Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS JURNAL

TRAUMA MUSKULOSKELETAL
DOSEN FASILITATOR: MARIA IMACULATA OSE S.Kep Ns, M.Kep

DISUSUN OLEH :

HARNO NPM : 2040703060


HADARIAH NPM : 2040703071
NENENG INDRA SARI NPM : 2040703071

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KELAS KERJASAMA
UNIVERSITAS BORNEO
TARAKAN
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat allah SWT karna atas berkat rahat dan hidayahnya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
Sistem Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II” ini dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini selain dari hasil kerja kelompok, kami juga
mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, dan pada kesempatan kali ini kami ingin
mengucapkan banyak terimaksih kepada :
1. Ns.Maria Imaculata Ose.S.Kep.M.Kep selaku dosen pengampuh mata kuliah
keperawatan gawat darurat yang telah meluangkan Ilmu,waktu,kritik & sarannya
dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai pada waktunya.
2. Dosen Fasilitator Ns.Maria Imaculata Ose.S.Kep.M.Kep yang telah membimbing
kelompok kami sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Keluarga tercinta kami yang membantu dalam doa dan dukungan semangat sehingga
makalah ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Pemilihan judul tersebut merupakan salah satu tugas mata muliah keperawatan
gawat darurat, Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dalam
penyususnan, baik dari segi (ejaan yang disempurnakan) EYD, kosa kata, tata
Bahasa,etika maupun isi. Oleh karnanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan sbagai bahan evaluasi.
Demikian makalah ini dapat di terima sebagai ide / gagasan yang menambah
kekayaan intelektual bangsa. Terima kasih & Assalamualaikum Wr.Wb

Tarakan, 22 Maret 2021

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER.........................................................................i
HALAMAN JUDUL.........................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................
B. Tujuan penulisan ........................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Medis
1. Pengertian............................................................
2. Anatomi Fisiologi................................................
3. Etiologi................................................................
4. Patofisiologi.........................................................
5. Manifestasi Klinis................................................
6. Pemeriksaan Penunjang.......................................
7. Komplikasi...........................................................
8. Penatalaksanaan...................................................
B. Kosep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian...........................................................
2. Diagnosa Keperawatan........................................
3. Rencana Keperawatan.........................................
4. Implementasi Keperawatan.................................
5. Evaluasi Keperawatan.........................................
C. Analisis Jurnal
1. Latar belakang jurnal....................................................
2. Metode junal.................................................................
3. Hasil dan pembahasan jurnal........................................
4. Kesimpulan jurnal.........................................................

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan penvegahan kecacatan lebih lanjut. Instalasi Gawat Darurat
(IGD) memiliki peran sebagai gerbang utama masuknya rumah sakit secara intensif atau
sering disebut juga sebagai penderita gawat darurat. Penderita yang terkena penyakit serius
biasanya lebih sering mendapat visite oleh dokter daripada mereka yang penyakitnya tidak
begitu parah.( Sitepu, 2019)
Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang
membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan
segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan permanen. Keadaan
gawat darurat yang sering terjadi di masyarakat antara lain, keadaan seseorang yang
mengalami henti napas, henti jantung, tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera misalnya
patah tulang, kasus stroke, kejang, keracunan, dan korban bencana. Unsur penyebab
kejadian gawat darurat antara lain karena terjadinya kecelakaan lalu lintas, penyakit,
kebakaran maupun bencana alam. Kasus gawat darurat karena kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab kematian utama di daerah perkotaan (Media Aeculapius, 2007).
Pelaksanaan kegawatdaruratan akan dilaksanakan secara tim pada instalasi gawat
darurat, dengan pemahaman bahwa tindakan gawat darurat berbeda dengan penanganan
pada klien yang memiliki masalah tidak gawat darurat. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
harus dilaksanakan secara tim dan akan dipimpin oleh seorang leader tim yang harus
langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri. (fulde, Gordian. 2009 dalam buku Maria, Zubaidah, Pusparina,
Norfitri. 2019).
Tindakan keperawatan gawat darurat merupakan rangkaian kegiatan yang sistematis
dan profesional, cepat dan tepat yang diberikan kepada pasien yang dilaksanakan oleh
perawat yang kompenen. Kondisi gawat darurat yang sering muncul pada suatu insiden
maupun bencana yang seringkali tidak terprediksi jumlah korbannya dan tindakan yang
harus dilakukan menjadi salah satu keterbatasan sumber daya. Tindakan gawat darurat yang
dimulai dengan pengkajian awal mengenai satus kesehatan klien sangat penting dilakukan
untuk meminimalkan jumlah korban dan merencanakan tindakan selanjutnya. (fulde,
Gordian. 2009 dalam buku Maria, Zubaidah, Pusparina, Norfitri. 2019).
Salah satu yang kejadian gawat darurat yang mengancam nyawa manusia adalah
fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan
oleh trauma, biasa juga disebut patahan dan biasanya tak lebih atau lebih dari satu
retakan bahkan patahan lengkap dan fragmen tulang bergeser. Sedangkan fraktur
femur terbuka adalah patahnya tulang paha sehingga ujung tulang menonjol sampai
menembus kulit akibat dari trauma langsung pada paha yang menyebabkan kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 mencatat bahwa kecelakaan
lalu lintas terdapat meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan fraktur ekstremitas bawah mencapai 40%.
Kemudian terjadi cacat fisik ditemukan sebanyak 1,3 juta orang dan lebih dari 5 juta
orang meninggal dunia akibat kecelakaan (Ridwan, 2019).
Sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, bagian tubuh yang terkena cedera
terbanyak yaitu ekstremiras bagian bawah 67%, ekstremitas bagian atas 32%, cedera
kepala 11,9%, cedera punggung 6,5%, cedera dada 2,6%, dan cedera perut 2,2%. Dari
tiga urutan tersebut yang terbanyak terjadi kecacatan fisik permanen akibat cedera
adalah bekas luka permanen/ menganggu kenyamanan (9,2%), kehilangan sebagian
anggota tubuh (0.6%) dan panca indera tidak berfungsi (0,5%). Rumah menjadi
lingkungan yang sangat berperan penting dalam pengendalian terjadinya risiko
cedera, dimana pada tahun 2018 lingkungan rumah merupakan penyumbang cedera
terbanyak 44,7%, dibandingkan jalan raya (31,4%), tempat kerja 9,1%, dan sekolah
6,5%.
Angka kejadian kasus fraktur di provinsi Kalimantan Utara mencapai 8,08%.
Proporsi jenis cedera patah tulang yang paling tinggi menurut kelompok umur pada
usia 55-54 tahun (29,81%). Sebagian besar kasus didominasi oleh jenis kelamin laki-
laki mencapai 9,59%. Berdasarkan pendidikan yang tidak sekolah mencapai 23,72%.
Status pekerjaan cedera patah tulang didominasi oleh nelayan yaitu 22,68%,
sementara tempat tinggal di perkotaan yaitu mencapai 9,63% (Riskesdas, 2018).
Fraktur terbuka merupakan kondisi cidera serius patah tulang dimana terdapat
hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, kondisi ini sangatlah membahayakan
karena dapat menginfeksi daerah yang mengalami fraktur. Sehingga mengalami
penurunan fungsi fisik yang merupakan salah satu ancaman potensial pada integritas.
Rusaknya integritas tulang menyebabkan nyeri, trauma, kaku sendi, dan gangguan
muskuloskeletal. Fraktur terbuka juga banyak melibatkan kerusakan pada otot, tendon
dan ligamen di daerah terjadinya fraktur terbuka. Hal ini yang dapat menyebabkan
berpotensinya menimbulkan berbagai komplikasi seperti terinfeksi atau
terkontaminasi oleh mikroorganisme dari luar, Kehilangan darah, Syok dll (Dehandra,
dkk, 2019).
Sebagai perawat banyak hal yang bisa dilakukan untuk pasien dengan fraktur
melalui asuhan keperawatan yaitu pada Intervensi keperawatan untuk mengatasi
masalah nyeri maka dilakukan dengan manajemen nyeri dalam dunia keperawatan
manajemen nyeri berguna menghilangkan nyeri sedikit demi sedikit. Pada terapi non
farmakologi terdapat terapi distraksi relaksasi. Distraksi merupakan menenangkan
diri dengan mengalihkan perhatian. Relaksasi merupakan melemaskan otot otot pada
tubuh sehingga reseptor nyeri menjari lentur dan berkurang. Teknik distraksi dan
sentuhan bisa dilakukan dengan pengalihan rasa sakit pada pasien dengan melihat
televisi, mendengarkan musik atau berkhayal (Komar et al., 2020).
1.2 Tujuan penulisan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini yaitu untuk melaksanakan “Asuhan Keperawatan
dengan Gangguan Sistem Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II”
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus ini adalah untuk memperoleh gambaran nyata dalam:
1. Melakukan pengkajian keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II”
2. Menentukan diagnosa keperawatan dengan Gangguan Sistem Muskuloskoletal
“Open Fraktur Femur Grade II”
3. Merencanakan tindakan keperawatan Sistem Muskuloskoletal “Open Fraktur
Femur Grade II”
4. Melaksanakan tindakan keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II”
5. Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan
Gangguan Sistem Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II”
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan/ tulang rawan yang
umumnya disebakan oleh ruda paksa. Biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Sjamsuhidajat, 2005; Price, 2006; Wijaya, 2013).
Fraktur femur terbuka atau patah tulang paha terbuka adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha diserati kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf, dan pembuluh darah) yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada
paha (Muttaqin, 2012: 205).
Menurut Brunner & Suddarth (2005) dalam Wijaya (2013:236),
Klasifikasi fraktur antara lain:
a. Complete fracture (fraktur komplet), patah pada seluruh garis tengah tulang,
luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
b. Closed fracture (simple fraktur), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas
kulit masih utuh.
c. Open fracture (compound fraktur/ komplikata kompleks), merupakan fraktur
dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol
sampai menembus kulit) atau membrane mukosa sampai kepatahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi:
1) Grade I: Luka bersih, kurang dari 1cm panjangnya
2) Grade II: Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
3) Grade III: Luka sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif
c. Greenstick, Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang lainnya
membengkok.
d. Transversal, Fraktur sepanjang garis tengah tulang.
e. Oblik, Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
f. Spiral, Fraktur memuntir seputar batang tulang.
g. Komunitif, Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
h. Depresi, Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan wajah).
i. Kompresi, Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang).
j. Patologik, Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,
paget, metastasis tulang, tumor).
k. Epifisial: Fraktur melalui epifisis.
l. Impaksi, Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
2. Anatomi Fisiologi
Gambar.1 Anatomi tulang paha
(Sumber: https://rumus.co.id/fungsi-tulang-paha/)
Di akses pada tanggal 22 Maret 2021

Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan,
dan otot menyusun kurang lebih 50% kesehatan dan baiknya fungsi sistem
muskuloskeletal sangat tergantung pada sistem tubuh yang lain. Struktur tulang
memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru.
Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh.
Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak. Matriks tulang
menyimpan kalsium, fosfor, magnesium, dan fluor. Lebih dari 99% kalsium tubuh
total terdapat dalam tulang. Sumsum tulang merah yang terletak dalam tulang
menghasilkan sel darah merah dan putih dalam proses yang dinamakan
hematopooesis.
Kontraksi otot menghasilkan suatu usaha mekanik untuk gerakan maupun
produksi panas untuk mempertahankan temperature tubuh. Tulang terbagi dalam
empat kategori: tulang panjang (mis, femur), tulang pendek (mis, tulang tarsalia),
tulang pipih (mis, sternum) dan tulang tidak teratur (mis, vertebra). Tulang
tersusun oleh jaringan tulang konselus (trabekular/spomgius) atau kortikel
(kompak), tulang panjang (misal femur berbentuk seperti tungkai/ batang panjang
dengan ujung yang membalut) ujung tulang panjang ditutupi oleh kartilago
artikular pada sendi-sendinya. Tulang panjang disusun untuk menyangga berat
badan dan gerakan.
Tulang pendek (misal metakarpal) terdiri dari tulang konselus ditutupi
selapis tulang kompak. Tulang pipih (misal, sternum) merupakan tempat penting
untuk hematopesis dan sering memberikan perlindungan bagi organ vital. Tulang
tak teratur (misal vetebra) mempunyai bentuk yang unik sesuai dengan fungsinya.
Osteoblast berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matrik
tulang dan terletak dalam osteon (unit matrik tulang). Osteoklas adalah sel multi
nuklea atau berinti banyak yang berperan dalam penghancuran dan resorbsi tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang konselus.
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai
bawah dan terletak medial dan fibula/ tulang betis: tibia adalah tulang pipa dengan
batang dan dua ujung.
a. Ujung atas memperlihatkan adanya kondil medial dan kondil lateral, kondil
lateral memperlihatkan posterior sebuah faset untuk persendiaan dengan
kepala fibula pada sendi fibio-fibular superior, tuberkel dan fibia ada
disebelah depan dengan tepat dibawah kondil-kondil ini, bagian depan
memberi kaitan kepada tendon dari insersi otot ekstensor kwadrisep.
b. Batang dalam irisan melintang bentuknya segitiga, sisi anteriornya paling
menjulang dan sepertiga sebelah tengah, terletak subkutan bagian ini
membentuk Krista tibia.
c. Ujung bawah masuk dalam formasi persendian mata kaki, tulangnya sedikit
dan kebawah sebelah medial menjulang menjadi maleolus medial/ maleolus
tibia. Fibula/ tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah tulang
itu adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
d. Ujung atas berbentuk kepala dan bersendi dengan bagian belakang luar dari
tibia, tetapi tidak masuk dalam formasi sendi lutut.
e. Batangnya ramping dan terbenam dalam otot tungkai dan memberi banyak
kaitan.
f. Ujung bawah sebelah bawah lebih memanjang menjadi maleolus lateralis/
maleolus fibula (Wijaya, 2013: 234).
3. Etiologi
Black (2014: 643) dan Wijaya (2013: 238), menguraikan beberapa penyebab
fraktur antara lain:
a. Sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu sendiri.
b. klien dengan gangguan metabolik tulang, seperti osteoporosis, dapat
mengalami fraktur dari trauma minor karena kerapuhan tulang akibat
gangguan yang telah ada sebelumnya.
c. Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah benda
bergerak menghantam suatu area tubuh diatas tulang.
d. Gaya juga dapat terjadi secara tidak langsung, seperti ketika suatu kontraksi
kuat dari otot menekan tulang.
e. Tekanan dan kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang menahan gaya mekanik
f. Kondisi biologis seperti osteopenia (misalnya, karena penggunaan steroid atau
sindroma Cushing) atau osteogenesis imperfekta (penyakit kongenital tulang
yang dicirikan oleh gangguan produksi kolagen oleh osteoblas).
g. Neoplasma juga dapat melemahkan tulang dan berperan pada fraktur.
h. Kehilangan estrogen pasca menopause dan malnutrisi protein juga
menyebabkan penurunan massa tulang serta meningkatkan risiko fraktur.
i. Bagi orang dengan tulang yang sehat, fraktur dapat terjadi akibat aktivitas
hobi risiko-tinggi atau aktivitas terkait pekerjaan (misalnya, bermain papan
seluncur, panjat tebing, dan lain-lain).
j. Kekerasan langsung: Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada
titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
k. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah
biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
l. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
4. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja dan bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang
melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme yang
kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat
bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.
Fragmen fraktur dapat bergeser kesamping, pada suatu sudut (membentuk sudut),
atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah
(Black, 2014: 644).
Pada Kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan
batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda
yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.
Biasanya, klien ini mengalami trauma multipel yang menyertainya. Secara klinis,
fraktur femur terbuka sering menyebabkan kerusakan neurovaskuler yang
menimbulkan manifestasi peningkatan risiko syok, baik syok hipovolemik karena
kehilangan darah (pada setiap patah satu tulang femur, dipredeksi hilangnya 500
cc dari sistem vaskular) maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat
akibat kompresi atau kerusakan saraf yang berjalan dibawah tulang femur.
Respons terhadap pembengkakan yang hebat adalah sindrom
kompartemen. Sindrom kompartermen adalah suatu keadaan terjebaknya otot,
pembuluh darah, jaringan saraf akibat pembengkakan lokal dengan manifestasi
gejala yang khas, meliputi keluhan nyeri hebat pada area pembengkakan,
penurunan perfusi perifer secara unilateral pada sisi distal pembengkakan, CRT
(Capillary Refill Time) lebih dari 3 detik pada sisi distal pembengkakan,
penurunan denyut nadi pada sisi distal pembengkakan. Komplikasi yang terjadi
akibat situasi ini adalah kematian jaringan bagian distal dan memberikan
implikasi pada peran perawat dalam kontrol yang optimal terhadap
pembengkakan yang hebat pada klien fraktur femur.
Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan hambatan mobilitas fisik
dan diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan deformitas khas pada
paha, yaitu pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa
dilakukan intervensi yang optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya malunion
pada tulang femur. Kondisi klinis fraktur femur terbuka pada fase awal
menyebabkan berbagai masalah keperawatan pada klien, meliputi respons nyeri
hebat akibat kerusakan jaringan lunak dan kompresi saraf, risiko tinggi trauma
jaringan akibat kerusakan vaskular dengan pembengkakan lokal yang
menyebakan sindrom kompartermen yang sering terjadi pada fraktur
suprakondilus, risiko syok hipovolemik sekunder akibat cedera vaskular dengan
perdarahan hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen
tulang, dan risiko tinggi infeksi sekunder akibat port de entree luka terbuka. Pada
fase lanjut, fraktur femur terbuka menyebakan kondisi malunion, non-union, dan
delayed union akibat cara mobilisasi yang salah (Muttaqin, 2012: 207).

