Anda di halaman 1dari 50

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA

PASIEN TRAUMA ABDOMEN

Disusun oleh :

Kelompok 10

Anggi Mutiara

Joni Iskandar

Riri Sutinah

Tri Agung Prakoso

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES IMC BINTARO

TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN
TRAUMA ABDOMEN”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada pembimbing kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Tangerang Selatan , September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................................... 3
D. Manfaat................................................................................................................... 4
E. Anatomi dan Fisiologi ............................................................................................. 5
F. Etiologi .................................................................................................................. 20
G. Patofisiologi .......................................................................................................... 21
H. Pathway ................................................................................................................ 22
I. Manifestasi Klinis .................................................................................................. 22
J. Pemeriksaan Diagnostik........................................................................................ 24
K. Penatalaksanaan................................................................................................... 26
L. Komplikasi............................................................................................................. 34
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS....................................................................... 35
A. Asuhan Keperawatan Teoritis Trauma Tajam Abdomen.................................. 35
B. Asuhan Keperawatan Umum Trauma Tumpul Abdomen..................................... 38
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS .......................................................................... 42
A. Kasus ..................................................................................................................... 42
B. Pengkajian............................................................................................................. 42
C. Analisa data........................................................................................................... 43
D. Diagnosa Keperawatan ......................................................................................... 43
E. Intervensi Keperawatan........................................................................................ 44
F. Evaluasi ................................................................................................................. 44
BAB 5 PENUTUP................................................................................................................ 45
A. Kesimpulan............................................................................................................ 45
B. Saran. .................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 46

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan


segera karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa, sehingga
memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, dan cermat untuk mencegah
kematian maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian
pertolongan korban harus di klasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat,
darurat tidak gawat, tidak gawat tidak darurat dan meninggal (Kathlenn, 2012).
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera di mana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada
di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaaan. Selain trauma
abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya
perdarahan saluran cerna baik saluran bagian atas ataupun saluran cerna bagian
bawah bila di biarkan tentu berakibat fatal bagi korban atau pasien
bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu
memahami penanganan kegawatdaruratan pada system pencernaan secara
cepat, cermat, dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat kita hindari.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa
trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja,
trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada
penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan
tindakan laparatomi (Smeltzer, 2001). Kecelakaan atau trauma yang terjadi
pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada
kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak
terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh
klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda

1
tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan
kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen
dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen (Suratun &
Lusianah. 2010).
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas
biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma
tusuk. Walaupun tekhnik diagnostic baru sudah banyak di pakai, misalnya
Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan
tantangan bagi ahli klinik. Diagnose dini di perlukan untuk pengelolaan secara
optimal. Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering di empat
dekade pertama kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama disetiap negara (Gad et al, 2012). Sepuluh persen dari
kematian di seluruh dunia disebabkan oleh trauma. Diperkirakan bahwa pada
tahun 2020 terdapat 8,4 juta orang akan meninggal setiap tahun karena trauma,
dan trauma akibat kecelakaan lalu lintas jalan akan menjadi peringkat ketiga
yang menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan peringkat kedua di negara
berkembang. Di Indonesia tahun 2011 jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak
108.696 dengan korban meninggal sebanyak 31.195 jiwa (Fadhilakmal, 2013).
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian trauma
dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi (Hemmila,
2008).
Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi trauma tumpul dan
trauma tembus.Trauma tembus abdomen biasanya dapat didiagnosis dengan
mudah dan andal, sedangkan trauma tumpul abdomen sering terlewat karena
tanda-tanda klinis yang kurang jelas (Fadhilakmal, 2013).
Peran dan fungsi perawat dalam hal ini adalah sebagai pelaksana
pelayanan, pengelola, pendidik, peneliti dalam bidang keperawatan dan
kesehatan. Secara independen perawat berperan dalam pemberian asuhan
(Care), sebagai fungsi dependen yaitu fungsi yang didelegasikan
sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain dan sebagai fungsi kolaboratif yaitu

2
kerjasama saling membantu dalam program kesehatan (sebagai anggota
Tim kesehatan). Pertolongan pertama pada trauma yang cepat dan
tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk
mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah anatomi abdomen dan pembuluh darah pada abdomen?


2. Apakah yang dimaksud trauma abdomen?
3. Bagaimana klasifikasi trauma abdomen?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada trauma abdomen?
5. Bagaimana etiologi trauma abdomen?
6. Bagaimana patrofisiologi trauma abdomen?
7. Bagaimana WOC trauma abdomen?
8. Bagaimana manifestasi klinis trauma abdomen?
9. Bagaimana penatalaksanaan trauma abdomen?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma abdomen?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui anatomi abdomen dan pembuluh darah pada abdomen.


2. Untuk mengetahui definisi trauma abdomen.
3. Untuk mengetahui klasifikasi trauma abdomen.
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada trauma abdomen.
5. Untuk mengetahui etiologi trauma abdomen.
6. Untuk mengetahui patrofisiologi trauma abdomen.
7. Untuk mengetahui WOC trauma abdomen.
8. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma abdomen.
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma abdomen.
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada trauma abdomen

3
D. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman


mengenai trauma abdomen bagi mahasiswa keperawatan sehingga dapat
diterapkan dalam menangani kasus-kasus trauma abdomen saat di klinik sesuai
kompetensi asuhan keperawatan.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi dan Fisiologi Abdomen


Perut terdiri terutama dari saluran pencernaan dan organ aksesori
lainnya yang membantu pencernaan, sistem kemih, limpa, dan otot perut.
Mayoritas organ-organ ini terbungkus dalam membran pelindung
yang disebut peritoneum. Sementara organ pencernaan dan organ penilai
berada di dalam peritoneum, ginjal, ureter dan kandung kemih terletak
di luar peritoneum, dan dengan demikian, dianggap oleh beberapa ilmuwan
sebagai organ panggul.

Dinding abdomen terdiri daripada kulit, fascia superfiscialis, lemak,


otot-otot, fascia transversalis dan parietal peritoneum. Selain itu, posisi
abdomen ada diantara toraks dan pelvis (Moore, 2014) Pada abdomen,
terdapat empat kuadran yang dibahagi dari bagian midline dan bagian
transumbilical (Pansky, 2013).

5
a. Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu.
b. Bagian kiri atas: Gastric dan limfa.
c. Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus kecil.
d. Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan usus kecil

Menurut Singh (2014), bagian-bagian abdomen terbagi menjadi :

1) Hypocondriaca Dextra.
2) Epigastrica.
3) Hypocondriaca Sinistra.
4) Lateralis Dextra.
5) Umbilicalis.
6) Lateralis Sinistra.

6
7) Inguinalis Dextra.
8) Pubica.
9) Inguinalis Sinistra

Menurut Singh (2014),tempat organ abdomen adalah pada :

1) Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian
ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian
bawah duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal
ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
8) Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.
a) Rongga Peritoneum
Rongga peritoneum adalah ruang potensial antara parietal dan
visceral peritoneum. Biasanya hanya berisi lapisan tipis cairan
peritoneum, yang terdiri dari air, elektrolit, leukosit dan antibodi.
Cairan ini berfungsi sebagai pelumas, memungkinkan pergerakan
bebas dari visera perut, dan antibodi dalam cairan melawan infeksi.

