DISUSUN OLEH :
Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa karna atas berkat rahat dan hidayahnya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan diagnosa intoksikasi opiat” ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini selain dari hasil kerja kelompok, kami juga
mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, dan pada kesempatan kali ini kami ingin
mengucapkan banyak terimaksih kepada :
1. Ns. Maria Imaculata Ose.S.Kep.M.Kep selaku dosen pengampuh mata kuliah
keperawatan gawat darurat yang telah meluangkan Ilmu,waktu,kritik & sarannya
dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai pada waktunya.
2. Dosen Fasilitator Ns. Hendy Lesmana.S.Kep.M.Kep yang telah membimbing
kelompok kami sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Keluarga tercinta kami yang membantu dalam doa dan dukungan semangat sehingga
makalah ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Pemilihan judul tersebut merupakan salah satu tugas mata muliah keperawatan
gawat darurat, Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dalam
penyususnan, baik dari segi (ejaan yang disempurnakan) EYD, kosa kata, tata
Bahasa,etika maupun isi. Oleh karnanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan sbagai bahan evaluasi.
Demikian makalah ini dapat di terima sebagai ide / gagasan yang menambah
kekayaan intelektual bangsa. Terima kasih & Assalamualaikum Wr.Wb
HALAMAN COVER.........................................................................i
HALAMAN JUDUL.........................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................
B. Tujuan penulisan ........................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Medis
1. Pengertian............................................................
2. Etiologi................................................................
3. Manifestasi Klinis................................................
4. Komplikasi...........................................................
5. Pemeriksaan Penunjang.......................................
6. Penatalaksanaan...................................................
B. Kosep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian...........................................................
2. Diagnosa Keperawatan........................................
3. Rencana Keperawatan.........................................
4. Implementasi Keperawatan.................................
5. Evaluasi Keperawatan.........................................
C. Analisis Jurnal
1. Latar belakang jurnal....................................................
2. Metode junal.................................................................
3. Hasil dan pembahasan jurnal........................................
4. Kesimpulan jurnal.........................................................
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus ini adalah untuk memperoleh gambaran nyata dalam:
1. Melakukan pengkajian Keperawatan Pada Pasien Intoksikasi Opiat
2. Menentukan diagnosa keperawatan Pada Pasien Intoksikasi Opiat
3. Merencanakan tindakan keperawatan Pada Pasien Intoksikasi Opiat
4. Melaksanakan tindakan keperawatan Pada Pasien Intoksikasi Opiat
5. Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan Pada
Pasien Intoksikasi Opiat
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Definisi
a) Opioid/opiate
Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik
yang dapat menduduki reseptor opioid ditubuh manusia. Istilah opiat
digunakan untuk semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang
menempati dan bekerja pada reseptor opioid. Opioid berawal dari tumbuhan
papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan digunakan secara luas
pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri
berasal dari bahasa yunani yang berarti jus (Angkejaya, 2018).
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit
yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan
depresi pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang
diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula,
protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun
alkaloid yang terkandung antara lain morfin (10% -15%), kodein (1% -3%),
noskapin (4% - 8%), papaverin (1% - 3%), dan thebain (1% - 2%). Beberapa
dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak digunakan untuk pengobatan
diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan
noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin)(Angkejaya,
2018).
Opiat/opioid diklasifikasikan berdasarkan efek pada reseptornya.
Opiat/opioid yang setelah berikatan dengan reseptor mengaktifkan
pensinyalan sekunder dinamakan agonis; mengaktifkan tetapi tidak sekuat
agonis disebut agonis parsial; dan yang tidak memberikan efek atau
memberikan efek yang berlawanan dengan agonis digolongkan sebagai
antagonis. Pembagiaannya adalah sebagai berikut (Richard & Howland,
2006):
1) Agonis opioid kuat: morfin, heroin, meperidin, metadon, alfentanil,
fentanil, remifentanil, sufentanil
2) Agonis opioid rendah-sedang: kodein, oksikodon, propoksifen
3) Agonis parsial opioid: buprenorfin, butorfanol, nalbufin, pentazosin
4) Antagonis opioid: nalokson, naltrekson
b) Intoksikasi
Zat adiktif dapat dikatakan suatu zat yang resiko pemakainnya dapat
menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan psikologis
yang panjang. Jika individu mengkonsumsi zat tersebut secara berlebihan
akan menimbulkan kadar zat yang semakin meningkat sehingga dapat terjadi
suatu ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh dan biasanya disebut dengan
“keracunan”, perubahan perilaku, memori, kognitif, alam perasaan dan
kesadaran yang disebut dengan intoksikasi (Rinenggo, 2017)
2. Etiologi
Penyebab overdosis opioid dapat meliputi:
a) Komplikasi penyalahgunaan zat
b) Overdosis yang tidak disengaja
c) Overdosis yang disengaja
d) Kesalahan obat terapeutik
Risiko overdosis opioid meningkat sebagai berikut:
a) Mereka yang mengambil dosis yang meningkat
b) Kembali digunakan setelah penghentian
c) Mereka dengan kondisi medis dan kejiwaan yang parah seperti depresi, HIV,
dan penyakit paru-paru / hati
d) Obat yang menggabungkan opioid dan obat penenang
e) Jenis kelamin laki-laki
f) Usia (20 sampai 40 tahun)
g) Ras non-Hispanik kulit putih
Lebih dari 1,5 juta kunjungan gawat darurat terkait dengan analgesik opioid.
Opioid adalah penyebab umum kematian akibat overdosis (Schiller, Goyal, &
Mechanic, 2020).
3. Manifestasi Klinis
Penggunaan opioid dapat menyebabkan kematian akibat efek opioid pada bagian
otak yang mengatur pernapasan. Overdosis opioid dapat diidentifikasi dengan
kombinasi tiga tanda dan gejala (WHO, 2019):
a) Pupil bulat kecil (Pinpoint pupil);
b) Ketidaksadaran; dan
c) Kesulitan bernapas.
