Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tanpa suatu halangan
apapun.
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Kegawatan
Daruratan Trauma, disamping itu penyusun berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembacanya agar dapat mengetahui tentang “ Trauma
Assesment Bowel".
Penyusun
ii2
DAFTAR ISI
JUDUL ..................................................................................................................... i
A. Kesimpulan .................................................................................................... 29
B. Saran ............................................................................................................... 29
iii 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh
salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat
kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12 ribu per tahun. Banyak dari korban trauma
tersebut mengalami cedera musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera
jaringan lunak. Cedera system musculoskeletal cenderung meningkat dan terus
meningkat dan akan mengancam kehidupan kita. (Rasjad C,2003) Menurut
National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip) dari data kepolisian
RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban sekitar 16.000 jiwa
dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di Indonesia. Berdasarkan data
yang didapatkan dari RSUD Pandan Arang Boyolali di ruang Flamboyan, jumlah
klien dengan gangguan system musculoskeletal terutama penderita fraktur tibia
fibula yaitu pada bulan Januari - Maret 2014 terdapat 18 kasus, dimana 12 kasus
terjadi pada klien laki-laki dan 6 kasus terjadi pada klien wanita.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga
abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus
kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna
baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini
dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan bisa
menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu memahami penanganan
kegawatdaruratan pada system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga
hal-hal tersebut dapat kita hindari.
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kegawatdaruratan pada Trauma Abdomen ?
2. Bagaimana kegawatdaruratan pada konsep initial Assesment ?
3. Bagaimana Tindakan monitoring urine?
4. Bagaimana tindakan memonitoring cairan lambung ?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami kegawatdaruratan pada kasus Trauma
Abdomen.
2. Mengetahui dan memahami kegawatdaruratan pada konsep initial
Assesment.
3. Mengetahui dan memahami tindakan monitoring urine
4. Mengetahui dan memahami tindakan monitoring cairan lambung.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Trauma abdomen menjadi penyebab 13% sampai 15% kematian pada kasus
trauma menjadiakn trauma ini sebagai penyebab mortalitas terbesar ketiga pada
kasus trauma. Mengetahui mekanisme cedera, melakukan pemeriksaan fisik dengan
cermat , mempertahankan kewaspadaan tinggi dan melakukan evaluasi secara
berkala merupakan hal yang paling penting untuk dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan trauma abdomen adalah trauma tumpul dan
traum penetras, setiap mekanisme cedera menyebabkan kerusakan organ dengan
pola yang berbeda satu dan yang lainnya.
TRAUMA TUMPUL
Blunt abdominal trauma (BAT) atau trauma tumpul abdomen terjadi ketika terdapat
energiyang mengenai dinding abdomen tidak menyebabkan luka terbuka biasanya
disebabkan tabrakan kendaraan bermotor , olahraga, jatuh, dan penganiayaan fisi.
Bagian viseral dan struktur lain abdomen terkena in juri akibat hantaman
langsung, kompresi,deselerasi.
Cedera kompresi terjadi akobat hantaman secara langsung pada objekyang
tetap.(sabuk pengaman roda setir,atau tulang belakang
Gaya deselerasi antara objek yang relatif diam dan objek bebas menyebabkan
cedera berupa pergeseran atau perobekan; bagian dari jaringan terus bergerak
kedepan sementara yang bagian yang lain tetap diam.
Organ solid –paling sering lien, hati, ginjal kemungkinan mengalami ruptur
sebagai akibat dari trauma tumpul.
6
Walaupun sabuk pengaman menyelamatkan kehidupan, sabuk pengaman juga
dapat sebagai penyebab terjadinya injuri, meliputi ruptur viseral, kompresi
organ, fraktur, dan robekan viseral abdomen.
Penempatan sabuk pengaman diatas tulang pelvis dapat menyebabkan jeratan
pada jaringan di bawahnya melawan tulang nelakang dan menyebabkan
pergeseran dan cedera kompresi
Tanda kemerahan atau memar dengan bekas tanda sabuk pengaman dapat
mengindikasikan kerusakan bagian dio bawahnya dan memerlukan monitoring
secara frekuen.