7
Sementara rongga peritoneum biasanya diisi dengan hanya lapisan
tipis cairan. Rongga disebut sebagai ruang potensial karena kelebihan
cairan dapat terakumulasi di dalamnya, yang menghasilkan kondisi klinis
misalnya asites.
Peritoneum terdiri dari dua lapisan yang terus menerus satu sama
lain: peritoneum parietal dan peritoneum viseral. Kedua jenis ini terdiri
dari sel-sel epitel skuamosa sederhana yang disebut mesothelium.
Peritoneum parietal melapisi permukaan internal dinding
abdominopelvic. Peritoneum parietal menerima pasokan saraf somatik
yang sama dengan daerah dinding perut yang dilaluinya. Oleh karena itu,
nyeri dari peritoneum parietal terlokalisasi dengan baik. Peritoneum
parietal sensitif terhadap tekanan, nyeri, laserasi dan suhu.
Peritoneum viseral berfungsi untuk menutupi sebagian besar visera
perut. Peritoneum viseral memiliki suplai saraf otonom yang sama
dengan visera yang dibawanya. Berbeda dengan peritoneum parietal,
nyeri dari peritoneum viseral tidak terlokalisasi dan peritoneum viseral
hanya sensitif terhadap peregangan dan iritasi kimia.

Gambar : Peritoneum

b) Fascia Superficial
Fasia superfisial terdiri dari jaringan ikat lemak. Komposisi
lapisan ini tergantung pada lokasinya. Di atas umbilikus terdiri dari satu
lembar jaringan ikat. Ini terus menerus dengan fasia superfisial di daerah
lain dari tubuh. Dibawah umbilikus dibagi menjadi dua lapisan;

8
lapisan superfisial berlemak (fasia Camper) dan lapisan dalam
membran (fasia Scarpa). Pembuluh dan saraf superfisial berjalan di
antara dua lapisan fasia ini.
c) Otot Abdomen
Otot-otot dinding perut anterolateral dapat dibagi menjadi dua
kelompok utama :
- Otot - otot datar - tiga otot datar, terletak di lateral di kedua sisi perut.
- Otot vertikal - dua otot vertikal, terletak di dekat garis tengah tubuh.
1) Otot Mendatar
Ada tiga otot pipih yang terletak di dinding perut secara
lateral, bertumpuk satu sama lain. Serabutnya bergerak ke arah
yang berbeda dan saling menyilang - memperkuat dinding, dan
mengurangi risiko herniasi.
Dalam aspek anteromedial dinding perut, setiap otot datar
membentuk aponeurosis (tendon datar yang luas), yang menutupi
otot rectus abdominis vertikal. The aponeuroses dari semua otot-
otot datar menjadi terjalin di garis tengah, membentuk linea alba (struktur
berserat yang membentang dari proses xiphoid sternum ke simfisis pubis).
a. Oblique Eksternal
Oblikus eksternal adalah otot datar terbesar dan paling
dangkal di dinding perut. Seratnya berjalan secara inferomedial.
- Berasal dari tulang rusuk 5-12, dan dimasukkan ke dalam krista
iliaka dan tuberkulum pubis.
- Fungsi: Rotasi kontralateral batang tubuh.
- Persarafan : Saraf torakoabdominal (T7-T11) dan nervus
subcostalis (T12).
b. Internal Oblique
Oblique internal terletak jauh di dalam oblique eksternal.
Ini lebih kecil dan lebih tipis dalam struktur, dengan serat-seratnya
berjalan superomedial (tegak lurus dengan serat dari oblique
eksternal).

9
- Berasal dari ligamen inguinal, krista iliaka dan fasia lumbodorsal,
dan disisipkan ke tulang rusuk 10-12.
- Fungsi: Kontraksi bilateral menekan perut, sementara kontraksi
unilateral ipsilateral memutar batang tubuh.
- Persarafan : saraf Thoracoabdominal (T7-T11), subkostal saraf
(T12) dan cabang dari pleksus lumbalis.
c. Transversus Abdominis
Abdominis transversus adalah otot-otot datar yang paling dalam,
dengan serat berjalan melintang. Jauh ke dalam otot ini adalah
lapisan fasia yang terbentuk dengan baik, yang dikenal sebagai
fasia transversalis.
- Berasal dari ligamen inguinalis, kartilago kosta 7-12, krista iliaka
dan fasia thoracolumbar. Sisipan ke tendon konjoin, proses xifoid,
linea alba dan puncak pubis.
- Fungsi: Kompresi isi perut.
- Persarafan: saraf Thoracoabdominal (T7-T11), subcostal saraf
(T12) dan cabang dari pleksus lumbalis.

2) Otot Vertikal
Ada dua otot vertikal yang terletak di garis tengah dinding perut
anterolateral - rectus abdominis dan pyramidalis.
a. Rektus Abdominis

10
Rektus abdominis adalah otot yang panjang dan
berpasangan, yang ditemukan di kedua sisi garis tengah di dinding
perut. Ini dibagi menjadi dua oleh linea alba. Batas lateral kedua otot
menciptakan tanda permukaan, yang dikenal sebagai linea
semilunaris.
Di beberapa tempat, otot berpotongan dengan strip berserat,
yang dikenal sebagai persimpangan tendon. Persimpangan tendon
dan linea alba menimbulkan 'six pack' yang terlihat pada individu
dengan rectus abdominis yang berkembang baik.
- Berasal dari puncak pubis, sebelum dimasukkan ke dalam proses
xiphoid sternum dan kartilago kosta tulang rusuk 5-7
- Fungsi: Serta membantu otot-otot flat di mengompresi jeroan
perut, rektus abdominis juga menstabilkan panggul selama
berjalan, dan menekan tulang rusuk.
- Persarafan: Saraf torakoabdominal (T7-T11).
b. Pyramidalis
Ini adalah otot segitiga kecil, ditemukan secara dangkal
pada dubur abdominis. Ia terletak inferior, dengan basisnya
pada tulang pubis, dan puncak segitiga yang melekat pada linea alba.
- Berasal dari puncak pubis dan simfisis pubis sebelum dimasukkan
ke linea alba.
- Fungsi: Bertindak untuk menegangkan linea alba.
- Persarafan: Saraf subkostal (T12).
3) Otot perut Posterior
Ada lima otot di dinding perut posterior: iliacus, psoas mayor, psoas
minor, quad*ratus lumborum dan diafragma.

11
a. Quadratus Lumborum
Otot quadratus lumborum terletak lateral di dinding perut
posterior. Ini adalah lembaran otot tebal yang berbentuk segi
empat. Otot diposisikan dangkal ke jurusan psoas.
- Ini berasal dari lambang iliaka dan iliolumbar. Serat berjalan
superomedial, menyisipkan ke proses transversal L1 - L4 dan
batas inferior dari tulang rusuk ke - 12.
-
Tindakan: Perpanjangan dan fleksi lateral kolom vertebral .
Ini juga memperbaiki rusuk ke-12 selama inspirasi, sehingga
kontraksi diafragma tidak terbuang.
-
Persarafan: Rami anterior saraf T12

b. Psoas Major
Psoas mayor terletak di dekat garis tengah dinding perut
posterior, segera lateral ke tulang belakang lumbar.