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala fraktur meliputi deformitas, pembengkakan, spasme otot,
nyeri tekan, nyeri dan gangguan sensasi serta hambatan mobilitas. Posisi fragmen
tulang ditentukan oleh tarikakn otot yang melekat, gaya gravitasi, dan arah serta
besarnya gaya yang menyebabkan fraktur (Huether & Mccance, 2019: 423).
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doengoes dalam Wijaya (2013: 241), pemeriksaan diagnostik
untuk kejadian fraktur yaitu:
a. Pemeriksaan Rontgen: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur.
b. Skan tulang, tonogramm, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifiksasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah
trauma.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
f. Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera hati
7. Komplikasi
Menurut Price dalam Wijaya (2013:243), komplikasi dari fraktur antara lain:
a. Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
b. Delayedunion adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Nonunion adalah patah tulang yang tidak ada menyambung kembali.
d. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenesasi.
e. Fat embolisme syndroma merupakan tetesan lemak masuk kedalam pembuluh
darah. Faktor risiko terjadinya emboli lemak dan fraktur meningkat pada laki-
laki berusia 20-40 tahun, usia 70 sampai 80 fraktur tahun.
f. Tromboembolik komplication yaitu trombo vena dalam, sering terjadi pada
individu yang imobilisasi dalam waktu yang lama karena trauma atau
ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah
atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedi.
g. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
h. Avascular nekrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptik atau nekrosis
iskemia.
i. Refleks symphathethik dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem
saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin
karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
j. Sindrom Kompartermen, kondisi terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut suatu pembengkakan atau pendarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan harus dilaksanakan secara tim dan
akan dipimpin oleh seorang leader tim yang harus langsung memberikan
pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri. (fulde, Gordian. 2009 dalam buku Maria, Zubaidah, Pusparina,
Norfitri. 2019).
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik
anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah
1. Survey primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation
2. Meminimalisir rasa nyeri
3. Mencegah cedera iskemia-reperfusi
4. Menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi
sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan
tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik
Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru
paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan
pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high
flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir.
3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan
di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha
3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang
terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada
patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal
penting disamping usaha menghentikan pendarahan.
4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka
kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication,
Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme
kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama
jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey,
Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2)
fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look,
kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang
pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi.
Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya
crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel,
kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of
Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal
dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
Wijaya (2013: 241) dan Black (2014: 649), mengatakan bahwa
penanganan fraktur terdiri atas:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan
kemudian di rumah sakit.
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang
patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
1) Reduksi tertutup: Reduksi tertutup harus dilakukan segera setelah cedera
untuk meminimalkan risiko kehilangan fungsi, untuk mencegah atau
menghambat terjadinya artritis traumatik, dan meminimalkan efek
deformitas dari cedera tersebut. Reduksi fraktur bukan merupakan
prosedur darurat, dan kelangsungan hidup klien tidak boleh diabaikan
dengan melakukan reduksi dini.
2) Reduksi terbuka: Reduksi terbuka merupakan prosedur bedah dimana
fragmen fraktur disejajarkan. Reduksi terbuka sering kali dikombinasikan
dengan fikasi internal untuk fraktur femur dan sendi. Sekrup, plat, pin,
kawat, atau paku dapat digunakan untuk menjaga kelurusan dari fragmen
fraktur.
c. Fiksasi Internal memberikan imobilisasi dan membantu mencegah
deformitas, namun bukan suatu pengganti untuk penyembuhan tulang. Jika
penyembuhan gagal, alat fiksasi internal dapat menjadi longgar atau pecah
karena adanya tekanan.
d. Fiksasi Eksternal: Alat fiksasi eksternal menjaga posisi untuk frakturfraktur
yang tidak stabil dan untuk otot-otot yang melemah, dan alat tersebut dapat
menyangga area-area dengan infeksi jaringan atau tulang. Alat tersebut
memungkinkan klien menggunakan sendi yang di dekatnya sementara area
yang terkena tetap diimbobilisasi. Lokasilokasi yang sering diberikan fiksasi
eksternal antara lain wajah dan rahang, tungkai, panggul, tulang rusuk, jari
tangan, dan jari kaki. Pin yang digunakan pada fiksasi eksternal dan
bervariasi jumlah, panjang, dan ketebalannya bergantung pada area yang
ditangani.
e. Traksi: Traksi telah digunakan untuk menangani fraktur sejak masa
prasejarah, dan prinsip-prinsipnya telah diketahui dengan baik oleh
Hipokrates. Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian tubuh yang
cedera atau kepada tungkai, sementara kontraksi akan menarik ke arah yang
berlawanan.
f. Traksi kulit: Traksi kulit adalah pemberian gaya tarik secara langsung ke
kulit dengan menggunakan skin trips, sepatu bot, atau bidai busa. Traksi
Buck adalah jenis traksi kulit yang paling umum. Untuk traksi Buck, sebuah
bot busa dikenakan pada tungkai klien yang terluka dan disambungkan
dengan beban yang menggantung pada ujung ranjang. Traksi kulit
memberikan beban gaya longitudinal yang rendah (5 hingga 7 pon).
g. Traksi skeletal: Traksi skeletal menggunakan pin untuk memberikan gaya
pada tulang. Dengan traksi skeletal, gaya langsung dapat diberikansetelah
dokter memasukkan pin stainless-steel melalui tulang itu sendiri. Lokasi
yang paling umum untuk insersi pin adalah femur distal, tibia proksimal,
dan ulna proksimal. Traksi skeletal dapat ditoleransi untuk waktu yang lama
dibandingkan traksi kulit. Biasanya digunakan berat lebih dari 10 pon.
h. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur.
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan merupakan proses
dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga tahap dasar yaitu: Pertama,
mengumpulkan data secara sistematis, kedua, memilah dan mengatur data yang
dikumpulkan; dan ketiga, mendokumentasikan data dalam format yang dapat
dibuka kembali. Pengumpulan data pengorganisasian data harus menggambarkan
dua hal yaitu:
a. Status kesehatan pasien.
b. Kekuatan pasien dan masalah kesehatan yang dialami (aktual atau
risiko/potensial). Dalam melakukan pengkajian diperlukan keahlian-keahlian
(skill) seperti wawancara, pemeriksaan fisik, dan observasi. Hasil
pengumpulan data kemudian diklasifikasikan dalam data subjektif dan
objektif. Data subjektif merupakan ungkapan atau persepsi yang dikemukakan
oleh pasien. Data objektif merupakan data yang didapat dari hasil observasi,
pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Ada beberapa cara pengelompokkan data,
yaitu:
a) Berdasarkan sistem tubuh.
b) Berdasarkan kebutuhan dasar (Maslow).
c) Berdasarkan teori keperawatan.
d) Berdasarkan pola kesehatan fungsional.

Pengelompokan data berdasarkan teori keperawatan sangat membantu


proses identifikasi diagnosa keperawatan. Sedangkan pengelompokkan data
berdasarkan sistem tubuh juga berguna dalam memberikan masukan kepada
dokter (Wartonah, 2006: 3).

Menurut Krisanty (2009) dan Wijaya (2013), Pengkajian pada pasien


dengan masalah fraktur terdiri atas:

