis parsial, atau agonis-antagonis reseptor opioid.
Opiat yang tersedia saat ini menurunkan persepsi nyeri dan dalam beberapa kasus
menurunkan stimulus nyeri. Ada beberapa jenis reseptor opiat di sistem saraf pusat
dan perifer. Ketika reseptor ini distimulasi, itu menghasilkan penekanan sensasi nyeri.
Namun, tidak semua reseptor opiat memiliki potensi analgesik yang sama saat
distimulasi. Opioid mengurangi persepsi nyeri dengan penghambatan neurotransmisi
sinaptik dan pengikatan reseptor opioid di sistem saraf pusat dan perifer.
Menurut Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic. (2020) Reseptor
opioid utama yang memediasi efek opioid adalah mu (µ), kappa  (ĸ), dan delta (δ) :
1. Reseptor Mu (µ) yang didapat dari morfin dan berada di otak serta sumsum
tulang belakang : memediasi analgesia, euforia, sedasi, depresi pernapasan,
dysmotility gastrointestinal, dan ketergantungan fisik. Reseptor mu (µ)
menyebabkan respon meduler berkurang terhadap hiperkarbia dan juga
penurunan respon pernafasan terhadap hipoksia, mengakibatkan penurunan
rangsangan untuk bernafas dan perkembangan apnea.
2. Reseptor Kappa  (ĸ) berada di otak dan sumsum tulang belakang : memediasi
analgesia, diuresis, miosis, dan disforia.
3. Reseptor Delta (δ) yang berada di otak saja : memediasi analgesia, penghambatan
pelepasan dopamin, dan penekanan batuk.
Menurut Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic. (2020) Peran
reseptor sigma dan delta opiat belum banyak dipelajari. Namun, ketika reseptor sigma
distimulasi individu akan mengalami halusinasi, disforia, dan psikosis, sedangkan
reseptor delta akan menghasilkan analgesia, euforia, dan kejang. Reseptor sigma tidak
lagi dianggap opioid karena nalokson tidak bersifat antagonis terhadapnya.
Menurut Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic. (2020)
Toleransi terjadi dengan cepat pada opioid. Dengan overdosis, pasien sering
menyerah pada gagal napas. Toleransi terhadap hilangnya dorongan hiperkarbik
membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang dibandingkan efek euforia
lainnya, tetapi pasien yang toleran opioid tidak mengembangkan toleransi penuh
terhadap hilangnya stimulus hipoksia. Hal ini membuat mereka rentan terhadap
kematian akibat overdosis
WOC
Penggunaan opiate

Molekul opioid dan peptide endogen bereaksi


dengan reseptor opiat
Reseptor Mu (µ), Kappa, Delta
Analgesia, Euphoria, Sedasi, Depresi pernapasan, Miosis, << motilitas GI

Hambatan pelepasan neurotransmitter


sipnatik dalam CNS dan PNS MK: Risiko Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Otak
Depresi pernapasan
Aperistaltik gaster Pelepasan Hambatan pelepasan
Dan motilitas usus Histamin asetilkolin Mengeluarkan substansi mediator
lambat vasoaktif (histamine, bradykinin)
Vasodilatasi Otot jantung
Edema local pada dinding bronkiolus
pembuluh darah melemah

MK :Resiko Tekanan darah Obstruksi jalan napas


Sekresi mucus dan spasme
Mual dan Muntah menurun
otot bronkiolus
MK : Risiko MK : Ketidakefektifan
Syok Bersihan Jalan Nafas Permeabilitas membran
alveolar meningkat
Perubahan daya kembang
Hipoventilasi
dan pergerakan dinding
Hipoksemia
ventrikel menurun
Curah jantung menurun

Asidosis respiratorik

MK: Penurunan MK :Gangguan


Perfusi jaringan lemah
Curah Jantung Pertukaran Gas

Takikardi, sianosis Suplai oksigen ke


seluruh tubuh <<
MK:Risiko
MK : Risiko
Ketidakefektifan Perfusi Oksigen ke otak
Kesadaran << Jatuh
Jaringan Perifer
e. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan overdosis obat-obatan yaitu
1. Overdosis obat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang serius
2. Adanya peningkatan risiko endokarditis, hepatitis, dan HIV diantara pengguna
narkoba suntikan
3. Kecanduan: mengakibatkan tindakan kriminal untuk menopang aktivitas narkoba,
pencurian dan prostitusi
4. Ritme jantung tidak stabil
5. Dapat menyebabkan sesak nafas
6. Kejang serta timbulnya kerusakan didalam otak 

Adapun menurut (Micheal, 2018) berdasarkan jenis obat-obatan, jika dikonsumsi


secara berlebihan atau terjadinya overdosis obat dapat menimbulkan gejala yang lebih
parah seperti:
1. Antidepresan : diresepkan untuk depresi dan gangguan kecemasan, jika sudah
terjadi overdosis maka memiliki risiko yang berat seperti aritmia, status mental
yang berubah, kejang dan deperesi pernapasan
2. Antiepilepsi : karbamazepin, gabapentin, lamotrigin, fenobarbital, maupun
fenitoin, beberapa obat-obatan yang dimana pasien sudah mengalami overdosis
maka dapat memicu gejala yang lebih parah seperti koma, kejang, depresi
pernapasan, hipotensi, hiporefleksia, dan lainya
3. Benzodiazepin : jika dikonsumsi secara berlebihan dapat memicu timbulnya
ataksia, koma, depresi dan hipotensi pernapasan
4. Obat jantung (amlodipine, dopamin, adrenalin, dobutamin, isoproterenol): jika
sudah terjadinya overdosis maka dapat mengakibatkan gejala jantung seperti
aritmia, blok jantung, hipotensi, bradikardia bahkan henti jantung
5. Opioid : overdosis opioid dapat menimbulkan gejala seperti penurunan kesadaran
depresi pernapasan, dan pupil mata tajam
f. Penatalaksaanaan Kegawatdaruratan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan menurut Rubenstein David,dkk dalam buku
kedokteran klinis edisi ke enam pada pasien dengan overdosis hal- hal yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pertahankan jalan napas dan ventilasi.
2. Absorpsi dan keluarkan obat.
3. Perawatan umum pada pasien tak sadar-perawatan, fisioterapi, memper-tahankan
keseimbangan cairan untuk fungsi ginjal dan mengatasi syok
4. Pemeriksaan psikiatrik
5. Pusat terapi racun