Manifestasi klinis menurut Iskandar (2011) :
a) Perubahan psikologis dan perilaku yang bermasalah dan nyata secara klinis
(misalnya euforia diikuti dengan apati, disforia, agitasi psikomotor atau
retardasi psikomotor, dan penilaian yang terganggu) yang terjadi saat atau
segera setelah penggunaan opiat/opioid
b) Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil yang disebakan oleh anoksia akibat
penggunaan dosis berlebih yang parah), dan satu atau lebih tanda atau gejala
yang terjadi selama atau segera setelah penggunaan opiat/opioid:
1) Mengantuk atau koma
2) Bicara cadel
3) Gangguan perhatian dan memori
c) anda dan gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis lainnya dan tidak dapat
diterangkan oleh gangguan mental lainnya, termasuk intoksikasi oleh zat
lainnya
4. Komplikasi
Opiat juga dikaitkan dengan beberapa komplikasi lain selain efek samping
pernapasan dan SSP yang biasa (Schiller et al., 2020).
a) Cedera Paru Akut
Cedera paru akut diketahui terjadi setelah overdosis heroin. Namun,
cedera paru akut juga dapat terjadi setelah overdosis metadon dan propoksifen
dan secara umum terjadi pada pasien yang kedaluwarsa akibat opiat dosis
tinggi. Mengenai bagaimana opiat ini menyebabkan cedera paru belum
sepenuhnya dipahami, tetapi hasil akhirnya adalah hipoventilasi dan hipoksia.
Secara klinis, cedera paru yang diinduksi heroin akan muncul dengan tiba-tiba
dispnea, sputum berbusa, sianosis, takipnea, dan rales- fitur yang konsisten
dengan edema paru. Cedera paru akut juga diketahui terjadi pada anak-anak
yang menelan opiat dosis tinggi. Cedera paru akut sangat mirip dengan ARDS
dalam presentasi, dan kebanyakan kasus sembuh dengan manajemen saluran
napas dan oksigen yang agresif. Obat yang biasa digunakan untuk mengatasi
edema paru tidak digunakan, dan pada kenyataannya, penggunaan diuretik
dapat memperburuk hipotensi.
b) Infeksi
Pada individu yang menggunakan opioid intravena, komplikasi termasuk
abses, selulitis, dan endokarditis. Organisme paling umum yang terlibat adalah
bakteri gram positif seperti Staphylococcus dan Streptococci. Jika bakteri
memasuki sirkulasi sistemik, risiko abses epidural dan osteomielitis vertebra
merupakan komplikasi potensial lainnya. Pasien ini mungkin datang dengan
demam dan nyeri punggung terus menerus. Beberapa penyalahguna IV
diketahui menyuntikkan opiat langsung ke leher, dan ini dapat menyebabkan
tromboflebitis vena jugularis, sindrom Horner, dan bahkan pseudoaneurisma
arteri karotis. Baik emboli perifer dan paru telah dilaporkan pada pengguna
narkoba IV. Suntikan yang tidak disengaja ke dalam saraf juga dilaporkan
menyebabkan neuropati permanen.
Endokarditis adalah komplikasi serius dari penyalahgunaan obat intravena.
Seringkali orang-orang ini menggunakan campuran obat-obatan terlarang dan
jarum suntik kotor. Diagnosis endokarditis menular seringkali sulit karena
gejala awalnya tidak jelas. Meskipun pada kebanyakan kasus, katup jantung
sisi kanan terpengaruh, terkadang katup sisi kiri juga mungkin terlibat. Katup
tersering yang terlibat pada pengguna obat intravena adalah katup trikuspid.
Sering muncul dengan demam, malaise, dan murmur baru. Pada beberapa
pasien, emboli paru septik rekuren mungkin satu-satunya gambaran yang
muncul. Organisme yang paling umum terlibat dalam endokarditis sisi kanan
adalah Staphylococcus aureus, tetapi endokarditis sisi kiri mungkin bersifat
polimikroba dan termasuk Streptococcus, E. coli, Pseudomonas atau
Klebsiella. Pada kebanyakan pasien, ketika katup sisi kiri terlibat, gejala dan
tanda biasanya lebih jelas dibandingkan dengan keterlibatan sisi kanan.
Manifestasi lain dari penyalahgunaan opioid dapat berupa pneumonia
berulang, dan dalam beberapa kasus, pneumonia aspirasi juga dapat terjadi
dengan individu tidak sadar.
c) Kejang
Opiat diketahui dapat meningkatkan risiko kejang, terutama obat-obatan
seperti propoksifen, meperidin, pentazosin, fentanil intravena, dan heroin.
Orang tersebut mungkin datang dengan kejang yang berkepanjangan yang
dapat terjadi akibat hipoperfusi SSP dan hipoksia atau akibat cedera
intrakranial karena jatuh.
d) Sindrom usus narkotika
Sindrom usus narkotika adalah jenis patologi usus opiat yang ditandai
dengan episode nyeri perut sedang hingga parah yang sering terjadi yang
memburuk dengan peningkatan atau dosis opiat yang berkelanjutan. Sindrom
usus narkotika tampaknya terjadi pada orang yang tidak memiliki kelainan
usus sebelumnya dan merupakan respons maladaptif. Sindrom ini juga dapat
dikaitkan dengan muntah intermiten, perut kembung, dan sembelit. Makan
selalu memperburuk gejala, dan kondisinya bisa berlangsung selama
berharihari atau berminggu-minggu. Anoreksia dapat menyebabkan
penurunan berat badan. Ada pengosongan lambung yang tertunda dan transit
usus. Sindrom ini sering disalahartikan sebagai obstruksi usus besar. Kunci
diagnosisnya adalah mengenali dosis opiat yang terus meningkat dan terus
meningkat yang memperburuk nyeri perut, alih-alih meredakan nyeri.
Pengobatan sindrom usus narkotika adalah beberapa psikoterapi yang
dikombinasikan dengan pengurangan atau penghentian opioid. Kunci
keberhasilan pengobatan adalah mengembangkan hubungan yang kuat antara
pasien-dokter dan kepercayaan dengan pasien; narkotik harus ditarik secara
bertahap, dan perawatan nonfarmakologis lainnya digunakan untuk mengatasi
rasa sakit.
5. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium Pasien dengan overdosis obat biasanya menjalani
beberapa pemeriksaan penunjang. Skrining obat sudah tersedia tetapi
seringkali tidak mengubah manajemen awal kasus langsung. Skrining obat
bila dilakukan pada urin dan cukup sensitif. Dalam kebanyakan kasus, hasil
opiat positif akan muncul bahkan 48 jam setelah terpapar. Pada pasien dengan
toksisitas opiat atau overdosis, pemeriksaan darah berikut biasanya dilakukan:
1) Jumlah sel darah lengkap
2) Panel metabolik yang komprehensif
3) Tingkat kreatin kinase
4) Penentuan gas darah arteri
b) Imaging
1) Jika ada cedera paru-paru yang dicurigai, X-ray dada harus dilakukan
2) Jika pasien dicurigai sebagai body packer (menelan paket obat-obatan
terlarang yang dibungkus), maka harus dilakukan rontgen perut. Dalam
beberapa kasus, seseorang mungkin menelan paket untuk
menyembunyikan bukti dari penegak hukum. Dalam kasus seperti itu,
paket tidak disiapkan dengan baik, dan orang-orang ini berisiko
mengalami keracunan parah jika terjadi kebocoran di dalam usus.
c) Elektrokardiografi
EKG direkomendasikan pada semua pasien dengan dugaan overdosis
opioid. Coingestant seperti trisiklik berpotensi menyebabkan aritmia (Schiller
et al., 2020).
6. Penatalaksanaan
Penanganan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya efek
yang lebih serius meskipun overdosis opioid belum menimbulkan tanda dan
gejala. Penangnan yang bisa dilakukan berupa: (Dharmayuda, 2017).
a) Bila pasien apnea, berikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk
menstimulasi pernafasan
b) Bila laju pernafasan ≤ 12 per menit, lakukan chin-lift, jaw-thrust kemudian
pasang ventilasi dengan bag-valve mask.
c) Berikan antidote
1) Naloxone: opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid
membalikkan dan memblok efek dari opioid dengan onset kerja1-2 menit.
Half-life 20-60 menit dengan durasi 2-3 jam.
2) Naltrexone: opioid antagonis yang lebih baru, half-life lebih lama dari
naloxone yaitu 4-8jam atau 8-12 jam. Tidak direkomendasikan untuk
pasien yang tidak sadar. Bisa digunakan untuk opioid withdrawal
3) Methadone: golongan narkotika kerja panjang yang sering digunakan
untuk melemahkan gejala withdrawaldan biasanya digunakan untuk opioid
dependence atau opioid addiction.
d) Menggunakan arang aktif (activated charcoal/Norit): Dilakukan dalam waktu
1 jam pertama sebagai GI dekontaminasi jika pasien diketahui intoksikasi
dengan cara mengkonsumsi opioid secara oral
e) Kumbah lambung (Whole-bowel irrigation): bisa dipertimbangkan dilakukan
untuk menghilangkan bahan aktif yang ada pada pencernaan.
1. Pengkajian Keperawatan
a) Identitas klien yang meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, umur,
alamat, asal kota dan daerah, suku bangsa, nama orang tua dan pekerjaan orang
tua.
b) Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: penyebab utama klien dibawa kerumah sakit. Ada tidaknya
penurunan kesadaran, gangguan pernapasan, musl, muntah
2) Riwayat kesehatan saat ini: jenis opioid yang digunakan, berapa lama
diketahui setelah mengonsumsi opioid, ada masalah lain seperti gangguan
kejiwaan
3) Riwayat penyakit dahulu: ada tidaknya penyakit yang membutuhkan
pengobatan dengan opioid, antidepresan, dan sebagainya
4) Kondisi lingkungan: pergaulan, kelurga atau teman yang mengonsumsi
obat-obatan
c) Pemeriksaan fisik Secara umum, pasien dengan overdosis opiat mungkin lesu
atau memiliki tingkat kesadaran yang tertekan. Overdosis opiat juga akan
menyebabkan depresi pernapasan, depresi sistem saraf pusat (SSP), dan miosis.
Namun, penting bagi semua petugas layanan kesehatan untuk menyadari bahwa
miosis tidak secara universal terjadi pada semua pasien dengan overdosis opiat
dan ada banyak penyebab lain dari depresi pernapasan. Gambaran lain dari
overdosis opiat termasuk euforia, kantuk, perubahan status mental, bekas jarum
baru, dan kejang.
1) Kulit Pemeriksaan ekstremitas dapat menunjukkan bekas jejak jarum jika
opiat intravena disalah gunakan. Morfin dan heroin juga disuntikkan secara
subkutan oleh banyak pecandu. Dalam beberapa kasus, minyak opium
mungkin terhirup, dan individu tersebut mungkin juga memiliki tanda
bercak di tubuh dari penggunaan fentanyl. Kebanyakan opiat dapat
menyebabkan pelepasan histamin yang dapat menyebabkan gatal, kulit
memerah, dan urtikaria.
2) Paru-paru Dalam beberapa kasus toksisitas morfin, gangguan pernapasan
dan hipoksia sebenarnya dapat muncul dengan dilatasi pupil. Selain itu,
obatobatan seperti meperidin, morfin, propoksifen, dan difenoksilat/atropin
diketahui menyebabkan pupil titik tengah atau midriasis terang. Nafas
biasanya terganggu pada pasien dengan overdosis morfin. Seseorang dapat
mengamati pernapasan dangkal, hipopnea, dan bradypnea. Tingkat
pernapasan mungkin 4 hingga 6 napas per menit dan dangkal. Karena opiat
juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi, beberapa orang mungkin
mengalami dispnea, mengi, dan dahak berbusa.
3) Kardiovaskular Kebanyakan opiat diketahui menyebabkan vasodilatasi
perifer, yang dapat menyebabkan hipotensi sedang hingga berat. Namun,
hipotensi ini mudah dibalik dengan perubahan posisi tubuh atau pemberian
cairan. Jika hipotensi parah dan tidak responsif terhadap cairan, maka
seseorang harus mempertimbangkan coingestants lain.