a. Pengkajian
1) Identitas Klien
2) Meliputi: Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, no.
registrasi.
3) Keluhan utama Keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut/ kronik tergantung dari lamanya serangan. Unit
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien
digunakan:
a) Provoking inciden: Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
prepitasi nyeri.
b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut/ menusuk.
c) Ragion Radiation, relief: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar/ menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Saverity (scale of pain): Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri/ menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari/ siang hari.
4) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/
kecelakaan, degeneratif dan patologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekirat yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan,
pucat/perubahan warna kulit dan kesemutan.
5) Kaji Riwayat Trauma
Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma, karena
penampilan luka terkadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada
saksi seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas
melakukan penelitian seluruh badan klien. Pada klien yang gelisah
usahakan mendapatkan data riwayat trauma, karena riwayat trauma ini
menjadi sangat penting pada trauma ekstremitas, pada beberapa
mekanisme yang menyebabkan penting pada trauma ekstremitas tidak
terlihat pada saat pemeriksaan awal.
6) Riwayat Penyakit dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur femur) atau
pernah punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya. \
7) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien ada/ tidak yang menderita osteoproses,
arthritis dan tuberkolosis/ penyakit lain yang sifatnya menurun dan
menular.
8) Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada fraktur akan
mengalami perubahan/ gangguan pada personal hygiene, misalnya
kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada fraktur tidak akan mengalami
penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan
dirumah gizi tetap sama sedangkan di RS disesuaikan dengan Penyakit
dan diet pasien.
c) Pola Eliminasi Kebiasaan miksi/ defeksasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning dan konsisten
defekasi, pada miksi pasien tidak mengalami gangguan.
d) Pola Istirahat dan tidur Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami
gangguan yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
e) Pola Aktivitas dan Latihan Aktivitas dan latihan mengalami
perubahan/ gangguan diri karena terjadi dari fraktur femur sehingga
kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat/ keluarga
f) Pola Aktivitas dan Latihan Aktivitas dan latihan mengalami
perubahan/ gangguan akibat fraktur femur sehingga kebutuhan pasien
perlu dibantu oleh perawat/ keluarga.
g) Pola Persepsi dan Konsep diri Pada fraktur akan mengalami gangguan
diri karena terjadi perubahan pada dirinya, pasien takut cacat seumur
hidup/ tidak dapat bekerja lagi.
h) Pola Sensori Kognitif Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan,
sedang pada pola kognitif atau cara berfikir pasien tidak mengalami
gangguan.
i) Pola Hubungan Peran Terjadinya perubahan peran yang dapat
menganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna
lagi dan menarik diri.
j) Pola Penanggulangan Stress Perlu ditanyakan apakah membuat
pasienmenjadi stress dan biasanya masalah dipendam/ dirundingkan
dengan keluarga.
k) Pola Reproduksi Seksual Bila pasien sudah bekeluarga dan
mempunyai anak, maka akan mengalami pola seksual dan reproduksi,
jika pasien belum bekeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan.
l) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan Adanya kecemasan dan Stress
sebagai pertahanan dan pasien meminta perlindungan/ mendekatkan
diri dengan Allah SWT.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah aktual dan risiko dalam rangka mengidentifikasi dan
menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau
mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya (Wartonah,
2006: 4).
Menurut Andra (2013) dan Krisanty Paula (2009), diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada pasien dengan fraktur yaitu:
a) Nyeri Akut berhubungan dengan Agen pencedera fisik (Trauma)
b) Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang
c) Ansietas berhubungan dengan kurang tepapar informasi
d) Risiko Syok ditandai dengan faktor risiko kekurangan volume cairan
e) Risiko Jatuh ditandai dengan faktor risiko Kondisi pasca operasi
3. Perencanaan
Nursalam (2008), mengemukakan bahwa perencanaan keperawatan harus sesuai
dengan SMART yaitu spesifik (S) yaitu tujuan harus spesifik dan tidak
menimbulkan arti ganda, measurable (M) yaitu tujuan keperawatan harus dapat
diukur, khususnya tentang prilaku klien, achievable (A) yaitu tujuan harus dapat
dicapai, reasonable (R) tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
time (T) yaitu tujuan harus mempunyai batas waktu yang jelas.

Rencana keperawatan pada pasien yang mengalami fraktur menurut (SLKI, 2019;
SIKI, 2018)

No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan 1.1 Identifikasi lokasi karakteristik,
berhubungan tindakan keperawatan durasi, frekuensi,
dengan Agen selama proses kualitas, intensitas nyeri
pencedera fisik perawatan diharapkan 1.2 Identifikasi skala nyeri
nyeri akut menurun 1.3 Identifikasi respons nyeri non
(Trauma)
dengan, kriteria hasil: verbal
- Keluhan nyeri (3-5) 1.4 Identifikasi faktor yang
- Meringis (3-5) memperberat dan
- Gelisah (3-5) memperingan nyeri
Keterangan: 1.5 Identifikasi pengetahuan dan
1 = Meningkat keyakinan tentang nyeri
2 = Cukup meningkat 1.6 Monitor efek samping
3 = Sedang penggunaan analgetik
4 = Cukup menurun 1.7 Berikan teknik nonfarmakologis
5 = Menurun untuk mengurangi
rasa nyeri
1.8 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
1.9 Fasilitasi istirahat dan tidur
1.10 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
1.11 Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
1.12 Jelaskan startegi meredakan
nyeri
1.13 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
1.14 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
1.15 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi
rasa nyeri
1.16 Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan 2.1 Identifikasi adanya nyeri atau
Fisik berhubungan tindakan keperawatan keluhan fisik lainnya
dengan kerusakan selama proses 2.2 Identifikasi toleransi fisik
integritas struktur perawatan diharapkan melakukan ambulasi
tulang gangguan mobilitas 2.3 Monitor frekuensi jantung dan
fisik dapat meningkat tekanan darah sebelum
dengan, kriteria hasil: memulai ambulasi
- Pergerakan 2.4 Monitor kondisi umum selama
ekstremitas (3-5) ambulasi
- Kekuatan otot (3-5) 2.5 Fasilitasi aktivitas ambulasi
Keterangan: dengan alat bantu (mis.
1 = Menurun Tongkat, kruk)
2 = Cukup menurun 2.6 Fasilitasi melakukan mobilisasi
3 = Sedang fisik, jika perlu
4 = Cukup meningkat 2.7 Libatkan keluarga untuk
5 = Meningkat membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
2.8 Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
2.9 Anjurkan melakukan ambulasi
dini
2.10 Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Berjalan sesuai toleransi)
3 Ansietas Setelah dilakukan 3.1 Identifikasi saat tingkat ansietas
berhubungan tindakan keperawatan berubah (mis. Kondisi,
dengan kurang selama proses waktu, stresor)
tepapar informasi perawatandiharapkan 3.2 Identifikasi kemampuan
ansietas dapat menurun pengambilan keputusan
dengan, kriteria hasil: 3.3 Memonitor tanda-tanda ansietas
- Perilaku gelisah (3- (verbal dan nonverbal)
5) 3.4 Ciptakan suasana terapeutik
- Perilaku tegang (3- untuk menumbuhkan
5) kepercayaann
- Konsentrasi (3-5) 3.5 Temani pasien untuk mengurangi
Keterangan: kecemasan, jika
1 = Meningkat memungkinkan
2 = Cukup meningkat 3.6 Pahami situasi yang membuat
3 = Sedang ansietas
4 =Cukup menurun 3.7 Dengarkan dengan penuh
5 = Menurun perhatian
3.8 Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
3.9 Motivasi mengidentifikasi situasi
yang memicu
kecemasan
3.10 Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan, prognosis
3.11 Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika
perlu
3.12 Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
3.13 Latih teknik relaksasi
3.14 Kolaborasi pemberian obat
ansietas, jika perlu
4 Risiko Syok Setelah dilakukan 4.1 Monitor status kardiopulmonal
ditandai dengan tindakan keperawatan (frekuensi dan kekuatan
faktor risiko selama proses nadi, frekuensi napas, TD,
kekuranganvolume perawatandiharapkan MAP)
risiko syok tidak terjadi 4.2 Monitor status oksigenasi
cairan dan menurun dengan, (Osimetri, nadi, AGD)
kriteria hasil: 4.3 Monitor status cairan (masukan
- Akral dingin (3-5) dan haluaran, turgor
- pucat (3-5) kulit, CRT)
- Kekuatan nadi (3-5) 4.4 Monitor tingkat kesadaran
Keterangan: pasien dan respon pupil
1 = Meningkat 4.5 Periksa riwayat alergi
2 = Cukup meningkat 4.6 Berikan oksigen untuk
3 = Sedang mempertahankan saturasi
4 = Cukup menurun oksigen >94%
5 = Menurun 4.7 Pasang jalur IV, jika perlu
4.8 Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine, jika
perlu
4.9 Lakukan skin test untuk
mencegah alergi
4.10 Jelaskan penyebab/ faktor risiko
syok
4.11 Jelaskan tanda dan gejala awal
syok
4.12 Kolaborasi pemberian IV, jika
perlu
4.13 Kolaborasi pemberian transfusi
darah, jika perlu
4.14 Kolaborasi pemberian
antiinflamasi, jika perlu
5 Risiko Jatuh Setelah dilakukan 5.1 Identifikasi faktor risiko jatuh
ditandai dengan tindakan keperawatan (mis. Gangguan
faktor risiko selama proses keseimbangan)
Kondisi pasca perawatandiharapkan 5.2 Identifikasi risiko jatuh
risiko jatuh tidak terjadi setidaknya sekali setiap shift
operasi
dan menurun dengan, atau sesuai dengan kebijakan
kriteria hasil: institusi
- Jatuh dari tempat 5.3 Hitung risiko jatuh dengan
tidur (3-5) menggunnakan skala (Fall
- Jatuh saat berdiri (3- Morse Scale)
5) 5.4 Orientasikan ruangan pada
- Jatuh saat duduk (3- pasien dan keluarga
5) 5.5 Pasang handrail tempat tidur
Keterangan: 5.6 Atur tempat tidur mekanis pada
1 = Meningkat posisi terendah
2 = Cukup meningkat 5.7 Anjurkan memanggil perawat
3 = Sedang jika membutuhkan
4 = Cukup menurun bantuan untuk berpindah
5 = Menurun