Sedangkan Penatalaksanaan pada overdosis obat-obatan dalam jurnal Harison’s


Principles of internal medicine vol.2, 16 edition oleh (Linden, dkk.2016 )
penatalaksanaan pasien dengan overdosis adalah sebagai berikut :
1. Prinsip umum penatalaksanaan overdosis
Tujuan terapi overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah
absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot
spesifik, dan mencegah paparan ulang. Terapi spesifik tergantung dari identifikasi
racun, jalan masuk, banyaknya racun, selang waktu timbulnya gejala, dan
beratnya derajat keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik
substansi penyebab keracuan amatlah penting. Selama fase pretoksik, sebelum
onset keracunan, prioritas pertama adalah dekontaminasi segera berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan singkat Juga disarankan
pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada penderita keracunan
per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas. Bila anamnesis
penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara lambat atau akan
terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan toksikologi darah
dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi.
Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah akan
lebih tinggi dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan
toksisitasnya. Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih
toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau methanol),
maka diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis). Kebanyakan pasien yang
asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan
dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila terdapat keracunan per oral
yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus dimana
disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga lebih lambat.
Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga
diindikasikan observasi lebih lanjut. Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset
keracunan sampai dengan terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan
pada penemuan klinis dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul
efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan lebih
lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas
pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien
yang simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi
oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium
dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma
maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila
kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan
eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris.
Dialisis intestinal dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan
dapat mempercepat eliminasi. Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat
eliminasi sejumlah kecil racun, serta memiliki potensi komplikasi.
Metode ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya
dan resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan
sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-
bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan,
maka kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan
sehingga tidak berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur
ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik
racun dalam darah setelah selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang
menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap
harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik kadarnya metabolitnya
dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
2. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta
mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak &
paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik,
dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai berikut:
 Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas
konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)
 Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan
eliminasi racun
 Penderita dengan kemunduran klinis progresif
 Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan
kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari
lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis
intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan pernafasan). Penderita percobaan
bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan kontinu untuk mencegah
mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin lagi dilakukan upaya-upaya
lebih lanjut.
3. Penatalaksanaan problem respirasi
a) Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting
untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi
ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis
fungsi respirasi sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling
baik ditentukan dari pemeriksaan oksimetri atau analisa gas darah. Reflek
muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk menilai perlunya
intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis pada penderita yang tidak
mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak mampu duduk atau
minum tanpa dibantu.
b) Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan
untuk memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah
hipertermia, asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan
hiperaktivitas neuromuskuler. Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis
yang non-kardiak. Edema paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP
dan penderita abnormalitas konduksi jantung Pengukuran tekanan arteri
pulmoner penting untuk mengetahui etiologi dan dapat langsung sebagai
terapi.
c) Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran ekstrakorporeal
( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass kardiopulmoner), ventilasi
parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.
4. Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan
tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang tidak responsif
dengan ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan
intraaortic balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau
kardiopulmoner. Pada keracunan -blocker dan calcium channel blocker, efektif
diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg
diindikasikan untuk kasus keracunan glikosida jantung yang berat. SVT yang
berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu disebabkan karena
agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara menyeluruh. Kebanyakan
kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya memerlukan observasi
atau sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi
pada umumnya merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia,
dan berespon dengan pemberian cairan.
Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang berhubungan dengan
instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia. Untuk
penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan kombinasi  dan 
blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil atau diltiazem), atau
kombinasi  blocker – vasodilator (esmolol dan nitroprusside) merupakan terapi
terpilih. Untuk penderita keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah
pemberian physostigmine. Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman
bila diberikan lidokain dan fenitoin. Namun pemberian  blocker dapat berbahaya,
kecuali bila aritmia jelas disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat
antiaritmi kelas IA, IC, dan III merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada
VT karena antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif (karena
efek elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian sodium bicarbonate dapat
membantu. Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT,
pemberian Mg sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker)
akan membantu. Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan
untuk menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal (ventricular atau
supraventricular). Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik
diobservasi saja daripada diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia
dapat resisten terhadap terapi sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit,
oksigenasi, dan gangguan suhu dikoreksi.
5. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke
hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus
diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin
(pada keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang
akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor
glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA
seperti dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon
GABA. Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA
memerlukan piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang
yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan  blocker antidepresan siklik)
akan memerlukan anti konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana
yang meningkatkan GABA.. Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti
phencyclidine), pemberian agen yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol,
akan berguna. Pada keracunan antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi
antidot spesifik. Sedangkan kejang yang terjadi sekunder akibat iskemi, edema,
atau abnormalitas metabolik, harus dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada kejang
refrakter diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler. Monitoring EEG dan terapi
berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan
suhu yang ekstrim, abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal, dan
komplikasi sekunder harus diterapi sesuai standar.
6. Keracunan Obat Spesifik
a) ASETAMINOFEN
Efek toksik :
1) Keracunan akut
2) Bila terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual, muntah, diaphoresis,
pucat, depresi SSP.
3) Bila sudah 24-48 jam : - tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ,
hepatomegali ringan)
4) Prothrombine time memanjang
5) Bilirubin serum meningkat
6) Aktivitas transaminase meningkat
7) Gangguan fungsi ginjal
8) Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
9) prothrombine time memanjang >2x
10) Bilirubin serum >4 mg/dl
11) pH <7,3
12) kreatinin serum >3,3
13) Keracunan kronik : sama seperti keracunan akut. Namun pada penderita
alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufisiensi hati & ginjal yang berat,
disertai dehidrasi, ikterus, koagulopathi, hipoglikemi, dan ATN.
Terapi :
1) Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
2) Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
3) Antidot : N-acetylcysteine p.o. yang dilarutkan dalam cairan (bukan
alkohol, bukan susu) dengan perbandingan 3:1. Loading dose : 140
mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam (dapat diulang
sampai 17x). Efek samping : mual, muntah, epigastric discomfort.
4) Anti emetik (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
5) Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
6) Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati.
b) OBAT ANTI KOLINERGIK
Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik
dalam 1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek toksik :
1) Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi, gangguan
pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
2) Letargi
3) Depresi nafas
4) Koma
5) Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil,
kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, meningkatnya nadi, tensi,
respirasi, & suhu
6) Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinya
rhabdomiolisis dan hipertermi
7) Overdosis AH1 (difenhidramin) : kardiotoksik dan kejang
8) Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval QT
dengan takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes
Terapi :
1) Karbon aktif
2) Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
3) Agitasi : diberikan preparat benzodiazepin
4) Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidot : physostigmine
(inhibitor asetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v. dalam 2-5 menit (dosis
dapat diulang)
5) Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan
konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
c) BENZODIAZEPIN
Efek toksik :
1) Eksitasi paradoksal
2) Depresi SSP (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
3) Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepin-depresan SSP lainnya)
Terapi overdosis benzodiazepin :
1) Karbon aktif
2) Respiratory support bila perlu
3) Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepin)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang
diinginkan atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). Bila terjadi relapse,
dapat diulang dengan interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3
mg/jam.
Efek samping : kejang ( pada penderita dengan stimulan dan trisiklik
antidepresan, atau penderita ketergantungan benzodiazepin).
Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.
d) -BLOCKER
Efek toksik : Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2
jam
1) Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
2) -blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
3) Efek toksik pada SSP : kejang Kulit : pucat & dingin
4) Jarang : bronkospasme dan edema paru
5) Hiperkalemi
6) Hipoglikemi
7) Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)
8) EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol
9) Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de
pointes
Terapi :
1) Karbon aktif
2) Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
3) Pada keracunan berat :
Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
Calcium
Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
Pacu jantung (internal/eksternal)
IABP
 Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin s.c.,
aminofilin i.v.
 Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg,
overdrive pacing
 Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat
dilakukan prosedur ekstrakorporeal
e) CALCIUM CHANNEL BLOCKER (CCB)
Efek toksik
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
1) Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
2) Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
3) Kejang
4) Hipotensi  iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard  edema paru
5) EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan interval
QT (terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol
6) Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
7) Hiperglikemi
Terapi :
1) Karbon aktif
2) Pada bradikardi simptomatis :
 Atropin
 Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc
i.v. dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x). Bila terjadi relaps
setelah dosis inisial, diberikan infus calcium kontinu : 0,2 cc/kgBB/jam
sampai maksimal 10cc/jam.
 isoproterenol
 glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)
 electrical pacing (internal/eksternal)
3) Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
4) Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk
mengembalikan metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas
miokard dengan : regular insulin dosis tinggi (0,1 – 0,2 U/kgBB bolus i.v.
diikuti dengan 0,1 – 1 U/kgBB/jam, bersama dengan glukosa 25 gr bolus,
diikuti infus glukosa 20% 1 gr/kgBB/jam, serta kalium)
5) Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.
6) Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
7) Pada shock refrakter : I A B P.
f) KARBON MONOKSIDA
Efek toksik :
1) Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat,
peroksidasi lemak, dan pembentukan radikal bebas.
2) Nafas pendek, dispnea, takipnea,
3) Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
4) Kekakuan, dan pingsan
5) Mual, muntah, diare
6) Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
7) Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung, dan
hipotensi
8) Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang
tertekan
9) Creatin kinase serum meningkat
10) Laktat dehidrogenase serum meningkat
11) Nekrosis otot  mioglobinuria  gagal ginjal
12) Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai
edema papil atau atrofi optik
13) Metabolik asidosis Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)
14) Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna
merah ceri)
15) Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele
neuropsikiatrik (perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli,
inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan.
g) GLIKOSIDA JANTUNG
Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin
denyut jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau
terdapat irama jantung yang ireguler dengan konsisten.
Efek toksik :
1) Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
2) Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
3) EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus
bradikardi, berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature,
bigemini, VT, VF
4) Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT
dengan AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3) atau adanya
bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan
glikosida jantung
5) Muntah
6) Konfusi, delirium
7) Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
8) Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
9) Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
1) Karbon aktif dosis berulang
2) Koreksi K, Mg, Ca
3) Koreksi hipoksia
4) Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine,
epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15
mg/kg), serta isoproterenol
5) Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan
amiodaron
6) Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-
specific Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial antidot
(40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada keracunan akut
diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.
7) Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5 mEq/lt
(walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
8) Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)
9) Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)
h) Obat-obatan golongan NSAID
Efek toksik :
1) Mual, muntah, nyeri perut
2) Mengantuk, sakit kepala
3) Glikosuri, hematuri, proteinuri
4) Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
5) Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat
6) Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi nafas,
kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering mengakibatkan asidosis
metabolic.
7) Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
8) Ketoprofen dan naproxen : kejang
Terapi :
1) Karbon aktif dosis berulang
2) Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.
i) SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracunan salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna
ungu. Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150
mg/kgBB) :
1) Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea  dehidrasi dan menurunnya fungsi
ginjal
2) Demam, tinitus, letargi, konfusi
3) Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi
bikarbonat melalui urine
4) Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
5) Alkalemia dan asiduria paradoksal
6) Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit
7) Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
8) Prothrombin time memanjang
9) Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps
kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini terjadi
asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis respiratorik).
Terapi overdosis salisilat :
1) Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah terjadi
dalam 12-24 jam
2) Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan
lavase lambung dan irigasi seluruh usus
3) Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung
4) Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya
terus dipantau
5) Saline i.v. sampai beberapa liter
6) Suplemen glukosa
7) Oksigen
8) Koreksi gangguan elektrolit dan metabolik
9) Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
10) Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi diuresis :
edema otak/paru, gagal ginjal
11) 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan infus
saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
12) Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan
13) Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat mendekati/>100
mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan kontraindikasi/kegagalan
prosedur di atas.
j) INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT(malathion, parathion) dan KARBAMAT
Menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps muskarinik dan nikotinik
serta SSP, karena enzim asetilkoliesterase dihambat secara ireversibel.
Organofosfat lebih toksis dibanding karbamat.
Efek toksik: (rata-rata terlihat dalm ½-2 jam setelah intoksikasi) :
1) Efek muskarinik : mual, muntah, kram perut, inkontinensia urine et alvi,
meningkatnya sekresi bronkus, batuk, wheezing, dispnea, berkeringat, salvias,
miosis, pandangan kabur, lakrimasi, frekuensi (urine).
2) Pada kasus berat : bradikardi, block konduksi jantung, hipotensi, dan edema paru
3) Efek nikotinik berupa : twitching, fasikulasi, lemah badan, hipertensi, takikardi.
4) Pada kasus berat : paralysis dan gagal nafas.
5) Efek pada SSP : ansietas, restlessness, tremor, konfusi, lemah badan, kejang, dan
koma.
6) Penyebab kematian : toksisitas paru
 SLUDGE/BBB mnemonic
o S = Salivation
o L = Lacrimation
o U = Urination
o D = Defecation
o G = GI symptoms
o E = Emesis
o B = Bronchorrhea
o B = Bronchospasm
o = Bradycardia
 DUMBELS mnemonic
o D = Diarrhea and diaphoresis
o U = Urination
o M = Miosis
o B = Bronchorrhea, bronchospasm, and bradycardia
o E = Emesis
o L = Lacrimation
o S = Salivation
Terapi :
1) Pakaian yang terkena ditanggalkan dan kulit dicuci dengan sabun & air.
2) Pemberian karbon aktif
3) Pemberian oksigen dan bantuan nafas
4) Terapi kejang
Pada efek muskarinik yang terjadi : diberikan atropin (antagonis reseptor
muskarinik) 0,5 – 2 mg i.v. tiap 5-15 menit sampai sekresi bronkus mengering.
Dosis dapat diulang/diberikan via infus kontinu bila terjadi toksisitas rekuren.
Untuk mengatasi efek nikotinik dapat diberikan : pralidoxim (2-PAM) yang
mereaktivasi enzim kolinesterase. Digunakan pada keracunan organofosfat saja.
Dosis : 1-2 gr i.v.dalam 5-30 menit tergantung dari beratnya intoksikasi; dapat
diulang dengan interval 30 menit bila respon tidak lengkap. Injeksi cepat dat
menyebabkan : takikardi, spasme laring, kekakuan otot, dan kelemahan.
5) Bila efek toksik masih rekuren, dapat diberikan dosis ulangan tiap 4-6 jam
atau infus kontinu (500 mg/jam).
6) Terapi kejang dengan benzodiazepin secara agresif
k) OBAT SIMPATOMIMETIK
(amfetamin, efedrin, pseudoefedrin, fenilefrin, fenilpropanolamin, salmeterol,
dll.) Intoksikasi terjadi dalam 30-60 menit setelah ingesti obat.
Efek toksik berupa :
1) Mual, muntah, kram perut, dan sakit kepala; hipertensi serta takikardi
2) Efek stimulasi  : hipertensi dan refleks bradikardi, bahkan AV block
3) -agonis selektif : takikardi dengan hipotensi (akibat vasodilatasi), hipokalemi
4) Combativeness, halusinasi dengar & lihat, dilatasi pupil, mulut kering, pucat, dan
takipnea
5) Komplikasi berupa : asidosis laktat, rhabdomiolisis, perdarahan intrakranial
Terapi :
1) Karbon aktif
2) Hiperaktivitas neuromuscular dan kejang diterapi dengan : barbiturat atau
benzodiazepin
3) Pada hipertensi simtomatik/berat : adrenergik bloker non-selektif
(labetalol) atau antagonis -adrenergik selektif (fentolamin) diberikan
dengan dosis : 1-5 mg i.v. tiap 5 menit sampai respon tercapai
dengan/tanpa -bloker kardioselektif (esmolol)
4) Pada takikardi berat/simtomatik : propranolol atau -bloker kardioselektif
5) Takiaritmia ventrikel : diobati dengan lidokain dan propranolol
6) Hipertermi diterapi dengan : pendinginan eksternal dengan sedasi, bila
perlu diberi agen paralysis.
l) TEOFILIN (inhibitor enzim fosfodiesterase)
Efek toksik : (terjadi dalam ½-2 jam setelah ingesti)
1) Mual, muntah
2) Eksitasi psikomotor
3) Pucat, berkeringat
4) Takipnea, takikardi
5) Tremor otot
6) Keracunan berat ditandai dengan : koma, kejang, depresi nafas, aritmia
jantung, hipotensi dan rhabdomiolisis
7) Dapat terjadi takiaritmi atrial/ventrikel, termasuk VF.
8) Pada keracunan akut : hipotensi, ketosis, asidosis metabolikc,
hiperamilasemia, hiperglikemi, hipokalemi, hipokalsemi, hipofosfatemi
Terapi :
1) Karbon aktif dosis berulang
2) Irigasi usus seluruhnya
3) Anti emetik
4) Benzodiazepin dan barbiturat untuk terapi kejang dan hiperaktivitas
neuromuskuler ;
5) Paralysis farmakologik bila refrakter.
6) Takiaritmia diobati dengan : propranolol i.v. SVT diterapi dengan -1
bloker selektif (esmolol)
7) VT dengan lidokain atau anti aritmia lainnya
8) Hipotensi : ekspansi volum dan -agonis (norepinefrin)
9) Pada keracunan berat : hemodialisis dan hemoperfusi
g. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Micheal J Brester (2018) dalam manual kedokteran darurat pemeriksaan
yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan kerancunan obat atau Overdosis obat
adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama pemeriksaan fisik harus ditekankan pada tanda-tanda
vital, sistem kardiopulmoner, dan status neurologis. Berdasarkan nadi, tekanan
darah, frekuensi napas, dan suhu serta status mental, status fisiologik pendeerita
dapat digolongkan menjadi : excited, depresi, respon tidak sesuia, dan normal.
Pemeriksaan mata (menilai adakah nistagmus, menilai ukuran dan reaksi
pupil), pemeriksaan abdomen (bising usus dan ukuran kandung empedu, dan
pemeriksaan kulit (untuk luka bakar, bulae, warna kehangatan,
kelembaban, luka bekas tekanan, dan tanda-tanda tusukan) dapat
mempersempit diagnosis. Menentukan derajat keracunan adalah penting untuk
menilai respon terapi. Penderita juga harus diperiksa terhadap adanya riwayat
trauma dan penyakit dasarnya.
Manifestasi neurologis keracunan biasanya berupa kejang nonfokal, kecuali :
keracunan yang disebabkan CO, teofilin, dan obat-obat yang menyebabkan
hipoglikemi atau hipoksia. Karenanya, penemuan manifestasi fokal harus dapat
menggambarkan dengan tepat lesi struktural pada SSP. Bila rieayat keracunan
tidak jelas, semua orifisium harus diperiksa untuk menilai adanya luka bakar
kimia dan bungkus obat. Bau nafas atau muntah dan warna kuku, kulit atau urine
dapat menunjang diagnosis.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Penilaian laboratorium dapat membantu mendiagnosis banding keracunan.
Pemeriksaan analisa gas darah untuk tahu level obat-obatan dalam darah. Hasil
analisa gas darah umumnya meliputi pengukuran terhadap beberapa hal, antara
lain:
a) Asam basa (pH) darah, yaitu dengan mengukur jumlah ion hidrogen dalam
darah. Jika pH darah di bawah normal dikatakan lebih asam, sementara jika
pH di atas nilai normal maka darah dikatakan lebih basa.
b) Saturasi oksigen, yaitu pengukuran jumlah oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin di dalam sel darah merah.
c) Tekanan parsial oksigen, yaitu pengukuran tekanan oksigen yang larut di
dalam darah. Pengukuran ini dapat menentukan seberapa baik oksigen dapat
mengalir dari paru ke dalam darah.
d) Tekanan parsial karbon dioksida, yaitu pengukuran tekanan karbon dioksida
yang larut di dalam darah. Pengukuran ini menentukan seberapa baik karbon
dioksida dapat dikeluarkan dari tubuh.
e) Bikarbonat, yaitu zat kimia penyeimbang yang membantu mencegah pH darah
menjadi terlalu asam atau terlalu basa.
a. Berdasarkan unsur pengukuran tersebut, ada dua jenis hasil analisa gas darah,
yaitu normal dan abnormal (tidak normal).
Hasil normal. Hasil analisa gas darah dikatakan normal jika:
o pH darah arteri: 7,38-7,42.
o Tingkat penyerapan oksigen (SaO2): 94-100%.
o Tekanan parsial oksigen (PaO2): 75-100 mmHg.
o Tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2): 38-42 mmHg.
o Bikarbonat (HCO3): 22-28 mEq/L.