12
- Berasal dari proses transversus dan tubuh vertebra dari T12 -
L5. Kemudian bergerak secara inferior dan lateral, berlari jauh ke
ligamen inguinal, dan melekat pada trochanter femur yang
lebih rendah.
- Tindakan: Kelenturan paha pada fleksi pinggul dan lateral dari
kolom vertebral.
- Persarafan: Rami anterior saraf L1 - L3.
c. Psoas Minor
Otot minor psoas hanya ada pada 60% populasi. Ini terletak
anterior ke psoas major.
- Berasal dari tubuh vertebra dari T12 dan L1 dan menempel ke
punggung bukit pada ramus superior dari tulang pubis, yang
dikenal sebagai garis pectineal.
- Tindakan: Fleksi dari kolom vertebral.
- Persarafan: Rami anterior saraf saraf L1.
d. Iliacus
Otot iliacus adalah otot berbentuk kipas yang terletak
inferior pada dinding perut posterior. Ini menggabungkan dengan
psoas mayor untuk membentuk iliopsoas - fleksor utama paha.
- Berasal dari permukaan fossa iliaka dan tulang belakang iliaka
inferior anterior. Seratnya bergabung dengan tendon psoas
mayor, menyisipkan ke trochanter kecil dari tulang paha.
- Tindakan: Kelenturan paha pada sendi pinggul.
- Persarafan: Saraf femoralis (L2 - L4).

2. Anatomi dan Fisiologi Peredaran Darah Abdomen


1. Aorta
Aorta perut merupakan kelanjutan dari aorta toraks awal pada
tingkat T12 vertebra.Panjangnya sekitar 13cm dan berakhir pada
tingkat vertebra L4. Pada tingkat ini, aorta berakhir dengan bercabang

13
ke arteri iliaka umum kanan dan kiri yang mensuplai tubuh bagian
bawah.
Dalam urutan menurun:
a. Arteri frenik inferior: Pemasangan arteri parietal yang timbul
secara posterior pada level T12. Mereka memasok diafragma.
b. Celiac arteri: Sebuah arteri viseral besar, tidak berpasangan yang
muncul secara anterior pada level T12. Ia juga dikenal sebagai
batang celiac dan memasok hati, perut, esofagus perut,
limpa, duodenum superior dan pankreas superior.
c. Arteri mesenterika superior : Arteri viseral besar, tidak
berpasangan yang muncul di anterior, tepat di bawah arteri
celiac. Ini memasok duodenum distal, jejuno-ileum, kolon menaik
dan bagian dari usus besar transversus. Itu muncul di level bawah
L1.
d. Arteri suprarenal tengah: Arteri viseral kecil berpasangan
yang muncul di kedua sisi posterior pada level L1 untuk
mensuplai kelenjar adrenal.
e. Arteri renal: Memasangkan arteri visceral yang muncul lateral
pada tingkat antara L1 dan L2. Mereka memasok ginjal.
f. Gonadal arteri: Paduan arteri visceral yang muncul lateral pada
tingkat L2. Perhatikan bahwa arteri gonad pria disebut sebagai
arteri testis dan pada wanita, arteri ovarium.
g. Arteri mesenterika inferior: Arteri viseral besar, tidak
berpasangan yang muncul di anterior pada tingkat L3. Ini
memasok usus besar dari lekukan lienal ke bagian atas rektum.
h. Median sacral artery: Suatu arteri parietalis yang tidak
berpasangan yang muncul di posterior pada level L4 untuk
mensuplai tulang ekor, tulang belakang lumbal dan sacrum.
i. Lumbar arteri: Ada empat pasang arteri lumbar parietal yang
muncul posterolateral antara tingkat L1 dan L4 untuk memasok
dinding perut dan sumsum tulang belakang.

14
2. Vena
a. Vena sistemik
Sistem vena sistemik mengangkut darah terdeoksigenasi ke
atrium kanan jantung. Kapal utama dalam sistem ini adalah vena
cava inferior

b. Vena cava inferior


Vena cava inferior adalah konvergensi umum drainase
vena dari semua struktur di bawah diafragma. Itu terletak di dinding
perut posterior; anterior ke kolom vertebral dan di sebelah
kanan aorta perut .
Pembuluh darah dibentuk oleh penyatuan vena iliaka
umum pada tingkat vertebra L5. Ini naik secara superior,
dan meninggalkan perut dengan menusuk tendon sentral

15
diafragmapada level T8 (hiatus caval). Dalam toraks, vena
cava inferior mengalir ke atrium kananjantung.
Selama perjalanan panjangnya, vena cava inferior berbagi
hubungan anatomis dengan banyak struktur perut - termasuk
arteri iliaka umum kanan, akar mesenterium, kepala pankreas,
saluran empedu, vena porta dan hati.
Vena cava inferior bertanggung jawab untuk drainase vena dari
semua struktur di bawah diafragma. Ini menerima dari:
1) Vena iliaka umum - dibentuk oleh vena iliaka eksternal
dan internal. Mereka mengeringkan anggota tubuh bagian
bawah dan daerah gluteal.
2) Vena lumbal - tiriskan dinding perut posterior.
3) Renal vena - tiriskan ginjal , kiri kelenjar adrenal dan testis
kiri / ovarium .
4) Vena testis / ovarium kanan - tiriskan testis kanan atau ovarium
masing-masing pada pria dan wanita (v. Testis kiri / vena
ovarium mengalir ke vena ginjal kiri).
5) Vena suprarenal kanan - mengalirkan kelenjar adrenal
kanan (vena adrenal kiri mengalir ke vena ginjal kiri).
6) Vena frenik inferior - tiriskan diafragma .
7) Vena hepatika - mengeringkan hati.
Tidak ada anak sungai dari limpa, pankreas, kandung
empedu atau bagian perut saluran pencernaan - karena
struktur ini pertama kali dikeringkan ke dalam sistem vena
porta. Namun, aliran balik vena dari struktur ini akhirnya
memasuki vena cava inferior melalui vena hepatic (setelah diproses
oleh hati).
c. Vena Porta
Sistem portal membawa darah vena (kaya nutrisi yang telah
diekstrak dari makanan) ke hati untuk diproses .

16
Vessel utama dari sistem portal adalah vena portal . Ini adalah
titik konvergensi untuk drainase vena dari limpa, pankreas, kandung
empedu dan bagian perut dari saluran gastrointestinal. Vena
portal dibentuk oleh penyatuan vena limpa dan vena mesenterika
superior , posterior ke leher pankreas, pada tingkat L2.
Ketika naik menuju hati, vena portal melewati posterior
ke bagian superior dari duodenum dan saluran empedu . Segera
sebelum memasuki hati, vena portal terbagi menjadi cabang
kanan dan kiri yang kemudian memasuki parenkim hati secara
terpisah.
Vena portal dibentuk oleh penyatuan vena limpa dan vena
mesenterika superior. Ini menerima tambahan dari:
1) Vena lambung kanan dan kiri - keringkan perut .
2) Vena kistik - mengalirkan kandung empedu .
3) Vena para-umbilikalis - tiriskan kulit dari daerah umbilical.
d. Vena Limpa
Vena limpa terbentuk dari berbagai kapal yang lebih
kecil karena mereka meninggalkan hilus limpa .
Tidak seperti arteri limpa, vena limpa lurus dan
mempertahankan kontak dengan tubuh pankreas saat melintasi
dinding perut posterior. Ketika mencapai leher pankreas, vena
limpa bergabung dengan vena mesenterika superior untuk
membentuk vena portal.
Pembuluh limpa meliputi:
1) Vena lambung pendek - tiriskan fundus lambung.
2) Vena gastro-omental kiri - menguras lekukan perut yang lebih
besar.
3) Vena pankreas - tiriskan pankreas .
4) Vena mesenterika inferior - menguras usus besar . vena
mesenterika inferior mengalir darah dari rektum, kolon
sigmoid, turun usus besar dan lentur limpa. Ini dimulai sebagai

17
vena rektal superior dan naik, menerima anak-anak sungai dari
vena sigmoid dan vena kolik kiri. Ketika naik lebih jauh,
ia melewati posterior ke tubuh pankreas dan biasanya
bergabung dengan vena limpa.
5) Vena Mesenterik Superior, vena mesenterika superior
mengalirkan darah dari usus kecil, sekum, kolon asendens
dan kolon transversum. Ini dimulai di fosa iliaka kanan ,
sebagai konvergensi vena yang mengeringkan ileum
terminal, sekum dan usus buntu. Ini naik di dalam
mesenterium dari usus kecil, dan kemudian berjalan ke posterior
ke leher pankreas untuk bergabung dengan vena limpa. Pembuluh
darah yang bermuara ke vena mesenterika superior meliputi :
- Vena gastro-omental kanan - menguras lekukan perut yang
lebih besar.
- Anterior dan posterior lebih rendah vena
pankreatikoduodenalis - menguras pankreas dan duodenum .
- Jejunal vena - tiriskan jejunum .
- Vena Ileal - tiriskan ileum .
- Vena urat halus - mengeringkan ileum, kolon dan sekum.
- Pembuluh kolik kanan - mengeringkan kolon asendens.
- Vena kolik tengah - mengalirkan kolon transversum.
Banyak dari anak-anak sungai ini terbentuk sebagai vena
yang menyertainya untuk setiap cabang dari arteri mesenterika
superior.

3. Definisi Trauma Abdomen


Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul, tembus, serta trauma yang dsengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,
2001)
Trauma abdomen adalah salah satu kegawatdaruratan dalam sistem
pencernaan yaitu terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang

18
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga dapat terjadi
gangguan metabolisme, dan gangguan faal berbagai organ di sekitarnya.
(Etika, 2016).

4. Klasifikasi Trauma Abdomen


Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul
dan trauma tajam. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi
organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan
perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.
1. Trauma Tajam
Trauma tajam abdomen yaitu trauma yang mengakibatkan
luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma
tembus dapat disebabkan oleh proyektil kecepatan tinggi (64%),
diikuti dengan luka tusuk (31%) dan luka tembak (5%). Selain itu,
luka tembus juga dapat disebabkan oleh kekerasan rumah tangga
maupun dari perspektif global misalnya kecelakaan dari peperangan
(Offner 2014).
Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka,
yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum), dan luka bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka
tembak dapat mengakibatkan kerusakan jaringan akibat laserasi ataupun
terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi dapat
menyebabkan transfer energy kinetik yang lebih besar terhadap
organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan
kerusakan lainnya. Kerusakan yang terjadi dapat berupa perdarahan
apabila terkena pembuluh darah ataupun organ yang padat. Apabila
terkena organ yang berongga, isi dari organ tersebut akan keluar ke

19
dalam rongga perut yang dapat menimbulkan iritasi pada
peritoneum.
2. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah jenis trauma yang tidak terdapat
kontak antara jaringan yang terluka dengan lingkungan luar (LeMone &
Burke 2011). Trauma ini sering menyebabkan cedera multipel
yang dapat melibatkan kepala, spinal cord, tulang, toraks dan abdomen.

3. Trauma Ledakan
Blast injury atau trauma ledakan adalah trauma yang disebabkan
oleh gelombang overpressure atau gelombang kejut akibat ledakan bom.
Ledakan ini dapat menyebabkan pola luka yang kompleks dan
jarang terlihat di luar medan tempur. Luka pasca ledakan yang sering
ditemukan adalah luka akibat trauma tumpul dan tajam. Ledakan di
ruang tertutup seperti bangunan atau mobil serta ledakan yang
menyebabkan struktur bangunan runtuh berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang lebih besar (CDC, 2000).

B. Etiologi

Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang


tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika
tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.Menurutt Budak
dan Gallo 2001 menjelaskan bahwa trauma tarjadi karena adanya trauma
tumpul.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen.Faktor lain yaitu adanya
luka tusuk pada abdomen.
Penyebab Trauma pada abdomen yang utama yaitu :
1. Paksaan /benda tumpul

20
Trauma tumpul abdomen terjadi tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat
berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman.
Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan
benda tajam atau luka tembak.

C. Patofisiologi

Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat


kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh
dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
faktor–faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma
yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang
ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan
disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang
menghentikan tubuh juga penting.
Terjadi kekuatan eksternal pada tubuh manusia misalnya akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh
dari ketinggian. Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan
terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan
tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan jumlah sel darah merah
yang akhirnya terjadi gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ
viseral mengalami perforasi maka, tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi
peritonium akan cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut
meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa
bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan

21
mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis.
Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal
perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat
kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan
(Mansjoer, 2001)

D. Pathway

E. Manifestasi Klinis

Berikut manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen :
Nyeri di perut, distensi abdomen, muntah, hematuria atau retensi
urin, perdarahan per rektum, sesak napas atau nyeri dada. Dapat juga
diakukan anamnesis abdomonial dengan hasil sebagai berikut :
1. Inspeksi: perubahan warna, kepenuhan pada panggul, distensi umum,
tanda-tanda eksternal cedera, tidak adanya gerakan pernapasan dapat
mengindikasikan cedera yang signifikan. Alat kelamin eksternal
dan punggung harus diperiksa dengan hati-hati.
2. Palpasi: dirasakan tahanan atau kekakuan adalah sugestif peritonitis.
3. Perkusi: adanya cairan bebas (fluid thrill, shifting dullness) menunjukkan
perdarahan intra-abdomen.
4. Ascultation: peristaltik yang tidak ada akan mengindikasikan ileus
paralitik atau peritonitis
Sementara manifestasi berdasarkan etiologinya :
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi ke dalam rongga
peritonium) :
Manifestasi klinis dari trauma tembus tergantung pada berbagai
faktor, termasuk jenis objek yang menembus, area tempat cedera