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan atau biasa juga disebut implementasi merupakan tindakan
yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien (Wartonah, 2006: 6). Tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi.
a. Tindakan mandiri (Independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan
pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain.
b. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain. Agar lebih jelas dan akurat
dalam melakukan implementasi diperlukan perencanaan keperawatan yang
spesifik dan operasional. Bentuk implementasi keperawatan adalah sebagai
berikut:
a) Bentuk perawatan, pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mempertahankan masalah yang ada.
b) Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu menambah
pengetahuan tentang kesehatan.
c) Konseling pasien untuk memutuskankesehatan pasien.
d) Konsultasi atau merefer dengan tenaga profesional kesehatan lainnya
sebagai bentuk perawatan holistik.
e) Bentuk penatalaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan
masalah kesehatan.
f) Membantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri.
3.4.1 Perencanaan yang dapat diimplementasikan tergantung pada aktivitas
berikut ini: Kesinambungan pengumpulan data.
3.4.2 Penentuan proritas.
3.4.3 Bentuk intervensi keperawatan.
3.4.4 Dokumentasian asuhan keperawatan.
3.4.5 Pemberian catatan perawatan secara verbal.
3.4.6 Mempertahankan rencana pengobatan
5. Evaluasi
Hidayat (2008: 124), mengatakan bahwa evaluasi merupakan langkah
terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan idenfikasi sejauh mana
tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi
perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua
kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses
perawatan berlangsung atau menilai dari respon klien disebut evaluasi proses, dan
kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut
sebagai evaluasi hasil.
Adapun Jenis evaluasi yaitu:
a. Evaluasi Formatif:
Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan
respons segera kaji ROM ekstremitas atas klien, hasil evaluasi ROM
mengalami keterbatasan dengan hasil pengkajian gerakan sendi mengalami
keterbatasan seperti pada fleksi siku 100 derajat, (normalnya 150 derajat),
fleksi pergelangan tangan 50 derajat (normalnya 80-90 derajat), abduksi pada
bahu 120 derajat (normalnya derajat).

b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan.
Disamping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai
kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau
tercapai sebagian.
1) Tujuan tercapai
Tujuan ini dikatakan tercapai apabila klien telah menunjukkan perubahan
dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara
keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau
penyebabnya. Seperti pasien dapat makan sendiri tetapi masih mual
setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukkan adanya perubahan ke
arah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.

C. ANALISIS JURNAL

“Gambaran Lokasi dan Tingkat Nyeri Muskuloskeletal Pada Perawat Rawat Inap Di
Rumah Sakit”

“Karakteristik Pasien Fraktur Ekstremitas Bawah”

“Hubungan Motivasi & Supervisi Dengan Kepatuhan Perawat Dalam Pnggunan Alat
Pelindung Diri (APD) Pada Penanganan Pasien Gangguan Muskuloskeetal Di IGD Rsup
Prof DR. R. D. Kandou Manado”
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengrui Ambuasi Dini Post Orif Pada Pasien Fraktur
Femur Study Retrospektif”

“Terapi Non Farmakologi Dalam Pernanganan Diagnosis Nyeri Akut Pada Fraktur Femur
: Systematic Review”

Dalam esay ini akan dijelaskan mengenai Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskoletal “Open Fraktur Femur Grade II bersumber dari lima jurnal. Junal yang
prtama berjudul “Gambaran Lokasi dan Tingkat Nyeri Muskuloskeletal Pada Perawat
Rawat Inap Di Rumah Sakit”, Jurnal kedua berjudul “Karakteristik Pasien Fraktur
Ekstremitas Bawah”, Jurnal ketiga berjudul “Hubungan Motivasi & Supervisi Dengan
Kepatuhan Perawat Dalam Pnggunan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Penanganan
Pasien Gangguan Muskuloskeetal Di IGD Rsup Prof DR. R. D. Kandou Manado”, Jurnal
keempat berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengrui Ambuasi Dini Post Orif
Pada Pasien Fraktur Femur Study Retrospektif” dan Jurnal kelima berjudul “Terapi Non
Farmakologi Dalam Pernanganan Diagnosis Nyeri Akut Pada Fraktur Femur : Systematic
Review”. Pada bagian berikut akan dibahas mulai dari latar belakang, metode, hasil,
hasil, pembahasan, keterbatasan dan kesimpuan.

1. Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan oleh


trauma, biasa juga disebut patahan dan biasanya tak lebih atau lebih dari satu retakan
bahkan patahan lengkap dan fragmen tulang bergeser. Sedangkan fraktur femur terbuka
adalah patahnya tulang paha sehingga ujung tulang menonjol sampai menembus kulit
akibat dari trauma langsung pada paha yang menyebabkan kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah).

Latar belakang dari jurnal pertama adalah Penelitian ini bertujuan mengetahui
gambaran lokasi dan tingkat nyeri muskuloskeletal pada perawat di ruang rawat inap RS.
Latar belakang dari jurnal kedua adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik pasien fraktur ekstremitas bawah. Latar belakang jurnal ketiga adalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“Hubungan Motivasi & Supervisi dengan Kepatuhan Perawat dalam Penggunaan APD
pada Penanganan Pasien Gangguan Muskuloskeletal di RSUP Prof Dr. R. D. Kandou
Manado”. Latar belakang Jurnal keempat adalah Berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi ambulasi dini dan hasil survey pendahuluan maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi ambulasi dini post ORIF
pada pasien fraktur femur. Latar belakang jurnal kelima adalah Teknik non farmakologi
banyak digunakan untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur, selain itu terapi non
farmakologi tidak memiliki efek samping. Dalam studi ini, penulis ingin membahas
tentang teknik non farmakologi untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur.

2. Metode

Pada jurnal pertama metode yang digunakan adalah Penelitian dilakukan pada
tahun 2018 pada 41 perawat ruang rawat inap RS Nasional Diponegoro Semarang.
Desain penelitian adalah survei deskriptif. Pengambilan sampel penelitian dilakukan
dengan teknik Purposive sampling dengan kriteria inklusi meliputi sudah bekerja minimal
6 bulan dan melakukan tindakan keperawatan langsung (direct care) pada pasien.
Penilaian lokasi dan tingkat nyeri dengan kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner ini
meliputi 28 pertanyaan tentang keluhan nyeri atau kaku di sekujur tubuh dari atas sampai
bawah meliputi leher atas dan bawah, bahu kiri dan kanan, lengan atas kiri dan kanan,
punggung, pinggang, bokong, pantat, siku kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan,
pergelangan tangan kiri dan kanan, tangan kiri dan kanan, paha kiri dan kanan, lutut kiri
dan kanan, betis kiri dan kanan, pergelangan kaki kiri dan kanan, kaki kiri dan kanan.
Pilihan jawaban responden bertingkat dari tidak sakit, agak sakit, sakit sampai sangat
sakit. Analisis univariat diterapkan untuk mengetahui prosentase dan distribusi frekuensi
nyeri muskuloskeletal.

Jurnal kedua metode yang digunakan adalah atif dengan desain deskriptif
kuantitatif dengan pendekatan observasional dan studi dokumentasi. Penelitian ini
mengambarkan karakteristik pada pasien fraktur ekstremitas bawah. Populasi dalam
penelitian ini yaitu pasien fraktur ekstremitas bawah selama perawatan di ruang ortopedi
di RSU dr. Slamet Garut, waktu penelitian yaitu dari bulan Februari sampai Juli tahun
2015. Sampel yang digunakan yaitu menggunakan desain total sampling. Total responden
yang menjdi sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 orang.
Jurnal ketiga metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan rancangan
cross sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu purposive sampling
dengan jumlah 59 sampel. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan
lembar observasi. Pengolahan data menggunakan program SPSS dengan uji chi-square
dengan tingkat kemaknaan 95% (α = 0,05).

Jurnal keempat metode yang digunakan adalah penelitian analitik non-


eksperimental dengan rancangan penelitian cross-sectional pendekatan retrospektif.
Variabel dependen pada penelitian ini adalah ambulasi dini sedangkan variabel
independen penelitian antara lain: karakteristik pasien, status kesehatan dan faktor
fisiologis. Populasi pada penelitian ini semua pasien post ORIF pada fraktur femur cara
pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling dan besar sampel adalah 82
responden yang sesuai dengan kriteria inklusi. Analisa data yang digunakan adalah
univariat, bivariat menggunakan uji chi-aquare dan multivariat dengan uji regresi logistik.

Jurnal kelima metode yang digunakan adalah systematic review menggunakan


Duffy’s Research Appraisal Checklist Approach, dilanjutkan dengan analisis kompratif
untuk melihat perbandingan antara pikiran utama karya tulis ini dengan beberapa teori
yang relevan.