 Hasil abnormal dapat menjadi indikator dari kondisi medis tertentu. Berikut


ini beberapa kondisi medis yang mungkin terdeteksi melalui analisa gas darah.

pH darah Bikarbonat PaCO2 Kondisi Penyebab Umum


Asidosis Gagal ginjal, syok,
<7,4 Rendah Rendah
metabolik ketoasidosis diabetik.
Alkalosis Muntah yang bersifat
>7,4 Tinggi Tinggi
metabolik kronis, hipokalemia.
Penyakit paru,
Asidosis termasuk pneumonia atau
<7,4 Tinggi Tinggi
respiratorik penyakit paru obstruktif
kronis (COPD).
Alkalosis
>7,4 Rendah Rendah Saat nyeri atau cemas.
respiratorik
Angka kisaran normal dan tidak normal umumnya bervariasi tergantung
pada laboratorium tempat pasien menjalani analisa gas darah. Hal ini
dikarenakan beberapa laboratorium menggunakan pengukuran atau metode
yang berbeda dalam menganalisa sampel darah. Konsultasikan hasil tes
kepada dokter untuk mendapatkan penjelasan secara detail. Dokter akan
menentukan apakah pasien membutuhkan pemeriksaan lanjutan atau terapi
pengobatan tertentu.
Metabolik asidosis dengan meningkatnya anion gap adalah
karakteristik untuk keracunan methanol, etilen glikol, dan salisilat, walaupun
bisa saja terjadi pada keracunan agen lain ( kadar laktat serum < aniom gap)
serta keracunan yang terjadi pada gagal hati, gagal ginjal, atau gagal nafas,
kejang atau syok ( kadar laktat serum > atau hampis sama dengan anion gap).
Anion gap yang rendah secara abnormal dapat terjadi karna tingginya kadar
bromida, kalsium, iodine, litium, magnesium, atau nitrat dalam darah.
Meningkatnya osmosal gap yaitu perbedann > 10 mmol/l antara
osmolalitas serum yang diukur dari turunnya titik beku dan osmolalitas serum
yang diukur dari kadar natrium, glukosa dan BUN serum menunjukan adanya
zat terlarut dengan berat molekul rendah seperti : alkohol, glikol, keton,
elektrolit yang tidak terukur, atau gula osmolal gap juga dapat memperkirakan
jumlah anion.
Adanya ketosi menunjukkan keracunan aseton, isopropil alkohol, atau
salisilat. Hipoglikemi berhubungan dengan keracunan bloker, etanol, insulin,
obat hipoglikemi oral, kinin, dan salisilat. Sedangkan hiperglikemi terjadi pada
keracunan aseton, agonis, besi, teofilin atau vacor. Hipokalemi dapat
disebabkan karna keracunan barium, agons dieuretic, teoflin atau toluene.
Sedangkan hiperkalemi terjadi pada keracuanan agonis, blocker, glikosida
jantung, atau flourida.
3. Gambaran Radiologi
Edema paru (Atau ARDS ) dapat disebabkan karna keracunan CO, sianida,
opioid paraquat, phencylidine, hipnotik sedatif atau salisilat, juga karna inhalasi
gas iritan, asap atau uap ( ammonia, metal oksida, merkuri) juga oleh anoksa
berkepanjangan, hipertermia atau syok. Pneumonia aspirasi umum terjadi pada
pasien dengan, kejang, keracunan petroleum.
Densitas radioaktif dapat terlihat pada foto abdomen pada keracunan garam
kalsium, chloral hydraten logam berat, bungkus obat terlarang yang ditelan, bahan
yang mengandung iodine, garam kalium, agen psychoterapeutic, litium, pheno
thiazines, tablet salut, atau salisilat.
4. EKG
EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan
AV block dapat terjadi pada pasien yang keracunan agonis, antiaritmia, blocker,
calcium channel blocker, obat kolinergik ( karbamat dan insektisida organofosfat,
glikosida jantung, litium, magnesium, atau trisiklik antidepresan. Pemanjangan
QRS dan interval QT dapat disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obatan
membran aktif.

B. Konsep asuhan keperawatan


a. Pengkajian Gawat Darurat
Pengkajian difokusakan pada masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa, adanya gangguan asam basa, keadaan status jantung,
status kesadran. riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan,berapa lama
diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma
toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.
Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam
hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan kegiatan
meliputi :
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Berhubungan dengan intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka walaupun
tidak dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus intoksikasi harus
diperlakukan seperti pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa.Penilaian
terhadap tanda vital seperti tanda jalan napas, pernapasan sirkulasi dan penurunan
kesadaran harus dilakukan secara cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi
tidak terlambat dimulai. Berikut ini adalah urutan resusitasi seperti yang
umumnya dilakukan.