4) Gastrointestinal Mual dan muntah juga terlihat pada pasien dengan toksisitas
opiat. Pasalnya, opiat dapat menyebabkan aperistaltik lambung dan
memperlambat motilitas usus
5) eurologis Opiat memang memiliki kemampuan untuk menurunkan ambang
batas kejang, dan kejang umum dapat terjadi, terutama pada anak kecil. Hal
ini terutama disebabkan oleh eksitasi paradoks otak. Pada orang dewasa
dengan kejang, 2 opiat yang paling mungkin terkena adalah propoxyphene
atau meperidine. Dalam kasus yang jarang terjadi, gangguan pendengaran
dapat terjadi terutama pada individu yang mengonsumsi alkohol dengan
heroin. Namun, defisit pendengaran ini dapat dibalik.
d) Psikiatri
Meskipun opiat adalah depresan SSP umum, opiat dapat menyebabkan gejala
neuropsikiatri berikut: Kegelisahan, Agitasi, Depresi, Dysphoria, Halusinasi,
Mimpi buruk, Paranoia.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas
b) Hambatan pertukaran gas
c) Penurunan curah jantung
d) Mual
e) Risiko syok
f) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
g) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
h) Risiko jatuh
3. Rencna keperawatan
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan
klien. Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat melakukan penyusunan rencana keperawata, fokus
utamanya dari komponen implementasi ini adalah dimana pemberian asuhan
keperawatan yang aman dan individu dengan pendekatan multifokal, implementasi
perencanaan berupa penyelesaian tindakan yang digambarkan dalam rencana
tindakan. Tindakan dapat pula dilaksanakan oleh perawat, klien, anggota keluarga,
anggota tim kesehatan lainnya, atau kombinasi (Deden, 2012: 118).
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Dalam
situasi yang nyata implementasi jauh berbeda dengan rencana. Ini terjadi karena
perawat belum terbiasa dalam menggunakan rencana tertulis. Yang biasa terjadi
yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Ini sangat
membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal, sehingga tidak memenuhi
aspek legal (Bararah, 2013: 13) Sebelum melakukan tindakan yang sudah
direncanakan maka perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan
masih sesuai dan dibutuhkan klien. Perawat juga perlu menilai diri sendiri, apakah
mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, teknik sesuai dengan tindakan
yang dilaksanakan (Bararah, 2013: 13).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sampai mana tujuan dari rencana keperawatan tercapi atau
tidak. Alam melakukan evaluasi seharusnya perawat memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam menggambarkan kesimpulan tentang bagaimana tujuan yang
akan dicapai serta kemampuan menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria
hasil. Tahap evalusi ini terdiri dari dua bagian yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses keperawatan berlangsung atau menilai dari
respon klien disebut dengan evaluasi proses dan kegiatan melakukan evaluasi
dengan target tujuan yang diharapkan sebagai evaluasi hasil (Bararah, 2013: 17).
Pada tahap evaluasi untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu tujuan
keperawatan yang telah dilakukan ada tiga kriteria yang dapat terjadi antara tujuan
tercapai, tujuan tercapai sebagian, tujuan tidak tercapai:
1) Tujuan tercapai
Tujuan ini dilakukan tercapai apabila perubahan dan kemajuan yang sesuai
dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Ini dikatakan tercapai sebagian apabila tercapai secara keseluruhan sehingga
perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya. Seperti pasien dapat makan
sendiri tetapi merasa mual setelah makan bahkan pasien kadang-kadang ingin
muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai karena klien tidak menunjukkan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
C. ANALISIS JURNAL
“Kajian Drug Relation Problem (Drps) Kategori Interaksi Obat, Over Dosis Dan Dosis
Subterapi Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup Universitas Hasanuddin”
“Evaluasi Penyebab Dan Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Keracunan Serta Analisis
Biaya”
“Analisis Drug Related Problem (Drp) Pada Penderita Rawat Inap Dengan Diagnosa Dm
Tipe 2 Dengan Stroke Iskemik Di Rumah Sakit “X” Sidoarjo”
Dalam esay ini akan dijelaskan mengenai Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II bersumber dari lima jurnal. Junal yang
prtama berjudul “Kajian Drug Relation Problem (Drps) Kategori Interaksi Obat, Over
Dosis Dan Dosis Subterapi Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup Universitas
Hasanuddin”, Jurnal yang kedua berjudul “Penyalahgunaan Obat Keras Oleh Buruh
Bangunan Di Pergudangan Parangloe Indah Kota Makassar”, Jurnal yang ketiga berjudul
“N-Acetylcysteine Sebagai Terapi Toksisitas Acetaminophe”, Jurnal yang keempat
berjudul “Evaluasi Penyebab Dan Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Keracunan Serta
Analisis Biaya”, dan jurnal yang kelima“Analisis Drug Related Problem (Drp) Pada
Penderita Rawat Inap Dengan Diagnosa Dm Tipe 2 Dengan Stroke Iskemik Di Rumah
Sakit “X” Sidoarjo”. Pada bagian berikut akan dibahas mulai dari latar belakang, metode,
hasil dan pembahasan, dan kesimpuan.
1. Latar belakang
Latar belakang pada jurnal pertama yaitu Mengingat semakin meningkatnya
angka kejadian gagal jantung kongestif dan perlunya peran farmasis dalam
pharmaceutical care agar pasien mendapat terapi yang tepat guna mencapai hasil terapi
yang diharapkan serta memperbaiki kualitas hidup pasien, maka perlu dilakukan kajian
tentang Drug Related Problem pada terapi pasien gagal jantung kongestif di RS
Universitas Hasanuddin khususnya Drug Related Problem kategori interaksi obat,
overdosis dan sub terapi.
Latar belakang pada jurnal kedua yaitu Studi kualitatif dengan rancangan
fenomenologi dilakukan untuk mengetahui perilaku penyalahgunaan obat keras oleh
buruh bangunan di pergudangan Parangloe Indah Kota Makassar.
Latar belakang pada jurnal ketiga yaitu Acetaminophen adalah analgesik oral
yang efektif, dengan sedikit efek samping bila digunakan pada dosis yang dianjurkan.
Meski demikian, keracunan Acetaminophen sering terjadi dan berpotensi fatal.
Acetaminophen adalah analgesik yang paling banyak digunakan tetapi juga penyebab
utama gagal hati akut. Toksisitas hati dapat terjadi bahkan pada dosis terapeutik
terutama pada pasien alkoholik, pada subjek dengan penyakit hati kronis, NAFLD,
penyakit kardiopulmoner, malnutrisi, atau ketika asetaminofen digunakan secara
bersamaan dengan obat lain yang merangsang jalur CYP. Acetaminophen (APAP)
adalah obat yang banyak digunakan pada masyarakat dengan sedikit efek samping.
Oleh karena itu, beberapa pasien yang terkena hepatotoksisitas APAP memiliki asupan
dosis APAP yang berlebihan. Kerusakan ini terutama dihasilkan melalui salah satu
metabolit APAP: N-acetyl-para-benzoquinone imine (NAPQI), yang sangat toksik.