3. Hasil dan pembahasan

Pada jurnal pertama Hasil penelitian menunjukkan 34 (82,9%) perawat merasakan


nyeri pada salah satu bagian tubuh, dimana leher atas merupakan bagian tubuh yang
paling banyak mengalami nyeri dengan kategori agak sakit mencapai 16 (39%) perawat,
sedangkan nyeri kategori sakit paling banyak pada leher atas dan pinggang mencapai 5
(12,2%) perawat. Pekerjaan sebagai perawat menyebabkan keharusan berada pada posisi
dan gerakan yang meningkatkan risiko kejadian nyeri muskuloskeletal. Salah satu faktor
risiko yang dapat menimbulkan nyeri muskuloskeletal adalah praktik ergonomi yang
meliputi mengangkat, gerakan berulang serta desain perangkat kerja; berdiri dalam
waktu lama, beban kerja fisik yang tinggi, serta gerakan membungkuk dan memutar yang
sering (OR:1,69) (Adhikari dan Dhakal, 2014: 169). Selain posisi dan perilaku kerja
yang tidak ergonomis, keluhan nyeri muskuloskeletal pada perawat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan otot rangka,
termasuk nyeri pada perawat meliputi pengetahuan, kekerasan di tempat kerja (OR: 2.01),
ansietas/ depresi (OR:1,96), peningkatan usia setiap 10 tahun (OR:1,4), tinggi badan,
berat badan berlebih (OR: 1,39) bekerja dengan shift 12 jam lebih, serta frekuensi shift
malam (Madiba dkk., 2013: 22; Thinkhamrop dan Laohasiriwong, 2015: 4; Rochman,
dkk., 2019: 274). Nyeri muskuloskeletal dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
pada perawat, termasuk produktivitas kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan saat
mengalami nyeri punggung bawah 44% perawat tidak mampu melaksanakan tugasnya
dengan tepat, 33% menjadi kurang produktif, 28% mengalami keterbatasan dalam
bekerja, serta 26% tidak dapat memberikan asuhan yang berkualitas pada pasien
(Adhikari dan Dhakal, 2014: 169). Harus dilakukan upaya untuk mengatasi nyeri
muskuloskeletal yang terjadi pada perawat. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk
mengatasi nyeri muskuloskeletal pada perawat. Secara umum upaya tersebut dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu rekayasa teknik, administratif serta perilaku
(Nelson, 2004: 4). Pengendalian teknik yang dapat dilakukan misalnya dengan
penggunaan sabuk punggung serta alat untuk penanganan pasien (patient handling
equipment and devices). Pengendalian administratif misalnya dengan modifikasi aturan
kerja dan prosedur, rotasi kerja, serta pelatihan perawat tentang ergonomi. Pengendalian
perilaku dapat dilakukan dengan perawat melakukan teknik kerja yang ergonomis misal
pada saat mengangkat, serta latihan punggung (back exercise) (Nelson, 2004: 5-12;
Fiter dkk., 2018: 3).

Pada jurnal kedua Hasil dari penelitian ini yaitu semua responden berjenis
kelamin laki-laki (100%), sebagian besar responden berusia 36-45 (42,5%), untuk jenis
fraktur sebagian besar yaitu fraktur terbuka sebanyak 25 (62,5%) dan lokasi fraktur
terbanyak yaitu pada tibia sebanyak 26 responden (62,5%). Fraktur dapat memengaruhi
produktivitas penderita akibat adanya gangguan ekstremitas akibat cedera yang
menganggu fungsi tubuh. Dengan mengetahui karakteristik pasien fraktur ekstremitas
bawah, maka perawat dapat melakukan intervensi keperawatan yang sesuai. Penelitian ini
menunjukkan bahwa penyebab fraktur terbanyak yaitu akibat kecelakaan. Hal ini sesuai
dengan penelitian Kairufan, Monoarfa dan Ngantung (2015) bahwa trauma terbanyak
adalah akibat kecelakaan. Sama halnya dengan penelitian lainnya bahwa kasus terbanyak
akibat kecelakaan akibat mekanisme cedera. Fraktur terbanyak adalah fraktur pada
ektermitas bawah (Walidatul & Halimuddin, 2016).Untuk usia sebagian besar pada usia
produktif. Hal ini dikarenakan usia tersebut merupakan usia produktif yang lebih banyak
melakukan aktivitas dan mobilisasi. Patah tulang terjadi di berbagai lingkungan sistemik
yang berbeda, termasuk pada orang muda, orang sehat dan lebih tua, orang yang kurang
sehat, dan segala sesuatu di antaranya tanpa mengenal kelompok usia (Norris et al.,
2018). Mekanisme trauma yang terbanyak pada shaf tibia yaitu akibat high energy
(Dehandra et al., 2019) Fraktur luka terbuka pada penelitian ini lebih banyak
dibandingkan fraktur dengan luka tertutup. Penyebab fraktur tibia terbuka yaitu akibat
kecelakaan (Schade et al., 2020). Penelitian lain yang berbeda menyebutkan bahwa
kejadian fraktur femur menunjukkan jenis fraktur tertutup. Fraktur tertutup lebih banyak
dibanding fraktur terbuka (Desiartama & Aryana, 2017). Adapun untuk jenis kelamin
tidak berpengaruh pada angka kejadian fraktur. Fraktur tibia sangat lazim dalam layanan
kegawatdaruratan ortopedi dan cenderung dikaitkan dengan profil pasien tertentu,
biasanya memengaruhi pria usia produktif secara ekonomi. Hal ini umumnya
menyebabkan pasien tidak dapat kembali ke pekerjaan untuk waktu lama, memerlukan
banyak kunjungan medis untuk sementara, dan menghasilkan biaya sosial yang tinggi.
Fraktur terbuka dikaitkan dengan trauma yang lebih parah, diekspresikan dalam rawat
inap yang lebih lama (Santos et al., 2018). Fraktur terbuka disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas jalan atau jatuh dari ketinggian. Fraktur terbuka lebih umum pada pria yang
lebih muda (Court-Brown et al., 2018). Dampak fraktur yaitu terjadinya kecacatan,
bahkan kematian. Pada usia produktif apabila terjadi fraktur maka akan memengaruhi
aktivitas dan produktivitas. Tidak hanya usia produktif, semua usia apabila mengalami
cedera seperti fraktur terutama ektermitas bawah maka akan mengalami penurunan
fungsi. Penelitian ini menunjukkan lokasi fraktur terbanyak yaitu pada tibia kemudian
diikuti oleh fraktur fibula dan femur karena fraktur berkaitan dengan mekanisme cedera
dan jenis kendaraan. Penelitian lain yang menunjukan hal yang sama dengan penelitian
ini, yaitu kasus fraktur terbanyak terjadi pada area tibia (Santos et al., 2018).Fraktur
ekstremitas bawah merupakan mekanisme cedera yang memengaruhi mobilisasi sehingga
dampak yang ditimbulkan dapat memengaruhi stabilitas penderita. Fraktur ekstremitas
bawah memerlukan penanganan yang baik karena memengaruhi fungsi fisik. Setelah
proses rawat inap maka diperlukan rehabilitasi yang cukup lama, sehingga bagi perawat
pendidikan kesehatan dan dasar karakteristik penderita fraktur perlu diketahui berkaitan
dengan penanganan selanjutnya. Perawat dapat melakukan discharge planning sebagai
bekal pada pasien fraktur ekstremitas bawah karena perawatan tidak hanya terbatas
perawatan di area rumah sakit, tetapi setelah rawat inap.

Jurnal ketiga Hasi penelitian dengan menggunakan analisis uji chi-square


menunjukkan terdapat hubungan motivasi dengan kepatuhan perawat (p=0,011) dan
terdapat hubungan supervisi dengan kepatuhan perawat (p=0,003). Hasil penelitian ini
didukung oleh peneliti sebelumnya oleh Hanifah (2015) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara pengawasan kepala ruangan dengan tingkat kepatuhan
perawat dalam penggunaan glove pada tindakan injeksi di RSUD Wonosari. Supervisi
adalah bagian dan proses pengendalian, yang merupakan tindak lanjut follow-up
implementasi kegiatan untuk memastikan agar pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana
(patuh atau tidak terhadap standar) (Afriyani, 2012). Kepatuhan adalah suatu perilaku
manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur, dan disiplin. Menurut peneliti,
yang menjadi peyebab sebagian besar perawat telah patuh menggunakan APD yaitu
karena adanya pengawasan dari kepala ruangan, kepala bagian keperawatan, dan dari
pihak Infection Prevention and Control Nurse (IPCN), yang rutin melakukan kunjungan
ke Intalasi Gawat Darurat untuk melakukan pengontrolan terhadap petugas kesehatan
dalam hal ini penggunaan APD.