a) Primary Survey
1) A = Airway Support
Factor utama yang membuat klien tidak sadar adalah adanya sumbatan
di jalan napas klien, seperti lidah, makanan ataupun benda asing lainnya.
Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada klien tidak
sadar karena pada kondisi tidak sadar itulah lidah klien akan kehilangan
ototnya sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini
mengakibatkan tertutupnya trachea sebagai jalan napas.Sebelum diberikan
bantuan pernapasan, jalan napas korban harus terbuka.
Tekhnik yang dapat dilakukan penolong adalah cross-finger (silang
jari), yaitu memasukkan jari telunjuk dan jempol menyentuh gigi atau
rahang klien. Kemudian tanpa menggerakkan pergelangan tangan,
silangkan kedua jari tersebut denagn geraakan saling mendorong sehingga
rahang atas dan rahang bawah terbuka.periksa adanya benda yang
menyumbat atau berpotensi menyumbat.Jika terdapat sumbatan, bersihkan
dengan teknik finger-sweep (sapuan jari) dengan menggunakan jari
telunjuk yang terbungkus kassa (jika ada).
Adadua maneuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas,
yaitu head tilt / chin lift dan jaw trust.
Head tilt atau chin lift: Teknik ini hanya dapat digunakan pada klien
pengguna NAPZA tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-
tahap untuk melakukan teknik ini adalah :
 Letakkan tangan pada dahi klien (gunakan tangan yang paling dekat
denga dahi korban).
 Pelan-pelan tengadahkan kepala kliendengan mendorong dahi kearah
belakang.
 Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari
dagu korban.
 Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan
sampai mulut klien tertutup.
 Pertahankan posisi ini.
Jaw trust : Teknik ini dapat digunakan selain teknik diatas. Walaupun
teknik ini menguras tenaga, namaun merupakan yang paling sesuai untuk
klien pengguna NAPZA denag cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk
melakukan teknik ini adalah :
 Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi
kepala korban. Letakkan tangan dikedua sisikepalakorban.
 Cengkeram rahang bawah korbsn pada kedua sisinya. Jika korban
anak-anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkanpada sudut rahang.
 Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban
keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.
 Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir
bagian bawah denagn kedua ibu jari.
2) Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara
otomatis.Untuk menilai secara normal dapat dilihat dari pengembangn
dada dan berapa kali seseorang bernafas dalam satu menit.Frekuensi/
jumlah pernafasan normal adalah 12-20x / menit pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat
tanda-tanda sesak nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam satu
menit, adanya napas cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak saat
bernafas), adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga,
otot leher, otot perut), warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung
jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara napas, tidak dirasakan
hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak sadar dan tidak bernapas.
Breathing support adalah penilain status pernapasan klien untuk
mengetahui apakah klien masih dapat bernapas secara spontan atau tidak.
Prinsip dari melakukan tindakan ini adalah dengan cara melihat,
mendengar dan merasakan (Look, Listen and Feel = LLF). Lihat, ada
tidaknya pergerakan dada sesuai dengan pernapasan.Dengar, ada tidaknya
suara napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung klien.Rasakan, dengan
pipi penolong ada tidaknya hembusan napas (sesuai irama) dari mulut dan
hidung korban.Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik.
Jika terlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa
hembusan napas klien, maka berarti klientidak menglami henti
napas.masalah yang ada hanyalah penurunan kesadaran.dalam kondisi ini,
tindakan terbaik yang dilakukan perawat adalah mempertahankan jalan
napas tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan memberikan
posisi mantap.
Jika korban tidak bernapas, berikan 2 kali bantuan per-napasan denag
volume yang cukup untuk dapat mengembangkan dada. Lamanya
memberikan bantuan pernapasan sampai dada mengembang adalah
1detik.Demikian halnya berlaku jika bantuan pernapasan diberikan melalui
mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari pemberian
pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena akan menyebabkan
kembung (distensi abdomen) dan dapat menimbulan komplikasi padaparu-
paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan
ventilasi oksigen kepada klien.Untuk memberikan bantuan tersebut, buka
jalan napas klien, tutup cuping hidung klien dan mulut penolong
mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1 kali pernapasan dalam waktu 1
detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan pernapasan 1 kali
lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien. Jika tidak terjadi
pengembangan dada, maka cara penolong tidaak tepat dalam membuka
jalan napas. Cara yang samaa dilakukan jika alat pelindung terdiri dari 2
tipe, yaitu pelindung wajah dan sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk
lembaran yang terbuat dari plastic bening atau silicon yang dapat
mengurangi kontak antara klien dengan penolong.Sedangkan jika memakai
sungkup wajah, maka biasanya terdapat lubang khusus untuk memasukkan
oksigen.Ketika oksigen telah tersedia, maka berikan aliran oksigen
sebanyak 10-12 liter/menit.
3) C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan kompresi
dada luar yang diberikan pada klien yang mengalami henti jantung. Selain
itu untuk mempertahankan sirkulasi spontan dan mempertahankan sistem
jantung paru agar dapat berfungsi optimal dilakukan bantuan hidup lanjut
(advance life support). Jika tindakan ini dilakukan dengan cara yang salah
maka akan menimbulkan penyulit-penyulit seperti patah tulang iga, atau
tulang dada, perdarahan rongga dada dan injuri organ abdomen.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul pada overdisis obat-
obatan diantaranya adalah takikardia atau bradikardia, dilatasi pupil,
peningkatan atau penurunan tekanan darah, berkeringat atau rasa dingin
Sebelum melakukan RJP pada klien perawat harus memastikan bahwa
klien dalam keadaan tidak sadar, tidak bernapas dan arteri karotis tidak
teraba. Cara melakukan pemeriksaan arteri karotis adalah dengan cara
meletakkan dua jari diatas laring (jakun). Lalu geser jari penolong ke arah
samping dan hentikan disela-sela antara laring dan otot leher. Setelah itu
barulah penolong merasakan denyut nadi. Perabaan dilakukan tidak boleh
lebih dari 10 detik.
Melakukan resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua
tangan ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri
dengan posisi lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni
(kepala tengkorak). Untuk memberikan kompresi dada yang efektif.
Lakukan kompresi dengan kecepatan 100x/menit dengan kedalaman
kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan selam nadi tidak teraba
dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio kompresi
ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini dibuat untuk
menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi kejadian hiperventilasi,
dan mengurangi pemberhentian kompresi untuk melakukan ventilasi.
4) D = Disability
Pemantauan status neurologis secara cepat meliputi tingkatan
kesadaran dan GCS, dan ukur reaksi pupil serta tanda-tanda vital.
5) F = Folley kateter,
Pemasangan kateter pada klien overdosis biasanya dilakukan untuk
melakukan perhitungan balance cairan.
6) G = Gastric tube
Salah satu penatalaksanaan yang bisa dilakukan adalah kumbah
lambung yang bertujuan untuk membersihkan lambung serta
menghilangkan racun dari dalam lambung.
7) H = Heart monitor
Lakukan pemantauan peningkatan detak jantung, peningkatan tekanan
darah dan kerusakan sistem kardiovaskuler.
Setelah primary survey dan intervensi krisis selesai, perawat harus
mengkaji riwayat pasien
A : Allergies (jika pasien tidak dapat memberikan informasi perawat bisa
menanyakan keluarga atau teman dekat tentang riwayat alergi pasien)
M : Medication (overdosis obat : ekstasi )
P : Past medical history (riwayat medis lalu seperti masalah
kardiovaskuler atau pernapasan
L : Last oral intake ( obat terakhir yang dikonsumsi : ekstasi)
E : Even (kejadian overdosisnya obat, dekskripsi gejala, keluhan utama,
dan mekanisme overdosis)
b) Secondary Survey
Pada saat penggunaan sesudah terjadi dan diperlukan upaya penyembuhan
(treatmen). Fase ini meliputi : fase penerimaan awal (intialintek) antara 1-3
hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental dan fase detoksifikasi
dan terapi komplikasi medic, antara 1-3 minggu untuk melakukan
pengurangan ketergantungan bahan-bahan adiktif secara bertahap. Tindakan
yang harus dilakukan adalah melakukan tindakan keperawatan head to toe.
1) Pengkajian Data
a) Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
b) Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama : Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan
kesehatan dengan adanya dua atau lebih gejala-gejala seperti takikardi
atau bradikardi, dilatasi pupil, peningkatan atau penurunan tekanan
darah, banyak keringat atau kedinginan, mual atau muntah, penurunan
berat badan, agitasi atau retardasi psikomotot, kelelahan otot, depresi
sistem pernapasan, nyeri dada atau aritmiajantung, kebingungan,
kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma. Penatalaksanaan
adalah dengan memberikannya terapi symtomatik dan pemberian
terapi suportife lain, misal: anti psikotik, anti hipertensi, dll
c) Riwayat Kesehatan Sekarang :
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian Kaji
bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. ditunjukkan
dengan adanya gejala-gejala (satu atau lebih) bicara cadel,
inkoordinasi, jalan sempoyongan nistagmus, tidak dapat memusatkan
perhatian, daya ingat menurun dan stupor atau koma. 
d) Riwayat Kesehatan Dahulu :
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan
dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
e) Riwayat Kesehatan Keluarga :
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit
yang sama.
f) Riwayat Psikososial
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi
sosial.
g) Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi kesehatan – manajemen kesehatan,
pada pola ini kita   mengkaji :
a. Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?
b. Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan
konsumsi obat-obatan tertentu?
c. Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya
kesehatan?
d. penting dikaji riwayat konsumsi obat-obatan tertentu.
2. Pola Nutrisi – Metabolik
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan
selama dirawat di rumah sakit?
b. Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
c. Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh
rumah sakit?
d. Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
e. Apakah klien mengalami mual dan muntah?
f. Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan
atau sebaliknya?
3. Pola Eliminasi
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
b. Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
c. Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
d. Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?
4. Pola aktivitas – latihan
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat
di rumah sakit?
b. Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri
c. Kaji tingkat ketergantungan klien
0 = mandiri
1 = membutuhkan alat bantu
2 = membutuhkan pengawasan
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain
4 = ketergantungan
5. Pola istirahat – tidur
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Apakah klien mengalami gangguan tidur?
b. Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?
c. Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?
6. Pola kognitif – persepsi
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Kaji tingkat kesadaran klien
b. Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien,
apakah mengalami perubahan?
c. Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?
d. Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?
7. Pola persepsi diri – konsep diri
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit
yang dialaminya?
b. Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?
c. Apakah klien merasa rendah diri?
Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien
merasa malu dengan keadaan tersebut, dan mengalami
gangguan pada citra dirinya.
8. Pola peran – hubungan
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
b. Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
c. Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat
sekitarnya?
9. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah status reproduksi klien?
b. Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
10. Pola koping dan toleransi stress
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
b. Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang
dialaminya?
c. Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
11. Pola nilai dan kepercayaan
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
b. Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?
2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat perhatian
karena dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti jantung, henti nafas,
dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi ditujukan pada
tingkat kedaruratan klien. Yang paling penting dalam anamnesis adalah
mendapatkan informasi yang penting seperti :
a) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan, termasuk
obat yang sering dipakai, baik kepada klien (jika memungkinkan), anggota
keluarga, teman, atau petugas kesehatan yang biasa mendampingi (jika ada)
tentang obat yang biasa digunakan.
b) Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.
c) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat
intosikasi, yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jatung,
ukuran pupil, keringat, dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang diperlukan
berdasarkan skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi
maka pemeriksaan fisik harus dilakukan berulang.
Tanda dan gejala

b.

Diagnosa Keperawatan
DIAGNOSA TEORITIS
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas,
hipereksresi jalan nafas.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas, depresi pusat
pernafasan.
3. Perfusi perifer berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin
4. Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran.  
5. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan trauma
6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap kematian

c. Perencanaan Keperawatan
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa SIKI SLKI


Keperawatan
1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas Buatan
tidak efektif keperawatan diharapkan bersihan  Observasi
berhubungan jalan nafas meningkat dengan a. Monitor posisi selang ETT,
dengan spasme jalan kriteria hasil : terutama setelah mengubah
nafas, hipereksresi a. Batuk efektif meningkat posisi
jalan nafas. b. Produksi sputum menurun b. Monitor tekanan balon ETT
c. Mengi menurun setiap 4-8 jam
d. Wheezing menurun c. Monitor kulit area stoma
e. Frekuensi napas membaik trakeostomi (mis.
Kemerahan, drainase,
perdarahan)
 Terapeutik
a. Kurangi tekanan balon secara
periodic tiap shift
b. Pasang OPA untuk mencegah
ETT tergigit
c. Cegah ETT terlipat
d. Berikan pre-oksigenasi 100%
selama 30 detik (3-8 kali
ventilasi) sebelum dan
setelah penghisapan
e. Berikan volume pre-
oksigenasi (bagging atau
ventilasi mekanik) 1,5 kali
volume tidal
f. Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik jika
diperlukan (bukan secara
berkala/rutin)
g. Ganti fiksasi ETT setiap 24
jam
h. Ubah posisi ETT secara
bergantian (kiri dan kanan)
setiap 24 jam
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan intervensi Observasi
efektif berhubungan keperawatan diharapkan pola nafas 1. Monitor frekuensi, irama,
dengan hambatan membaik dengan kriteria hasil : kedalaman dan upaya napas.
upaya nafas, depresi a. Ventilasi semenit meningkat 2. Monitor pola napas
pusat pernafasan b. Kapasitas vital meningkat 3. Monitor kemampuan batuk efektif
c. Dispnea menurun 4. Monitor adanya produksi sputum
d. Penggunaan otot bantu napas 5. Monitor adanya sumbatan jalan
menurun napas
e. Pemanjangan fase eskpirasi 6. Auskultasi bunyi napas
menurun 7. Monitor saturasi oksigen
f. Pernafasa [ursed lip 8. Monitor nilai AGD
menurun Terapeutik
g. Pernafasan cuping hidung 1. Dokumentasi hasil pemantauan
menurun Edukasi
h. Frekuensi napas membaik 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
i. Kedalaman napas membaik pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan
3 Perfusi perifer Setelah dilakukan intervensi Observasi
berhubungan keperawatan diharapkan perfusi 1. Periksa irkulasi perifer
dengan penurunan perifer membaik dengan kriteria 2. Identifikasi faktor risiko gangguan
konsentrasi hasil : sirkulasi
hemoglobin a. Penyembuhan luka 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri
meningkat atau bengkak pada ekstermitas.
b. Edema perifer membaik Terapeutik
c. Nyeri ekstermitas menurun 1. Hindari pemasangan infus atau
d. Turgor kulit membaik pengambilan darah di area
e. Tekanan darah sistolik keterbatasan perfusi.
membaik 2. Lakukan pencegahan infeksi
f. Tekanan darah diastolik 3. Lakukan perawatan kaki dan kuku
membaik 4. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Anjurkan berlahraga rutin
2. Anjarkan program dietbuntuk
memperbaiki sirkulasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