22
terjadi, organ yang mungkin terkena, dan lokasi serta jumlah luka. Tanda
dan gejala yang seringkali muncul adalah :
a. Terdapat nyeri dan/atau nyeri tekan lepas serta perdarahan Nyeri dapat
menjadi petunjuk terjadinya kerusakan organ. Semisal, terdapat
nyeri bahu, mungkin nyeri tersebut merupakan akibat dari limpa
yang rusak dengan darah subphrenic
b. Biasanya disertai dengan peritonitis
Tanda-tanda peritoneal terjadi ketika katup peritoneal dan aspek
posterior dari dinding abdomen anterior mengalami inflamasi. Darah
dan organ di dalam peritoneal atau retroperineal terangsang oleh ujung
saraf yang lebih dalam (serabut visceral aferen nyeri) dan
mengakibatkan rasa yang sangat nyeri. Iritasi pada peritoneum parietal
mengarah ke nyeri somatik yang cenderung lebih terlokalisasi.
c. Distensi abdomen. Apabila distensi abdomen pada pasien tidak
responsif, hal tersebut dapat menunjukkan adanya perdarahan aktif.
d. Pada laki-laki, prostat tinggi-naik menunjukkan terjadinya cedera usus
dan cedera saluran urogenital. Jika ditemukan terdapat notasi darah di
meatus uretra juga merupakan tanda adanya cedera saluran urogenital.
e. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ Hilangnya fungsi organ
dapat menjadi penanda terjadinya syok, karena pada saat syok, darah
akan dipusatkan kepada organ yang vital, sehingga untuk organ
yang tidak begitu vital kurang mendapatkan distribusi darah yang
mencukupi untuk dapat bekerja sesuai dengan fungsinya sehingga
kinerja organ dapat mengalami penurunan atau bahkan fungsi
organ menjadi terhenti (Offner, 2014).
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium)
Penilaian klinis awal pada pasien trauma abdomen tumpul seringkali sulit
dan akurat. Tanda dan gejala yang paling nampak antara lain :
a. Nyeri.
b. Perdarahan gastrointestinal.
c. Hipovolemia.

23
d. Ditemukannya iritasi peritoneal
Sebagian besar darah dapat menumpuk di rongga peritoneal
dan panggul tanpa adanya perubahan signifikan atau perubahan
awal dalam temuan pemeriksaan fisik. Bradikardi dapat
mengindikasikan adanya darah disekitar intraperitoneal.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan :
a. Tanda lap belt: berhubungan dengan adanya ruptur usus kecil.
b. Memar berbentuk kemudi, sering terjadi pada kecelakaan.
c. Memar/ekimosis di sekitar panggul (Grey Turner sign) atau
umbilicus (cullen sign): mengindikasikan perdarahan retroperitoneal,
tetapi biasanya terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari.
d. Distensi abdomen.
e. Auskultasi bising usus dada: menunjukkan adanya cedera diafragma.
f. Bruit abdomen: mengindikasikan penyakit vaskular yang mendasari
atau trauma fistula arteriovena.
g. Nyeri secara keseluruhan atau lokal, kekakuan, atau nyeri tekan
lepas : mengindikasikan adanya cedera peritoneal.
h. Kepenuhan dan konsistensi pucat pada palpasi: mengindikasikan
perdarahan intra abdominal.
Krepitasi atau ketidakstabilan rongga dada bagian bawah:
menunjukkan potensi cedera limpa atau hati (Legome, 2016).

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut (Patrick


Offner, 2017) :
1. Uji laboratorium
Jika operasi diperlukan, semua pasien dengan trauma tembus perut harus
menjalani uji laboratorium dasar tertentu, sebagai berikut :
a. Golongan darah dan cross-match.
b. Darah lengkap/Complete Blood Count (CBC).

24
c. Tingkat elektrolit.
d. Nitrogen urea darah/BUN dan tingkat kreatinin serum.
e. Tingkat glukosa.
f. Prothrombin time (PT) / waktu tromboplastin parsial teraktivasi
(activated partial thromboplastin time/aPTT).
g. Tingkat laktat vena atau arteri.
h. Kadar kalsium, magnesium, dan fosfat.
i. Gas darah arteri (ABG).
j. Urinalisis.
k. Serum dan toksikologi urine
2. Pencitraan/imaging
Pencitraan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
trauma tembus perut :
a. Radiografi dada: Untuk menyingkirkan penetrasi rongga dada.
b. Radiografi abdomen dalam 2 tampilan (anterior-posterior, lateral).
c. Ultrasonografi dada dan perut: Focused Assessment with Sonography
for Trauma (FAST) termasuk 4 tampilan (pericardial, kanan dan kiri
kuadran atas, panggul).
d. CT scan abdomen (termasuk CT heliks triple-contrast): Studi
yang paling sensitif dan spesifik dalam mengidentifikasi dan
menilai keparahan cedera hati atau limpa.
3. Studi radiologi lain yang mungkin berguna termasuk berikut ini :
a. Survei skeletal: Untuk mendeteksi fraktur yang terkait.
b. CT scan otak: Untuk mendeteksi cedera kepala yang terjadi
secara bersamaan.
c. Retrograde urethrogram / cystogram: Untuk mendeteksi cedera uretra
atau kandung kemih.
d. Pielografi intravena intraoperatif: Untuk menilai fungsi ginjal
kontralateral pada pasien dengan kerusakan ginjal yang membutuhkan
nephrectomy
4. Prosedur

25
Berikut ini mungkin prosedur diagnostik dan / atau terapeutik pada
pasien dengan trauma tembus perut :
a. Dekompresi lambung pada pasien yang diintubasi: Untuk
mencegah aspirasi.
b. Foley catherization: Untuk memonitor resusitasi cairan.
c. Peritoneal lavage (terbuka atau tertutup): Untuk mengidentifikasi viskus
atau cedera diafragma berongga.
d. Tube thoracostomy: Untuk menghilangkan hemothorax /
pneumothorax.
e. Eksplorasi luka lokal: Bantuan diagnostik untuk menentukan
jalur penetrasi melalui lapisan jaringan.
f. Laparoskopi: Untuk mengevaluasi dan mengobati cedera intra-
abdominal, termasuk luka tikaman ke perut anterior atau dengan
penetrasi peritoneum yang tidak pasti.

G. Penatalaksanaan
Untuk tujuan praktis, pasien trauma tumpul abdomen
diklassifikasikan sesuai dengan status hemodinamik sebagai sekarat (agonal),
tidak stabil, atau stabil.

1. Pasien Agonal
Pasien yang menderita adalah mereka yang tidak memiliki ventilasi
spontan, tidak ada denyut femoralis, dan tidak ada respon terhadap
rangsangan nyeri. Pasien-pasien ini memerlukan pembebasan jalan napas
segara dan intervensi pembedahan segera untuk dugaan perdarahan.
Dengan demikian, setelah memastikan jalan napas dan pernapasan (A dan
B dari ABC resusitasi), laparotomi dan / atau torakotomi harus
dipertimbangkan. Beberapa penulis telah merekomendasikan
penjepitan aorta toraks, bahkan di ruang gawat darurat, sebelum laparotomi
(di ruang operasi) pada pasien dengan hipotensi refrakter dan distensi
abdomen sekunder akibat hemoperitoneum masif. Dasar pemikiran

26
untuk pendekatan ini adalah untuk meningkatkan tekanan tubuh bagian atas
dan tekanan darah intrakranial segera dan untuk mencegah henti
jantung setelah pelepasan tamponade dinding perut selama celiotomy.
Angka kematian dalam model penanganan ini sangat tinggi, dengan sangat
sedikit yang selamat; banyak ahli trauma tidak percaya pada pendekatan ini.
Para pasien dibawa ke ruang operasi segera, ditempatkan terlentang, dan
perut dieksplorasi dengan manuver minimal lainnya. Selama eksplorasi
perut, temuan perdarahan intra-abdomen yang signifikan atau
berkelanjutan mungkin memerlukan cross-clamping aorta pada hiatus
diafragma jika tidak ada torakotomi. Dokter bedah harus berkemas dan
menekan area perdarahan dan mencari kondisi yang lebih stabil dengan
memasukkan sejumlah besar cairan IV dan darah. Sebagian besar
pasien ini memerlukan prosedur yang singkat (disebut pengendalian
kerusakan) dengan transfer ke unit perawatan kritis bedah untuk
stabilisasi dan perbaikan definitif akhir dari cedera intraperitoneal jika
mereka bertahan.
2. Pasien Tidak Stabil
Pasien dianggap tidak stabil ketika tanda-tanda vital, seperti denyut
nadi, tingkat ventilasi, atau tekanan darah, secara signifikan abnormal.
Ketidakstabilan disebabkan oleh kompresi pernapasan atau hipovolemia,
sehingga pendekatan awal (ABC) harus mencakup pembentukan
jalan napas, ventilasi, dan sirkulasi dengan kontrol langsung dari
perdarahan eksternal dan akses IV. Setelah pengelolaan saluran napas dan
pernapasan, langkah selanjutnya adalah resusitasi cairan dengan larutan
garam yang hangat dan seimbang. Resusitasi cairan akan dimulai dengan
bolus 1.500 ml pada pasien dengan berat 140 lb (70 kg). Jika semua tanda-
tanda vital normal, cairan infus tambahan diinfuskan pada tingkat yang
lebih rendah, sesuai dengan respon dalam denyut nadi dan output urin. Jika
stabilitas tercapai, pasien dikelola sesuai dengan algoritma untuk pasien
yang stabil. Sebaliknya, jika tanda-tanda vital tidak pulih atau
membaik hanya sementara dengan resusitasi cairan dan transfusi darah,

27
maka perdarahan dicurigai terjadi pendarahan, dan intervensi operasi dapat
diindikasikan.
3. Pasien Stabil
Pasien dinilai stabil ketika tanda-tanda vital mereka normal
pada awalnya atau ketika tanda-tanda vital kembali normal setelah bolus
IV awal. Riwayat klinis yang lebih rinci harus diperoleh. Diperlukan
evaluasi yang cermat untuk menentukan tingkat cedera. Keputusan untuk
observasi atau intervensi lanjutan didasarkan pada mekanisme cedera dan
temuanpada evaluasi. Keputusan untuk mengobati dengan observasi
membutuhkan penilaian yang hati-hati dan berulang. Karena pemeriksaan
fisik mungkin tidak dapat diandalkan dalam sejumlah kasus, pemeriksaan
serial akan sangat penting dalam pengambilan keputusan.
Untuk Penatalaksanaan Pre Hospital dan Hospital :
a. Pre Hospital
1) Penanganan Awal Trauma Abdomen
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah
yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang
terjadi di lokasi kejadian. Menurut Musliha (2010), Penilaian Awal
yang dilakukan adalah ABC jika ada indikasi, jika korban tidak
berespon, maka segera buka dan bersihkan.
b. Primary Survey
1) Airway
Membuka jalan nafas penggunakan menggunakan teknik head
tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang mengakibatkan tertutupnya
jalan nafas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2) Breathing
Memeriksa pernapasan dengan cara “lihat, dengar,
rasakan”, selanjutnya pemeriksaan status respirasi
klien.Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang
airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi

28
atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakeal.Setiap penderita trauma diberikan oksigen.Bila tanpa
intubasi, sebaiknya diberikan dengan face mask.Pemakaian pulse
oximeter baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
3) Circulation
Jika pernafasan pasien cepat dan tidak adekuat, maka
berikan bantuan pernafasan.Resusitasi pasien dengan trauma
abdomen penetrasi dimulai segera setelah tiba. Cairan harus
diberikan dengan cepat. NaCl atau Ringer Laktat dapat
digunakan untuk resusitasi kristaloid. Rute akses intravena
adalah penting, pasang kateter intravena perifer berukuran besar
(minimal 2) di ekstremitas atas untuk resusitasi cairan. Pasien yang
datang dengan hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-40%
volume darah yang hilang) dan harus menerima produk darah
sesegera mungkin, hal yang sama berlaku pada pasien dengan
perdarahan yang signifikan jelas. Upaya yang harus dilakukan
untuk mencegah hipotermia, termasuk menggunakan selimut
hangat dan cairan prewarmed.
4) Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat.
Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. e. Exposure Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya
dengan cara menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita.
Paparan lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib
pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk
bagian bokong, bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian
belakang leher, dan perineum. Setelah pakaian dibuka
penting penderita diselimuti agar penderita tidak kedinginan.
Untuk penanganan awal trauma abdomen, dilihat dari trauma
nonpenetrasi dan trauma penetrasi, yaitu :
a. Penanganan awal trauma non-penetrasi

29
1) Stop makanan dan minuman.
2) Imobilisasi.
3) Kirim ke rumah sakit.
4) Diagnostic Peritoneal Lavage.
b. Penanganan awal trauma penetrasi.
1) Bila terjadi luka tusuk, maka tusuan tidak boleh dicabut kecuali
oleh tim medis. Lilitkan pisau untuk emfiksasi agar tidak
memperparah luka.
2) Bila usus atau organlain keluar maka organ tersebut
tidak boleh dimasukkan, maka organ tersebut dibaluk dengan
kain bersih atau kasa steril.
3) Imobilisasi pasien.
4) Tidak makan dan minum.
5) Bila luka terbuka, balut dengan menekan.
6) Kirim pasien ke rumah sakit.
c. Secondary Survey
Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila
sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita
harus kembali mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur
yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala
sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama :
1. Pemeriksaan kepala
a. Kelainan kulit kepala dan bola mata.
b. Telinga bagian luar dan membrana timpani.
c. Cedera jaringan lunak periorbital.
2. Pemeriksaan leher
a. Luka tembus leher.
b. Emfisema subkutan.
c. Deviasi trachea.
d. Vena leher yang mengembang.

30
3. Pemeriksaan neurologis
a. Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
b. Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motoric.
c. Penilaian rasa raba / sensasi dan reflex.
4. Pemeriksaan dada
a. Clavicula dan semua tulang iga.
b. Suara napas dan jantung.
c. Pemantauan ECG (bila tersedia).
5. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
a. Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah.
b. Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul
abdomen kecuali bila ada trauma wajah.
c. Periksa dubur (rectal toucher).
d. Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus
externus.
6. Pelvis dan ekstremitas
a. Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan
melakukan tes gerakan apapun karena memperberat
perdarahan).
b. Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma.
c. Cari luka, memar dan cedera lain.
7. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) :
a. Foto atas daerah abdomen yang cedera dilakukan secara selektif.
2) Penanganan di Rumah Sakit (Hospital)
a. Trauma Penetrasi
1. Skrinnig pemeriksaan rongten.
2. Foto thoraks tegak berguna untuk kemungkinan hemo
ataupneumothoraks. Rontgen abdomen untuk menentukan
jalan luka atau adanya udara retroperitoneum.
3. IVP atau Urogram Excretory dan CT scan.
4. Ini dilakukan untuk mengetahui jenis cedera ginjal yang ada.

31
5. Uretrografi Dilakukan untuk mengetahui adanya rupture
uretra.
6. Sistografi.
7. Ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya cedera pada
kandung kencing, contohnya pada fraktur pelvis dan trauma
non penetrasi.
b. Trauma non-penetrasi
1. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah digunakan untuk pemeriksaan lab rutin dan
pemeriksaan darah khusus seperti darah lengkap, potassium,
glukosa, amylase.
2. Pemeriksaan Rongent
Pemeriksaan rontgen servikal lateral, thoraks anteroposterior
dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan
pada penderita dengan multitrauma, mungkin berguna
untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum
atau udara bebas dibawah diagfragma, yang keduanya
memerlukan laparotomi.
3. Study kontras urologi dan Gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah
duodenum, kolon ascendens atau descendens dan dubur.
3) Penatalaksanaan di Ruang Emergensi
1. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi).
2. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah
besar dan menimbulkan hemoragi massif.
3. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan.
4. Gunting pakaian penderita dari luka.
5. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.

32
6. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai
pembedahan dilakukan.
7. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal
dan lakukan bendungan pada luka dada.
8. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan
secara cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
9. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi
transfusi; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan
internal.
10. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik.
Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi
kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
11. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau jumlah urine perjam.
12. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan
steril, balutan dibasahi dengan salin untuk mencegah
kekeringan visera.
13. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.
14. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya
peristaltic dan muntah.
15. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium
ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan
intraperitonium.
16. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah
terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
17. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
18. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi.
Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena
kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan

33
pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik
(infeksi nosokomial).
19. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti
adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah
diafragma, eviserasi, atau hematuria.

H. Komplikasi

Komplikasi Trauma Abdomen menurut (Smeltzer, 2001)


1. Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
2. Lambat : infeksi.

34
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Asuhan Keperawatan Teoritis Trauma Tajam Abdomen

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat rumah, dll
b. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian, pasien
biasanya mengeluh nyeri hebat, mual-muntah, kelemahan, bahkan
hingga penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit
Kemungkinan terdapat riwayat penyakit penyerta yang dapat
memperparah keadaan klien
2. Pengkajian primer
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi
kejadian. Paramedik mungkin harus melihat. Apabila sudah
ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera
ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika
korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
a. Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang, membuka jalan napas
menggunakan teknik ’head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala
dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
b. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan
dengan menggunakan cara ’lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10

35
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya
lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme
dan adekuat tidaknya pernapasan).
c. Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat, jika pernapasan
korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, makabantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas.
3. Pengkajian skunder
a. Pengkajian Fisik
1) Inspeksi
Harus teliti, meteorismus, darm contour, darm steifung,
adanya tumor, dilatasi vena, benjolan di tempat terjadi hernia,
dll.
Sikap penderita pada peritonitis : fleksi artic. coxae dan
genue sehingga melemaskan dinding perut dan rasa sakit.
2) Palpasi
Diperhatikan adanya distensi perut, defans muskuler, sakit tekan
titik McBurney, iliopsoas sign, obturator sign, rovsing sign, rebound
tenderness.
Rectal toucher : untuk menduga kausa ileus mekanik,
invaginasi, tumor, appendikuler infiltrate.
3) Perkusi
Penting untuk menilai adanya massa atau cairan intra
abdominal.
4) Auskultasi
a. Harus sabar dan teliti.
b. Borboryghmi, metalic sound pada ileus mekanik.
c. Silent abdomen pada peritonitis / ileus paralitik.

36
4. Pengkajian pada trauma tajam abdomen c:
a. Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ;
kekuatan tumpul (pukulan).
b. Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk,
memar, dan tempat keluarnya peluru.
c. Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga
perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium,
biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga
abdomen).
d. Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi,
nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus,
hipotensi dan syok. Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera
intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
e. Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

5. Diagnosa keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif (perdarahan).
b. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.

6. Intervensi Keperawatan

37
7. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah
sebagai berikut :
a. Tidak terjadi kekurangan volume cairan.
b. Nyeri berkurang atau teratasi.
c. Risiko infeksi dapat teratasi.
d. Integritas kulit membaik.

B. Asuhan Keperawatan Umum Trauma Tumpul Abdomen

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama,
umur, agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
dan diagnose medis. Untuk klien anak biasanya disertakan juga
identitas orang tua.
b. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri di bagian perut dan umum nya terdapat jejas pada
perut.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji penyebab trauma yang dialami klien. Riwayat trauma sangat
penting untuk menilai penderita yang cedera. Misalnya dalam
tabrakan kendaraan bermotor meliputi kecepatan kendaraan,
“mechanism of injury”nya, posisi dan keadaan penderita saat dan
setelah kejadian, dsb. Setelah itu secara anamnesis dilakukan
evaluasi, baik pada penderita sendiri yang sadar, atau pada
keluarga penderita dan orang lain bila penderita tidak sadar.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah klien mempunyai riwayat hipertensi, Diabetes
Mellitus, jatung, asma dan alergi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga

38
Kaji apakah ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit menular dan berbahaya
lainnya.
f. Riwayat Penggunaan Obat
Kaji obat apa yang sudah dikonsumsi selama ini, obat apa yang sudah
diminum sebelum MRS.
2. Pengkajian Primer
a. Airways : apakah ada penumpukan sekret di jalan nafas, bunyi
nafas ronchi, dan lidah tidak jatuh ke belakang.
b. Breathing : RR klien normal, irama nafas teratur dan tidak
menggunakan otot bantu pernafasan.
c. Circulation : periksa tanda-tanda vital, Nadi karotis dan nadi perifer
teraba kuat, capillary refill kembali dalam 3 detik, akral dingin,
dan tidak sianosis.
d. Disability : kesadaran compos mentis atau bisa mengalami penurunan.
e. Eksposure : terdapat luka lecet , jejas dan hematoma pada abdomen.
3. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan B1-B6
- B1 (breathing)

I : inspeksi apakah ada jejas pada dada serta jalan napasnya,


amati pergerakan dada, pola nafas dan apakah ada penggunaan otot
bantu pernafasan.

P: palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan


pernapasan tertinggal.

P : lalukan perkusi dada, umunya suara sonor.

A: auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi,


normalnya suara vesikuler.

- B2 (blood)

39
Kaji TD, nadi, suhu badan, dan apakah ada keluhan nyeri
dada. Auskultasi suara jantung, kaji CRT dan kelainan jantung
lainnya.
- B3 (brain)
Inspeksi klien gelisah atau tidak. Lalukan pemeriksaan
kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
-
B4 (bladder)
Kaji fungsi perkemihan klien, output dan input.
I : inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah
distensi pada daerah vesica urinaria.
P : palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya
distensi.
P : perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
- B5 (bowel)
I : inspeksi abdomen ditemukan adanya jejas-jejas dan hematom,
terdapat distensi abdomen.
P : palpasi pada dinding abdomen, biasanya didapatkan adanya
nyeri, baik nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau
nyeri lepas. Bila sampai terjadi suatu defans muskuler dan
nyeri tekan seluruh perut mungkin sudah terjadi suatu iritasi
pada peritoneumnya. Selain itu dapat pula digunakan untuk
menentukan adanya cairan dalam rongga abdomen (dengan tes
undulasi).
P : perkusi didapatkan suara redup, yang mungkin menandakan ada
suatu perdarahan di kavum intra abdomen. Selain itu juga menilai
apakah ada suatu perforasi usus, yang biasanya ditandai
dengan hilangnya pekak hepar.
A : auskultasi kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan
dari bising usus atau menghilang. Darah intraperitoneum yang
bebas atau akibat adanya kebocoran (ektravasasi) abdomen
dapat menimbulkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bunyi

40
usus. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu
sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan
mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB
hitam (melena).
- B6 (bone)
Inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah
pelvis. Serta palpasi apakah ada ketidakstabilan pada tulang pinggul
atau pelvis.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
1) Ultrasonography (USG): digunakan untuk mengetahui adanya
internal bleeding, yang disertai denganadanya ruptura organ padat,
dan buli-buli.
2) Foto BOF (Buick Oversic Foto) anteroposterior digunakan untuk
mengetahui adanya udara ekstraluminal diretroperitoneum atau
udara bebas di bawah subdriafragma.
3) CT – Scan: merupakan sarana diagnostik yang paling akurat
karena bisa memberiinformasi yang berhubungan dengan
cedera organ tertentu dan tingkatberatnya, dan juga
dapat mendiagnosis cedera retroperitoneum dan organpanggul
yang sukar diakses melalui pemeriksaan fisik maupun sarana
diagnostic yang lain. Akan tetapi pemeriksaan ini memerlukan
waktu dansukar dilaksanakan pada kasus dengan tingkat emergensi
yang tinggi.
b. Laboratorium : cek darah lengkap, urin, kimia lengkap

5. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma abdomen.

41
b. Resiko infeksi berbuhungan dengan luka pada abdomen, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.

6. Intrvensi Keperawatan

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

A. Kasus

Pada tanggal 29 Oktober 2018, Tn. B berusia 34 tahun datang ke Rumah


Sakit Universitas Airlangga ditemani oleh istrinya. Tn. B mengeluh nyeri di
perut bagian kiri dan merasa sesak nafas. Pada saat pengkajian Tn. B
mengatakan bahwa klien 1 jam yang lalu mengalami kecelakaan ketika
mengendarai sepeda motornya, Tn. B menabrak gerobak yang menyebrang lalu
jatuh dengan posisi perut kiri membentur aspal, setelah kecelakaan Tn. B masih
bisa pulang sendiri tapi beberapa saat kemudian klien merasa perutnya
kembung dan merasa sesak nafas. Perut Tn. B tampak memar. Hasil
pemeriksaan didapatkan TD 120/80 mmHg, Nadi 100 x/menit, RR 24 x/menit,
Suhu 36,2 ˚C.

B. Pengkajian

a. Data Demografi
Nama : Tn. B
Umur : 34 tahun

42
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Surabaya
b. Keluhan Utama
Tn. B mengeluh nyeri di perut bagian kiri dan merasa sesak nafas.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Tn. B mengeluh nyeri di perut bagian kiri dan merasa sesak nafas. Pada saat
pengkajian Tn. B mengatakan bahwa klien 1 jam yang lalu
mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepeda motornya, Tn. B
menabrak gerobak yang menyebrang lalu jatuh dengan posisi perut
kiri membentur aspal, setelah kecelakaan Tn. B masih bisa pulang
sendiri tapi beberapa saat kemudian klien merasa perutnya kembung dan
merasa sesak nafas
d. Riwayat penyakit terdahulu
Tn. B tidak memiliki riwayat penyakit terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Tn. B tidak memiliki riwayat penyakit keluarga.
f. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath) : Klien terlihat sesak nafas, RR 24 x/mnt
B2 (Blood) : TD 120/80 mmHg, Nadi 100 x/menit
B3 (Brain) : Compos mentis
B4 (Bladder) : Abdomen klien terlihat memar, nyeri pada abdomen
B5 (Bowel) : Tidak ada distensi kandung kemih
B6 (Bone) : Ekstremitas dapat digerakkan

C. Analisa data

D. Diagnosa Keperawatan

43
1. Pola Nafas Tidak Efektif (D.0005) berhubungan dengan perdarahan
intra abdomen.
2. Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisik.
3. Kerusakan Integritas Kulit (D.0129) berhubungan dengan factor mekanis

E. Intervensi Keperawatan

F. Evaluasi

1. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan perdarahan intra abdomen


S : Pasien mengatakan sesak sudah mulai menurun
O : TTV mulai membaik (TD= 110/70, RR 18x/menit, Nadi 86 x/menit, S
36,5C)
Klien tidak mengalami sianosis
Klien tidak menggunakan otot pernapasan saat bernapas
A : Masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
S : Klien mengatakan masih terasa nyeri pada bagian dada yang
terkena benturan
O : Klien masih tampak meringis saat merasakan nyeri
Klien tidak dapat tidur dengan nyenyak
Pernapasan : 18x/menit
Nadi 86x/menit
Skala nyeri 5
A : Masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
3. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan factor mekanis
S : Klien mengatakan area abdomen masih terasa sakit saat disentuh
O : Masih terdapat memar di area abdomen

44
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada daerah abdomen yang
meliputi daerah retroperitoneal, pelvis dan organ peritroneal. Mekanisme
trauma langsung pasien bisa diakibatkan karena terkena langsung oleh benda
atau perantara benda yang mengakibatkan cedera. Trauma abdomen
yang disebabkan benda tumpul biasanya lebih banyak menyebabkan
kerusakan pada organ-organ padat maupun organ-organ berongga pada
abdomen dibandingkan dengan trauma abdomen yang disebabkan oleh
benda tajam.

B. Saran.

1. Bagi petugas kesehata atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan


pelayanan kesehatan terutama pada trauma abdomen untuk
pencapaian kualitas keperawatan secara optimal dan sebaiknya proses
keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan.
2. Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan
pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan
yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh

45
sebab itu perlu adanya penjelasan pada klien dan keluarga
mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan.
3. Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan trauma
abdomen.

DAFTAR PUSTAKA

Bilal M, Voin V, Topale N, Iwanaga J, Loukas M, and Tubbs RS. (2017).


The Clinical anatomy of the physical examination of the abdomen:A
comprehensive review.
CDC. 2000. Explosion and Blast Injuries. Department of Health
and Human Services: USA.
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta :
EGC.
Katie O'Neill. Et al. Teach Me Anatomy. 2018. The Abdomen.
(https://teachmeanatomy.info/abdomen)
K.I. Bland et al. (eds.). 2011. Trauma Surgery, 19. DOI 10.1007/978-1-
84996-375-6_2,. Springer-Verlag London Limited.
Legome, Eric L. 2017. Blunt Abdominal Trauma. Emedicine. WebMD.
Diakses pada 1 November 2018,
(http://emedicine.medscape.com/article/433404-print)
LeMone, Burke, Bauldoff. 2011. Medical-Surgical Nursing: Critical
Thinking in Patient Care, 5th Edition. Pearson Education.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
FKUI : Jakarta
Offner, Patrick. 2017. Penetrating Abdominal Trauma. Emedicine.
WebMD. Diakses pada 1 November 2018,
(https://emedicine.medscape.com/article/2036859-print)

46
Panchal HA et al. Int Surg J. 2016 Aug;3(3):1392-1398. DOI:
http://dx.doi.org/10.18203/2349-2902.isj20162717. International Surgery
Journal
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal – Bedah Brunner
and Suddarth Ed. 8 Vol. 3. Jakarta: EGC.

47

Anda mungkin juga menyukai