Tanda cedera akibat sabuk pengaman kemungkinan muncul secara perlahan
TRAUMA PENETRASI
Trauma penetrasi terjadi ketika suatu objek seperti peluru, pisau atau fragmen
proyektil menembus dinding abdomen masuk pada vacum abdomen.
Jika injuri mungkin hanya terbatas pada abdomen, trauma tumpul abdomen
jarang merukapan kejadian tunggal. Trauma kepala dan dada, dan injuri yang
mengancam jiwa lainnya, biasannya menjadi penyulit dalam pengkajian dan
perawatan. Lakukan pemeriksaan fisik secara cermat dengan prosedur diahnostik
ketika menjadi pasien, khususnya individu yang tidak sadar, terintoksikasi, dengan
penurunan tingkat kesadaran, atau mempunyai riwayat cedera kepala, korban yang
secara bersamaan mengalami cedera tulang belkang akan mengalami penurunan
7
sensasi yang akan berpengaruh terhadap pemeriksaan abdomen. Tidak adanya
temuan klinis tidak mengesampingkan kemungkinan adanya cedera abdomen.
khususnya pada pasien hamil atau mempunyai dcfisit neorologis yang bersamaan.
Inspeksi abdomen untuk melihat:
Distansi
Perdarahan restum
Pembengkakan testis
Cek adanya bruit. di mana mengindikasikan fistula arteri vena akibat trauma
Temuan pada abdomenn, khususnya suara usus yang paling bermanfaat ketika
pada awalnya normal dan berubah dari waktu ke waktu.
Palpasi area terrakhir yang paling nyeri untuk maninimalkan nyeri yang terdistraksi
di bagian lain dari abdomen palpasi untuk mengetahui :
Nyeri tekan
Kekakuan
Nyeri lepas
Melindungi bagian abdomen tanpa disadari merupakan tanda paling nyata dari
iritasi peritoneal
8
Instabilitas pelvis
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Tes Laboratorium
Hitung darah lengkap dan pemeriksaan metabolik dan kimia lengkap
Hematokrit dan hemoglobin serial
Jensi dan crossmatch
Laktat serum dan gangguan basa
Koagulasi dan waktu perdarahan
Tes fungsi hati. amilasi, dan lipase
Urinalisis
Tes kehamihn pada semua perempuan usia produktif
Skreening alkohol dan tiksikologi bila memungkinkan
9
Pemeriksaan darah samar isi lambung dan feses
Pasien dengan trauma abdomen berat atau temuan fisik yang mendukung
10
Pasien dengan hemodinamik stabil dengan temuan cairan intraperitoneal pada
pemeriksaan FAST
Pasien dengan mekanisme injuri risiko tinggi trauma abdomen
INTERVENSI TERAPEUTIK
11
Pengetahuan dasar tentang mekanisme cedera dapat memandu penanganan
awal trauma abdomen pada pasien. Menentukan dengan segera dimana struktur
abdomen yang mengalami cedera bukanlah hal yang utama. Fokus utama
penanganan adalah pengkajian dan stabilisasi dasar pada jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi, kembali pada pengkajian dan pengkajian ulang yang dilakukan secara
terus-menerus dan prosedur diagnostik. Tanda cedera abdomen biasa samar;
pengkajian lanjutan pada abdomen diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan.
12
Identifikasi mekanisme cedera (seperti tabrakan kecepatan tinggi, penggunaan
sabuk, jatuh dari ketinggian, jenis dan ukuran senjata, waktu terjadinya cedera,
perkiraan jumlah.
Darah yang hilang dll) Dan penanganan pre hospital (oksigen,cairan
IV,Medikasi nyeri dan tanda tanda vital ) Riwayat hipotensi pre hospital
Merupakan prediktor signifikan Adanya cedera Intra abdominal.
pertahankan kontrol Tulang leher dan log roll Pada pasien untuk melihat
Adanya luka dan tanda tanda Injuri pada abdomen posterior.
Pertimbangkan pemasangan selang Nasogastrik dan orogastrik Untuk
dekompresi lambung Dan kateter urine Tetap untuk melakukan monitor output
Tutup Luka terbuka pada abdomen Dengan menggunakan balutan Dengan
saline steril Jangan biarkan viscera terbuka Dan menjadi kering.
Stabilisasi tetapi jangan mencabut Objek yang menancap di abdomen
Trend kedepan adalah Manajemen non operatif Pada pasien dengan Cedera
organ solid.
INDIKASI LAPAROTOMI EKSPLORASI
13
Trauma pada pasien dengan kehamilan ada beberapa penekanan yang perlu
mendapat perhatian :
Trauma pada kehamilan merupakan hal yang tidak biasa walaupun begitu
trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan perubahan plasenta dan ruptur
uterus.
Keselamatan janin tergantung penuh pada keselamatan ibu. Oleh karena itu
upaya resusitasi harus difokuskan pada ibu.
INSIDEN DAN
TANDA DAN INTERVENSI
ORGAN IMPLIKASI
GEJALA INJURY TERAPEUTIK
CEDERA
Nyeri epigastrik
Distensi abdomen
15
Ginjal Injury terjadi pada Diagnosis dimulai Kantusia dapat
10% pasien yang dengan kecurigaan ditangani
mengalami trauma tinggi dengan bedrest,
abdomen observasi dan
Hematuri terlihat atau meningkatkan
Tiga tipe injury Renal mikroskopik intake cairan
Laserasi Ekimosis di atas Intervensi
Contusio panggul pembedahan
injury
pada laserasi
pembuluh Nyeri tekan pada
darah panggul atau abdomen dihubungkan
dengan
perdarahan dan
ekstravasasi
urine
kemungkinan
dilakukan
Netral
nefrektomi
Apabila terjadi
injury
parenkimal atau
vaskular yang
serius
17
Usus mengisi Semar, nyeri abdomen
hampir seluruh yang umum dirasakan,
cavum Terbakar pada
abdomen epigastrik
Posisinya yang
berada di Nyeri lepas
depan
Titik fiksasi Kekakuan, spasme
Vaskularisasi abdominal
Eviserasi nyata
lavage peritoneal
positif
Mengantisipasi
angiografi
dengan proses
emboli, fiksasi
eksternal di
UGD, atau
intervensi
pembedahan
untuk fiksasi
internal pada
pelvis tidak
stabil
18
B. Konsep Initial Assessment
1. Persiapan penderita
2. Triage
3. Survey primer (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer
6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)
7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
8. Pengawasan dan evaluasi ulang
9. Terapi definitif
19
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra
rumah sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam
koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah
sakit/hospital dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita sehingga
dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Tahap Pra Rumah Sakit
Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit biasanya dilakukan oleh
keluarga ataupun orang sekitar yang berbaik hati menolong ( good samaritan ).
Prinsip utama adalah tidak boleh membuat keadaan lebih parah ( Do no Further
Harm ).
Keadaan yang ideal adalah dimana unit gawat darurat yang datang ke penderita
sehingga ambulans harus memiliki peralatan yang lengkap. Petugas yang datang
adalah petugas khusus yang telah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan. Selain
itu, diperlukan koordinasi dengan rumah sakit tujuan terhadap kondiri/ jenis
perlukaan sebelum penderita dipindahkan dari tempat kejadian. Hal ini sangat
penting mengingat koordinasi yang baik antara petugas lapangan dengan petugas di
rumah sakit akan menguntungkan penderita.
Tindakan yang harus dilakukan oleh petugas lapangan/ paramedik adalah:
1) Menjaga airway dan breathing.
2) Mengontrol perdarahan dan syok.
3) Imobilisasi penderita.
4) Pengiriman ke rumah sakit terdekat/ tujuan dengan segera.
20
cara penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face mask,
proteksi mata/google, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air.
2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapai dan
sumber daya yang tersedia Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan
kontrol vertebra servikal), Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang
akan dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan
terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.
3. Survey primer (ABCDE)
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada
primary survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha
uhtuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal (servical spine
control), dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada
kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat
21
immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.Pemasangan airway definitif
dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma
Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang
baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada
penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi
untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi
dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat
adalah tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat
lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya tulang iga,
dan kontusio paru.
C : Circulation
Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi
yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita
yang meliputi :
Tingkat kesadaran
22
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia.
Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau
arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama.
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia.
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang
tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi
dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber
perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar
fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat
dari luka dada tembus perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma
Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan
penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah
pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.
4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa
merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
23
a. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila
penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai
orofaringeal airway.
b. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan
intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi
dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena
kontraindikasi atau karena masalah teknis.
c. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV
yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena
pada lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi
atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah
untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua
penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type
specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk
terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk
menghentikan perdarahan.
C. Monitoring Urine
24
Bila diperkirakan ada fraktura pelvis setelah jatuh atau kecelakaan lalu lintas
dan ada tanda syok mengancam, maka harus disertai pemberian cairan Ringer laktat
(1000 ml/jam) dan bila tekanan darah tidak dimantau, maka harus dipertimbangkan
penggunaan pakaian anti-syok. Bila diperkirakan terjadinya cedera uretra atau
kandung kemih, maka mungkin diperlukan uretrogram ’retrograde’ dan sistogram.
Bila mungkin ada cedera ginjal, maka mungkin diindikasikan pielografi infus
maupun pielografl ’retrograde’ pada cedera ureter. Ia merupakan teknik khusus
yang memerlukan personil terlatih untuk pelaksanaan dan penafsirannya. Bila ada
kemungkinan cedera ini, penderita harus ditransportasi ke fasilitas yang memiliki
konfirmasi diagnostik dan personil untuk terapi yang tepat.
Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau
plastik,melalui uretra atau kandung kemih.dan dalam kateterisasi ada dua jenis
kateterisasi,yaitu menetap dan intermiten,sedangkan alat untuk kateterisasi
dinamakan selang kateter,selang kateter adalah alat yang bebentuk pipa yang
terbuat dari karet,plastic,metal woven slik dan silikon.yang fungsi dari alat kateter
tersebut ialah memasukkan atau mengeluarkan cairan. Pemasangan kateter adalah
pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet melalui uretra menuju
kandung kemih (vesika urinaria).
SOP PEMASANGAN KATETER URINE
Pengertian Tata cara melakukan pemasangan kateter untuk mengeluarkan air
kencing
Tujuan Sebagai acuan pelaksanaan pemasangan kateter untuk mengeluarkan air
kencing
Kebijakan -1 Perawat yang terampil
-2 Tersedia alat-alat lengkap
Prosedur PERSIAPAN ALAT :
1. Slang kateter 8. Kasa dalam tempatnya
2. Aqua jelly 9. Betadine
3. Sarung tangan 10. Urobag
4. Aquadest dalam kom 11. Stik pan / urinal
5. Spuit 5 cc 12. Pinset
6. Plester 13. Bengkok
7. Gunting 14. perlak
25
PENATALAKSANAAN :
1. memberikan penjelasan kepada keluarga dan pasien
2. mendekatkan peralatan disamping penderita
3. memasang perlak dan petugas mencuci tangan
4. memakai sarung tangan
5. mengatur posisi pasien
PADA LAKI-LAKI
6. mengolesi slang kateter dengan aqua jelly
7. tangan kiri dengan kasa memegang penis sampai tegak ± 60O
8. tangan kanan memasukkan ujung kateter dan mendorong secara
pelan-pelan sampai urine keluar
Prosedur PADA WANITA
9. jari tangan kiri dengan kapas cebok membuka labia
10. tangan kanan memasukkan ujung kateter dan mendorong secara
pelan-pelan sampai urine keluar
11. bila urine telah keluar, pangkal kateter dihubungkan dengan urine
bak
12. kunci kateter dengan larutuan Aqua/NS (20-30cc)
13. mengobservasi respon pasien
14. menggantungkan urobag disisi tempat tidur pasien
15. memfiksasi kateter dengan plester pada paha bagian atas
16. klien dirapikan
17. alat-alat dibersihkan dan dibereskan
18. Dokter cuci tangan
19. mencatat kegiatan respon pasien pada catatan keperawatan
26
Jenis, intensitas dan riwayat nyeri penting dalam menegakkan diagnosis. Nyeri
kolik persisten yang tak hilang dengan perubahan posisi, menggambarkan batu
ginjal atau batu empedu. Nyeri abdomen yang berkurang dengan menekukkan perut
yang disertai distensi dan demam paling mungkin disebabkan oleh pankreatitis,
sering terlihat pada penderita alkoholik. Nyeri abdomen atas parah yang diperhebat
oleh gerakan, menunjukkan ulkus duodeni yang mengalami perforasi. Nyeri tajam
sekitar umbilikus, yang kemudian bergeser ke kuadran kanan bawah,
menggambarkan apendisitis. Nyeri kejang intermiten dengan muntah dan distensi
abdomen bisa disebabkan oleh obstruksi usus.
Strangulasi usus dengan penghentian aliran darahnya mengakibatkan syok
hipovolemik; dan penderita harus diterapi untuk syoknya, bila dicurigai adanya
obstruksi usus.
Nasogastrik atau NG tube adalah suatu selang yang dimasukkan melalui hidung
sampai ke lambung. Sering digunakan untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan
kepada seseorang yang tidak mampu untuk mengkonsumsi makanan, cairan, dan
obat-obatan secara oral. Juga dapat digunakan untuk mengeluarkan isi dari lambung
dengan cara disedot.
SOP PEMASANGAN NGT
Pengertian Memasukkan NGT (Penduga lambung) melalui hidung ke dalam
lambung.
1. Memberi makanan dan obat-obatan.
2. Membilas/mengumbah lambung
Tujuan Sebagai acuan untuk melakukan tindakan pemasang NGT
1. Membilas/mengumbah lambung
2. Memberi makanan dan obat-obatan.
Kebijakan -1 Perawat yang terampil
-2 Tersedia alat-alat lengkap
Prosedur Persiapan alat :
1.NGT 9. Stetoscope
2. Plester 10. Spuit 10 cc
3. Gunting 11. aquades dalam Kom
4. Bengkok 12. obat- obatan/ makanan yang
5. Sarung tangan akan dimasukan
6. aqua Jelly 13. . corong
7. Perlak + Pengalas 14. kasa
8. Alat tulis 15. spatel
27
PENATALAKSANAAN
1. Menjelaskan tujuan pemasangan NGT pada keluarga pasien
2. Membawa alat-alat ke dekat pasien
3. Mengatur posisi pasien sesuai dengan keadaan pasien
4. Memasang perlak + pengalas pada daerah dada
6. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
7. Mengukur dan memberi tanda pada NGT yang akan dipasang lebih
kurang 40-45 cm (diukur mulai dahi s/d proxesus xypoideus)
8. Mengolesi NGT dengan aquaJelly sepajang 15 cm dari ujung NGT
9. Memasukkan NGT malalui lubang hidung dan pasien dianjurkan
untuk menelan (jika pasien tidak sadar tekan lidah pasien dengan
spatel) masukan NGT sampai pada batas yang sudah ditentukan
sambil perhatikan keadaan umum pasien.
Prosedur 10. Cek posisi NGT (apakah masuk di lambung atau di paru-paru)
dengan 3 cara :
a. Aspirasi cairan lambung dengan spuit 10 cc jika cairan bercampur isis
lambung berarti sudah masuk kelambung,
b. Memasukan ujung NGT (yang dihidung) kedalam air dalam kom bila
ada gelembung berarti NGT dalam paru-paru
c. Petugas memasukan gelembung udara melalui spuit bersamaan
dilakukan pengecekan perut dengan stetoskop untuk mendengarkan
gelembung udara di lambung
11. Memasang corong (yang sudah dibilas dengan air hangat), kemudian
memasukan obat-obatan/makanan
12. Melepas corong, menutup NGT dengan spuit 10 cc.
13. Merapikan alat-alat dan pasien kemudian sarung tangan dilepas.
14. Mendokumentasikan
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
2. Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan
penanganan segera. Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentang
intervensi kritis dan waktu yang dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasien
harus aman dan dilakukan secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat
kesadaran (Level Of Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing,
Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan tindakan
penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya. (John Emory
Campbell, 2004 : 26).
B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan
dapat di jadikan salah satu referensi sebagai petugas maupun bahan praktikum.
29
4
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, Amelia, dkk.(2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheesy.
Emergency Nurses Association : Jakarta
5
30