KASUS :
Pada tanggal 6 April 2021 pukul 09.00 WIB, Ny. Y berusia 25 tahun akibat ditinggal
suaminya nekat mencoba bunuh diri dengan cara meminum PCT 500 mg (5 tablet) yang
dicampur dengan minuman bersoda dan komik. Keluarga membawa Ny. Y ke IGD Rs. Tj.
Lalang dengan keluhan mual muntah >7x berisi cairan berwarna hijau kekuningan, darah (-)
sejak 1 jam sebelum masuk RS, pasien mengalami nyeri kepala, berkeringat, dan penurunan
kesadaran. Dari hasil pengkajian didapatkan TD 80/70 mmHg, RR : 29x/menit, HR : 145
x/menit, S: 34 ˚C, GCS: 11, E: 3, V: 2, M: 6, akral teraba dingin, kulit tampak pucat, CRT >2
detik, SPO2 : 83%

A. Pengkajian

FORMAT PENGKAJIAN

Nama Pasien : Ny. Y Umur: 25 th L/P


I. Pengkajian Primer
A (Airways) :
O Paten O Obstruksi
Jelaskan:
Tidak terdapat sumbatan jalan nafas. Tidak terdapat bunyi nafas tambahan seperti
gurling/snoring.
B (Breathing):
Pergerakan Dada : O Simetris O Asimetris
Penggunaan Otot : O Tidak ada O Ada Bantu Nafas
Jelaskan:
Pergerakan dinding dada simetris, terdapat pernafas pernafasan cuping hidung, ada
retaksi dinding dada, penggunaan otot bantu nafas.
Suara Nafas : O Vesikuler O Bronkovesikuler
Suara Nafas Tambahan : O Tidak ada O Ronchi
O Rales O Stridor O Wheezing
Batuk : O Tidak ada O Ada
O Produktif O Tidak Produktif

Keluhan Sesak Nafas : O Tidak Ada O Ada


Irama Pernafasan : O Reguler O Ireguler
Frekuensi Nafas : 29 x/menit
Jelaskan : Pasien mengalami sesak nafas, frekuensi nafas 29
x/menit dengan irama tidak teratur (cepat dan dangkal)
Alat Bantu Nafas: O Tidak Ada O Ada
Jenis : O2 (Sungkup) Aliran : 10-12 lpm
C (Circulation) :
Tekanan darah : 80/70 mmHg
Suhu : 34 °C
Frekuensi Nadi : 145 x/menit
Akral : O Hangat O Kering O Merah O Dingin O Basah
CRT : O < 2 detik O > 2 detik
Edema : O Tidak Ada O Ada
Irama jantung : O Reguler O Irreguler
EKG : O Ada O Tidak
Hasil EKG (Jelaskan) : Sinus Takikardia
Perdarahan : O Tidak Ada O Ada
Jenis :-
Terpasang CVP : O Tidak O Ya
Nilai CVP : O Normal O Meningkat
SaO2 : 83%
Lain-lain :-
D (Disability) :
Tingkat Kesadaran : somnolen Nilai GCS : 11 E:3, V:2, M:6
Pupil : Unisokor Ukuran : kanan/kiri : 2/4 mm
Kekuatan Otot : Lemah
Ekstremitas atas : 4/4
Ekstremitas bawah : 4/4
E (Exposure) :
Adanya trauma pada daerah : -
Adanya jejas/ luka pada daerah : -
Ukuran luas : ................... cm2 Kedalaman luka : ........................
Lokasi nyeri pada daerah : Kepala Lamanya nyeri : sejak 1 jam (sebelum mrs)
Skala Nyeri : 4 (sedang) Lain-lain :

II. Data Demografi


Nama Lengkap : Ny. Y Tanggal masuk RS : 06 April 2021
Tempat/tgl lahir : 04 Januari 1996 Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam Suku : Melayu
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pedagang Lama bekerja : Sejak 5 tahun lalu
Alamat : Jl. Tanjung
Sumber Informasi : Ibu Kandung

Keluarga terdekat yang dapat dihubungi:


Nama : Ny. N
Pendidikan : SMP Pekerjaan : IRT (Ibu Rumah Tangga)
Alamat : Jl. Tanjung

III. Status Kesehatan Saat Ini


Alasan Kunjungan/Keluhan Utama:
Pasien masuk IGD dengan keluhan mual muntah > 7x berisi cairan hijau kekuningan
sejak 1 jam sebelum masuk RS.
Faktor Pencetus :
Meminum PCT 500 mg ( 5 Tablet ) dicampur minuman bersoda, dan komik
Lamanya Keluhan:
Sejak 1 jam sebelum masuk RS Mendadak / Bertahap
Faktor yang Memperberat:
Pasien mengalami nyeri kepala, berkeringat, dan penurunan kesadaran
Upaya yang dilakukan untuk Mengatasi:
Keluarga membawa Ny. Y ke IGD RS. Tj Lalang
Diagnosa Medik: Overdosis PCT / Toksisitas PCT (Asemtaminofen)
IV. Riwayat Kesehatan yang Lalu
a. Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya mengatasi) :
Keluarga mengatakan pasien pernah mengalami demam, batuk, pilek, dan tidak
pernah di rawat di rumah sakit
b. Alergi : Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi
(makanan/obat)
c. Kebiasaan : merokok / kopi / alkohol / lain-lain : Tidak ada
d. Obat-obatan yang sering digunakan (nama dan frekwensi) : Tidak ada