Pada jurnal keempat Penelitian menunjukan pendidikan (p=0,000), jenis kelamin


(p=0,028), usia(p=0,000), Hb (p=0,029),nyeri (p=0,001), dan lokasi fraktur (p=0,007),
adalah faktor yang berpengaruh. Model multivariate didapatkan faktor lokasi fraktur
menjadi faktor yang paling mempengaruhi ambulasi dini post ORIF pada pasien fraktur
femur dengan (p=0,023) dan nilai OR 2.140. Femur merupakan tulang paling panjang
dan kuat dan yang dapat dibagi menjadi 3 bagian: proksimal, median, dan distal. Bagian
proksimal terdiri dari kepala, leher, dan trochanter35.Kepala femur terdapat dalam
acetabulum pada pelvis.Kepala femur mempunyai ukuran yang bervariasi tergantung
proporsi IMT (Indeks Massa Tubuh) dan kirakira berdiamater kisaran 38-58 mm
menutupi ligamen kartilago dengan rata-rata ketebalannya 3-4 mm2.Pada fraktur
intertrochanter merupakan fraktur yang paling sering di operasi dengan fatality rate pasca
operasi yang tinggi, serta menjadi beban ekonomi yang berat akibat biaya perawatan
pasca trauma yang tinggi. Alasan mengenai tingginya biaya perawatan, diakibatkan
buruknya waktu penyembuhan pasien pasca operasi untuk kembali dapat melakukan
mobilisasi secara mandiriCanale (2008) Collum femur paling sempit ada pada bagian
tengahnya dan bagian paling lebar adalah pada bagian lateral. Collum menghubungkan
caput terhadap corpus femur dengan sudut inklinasi (Neck Shaft Angle) kurang lebih
1250, hal ini memfailitasi pergerakan pada sendi coxae dimana tungkai dapat mengayun
secara bebas terhadap pelvis.

Menurut Potter& Perry (2010) pada penelitianya The Timing Of Surgery For
Proximal Femoral Fracture bahwa dari 4 karakteristik responden berdasarkan waktu
admisi operasi hasilnya yaitu rata-rata mobilisasi untuk group <24 jam adalah 5,3 group
24 s/d 47 jam nilai rata-rata mobilisasinya adalah 4,8 group 48 s/d 72 jam adalah 5,5 dan
group >72 jam nilai rata-rata mobilisasinya adalah 4,5. Waktu dilakukannya
pembedahan adalah salah satu faktor yang dapat dimodifikasi serta memiliki dampak
terhadap kemampuan pasien untuk kembali ke aktivitas sehari-hari.Hubungan antara
waktu dilakukannya pembedahan fraktur proksimal femur dengan hasil akhir operasi
telah menjadi subjek penelitian untuk waktu yang lama.Waktu penundaan operasi yang
singkat berkaitan dengan penurunan tingkat komplikasi paska operasi.Telah
dipublikasikan bahwa operasi yang dilakukan sedini mungkin (dalam 24 hingga 36 jam
paska admisi ke rumah sakit) berhubungan dengan komplikasi paska operasi yang lebih
minimal (pneumoni, konfusi, ulkus decubitus) dan waktu tinggal di rumah sakit yang
lebih singkat.Namun, operasi yang dini tidak memperpanjang harapan hidup pasien.Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Amer bahwa penundaan waktu operasi akan
menyebabkan waktu imobilisasi yang lebih panjang dan dapat menginduksi proses atrofi
pada otot (Zuckerman J.D, 1995).

Pada jurnal kelima Berdasarkan hasil pencarian artikel penelitian, didapatkan 363
jurnal yang membahas tentang fraktur, namun terdapat 34 jurnal yang membahas tentang
terapi non farmakologi untuk menangani nyeri pada pasien fraktur berdasarkan kriteria
inklusi dan lembar penilaian Duffy’s Research Appraisal Checklist Approach. Penulis
mengambil artikel dilihat dari segi aplikabilitas intervensi dan sesuai dengan kriterian
inklusi yang telah ditetapkan yaitu artikel tahun 2015-2018 fulltext artikel yang sesuai
dengan topic, terdapat ISSN, jurnal yang terbit di Asia Tenggara, merupakan jurnal
intervensi untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur, merupakan intervensi non
farmakologi, intervensi yang efisien berdasarkan hasil penelitian serta intervensi yang
mudah dilakukan. Terapi non farmakologis tersebut di antaranya terapi musik, meditasi
dzikir, kompres dingin, terapi Asmaul Husna, cold pack, relaksasi nafas dalam dan
ROM.

Terdapat 9 Jurnal yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi dan lembar penilaian
Duffy’s Research Appraisal Checklist Approach,dari 9 jurnal yang terpilih terdapat 4
terapi non farmakologi yang efektif dalam menurunkan skala nyeri pada pasien fraktur
yaitu, teknik distraksi, relaksasi nafas dalam, kompres dingin (Cold Pack) dan Range of
Motion (ROM)

Hasil yang didapatkan terdapat 5 jurnal yang menggunakan distraksi pendengarn


dalam menangani nyeri pada pasien fraktur. Distraksi pendengaran dari 5 jurnal tersebut
adalah terapi musik instrumental dan terapi mendengarkan Asmaul Husna. Berdasarkan
hasil penelitian terapi tersebut efekti dalam menurunkan skala nyeri pada pasien fraktur.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Rostini, 2017) membuktikan bahwa terdapat
pengaruh pemberian terapi musik terhadap tingkat nyeri pada pasien fraktur di rumah
sakit umum nene malomo kabupaten sidrap, dari hasil penelitian tersebut terjadi
penurunan tingkat nyeri dengan mean 8,33 menjadi mean 7,36. Distraksi pendengaran
merupakan salah satu tindakan untuk mengatasi nyeri pada fraktur, individu yang
mengalami kesakitan akan merasa rileks saat mendengarkan musik atau sejenisnya.
pelepasan opioid endogen, atau disasosiasi. Musik atau sejenisnya memberikan efek
distraksi dan sisasosiasi opiat endogen di beberapa fosi didalam otak, termasuk
hipotalamus dan sistem limbik (Joyce & Jane, 2014). Musik merupakan sebuah
rangsangan pendengaran yang terorganisir yang terdiri atas melodi, ritme, harmoni,
timbre, bentuk dan gaya. Jenis musik yang efektif dalam mengatasi nyeri adalah musik
klasik karena musik klasik memiliki tempo yang berkisar antara 60-80 beats per menit
setara dengan detak jantung manusia. Musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang
menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan
sedih (Ani & Diah, 2016).

Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan relaksasi nafas dalam
untuk mengatasi nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur. Hasil penelitian yang
didapatkan menurut dengan hasil relaksasi nafas dalam efektif digunakan untuk
menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien pre maupun post operasi fraktur. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Leila & Reza, 2018)
membuktikan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon didapatkan
nilai p-value : 0,001 dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh teknik relaksasi nafas
dalam terhadap nyeri pada pasien fraktur, Relaksasi nafas dalam dapat memberikan
perubahaan yang dirasakan pada oleh tubuh secara fisiologis yang bersifat emosional
serta sensorik. Relaksasi nafas dalam merupakan salah satu terapi non farmakologi yang
mmberikan efek relaksasi yang dapt menurunkan skala nyeri dengan merangsang susunan
saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang guna untuk memproduksi
pengeluaran hormone edorphine yang membantu untuk menurunkan skala nyeri yang
dirasakan oleh individu. (S.B. AJI, 2015) Selain menurunkan nyeri pada pasien fraktur
relaksasi nafas dalam juga dapat menurunkan berbagai macam nyeri yang dirasakan oleh
pasien misalnya nyeri yang dirasakan oleh pasien post section Caesar, hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Kristiarini, 2013) dengan hasil penelitian yang
didapatkan terdapat pengaruh relaksasi autogenic terhadap penurunan nyeri pada ibu post
section Caesar dengan hasil uji statistik yang didapatkan yaitu p-value: 0,000

Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan teknik non


farmakologi yaitu kompres dingin (Cold Pack) hasil penelitian dari kedua jurnal tersebut
adalah terdapat pengaruh kompres dingin terhadap penurunan skala nyeri yang dirasakan
oleh pasien fraktur. Kompres dingin (Cold Pack) eektif digunakan untuk menurunkan
nyeri yang dirasakan oleh pasien. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh (E.Purnamasari. 2014) dengan hasil penelitian sebelum diberikan kompres
dingin didapatkan 21 responden dengan nyeri sedang setelah diberikan kompres dingin
terdapat 2 responden yang tidak nyeri dan 19 responden yang nyeri ringan. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p-value :0,000 dapat disimpulkan bahwa kompres dingin efekti
digunakan untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur. Kompres dingin
merupakan salah satu tindakan keperawatan dan banyak digunakan untuk menurunkan
nyeri. Sensasi dingin yang dirasakan memberikan efek fisiologis yang dapat menurunkan
respon inflamasi, menurunkan alirah darah, mampu menurunkan edema serta mengurangi
rasa nyeri local. Secara fisiologis, 10-15 menit setelah diberikan kompres dingin terjadi
proses vasokonstriksi dari efek releks otot polos yang dapat timbul akibat stimulasi
system saraf otonom serta mampu menstimulasi pengeluaran hormone endorphine.
(Novita, 2010) Bleakley et al (2007), me;lakukan penelitian terkait penangan cedera
dengan menggunakan es, hasil yang didapatkan yaitu jaringan lunak yang cedera dapat
menurunkan nyeri serta menghilangkan pembengkakan. Terapi es ini dianjurkan 1-3 hari
setelah cedera atau pada saat fase cedera akut. Selama itu, pembuluh darah disekitar
jaringan yang terluka membuka nutrisi dan cairan masuk ke dalam darah untuk
membantu penyembuhan jaringan.