Dosis obat yang dikonsumsi serta lamanya waktu konsumsi APAP hingga terapi N-
acetylcysteine (NAC) adalah faktor penentu yang paling penting dalam perkembangan
dan keparahan hepatotoksisitas APAP. NAC adalah penangkal keracunan APAP, dan
dapat diberikan secara oral atau intravena. Akhirnya, pendekatan multidisiplin dengan
dukungan dari Psikiatri, Unit Perawatan Intensif serta Departemen Gastroenterologi
dan Pencernaan akan diperlukan, terutama dalam kasus percobaan autolisis dan gagal
hati yang parah.
Latar belakang pada jurnal keempat yaitu Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik pasien keracunan dan hubungannya dengan jenis agen toksik,
serta hubungan antara ketepatan terapi keracunan dengan biaya medis langsung dan
lama tinggal di rumah sakit (Length of Stay/LOS).
Latar belakang pada jurnal kelima yaitu Menangani suatu kasus penyakit
bertujuan untuk mengobati pasien, mencegah komplikasi lebih lanjut dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Metode
Adapun mtode yang digunakan dari masing-masing jurnal berbeda, yaitu :
a) Metode jurnal pertama adalah Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
observasional, dimana pengambilan data dilakukan secara retrospekstif pada bulan
Juli sampai Agustus 2015 di RS Universitas Hasanuddin.Analisa data
menggunakan standar penggunaan obat berdasarkan standar terapi penyakit dan
literatur ilmiah.Analisis Drug Related Problem dilakukan terhadap data rekam
medis dari 25 orang pasien.
b) Pada jurnal kedua metode yang diganakan adalah Pengumpulan data dilaksanakan
selama kurang lebih satu bulan, yaitu Desember 2014 sampai dengan Januari 2015
di kawasan Pergudangan Parangloe Indah Kecamatan Tamalanrea. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Data
primer dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara mendalam dan observasi.
Variabel penelitian ini terdiri dari, pengetahuan, sikap dan tindakan. Data
dikumpulkan melalui wawancara terhadap 11 informan yaitu buruh bangunan yang
bekerja di kawasan Pergudangan Parangloe Indah dan mengonsumsi obat keras.
Selain itu, observasi juga dilakukan untuk menjaga keabsahan data. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan content analysis yang disajikan dalam
bentuk narasi
c) Pada jurnal ketiga penulis tidak mencantumkan metode yang telah dianalisis
d) Pada jurnal keempat metode yang digunakan adalah rancangan penelitian cross
sectional dengan pengambilan data secara retrospektif dari rekam medik pasien di
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dan RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Subyek
penelitian adalah pasien rawat inap di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dan
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta periode 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2013.
Subyek uji memenuhi kriteria inklusi berupa pasien rawat inap dengan diagnosis
utama keracunan, dengan atau tanpa penyakit penyerta dan komplikasi. Sementara
itu, kriteria eksklusi penelitian adalah pasien yang meninggal dunia, dirujuk ke
rumah sakit lain, dan pulang paksa atau pulang atas permintaan sendiri.
e) Pada jurnal kelima metode yang digunakan adalah Desain penelitian yang
dilakukan berupa penelitian non-eksperimental dengan rancangan analisis
deskriptif yang bersifat retrospektif. Bahan penelitian utama adalah data rekam
medik pasien rawat inap yang didiagnosis akhir menderita diabetes melitus tipe 2
dan stroke iskemik di Rumah Sakit “X” Sidoarjo selama bulan januari 2010
sampai dengan desember 2011 yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya drug related problem. Dari data hasil
penelitian tersebut maka akan dianalisa secara deskriptif. Data-data kualitatif yang
diperoleh akan disajikan dalam bentuk narasi, sedangkan data kuantitatif akan
disajikan dalam bentuk grafik, gambar dan tabel.
3. Hasil dan pembahasan
Pada jurnal pertama hasil dan pembahasan yang didapatkan yaiu Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat 22 kejadian Drug Related Problem
meliputi 14 kejadian kategori interaksi obat (63,63%), 5 kejadian kategori
overdosis (22,72%) dan 3 kejadian kategori dosis sub terapi (13,63%). Hasil
penelitian menunjukkan terdapat 25 pasien gagal jantung kongestif (GJK) yang
dirawat inap selama enam bulan mulai dari bulan Januari hingga Juni 2015 di RS
Universitas Hasanuddin. Karakteristik pasien yang dilihat pada penelitian ini
meliputi usia serta jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mengalami penyakit GJK dari karakteristik usia yang diklasifikasikan berdasarkan
pembagian usia dewasa menurut Departemen Kesehatan yaitu usia rentang 26-35
tahun terdapat 8% pasien, usia rentang 46-55 tahun terdapat 20% pasien, usia
rentang 56-65 tahun terdapat 24% pasien, dan usia >65 tahun terdapat 48% pasien.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit GJK beresiko seiring peningkatan usia.
Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah pasien
wanita dan pria hampir sama banyaknya yaitu terdapat 52% pasien wanita dan
48% pasien pria. Pada penelitian ini kejadian Drug Related Problem yang
diidentifikasi meliputi kategori interaksi obat, overdosis dan dosis sub terapi.
Interaksi obat berdasarkan kelas signifikansi menurut Drug Interaction Facts dibagi
atas 5 berdasarkan tingkat keparahan dan dokumentasi yaitu level signifikansi 1, 2,
3, 4, dan 5. Level signifikansi 1 memiliki tingkat keparahan mayor, level
signifikansi 2 memiliki tingkat keparahan moderate, dan level signifikansi 3
memiliki tingkat keparahan minor dengan dokumentasi level signifikansi 1, 2 dan
3 adalah established, probable, dan suspected. Level signifikansi 4 memiliki
tingkat keparahan mayor/moderate dengan dokumentasi possible. Sedangkan, level
signifikansi 5 memiliki tingkat keparahan minor dengan dokumentasi possible, dan
tingkat keparahan apapun dengan dokumentasi unlikely. Adapun arti dari masing-
masing dokumentasi tersebut yaitu established (interaksi obat sangat mantap
terjadi), Probable (interaksi obat dapat terjadi), suspected (interaksi obat diduga
terjadi), possible (interaksi obat belum pasti terjadi), unlikely (kemungkinan besar
interaksi obat tidak terjadi). Selanjutnya, arti dari derajat keparahan akibat interaksi
yaitu minor (ringan, tidak mempengaruhi hasil terapi, dapat diatasi dengan baik),
moderate (efek sedang, dapat menyebabkan kerusakan organ), dan mayor (efek
fatal, dapat menyebabkan kematian). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
31 paduan obat yang berinteraksi diberikan pada waktu bersamaan berdasarkan
literatur Drug Interaction Facts dimana terdapat 7 jumlah interaksi obat yang
mengalami level signifikansi 1 (25,80%) dengan total 20 pasien (20,20%), 5
jumlah interaksi obat yang mengalami level signifikansi 2 (16,12%) dengan total
19 pasien (19,19%), 5 jumlah interaksi obat yang mengalami signifikansi 3
(16,12%) dengan total 23 pasien (23,23%), 5 jumlah interaksi obat yang
mengalami signifikansi 4 (16,12%) dengan total 19 pasien (19,19%), dan 9 jumlah
interaksi obat yang mengalami signifikansi 5 (25,80%) dengan total 18 pasien
(18,18%). Jadi, paling banyak pasien berada pada level signifikansi 3 dan jenis
interaksi paling banyak berada pada level signifikansi 5 yang berarti interaksi
belum pasti terjadi, tetapi monitoring pasien tetap harus dilakukan.