V. Pengkajian Pola Fungsi Gordon


1) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
a. Merokok? Alkohol? : Tidak
b. Pemeriksaan Kesehatan Rutin? : -
c. Pendapat Pasien tentang Keadaan Kesehatannya Saat Ini :
Pasien menyadari kalau sakitnya ini disebabkan oleh tindakan nekat bunuh diri
yang dilakukannya
d. Persepsi Pasien tentang Berat Ringannya Kesehatan :
Pasien dan keluarga bersedia untuk dilakukan pengobatan
e. Persepsi tentang Tingkat Kesembuhan :
Pasien berharap bisa cepat sembuh, dan menyesali perbuatannya.
2) Pola Nutrisi-Metabolik
Berat badan : 55 Kg Tinggi Badan : 160 Cm
Frekwensi makan : Sebelum sakit : 3 x sehari Setelah sakit : 3x sehari
Jenis makanan : nasi, lauk-pauk, sayur
Makanan yang disukai : menyukai makanan yang digoreng
Makanan yang tidak disukai : -
Nafsu makan dalam 6 bulan terakhir : Baik /Sedang /Kurang
Perubahan berat badan 6 bulan terakhir : 1 Kg Bertambah / Berkurang
3) Pola Eliminasi
 Buang Air Besar
Frekwensi : 1x sehari Waktu :-
Warna : Kuning Konsistensi : Lunak
Kesulitan : Sebelum sakit : Tidak Ada Setelah sakit : Dibantu keluarga
 Buang Air Kecil
Frekwensi : 5-6 kali sehari Warna : Kuning Jernih
Kesulitan : Sebelum sakit : Tidak Ada Setelah sakit : Dibantu keluarga/Pispot
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Kegiatan dalam Pekerjaan : Klien bekerja sebagai pedagang
Olah Raga Rutin (Jenis dan Frekwensi) : Tidak ada
Kegiatan di Waktu Luang : Menonton TV
Keluhan dalam Beraktivitas :
 Sebelum Sakit : Tidak ada
 Setelah Sakit : Kelemahan Aktivitas selama di RS dibantu keluarga
 Tingkat Ketergantungan Pasien :
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan dan minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Berpindah √
Keterangan : 0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: Dibantu Orang Lain,
3: Dibantu Orang Lain dan Alat, 4: Tergantung Total
5) Pola Kognitif dan Persepsi
Pasien mengalami nyeri kepala/pusing (skala:4/sedang), pasien mengalami
gangguan sensori penglihatan yaitu pandangannya sedikit kabur.
6) Pola Persepsi-Konsep diri
 Bagaimana Klien Memandang Dirinya :
Pasien menyadari bahwa ia adalah seorang istri dan sudah menjalankan tugas
layaknya seorang istri
 Hal-hal apa yang disukai klien mengenai dirinya : -
 Apakah Klien dapat Mengidentifikasi Kekuatan Antara Kelemahan yang Ada
pada Dirinya :
Pasien menyadari dirinya seperti kehilangan arah ketika tahu suaminya ingin
meninggalkannya, dan pasien sekarang sadar perbuatan nekat bunuh dirinya
merupakan perbuatan yang salah.
 Hal-hal apa yang Dapat Dilakukan Klien Secara Baik:
Pasien ingin lebih bisa berpikiran dan bertindak positif untuk bisa terus
melanjutkan hidup.
7) Pola Tidur dan Istirahat
Lama tidur : 5-7 Jam Waktu : ± 21.00-05.00
Kesulitan dalam Hal Tidur : Tidak Ada
8) Pola Peran-Hubungan
 Peran Pasien dalam Keluarga dan Masyarakat :
Pasien berperan sebagai istri bagi suaminya, Ibu dari satu orang anaknya.
 Apakah Pasien Punya Teman Dekat :
Pasien menganggap Ibunya lah orang terdekatnya.
 Siapa yang Dipercaya untuk Membantu Pasien Jika Ada Kesulitan :
Pasien menganggap keluarganya lah yang bisa membantunya
 Apakah Pasien Ikut dalam Kegiatan Masyarakat? Bagaimana Keterlibatannya?
Pasien jarang berkegiatan sosial dengan masyarakat, hanya sesekali turut serta
seperti acara pernikahan/syukuran warga.
9) Pola Seksual-Reproduksi
Masalah Menstruasi : Tidak Ada
Papsmear Terakhir : -
Perawatan Payudara Setiap Bulan : -
Apakah ada kesukaran dalam berhubungan seksual : Tidak Ada
Apakah penyakit sekarang menganggu fungsi seksual : Ya, pasien masih memiliki
kelemahan dalam beraktivitas, saat ini suaminya sedang tidak di rumahnya.
10) Pola Toleransi Stress-Koping
 Masalah utama Selama Masuk RS (keuangan,dll) : Tidak ada
 Kehilangan/Perubahan yang Terjadi Sebelumnya :
Pasien merasa kehilangan suaminya sehingga terpikirkanlah percobaan bunuh
diri tersebut.
 Pandangan Terhadap Masa Depan :
Pasien sempat hilang arah, setelah dinasehati keluarga dan petugas pasien mau
menata kehidupannya kembali
 Koping mekanisme yang digunakan saat terjadi masalah : Berdiam diri.
11) Pola Nilai-Kepercayaan
Pasien beragama Islam, biasanya sebelum sakit pasien lebih sering menjalankan
ibadah shalat 5 waktu. Saat sakit pasien tidak menjalankan ibadah.

VI. Riwayat Keluarga

Keterangan :
: Laki-laki : Meninggal

: Perempuan : Pasien

Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit
kronis seperti diabetes, hipertensi, jantung.

VII. Pengkajian Sekunder


1) Kepala
Inspeksi / Palpasi : Normochepal, rambut lebat dan berwarna hitam, bersih.
Keluhan : Nyeri kepala/pusing (skala:4/sedang)
2) Mata
Fungsi Penglihatan : Sedang Palpebra : Terbuka / Tertutup
Ukuran pupil : Kanan/Kiri 2/4 mm Isokor / Unisokor
Konjungtiva : Anemis Sklera : Unikterik
Edema Palpebra : Tidak ada
Keluhan :-
3) Telinga
Fungsi Pendengaran : Baik Fungsi Keseimbangan : Baik
Keluhan : Tidak ada
4) Hidung dan sinus
Inspeksi : Bentuk hidung simetris, tidak terdapat polip pada hidung
Pembangkakan : Tidak ada Pendarahan : Tidak ada
Keluhan : Tidak ada
5) Mulut dan tenggorokan
Inspeksi : Mulut tampak pucat, ada ulserasi/pecah-pecah
Keadaan gigi : Gigi lengkap, karies gigi sedikit
Keadaan membran mukosa : kering
Kesulitan menelan : Tidak ada
6) Leher
Trachea terletak pada tempatnya, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
7) Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri/kanan, retraksi dinding dada (+/+), otot bantu
nafas (+)
Palpasi : Tactil fremitus simetris kiri/kanan
Perkusi Paru : Sonor
Auskultasi Paru : Suara nafas vesikuler, cepat dan dangkal, RR 29 x/menit,
tidak ada suara nafas tambahan.
Perkusi Jantung : Pekak
Mode ventilator :-
Deskripsi ventilator :-
Auslkultasi Jantung : S1 Lup (saat katup mitral dan trikuspidalis menutup), S2 Dup
(saat aorta dan pulmonal menutup)
Gambaran EKG : Sinus Takikardia
8) Sirkulasi
Frekwensi nadi : 145 x/menit Sa O2 : 83%
Tekanan darah : 80/70 mmHg CRT >2 detik
Suhu tubuh : 34 ˚C
Sianosis : Bibir / kuku Pucat : Bibir dan kulit
Turgor : Menurun
9) Abdomen
Inspeksi : Bersih, tidak asites, tidak ada lesi dan nodul, tidak ada luka memar
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada abdomen
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus 12x/menit
Jenis diet :- Nafsu makan : Sedang
10) Ekstremitas
Tidak terdapat lesi, jejas, hematoma, akral teraba dingin, berkeringat, kekuatan otot
lemah, pada ekstremitas atas kanan terpasang jalur IV.

VIII. Data Laboratorium


HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 11 13-17 gr/dL
Leukosit 11.000 4.000-11.000/mm3
Eritrosit 4.14 4-5.5 juta/ mm3
Trombosit 416.000 150.000-400.000/ mm3
Hematokrit 39 35-47%
Hitung jenis Leukosit
Basophil 0 0-1%
Eosinophil 0 1-3%
Stab 0 2-5%
Segmen 68 50-70%
Limfosit 17 20-40%
Monosit 4 2-8%
MCV 86 80-100 fL
MCH 28 27-34 pg
MCHC 33 32-36 g/dL
RDW 15 11-16%
Ureum 30 8-35 mg/dL
Kreatinin 1.2 0.6-1.2 mg/dL
Gula Darah Sewaktu 122 80-140 mg/dL
Ph 7.34 7.35-7.45
PCO2 50 35-45 mmHg
PO2 78 80-100 mmHg
HCO3 23 22-26 mEq/L
BE 2 0±2 mEq/L

IX. Hasil Pemeriksaan Diagnostik Lain


EKG : Sinus Takikardia

X. Pengobatan
 Terapi Oksigen 10-12 Liter
 IVFD NaCl 0.9% 500 mL
 Metoclopramide 10 mg/IV
 IV Antidot (N-asetilsistein) 150 mg/kg dalam 200 mL pengencer selama 1 jam
pertama, dilanjutkan dosis 50 mg/kg dalam pengencer 500 mL selama 4 jam,
kemudian dosis 100 mg/kg dalam 1 L pengencer selama 16 jam kedepan

B. Diagnosa Keperawatan
ANALISA DATA
No Data Fokus Masalah Etiologi
1 Ds:-
Do:
1. Klien tampak sesak
(RR:29x/menit)
2. Takikardia
(145x/menit)
3. Warna kulit tampak
Perubahan membrane
pucat Gangguan pertukaran gas
alveolus-kapiler
4. Akral teraba dingin
5. Kesadaran menurun
6. terdapat pernafasan
cuping hidung
7. Irama pernafasan
ireguler
8. SPO2 83%
2 Do: keluarga mengatakan
pasien mengalami untah
sebanyak 7 kali
Ds:
1. Klien tampak lemah
2. Frekuansi nadi
Hipovolemia Kehilangan cairan aktif
meningkat
3. Nadi teraba lemah
4. Tekanan darah
menurun (80/70
mmHg)
5. Aklral dingin
Ds: -
Do:
1. CRT >3 detik
Perfusi perifer tidak
3 2. Akral teraba dingin Kekurangan volume cairan
efektif
3. Warna kulit pucat
4. Nadi perifer
menurun

Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membrane alveolus –Kapiler
2) Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
3) perfusi perifer tidak efektif b.d kekurangan volume cairan