Hasil yang didapatkan terdapat 1 jurnal yang menggunakan Range of motion


(ROM) sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan skalai nyeri. Hasil penelitian
yang didapatkan ROM efektif digunakan untuk menurunkan skala nyeri pada pasien post
operasi fraktur. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yuanik,
2014) didapatkan nilai p-value: 0,000 yang dapat disimpulkan bahwa ROM Exercise dini
pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah (fraktur femur dan fraktur
cruris) terhadap lama hari rawat. ROM merupakan upaya pengobatan yang
penatalaksanaannya menggunakan latihan gerak baik secara aktif maupun secara pasif.
ROM diberikan untuk mengatasi gangguan ungsi gerak, mecegah komplikasi,
mengurangi nyeri dan edema dan melatih aktivitas akibat operasi. Rom diberikan pada
bagian yang mudah kontraski dan relaksasi sehingga pasien yang telah menjalani operasi
fraktur tidak mengalami kekakuan otot. (Hendrik, 2012) Pesnelitian yang dilakukan oleh
Tati (2015) dengan judul pengaruh latihan ROM aktif terhadap kekuatan otot pada pasien
post operasi fraktur tibia, hasil uji statistik dengan menggunakan Paired sample t-test
didapatkan nilai p-value: 0,000 yang dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh latihan
ROM aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur tibia.

4. KESIMPULAN
Kesimulan yang dapat diambil dari 5 jurnal yaitu :

Jurnal pertma adalah Sebagian besar perawat merasakan nyeri pada salah satu
bagian tubuhnya. Bagian tubuh perawat yang paling banyak merasakan tidak nyeri adalah
lengan bawah kanan dan kiri, mengalami nyeri dengan kategori agak sakit adalah leher
atas dan kategori sakit adalah leher atas dan pinggang

Jurnal kedua yaitu fraktur terbanyak akibat kecelakaan pada laki-laki


dengan usia produktif. Fraktur dapat memengaruhi produktivitas penderita akibat adanya
gangguan ekstremitas akibat cedera yang mengganggu fungsitubuh. Dengan mengetahui
karakteristik pasien fraktur ekstremitas bawa, maka perawat dapat melakukan intervensi
keperawatan yang sesuai.

Jurnal ketiga yaitu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di IGD
RSUP Prof Dr. R.D. Kandou Manado, sebagian besar responden memiliki motivasi yang
baik, pengawasan/supervisi yang baik, dan tingkat kepatuhan yang baik. Terdapat
hubungan yang bermakna antara motivasi & supervisi dengan kepatuhan perawat dalam
penggunaan APD pada penanganan pasien gangguna muskuloskeletal di IGD RSUP Prof
Dr. R. D. Kandou Manado.

Jurnal keempat yaitu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada


82responden post ORIF pada pasien fraktur femur di RSU Siaga Medika Banyumas
didapatkankesimpulan :sebagian besar responden melakukan ambulasi dini post ORIF
pada pasien fraktur femur. Hasil uji regresi logistik didapatkan 3 faktor yang
berpengaruh secara significan yaitu faktor Hb dengan nilai p=0,014 dan dengan OR 0,101,
kemudian faktor nyeri p = 0,002 dengan OR 0,230 dan lokasi fraktur yang paling
berpengaruh terhadap ambulasi dini post ORIF pada pasien fraktur femur. Faktor lokasi
fraktur memiliki ods ratio p = 0.023, dengan nilai OR 2.140 dan dapat disimpulkan bahwa
lokasi fraktur merupakan factor yang paling berpengaruh terhadap ambulasi dini post
ORIF pada pasien fraktur femur.

Jurnal kelima yaitu Berdasarkan hasil penelitian dari sembilan artikel tersebut
menyatakan bahwa terapi non farmaologi yang efekti dalam menurunkan skala nyeri pada
pasien fraktur adalah Distraksi pendengaran, Relaksasi nafas dalam, kompres dingin (Cold
Pack) dan Range of Motion (ROM). Kelima terapi tersebut direkomendasikan untuk
digunakan karena tekniknya sederhana, tidak membutuhkan alat dan bahan yang banyak,
tidak memerlukan kemampuan khusus untuk menerapkannya dan dapat dilakukan oleh
semua pasien fraktur yang mengeluh nyeri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan/ tulang rawan yang
umumnya disebakan oleh ruda paksa. Biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Sjamsuhidajat, 2005; Price, 2006; Wijaya, 2013).
Dari data-data yang didapatkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang
melibatkanhubungan kerja sama antara perawat dengan klien/keluarga atau
masyarakat untuk mencapai tingkat Kesehatan yang optimal.
Proses keperawatan mempersiapkan kerangka acuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan klien, menyeleksi, mengintervensi dan mengoreksi
keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat memerlukan pengetahuan
yang yang luas terhadap perawatan untuk menentukan kebutuhan fisiologis dan
psikologis klien beserta keluarganya.

B. Saran
Diharapkan kepada pembaca dengan adanya tori ini agar dapat mengambil
manfaat dari penyusunan tersebut guna untuk meningkatkan mutu pelayanan
Kesehatan selanjutnya dan meningkatkan derajat Kesehatan kedepannya serta
agar lebih mengerti tentang fraktur femur
Pelaksanaan asuhan keperawatan akan berhasil apabila antara sesama
perawat, tim medis dan tenaga Kesehatan lainnya karena itu hendaknya kerja
sama yang baik dipelihara dan terus dipertahankan
Diharapkan kepada instansi akademik keperawatan agar lebih
meningkatkan mutu Pendidikan, sehingga menghasilkan perawat yang
professional yang mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien khususnya pada gawat darurat
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyyce M. & Jane Hokanson Hawsks. (2014). Keperawatan Medikal


Medah Edisi Bahasa Indonesia. Singapura: Elsevier.
Dehandra, G., Wikananda, D., Aryana, W., Gde, A. A., & Asmara, Y. (2019). Gambaran
Karakteristik Fraktur Terbuka Shaft Tibia Dengan Kasus Trauma Pada Orang
Dewasa Di Rsup Sanglah Denpasar Periode Januari 2017Desember 2017. Medika
Udayana, 8(9), 2597–8012.
Krisanty, paula, dkk (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info
Media.
Komar, M., Munawaroh, S., & Isro’in, L. (2020). Universitas muhammadiyah ponorogo
health sciences journal. Health Sciences Journal, 4(1), 112–123.
http://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/HSJ%0AHUBUNGAN (Di akses pada
tanggal 20 Maret 2021)
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: salemba Medika.
Muttaqin, Arif. (2012). Buku saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nursalam, (2008). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan Konsep Dan Praktik. Jakarta:
Salemba Medika
Rahmah, Azzahra. (2019). Gambar Anatomi Tulang Paha. https://rumus.co.id/fungsi-
tulang-paha/ (Di akses pada tanggal 20 Maret 2021)
Ridwan, UN., Pattiiha, AM., Selomo, P. (2019). Karakteristik Kasus Fraktur Ekstremitas
Bawah Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Chasan Boesoirie Ternate Tahun
2018. Kieraha Medical Jornal, 1(1), 301–316.
https://doi.org/10.15797/concom.2019.23.009 (Di akses pada tanggal 20 Maret
2021)
Riskesdas, 2018. Angka Kejadian Fraktur (2018).
https://www.slideshare.net/mobile/ssuser200d5e/hasil-riskesdas-risetkesehatan -
dasar-tahun-2018 (Di akses pada tanggal 20 Maret 2021).
Setiadi, (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Sue E. Huether dan Kathryn L. McCance. (2019). Buku Ajar Patofisiologi Edisi Keenam
Vol 2. Singapore: Elsevier.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI
Wartonah, Tarwoto. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi
3. Jakarta: Salemba Medika
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah. Nuha Medika: Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai