Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

MULTIPLE TRAUMA

Fasilitator:

Harmayetty, S.Kp.,M.Kes

Disusun Oleh

Kelompok I – A2

1. Mega Kurniawati Dewi 131711133053


2. Setya Indah Hikmawati 131711133072
3. Wildan Fajrul Falah 131711133073
4. Enggar Qur’ani Ayu 131711133091
5. Nike Wahyu Nur Andini 131711133110
6. Ismatulloh Jihan Alim 131711133111

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATMAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis dengan materi Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Multiple Trauma dalam bentuk makalah. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu Harmayetty, S.Kp.,M.Kes.

Terima kasih kepada ibu Harmayetty, S.Kp.,M.Kes sebagai dosen pengampu yang telah
membimbing dalam penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Kami menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Untuk itu kritik dan saran
sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini

Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan bagi
pembaca. Dan apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan kiranya pembaca
dapat memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Surabaya, 3 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. ii

DAFTAR ISI iii

BAB I 4

PENDAHULUAN 4

1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................ 4

1.3. Tujuan................................................................................................................... 5

BAB II 6

2.1 Definisi Multiple Trauma...................................................................................... 6

2.2 Etiologi Multiple Trauma...................................................................................... 6

2.4 Klasifikasi Multiple Trauma................................................................................. 10

2.5 Manifestasi Klinis Multiple Trauma..................................................................... 13

2.6 Patofisiologi Multiple Trauma.............................................................................. 13

2.7 Web of Caution Multiple Trauma......................................................................... 17

2.8 Faktor Risiko Multiple Trauma............................................................................. 19

2.9 Komplikasi pada Multiple Trauma....................................................................... 19

2.10 Penatalaksanaan Pasien Multiple Trauma........................................................... 20

2.11 Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Trauma................................................. 21

2.12 Asuhan Keperawatan Teori Multiple Trauma..................................................... 22

BAB III 34

3.1. Kesimpulan........................................................................................................... 34

3.2. Saran..................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA 35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun
di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa
pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab
kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).
Trauma saat ini menjadi penyebab kematian paling sering di empat decade
pertama kehidupan dan masih menadi maslaah kesehatan yang utama di setiap Negara
(Gad, 2012). Data WHO menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan sekitar
1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia
selama tahun 2011. Data dari Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2010
menyebutkan bahwa pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya
dengan korban terbanyak berusia 15-55 tahun.
Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran
yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ),
dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida
E, et al, 2013). Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah
satunya tingkat ekonomi merupakan faktor penentu utama. Laporan WHO 2004
mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan
(ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). Keseluruhan angka kematian, termasuk
pra-rumah sakit dan di rumah sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan
tinggi, namun meningkat menjadi 55% di negara berpenghasilan menengah dan 63%
di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai
rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien
berpenghasilan ekonomi rendah.

Oleh sebab itu, di dalam makalah ini kami akan membahas terkait dengan
multiple trauma dengan perhitungan berdasarkan IIS (Injury Severity Score),
APACHE (Acute Physiologic and Chronic Helath Evaluation), AIS (Abbreviated

4
Injury Scale) untuk pengklasifikasiannya dan mengkategorikannya ke dalam beberapa
jenis multiple trauma.

1.2. RUMUSAN MASALAH


a) Apa definisi dari Multiple Trauma ?
b) Bagaimana etiologi dari Multiple Trauma ?
c) Bagaimana klasifikasi Multiple Trauma ?
d) Bagaimana manifestasi klinis dari Multiple Trauma ?
e) Apa saja komplikasi yang disebabkan Multiple Trauma ?
f) Bagaimana penatalaksanaan Multiple Trauma ?
g) Bagaimana pemeriksaan penunjang pada Multiple Trauma ?
h) Bagaimana teori asuhan keperawatan inkontinensia urine ?

1.3. TUJUAN
1.3.1 Tinjauan Umum
Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dengan mata kuliah keperawatan kritis
diharapkan dapat mengetahui penjelasan proses terjadinya multiple trauma hingga
penatalaksanaannya.

1.3.2 Tinjauan Khusus


1. Mengetahui definisi dari multiple trauma
2. Mengetahui etiologi dari multiple trauma
3. Mengetahui klasifikasi multiple trauma
4. Mengetahui manifestasi klinis dari multiple trauma
5. Mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan multiple trauma
6. Mengetahui penatalaksanaan multiple trauma
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada multiple trauma

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Multiple Trauma


Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh
dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) kecelakaan di jalan
raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu
lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden,
2004).

Multiple trauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada
regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi
dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional
(Lamichhane P, et al., 2011). Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau
lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan
psikososial dan disabilitas fungsional. Multi trauma adalah Keadaan yang di sebabkan oleh
luka atau cedera defenisi inimemberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap
cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya trauma
adalah kejadianyang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang.

Sekitar 80% dari penderita trauma mengenai sistem muskulo skeletal. 50% pasein
gawat darurat meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit. 50%
meninggal pada saat kejadian atau beberapa menit setelah kejadian kerna distruksi otak dan
CNS, jantung aorta dan pembuluh besar lainnya. 35% meninggal 1-2 jam setelah trauma (the
golden hour). Data kematian disebabkan karena, trauma kepla berat (hemtoma subdural dan
epidural), trauma toraks (hematoma toraks dan peneumotoraks), trauma abdomen (ruptur
limpha dan laserasi hati ), fraktur femur dan pelvis karena pendarahan massif, trauma
multiple dan pendarahan. Pencegahan kematian dilakukan pada 1-2 jam dini, dimana harus
tidak agresif. Angka kematian trauma di tentukan pada fase ini, 15% meninggal akibat, mati
otak, gagal organ, sepsis. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit
menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan
ekonomi rendah.

Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah satunya tingkat
ekonomi merupakan faktor penentu utama. Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara
6
klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan
efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :
a. Immediate deaths (kematian yang segera), dimana pasien meninggal oleh karena
trauma sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma
spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit,
karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.
b. Early deaths, dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma.
Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh
cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat
ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan
perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang
dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi
selama 24 jam.
c. Late deaths, dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma.
Sepuluh sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma
terjadi pada periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas disebabkan oleh karena
infeksi dan kegagalan multipel organ. Trauma kepala paling banyak dicatat pada
pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi,
kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain.

2.2 Mekanisme trauma

Mekanisme cedera terkait dengan jenis kekuatan luka dan respon jaringan tersebut.
Pemahaman yang menyeluruh tentang dua aspek cedera ini membantu dalam menentukan
tingkat dan sifat kerusakan. Cedera terjadi ketika kekuatan merusak jaringan di luar batas
kerusakannya. Ini dapat menyebabkan kerusakan anatomis dan fisiologis. Kerusakan
anatomi, seperti patah tulang, biasanya akan sembuh dan fungsinya akan kembali. Kerusakan
fisiologis, seperti cedera sistem saraf pusat, mungkin permanen meskipun terdapat proses
penyembuhan. Mekanisme cedera dapat membantu menjelaskan jenis cedera, memprediksi
hasil akhirnya dan mengidentifikasi kombinasi cedera umum. Pengetahuan tentang informasi
ini meningkatkan manajemen trauma pada pasien.

Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi cedera adalah kecepatan tumbukan,


bentuk objek, dan kekakuan jaringan. Jaringan tubuh memiliki resistensi inersia serta

7
kekuatan tarik, elastis, dan tekan. Kekuatan tarik sama dengan jumlah ketegangan yang dapat
ditahan oleh suatu jaringan dan kemampuannya untuk menahan kekuatan regangan.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk melanjutkan bentuk dan ukuran aslinya setelah
diregangkan. Kekuatan tekan mengacu pada kemampuan untuk menahan gaya terjepit atau
tekanan ke dalam. Setiap kali kekuatan melebihi kekuatan jaringan maksimum, fraktur atau
robekan terjadi.

Kekuatan adalah faktor fisik yang mengubah gerakan tubuh baik saat istirahat atau
sudah bergerak. Itu dihitung dengan persamaan berikut:

Kekuatan = Massa x Akselerasi

Semakin lambat gaya diterapkan, semakin lambat energi dilepaskan, dengan


deformasi jaringan yang lebih sedikit. Jika gaya yang sama hilang di area permukaan yang
luas, gangguan jaringan akan berkurang. Gaya yang paling sering diterapkan adalah
akselerasi, deselerasi, geser, dan kompresi. Akselerasi adalah perubahan kecepatan atau
kecepatan benda yang bergerak. Saat kecepatan meningkat, demikian juga kerusakan
jaringan. Deselerasi adalah penurunan kecepatan benda yang bergerak. Gaya geser terjadi
melintasi pesawat, dengan struktur tergelincir relatif satu sama lain. Resistansi tekan adalah
kemampuan suatu benda atau struktur untuk menahan gaya terjepit atau tekanan ke dalam.

Sifat viskoelastik jaringan membantu menyerap energi dan melindungi organ vital
dari dampak benturan. Jika energi yang ditransmisikan ke jaringan tetap di bawah batas
cedera, energi tersebut akan diserap tanpa menyebabkan cedera. Fenomena ini digunakan
untuk melindungi terhadap cedera dengan menggunakan struktur absorben energi dan
bantalan. Objek pelindung tidak mencegah deformasi jaringan tetapi dapat memperpanjang
durasi dan mengurangi kekuatan tumbukan di bawah batas cedera.

Ketika jaringan berubah bentuk melebihi batas yang dapat dipulihkan, cedera terjadi.
Deformasi jaringan atau struktur dapat diukur berdasarkan perubahan bentuk, umumnya
didefinisikan sebagai perubahan panjang dibagi dengan panjang awal. Istilah lain untuk
perubahan regangan ini. Dua tipe utama regangan adalah regangan dan geser. Tipe ketiga
adalah tekan, yang kurang nyaman dan bertanggung jawab untuk menghancurkan cedera.
Peregangan arteri sepanjang sumbu longitudinal meningkatkan panjang dan regangan
jaringan. Jika regangan atau peningkatan panjangnya terlalu besar, jaringan akan pecah.
Fenomena "semua atau tidak ada" tidak ada, sehingga arteri dapat sepenuhnya atau sebagian

8
rusak. Hasil yang serupa dapat dihasilkan oleh gaya yang diterapkan pada 90 derajat terhadap
sumbu panjang arteri. Strain geser ini terjadi ketika pergerakan jaringan dalam arah yang
berlawanan melebihi batas yang dapat dipulihkan. Contoh lain dari cedera regangan tarik
adalah patah tulang paha dan tulang rusuk. Cedera regangan geser termasuk laserasi vena
hepatik akibat pergerakan deferential dari lobus hepatika dan cedera otak akibat pergerakan
otak di dalam tengkorak. Strain tekan atau deformasi adalah faktor dalam cedera kontusio.

Faktor lain dalam cedera regangan adalah tingkat pemuatan atau pewarnaan. Respon
jaringan tergantung pada kedua regangan dan tingkat aplikasi regangan. Cedera tulang dapat
digunakan untuk menunjukkan prinsip ini. Tulang padat akan gagal pada nilai regangan jika
lebih lambat tidak akan menyebabkan kegagalan jaringan. Secara umum, toleransi viskos
suatu jaringan sebanding dengan produk dari laju pembebanan dan jumlah kompresi.
Toleransi jaringan terhadap kompresi berkurang ketika laju pemuatan meningkat.

Secara keseluruhan mengenai mekanisme cedera untuk sistem organ spesifik terus
meningkat. CIREN (Crash Injury Research and Engineering Network) telah berperan penting
dalam meningkatkan pengetahuan kita tentang cedera pada MCV. Misi dari program ini
adalah untuk meningkatkan pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi cedera MCV, dengan
demikian mengurangi kematian, cacat, dan biaya manusia dan ekonomi. CIREN disponsori
oleh Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional dan menggunakan
pendekatan multidisiplin untuk menyelidiki kecelakaan. Informasi dari program ini
menunjukkan bahwa pengekangan sabuk pengaman yang tepat mengurangi cedera kepala
akibat tabrakan frontral, tetapi bukan tabrakan lateral, dan cedera intrusi kontak yang
umumnya menyebabkan cedera otak, hati, dan paru-paru. Banyak perubahan rekayasa dalam
desain kendaraan dapat ditelusuri ke temuan yang dibuat oleh investigasi CIREN.

a. Trauma tumpul

Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas.


Pada suatukecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang
berada didalam mobilakan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-turut
sebagai berikut :
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada
pada posisi masing-masing.Tabrakan dapat terjadi dengan cara : tabrakan

9
depan (frontal), tabrakan samping (TBone), tabrakan dari belakang,
terbalik (roll over)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil
(atau sabuk pengaman).Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan
akan sangat tergantung dari arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang
berada dalam rongga tubuh akanmelaju kearah depan dan mungkin akan
mengalami perlukaan langsung ataupun terlepas(robek) dari alat
pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang
mengalami tabrakanterpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu
barang-barang yang berada dalam mobilturut terpental dan menambah
cedera pada penderita.
b. Trauma kompresi

Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari
belakang oleh bagian belakang dinding torak oabdominal dan kulumnavetrebralis,
dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi
apayang trauma. Mekanisme trauma yang terjadi pada pengendara sepeda motor
dan sepeda meliputi :

 Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka
kendaraan akan berputarkedepan,dengan momentum mengarah kesumbu
depan. Momentum kedepan akan tetap, sampai pengendara dan
kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain.Pada saat gerakan
kedepan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkinmembentur stang
kemudi. Bila pengendara terlempar keatas melewati stang kemudi,
makatungkainya mungkin yang akan membentur stang kemudi, dan dapat
terjadi fraktur femurbilateral.
 Benturan lateral

10
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau
tertutup tungkai bawah. Jika sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang
bergerak maka akan rawan untukmenglami tipe trauma yang sama dengan
pemakai mobil yang mengalami tabrakan samping.Pada tabrakan samping
pengendara juga akan terpental karena kehilangan keseimbangansehingga
akan menimbulkan cedera tambahan.
 Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan
ditabraknya pengendara mungkinakan menjatuhkan kendaraannya untuk
memperlambat laju kendaraan dan memisahkannyadari kendaraan. Cara
ini dapat menimbulkan cedera jaringan lunak yang sangat parah.

 Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak
terbatas namunpenggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk
mengurangi kekuatan yangmengenai kepala dengan cara mengubah energi
kinetik benturan melalui kerja deformasi daribantalannya dan diikuti
dengan mendistribusikan kekuatan yang menimpa tersebut
seluasluasnya.Secara umum petugas gawat darurat harus berhati-hati
dalam melepas helm korbankecelakaan roda dua, terutama pada
kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala
dan tulang belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat
(walaupun penderitamungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut :
 Penderita terpental , antara lain :
1. Pengendara motor
2. Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
3. Tabrakan mobil dengan terbalik
4. Terpental keluar mobil
 Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
 Ada penumpang mobil (yang berada didalam satu kendaraan)
meninggal.

11
c. Trauma ledakan (Blast Injury)

Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu
bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi
produk-produk gas. Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati
suatu volume yang jauh lebih besar dari pada volume bahan aslinya. Bilamana
tidak ada rintangan, pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan suatu
gelombang tekanan (shock wave). Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3
mekanisme kejadian trauma yaitu primer, sekunder dan tersier.

Trauma ledak primer merupakan hasil dari efek langsung gelombang


tekanan dan paling peka terhadap organ –organ yang berisi gas. Membran timpani
adalah yang paling peka terhadap efek primer ledak dan mungkin mengalami
ruptur bila tekanan melampaui 2 atmosfir. Jaringan paru akan menunjukan suatu
kontusi, edema dan rupture yang dapat menghasilkan pneumothoraks. Cedera
ledak primer ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan emboli udara
dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan intraokuler dan ablasio retina
merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi, demikian juga ruptur intestinal.

Trauma ledak sekunder merupakan hasil dari objek-objek yang melayang


dan kemudian membentur orang disekitarnya. Trauma ledak tersier Terjadi bila
orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu objek atau
tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma baik tembus
maupun tumpul secara bersamaan.

d. Trauma tembus (Penetrating Injury)


 Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalahpisau dan alat pemecah
es. Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena
energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder.
Cedera pada penderita dapat diperkirakan dengan mengikuti alur senjata
pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan menusuk ke
bawah, sedangkan pria menusuk keatas karena kebiasaan mengepal.Saat
menilai penderita dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka
tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke

12
rumah sakit atai saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan disekitar
lokasi dan kondisi pasien.
 Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol,
sedangkan senjata dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata
untuk berburu. Semakin banyak jumlah mesiu, maka akan semakin
meningkat kecepatan peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan jaringan
tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar
alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui peluru.

2.3 Mekanisme Multpile Trauma

Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada tubuh


penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut menyebabkan timbulnya
respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk mengeliminasi jaringan
yang rusak serta untuk mengeliminasi jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006).

Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling berkoordinasi
untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin (tumor necrosis faktor-α),
interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric oxide, reactive oxgen
species, serta produk dari classic inflammatory pathway (complement, histamine,
bradykin). Ketika mediator-mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka
mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen sel- sel sistem imun innate dan
adaptive untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi serta untuk melakukan
proses perbaikan di jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui
kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal
menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory Response
Syndrome atau SIRS (Craig S R et., 2005).

SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi
sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan
kebutuhan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan menyebabkan
peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen,
dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini akan disertai dengan peningkatan
suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan
resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang tinggi akan menyebabkan terjadinya

13
burn out (Gerard M D, 2006).

SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme sel dan


microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka akan
menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi berupa disfungsi
beberapa organ tubuh (Gerard M D, 2006), yaitu :

i. Disfungsi otak : delirium


ii. Disfungsi paru-paru : hipoksia
iii. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema
iv. Disfungsi ginjal : oligouria
v. Disfungsi saluran pencernaan : ileus
vi. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia
vii. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia

Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem imunitas
tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan multiple organ
dysfunction syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya multiple
organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian (Gerard M D, 2006).

Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan terjadinya
acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada
respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan alveolar-capillary
sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga alveoli yang akan
menimbulkan manifestasi klinis ARDS (Gerard M D, 2006).

2.4 Etiologi Multiple Trauma


2.4.1 Olahraga

Lingkungan yang diawasi di mana sebagian besar cedera olahraga terjadi


memungkinkan penyimpangan ringan dari algoritma pengobatan trauma tradisional,
seperti ATLS, karena presisi yang lebih besar dalam mengidentifikasi mekanisme
cedera. Prioritas dalam menilai trauma tumpul pada cedera olahraga adalah
memisahkan kontusio dan cedera muskulo dari cedera ke organ padat dan usus dan
mengenali potensi untuk kehilangan darah, dan bereaksi sesuai dengan itu. Cedera
tumpul ke ginjal akibat helm, bantalan bahu, dan lutut dijelaskan dalam sepakbola
Amerika, sepakbola asosiasi, seni bela diri, dan kecelakaan kendaraan segala medan.

14
2.4.2 Blunt Trauma

Kombinasi deselerasi, akselerasi, geser, penghancuran, dan kompresi


menghasilkan trauma tumpul. Trauma tumpul sering lebih mengancam jiwa daripada
trauma tembus tumpul karena distribusi energi destruktif Terjadi di beberapa jaringan
tubuh. Sebagai akibatnya, banyak cedera sering terjadi dan identifikasi cedera bisa
sulit. MVC, jatuh, serangan, ledakan, dan olahraga kontak dikaitkan dengan cedera
gaya tumpul.

Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Pada
suatukecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang berada
didalam mobilakan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-turut sebagai
berikut :
5. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada
posisi masing-masing.Tabrakan dapat terjadi dengan cara : tabrakan depan (frontal),
tabrakan samping (TBone), tabrakan dari belakang, terbalik (roll over)
6. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk
pengaman).Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung
dari arah tabrakan.
7. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam
rongga tubuh akanmelaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan
langsung ataupun terlepas(robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
8. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami
tabrakanterpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang
berada dalam mobilturut terpental dan menambah cedera pada penderita.

2.4.3 Kecelakaan Kendaraan Bermotor

Berbagai jenis kecelakaan kendaraan menghasilkan pola cedera yang dapat


diprediksi. Jenis MVC termasuk dampak frontal, tabrakan (dengan "lintasan naik-
turun" dan "turun-dan-di bawah), tabrakan benturan lateral, tabrakan dampak

15
belakang, tabrakan rotasi, dan kecelakaan rollover (Gambar 42-1). Memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi untuk cedera spesifik berfungsi sebagai titik awal untuk
mencari cedera yang bervariasi dari pola yang biasa. Tabrakan tumbukan frontal
terjadi ketika kendaraan menabrak benda di depannya. Penghuni kendaraan terus
bergerak maju dengan kecepatan yang sama seperti kendaraan sampai mereka
menabrak sabuk pengaman, airbag, roda kemudi, dashboard, atau belakang kursi
depan, tergantung pada posisi mereka di dalam mobil.

Dua pola cedera terlihat sebagai akibat dari pergerakan penghuni yang tidak
terkendali. Jalur naik-turun terjadi ketika kepala menjadi titik utama tubuh, menabrak
kaca depan atau struktur pendukung mobil lainnya. Begitu kepala berhenti,
momentum batang yang terus menerus menarik tubuh ke atas, memaksa dada dan
perut masuk ke kolom atau dasbor kemudi. Lutut dan tulang paha dipaksa ke dasbor;
dada dan perut pengemudi bertabrakan dengan setir (lihat Gambar 42-1). Ketika
struktur intrathoracic bergerak maju, gaya percepatan geser menghasilkan robekan
organ dari pedikel pembuluh darah mereka. Tabrakan benturan lateral terjadi ketika
kendaraan ditabrak pada sudut 90 derajat, mengubah arah dari gerakan maju murni ke
maju-lateral gerakan.

Cidera yang diakibatkan karena kompresi dan geser ketika penghuninya


tertabrak di samping tumbukan atau dilemparkan ke seberang kendaraan untuk
menabrak sebaliknya. Benturan tumbukan lambat menyebabkan penghuni bergerak
maju dengan kecepatan lebih cepat dari kecepatan kendaraan. Jika tidak ada penahan
kepala, kepala akan terlempar ke belakang dan cedera tulang belakang leher yang
serius dapat terjadi. Tabrakan rotasi terjadi ketika bagian tengah kendaraan terkena
objek kecepatan rendah, menyebabkan kendaraan berputar di sekitar titik tumbukan.
Penghuni akan melanjutkan gerakan ke arah semula sampai mereka menabrak
beberapa objek di dalam mobil. Cidera geser dan kompresi terjadi selama kecelakaan
rollover ketika penghuni dilemparkan ke berbagai arah dalam tabrakan berikutnya
saat mobil bergulung kembali.

Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari belakang
oleh bagian belakang dinding torak oabdominal dan kulumnavetrebralis, dan didepan

16
oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi apayang trauma.
Mekanisme trauma yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan sepeda meliputi :
 Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka kendaraan
akan berputarkedepan,dengan momentum mengarah kesumbu depan. Momentum
kedepan akan tetap, sampai pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau
benda lain.Pada saat gerakan kedepan ini kepala, dada atau perut pengendara
mungkinmembentur stang kemudi. Bila pengendara terlempar keatas melewati stang
kemudi, makatungkainya mungkin yang akan membentur stang kemudi, dan dapat
terjadi fraktur femurbilateral.
 Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup
tungkai bawah. Jika sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang bergerak maka
akan rawan untukmenglami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang
mengalami tabrakan samping.Pada tabrakan samping pengendara juga akan terpental
karena kehilangan keseimbangansehingga akan menimbulkan cedera tambahan.
 Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya
pengendara mungkinakan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat laju
kendaraan dan memisahkannyadari kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera
jaringan lunak yang sangat parah.

 Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas
namunpenggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan
yangmengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan melalui kerja
deformasi daribantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang
menimpa tersebut seluasluasnya.Secara umum petugas gawat darurat harus berhati-
hati dalam melepas helm korbankecelakaan roda dua, terutama pada kecurigaan
adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan tulang belakang
dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat (walaupun
penderitamungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut :
 Penderita terpental , antara lain :

17
1. Pengendara motor
2. Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
3. Tabrakan mobil dengan terbalik
4. Terpental keluar mobil
 Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
 Ada penumpang mobil (yang berada didalam satu kendaraan) meninggal.

Kejadian cidera kepala di seluruh dunia terus mengalami peningkatan,


terutama karena adanya peningkatan penggunaan kendaraan bermotor, khususnya di
negaranegara berkembang. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan
lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia
(Maas et al., 2008 ; Roozenbeek et al., 2013). Pada tahun 2010 centers for disease
control and prevention memperkirakan 2,5 juta orang masuk ke instalasi gawat
darurat karena mengalami cidera kepala dengan insiden 579 per 100.000 penduduk
dan 52.000 orang mengalami kematian di Amerika Serikat (Faul et al., 2010). Pasien
yang telah mendapatkan perawatan di pusat trauma angka kematian di laporkan lebih
dari 50% akibat cidera kepala (Dutton et al., 2010). Menurut riset kesehatan dasar
kementerian kesehatan (2013) proporsi cidera kepala di Indonesia sebesar 14,9 % dari
total cidera yang dialami oleh masyarakat akibat mengalami kecelakaan lalu lintas.
Proporsi cidera kepala tertinggi di Propinsi Papua dengan 19,6% kasus dan terendah
di Propinsi Kalimantan Barat 10,7% yang dialami oleh kelompok usia 15 – 59 tahun
sebanyak 63,4% (Litbangdepkes, 2013). Di indonesia angka kejadian cidera kepala
berat berkisar antara 6% - 12 % dari total keseluruhan kasus cidera kepala dengan
angka kematian 25 % - 37 % (Tjahjadi et al., 2013).

2.5 Klasifikasi Multiple Trauma


Terdapat beberapa scoring system, antara lain Abbreviated Injury Score (AIS),
Injury Severity Score (ISS), New Injury Severity Score (NISS)

2.5.1 Abbreviated Injury Scale (AIS)


AIS bertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak didesain untuk
memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Pada AIS suatu cedera
diranking pada skala 1-6. Setiap cedera pada tubuh pasien diberi AIS

18
Injury AIS score
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Svere
5 Critical
6 Unsurvivable

2.5.2 Injury Severity Score (ISS)


ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan skor
pada pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi AIS score dan
dialokasikan ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah,
thorak, abdomen, ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal). Hanya
AIS score yang tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan.
Kemudian dari AIS score tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah
dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS
adalah jumlah kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang
mengalami cedera terparah.
ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan mengalami multiple
trauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 16.
ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan
hanya berjumlah tiga, yang masing-masing berasal dari tiga regio tubuh yang
memiliki cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien
tersebut terdapat lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan
atau lebih dari tiga regio tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio
tubuh sehingga tidak mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang terjadi
pada regio tubuh yang sama sehingga derajat keparahan suatu trauma sering salah
diperkirakan. Selain itu ISS hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak
memperhitungkan data fisiologis. ISS juga memerlukan perawat khusus trauma
atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score.

Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa dapat
dianggap cedera serius oleh pemeriksa lain. ISS merangkum tingkat keparahan

19
kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera. Tubuh dibagi menjadi enam
area: kepala dan leher, toraks, abdomen (termasuk organ pelvis), alat gerak
(termasuk tulang pelvis), dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera dicatat, dan
cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan. ISS adalah
penjumlahan kuadrat tiga nilai AIS tertinggi di setiap tiga area tubuh yang
mendapat cedera paling berat. Nilai AIS 6 setara dengan nilai ISS 75.

Rumus : ISS = a2+b2+c2

Contoh Penghitungan ISS

AIS Score Region


Multiple abrasions 1 External
Deep laceration 2 Face
Subarachnoid hemorrhage 3 Head/Neck  
Major kidney laceration 4 Abdomen
Major liver laceration 4 Abdomen

Hubungan nilai ISS dengan angka mortalitas

Skor %Mortalitas
0-8 5%
9-15 8%
16-24 17%
25-40 64%
41-66 88%

ISS = (4)2+(3)2+(2)2 = 29  

NISS = (4)2+(4)2+(3)2 =41

Trauma mayor adalah jika ISS ≥15, dihubungkan dengan mortalitas lebih dari
10%. ISS mudah digunakan dan dapat menjadi  prediktor kelangsungan hidup
yang baik, terutama pada pasien-pasien yang mempunyai cedera multiple.

Region Injury description AIS Square top three


Head and neck Cerebral contusion 3 9
Face No injury 0
Cheast Flail chest 4 16

20
Minor contusion of 2
Abdomen liver
Complex rupture spleen 5 25
Fractured femur 3
Extremity
No injury 0
Injury severity score 50

2.5.3 New Injury Severity Score (NISS)


Untuk mengatasi keterbatasan pada ISS maka diciptakanlah New Injury
Severity Score (NISS). NISS merupakan jumlah kuadrat dari nilai AIS score dari
tiga cedera terparah pada pasien tanpa mempertimbangkan regio tubuh lokasi
cedera tersebut.
Disebutkan bahwa NISS lebih akurat dalam memprediksi mortalitas trauma
dibandingkan dengan ISS, terutama pada trauma tajam. Disebutkan juga bahwa
NISS lebih baik daripada ISS untuk memprediksi terjadinya MOF pasca trauma.
Sebuah contoh akan lebih dapat menjelaskan perbedaan antara ISS dan
NISS. Misalnya seseorang mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengalami
cedera steering-wheel compression pada regio abdomen. Pada saat operasi
laparotomi, awalnya ditemukan small-bowel perforation (AIS score 3, ISS 9, NISS
9), kemudian ditemukan juga adanya moderate liver laceration (AIS score 3, ISS
9, NISS 18). Kemudian ditemukan moderate pancreatic laceration dengan duct
involvement (AIS score 3, ISS 9, NISS 27) serta ditemukan adanya bladder
perforation (AIS score 4, ISS 16, NISS 34). Pada ekstremitas bawah pasien
tersebut didapatkan bimalleolar fibular fracture (AIS score 2, ISS meningkat
menjadi 20, tetapi NISS tetap 34). Hal tersebut menunjukkan bahwa NISS lebih
konsisten dengan naluri dokter bedah trauma daripada ISS, dimana bila jumlah
cedera bertambah maka seseorang lebih berisiko mengalami kematian, bahkan
bila cedera-cedera tersebut hanya terakumulasi pada satu regio tubuh. Selain itu
adanya cedera yang tidak terlalu parah di regio tubuh yang lain (dalam kasus ini
adalah fibular fracture) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap risiko untuk
mengalami kematian.
NISS dikatakan lebih superior daripada ISS pada kasus trauma tajam,
sedangkan belum terdapat penelitian mengenai perbandingan antara NISS dengan
ISS dalam memprediksi outcome pada pasien yang mengalami trauma tumpul.

21
NISS mempunyai beberapa keterbatasan. Pada NISS, begitu juga dengan ISS,
hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data
fisiologis, untuk memprediksi outcome pada pasien. NISS juga memerlukan
memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai
secara akurat dari AIS score.

2.6 Manifestasi Klinis Multiple Trauma


a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah biasanya
pada arteri karotis)
g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.
Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal
n. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur
pelvis
o. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

2.7 Faktor Risiko Multiple Trauma


Beberapa faktor yang dapat meningkatkan seseorang dapat mengalami multiple
trauma yaitu orang yang memiliki risiko trauma yang besar, misalnya pada pekerja
konstruksi, pekerja yang mengoperasikan mesin-mesin berat, dan pengendara kendaraan
bermotor.

22
2.8 Komplikasi pada Multiple Trauma
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan multiple trauma diantaranya:

1. Komplikasi Awal
a. Cedera kepala parah
b. Perdarahan
Cidera kepala yang parah dan pendarahan adalah komplikasi awal dari berbagai
trauma, dan kematian pada tahap ini dapat dicegah dengan penilaian cepat, resusitasi,
dan manajemen cedera. Untuk mencegah exsanguination, perdarahan harus dikontrol
dan resusitasi volume dimulai dengan infus kristaloid dan tranfusi darah. Perdarahan
masif yang dipersulit oleh hipotermia, asidosis metabolik, dan koagulopati sangat
mematikan.
2. Komplikasi Akhir
a. Syok Hipovolemik
Perdarahan hebat atau perdarahan hebat yang berlanjut karena
homeostasis yang tidak lengkap atau cedera yang tidak terdiagnosis dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan akhirnya mengalami perfusi organ yang
tidak normal. Tranfusi darah sering kali diperlukan, namun syok hipovolemik
dapat meningkatkan kemungkinan munculnya ARDS dan MODS.
b. Infeksi dan Syok septic
Komplikasi serius dan sering teradi pada klien dengan multiple trauma yaitu
terjadinya infeksi.
c. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
ARDS merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan di bisang pulmonology
yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang menyebabkan
terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan
menadi berkurang.
Menurut AECC (American-European Consensus Conference) pada tahun
1994, definisi ARDS yaitu:
1) Gagal napas dengan onset yang bersifat akut
2) Rasio PaO2/F1O2 ≤ 200 mmHg
3) Infiltrat bilateral pada foto thoraks, tanpa adanya bukti edema paru
kardiogenik

23
4) Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan pada atrium kiri
d. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
SIRS adalah respon tubuh secara klinis terhadap inflamasi, yang termasuk
dua atau lebih dari gejala berikut:
1) Temperature ≥ 380C atau ≤ 360C
2) Denyut jantung ≥90x/menit
3) Respirarory Rate lebih dari 20x/menit
e. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
MODS merupakan adanya penurunan fungsi organ pada klien dengan
penyakit akut yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
homeostasis tanpa intervensi, biasanya melibatkan dua atau lebih system organ

2.9 Penatalaksanaan Pasien Multiple Trauma


2.9.1 Penatalaksanaan yang harus segera dilakukan saat pasien datang
9. Memasang kateter intravena dan memasukkan cairan dan/atau darah melalui
IV (jika menggunakan rapid infuser, satu perawat atau paramedic bertugas
untuk mengawasi kecepatan dari rapid infuser dan menambahkan lebih banyak
cairan sebanyak yang dibutuhkan berhubungan dengan cepatnya waktu yang
dibutuhkan bagi cairan infus untuk habis dengan menggunakan alat ini)
10. Mengambil sampel darah untuk tes laboratorium
11. Mengkaji tubuh dan ekstremitas pasien terkait adanya luka.
12. Bantu pasien dengan pemasangan chest tube
13. Melakukan pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation)
14. Mengaplikasikan ECG
15. Mengaplikasikan pengukur tekanan darah, oksimetri, dan suhu tubuh.
16. Pasang Foley kateter, jika dibutuhkan dan setelah dokter melakukan
pemeriksaan usus besar.
2.9.2 Penatalaksanaan pada pasien yang mengalami ineffective breathing
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengembalikan pola pernapasan
normal pada pasien. Intervensi langsung diarahkan pada luka spesifiknya atau

24
sebab yang mendasari terjadinya kesulitan bernapas. Intervensi yang dapat
dilakukan perawat diantaranya :
a. Berikan tambahan O2 : beri 100% O2 via non-rebreathing mask jika pasien
mengalami cedera pada dinding dada.
b. Siapkan pasien untuk intubasi
c. Mengevaluasi penyebab spesifik dari disfungsi respirasi dan sediakan
intervensi yang sesuai
2.9.3 Penatalaksanaan pada pasien yang mengalami perdarahan
Pengobatan pertama yang harus dilakukan untuk pasien yang
mengalami perdarahan adalah terapi pemberian cairan dan darah untuk
mengkompensasi cairan dan darah yang hilang. Cairan yang disarankan untuk
resusitasi adalah ringer laktat yang diklasifikasikan sebagai kristaloid. Pasien
dengan perdarahan parah karena trauma atau yang tidak merespon cairan
kristaloid secara adekuat harus diantisipasi dengan transfuse darah.
Karena perawat telah mengkaji ABC pasien, maka pasien harus sudah
menerima tambahan oksigen. Pasien trauma mungkin mengalami takipnea, hal
ini untuk menjaga keseimbangan asam-basa tubuh, sehingga oksigenasi pada
pasien sangat penting. Perawat harus memonitor keseimbangan asam-basa
pasien dengan teliti. Jika perdarahan tidak dapat dihentikan, maka “trauma
team” akan mencoba untuk menghentikan perdarahan dengan menggunakan
teknik tekanan eksternal atau procedure operasi.
2.9.4 Penatalaksanaan pada pasien open fraktur muskuloskeletal
Intervensi pertama yang dapat dilakukan pada pasien open fraktur
musculoskeletal adalah menghentikan perdarahannya dengan memberi
tekanan pada tempat yang terjadi perdarahan atau memasang traksi.

2.10 Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Trauma


1. Foto Rontgen/X-Ray : digunakan untuk menampilkan gambara dalam
tubuhUSG : diguakan untuk melihat organ tubuh atau jaringan lunak dalam tubuh
2. Cek Laboratorium
3. Complete Blood Count
4. Tes Fungsi Hepar : AST dan ALT >130U berarti terjadi trauma hepar

25
5. Amilase : kenaikan amylase dalam waktu 3-6 jam post trauma berarti terjadi
trauma pancreas
6. Urinanalisis
7. CT Scan
8. DPL (Darah Perifer Lengkap)

2.12 Asuhan Keperawatan Teori Multiple Trauma


1. Pengkajian

 Identitas Pasien
a. Nama :
b. Usia :
c. Jenis kelamin :
d. No rekam medis :
e. Agama :
f. Pekerjaan :
g. Suku :
h. Tanggal MRS :
i. Diagnosa medis :
 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama : keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi mencari pertolongan.
2. Riwayat penyakit sekarang : cerita yang kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
pasien datang berobat.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu : Apakah ada riwayat hipertensi, DM, penyakit
jantung, riwayat penggunaan obat-obatan (antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif), dan konsumsi alkohol.
4. Riwayat penyakit Keluarga : Apakah ada keluarga yang menderita hipertensi,
DM, penyakit jantung dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik
1) Primary Survey
a. Airway with cervical spine control (Airway)
Langkah pertama penilaian adalah untuk memastikan patensi jalan
napas. Jalan napas dapat terhambat karena kerusakan struktural, mis.

26
perdarahan atau pembengkakan pada wajah, mulut atau orofaring,
penurunan tingkat kesadaran atau muntah dan aspirasi. Bantuan ahli harus
segera dicari jika keraguan tentang kemampuan pasien untuk
mempertahankan jalan napas mereka sendiri. Suatu pendekatan sistematis
untuk manajemen jalan napas sangat penting, karena hanya manuver
sederhana yang dibutuhkan pasien untuk mempertahankan paten jalan
napas.

Tabel Penilaian Sistematis Airway

1 Talk Jika pasien dapat berbicara dengan


bebas, jalan napas itu paten
2 Look and listen Untuk tanda-tanda obstruksi jalan
napas : darah, muntah
3 Open Mengangkat dagu dan mendorong
rahang, tidak memiringkan kepala.
4 Suction Gunakan sunction dibawah
pengawasan langsung
5 Adjuncts Saluran udara orofaringeal atau
nasofaringeal
6 Definitive airway Intubasi endotrakeal atau jalan napas
bedah

1. Berbicara dengan pasien

Berbicara kepada pasien tidak hanya membangun dukungan psikologis tetapi


juga menilai jalan napas. “ Jika pasien berbicara dengan bebas dalam suara normal
(yaitu tidak ada dengkur atau suara serak) maka dapat diasumsikan bahwa jalan napas
paten. Berbicara kepada pasien selama penilaian survey pertama direkomendasikan
untuk memberikan dukungan, menjelaskan prosedur, dan secara terus menerus
menilai jalan napas.

2. Mencari dan mendengarkan tanda-tanda obstruksi

Jika pasien tidak dapat berbicara dengan bebas, itu bearti patansi jalan napas
berisiko. Praktisi harus mencari dan mendengarkan tanda-tanda obstruksi.

Cari di mulut untuk/inspeksi :

27
1. Obstruksi/benda asing
2. Pendarahan
3. Pembengkakan
4. Terbakar
5. Cidera jaringan lunak

Dengarkan/auskultasi :

1. Suara napas dari mulut


2. Snoring
3. Grunting
4. Gurgling
5. Stridor
6. Hoarseneness
3. Buka jalan napas

Setelah obstruksi jalan napas didiagnosis, jalan napas harus segera dibuka.
Manuver dagu angkat atau dorong rahang harus digunakan, daripada memiringkan
kepala yang dapat memperburuk cedera tulang belakang leher.

4. Penyedotan/suction

Jika penyumbatan disebabkan oleh benda asing, muntah atau perdarahan, ini
harus di hilangkan dengan suction. Kateter sedot Yankauer kaku lebar
direkomendasikan.

5. Penyisipan tambahan jalan napas

Jika obstruksi jalan napas berlanjut, penempatan jalan napas artifisial dapat
membantu meningkatkan patensi. Airway adjuncts harus digunakan bersama dengan
manuver pembuka jalan nafas karena mereka tidak akan memastikan patensi sendiri
pada pasien yang tidak sadar berbaring terlentang. Pilihan jalan napas adalah :

a. Jalan napas orofaringeal (Guedel) pada pasien yang tidak sadar tanpa refleks
muntah atau
b. Jalan napas nasofaring jika terdapat refleks muntah.

Untuk memastikan ukuran yang benar, jalan napas orofaring diukur dari tragus
telinga ke sudut mulut. Dimasukkan terbalik, diputar 180 derajat dan kemudian

28
didorong ke posisinya. Flens harus terletak rata dengan bibir. Jika pasien muntah atau
batuk selama pemasangan, jalan napas harus diangkat. Ukuran jalan napas nasofaring
dipilih dengan memastikan bahwa diameter tabung lebih kecil dari diameter lubang
hidung. Jalan napas harus dilumasi sebelum dimasukkan ke dalam hidung dan
dimasukkan ke dalam hidung dengan sedikit demi sedikit gerakan menutar. Saluran
udara nasofaring memanjang dari lubang hidung. Saluran napas nasofaring tidak
boleh digunakan untuk pasien dengan cedera wajah atau dugaan patah tulang
tengkorak karena risiko memasukkan jalan napas ke daerah yang cedera.

6. Jalan napas definitif : intubasi

Mengikuti langkah 1-5 mungkin jelas pasien membutuhkan jalan napas


definitif yang diamankan. Ini bearti tabung trakea ditenpatkan dengan aman di trakea.
Intubasi harus dilakukan oleh dokter yang terlatih dalam manajemen jalan napas
lanjut.

Indikasi untuk jalan napas definitif meliputi :

a) Apnea
b) Ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas pasien degan cara lain
(langkah 1-5)
c) Kebutuhan untuk melindungi paru-paru dari aspirasi
d) Kompromi jalan napas potensial, misalnya mengikuti luka bakar, fraktur
wajah
e) GCS <8.
f) Ketidakmampuan untuk mempertahankan oksigen yang memadai
menggunakan sungkup muka.

b. Pernapasan dan Ventilasi (Breathing and Ventilator)


Tubuh membutuhkan oksigen untuk meghasilkan energi sel. Jika ada
penurunan kadar oksigen normal (hipoksia) karena cedera traumatis maka
energi yang dihasilkan tanpa oksigen (metabolisme anareob). Ini adalah
metode produksi energi yang tidak efisien dan akan menghasilkan
penumpukan laktat, dengan pasien akhirnya menderita asidosi metabolik.
Untuk meminimalkan risiko ini, semua pasien trauma membutuhkan
oksigen tambahan dini. Pada pasien yang berventilasi sendiri, ini harus

29
diberikan 15 L/menit melalui masker non-rebreathe dengan kantong
reservoir. Dengan menggunakan metode ini, konsentrasi oksigen sektar 85
% dapat dicapai. Untuk pasien apnoeic atau pasien yang kesulitan bernapas,
ventilasi dibantu menggunakan perangkat bag-valve-mask, pada 12-16
napas per menit (orang dewasa) harus direkomendasikan mencari bantuan
ahli. Untuk menilai pernapasan dan ventilasi, pendekatan melihat,
mendengar dan merasakan harus diadopsi. Temuan abnormal harus
dilaporkan dan ditindaklanjuti segera.

Inspeksi/ melihat :

Dada harus sepenuhnya terbuka untuk memungkinkan penilaian


komprehensif. Dada diperiksa untuk :

1. Laju pernapasan-takipnea (laju pernapasan tinggi) mungkin disebabkan oleh


hipoksia, hipovolemia atau nyeri
2. Pernapasan dengan kedalaman dangkal pernapasan dapat diindikasikan
peningkatan kesulitan pernapasan.
3. Upaya pernapasan- menggunakan otot-otot bantu pernapasan menunjukkan
bahwa pasien berjuang untuk bernapas dan akan lelah.
4. Simetri gerakan dada- cedera seperti patah tulang atau pneumotoraks dapat
menyebabkan asimetris.
5. Luka, lecet, luka memar dapat mengindikasikan cedera yang mendasarinya.

Pemantauan saturasi oksigen dan CO2 (jika intubasi) harus di perhatikan untuk
menilai ventilasi. Pengukuran gas darah arteri (ABGS) mungkin diperlukan jika
hipoksia atau hipoventilasi terdeteksi. Banyak pasien yang terluka parah akan
menderita perfusi organ yang tidak memadai dan oksigen, oleh karena itu ABGS akan
secara akurat mengukur ventilasi.

Auskultasi/Mendengarkan :

1. Stridor mengindikasikan obstruksi jalan napas


2. Mengi, terutama setelah cedera luka bakar, kemungkinan mengindikasikan
peradangan saluran napas

Auskultasi dengan stetoskop dilakukan untuk mendengarkan :

30
1. Kehadiran bunyi napas di dada anterior
2. Kehadiran bunyi napas di aksila

Setiap sisi dinding dada harus diperiksa dengan hati hati, mulai dari klavikula
hingga batas tulang rusuk dan tulang dada untuk nyeri tulang dan crepitus (berderak).
Dada harus diperkusi oleh dokter yang terlatih untuk mendapatkan jika ada udara atau
darah yang terperangkap dalam rongga dada.

c. Sirkulasi (Circulation)
Circulation dan Kontrol Pendarahan

Perdarahan merupakan penyebab utama kematian akibat trauma dini. Tempat


umum terjadinya perdarahan :

a. Dada
b. Perut
c. Pelvis
d. Tulang panjang
e. Pendrahan ekternal dari luka/amputasi.

Pemeriksaan klinis, x-ray dan pemindaian FAST akan digunakan untuk


mendeteksi lokasi perdarahan. Bantuan ahli harus diakses segera untuk menghentikan
perdarahan dan mencegah pasien memburuk menjadi syok hipovelemik yang tidak
dapat diperbaiki. Tekanan langsung harus diterapkan pada semua perdarahan
eksternal, dan luka harus diperiksa dibawah pembalut untuk memastikan bahwa tidak
ada perdarahan aktif.

Syok Hypovolemik

Pada tahap awal mekanisme kompensasi perdarahan terjadi untuk menjaga


perfusi darah ke otak, jantung, dan organ vital lainnya. Kompensasi disebabkan oleh
peningkatan aktivitas simpatisdan pelepasan katekolamin (adrenalin dan
nonadrenalin) :

- Katekolamin menyebabkan denyut jantung meningkat sehingga pasien akan


takikardi

31
- Sistemik vasokontriksi membantu menjaga tekanan darah, oleh karena itu pasien
mungkin muncul untuk memiliki normal BP sampai sejumlah besar kehilangan
darah telah terjadi.

Penurunan aliran darah ke ginjal karena perdarahan penyebab lain kompensasi


mekanisme terjadi. Hormon antidiuretik (ADH) bersama-sama dengan aldosteron,
rearbsorbs natrium dan air sehingga oliguria (dikurangi urine output). Angio-
ketegangan II menyebabkan lebih jauh vasokontriksi untuk membantu menjaga
tekanan darah dalam batas normal pada tahap awal syok hipovolemik

Penilaian Sirkulasi

Penilaian sirkulasi pasien dapat mengungkapkan tanda-tanda syok


hipovolemik. Untuk semua pasien trauma, penilaian sirkulasi harus mencakup :

a) Detak jantung
b) Tekanan darah
c) Tingkat kesadaran (mentation)
d) Waktu refill kapiler
e) Warna kulit
f) Output urin
g) EKG timbal 12 untuk semua pasien yang berusia di atas 40 untuk
dideteksi masalah jantung.

Pemantauan output jantung sedang digunakan di beberapa ED.


Ultrasonografi digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah dari aliran darah
jantung, memprediksi jantung dengan akurat keluaran.

Tabel Mengubah Tanda-Tanda Vital Sebagai Respons Terhadap Perdarahan

Heart Rate Takikardia karena adrenalin dan noradrenalin


rilis (takikardia adalah tanda awal!)
NB: Pasien yang menggunakan beta blocker atau
pasien yang sangat atletis tidak akan muncul
takikardik, meskipun mereka mungkin hipovolemik
Weak Pulse Karena volume stroke berkurang
Altered Kecemasan atau kebingungan akibat berkurangnya
Mentation perfusi otak
Capillary Refill Tertunda> 2 detik karena sistemik Vasokonstriksi

32
Time
Blood pressure Normal atau naik karena vasokonstriksi sistemik
(Hipotensi adalah tanda terlambat!)
Skin colour Pinggiran pucat dan dingin karena sistemik
vasokonstriksi. Berkeringat bisa terjadi untuk
aktivitas katekolamin
Urine output Mengurangi output urin dan meningkatkan urin
konsentrasi karena ADH dan aldosteron

d. Disabilitas Dan Disfungsi (Disability and dysfunction)

Penilaian tingkat kesadaran harus dilakukan pada semua pasien. Penurunan


tingkat kesadaran mungkin disebabkan oleh:

a) Hipoksia
b) Hipovolemia
c) Cidera kepala - peningkatan tekanan intrakranial
d) Obat-obatan untuk rekreasi seperti opiat
e) Hipoglikemia
f) Hipotermia
g) Konsumsi alkohol.

Seorang pasien yang telah mengonsumsi alkohol atau menggunakan obat bisa
sulit untuk dinilai, dan gejala neurologis tidak nampak jelas. Gejala-gejala pasien
trauma yang mabuk tidak boleh diabaikan karena disebabkan oleh alkohol atau obat-
obatan. Semua tingkat kesadaran yang berubah harus dikaitkan dengan cedera sampai
terbukti sebaliknya.

Penilaian kesadaran dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua
metode: AVPU atau Glasgow Coma Scale.

AVPU

1. Apakah pasien Sadar?


2. Apakah pasien merespons Suara Anda?
3. Apakah pasien hanya menanggapi Nyeri?
4. Apakah pasien Tidak responsif?

33
Jika pasien kurang waspada, penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan dengan
GCS.

Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale digunakan untuk menilai tingkat kesadaran. Pembukaan


mata, respons verbal, dan fungsi motorik pasien dinilai dan diberi peringkat numerik
antara 3 (skor terburuk) dan 15 (skor terbaik). Jika pasien mengalami cedera kepala
dan ada risiko peningkatan tekanan intrakranial, ukuran pupil, persamaan dan reaksi
harus dinilai. Pengukuran gula darah harus dilakukan untuk menyingkirkan
hipoglikemia.

5. Paparan dan kontrol lingkungan (Exposure and environmental control)

Sisa pakaian pasien harus dilepas memungkinkan untuk pemeriksaan lengkap,


memastikan bahwa martabat pasien dipertahankan. Pasien jangan sampai menjadi
pasien hipotermia dan harus ditutup sementara jika tidak sedang diperiksa. Semua
area tubuh, depan dan belakang, harus diperiksa untuk memastikan bahwa cedera
yang berpotensi mengancam jiwa tidak terjawab. Ini harus mencakup:

g) Axillae/ketiak
h) Selangkangan
i) Bagian belakang kepala dan leher
j) Bagian belakang dada
k) Punggung bawah
l) Bokong.

Log roll akan diperlukan untuk memungkinkan pemeriksaan kembali,


sehingga tulang belakang tetap sejajar. Ini membutuhkan empat orang, dengan kelima
untuk melakukan pemeriksaan. Posisi yang benar untuk log roll adalah :

a. Orang 1 - memegang sisi leher, menjaga kepala dan leher agar tetap
b. Orang 2 - menempatkan satu tangan di bahu pasien dan satu di atas pinggang.
c. Orang 3 - menempatkan satu tangan di pinggul pasien dan satu tangan di
bawah paha.
d. Orang 4 - menempatkan satu tangan di bawah lutut pasien dan satu di bawah
pergelangan kaki.

34
2) Secondary Survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi
setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan
perawatan definitif (JRCALC,2008). Sangat membantu untuk menentukan prioritas
untuk evaluasi dan manajemen lanjutan. Ini harus dilakukan setelah survei utama, dan
stabilisasi awal selesai. Tujuan dari survei sekunder adalah untuk memperoleh data
historis terkait tentang pasien dan cederanya, serta untuk mengevaluasi dan mengobati
cedera yang tidak ditemukan selama survei primer. Survei tidak boleh dilakukan
sampai:
 Survei utama telah selesai
 Resusitasi telah dimulai
 Normalisasi tanda-tanda vital telah dimulai.
Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan
selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang
morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari
survei sekunder adalah:
 Riwayat cedera
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan neurologis
 Tes diagnostik lebih lanjut
 Evaluasi ulang
Pasien yang secara hemodinamik tidak stabil harus distabilkan sebelum
dipindahkan ke ruang operasi atau ruang angiografi, kecuali jika mereka perlu
dipindahkan ke pusat trauma yang ditunjuk negara. Upaya harus dilakukan untuk
mendapatkan riwayat pasien mengenai mekanisme cedera, karena mekanisme
tertentu dapat meningkatkan kecurigaan untuk cedera tertentu seperti:
 Trauma tumpul (penggunaan sabuk pengaman, penyebaran kantung udara,
tingkat kerusakan pada mobil, ejeksi, dan jarak yang dikeluarkan)
 Trauma tembus (yang senjata api dan berapa banyak suara tembakan).

Pemeriksaan Head To Toe

1) Pemeriksaan kepala dan wajah


35
Periksa kepala untuk mengetahui hematoma kulit kepala, depresi
tengkorak, atau laserasi. Kulit kepala harus diraba, karena laserasi kulit kepala
atau step-off tulang hanya dapat diidentifikasi dengan palpasi yang cermat. No
nasogastric tube (NG) harus dimasukkan jika ada trauma wajah atau bukti
fraktur tengkorak basilar. Selain itu, telinga harus dievaluasi untuk
hemotympanum atau ecchymosis retro-auricular (tanda Pertempuran). Adanya
darah atau drainase yang jernih dari saluran telinga menunjukkan fraktur
tengkorak basilar dengan kebocoran serebrospinal (CSF).
Ukuran dan respons pupil, serta gerakan mata, harus dinilai.
Pemeriksaan mata juga harus mencakup mobilitas mata / jebakan, atau
ekiorosis periorbital (mata rakun).
2) Pemeriksaan leher
Leher harus diperiksa dan diraba dengan cermat. Hati-hati karena
cedera di bawah kerah keras mungkin tidak jelas. Diasumsikan bahwa setiap
pasien dengan trauma tumpul mungkin mengalami cedera pada tulang
belakang leher, sampai terbukti sebaliknya. C-spine dapat dibersihkan baik
secara klinis dengan menerapkan aturan keputusan, atau dengan mendapatkan
studi pencitraan, seperti foto polos atau CT scan.
3) Pemeriksaan dada
Palpasi seluruh dinding dada untuk krepitus (emfisema subkutan) dan
nyeri tekan. Area di atas sternum dan klavikula membutuhkan perhatian
khusus karena fraktur yang melibatkan tulang ini mungkin menunjukkan
kekuatan yang signifikan dan perlu evaluasi lebih lanjut untuk cedera
intratoraks lain. Kaji setiap upaya pernapasan dan bekerjalah saat bernafas.
Evaluasi apakah bunyi napas simetris dan bunyi jantung normal dan tidak
teredam

4) Pemeriksaan perut
Perut harus diperiksa untuk distensi, bising usus, memar atau nyeri
tekan. Kehadiran temuan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Juga, adanya
tanda sabuk pengaman atau tanda lain ke perut harus mendorong evaluasi
lebih lanjut. Penting untuk diingat bahwa tidak adanya kelembutan perut tidak
menghilangkan kemungkinan cedera perut. Selain itu, pemeriksaan perut
mungkin tidak dapat diandalkan dalam kasus-kasus berikut:
36
 Populasi lansia
 Adanya cedera yang mengganggu
 Kondisi mental yang berubah
 Pasien hamil, terutama kehamilan lanjut
- Pemeriksaan rektum dan genitalia.
Perineum harus diperiksa jika ada bukti cedera. Pemeriksaan rektal
digital harus dilakukan ketika ada kecurigaan cedera uretra atau menembus
cedera rektum. Seperti:
 Darah kotor di ruang dubur, yang mungkin mengindikasikan cedera usus
 Prostat yang mengungsi atau berkuda, yang mungkin menunjukkan cedera
uretra
 Nada sfingter abnormal, yang mungkin disebabkan oleh cedera tulang
belakang.
Jika ada darah di meatus, cedera uretra harus dicurigai. Dalam situasi ini,
urethrography retrograde harus dilakukan sebelum kateter Foley
dimasukkan.Pertimbangkan cedera vagina pada pasien dengan nyeri perut
bagian bawah, fraktur panggul, atau laserasi perineum. Dalam situasi seperti
itu, pemeriksaan vagina harus dilakukan.
6) Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas harus dinilai untuk fraktur dengan meraba setiap
ekstremitas secara hati-hati pada seluruh panjangnya untuk nyeri tekan dan
mengurangi rentang gerak. Nilai integritas sendi yang tidak terluka oleh
gerakan aktif dan pasif. Sendi yang tidak terluka harus diimobilisasi, dan
radiografi harus diperoleh. Sendi yang terluka juga harus diimobilisasi, dan
radiografi harus diperoleh.
Status neurovaskular setiap ekstremitas harus dinilai dan
didokumentasikan. Periksa pulse, waktu pengisian kapiler dan evaluasi setiap
kompartemen. Adanya kompartemen nyeri atau tegang yang signifikan. Nyeri
dengan gerakan pasif dapat mengindikasikan perkembangan sindrom
kompartemen.
7) Pemeriksaan panggul
Pubis dan duri iliaka anterior harus dievaluasi untuk tanda-tanda
ketidakstabilan panggul. Kehadiran ekimosis di atas sayap iliaka, pubis, labia,

37
atau skrotum dan nyeri tekan di sepanjang cincin panggul juga, membutuhkan
evaluasi diagnostik.
8) Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan ini harus mencakup lokasi laserasi, lecet, ekimosis,
hematoma, tanda atau memar. Perhatikan daerah kulit kepala, lipatan perut
dan gluteal aksila, perineum, punggung harus dievaluasi dengan menggulung
log pasien, dan tulang belakang harus dipalpasi untuk step-off atau
kelembutan fokus.

2. Diagnosa Keperawatan

DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KRITERIA HASIL
Penurunan Curah Jantung Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung
berhubungan dengan keperawatan ..x.. jam (I.02075)
perubahan irama jantung, diharapkan klien mengalami Observasi :
ditandai dengan dispnea nadi Curah Jantung meningkat a. Monitor tekanan darah
perifer teraba lemah (L. 02008) dengan kriteria (termasuk tekanan
hasil : darah ortostatik, jika
3. Kekuatan nadi perifer perlu)
(SDKI D. 0008 Halaman 34) meningkat (5) b. Monitor saturasi
4. Dispnea menurun (5) oksigen
5. Tekanan darah membaik c. Periksa tekanan darah
(5) dan frekuensi nadi
sebelum dan sesudah
aktivitas.
(SLKI Halaman 20) d. Periksa tekanan darah
dan frekuensi nadi
sebelum pemberian
obat (misal beta
blocker, ACE-
inhibitor, Calcium
Channel Blocker,
Digoksin).

38
Teraupetik :
e. Posisikan pasie semi-
fowler atau fowler
dengan kaki ke bawah
atau posisi nyaman.
f. Berikan diet jantung
yang sesuai (misal
batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol,
dan makanan tinggi
lemak).
g. Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk
modifikasi gaya hidup
sehat.
h. Berikan terapi
relakasasiuntuk
mengurangi stres jika
perlu.

Edukasi :
i. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
j. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap.
k. Anjurkan berhenti
merokok.

Kolaborasi :
l. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
m. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung.

39
(SIKI Halaman 317-318)
Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan keperawatan ..x.. jam (1.01014)
ketidakseimbangan ventilasi- diharapkan klien mengalami Observasi :
pefusi ditandai dengan Pertukaran Gas meningkat  Monitor frekuensi,
pusing pola napas abnormal (L. 01003) dengan kriteria irama, kedalaman dan
(lambat) hasil : upaya napas
7. Pusing menurun (5)  Monitor pola napas
8. Gelisah menurun (5)  Monitor adanya
(SDKI D.0003 halaman 22) 9. Pola napas membaik (5) sumbatan jalan napas
 Auskultasi bunyi
napas
(SLKI halaman 94)

Terapeutik :
c. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
d. Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

(SIKI Halaman 247)


Resiko Jatuh berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh (1.14540)
dengan penurunan tingkat keperawatan ..x.. jam Observasi :
kesadaran ditandai dengan diharapkan klien mengalami - Identifikasi faktor
penyakit sebrovaskuler Resiko Jatuh menurun (L. risiko jatuh
(ensefalopati) 14138) dengan kriteria - Identifikasi risiko

40
hasil : jatuh setidaknya sekali
6. Jatuh dari tempat tidur setiap shift atau sesuai
(SDKI D.0143 halaman 306) menurun (5) dengan kebijakan
7. Jatuh saat berdiri menurun setiap institusi
(5) - Identifikasi faktor
8. Jatuh saat duduk menurun lingkungan yang
(5) meningkatkan faktor
risiko jatuh
- Monitor kemampuan
(SLKI halaman 140) berpindah dari tempat
tidur ke kursi roda dan
sebaliknya

Terapeutik :
f. Pastikan roda tempat
tidur dan kursi roda
selalu dalam kondisi
terkunci
g. Pasang handrall
tempat tidur
h. Gunakan alat bantu
jalan
i. Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi :
- Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan bantuan
untuk berpindah
- Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga
41
keseimbangan tubuh
- Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil perawat

(SIKI Halaman 279)

42
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang
bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
disabilitas fungsional.

3.2 Saran
Penyusun berharap hendaknya kita sebagai tenaga kesehatan lebih memahami terkait
dengan multiple trauma atau gabungan dari beberapa trauma dan mengetahui penyebab,
hingga penatalaksanaan pasien dengan multiple trauma, serta diharapkan pembaca
mengetahui terkait dengan ashan keperawatan yang berkaitan dengan klien dengan multiple
trauma.

43
DAFTAR PUSTAKA

Hudak,Carolyn.1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Edisi 6,Vol 2. Jakarta : EGC


Karen K. Carison. 2008. AACN Advance Critical Care Nursing. American Association of
Critical Nursing.
Morton Patricia Gonce dan Dorrie K. Fontaine. 2013. Critical Nursing Holistic Approach
Edition 10. China : Wolters Kluwer Health

Wiley John & Sons. 2009. Trauma Care : initial assessment and management in the
emergency department. UK: Blackwell Publishing Ltd
Perrin, K. O., & MacLeod, C. E. 2012. Understanding the Essentials of Critical Care
Nursing. Pearson Higher Ed
Morton Patricia Gonce dan Dorrie K. Fontaine. 2013. Critical Nursing Holistic Approach
Edition 9. China : Wolters Kluwer Health

44

Anda mungkin juga menyukai