C. Perencanaan Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 Pola Nafas Tidak SLKI : Pola Nafas SIKI : Pemantauan Respirasi
Efektif Berhubungan Setelah dilakukan Observasi :
Dengan Efek Agen intervensi keperawatan 1. Monitor pola nafas,
Farmakologis Diharapkan Pola Nafas Monitor saturasi oksigen
Gejala dan tanda mayor Menurum 2. Monitor frekuensi, irama,
Subjektif: Dengan Kriteria Hasil : kedalaman, dan upaya
1. Dipsnea 1. Dipsnea menurun bernafas
Objektif : 2. Cuping hidung 3. Monitor adanya
1. Penggunaan otot menurun sumbatan jalan nafas
bantu nafas 3. Irama pernafasan Terapeutik :
2. Pola nafas ireguler menuru 1. Atur interval pemantauan
abnormal 4. Pola nafas abnormal respirasi sesuai kondisi
Gejala dan tanda minor membaik pasien
Subjektif: Edukasi:
(tidak tersedia) 1. Jelaskan tujuan dan
Objektif: prosedur pemantauan
1. Pernafasan 2. Informasikan hasil
cuping hidung pemantauan
SIKI : Terapi Oksigen
Observasi :
1. Monitor kecepatan aliran
oksigen
2. Monitor posisi alat terapi
oksigen
3. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
2. Berikanoksigen jika perlu
2 Hipovolemia SLKI : Status Cairan SIKI : Manajemen
Berhubungan Dengan Membaik Hipovolemia
Kehilangan Cairan Setelah dilakukan Observasi :
Aktif intervensi keperawatan 1. Periksa tanda dan gejala
Gejala dan tanda mayor Diharapkan Status hipovolemia (mis.
Subjektif: Cairan Membaik frekuensi nadi
(tidak tersedia) Dengan Kriteria Hasil : meningkat, nadi teraba
Objektif : 1. Frekuensi nadi lemah, tekanan darah
1. Frekuensi nadi menurun menurun, tekanan nadi
meningkat 2. Nadi terasa menyempit,turgor kulit
2. Nadi teraba membaik menurun, membrane
lemah 3. Tekanan darah mukosa kering, volume
3. Tekanan darah meningkat urine menurun,
menurun hematokrit meningkat,
haus dan lemah)
Gejala dan tanda minor 2. Monitor intake dan
output cairan
Subjektif:
1. Klien tampak lemah Terapeutik :
2. Menggeluh haus 1. Hitung kebutuhan cairan
Objektif: 2. Berikan posisi modified
trendelenburg
3. Berikan asupan cairan
oral
Edukasi:
1. Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
2. Anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
cairan IV issotonis (mis.
cairan NaCl, RL)
2. Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis (mis.
glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
3. Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian
produk darah
SIKI : Pemanatauan Cairan
Observasi
1. Monitor frekuensi dan
kekuatan nadi
2. Monitor tekanan darah
3. Monitor waktu pengisian
kapiler
4. Monitor elastisitas atau
turgor kulit
5. Monitor jumlah, waktu
dan berat jenis urine
6. Monitor kadar albumin
dan protein total
7. Identifikasi tanda-
tanda hipovolemia (mis.
Frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor kulit
menurun, membrane
mukosa kering, volume
urine menurun,
hematocrit meningkat,
haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat
badan menurun dalam
waktu singkat)
8. Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia mis.
Dyspnea, edema perifer,
edema anasarka, JVP
meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojogular positif,
berat badan menurun
dalam waktu singkat)
Terapeutik
1. Atur interval waktu
pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
3 Perfusi Perifer Tidak SLKI : Perfusi perifer SIKI : Perawatan Sirkulasi
Efektif Berhubungan membaik Observasi :
Dengan Kekurangan Setelah dilakukan 1. Periksa sirkulasi perifer
Volume Cairan intervensi keperawatan 2. Identifikasi faktor risiko
Gejala dan tanda mayor Diharapkan Perfusi gangguan sirkulasi
Subjektif: perifer kembali menjadi 3. Monitor panas,
(tidak tersedia) membaik kemerahan, nyeri, atau
Objektif: Dengan Kriteria Hasil : bengkak pada ekstermitas
1. Penggisian 1. Denyut nadi Terapeutik :
kapiler > 3 detik perifer meningkat 1. Hindari pemasangan
2. Nadi perifer 2. Warna kulit pucat infus atau
menururn atau membaik pengambilan darah di
tidak teraba 3. Pengisian kappiler area keterbatasan
3. Akral teraba membaik perfusi
dingin 4. Perfusi jaringan 2. Hindari penggukuran
4. Warna kulit meningkat tekanan darah pada
pucat 5. Tekstur membaik ektremitas dengan
5. Turgor kulit keterbatasan perfusi
menurun 3. Hindari penekanan
dan pemasangan
Gejala dan tanda minor tourniquet pada area
yang cedera
Subjektif: 4. Lakukan pencegahan
1. Parastesia infeksi
2. Nyeri ektremitas 5. lakukan hidarsi
(klaudikasi Edukasi :
intermiten) 1. Anjurkan program diet
Objektif: untuk memperbaiki
1. Edema sirkulasi
2. Penyembuhan 2. Informasikan tanda dan
luka lambat gejala darurat yang harus
3. Indeks ankle-
brachial < 0,90
4. Bruit Femoral
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Overdosis merupakan keadaan dimana seseorang mengalami gejala terjadinya
keracunan yang mengakibatkan ketidaksadaran akibat obat yang melebihi dosis yang bisa
diterima oleh tubuh. Overdosis obat sering disangkutkan dengan terjadinya heroin
digunakan bersama alcohol.
Keracunan obat dapat terjadi, baik pada penggunaan untuk maksud terapi maupun
pada penyalahgunaan obat.Keracunan pada penggunaan obat untuk maksud terapi dapat
terjadi karena dosis yang berlebih (overdosis) baik yang tidak disengaja maupun
disengaja dengan maksud bunuh diri, karena efek samping obat yang tidak diharapkan
dan sebagai akibat interaksi beberapa obat yang digunakan secara bersama-sama
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetikolinesterase tubuh
(KhE).Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid(AKH)
dengan jalan mengikat Akh – KhE yang bersifat inaktif.Bila konsentrasi racun lebih
tinggi dengan ikatan IFO- KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan
Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala gejala ransangan Akh yang
berlebihan,yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan
stimulasi kemudian depresi SSP )
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktifitas kelenjar ludah,keringat
dan gangguan saluran pencernaan,serta kesukaran bernafas. Gejala ringan meliputi :
Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut, tremor pada lidah,kelopak mata,pupil
miosis. Pola asuhan keperawatan kegawatdaruratan sama dengan asuhan keperawatan
secara umum sama, yaitu proses keperawatan dari tahap pengkajian hingga evaluasi.
Namun pada asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pengkajian dilakukan survey
primer dan survey sekunder

B. Saran
Diharapkan pembaca memahami dengan baik proses-proses keperawatan yang ada di
kegawatdaruratan. Menilik proses pembuatan asuhan keperawatan kegawatdaruratan yang
sedikit berbeda dengan bidang keperawatan yang lain, maka diperlukan pembelajaran
yang mandalam terkait semua aspek yang ada di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Brester Jay Micheal. (2018). Manual Kedokteran Darurat.Jakarta:EGC


Corwin, Elizabeth. J. (2011). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Djuanda, Adi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Fitria, Nur Aryani, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Overdosis. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, diakses melalui
file:///C:/Users/win%2010/Downloads/toaz.info-askep-overdosisdocx-
pr_ed83b937494b03031a8d9e669e9ffbdd.pdf pada tanggal 10 April 2021
Hamzah, Mochtar. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Hilman Rasyidi Lukman. (2020). Penanganan Adiksi Napza Bagi Pembimbing
Kemasyarakatan: RumahBunyi. Hal 32
Hilman Rasyidi Lukman. (2020). Penanganan Adiksi Napza Bagi Pembimbing
Kemasyarakatan: RumahBunyi. Hal 32
Krisanty, dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info Media.
Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi Keenam David Rubenstein, David Wayne, John
Bradley. Copyright @ 2003 by Blackwell Science Ltd. (Original ISBN 0-632-06505-
2.). Translation copyright @ 2007 by Penerbit Erlangga.
https://books.google.com/books/about/Kedokteran_Klinis_Ed_6.html?
hl=id&id=lhDl8_eIsiEC
Linden,C.H., Burns,M.J., “Poisoning and Drug Overdosage” in Harrison’s Principles of
Internal Medicine Vol.2, 16th edition, International Edition, McGraw-Hill, 2005
M.A. Schumacher, A.I. Basbaum. R. K. Naidu in Basic & Clinical Pharmacology, ed B. G.
Katzung, A. J. Trevor, McGraw-Hill, New York, 2015, pp. 351-551. Di akses
tanggal 08 April 2021 melalui
(https://accesspharmacy.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=1193&Sectionid=69108439)
Micheal, Jay Brester. (2018). Manual Kedokteran Darurat.Jakarta:EGC
Nur, Aryani Fitria , dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Overdosis. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, diakses melalui
file:///C:/Users/win%2010/Downloads/toaz.info-askep-overdosisdocx
pr_ed83b937494b03031a8d9e669e9ffbdd.pdf pada tanggal 10 April 2021
Pamela. (2017). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta:EGC
Pamela. (2017). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta:EGC
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria
Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Price dan Wilson. (2012). Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi 2.
Jakarta: EGC
Rull, G. Patient UK (2017). Arterial Blood Gases.
Schiller Elizabeth Y., Amandeep Goyal, Oren J. Mechanic.2020. Opioid Overdose. StatPearls
Publishing LLC : USA. Di download tanggal 08 April 2021
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470415/)
Sitepu, T. I. Y. (2019). Proses Dasar Keperawatan Pada Pasien Gawat Darurat.
Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah, vol: 3.
Jakarta: EGC.
Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai