Anda di halaman 1dari 39

MANAJEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA

PASIEN DENGAN TRAUMA LARINGOTRAKHEA

Disusun untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat Lanjut II
Pembimbing : Ns. Dewi Kartika, S.Kep., MPH.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Sumarno 146070300111006
2. Maria Fatimah W.A. Fouk 146070300111013
3. Anndy Prastya 146070300111021
4. Elizabeh Yun Yun Vinsur 146070300111023
5. Putra Agina Widyaswara S. 146070300111031
6. Moh. Ubaidillah Faqih 146070300111042
7. Kusno Ferianto 146070300111046
8. Sasnita Salam 146070300111050

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
laporan makalah, serta tepat pada waktunya. Dalam laporan makalah ini akan
membahas mengenai “MANAJEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA PASIEN DENGAN TRAUMA LARINGOTRAKHEA”.

Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Lanjutan II, serta kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, Sp.PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya yang telah memberikan kami kesempatan menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Dr. dr. Retty Ratnawati, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Magister
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
3. Ns. Tony Suharsono, M.Kep., sebagai Sekretaris Program Studi Magister
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
4. Ns. Ika Setyo Rini, M.Kep., sebagai pembimbing makalah ini.
5. Teman-teman Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Angkatan 2014, terima kasih atas dukungan, bantuan
dan saran yang diberikan.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan makalah
ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan wawasan kami. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan ini.
Akhirnya, kami mengharapkan semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat, khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca.

Malang, 05 Oktober 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman

2
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................. 4
1.3 Ruang Lingkup Penulisan.................................................................... 4
1.4 Metode Penulisan................................................................................ 4
1.5 Sistematika Penulisan.......................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi .............................................................................................. 6
2. 2 Anatomi Fisiologi................................................................................ 6
2.3. Etiologi............................................................................................... 9
2.4 Klasifikasi trauma laring...................................................................... 10
2.5 Diagnosis............................................................................................ 11
2.6 Pemeriksaan...................................................................................... 12
2.7 Penatalaksanaan................................................................................. 16
2.8 Komplikasi............................................................................................ 21
2.9 Asuhan Keperawatan trauma laring di ruang emergensi...................... 21

BAB III KAJIAN KASUS............................................................................ 24


BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 30
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 36
5.2 Saran............................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan sebuah istilah medis yang juga disebut injury,
yang banyak menimbulkan masalah kesehatan di Amerika dan negara
lain termasuk negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat
kejadian injury tidak dapat diprediksi dengan pasti namun berperan
dalam menyebabkan kematian pada usia 1-44 tahun. Diperkirakan
73% kematian pada kelompok usia 15-24 tahun disebakan oleh
trauma. (ITLS, 2012). Pada tahun 2008, tercatat 181,226 kematian.
Pada tahun yang sama juga diperkirakan terdapat 30 juta injury yang
serius dan membutuhkan perawatan di UGD. Dari jumlah tersebut
sekitar 5,4 juta(18%) pasien injury diangkut oleh tim EMS (CDC and
prevention MMWR, 2012). Di Indonesia kecelakan lalu lintas
merupakan salah satu masalah yang menyita perhatian masyarakat
akhir-akhir ini. Diperkirakan hampir 80 orang meninggal per hari atau
sekitar empat orang meninggal per jam. World Health
Organization(WHO) mencatat bahwa setiap tahun kejadian kecelakaan
lalu lintas telah menyebabkan 1,24 juta jiwa meninggal dunia dan 50
juta jiwa mengalami luka dan cacat permanen (Republika.com,
Minggu, 26 Januari 2014). Dampak yang ditimbulkan bukan hanya
kecacatan fisik namun financial bahkan kematian. Sebuah harga yang
cukup mahal yang harus dibayar oleh korban trauma. (Kompas.com.
Rabu 29 Oktober 2014).
. Berdasarkan mekanisme trauma, trauma dapat berupa tumpul
dan penetrasi. Korban trauma dapat mengalami salah satu jenis atau
keduanya. Sedangkan tingkat keparahan trauma bervariasi mulai dari
trauma minor sampai trauma mayor atau trauma berat disertai multiple
trauma. Mayor trauma sangat beresiko menyebabkan kematian pada
korban bila penanganan prehospital dan inhospital tidak cepat dan
tepat karena pasien membutuhkan perawatan intensif di unit trauma
care/trauma center, membutuhkan tindakan defenitif dan operasi
segera pada beberapa area yang cedera terutama kepala, dada,

4
abdomen (Lehrfeld et all, 2014). Ear, Nose, Throat/ENT injury dapat
sebagai isolasi injury atau berhubungan erat dengan multiple trauma
yang langsung pada kepala, dada, abdomen, spinal dan
ekstremitas(ENA, 2013)
ENT injury merupakan injury pada organ telinga hidung dan
tenggorokan. Tipe cedera ini dapat menimbulkan kecacatan fisik dan
peningkatan biaya perawatan sehingga berkontribusi meningkatkan
jumlah kesakitaan dan kematian. Dalam sebuah studi yang dilakukan
oleh Ghilyoma & Chalya, 2013 di Buganda menjelaskan bahwa ENT
injury paling banyak terjadi di negara berkembang dan berkontribusi
terhadap peningkatan kesakitan dan kematian akibat trauma.
Penyebab dan mekanisme injury ENT bervariasi pada semua
kelompok usia dan distribusi demografinya juga berbeda antara anak
dan dewasa. Jenis injury seperti masuknya benda asing ke dalam
telinga, hidung dan tenggorokan paling banyak pada anak-anak dan
beresiko komplikasi serius. Sedangkan pada orang dewasa umumnya
terjadi karena kecelakaan, jatuh, perkelahian dan cedera olahraga.
(Fiqueredo, 2008). Trauma tumpul ENT dapat disebabkan oleh
pukulan, tamparan pada telinga yang juga berdampak pada perforasi
membrane tympany, spektrum injurynya juga berbeda. Sedangkan
trauma penetrasi pada ENT terutama pada organ tenggorokan sangat
mengancam nyawa korban,prognosanya jelek (Orji, 2009). Jika terjadi
pada hidung disertai epistaksis/benda asing ikut masuk dalan saluran
napas, hal ini juga sebagai kondisi emergency karena berdampak
obstruksi jalan napas mengakibatkan henti napas akhirnya meninggal
(Ghilyoma & Chalya, 2013).
ENT injury akibat trauma tumpul juga dapat terjadi pada
laringotrachea. Namun relative jarang karena laring dan trakea
dilindungi oleh tulang mandibula, sternum, dan servical spine.
Diperkirakan insidennya 1: 137.000 pada pasien yang dirawat di
rumah sakit dan 1: 125 di rawat di trauma center. Tidak diketahui
dengan pasti pasien yang meninggal sebelum mendapat perawatan
medical. Diperkirakan kematian akibat trauma laringo trachea pada

5
level pre hospital berkisar 15% - 81% pada kedua tipe mekanisme
trauma. Jika terjadi trauma tumpul pada jalan napas atas diperkirakan
injury pada cricoids cartilage, cricotiroid membrane dan cervical
trachea mencapai 50% (Peady et all , 2005)
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa trauma
laringotrachea akibat trauma tumpul pada jalan napas atas sangat
mengancam nyawa korban dan berpotensi cepat memburuk
kondisinya/memiliki prognosa jelek. Oleh karena itu, perawat
emergency/perawat trauma senter dan tim medis berperan penting
dalam membantu menyelamatkan nyawa pasien melalui manajemen
pasien trauma laringotrakea dengan cepat dan tepat. Initial airway
management merupakan pilihan yang tepat walaupun dalam beberapa
kondisi masih merupakan sesuatu yang kontroversi. Pedoman
penatalaksanaan pasien trauma menjadi pilihan pertama dalam
melakukan stabilisasi pasien trauma sesuai dengan standar ATLS.
Beberapa pilihan tindakan yang tepat adalah observasi intensif selama
24 jam, tracheostomy dengan bantuan local anesthesi, jika
kontraindikasi lakukan oral endotracheal intubasi dengan bantuan
general anesthesia(GA), rigid broncoscopy dengan bantuan GA dan
awake fiberoptik intubation, awake oral intubation, pembedahan dan
percutaneus tracheotomy. Pilihan tindakan tersebut di atas
membutuhkan keahlian dalam melakukannya. Keseluruhan proses
penilaian awal sampai evaluasi progresivitas perawatan pasien harus
dicatat secara komprehensif pada status medical pasien sebagai alat
komunikasi antara tim kesehatansekaligus sebagai pedoman bagi tim
trauma emergency mengambil keputusan pemilihan tindakan yang
tepat. Keberhasilan penanganan pasien trauma sangat tergantung dari
penilaian awal pasien sampai dilakukan tindakan definitive secepatnya
dalam perjalanan (ongoing assessment) atau segera di trauma center.
Selain itu secara legalitas, dokumentasi perawatan sebagi bukti
melakukan tangung jawab dan tanggung gugat perawat atas asuhan
keperawatan yang diberikan pada pasien (Peady et all, 2005; ENA,
2013)

6
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menjelaskan manajemen keperawatan gawat darurat
trauma ENT: trauma laring
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep ENT dan trauma laring.
2. Menjelaskan konsep manajemen keperawatan gawat
darurat pada trauma laring
3. Menganalisis aplikasi asuhan keperawatan gawat darurat
pada kasus trauma laring.
4. Menganalisis tren intervensi terbaru dan aplikasinya dalam
manajemen keperawatan gawat darurat pada kasus trauma
laring
1.3 Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan makalah ini meliputi konsep manajemen
keperawatan gawat darurat pada trauma laring dan aplikasinya.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan pada makalah ini dilakukan dengan cara literature
review dari beberapa buku, artikel jurnal, dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan topik yang dibahas

1.5 Sistematika Penulisan


1.5.1 Bab 1 Pendahuluan, meliputi latar belakang, tujuan, ruang
lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
1.5.2 Bab 2 Tinjauan Pustaka, meliputi konsep asuhan keperawatan
gawat darurat pada ENT dan trauma laring (Definisi, Etiologi,
Patofisiologi, Klasifikasi, Faktor resiko, dan manajemen pasien
dengan trauma laring
1.5.3 Bab 3 Studi Kasus dan manajemen perawatan pasien trauma,
meliputi aplikasi asuhan keperawatan gawat darurat pada kasus
trauma laring.
1.5.4 Bab 4 Pembahasan, meliputi tren intervensi terbaru dan
aplikasinya dalam manajemen keperawatan gawat darurat
pada kasus trauma laring
Bab 5 Penutup, meliputi kesimpulan dan saran.

7
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ear Nose and Throat atau ENT adalah salah satu cabang ilmu kedoteran
yang khusus menangani, mendiagnosa dan perawatan pada telinga, hidung,
tenggorokan dan gangguan kepala dan leher. Di Indonesia lebih sering dikenal
sebagai THT atau Telinga Hidung Tenggorokan (Adam, 1997).
Trauma merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya (Mansjoer, 2000).
Trauma pada ENT (telinga, hidung dan tenggorokan) merupakan kondisi
masalah kesehatan yang terjadi pada bagian telinga, hidung, tenggorokan,
kepala dan leher. Kondisi yang berhubungan dengan trauma kepala dan leher
menyebabkan harus segera mendapatkan penanganan atau kondisi gawat
darurat. Trauma tersebut bisa karena benda tajam maupun benda tumpul (Adam,
1997).
Trauma laring merupakan trauma yang terjadi pada area tepi atas trakea
dan menonjol masuk ke hipofaring, terletak antara VC III – IV dan VC VI. Laring
merupakan ruang piramida terbalik (bagian atas lebih luas dari bagian bawah),
basis di posterior dan puncak anteroinferior (Novialdi & Hafiz, 2008).

2.2 Anatomi Fisiologi


Laring merupakan sfingter atau pintu masuk kesaluran nafas bawah,
menyerupai limas segitiga terpancung. Pada pria letaknya setinggi vertebra
cervikal III-IV, sedangkan pada wanita dan anak-anak biasanya lebih tinggi.
Batas atas laring adalah epiglotis dengan plika ariepiglotika dan batas bawah
adalah cincin trakea pertama (Stell & Bickford, 1984).
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang dan beberapa tulang
rawan. Tulang hioid berbentuk huruf U, permukaan atasnya dihubungkan dengan
lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot. Sedangkan tulang-tulang
rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid, kartilago
aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea.
Gerakan laring dilaksanakan oleh otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot
ekstrinsik suprahioid adalah muskulus digastrikus, muskulus geniohioid,
muskulus stilohioid dan muskulus milohiod, sedangkan otot ekstrinsik infrahioid
adalah sternohioid, muskulus omohioid dan muskulus tirohioid (Novialdi & Hafiz,
2008).

9
Rongga laring dibagi menjadi tiga bagian yaitu: supraglotik, daerah glotik
dan subgoltik. Daerah supraglotik terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring
merupakan gabungan dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid,
sedangkan daerah subglotik adalah rongga laring yang terletak dibawah plika
vokalis.

Gambar 1. Kartilago dan Ligamen Laring, serta Tulang Hioid (anterior)

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus


laringeus superior dan inferior. Perdarahan untuk laring terdiri dari dua pasang,
yaitu arteri laringeus superior dan inferior. Arteri laringeus superior merupakan
cabang arteri tiroid superior menembus membran tirohioid untuk berjalan
dibawah mukosa dinding lateral dan lantai sinus piriformis dan mensuplai aliran
darah di otot-otot laring. Arteri laringeus inferior cabang arteri tiroid inferior,
bersama-sama nervus laringeus inferior ke belakang sendi krikotiroid dan
memasuki laring melalui daerah pinggir bawah muskulus konstriktor inferior.
Vena laringeus superior dan inferior letaknya sejajar dengan pembuluh
nadinya untuk selanjutnya bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.
Pembuluh limfe laring cukup banyak. Di plika vokalis, pembuluh limfe dibagi
dalam golongan superior dan inferior.
Trakea merupakan pipa yang terdiri dari tulang rawan dan otot yang
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia. Trakea dapat dibagi 2 yaitu trakea
bagian atas (cervikal) dan trakea bagian bawah (thorak). Trakea terletak
ditengah-tengah leher dan makin ke distal bergeser ke sebelah kanan dan
masuk ke mediastinum di belakang manubrium sterni. Panjang trakea dari
pertemuan laring dan trakea setinggi C6 (kartilago krikoid) sampai bifurkasio

10
aorta setinggi T4, setinggi iga kedua pada orang dewasa dan iga ketiga pada
anak-anak (Stell & Bickford, 1984).
Trakea terdiri dari 15-20 cincin trakea yang berbentuk U, di bagian
posterior terdapat jaringan yang merupakan batas dengan esophagus, yang
disebut dinding bersama antara trakea dan esophagus (tracheoesophageal party
wall). Cincin-cincin tersebut dihubungkan dengan membran elastik yang tipis.

Gambar 2. Anatomi trakea dan dinding anterior leher

Panjang trakea kira-kira 12 cm pada pria dan 10 cm pada wanita.


Diameter antero-posterior rata-rata 13 mm sedangkan diameter transversa rata-
rata 18 mm. Cincin trakea paling bawah meluas ke inferior dan posterior diantara
bronkhus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip disebelah dalam
yang disebut karina (Stell & Bickford, 1984).
Mukosa didaerah subglotik merupakan jaringan ikat jarang, yang disebut
konus elastikus. Keistimewaan jaringan ini adalah bila terangsang mudah terjadi
edema dan akan terbentuk jaringan granulasi bila rangsangan berlangsung lama.
Perdarahan trakea berasal dari cabang-cabang yang berasal dari a.tyroid
superior, a. bronkhial dan a. torakalis interna. Drainase melalui v. tyroid inferior
dan dialirkan menuju ke salah satu atau kedua vena brakhiosefalik. Aliran limfe
melalui kelenjar limfe servial, trakea dan trakeobronkial. Persarafan simpatik
berasal dari cabang-cabang kardial trunkus simpatikus servikal dan n. visceral
torak, serat post gangglioniknya ke otot trakea untuk fungsi bronkodilator.
Serabut parasimpatis berasal dari n. vagus dan n. laryngeus rekuren,
menyebabkan bronkokontriksi.
Struktur anatomi yang menyebabkan laring rawan mengalami trauma
yaitu letaknya yang berada di perlintasan jalur makanan dan jalur perbafasan,
struktur yang kaku dan tipis dibawah kulit (subkutaneus), dan keberadaan
columna verebralis di belakangnya. Struktur lain seperti adanya mandibula,

11
sternum, otot-otot dan kolumna vertebralis memperkecil terjadinya trauma yang
lebih berat pada laring.
Jurkovich (2004), memodifikasi pembagian zona daerah leher yang rawan
terkena trauma menjadi tiga zona yaitu: Zona 1, meliputi sternum sampai
klavikula, Zona 2 meliputi kartilago krikoid sampai angulus mandibula, dan zona
3 meliputi daerah di atas angulus mandibula. Zona 2 merupakan zona yang
paling rawan mengalami trauma laring eksterna.