Pada jurnal kedua hasil dan pembhasan yang didapatkan adalah Hasil
penelitian menunjukkan bahwa informan tidak mengetahui tentang obat keras dan
dampak yang bisa terjadi. Informan memperoleh obat keras dari apotik yang sudah
menjadi langganannya. Informan memberikan respon positif dan negatif terhadap
adanya penyalahgunaan obat yang terjadi di lingkungannya. Kurangnya
pengetahuan membuat informan melakukan penyalahgunaan terhadap obat keras,
alasannya bahwa obat tersebut merupakan suatu kebutuhan untuk bekerja sebagai
buruh bangunan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa buruh bangunan di kawasan
Pergudangan Parangloe Indah mengonsumsi obat keras untuk kebutuhan bekerja
agar tidak merasa lelah.
Pada jurnal ketiga hasil dan pembahan yang didapatkan adalah
Acetaminophen adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID), dengan
mekanisme kerja yang berbeda dari NSAID lain. Walau mekanismenya belum
dipahami dengan jelas, tetapi tampak adanya hambatan pada siklooksigenase
(COX) di otak secara selektif, hal ini biasa idgunakan untuk mengobati demam dan
nyeri juga dapat menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat (SSP).
Acetaminophen langsung bekerja di hipotalamus menghasilkan efek antipiretik.
(Mossanen and Tacke 2015). Meskipun asetaminofen memiliki profil keamanan
yang baik pada tingkat terapeutik, asetaminofen dapat menyebabkan kerusakan
hati yang parah jika dikonsumsi dalam jumlah yang tidak tepat (Stine and Lewis
2016) Acetaminophen adalah obat analgesik dan antipiretik yang aman, efektif,
dapat ditoleransi dengan baik dan murah dengan efek samping yang relatif sedikit
bila digunakan dengan dosis terapeutik yang dianjurkan. Di banyak negara, obat
tersebut tersedia bebas tanpa resep. Ketersediaannya yang mudah dan tidak perlu
resep menjadikannya salah satu obat yang paling umum digunakan untuk tujuan
bunuh diri atau menyakiti diri sendiri (Simkin et al. 2012). Penyerapan
Acetaminophen terjadi terutama di duodenum karena sifatnya sebagai asam lemah.
Penundaan waktu t diamati jika Acetaminophen dikonsumsi bersama makanan.
Hal ini terutama penting pada pasien yang terkena penyakit hati kronis karena
terdapat risiko terhadap waktu paruh serum obat yang berkepanjangan (dengan
rata-rata 2,0 hingga 2,5 jam, dan hingga lebih dari 4 jam). Sementara asupan
Acetaminophen yang aman mencapai konsentrasi puncak dalam 1,5 jam, dengan
waktu paruh 1,5-3 jam, overdosis Acetaminophen menghasilkan konsentrasi serum
puncak (10-20 mg / mL) dalam 4 jam (McGill and Jaeschke 2013). Dosis
terapeutik, sebagian besar APAP dimetabolisme oleh enzim konjugasi fase II,
terutama UDP-glukuronosiltransferase (UGT) dan sulfotransferase (SULT),
mengubahnya menjadi senyawa tidak beracun yang kemudian diekskresikan
dengan urin. Hanya sebagian kecil yang diekskresikan tidak berubah dalam urin.
APAP yang tersisa, sekitar 5-9% dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450
(CYPs), terutama CYP 2E1 menjadi metabolit antara N-acetyl-pbenzoquinone
imine (NAPQI) yang sangat reaktif (Kruiswijk, Labuschagne, and Vousden 2015).
Umumnya, NAPQI didetoksifikasi dengan cepat melalui konjugasi dengan
glutathione (GSH). Namun, ketika enzim metabolisme fase II menjadi jenuh
setelah overdosis APAP, NAPQI yang berlebihan menghabiskan GSH,
menyebabkan pengikatan kovalen kelompok sulfhidril dalam protein seluler,
terutama protein mitokondria. Hal ini menyebabkan stres dan disfungsi oksidatif
mitokondria, yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis hepatosit (Gum and Cho
2013) Keracunan APAP biasanya tidak menyebabkan gagal napas jantung, kecuali
untuk stadium lanjut dengan gagal hati fulminan. Tingkat kesadaran juga tidak
menurun. Jika ditemukan pasien dengan tingkat kesadaran rendah, maka harus
mencurigai adanya asupan racun lain yang sering kali berupa benzodiazepine
(Kang and Ghassemzadeh 2018).
Pada jurnal keempat hasil dan pembahan yang didapatkan adalah Dari 128
orang pasien keracunan, sebanyak 25 orang tidak memenuhi kriteria inklusi karena
meninggal dunia, dirujuk ke rumah sakit lain, dan pulang paksa atau pulang atas
permintaan sendiri sehingga terdapat 103 orang pasien yang masuk ke dalam
kriteria penelitian. Data karakteristik pasien keracunan yang diperoleh dalam
penelitian ini ditampilkan dalam Tabel I. Sebesar 80,0% pasien keracunan yang
dirawat inap di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro berdomisili di Kabupaten Klaten,
sedangkan 32,1% pasien keracunan yang menjalani rawat inap di RSUP dr.
Sardjito berdomisili di Kabupaten Sleman. Sebagian besar pasien keracunan
merupakan remaja dan orang dewasa dengan usia 15-64 tahun (62,2%), berjenis
kelamin laki-laki (54,4%), berpendidikan rendah (32,0%), bekerja sebagai
pelajar/mahasiswa (16,5%), serta merupakan pasien Jamkesmas (45,6%). Jenis
agen toksik penyebab keracunan ditampilkan dalam Tabel II. Agen toksik
penyebab keracunan pada pasien rawat inap di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro dan
RSUP dr. Sardjito selama periode tahun 2011 hingga 2013 meliputi bisa ular
(37,9%), insektisida (17,5%), obat (16,5%), makanan (14,5%), hidrokarbon
(5,8%), alkohol (4,9%), serta pewangi dan pemutih pakaian (2,9%). Dari Tabel III
dapat diketahui bahwa karakteristik pasien yang memiliki hubungan dengan jenis
agen toksik adalah umur (p=0,027), pendidikan (p=0,029), dan pekerjaan pasien
(p=0,002), sedangkan jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan jenis agen
toksik (p=0,054). Sementara itu, karakteristik pasien yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap jenis agen toksik adalah umur (ᵡ2=4,875), diikuti oleh
pendidikan (ᵡ2=0,741), dan pekerjaan pasien keracunan (ᵡ2=0,320), sedangkan
jenis kelamin merupakan karakteristik pasien yang tidak memiliki pengaruh
terhadap jenis agen toksik (ᵡ2=0,007). Sebagian besar penatalaksanaan terapi
keracunan bisa ular, insektisida, obat, serta pewangi dan pemutih pakaian sudah
sesuai dengan Pedoman Penatalaksanaan Keracunan untuk Rumah Sakit dari
BPOM RI (2001), sedangkan mayoritas keracunan makanan, hidrokarbon, dan
alkohol memperoleh penatalaksanaan terapi yang tidak tepat. Ketidaktepatan terapi
disebabkan oleh adanya indikasi tanpa terapi, adanya terapi tanpa indikasi,
pemilihan terapi yang tidak tepat, serta tidak diberikan antidotum spesifik.
Besarnya biaya medis langsung dan LOS (Lenght of Stage) pasien keracunan
ditampilkan dalam Tabel IV. Biaya medis langsung terendah terdapat dalam
penatalaksanaan terapi keracunan makanan (Rp 277.976,00), sedangkan biaya
tertinggi terdapat dalam penatalaksanaan keracunan bisa ular (Rp 30.438.775,00).
Sementara itu, sebagian besar pasien keracunan memiliki LOS terendah selama 2
hari dengan agen toksik berupa bisa ular, insektisida, obat, makanan, hidrokarbon,
serta pewangi dan pemutih pakaian. LOS tertinggi adalah 18 hari yang terdapat
pada pasien keracunan bisa ular. Hasil analisis bivariat dengan SPSS untuk data
pasien Jamkesmas ditampilkan dalam Tabel V. Dari Tabel V dapat diketahui
bahwa ketepatan terapi keracunan pada pasien Jamkesmas tidak mempengaruhi
efisiensi biaya medis langsung (p=0,292) dan lama tinggal pasien di rumah sakit
(LOS) (p=0,188).
Pada jurnal kelima hasil dan pembahan yang didapatkan adalah Berdasarkan
tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah pasien rawat inap yang didiagnosa Diabetes
Melitus tipe 2 dengan Stroke Iskemik lebih banyak berjenis kelamin perempuan
sebanyak 22 orang (68,75%). Dan berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah
pasien Diabetes Melitus tipe 2 dan stroke iskemik terbanyak adalah berusia 50-59
tahun sebanyak 10 orang (31,25%). Hal ini menunjukan bahwa terdapat faktor lain
yang dapat meningkatkan terjadinya penyakit kronis selain penurunan fungsi organ
tubuh yaitu faktor produktivitas. Penyakit DM tipe 2 tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, tetapi dipengaruhi oleh faktor gaya hidup seperti kegemukan atau
obesitas, kurang olahraga dan pola makan yang tidak sehat. Berdasarkan tabel 3
menunjukkan bahwa kondisi pasien Diabetes Melitus tipe 2 dan Stroke Iskemik
yang keluar rumah sakit terbanyak adalah dengan kondisi membaik sebanyak 30
orang (93,75%). Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa terapi dengan obat
antidiabetes untuk DM tipe 2 yang paling banyak diberikan adalah injeksi insulin
sebanyak 23 orang (71,88%) karena insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah
dengan cepat sehingga sesuai untuk penderita rawat inap di rumah sakit. Hal
seperti ini menunjukan bahwa, pada penderita DM yang menjalani rawat inap
selalu atau lebih sering diberikan insulin tanpa membedakan penderita tersebut
menderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Ini dilakukan untuk mempercepat
pencapaian kadar gula darah pada ambang normal atau target terapi dan bila dilihat
dari segi ekonomis akan lebih menghemat perawatan dirumah sakit. Berdasarkan
table 5 menunjukkan bahwa DRPs pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan
Stroke Iskemik yang terbanyak adalah jumlah DRPs untuk M 1.4 dengan P 1.5
sebanyak 133 (47,16%). Ketegori DRP ini dapat ditunjukan seperti pada pasien
yang tekanan darahnya tinggi atau gula darah melampaui batas normal tetapi
pasien tidak diberikan terapi antihipertensi atau OAD. Jika suatu penyakit tidak
diberikan obat maka akan memperparah penyakit tersebut bahkan dapat
menimbulkan komplikasi. Untuk M 3.2 dengan P 1.2 sebanyak 57 (20,21%).
Dapat dicontohkan dengan pemberian Ranitidin. Dimana tidak ada indikasi yang
menunjukan bahwa pasien butuh Ranitidin. Berdasarkan tabel 6 menunjukkan
banyaknya golongan obat yang terlibat dalam DRPs pada sampel penelitian yaitu
golongan Insulin sebanyak 9 kasus (28,15%). Dari hasil analisis DRPs untuk
penggunaan golongan Insulin pada sampel penelitian yang didiagnosa Diabetes
Melitus tipe 2 dengan Stroke Iskemik terdapat permasalahan mengenai duplikasi
obat dengan bahan aktif berbeda. Sehingga dapat berpotensi meningkatkan risiko
hipoglikemik. Contoh dari kasus DRP adalah pemberian Novorapid dan Lavemir
secara bersamaan.
4. Kesimpulan
Pada jurnal pertama dapat dsimpulkan yaitu Terdapat 22 kejadian Drug
Related Problem dari 25 sampel penelitian dimana kategori interaksi obat terdapat
14 kejadian, overdosis 5 kejadian, dan dosis sub terapi 3 kejadian. Persentase Drug
Related Problem kategori interaksi obat adalah 63,63 %, kategori overdosis adalah
22,72 %, kategori dosis sub terapi adalah 13,63 % dari total 22 kejadian.
Pada jurnal kedua dapat disimplkan yaitu Pengetahuan informan terhadap
penyalahgunaan obat keras tergolong kurang. Informan memahami obat keras
sebagai kebutuhan pokok yang memiliki pengaruh positif dan negatif bagi pe-
ngonsumsinya, sehingga mereka terus mengonsumsinya tanpa mengetahui bahaya
dan dampaknya. Perilaku dalam bentuk sikap yang dimiliki oleh buruh bangunan
terhadap penyalahgunaan obat keras ada yang positif dan adapula yang negatif
yang tercermin dalam merespon adanya pe- nyalahgunaan yang terjadi, terhadap
teman yang mengajak untuk mengonsumsi obat dan terhadap teman yang
terjerumus ke dalam penyalahgunaan obat keras. Pada dasarnya semua informan
me- ngonsumsi obat keras diantaranya Dekstrometorfan, Double L, Somadril,
Tramadol, Calmlet, Inex, THD, dan Alprazolam. Setiap informan mengonsumsi
obat keras dalam jenis dan jumlah yang berbeda.
Pada jurnal ketiga dapat disimpulkan yaitu Keracunan Acetaminophen
semakin sering terjadi disekitar, meskipun memiliki jangkauan terapeutik yang
sangat luas. ini adalah salah satu obat yang penggunaannya paling luas, dan dapat
mendapatkannya di apotek dengan mudah. Oleh karena itu, overdosis yang tidak
disengaja atau terkait dengan upaya bunuh diri tidak jarang terjadi. Bagaimanapun,
keracunan APAP dapat memiliki konsekuensi yang mematikan dalam waktu
singkat, dan oleh karena itu penting untuk mengetahui karakteristik klinis dan
bagaimana penanganan yang harus dilakukan di UGD. Jika dicurigai keracunan
APAP, riwayat medis yang benar penting untuk mengetahui dosis yang diminum,
waktu yang telah berlalu dan faktor risiko pasien. Saat menangani pengobatan
NAC, jika kadar transaminase normal diamati dalam tes darah, dokter mungkin
menunggu kadar APAP untuk memulai pengobatan. Namun, bila meningkat atau
ada keraguan, NAC akan segera diberikan, sesuai dengan keamanan pengobatan
dan risiko hepatitis toksik yang serius jika tidak diberikan. Pendekatan
multidisiplin dengan dukungan dari Psikiatri, Unit Perawatan Intensif, serta
Departemen Gastroenterologi dan Pencernaan akan diperlukan, terutama dalam
kasus percobaan autolisis dan gagal hati yang parah.
Pada jurnal keempat dapat disimpulkan yaitu Agen toksik penyebab
keracunan meliputi bisa ular, insektisida, obat, makanan, hidrokarbon, alkohol,
pewangi pakaian, serta pemutih pakaian. Karakteristik pasien yang mempengaruhi
jenis agen toksik penyebab keracunan adalah umur, pendidikan, dan pekerjaan
pasien keracunan. Pada pasien Jamkesmas, ketepatan terapi tidak mempengaruhi
efisiensi biaya medis langsung dan lama tinggal pasien di rumah sakit (LOS).
Pada jurnal kelima apat disimpulkan yaitu Kesimpulan dari hasil
penelitian analisis Drug Relatrd Problems (DRPs) adalah sebagai berikut:
DRP yang paling banyak ditemukan adalah masalah terkait adanya indikasi yang
tidak diterapi ditemukan sebanyak 133 (47,16%). DRP terbanyak kedua yaitu
masalah terkait pemberian obat yang berlebihan dengan indikasi obat yang tidak
jelas ditemukan sebanyak 57 (20,21%). Serta DRP terbanyak ketiga yaitu masalah
tekait pemberian obat yang bersifat sinergis atau tidak optimal pada penderita DM
tipe 2 dan stroke iskemik ditemukan sebanyak 29 (10,28%).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik
yang dapat menduduki reseptor opioid ditubuh manusia. Istilah opiat digunakan
untuk semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan
bekerja pada reseptor opioid. Opioid berawal dari tumbuhan papaver somniferum
atau opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia,
Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang
berarti jus (Angkejaya, 2018).
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit
yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi
pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium
merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air,
lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung
antara lain morfin (10% -15%), kodein (1% -3%), noskapin (4% - 8%), papaverin
(1% - 3%), dan thebain (1% - 2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut
banyak digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan
kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral
(papaverin)(Angkejaya, 2018).
Dari data-data yang didapatkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang
melibatkanhubungan kerja sama antara perawat dengan klien/keluarga atau
masyarakat untuk mencapai tingkat Kesehatan yang optimal.
Proses keperawatan mempersiapkan kerangka acuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan klien, menyeleksi, mengintervensi dan mengoreksi
keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat memerlukan pengetahuan
yang yang luas terhadap perawatan untuk menentukan kebutuhan fisiologis dan
psikologis klien beserta keluarganya.
B. Saran
Diharapkan kepada pembaca dengan adanya tori ini agar dapat mengambil
manfaat dari penyusunan tersebut guna untuk meningkatkan mutu pelayanan
Kesehatan selanjutnya dan meningkatkan derajat Kesehatan kedepannya serta
agar lebih mengerti tentang Over dosis dan keracunan obat.
Pelaksanaan asuhan keperawatan akan berhasil apabila antara sesama
perawat, tim medis dan tenaga Kesehatan lainnya karena itu hendaknya kerja
sama yang baik dipelihara dan terus dipertahankan
Diharapkan kepada instansi akademik keperawatan agar lebih
meningkatkan mutu Pendidikan, sehingga menghasilkan perawat yang
professional yang mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien khususnya pada gawat darurat.
DAFTAR PUSTAKA