Gambar 3. Pembagian zona horizontal leher (modifikasi Jurkovich)

Fungsi primitif dari laring adalah mencegah masuknya benda lain selain
udara ke dalam paru-paru. Menurut Stell & Bickford (1984), ada beberapa fungsi
laring diantaranya untuk: respirasi, batuk, manuver valsava dan menelan,
sirkulasi, emosi, bicara atau fonasi.

2.3 Etiologi
Penyebab trauma laring yaitu trauma mekanik eksternal (trauma tumpul,
tajam, komplikasi trakeostomi); internal (akibat endoskopi, intubasi endotrakea,
pipa nasogaster, trauma akibat luka bakar (gas atau cairan panas) kimia, trauma
akibat radiasi dan trauma otogen (Woo & Passalaqua, 2003).

Gambar 4. Mekanisme trauma tumpul laring

Novialdi & Hafiz (2008), menjelaskan bahwa penyebab trauma laring


dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu: 1) trauma mekanik yang terdiri dari
eksterna, misal kecelakaan mobil (terbentur stir), trauma tumpul leher, komplikasi

12
trakeostomi, krikotirotomi; sedangkan yang interna karena tindakan endoskopi,
intubasi endotrakea (ETT), pemasangan pipa nasogaster (NGT), 2) luka bakar,
seperti termis misalnya oleh menelan atau makan cairan dan makanan pedas,
inhalasi udara atau gas panas, sedangkan luka bakar kimiawi (zat korosif) dapat
disebabkan oleh cairan alkali, amoniak dan lain-lain, 3) trauma penyinaran, dan
4) trauma autogen.

2.4 Klasifikasi Trauma Laring


Schaefer (2005), membagi trauma laring menjadi empat (4) kelompok
berdasarkan kerusakan yang terjadi, yaitu:
1. Laserasi ringan, dimana terdapat hematoma tingan dan tidak ada tanda
fraktur,
2. Edema, hematoma, kerusakan mukosa ringan tanpa disertai kartilago
yang terpapar dan fraktur tanpa adanya perubahan posisi,
3. Edema masif, robekan mukosa, kartilago terpapar, fraktur dengan
perubahan posisi dan immobiltas pita suara,
4. Adanya fraktur lebih dari dua atau trauma masif pada mukosa laring
disertai dengan manifestasi yang ada di nomor 3.
Pasha (2000), membagi trauma akut laring dan trakea menurut lokasinya
menjadi:
1. Supraglotik, kerusakan yang terjadi mengenai os hioid, membran
hiotiroidea dan bagian diatas pita suara,
2. Transglotik, mengenai kartilago tiroidea dan melalui atau meluas ke pita
suara,
3. Subglotik, mengenai laring dibawah pita suara sampai cincin trakea
pertama,
4. Trakeal, mengenai cincin pertama terus kebawah.
Grillo (2004), membagi trauma laring berdasarkan beratnya kerusakan
yang ada menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, edema, hematoma, emfisema
subkutis, laserasi dan luka tusuk atau sayat tanpa adanya kelainan pada
tulang rawan,
2. Trauma dengan remuk atau hancurnya tulang rawan (crush injuryes), dan
3. Trauma dengan hilangnya sebagian jaringan.

2.5 Diagnosis
Diagnosis trauma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya
riwayat trauma pada laring. Banyak kasus trauma laring yang pada awalnya tidak
menimbulkan gejala. Hal ini menyebabkan adanya anggapan tidak terdapat
kerusakan pada struktur laring. Pada trauma tumpul laring, kerusakan internal

13
laring dapat lebih besar dari bagian eksternal. Kerusakan yang terjadi dapat
berupa: trauma jaringan lunak, hematoma, dislokasi, fraktur, dan esophageal
tear. Pada awal kasus, dapat berupa asymptomatic case.
Gejala yang mungkin timbul adalah: perubahan suara, seperti serak dapat
timbul tergantung dari tipe dan derajat kerusakan dari pita suara. Hematom
menyebabkan suara akan menjadi serak, sedangkan avulsi pita suara
menyebabkan suara menjadi lemah. Nyeri terjadi terutama pada kerusakan yang
berat, terutama bila terjadi fraktur tulang hioid.
Sesak nafas, stridor tidak terdapat pada tahap dini. Edema, hematom dan
emfisema yang tidak terlalu berat tidak cukup untuk menyebabkan obstruksi jalan
nafas. Tidak jarang stridor timbul setelah beberapa jam. Oleh sebab itu pasien
trauma laring harus diobservasi di rumah sakit selama 24 jam, walaupun ringan.
Batuk iritatif dapat merupakan gejala awal dari kelainan di bagian dalam laring.
Hemoptisis dan perdarahan dari saluran nafas bagian atas dapat menyebabkan
gangguan jalan nafas. Gejala-gejala tadi dapat disertai adanya: deformitas leher,
baik perubahan bentuk atau pembengkakan, emfisema, nyeri sentuh dan
krepitasi tulang. Adanya fraktur dibuktikan dengan melakukan palpasi.
Gejala yang timbul dapat berupa disfonia, dispnoe, disfagia, batuk atau
aspirasi. Pada pemeriksaan leher ditemukan bengkak di leher, emfisema,
ekimosis dan nyeri. Edema daerah leher, merupakan tanda terjadinya
perdarahan. Hilangnya prominence dari laring, curigai telah terjadi fraktur. Salah
satu prinsip adalah jangan pernah mengangkat leher sampai kemungkinan
fraktur daerah cervikal telah tersingkirkan. Fraktur kartilago tiroid yang menyertai
trauma tumpul laring, bisa dipalpasi untuk mengetahui posisi dan mobilitas fraktur
tersebut.
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan gambaran adanya
hemorrhage (perdarahan), laserasi, dislokasi aritenoid dan immobilitas.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi, seperti rontgen thoraks,
pada CT-scan dapat terlihat adanya fraktur daerah laring. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan zat kontras (Barium).

2.6 Pemeriksaan
1. Laringoskopi
Pemeriksaan laringoskopi dilakukan secara tidak langsung maupun
langsung dengan analgesia lokal maupun anastesia umum. Pemeriksaan
laringoskopi lainnya adalah telelaringoskopi fleksibel dengan menggunakan
teleskop. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama untuk menilai kelainan berupa:
edema, kista, nodul, massa dan paralisis pita suara

14
2. Stroboskopi
Pemeriksan stroboskopi dapat menilai vibrasi pita suara sewaktu fonasi.
Cara ini dapat menilai derajat penutupan pita suara, pergerakan pita suara saat
abduksi dan adduksi, aktifitas gelombang mukosa dan amplitudo gelombang
mukosa.
3. Penunjang lain
Pemeriksaan radiologik jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral
dilakukan untuk melihat adanya fraktur tiroid atau hioid, pembengkakan atau
emfisema. Foto toraks untuk melihat adanya emfisema. CT scan saat ini
merupakan pilihan utama untuk mengevaluasi trauma laring. Terutama pada
kasus antara yang ringan dan berat, untuk menentukan tindakan lebih lanjut
(Shepard & Weber, 2004).

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trauma tumpul laring dapat berupa terapi konservatif,
endoskopik dan operasi terbuka. Tujuan penatalaksanaan trauma tumpul laring,
secara umum sama dengan trauma laring. Prinsip adalah menjaga kestabilan
jalan nafas, mencegah infeksi dan mencegah komplikasi berupa stenosis laring
(Kohli, & Bhadoria, 2007).
Sebuah protokol disarankan untuk pengelolaan pasien dengan cedera ini.

15
Gambar 5. Protokol manajemen jalan napas awal dan penyelidikan pasien
dengan dugaan cedera laryngotracheal. (Diadaptasi dari Waldron, Young)
Penanganan atau terapi pada kasus trauma laring dibagi menjadi terapi
konservatif dan terapi operatif. Pada pasien trauma tumpul laring yang pada
pemeriksaan laringoskopi langsung atau esofagoskopi didapatkan hematom
serta laserasi minimal, tetapi bagian endolaring tidak edema, diberikan terapi
konservatif.
1. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang diberikan adalah istirahat suara,
kortikosteroid sistemik, elevasi kepala, humidifikasi udara, antibiotika,
antirefluks. Pasien diobservasi minimal 24 jam untuk melihat apakah

16
terdapat perburukan jalan nafas, misalnya karena edema yang ditimbulkan.
Pada tindakan operatif waktu yang tepat masih kontroversi. Beberapa ahli
berpendapat tindakan dapat dilakukan beberapa hari setelah trauma,
sehingga edema sudah berkurang dan laserasi mukosa dapat dievaluasi
dengan jelas. Ahli lain menyatakan eksplorasi segera merupakan tindakan
yang digunakan untuk mendiagnosis seberapa besar kerusakan yang
terjadi dan memperbaiki kerusakan segera, sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan (Stierman & Quinn, 1999).
Indikasi eksplorasi pada trauma laring adalah untuk mempertahankan
jalan nafas tetap lancar. Indikasi eksplorasi trauma laring adalah:
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara
Eksplorasi pada trauma laring paling baik dilakukan dengan insisi
horizontal, menurut garis kulit, setinggi lubang trakeostomi untuk
mengurangi jaringan parut di leher bagian depan. Disamping itu tujuan
insisi horizontal ini adalah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan
atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang
robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (flap) atau
tandur alih (graft) kulit. Fraktur kartilago diperbaiki dengan menggunakan
wire, benang yang tidak diserap, miniplate yang diserap dan miniplate
permanen (Cheong & Yau, 1995).
Lumen laring dapat disanggah menggunakan bidai yang terbuat dari
silastik, porteks atau silikon. Penyangga tersebut biasanya berbentuk
seperti huruf T sehingga disebut T-tube. Pipa T dipasang melalui lubang
trakeostomi. Penderita diberikan antibiotika profilakis selama 5-7 hari. Tidak
ada batasan yang mutlak mengenai lamanya pemasangan pipa T ini.
Menurut Yudharto & Hermani (1996), pemasangan pipa T dapat dilakukan
selama lebih kurang 1 tahun dengan syarat dilakukan pembersihan pipa T
setiap 3 atau 6 bulan sekali.
Luka di endotrakea yang terjadi karena tindakan intubasi, dapat
secara akut atau terjadi lebih lanjut akibat adanya penekanan oleh pipa
endotrakea. Komplikasi trauma yang terjadi bisa berupa komplikasi yang
segera terjadi (immediate injuryes) dan komplikasi yang terlambat (delayed
injuryes).

17
2. Trakeostomi
a. Definisi
Trakeostomi merupakan teknik pembuatan jalan nafas pintas yang
bersifat sementara. Trakeostomi dapat dilakukan secara elektif maupun
dalam keadaan gawat darurat, dengan jenis insisi trakea yang
bervariasi. Krikotirotomi biasanya dilakukan dalam keadaan darurat
dengan waktu yang lebih singkat tapi tidak tanpa resiko. Meskipun
membutuhkan waktu yang lebih singkat, tapi prosedur ini jarang
dilakukan. Untuk melakukan kedua prosedur ini diperlukan pemahaman
tentang anatomi laring dan trakea sehingga dapat mengetahui teknik
operasi, komplikasi yang mungkin terjadi serta perawatan pasca
tindakan (Novialdi & Azani, 2010).
Trakeostomi merupakan tindakan pembukaan dinding anterior
leher guna mencapai trakea sebagai jalan pintas untuk bernafas yang
bersifat sementara. Trakeostomi dapat dilakukan melalui teknik
pembedahan, baik elektif maupun emergensi atau dapat melalui teknik
dilatasi perkutaneus (Morris & Afifi, 2010).
b. Indikasi
Indikasi dasar trakeostomi secara garis besar menurut Novialdi &
Azani (2010) adalah
1) Pintas (bypass) Obstruksi jalan nafas atas
2) Membantu respirasi untuk periode yang lama
3) Membantu bersihan sekret dari saluran nafas bawah
4) Proteksi traktus trakeobronkhial pada pasien dengan resiko aspirasi
5) Trakeostomi elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
sehingga memudahkan akses dan fasilitas ventilasi.
6) Untuk elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
7) Untuk mengurangi kemungkinan timbulnya stenosis subglotis
c. Teknik Trakeostomi
1) Trakeostomi Emergensi
Trakeostomi emergensi relatif jarang dilakukan, dan penyebab
yang sering adalah obstruksi jalan nafas atas yang tidak bisa
diintubasi. Anoksia pada obstruksi jalan nafas akan meyebabkan
kematian dalam waktu 4-5 menit dan tindakan trakeostomi harus
dilakukan dalam 2-3 menit. Teknik insisi yang paling baik pada
trakeostomi emergensi adalah insisi kulit vertikal dan insisi vertikal
pada cincin trakea kedua dan ketiga. Insisi vertikal ini lebih baik
karena lebih mudah dilakukan dan lebih cepat, dimana insisi kulit
vertikal dapat langsung diteruskan dengan cepat menuju jaringan

18
lemak subkutan, fasia servikal dalam pada garis tengah yang relatif
avaskuler (Russel & Matta, 2004).

2) Trakeostomi Elektif
Mayoritas tindakan trakeostomi dilakukan secara elektif atau
semi-darurat. Trakeostomi elektif paling baik dilaksanakan diruang
operasi dengan bentuan dan peralatan yang adekuat. Langkah-
langkah teknik operasi:
a) Pasien tidur posisi supine dengan meletakkan ganjal diantara
tulang belikat sehingga leher hiperekstensi dan posisi trakea
lebih tinggi dibanding dada.
b) Insisi kulit secara horizontal sepanjang 4-6 cm dilakukan 1-2
cm dibawah kartilago krikoid. Insisi horizontal didepan m.
sternokleidomastoideus.Beberapa ahli bedah lebih menyukai
insisi secara vertikal. Insisi secara vertical mungkin lebih
menguntungkan pada bayi karena dapat meminimalkan
pergerakan tube trakeostomi.
c) Insisi kulit sampai ke platisma kemudian diretraksi keatas dan
kebawah. Insisi vertikal pada fasia di garis tengah diantara otot-
otot strap. Kartilago krikoid akan terlihat di bagian atas dan
istmus tyroid di bagian bawah, diantaranya tampak ligamentum
suspensorium kelenjar tyroid.
d) Istmus tyroid kemudian ditarik keatas dengan retarktor vena
dan akan tampak cincin trakea ke-2, 3 dan 4. Jika istmus tyroid
sulit diatarik ke atas, dilakukan insisi horizontal pada
ligamentum susupensorium kelenjar tyroid, sisipkan klem
bengkok melalui insisi, kemudian istmus tyroid dipotong dan
dijahit ikat.
e) Dengan menggunakan jarum hypodermic yang berisi 1-2ml
cocain 10% atau tetracain 2%, diinjeksikan pada lumen trakea,
udara yang terlihat saat jarum ditarik memastikan bahwa ujung
jarum berada didalam lumen trakea.
f) Blade no.11 kemudian digunakan untuk membuat jendela pada
trakea, insisi horizontal 5-8 mm diatas cincin trakea 2,3 atau 4.
Insisi diteruskan ke bawah melewati cincin trakea. Benang
nilon mungkin dapat dijahitkan pada bagian bawah untuk tanda
dalam

19
keadaan darurat jika kanul lepas. Pada bayi dan anak-anak
mungkin dapat dijahitkan benang nilon pada dua sisi, bagian
atas dan bagian bawah dan dilekatkan pada kulit
g) Kanul trakeostomi yang sebelumnya telah disiapkan kemudian
dimasukkan ke dalam stoma. Ujung bawah kanul tidak boleh
mencapai karina. Kanul trakeostomi kemudian difiksasi. Anak
kanul dipasang dan kasa dipasang dibawah kanul sekitar
stoma. Luka trakeostomi dekat kanul tidak boleh tertutup
rapat atau dijahit karena dapat menimbulkan emfisema
subkutis, pneumomediastinum, pneumothorak dan infeksi.
h) Roentgen dada selalu dilakukan setelah operasi selesai
(Russel & Matta, 2004).

3) Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus


Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik
trakeostomi minimal invasif sebagai alternatif terhadap teknik
konvensional. Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus (TDP) dilakukan
dengan cara menempatkan kanul trakeostomi dengan bantuan
serangkaian dilator dibawah panduan endoskopi. Prosedur ini
dikenalkan oleh Pasquale Ciagalia pada tahun 1985. Griggs pada
tahun 1990 melakukan modifikasi dengan menggunaan kawat
pemandu dan forsep dilatasi (Griggs Guidewire Dilating forceps/
GWDF) pada prosedur ini.
Pada tahun 1998 dilakukan modifikasi lagi terhadap teknik ini,
dimana serangkaian dilator digantikan dengan dilator tunggal,
tajam dan meruncing pada bagian ujungnya, dilapisi oleh lapisan
hidrofilik (Ciaglia’s Blue Rhino method) dan memungkinkan
dilatasi lengkap dalam satu langkah (Gambar 5).

20
Gambar 5. Teknik Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus dengan
menggunakan dilator tunggal (Ciaglia’s Blue Rhino Method)

Pada tahun 2002, frova dan Quintel membuat alat dilator


tunggal baru yang berbentuk sekrup yang disebut Percu Twist.
Teknik ini dimulai dengan insisi kulit sepanjang 1.5-2 cm, 2 cm
dibawah kartialgo krikoid. Sepasang forsep mosquito digunakan
untuk diseksi secara tumpul sampai fasia pretrakea. Dengan
menggunakan jari kelingking identifikasi tulang rawan krikoid dan
trakea. Jarum dengan kateternya ditusukkan, idealnya antara cincin
trakea kedua dan ketiga dan tindakan ini dapat dipantau dengan
menggunakan bronkoskopi yang telah dihubungkan ke kamera.
Jarum kemudian ditarik, kawat pemandu (J-Wire) kemudian
dimasukkan kemudian kateter ditarik sepenuhnya dan
mempertahankan kawat pemandu dalam lumen trakea (De Leyn &
Paul, 2007).
Dilator Ciaglia kemudian dimasukkan melalui kawat pemandu
sampai dengan ukuran 38F. Kanul trakeostomi kemudian dipasang
dengan ukuran yang sama dengan dilator melaui kawat pemandu,
dan kawat pemandu kemudian dilepas. Kanul trakeostomi difiksasi
dan cuff dikembangkan. Roentgen thorak post operatif dilakukan
untuk melihat adanya komplikasi penumotorak dan
pneumomediastinum. (Gambar 6)

Gambar 6. Teknik Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus dengan


menggunakan serangkaian dilator ciaglia dan kawat pemandu

Prosedur TDP ini merupakan prosedur elektif yang sering


dilakukan di unit perawatan intensif atau ICU. Pada dekade terakhir,
TDP menjadi tindakan rutin yang praktis dilakukan di beberapa RS
dan beberapa artikel telah membandingkan TDP dengan
trakeostomi,

21
dimana adanya komplikasi yang lebih rendah pada TDP dan
lamanya waktu yang digunakan lebih pendek. Pada awalnya
kebanyakan penulis menyadari bahwa prosedur ini kontraindikasi
relatif pada pasien obesitas dan leher pendek, dan kontraindikasi
absolut pada cedera servikal, anak-anak dan keadaan darurat.
Keuntungan teknik TDP ini adalah dibawah panduan
bronkoskopi sehingga masuknya kawat pemandu dan kanul
trakeostomi di garis tengah dapat dipastikan dan dapat
menghindari komplikasi rusaknya dinding trakea posterior serta
videonya dapat digunakan sebagai bahan untuk pelatihan
berikutnya.
Kerugian dari teknik ini adalah pemilihan pasien sangat
selektif untuk keberhasilan tindakan ini, pasien dengan landmark
tidak jelas, obesitas, koagulopati atau adanya massa di leher
merupakan calon yang tidak dianjurkan; perlunya mentor terlatih
dalam pelaksanannya untuk mencegah kemungkinan komplikasi
yang serius; membutuhkan lebih banyak tim terlatih dan peralatan
tambahan sehingga biayanya lebih besar (Russel & Matta, 2004).

d. Perawatan Pasca Trakeostomi


Menurut De Leyn & Paul (2007), periode post operatif merupakan
masa yang kritis terutama pada bayi dan neonatus. Perwatan dan
perhatian yang cermat sangat penting pada masa ini.
1) Humidifikasi
Humidifikasi udara inspirasi penting untuk transport mukosilier
sekret dan mencegah obstruksi jalan nafas karena sekret yang
kental. Ada berbagai tipe alat untuk humidifikasi: Cold Water
Humidifiers, Hot Water Humidifier, Heat And Moisture Exchangers
(HME), stoma protector/ tracheal BIB dan nebulisasi.
2) Penghisapan secret (Suction)
Penghisapan sekret dibutuhkan ketika pasien tidak mampu
untuk mengeluarkan sekret secara efektif. Pemilihan ukuran suction
kateter yang benar penting supaya lebih aman dan efektif.
3) Penggantian kanul
Jika menggunakan kanul ganda, biasanya tidak perlu untuk
mengganti kanul luar. Indikasi penggantian kanul luar yaitu jika cuff
telah rusak atau bila ditemukan ukuran kanul yang lebih cocok

22
untuk pasien. Penggantian kanul luar bukan tanpa resiko dan
dapat enimbulkan kecemasan bagi pasien. Indikasi penggantian
kanul luar adalah obstruksi kanul, perubahan posisi kanul,
kerusakan cuff atau ditemukannya ukuran kanul yang lebih cocok
untuk pasien. Penggantian kanul luar biasanya dilakukan pada hari
ke 5-7 post operatif ketika traktus yang sempurna sudah terbentuk.
Anak kanul dalam biasanya dibersihkan dua kali sehari atau lebih
sering sesuai dengan kebutuhan untuk mencegah obstruksi.
4) Antibiotik profilaksis
Penggunaan antibiotik hanya diindikasikan pada infeksi paru
dan infeksi spesifik lain dan setela dilakukan kultur dan sensitivity
test

2.8 Komplikasi
Trauma tumpul laring bisa berupa timbulnya jaringan granulasi, stenosis
laring dan immobilitas pita suara. Komplikasi setelah memperbaiki (repair)
trauma laring eksterna adalah dapat berupa terganggunya proses suara (fonasi),
respirasi dan tumbuhnya jaringan granulasi di bekas jahitan, terutama setelah
stent diangkat, stenosis, dan paralisis pita suara. Pada fraktur vertikal dari
kartilago tiroid, yang mengakibatkan laserasi mukosa di komisura anterior pita
suara dapat mengakibatkan terjadinya selaput di komisura anterior. Graft
digunakan untuk menutup kartilago yang terekspose (Novialdi & Hafiz, 2008).

2.9 Asuhan Keperawatan pada pasien dengan trauma laring di Ruang


Emergensi
 Survey Primer
Air way (A) : Memeriksa jalan napas, apakah ada sumbatan pada jalan
napas pasien atau tidak. Karena pasien mengalami trauma
pada bagian anterior lehernya, pasien mengalami sesak
napas yang dikarenakan adanya sumbatan parsial (tampak
bercak darah saat pasien meludah).
Adapun resiko penurunan kesadaran, sehingga sangat
tepat disarankan bagi petugas untuk melakukan
krikotiroidektomi apabila terjadi obstruksi saluran
pernapasan.
Selain itu, terdapat pembengkakan pada daerah anterior
lehernya sehingga lebih baik apabila disertai dengan
pemasangan neck collar (control servical) sampai diketahui

23
atau pasien dinyatakan tidak mengalami cedera servical.
Breathing (B) : Memeriksa pernapasan (meliputi frekuensi pernapasan/RR,
irama napas, dan kedalaman pernapasan), apakah ada
bunyi napas tambahan atau tidak.
Sudah tepat pasien diberikan oksigen (face mask) untuk
mempertahankan saturasi oksigen.
Circulation (C) : Memeriksa sistem sirkulasi yang meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, capillary refill time, serta kontrol terhadap
perdarahan.
Pada kasus tampak bercak darah saat pasien meludah
sehingga pemberian akses intra vena merupakan tindakan
yang tepat.
Disability (D) : Memeriksa status neurologis (indera penciuman dan
pendengaran), serta melihat adanya jejas di daerah sekitar
wajah, telinga, hidung, dan leher.
Pada pasien didapatkan tingkat kesadarannya compos
mentis dengan nilai GCS = 15 (E4M6V5)
Exposure (E) : Memeriksa pasien dengan cara membuka baju dan
menjaga agar tidak terjadi hipotermi pada pasien.
Pada pasien tersebut tampak jejas dan pembengkakan
pada leher bagian anterior, sehingga dilakukan
pemeriksaan CT yang menunjukkan fraktur comminuted
pada tulang rawan krikoid dan fraktur undisplaced pada
tulang rawan tiroid.

 Survey Sekunder
Sign & symptom : Memeriksa nyeri pada tempat trauma, bertambah saat
(S) inspirasi, pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat
palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek,
Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan,
Penurunan tekanan darah.
Alergi (A) : Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien.
Baik alergi obat-obatan ataupun kebutuhan akan
makan/minum.
Medikasi (M) : (Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications
especially). Pengobatan yang diberikan pada klien
sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak
menimbulkan reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan
sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
Riwayat medis : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti

24
pasien (P) penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa
dosisnya, penggunaan).
Last meal (L) Obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian.
Events (E) : Hal-hal yang bersangkutan dengan penyebab cedera
(kejadian penyebab keluhan utama).
Pasien telah dikaji dan didapatkan cedera disebabkan
karena benturan/dipukul papan ski pada bagian anterior
leher.

25
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 LAPORAN KASUS


Seorang pria berusia 23 tahun diantar ke dokter bedah umum di
Jindabyne, dekat lapangan ski di New South Wales. Tigapuluh (30) menit
sebelumnya pasien dipukul di bagian anterior lehernya dengan papan ski. Tak
lama sebelum kejadian ini dia mengkonsumsi pie daging dan minuman ringan.
Pada saat datang, dia mengeluh agak sesak nafas bila duduk dan juga tidak
dapat berbaring datar karena mengakibatkan sesak nafas bertambah. Suara
nafasnya serak dan tidak mampu menelan air liur, sehingga dia harus meludah
dan tampak warna darah. Akses intravena diperoleh, dan oksigen diberikan
melalui face mask. Dengan pemberian oksigen diperoleh saturasi oksigen 100%
dan parameter hemodinamik lain dalam batas normal.
Petugas (konsultan Southcare, yang menyediakan layanan helikopter ke
Southern NSW dan Australian Capital Territory) dihubungi dan upaya
penjemputan diaktifkan. Karena faktor jarak, maka dilakukan antisipasi respon
time satu jam. Petugas medis lokal (LMO) diminta untuk menyiapkan
pemeriksaan X-Ray pada lateral cervical dan dada. LMO juga diberikan petunjuk
tentang cara untuk melakukan tindakan cricothyroidotomy bila obstruksi terjadi.
Pada saat kedatangan tim penjemput, didapatkan kondisi klinis seperti
yang sebelumnya telah digambarkan. Pasien sangat tenang (tidak gelisah),
tetapi tampak khawatir, anak muda itu bersandar ke depan, menyemburkan air
liur dengan bercak darah. Dia tidak tampak sesak nafas secara signifikan dalam
posisi ini, tetapi akan menjadi cukup sesak dengan posisi tegak. Bagian anterior
lehernya tampak difus yang bengkak dan tampak nyeri. Hal ini menghalangi
palpasi tulang laryngotracheal dan deteksi krepitus. Tidak ada cedera lainnya
yang tampak. Secara khusus, tulang lehernya bebas nyeri. Pada hasil X-Ray
cervical menunjukkan udara dalam jaringan pra-trakea, tetapi kolom udara pada
laryngotracheal tampak utuh. Tidak ada kelainan tulang belakang leher dan
dada. Sudah jelas bahwa pemuda ini telah mengalami cedera yang signifikan
pada saluran napas atas, tetapi tingkat cedera itu tidak diketahui.
Diputuskan untuk dilakukan tindakan oral endotracheal intubation dengan
general anestesi, meskipun tidak tersedia fasilitas untuk inhalasi induksi.
Tindakan dibantu oleh dua paramedis Australian Capital Territory Ambulans
Service. Setelah pasien diberikan preoksigenasi selama tiga menit dalam posisi
duduk, kemudian diberikan thiopentone 450 mg dan suxamethonium 100 mg,

26
dan dilakukan tekanan krikoid ketika pasien kehilangan kesadaran dan
diposisikan telentang. Pada laryngoscopy terlihat epiglotis, tetapi inlet laring
dikaburkan oleh darah (dari laserasi faring). ETT ukuran 7.0 dimasukkan lebih
mendalam daripada biasa (25 cm di bibir). Anestesi dilanjutkan dengan infus
morfin-midazolam dan transportasi ke The Canberra Hospital itu lancar.
Pasien dirawat Unit perawatan intensif, dimana ventilasi melalui ETT dan
sedasi dilanjutkan. CT scan menunjukkan fraktur comminuted pada tulang rawan
krikoid dan fraktur undisplaced pada tulang rawan tiroid. Operasi perbaikan
dilakukan pada hari berikutnya. Setelah induksi anestesi dan pembuatan
trakeostomi, laryngoscopy dan bronchoscopy ditemukan supralaryngeal yang
besar dan edema laring. Satu fragmen kartilago krikoid ditemukan bergeser ke
bagian posterior, dan ada sebuah celah pada membran krikotiroid (diperbaiki
dengan tindakan graft jaringan). Fraktur tulang rawan krikoid diperkecil dan
diperbaiki dengan jahitan Prolene 4/0.
Pasca tindakan bedah pasien baik – baik saja. Hari ke-7 kanul
trakeostomi dilepas. Hari ke-10 pasien dipulangkan dan diberitahu ia dapat
kembali ke papan ski dalam waktu 3 minggu. Sebelas bulan setelah cedera, dia
menjalani laryngoscopy dan bronchoscopy, yang menunjukkan polip di sebelah
kanan pita suara, yang telah diambil. Sisa pohon laryngo-trakea-bronkial terlihat
normal. Satu bulan kemudian dia periksa oleh ahli bedah ENT, dan tercatat
memiliki "suara lembut" sedangkan yang lainnya baik. Dia kemudian menghilang
untuk ditindaklanjuti, tidak berhasil menghadiri janji temu. Namun, dia menelepon
dokter kamar bedah sekitar tiga tahun setelah kecelakaan mengeluh bahwa
suaranya itu tidak normal. Kemudian janji temu untuk diperiksa dibuat, tetapi ia
gagal untuk menghadiri.

A. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Petugas
Nama Petugas :
b. Waktu Pengkajian
Tanggal :
Jam Pengkajian :
c. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. A
Jenis kelamin :L
Usia : 23 th
d. Survey Primer
1) Airway + Controll Cervical
 Sumbatan: tidak ada (-), sputum (-), darah (+), benda padat,
lainnya: terdapat luka pada bagian anterior leher, bengkak,

27
nyeri, pasien tidak mampu menelan ludah sehingga sering
meludah dengan air ludah berwarna kemerahan.
 Suara napas : bersih (-), gurgling (-), snoring (+), stridor (-)
2) Breathing + Ventilasi
 Pengembangan dada: ada/simetris (+), ada/asimetris (-), tidak
ada (-)
 Bradipnea (-), Tachipnea (+), Cusmaul (-), Cains Stock(-), Biot
(-)
 Frekuensi : 26 x/mnt, Reguler (-), Ireguler (+)
 Menggunakan otot tambahan: ya (+), tidak (-)
 Auskultasi paru: Vesiculer (+), Ronkhi (-), Weezing (-)
 Perkusi paru: Resonan (+), Hiperesonan (-), konsolidasi (-)
 Reflek batuk: ada (+), tidak (-)
 Keluhan Sesak napas: ada (+), tidak ada (-)
3) Circulation
 Nadi : 100 X/mt
 Irama Nadi: reguler (+), ireguler (-)
 Kekuatan: lemah (-), kuat (+ )
 TD : 140/90 mmHg
 Akral : hangat (+), dingin (-)
 Warna kulit: cianosis (-), pucat (-), kemerahan (+)
 Capilleri refill : < 3 detik (+), >3 detik (-)
 Nyeri dada : ya (-), tidak (+)
 Karakteristik : ditusuk-tusuk (-), menyebar (-), seperti terbakar
(- ), tertimpa benda keras (-)
 Perdarahan: ada (+) di saluran leher. tidak ada ( ).
4) Disability (deficit neurologis)
 Tingkat kesadaran (kualitatif): Composmentis (+), Apatis (-),
Somnolen (-), Soporus (-), Coma (-)
 Tingkat Kesadaran (kuantitatif): GCS = E4M6V5
 Pupil : isikor (+), un isikor (-), Medriasis (-)
 Kejang (-)
 Pello (-)
 Disartria (+)
 Disfagia (+)
 Afasia (-)
 Nilai kekuatan otot :5/5/5/5
5) Eksposure
 Jejas: ada (+) di leher bagian anterior. tidak ada (-).
6) Folley Cateter
 Keluar darah dari orivicium uretra : ya (-), tidak (+)
 Colok dubur ditemukan prostat melayang: ya (-), tidak (+)
7) Gastric Tube

28
 Keluar darah dari telinga (-), hidung (-)
 Terdapat Battle signe (-), tidak (+)
 Lebam area orbita (-), tidak (+)

e. Survey Sekunder
 Kulit Kepala: luka (-), perdarahan (-), hematoma (-),
krepitasi (-)
 Wajah: Sembab mata (-), cedera cornea (-), krepitasi
pada hidung (-), krepitasi zygoma (-), robek membrane timpani (-),
hemotimpanium (-), luksasi mandibula (-).
 Leher : krepitasi servical (blm dpt diperiksa),
peningkatan JVP(- )
 Thoraks : Inspeksi : tidak tampak jejas,
pengembangan simetris
Palpasi : tidak ditemukan nyeri tekan
Perkusi : lapang paru resonan, tidak teridentifikasi
pembesaran jantung
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru.
 Abdomen: Inspeksi:tidak ada jejas
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : suara tympani (+)
Palpasi : supel, tidak ada distensi,
 VU : Distensi VU (-), Nyeri (-)
 Pelvis : Krepitasi (-)
 Ekstremitas : Krepitasi (-), fraktur (-).
 Bagian punggung: Nyeri (-), Krepitasi (-)
 Pemeriksaan penunjang:
USG (-) hasil :-
Rongent (cervival dan chest) hasil: tampak udara dalam jaringan pra
trakea, tetapi kolom udara pada laryngotracheal tampak utuh. Tidak
ada kelainan tulang belakang leher dan dada
DPL (-) hasil: -
CT Scan ( ) hasil : fraktur comminuted pada tulang rawan krikoid dan
fraktur undisplaced pada tulang rawan tiroid
 Keluhan lain klien atau data lain dari keluarga (DS): -

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Pola nafas tidak efektif

29
Intervensi
1. Airway
 Kolaborasi pemasangan airway definitif (intubasi ETT) segera.
 Kolaborasi tindakan cricothyrotomy apabila tiba-tiba terjadi sumbatan
jalan nafas total.
 Fasilitasi agar pasien mampu mempertahankan bersihan jalan nafasnya
dalam kondisi senyaman mungkin.
 Siapkan dan lakukan suction bila diperlukan.
 Pantau suara nafas tambahan yang menunjukkan adanya gangguan jalan
nafas seperti stridor dan wheezing.
2. Breathing
 Kelola pemberian oksigen dengan face mask.
 Siapkan Bag-valve-mask dan bila diperlukan berikan ventilasi dengan
tepat.
 Berikan pre-oksigenasi yang cukup menjelang intubasi.
 Atur posisi yang membuat pasien dapat bernafas dengan oftimal dan
nyaman.
 Pantau irama, kedalaman, pola pernafasan dan saturasi oksigen.

30
BAB 4
PEMBAHASAN

Diagnosis trauma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya


riwayat trauma pada laring. Banyak kasus trauma laring yang pada awalnya tidak
menimbulkan gejala. Gejala yang mungkin timbul adalah perubahan suara,
seperti serak dapat timbul tergantung dari tipe dan derajat kerusakan dari pita
suara. Sesak nafas, stridor tidak terdapat pada tahap dini. Tetapi pada kasus
yang terjadi pada BAB 3 dijelaskan pada saat datang, bila duduk dia menjadi
agak sesak nafas dan juga tidak dapat berbaring datar karena mengakibatkan
bertambahnya sesak nafas. Suara nafasnya serak dan tidak mampu menelan air
liur, sehingga dia meludah keluar dan tampak warna darah. Akses intravena
diperoleh, dan oksigen diberikan melalui face mask. Dengan tambahan oksigen
diperoleh saturasi oksigen 100% dan parameter hemodinamik dalam batas
normal.
Pada trauma tumpul, kerusakan internal dapat lebih besar dari bagian
eksternal. Kerusakan yang terjadi dapat berupa trauma jaringan lunak,
hematoma, dislokasi, fraktur, dan esophageal tear. Pada awal kasus, dapat
berupa asymptomatic case. Pada pasien bagian anterior lehernya tampak
bengkak difus bengkak dan tampak nyeri. Ini menghalangi palpasi tulang
laryngotracheal dan deteksi krepitus. Tidak ada cedera lainnya yang tampak.
Secara khusus, tulang lehernya bebas nyeri. Pada hasil X-Ray cervical
menunjukkan udara dalam jaringan pra-trakea, tetapi kolom udara pada
laryngotracheal tampak utuh. Tidak ada kelainan tulang belakang leher dan
dada.
Pasien mengalami cedera yang signifikan pada saluran napas atas, tetapi
tingkat cedera itu tidak diketahui. Pilihan perawatan yang dapat dilakukan pada
saat itu adalah:
1. Observasi. Lanjutkan pemberian terapi oksigen dan segera transfer ke RS
rujukan.
2. Surgical Airway.
3. Oral endotracheal intubation dengan general anestesi.
Pilihan pertama memiliki kelebihan dimana prosedur ini adalah
sederhana, namun potensi kerusakan dengan perburukan pada edema dan
terbatasnya ruang untuk melakukan manuver terhadap airway saat perjalanan
harus dipertimbangkan.
Pilihan ke-2, petugas harus kompeten dalam melakukan Trakeostomi dan
cricothyroidotomy pada manusia, dimana didapatkan informasi bahwa petugas

31
hanya pernah melakukan pada domba pada saat pelatihan EMST. Selain itu,
lokasi anatomi yang sulit untuk dilakukan palpasi, karena berdasarkan kasus
diketahui pasien mengalami keduanya edema dan adanya nyeri.
Akhirnya petugas memutuskan memilih melakukan oral endotracheal
intubation dengan general anestesi. Meskipun tidak tersedia fasilitas untuk
inhalasi induksi, tetapi petugas diketahui melakukan intubasi setiap hari dalam
pekerjaannya.
Endotrakeal intubasi oral dengan anestesi umum (GA) direkomendasikan
sebagai teknik pilihan pertama dalam beberapa artikel. Hal ini mungkin menjadi
modus tercepat dan paling invasif dalam upaya mengamankan jalan napas.
Bahkan pasien dengan pemisahan laryngotracheal lengkap telah dilaporkan
berhasil diintubasi secara lisan. Namun, tekanan krikoid dan ventilasi tekanan
positif, keduanya kontraindikasi, karena dapat menyebabkan gangguan saluran
napas lebih lanjut.
Gussack (1988) dalam Peady et al, 2005 menyimpulkan bahwa intubasi
oral dapat berhasil dilakukan asalkan hal itu dilakukan di bawah penglihatan
(vision) langsung saja, yang dilakukan oleh dokter yang berpengalaman, dan
dengan tabung yang lebih kecil dari biasanya. Namun, praktisi harus siap untuk
bergerak cepat ke trakeostomi jika intubasi terbukti sulit. Trakeostomi untuk
pasien dengan gangguan saluran napas yang jelas parah dari cedera tumpul,
orang-orang dengan luka tembus terbuka ke dalam laring atau trakea dan gagal
diintubasi. Perlu diingat bahwa intubasi oral dapat mengakibatkan
ketidakmampuan untuk melewatkan tabung karena terbentuknya jalan palsu atau
terputusnya cricotracheal. Mode induksi (intravena dibandingkan inhalasi)
dibahas dalam beberapa artikel. Induksi inhalasi secara teoritis bisa menjadi
lebih unggul, karena pemeliharaan ventilasi spontan dan menghindari ventilasi
tekanan positif. Namun, ini harus seimbang terhadap risiko lambung pasien yang
penuh, atau adanya pasien yang tidak kooperatif.
Pada pemeriksaan leher ditemukan bengkak di leher, emfisema, ekimosis
dan nyeri. Fraktur kartilago tiroid yang menyertai trauma tumpul laring, bisa
dipalpasi untuk mengetahui posisi dan mobilitas fraktur tersebut, seperti yang
dijelaskan pada kasus bahwa, Pasien dirawat Unit perawatan intensif, dimana
ventilasi melalui ETT dan sedasi dilanjutkan. CT scan menunjukkan fraktur
comminuted pada tulang rawan krikoid dan fraktur undisplaced pada tulang
rawan tiroid. Operasi repair dilakukan pada hari berikutnya. Setelah induksi
anestesi dan pembuatan trakeostomy, laryngoscopy dan bronchoscopy
ditemukan supralaryngeal yang besar dan Edema laring. Satu fragmen kartilago

32
krikoid ditemukan bergeser ke bagian posterior, dan ada sebuah celah pada
membran krikotiroid (diperbaiki dengan tindakan graft jaringan). Fraktur tulang
rawan krikoid dikurangi dan diperbaiki dengan jahitan Prolene 4/0.
Cedera Laryngotracheal dihasilkan dari trauma tumpul yang jarang
terjadi, tetapi mungkin memiliki konsekuensi yang mengerikan. Sebuah indeks
kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk membuat diagnosis, luka yang
mengancam nyawa dapat berhubungan dengan cedera tampaknya sepele.
Ada kontroversi mengenai metode terbaik untuk mengamankan jalan napas yang
rusak.
Mayoritas setuju bahwa trakeostomi dibawah anestesi lokal adalah
"standar emas" dan pilihan paling aman. Namun, di mana personil kurang
memiliki keahlian bedah, di mana ada urgensi untuk mengamankan jalan napas,
atau di mana kerjasama pasien kurang, oral intubation under GA adalah pilihan
yang wajar. Jika personil yang ada lebih terampil dalam penggunaan bronkoskopi
rigid, maka ini adalah pilihan yang wajar untuk mendiagnosa lesi dan
mengamankan jalan napas, memberikan tulang belakang leher stabil.
Jika oral intubasi under GA dipilih, ada alasan teoritis untuk mendukung
induksi inhalasi dan mempertahankan ventilasi spontan. Namun, kehadiran
lambung yang penuh, pasien yang tidak kooperatif, atau batuk atau tersedak
dapat mendukung induksi intravena, dengan syarat bahwa tekanan krikoid dan
ventilasi tekanan positif sedapat mungkin harus dihindari.
Penatalaksanaan trauma tumpul laring dapat berupa terapi konservatif,
endoskopik dan operasi terbuka. Tujuan penatalaksanaan trauma tumpul laring,
secara umum sama dengan trauma laring. Prinsip adalah menjaga kestabilan
jalan nafas, mencegah infeksi dan mencegah komplikasi berupa stenosis laring
(Kohli, & Bhadoria, 2007).
Penanganan atau terapi pada kasus trauma laring dibagi menjadi terapi
konservatif dan terapi operatif. Pada pasien trauma tumpul laring yang pada
pemeriksaan laringoskopi langsung atau esofagoskopi didapatkan hematom
serta laserasi minimal, tetapi bagian endolaring tidak edema, diberikan terapi
konservatif. Sedangkan pada kasus, Pasien pasca tindakan bedah itu lancar.
Trakeostomi dilakukan decannulasi pada hari ke 7. Ia dilepaskan pada hari 10
dan, dengan nasihat medis, ia dapat kembali ke papan ski dalam waktu 3
minggu. Sebelas bulan setelah cedera, dia menjalani laryngoscopy dan
bronchoscopy, yang menunjukkan polip di sebelah kanan pita suara, yang telah
hilang. Sisa pohon laryngo-trakea-bronkial terlihat normal. Satu bulan kemudian

33
dia periksa oleh ahli bedah ENT, dan tercatat memiliki "suara lembut" tetapi pada
sebaliknya juga.
Dalam kasus yang disajikan, petugas terbatasi oleh kurangnya
keterampilan bedah untuk melakukan trakeostomi dibawah LA. Dalam
retrospeksi, penerapan tekanan krikoid memiliki potensi untuk memperburuk
cedera. Pilihan ukuran ETT adalah tepat. ETT ukuran 7,0 adalah lebih kecil dari
yang biasanya akan dipilih untuk laki-laki dewasa, tapi masih merupakan ukuran
yang cukup memungkinkan ventilasi dan suction yang adekuat. ETT ditempatkan
ke kedalaman yang lebih dari biasanya sehingga ujung ETT diharapkan
melampaui tingkat cedera, namun tetap di atas karina. Dalam setting "out-of
hospital" tidak ada pilihan untuk memeriksa posisi ETT dengan bronkoskop
fleksibel. Sebuah protokol disarankan untuk pengelolaan pasien dengan cedera
ini.

34
Protokol untuk manajemen jalan napas awal dan penyelidikan pasien
dengan dugaan cedera laryngotracheal. (Diadaptasi dari Waldron RJ, Young RJ).

Adapun penatalaksanaan sesuai kasus pada bab III di atas adalah sesuai
dengan penatalaksanaan manajemen trauma secara umum, yaitu sebagai
berikut :
Tindakan yang dilakukan sebagian besar sudah tepat yaitu melakukan
pemasangan ETT sebelum oedem laring dan melakukan pembedahan repair
pada bagian krikoid dan tiroid. Akan tetapi pasien mengalami keluhan “suara

35
tidak normal” sekitar tiga tahun setelah pembedahan. Hal ini dikarenakan pasien
tidak dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut (pasien tidak melakukan kontrol
lanjutan).
Oleh karena itu, petugas diharapkan untuk memberikan info lebih lanjut
terkait dengan pengobatan/terapi post op dan fase rehabilitasi pada pasien.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
ENT injury merupakan salah satu bentuk isolasi injury atau
berhubungan erat dengan multiple trauma. Salah satu bentuk trauma
tumpul pada jalan napas atas adalah Trauma laringotracheal. Jarang
terjadi namun sangat mengancam nyawa korban dan prognosa umunya
jelek. Manajemen pasien trauma laring dapat diberikan dengan
berpedoman pada standar ATLS yakni stabilisasi pasien trauma. Rapid
assessment pasien trauma oleh perawat dan dokter emergency room
atau trauma center melalui initial airway management.

36
Beberapa pilihan tindakan defenitif seperti tracheostomi dengan
bantuan local anesthesia harus dilakukan oleh praktisioner yang memiliki
skill yang expert agar tidak memperberat kondisi pasien. Time respon
penting dalam penanganan pasien dengan trauma laring. Jika ada
kontraindikasi dapat dilakukan pilihan tindakan lainnya guna
menyelamatkan nyawa pasien. Keseluruhan proses penilaiaan awal
samapai evaluasi akhir progresitivitas perawatan pasien harus dicatat
secara komprehensif dalam catatan perkembangan pasien. Hal ini
penting sebagai alat komunikasi antara tim kesehatan sekaligus sebagai
bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat perawat dan tim dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gtrauma laring.

5.2 Saran
1. Bagi Profesi Keperawatan
Manajemen perawatan pasien trauma laring di emergency room dapat
dijadikan sebagai salah satu pedoman perawatan pasien trauma guna
meningkatkatkan pengetahuan dan ketrampilan perawat UGD
2. Mahasiswa
Menerapkan pedoman perawatan pasien dengan trauma laring di
UGD melalui pendekatan proses keperawatan

37
DAFTAR PUSTAKA

Adam, G.L.(1997).Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC
Kedokteran, hal 174
Cheong, KF., & Yau, GHM.(1995). Acute Laryngeal Trauma. In: Journal of
Anesthesia, Volume 9, p 360-2
De Leyn, Paul.(2007).Tracheotomy: clinical review and guidelines. Eur J
Cardiothorac Surgurey. Vol 32, p 412-421
Grillo, HC.(2004). Tracheal and Bronchial Trauma. In: Grillo HC, editors. Surgery
of the Trachea and Bronchi. BC Decker. p. 271-90
Jurkovich, GJ.(2004). Laryngeal Trauma. In: Comprehensive Review of
Otolaryngology. Pennylvania: Saundres. p. 238-40
Kohli, A., & Bhadoria, P.(2007).An Unusual Laryngeal Injury.Indian Journals of
Anaesthesia. Vol 51 (1), 57-9
Morris, L., & Afifi, S.(2010).Tracheostomies: the complete guide.Springer
Publishing Company, p 165-172
Novialdi & Azani, A.(2010).Trakeostomi dan Krikotirotomi. Padang: bagian ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala dan leher fakultas
kedokteran Universitas Andalas, p 1-9
Novialdi & Hafiz, A.(2008).Terapi konservatid pada trauma tumpul laring dengan
fraktur kartilago tiroid. Padang: bagian ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok bedah kepala dan leher fakultas kedokteran Universitas
Andalas, p 1-13
Pasha, R.(2000 ). Laryngeal Trauma In: Otolaryngology Head and Neck Surgery:
Clinical Reference Guide. Singular-Thomson Learning. p. 472-5
Russel, C., & Matta, B.(2004).Tracheostomy a multiprofesional handbook.
Cambridge University Press.
Schaefer, SD.(2005).Laryngeal and Esophageal Trauma. In: Cummings
Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th Ed Vol 4. Philadelphia :
Elsevier Mosby,. p. 2090-102
Shepard, JA., & Weber, AL.(2004). Imaging the Larynx and Trachea. In: Grillo
HC, editors.Surgery of the Trachea and Bronchi. BC Decker, p. 103-
60
Stell, PM., & Bickford, BJ.(1984). Anatomy of the Larynx and Tracheobronchial
Tree. In: Ballantyne J, Grove J editors. Scott’s-Brown’s Disease of the
Ear, Nose and Throat, 4th Ed Vol 4. London: Butterworths, p. 385-431
Stierman, K., & Quinn, FB.(1999). Laryngeal Trauma. In: Quinn FB, editor. Grand
rounds presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology, p. 1-7
Woo, P., & Passalaqua, P.(2003). Trauma to the Larynx. In: In: Ballenger JJ,
Snow JB, editors. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th
Ed. Baltimore: Williams & Wilkins. p. 429-42

38
Yudharto, MA., & Hermani, B.(1996). Pemakaian Pipa T Pada Trauma Laring.
Batu Malang: Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan
Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
(PERHATI-KL), p 563-9

39

Anda mungkin juga menyukai