Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Manajemen Non-operatif Pada Trauma Abdomen

Dosen Pengajar :

Nurma Alfiani, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :

KELOMPOK 4

1. Desy Talutu (170914201551)


2. Erni Djibu (191114201730)
3. Fendersia Way (170914201561)
4. Hidayatul Sholehah (170914201567)
5. Noor Indalestari (170914201578)
6. Olivio Goncalves (170914201582)
7. Sri Klementina Lefteuw (170914201590)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik,
dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga tugas makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah yang berjudul “Manajemen Non-operatif Pada Trauma
Abdomen” ini dengan tujuan untuk mengetahui tentang Trauma Abdomen..

Selanjutnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Nurma


Alfiani, S.Kep., Ners., M.Kep yang telah membimbing kami dalam pembuatan
makalah ini hingga selesai.

Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini


terdapat banyak kesalahan didalamnya. Kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 24 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................................

A. Latar Belakang................................................................................................ 1

B. Tujuan Penulisan............................................................................................ 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................

A. Definisi Trauma Abdomen.............................................................................. 3

B. Klasifikasi Trauma Abdomen.......................................................................... 4

C. Etiologi Trauma Abdomen.............................................................................. 6

D. Patofisiologi Trauma Abdomen....................................................................... 9

E.Pathway........................................................................................................... 9

F. Manifestasi Klinis.......................................................................................... 11

G. Komplikasi.................................................................................................... 12

H. Pemeriksaan Penunjang............................................................................... 13

I. Penatalaksanaan.......................................................................................... 13

J. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen....................................................... 15

BAB 3. PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Pengelolaan Non-Operatif Trauma Abdomen............................................. 18


B. Pengawasan PNO........................................................................................ 29
C. Algoritma Diagnosis Dan Prngelolaan Pasien.............................................. 34

BAB 4. PENUTUP..........................................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

ii
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma merupakan suatu masalah kesehatan yang cukup serius karena
sering terjadi pada subjek usia muda. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe
yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen.(Guillon,
2011).Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi
umum setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada pasien usia dibawah
40 tahun, trauma merupakan penyebab kematian utama (Guillion, 2011).
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering
ditemukan, sekitar 7 – 10% dari pasien trauma (Costa, 2010).
Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar 80% dari
keseluruhan trauma abdomen. Pada 3/4 kasus trauma tumpul abdomen,
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dan sering ditemukan
pada pasien politrauma.Diikuti oleh jatuh sebagai penyebab kedua tersering
(Guillion, 2011). Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara
nasional adalah sebesar 8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di
Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Penyebab cedera
secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda
motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda
tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu
(56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013).
Diagnosis yang cepat pada cedera abdomen merupakan langkah yang
penting untuk penatalaksanaan selanjutnya untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas kasus trauma tumpul abdomen (Boutros, Nassef, & Ghany,
2015).Trauma tumpul menghasilkan spektrum cedera yang luas, mulai dari
cedera minor, sistem tunggal sampai pada multi-sistem trauma. Hal ini
memberikan tantangan dalam mendiagnostik trauma tumpul abdomen bagi
para dokter bedah, dimana mereka harus memiliki kemampuan untuk
medeteksi adanya cedera organ intraabdominal secara keseluruhan (Patel dan
Riherd, 2015)

1
Pemeriksaan penunjang berupa Focus Assesment with Sonography in
Trauma(FAST) merupakan alat diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi
cairan intra-abdomen. Sensitivitas pemeriksaan ini hampir 100%.Penemuan
cairan bebas intraperitoneal pada pasien dengan hipotensi dapat
memperingatkan dokter bahwa pasien memerlukan tindakan laparotomi
emergensi.Penggunaan FAST telah menggantikan Deep Peritoneal Lavage
(DPL) dalam mendeteksi perdarahan intraperitoneal pada sebagian besar
kasus (Patel dan Riherd, 2015). Focus Assesment with Sonography in Trauma
(FAST) telah digunakansebagai protokol di berbagai senter trauma,
pemeriksaan USG bergerak (driven ultrasound) bertujuan untuk mendeteksi
dini adanya hemoperitoneum dan hemopericardium pada abdomen. Computed
Tomography (CT) scan merupakan modalitas radiografik baku emas dalam
evaluasi trauma tumpul abdomen. Pada kasus dengan hemodinamik stabil CT
scan merupakan modalitas pilihan.Pemeriksaan ini memiliki akurasi yang tinggi
mencapai 95% (Mackersie, 2001).
Berdasarkan tingginya angka kejadian trauma tumpul abdomen, maka
dibutuhkan pemeriksaan yang cepat, tepat dan tidak memakan biaya yang
tinggi seperti CT Scan. Terdapat pemeriksaan lain dinamakan Blunt Abdominal
Trauma Scoring System (BATSS).Blunt Abdominal Trauma Scoring System
memberikan sistem skor dengan akurasi tinggi dalam mendiagnosis cedera
organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen berdasarkan
gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan FAST (Shojaee
et al, 2014).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan dari penulisan makalah ini yakni untuk memenuhi tugas
terstruktur keperawatan gawat darurat dan untuk memberikan wawasan
kepada seluruh mahasiswa tentang trauma andomen dan tindakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen.

2
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari trauma abdomen.
b. Untuk mengetahui klasifikasi trauma abdomen.
c. Untuk mengetahui etiologi.trauma abdomen.
d. Untuk mengetahui patofisiologi trauma abdomen.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma abdomen.
f. Untuk mengetahui komplikasi trauma abdomen.
g. Untuk mengetahuipemeriksaan medis trauma abdomen.
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma abdomen.
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan trauma abdomen.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Trauma Abdomen


Definisi dari akut abdomen sendiri adalah suatu keadaan klinik akibat
kegawatan di rongga abdomen biasanya timbul secara mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama yang memerlukan penanganan segera. Hal ini bisa
disebabkan karena ;
 pertama adanya inflamasi/peradangan pada appendiks secara akut atau
sudah terjadi perforasi apendiks, tukak lambung, usus tifus, pankreatitis
akut, kolesistitis akut.
 Kedua adanya ileus obstruksi baik disebabkan karena adanya hernia
inkarserata maupun karena adanya volvulus usus.
 Ketiga karena adanya iskemia yang disebabkan karena adanya
kelainan atau penyumbatan vaskuler.
 Keempat adanya perdarahan bisa disebabkan karena adanya
kehamilan ektopik, atau aneurisma yang pecah,
 Kelima karena adanya cedera/trauma dimana terjadi perforasi organ
berongga, perdarahan hati atau limpa.
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma
abdomen yaitu trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang
menyebabkan timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di
dalamnya.Jenis trauma abdomen ada trauma tumpul dan trauma tembus.Pada
trauma tembus resiko terjadinya kerusakan organ lebih sedikit daripada trauma
tumpul tetapi pada trauma tembus dapat mengenai tulang belakang dan organ
yang berada di retroperitoneal.
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis.Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan
ilium.Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling
sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut
membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua

4
bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga
kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan
hingga ke pertengahan ligamentum inguinale, daerah-daerah itu adalah:
1) Hypocondriaca Dextra
2) Epigastrica
3) Hypocondriaca Sinistra
4) Lateralis Dextra
5) Umbilicalis
6) Lateralis Sinistra
7) Inguinalis Dextra
8) Pubica
9) Inguinalis Sinistra

Proyeksi letak organ abdomen yaitu:

1) Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal
kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hepar.
3) hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
4) lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilicalis meliputi organ : Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum
dan ureter kanan.
8) Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).

5
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja


sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal
berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang
penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel,
kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular
menyeluruh (DIC = diseminated intravascular coagulation).

B. Klasifikasi Trauma Abdomen


Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen

Disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak


terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau

6
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.

2. Laserasi

Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga


abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan
trauma tajam.Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda
sehingga algoritma penanganannya berbeda.Trauma abdomen dapat
menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan
dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.Trauma pada abdomen
dapat di bagi menjadi dua jenis :
a) Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
Trauma penetrasi/ Trauma Tajam abdomen adalah suatu ruda paksa
yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke
dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda tajam.
Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka
iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau
luka bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka tembak akan
mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer
energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya
efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi
fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat
berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang
padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam
rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
b) Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke dalam 3
mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga
deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or
concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal

7
yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan
sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ
berongga dan menyebabkan ruptur.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati
oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali
perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca
trauma.Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat
operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan
mengirim pasien ke ruang operasi.
Trauma tumpul Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan
kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan
cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera
perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak
tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi
jaringan maupun organ dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada
trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-
organ yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti
hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme terjadinya
trauma tumpul abdomen yaitu :
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di
antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan
menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ
visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distal
organ yang terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai
tulang torakal mengakibatkan gaya potong pada aorta dapat
menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
2) Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan
columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat
menyebabkan ruptur, biasanya terjadi pada organ-organ padat
seperti lien, hati, dan ginjal.

8
3) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan
tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya
biasanya menyebabkan ruptur organ berongga. Berat ringannya
perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang
terkena cedera.

C. Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi
pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul.Pada
kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol
merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul
setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak
yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka
tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi
luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal
diabdomen.Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak,
yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum.Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera
akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk
pengaman.Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum.Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan
benda tajam atau luka tembak.

D. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
faktor–faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma

9
yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan
pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal
ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan
tubuh.Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya.Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga
bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan
tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam
beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal
tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa
mekanisme:
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

10
E. Pathway
F.
Trauma paksa (jatuh, benda Trauma benda tajam (Pisau,
tumpul, kompresi dll) peluru, dll)

Gaya predisposisi trauma > elastisitas & Viskositas tubuh

Ketahanan jaringan tidak mampu mengkompensasi

Trauma Abdomen

Trauma Tajam Trauma Tumpul

Kerusakan Kerusakan organ Kerusakan Kompresi organ abdomen


Jaringan Kulit abdomen jaringan vaskuler

Perdarahan intra
Luka terbuka Perforasi lapisan Perdarahan abdomen
abdomen(Kontusio,
Laserasi, jejas,
hematoma) Resiko Peningkatan TIA
Resiko kekurangan
infeksi volume cairan Distensi Abdomen

Syok Mual/muntah
Hipovilemik
Kerusakan
integritas kulit Resiko ketidak
seimbangan nutrisi

11
G. Manifestasi klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut
Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi
abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu
tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
1) Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
2) Terjadi perdarahan intra abdominal.
3) Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga
fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis
dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
4) Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah
trauma.
5) Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada
dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
6) Terdapat luka robekan pada abdomen.
7) Luka tusuk sampai menembus abdomen.
8) Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
perdarahan/memperparah keadaan.
9) Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam
andomen.

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :

1) Nyeri
2) Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri
dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat
ditekan dan nyeri lepas.
3) Darah dan cairan
4) Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
5) Cairan atau udara dibawah diafragma
6) Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini
ada saat pasien dalam posisi rekumben.

12
7) Mual dan muntah
8) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
9) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.

H. Komplikasi

Menurut smaltzer ( 2002), komplikasi dari trauma abdomen adalah :

1) Hemoragi
2) Syok
3) Cedera
4) Infeksi

I. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraks

Untuk melihat adanya trauma pada thorak.

2. Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-linedata bila terjadi perdarahan


terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000 /mm tanpa terdapatnya infeksi
menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya
trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase
menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.

3. Plain abdomen foto tegak

Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas


retro perineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran
usus.

4. Pemeriksaan urine rutin

13
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai
hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma
pada saluran urogenital.

5. VP (Intravenous Pyelogram)

Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan


trauma pada ginjal

6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)

Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam


rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL inihanya alat
diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).

a. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut:


- Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
- Trauma pada bagian bawah dari dada
- Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
- Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alkohol, cedera otak)
- Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum
tulang belakang)
- Patah tulang pelvis
b. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut:
- Hamil
- Pernah operasi abdominal
- Operator tidak berpengalaman
- Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan

Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi


dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retro peritoneum.

Pemeriksaan khusus
a. Abdomonal Paracentesis

14
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk
menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih
dari100.000 eritrosit /mm dalam larutan NaCl yang keluar dari
rongga peritoneum setelah dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl
0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.

b. Pemeriksaan Laparoskopi

Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui


langsung sumber penyebabnya.

c. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-


sigmoidoskopi.

J. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer, (2002) penatalaksanaan adalah :

1. Abdominal paracentesis menentukan adanya perdarahan dalam rongga


peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi
2. Pemasangan NGT memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada
trauma abdomen
3. Pemberian antibiotik mencegah infeksi
4. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma
tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal.
5. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat
yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan
abdomen lainnya memerlukan pembedahan
6. Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung.
Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah
tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan
itu sendiri
7. Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan
bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin
setelah perdarahan teratasi.

15
Sedangkan menurut (Hudak & Gallo, 2001).penatalaksanaannya
adalah:

1. Pre Hospital

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang


mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi
kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka
tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani,
penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak
berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.

a. Airway

Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas


menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan
mengangkat dagu,periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.

b. Breathing

Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan


menggunakan cara ‘lihat – dengar – rasakan’ tidak lebih dari 10 detik
untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan).

c. Circulation

Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban


tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 30 : 2 (30kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).

d. Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul):


- Stop makanan dan minuman

16
- Imobilisasi
- Kirim kerumah sakit
e. Penetrasi (trauma tajam)
- Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
- Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
- Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ
yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada
verban steril.
- Imobilisasi pasien.
- Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
- Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekang.
- Kirim ke rumah sakit.

2. Hospital

a. Trauma penetrasi

Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen,


seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya
secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat
berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.

b. Skrinning pemeriksaan rontgen

Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan


kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya
udara intra peritonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine)
untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retro peritoneum.

c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk


mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada

17
d. Uretrografi

Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.

e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada
kandung kencing, contohnya pada:
- Fraktur pelvis
- Trauma non – penetrasi

3. Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit:

a. Pengambilan contoh darah dan urine

Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk


pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan
laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium,
glukosa, amilase.

b. Pemeriksaan rontgen

Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan


pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita
dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara
ekstraluminal di retro peritoneum atau udara bebas di bawah diafragma,
yang keduanya memerlukan laparotomi segera.

c. Study kontras urologi dan gastrointestinal


Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendensatau decendens dan dubur.

K. Asuhan keperawatan trauma abdomen

a. Pengkajian

Dasar pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat


tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.

18
Pengkajian data dasar menurut Brunner & Suddart (2001), adalah:

1. Aktifitas/istirahat

- Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,

- Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim


Bangan cedera (trauma)

2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu),
polanapas(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).

3. Integritas ego
- Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang
atau dramatis)
- Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
- Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau
mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
- Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan
Selera makan.
- Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
- Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
- Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,
perubahan status mental,Kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
- Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan
lokasi yang berbeda, biasanya lama.
- Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8. Pernafasan
- Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan

19
- Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
- Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif.Gangguan rentang
gerak.

b. Diagnosa keperawatan
1. DX 1: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
2. DX 2:Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen
3. DX 3: Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.
4. DX 4: Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
kurang.

c. Perencanaan keperawatan

20
No.Dx Tujuan Rencana Rasionl
1. Tujuan: Setelah Mandiri
diberikan tindakan — untuk mengidentifikasi
— Kaji tanda-tanda vital.
keperawatan defisit volume cairan.
diharapkanvolume — mengidentifikasi
— Pantau cairan
cairan tidak keadaan perdarahan,
parenteral dengan
mengalami serta Penurunan
elektrolit, antibiotik
kekurangan. sirkulasi volume cairan
dan vitamin
menyebabkan
Kriteria hasil:
kekeringan mukosa dan
 Intake dan output
pemekatan urin.
seimbang
Deteksi dini
 Turgor kulit baik
memungkinkan terapi
 Perdarahan (-)
pergantian cairan
segera.
— Kaji tetesan infus.
— awasi tetesan untuk
mengidentifikasi
Kolaborasi :
kebutuhan cairan.
— Berikan cairan
— cara parenteral
parenteral sesuai
membantu memenuhi
indikasi.
kebutuhan nuitrisi
tubuh.
— Cairan parenteral ( IV
— Mengganti cairan dan
line ) sesuai dengan
elektrolit secara
umur.
adekuat dan cepat.
— Pemberian tranfusi
— menggantikan darah
darah.
yang keluar.
2. Tujuan: setelah Mandiri
diberikan tindakan — Kaji karakteristik nyeri.
— Mengetahui tingkat
keperawatan — Beri posisi semi
nyeri klien.
diharapkan nyeri fowler.
— Mengurngi kontraksi
dapat hilang atau — Anjurkan tehnik
abdomen
terkontrol. manajemen nyeri
— Membantu mengurangi
seperti distraksi
Kriteria hasil: rasa nyeri dengan
— Managemant
mengalihkan perhatian
 Skala nyeri 0 lingkungan yang
— lingkungan yang
 Ekspresi tenang nyaman.
nyaman dapat
memberikan rasa
— Kolaborasi pemberian
nyaman klien
analgetik sesuai
— analgetik membantu
indikasi.
mengurangi rasa nyeri.
3. Tujuan: setelah Mandiri
21
diberikan tindakan — Kaji tanda-tanda — Mengidentifikasi adanya
keperawatan infeksi. resiko infeksi lebih dini.
diharapkaninfeksi — Keadaan luka yang
D. Evaluasi

Setelah mendapat implementasi keperawatan, maka pasien dengan


trauma abdomendiharapkan sebagai berikut:

1. Kebutuhan cairan terpenuhi.


2. nyeri dapat hilang atau terkontrol.
3. Tidak terjadinya infeksi
4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi

BAB III

PEMBAHASAN

(Manajemen Non-Operatif pada Trauma Abdomen)

22
Berdasarkan jurnal yang kami ambil mengenai manajemen trauma abdomen
yang serius. Manajemen trauma abdomen pun telah berkembang seiring berjalannya
waktu. Hal yang dapat dilakukan yaitu manajemen non operatif (NOM) dimana cedera
perut yang serius telah di kelolah dengan laparotomy darurat. Namun mordibitas terkait
dengan laparotomy non terapeutik atau laparotomy tanpa cedera perut yang
diidentifikasi mengalami peningkatan, penggunaan manajemen selektif, manajemen
non operatif (NOM) dan pemantauan telah aktif dan sekarang direkomendasikan untuk
pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa tanda-tanda peritonitis.

Selain itu, meningkatnya ketersediaan dan kemajuan dalam angiografi dan


embolisasi telah mengubah manajemen pasien trauma. Manajemen Non Operatif
(nom) pada cedera organ padat serius juga telah ditingkatkan dengan menggunakan
resusitasi kerusakan-kontrol.

Kemudian dari hasil penelitian didapatkan data bahwa adanya penurunan dari
waktu kewaktu dalam proporsi pasien yang menjalani laparotomy, dan peningkatan
dalam proporsi pasien dengan embolisasi tetapi tidak ada perubahan dalam proporsi
pasien yang dikelolah tanpa intervensi. Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip dari
Manajemen non operatif (NOM) selektif sedang dilaksanakan, dan sebagian telah
dimungkinkan oleh peningkatan dalam kasus yang telah dikelolah dengan embolisasi
dan manajemen pendukung yang lebih baik termasuk resusitasi kerusakan control.

Indikasi non operative management pada trauma abdomen dan prosedur follow
upnya

Pengelolaan non operatif (PNO) trauma tumpul abdomen

Awalnya, penanganan bedah merupakan terapi yang dipilih untuk sebagian besar
cedera tumpul abdomen, hal ini karena PNO berhubungan dengan angka kematian
yang tinggi, akan tetapi dilain pihak banyak laparotomi tidak diperlukan dan tidak
bersifat terapi. Dengan ketersediaan dan kualitas baik dari CT, dan adanya pilihan
intervensi yang modem dan kurang invasif, seperti angioembolisasi, PNO telah
menjadi pilihan terapi untuk pasien yang stabil. PNO terdiri dari pengawasan ketat
pasien yang disempumakan dengan angioembolisasi jika ditemukan adanya
perdarahan aktif yang bisa dilihat dari CT dengan kontras intravena. Pengawasan

23
pasien stabil termasuk evaluasi dan monitoring tanda vital, dengan tirah baring,
pengawasan rutin kadar hemoglobin dan pemeriksaan abdomen serial (Van der Vlies
2011). Pilihan PNO didasarkan fakta bahwa morbiditas dapat timbul bersama
laparotomi negatif ataupun yang non terapeutik seperti hernia insisional, pembentukan
abses, pneumonia, infeksi Iuka, kegagalan dan atau pengangkatan organ, pankreatitis,
perdarahan, kejadian tromboemboli dan ileus paralitik. PNO dengan atau tanpa
angioembolisasi dapat mempertahankan fungsi organ

24
Angioembolisasi terbukti sangat berguna dan meningkatkan angka
keberhasilan PNO hingga 95%. Embolisasi dilakukan pertama kali pada arteri
iliaka interna pasien dengan fraktur pelvis pada 1972, oleh Charles Theodore
Dotter. Sejak itu, peran radiologi intervensi dalam diagnosis dan terapi
perdarahan traumatik meningkat secara bermakna. Riset menunjukkan bahwa
angioembolisasi dapat ditoleransi dengan baik dan menjadi sarana efeküf untuk
terapi Üauma hepar, lien, dan ginjal. Menentulan pasien mana yang mendapat
keuntungan paling banyak dari angioembolisasi masih menjadi perdebatan.
Gambaran CT, seperti cedera derajat tinggi (AAST derajat 3-5), fistula
arteriovena atau pseudoaneurisma, ekstravasasi kontras di dalam lien, hepar
atau ginjal, adanya hemoperitoneum, pasien seperti usia di atas 55 tahun, dan
GCS < 8 dan pria, berkaitan dengan meningkatnya angka kegagalan PNO,
namun demikian angioembolisasi dapat dilakukan untuk memperbaiki angka
keberhasilan PNO pada pasien ini. (Van der Vlies 2011) Di bawah ini beberapa
pertimbangan penggunaan PNO pada cedera masing-masing organ.
1. Hepar
Hepar sering cedera setelah frauma tumpul abdomen. Dahulu
lesi pada hepar dikelola dengan pembedahan. Teknik yang digunakan
sepanjang waktu adalah ligasi arteri hepatika dan reseksi hepar dengan
flap omentum untuk tamponade. Perdarahan lanjut, infeksi, dan
mortalitas tinggi setelah terapi operatif mengundang penelitian terapi
alternatif, dan pada tahun 1990, PNO diperkenalkan sebagai terapi
untuk cedera hepar. Angka keberhasilan tinggi (hampir sekitar 90%)
dengan mortalitas serta komplikasi yang rendah, dibandingkan dengan
terapi bedah membuat PNO menjadi terapi pilihan untuk sebagian besar
cedera hepar.
PNO terdiri dari pengawasan, didukung dengan ERCP
(Endoscopic Retrograde Colangiopankreatografi) dengan pemasangan
stent, atau drainase dengan kolangiografi transhepatik perkutan jika
terjadi cedera duktus biliaris. Untuk perdarahan aktif, angioembolisasi
dapat dilakukan. Angioembolisasi dapat juga diterapkan untuk
mengendalikan perdarahan setelah operasi damage control dengan
packing perihepatik pada pasien yang tidak stabil.

25
Meskipun mortalitas menurun akibat angioembolisasi, beberapa
studi menggambarkan adanya peningkatan komplikasi berat namun
masih dapat ditangani seperti nekrosis hepar, abses, atau kebocoran
empedu. Iskemi kantung empedu, nekrosis parenkim hepar dan biloma
juga dapat timbul pasca angioembolisasi dan pada pasien dengan
cedera hepar derajat 4 dan 5 komplikasinya lebih tinggi. (Van der Vlies
2011)
2. Limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering terkena akibat
trauma tumpul abdomen, dan cedera limpa yang tidak diketahui adalah
penyebab terbesar kematian pasien frauma. Di awal abad 20,
splenektomi hampir selalu dilakukan bilamana ditemukan ruptur limpa
durante operatif. Pengelolaan invasif ini berdasarkan dua penemuan,
yaitu: kepercayaan bahwa limpa tidak dapat sembuh spontan dan
"waktu laten Baudet" yang merupakan kecenderungan limpa untuk
ruptur di tahap selanjutnya.
Perubahan pengelolaan ini terjadi pada tahun 1970 ketika data
tentang komplikasi setelah splenektomi diterbitkan dan menjelaskan risiko
infeksi post splenektomi yang lebih hebat (Overwhelming Post Splenectomy
Infection/OPSI) dengan mortalitas yang tinggi. Pada tahun 1995, Sclafani
melakukan angioembolisasi pertama yang berhasil pada pasien dengan
cedera limpa. Sejak 1990an, angioembolisasi telah sering digunakan untuk
menyelamatkan limpa. Perkembangan terbaru adalah embolisasi arteri
lienalis proksimal (Proximal Spleen Arterial Embolization/ PSAE) terutama
digunakan pada kasus dengan tempat perdarahan multipel dan meluas atau
ketika penanganan cepat diperlukan karena keadaan pasien. Argumen
mengenai embolisasi proksimal antara lain: kurangwa angka kegagalan,
kecepatannya, dan sedikitnya insiden abses limpa atau infark. PSAE tidak
mempengaruhi anatomi limpa atau fungsi kekebalan jangka panjang secara
bennakna. Kerugian PSAE adalah bilamana terjadi perdarahan ulang
embolisasi selektif sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin, karena cabang-
cabang arteri lienalis tidak dapat dijangkau. Iskemia pankreas (jika
embolisasi dilakukan proksimal terhadap arteri pankreatik mayor) dan
menyebabkan infark pada limpajuga pemah dilaporkan.

26
Embolisasi selektif, yang digunakan untuk menghentikan
perdarahan, telah terbukti berhasil dalam PNO. Teknik ini mencapai
hemostasis bagian yang terkena dan mempertahankan perfusi jaringan
limpa lainnya. Kerugiannya meliputi kemungkinan perdarahan di luar
cedera vaskuler yang tidak diketahui sehingga menyebabkan
vasospasme dan komplikasi minor seperti infark. Meskipun demikian,
akibat klinis dari infark ini masih dipertanyakan. Metanalisis baru-baru ini
menunjukkan bahwa teknik PSAE dan SAE memiliki angka kejadian
infark dan infeksi yang membutuhkan splenektomi yang sama. Untuk
perdarahan mayor berulang, alasan penyebab kegagalan SAE belum
dapat disimpulkan. (Van der Vlies 2011)
3. Ginjal
Ginjal terkena hampir pada 10% trauma, sementara trauma
tumpul merupakan penyebab pada 90% cedera pada ginjal. Perubahan
pengelolaan dari operatif menjadi non operatif untuk terapi cedera ginjal
terjadi sebagai akibat dari persepsi kritis. Peneliti menyadari bahwa
pasien yang mendapat laparotomi memiliki risiko lebih tinggi mengalami
nefrektomi daripada pasien yang tidak dirawat dengan prosedur
operasi; maka tampak bahwa perlindungan ginjal maksimal, dengan
komplikasi minimal, dapat lebih baik tercapai dengan PNO.
Pada 2004, Renal Trauma Committee dan, di tahun 2005,
European Association of Urology menyusun petunjuk untuk penilaian
optimal pasien dengan trauma urologi. Menrurut mereka, faktor penentu
keputusan penilaian adalah stabilitas hemodinamik. Ketidakstabilan
hemodinamik berkaitan dengan perdarahan ginjal, robekan ureter
komplit atau avulsi pelvis atau bocomya urin di kavum peritoneum
adalah indikasi laparotomi. Jika pasien stabil, pembedaan antara
hematuria masif atau mikroskopis menentukan apakah perlu pencifraan
lebih lanjut dan pilihan terapi apa yang diperlukan. Pada kasus
hematuria masif, IvDCT merupakan baku emas penilaian, sementara
hematuria mikroskopik tidak memerlukan pencitraan. Menyingkirkan
cedera lainnya juga penting dalam memulai PNO. Baru-baru ini, PNO
digunakan hampir pada 90% cedera ginjal, hal ini karena insiden cedera
ginjal minor sangat tinggi. Pengumpulan cairan perinefrik dan urinoma

27
dapat diterapi dengan drainase perkutan. Pasien dengan perdarahan
aktif yang dideteksi dengan VIDCT dapat diberikan angioembolisasi
arteri renalis, selanjutnya fungsi ginjal dapat dipertahankan dengan
rekanalisasi dan pemasangan stent bahkan hal ini bisa dilakukan pada
transeksi arteri renalis. (Van der Vlies 2011)

A. Pengelolaan non operatif trauma tembus abdomen


Pasien dengan trauma tembus abdomen tidak selalu mengalami peritonitis
sehingga dapat dikelola tanpa operasi. Sampai saat ini pengelolaan non operatif
masih diperdebatkan, terutama untuk trauma tembak. Oleh karena itu, Eastern
Association for the Surgepy ofTrauma Practice Management Guidelines
Committee menyusun petunjuk untuk menganalisa pasien trauma tembus yang
dapat diterapi tanpa laparotomi (Feliciano 2003).
Sampai abad ke 19, trauma tembus abdomen dikelola dengan tirah baring,
pembalutan luka, pengeluaran darah dan pemberian opium, dengan mortalitas
yang masih tinggi. Sejak Perang Dunia I, metode operasi menjadi standard
dałam pengelolaan luka tembus abdomen. Laparotomi selalu digunakan pada
trauma tembus abdomen untuk mendeteksi cedera lebih cepat dan akurat.
Namun ini menyebabkan peningkatan jumlah laparotomi yang tidak perlu
(negatif atau non terapeutik), lama rawat yang lebih lama, dan peningkatan
biaya rumah sakit. Selama ini dilaporkan bahwa insiden laparotomi yang
seharusnya tidak diperlukan berkisar antara 23 — 53% untuk pasien trauma
tusuk dan 5,3 — 27% untuk pasien trauma tembak. Komplikasi yang meliputi
obstruksi usus kecil, pneumothorax, ileus, infeksi luka, infark miokard, cedera
viseral, bahkan kematian telah terjadi pada 2.5 — 41% keseluruhan pasien.
Mengingat berbagai komplikasi yang ada, laparotomi rutin harus dihindarkan,
akan tetapi harus dipastikan tidak ada cedera yang terlewatkan sehingga
morbiditasnya justu melebihi morbiditas laparotomi yang tidak perlu. 7 Di bawah
ini merupakan beberapa jenis kondisi yang dipertimbangkan dałam pengelolaan
non operatiftrauma tembus.

28
1. Luka Tusuk
Shanan melaporkan 180 pasien dengan trauma abdomen sejak
1956 hingga 1958 dan 63% diantaranya mengalami trauma tembus. Di
antara pasien trauma tembus, 92% mengalami luka tusuk. Keputusan
operasi didasarkan pada : rangsang peritoneum yang ditandai dengan
nyeri, hilang atau menurunnya bising usus, defanse muskuler, atau
nyeri tekan lepas, sebagai tanda primer sementara tanda-tanda
sekunder antara lain hematemesis, perdarahan lewat rektum, atau
parasentesis abdomen positif. Pasien yang diterapi tanpa operasi tidak
meninggal ataupun sakit. Di sini disim ulkan bahwa dengan
pengambilan keputusan yang tepat, laparotomi dapat dihindari. [Como
2010]
Nance & Cohn (1969) yang disarikan oleh Como (2010) setelah
melakukan penelitian retrospektif dan prospektif dengan jumlah sampel
yang besar mendukung policy Shaftan tentang pengelolaan luka tusuk
abdomen. Dari penelitiannya dibandingkan laparotomi langsung jika
luka mungkin masuk kavum abdomen dengan melakukan operasi
berdasarkan klinis (tidak stabil, peritonitis dan eviserasi). Pada
laparatomi langsung hanya 33% pasien yang benar-benar
membutuhkan operasi. Dari 67% sisanya, 24% mengalami komplikasi
meliputi laserasi limpa (4 pasien), cedera usus kecil (3 pasien), laserasi
hepar (2 pasien), dan cedera kolon hingga fistel. Komplikasi lainnya
yaitu infeksi, eviserasi, dan abses intra abdomen. Kematian juga timbul
akibat septikemia pada satu pasien. Pada kelompok ekspektant
didapatkan 60% tidak memerlukan operasi tanpa komplikasi, 3 kasus
awalnya diobservasi namun karena kondisinya tidak membaik baru
dioperasi (dałam 24 jam) dengan hasil baik. Dari 48 kasus yang
dilaparatomi berdasarkan indikasi 12 (25%) merupakan operasi yang
tidak perlu. (Como 2010)

29
Data yang lebih baru dari Robin et al (1989) yang disarikan
Como (2010) mendapatkan dari 333 pasien luka tusuk abdomen bagian
anterior, 165 (49,5%) pada awalnya menunjukan tanda dan gejala yang
mendukung operasi segera dan ternyata 28 (16,7%) diantaranya
merupakan laparatomi negatif. Delapan belas pasien (10.7%) dari 168
kasus yang diobservasi menunjukan indikasi laparatomi dengan rata-
rata observasi 10.7 jam, dilakukan laparatomi dan 4 (22.2%) diantarnya
ternyata negatif. Seratus limapuluh (45%) pasien sisanya tidak
memerlukan operasi sampai dipulangkan. Disimpulkan bahwa cedera
serius pada abdomen akan mendeklarasikan sendiri penyakitnya untuk
laparatomi.
Bagaimana dengan luka tusuk pinggang dan punggung? Konsep
PNO telah diterapkan juga oleh Ocampo dkk (1987) yang disarikan
Como (2010). Dari 473 pasien luka tusuk pinggang atau punggung 370
pasien awalnya diobservasi dan 360 (97,3%) tidak memerlukan
laparatomi. Dari 103 yang dioperasi ternyata 6% laparatomi non
operatif. Sehingga secara keseluruhan didapatkan 76 % luka tusuk
pinggang dan punggung yang tidak memerlukan laparatomi. Penulis
memberikan catatan IVTP, eksplorasi luka dan lavase peritoneal jarang
diindikasikan dan pemeriksaan fisik saja cukup untuk pasien luka tusuk
pinggang dan punggung.

30
Konsep PNO untuk cedera tembus ginjal dilaporkan pada 1983
oleh Heyns yang menemukan bahwa 61% pasien dengan luka tusuk
dan hematuria mengalami pembedahan yang tidak perlu. Pada tahun
yang sama oleh Bernath dkk didapatkan 82% pasien trauma tusuk
dengan cedera ginjal tidak mengalami gejala sisa setelah pengelolaan
non operaff. Heyns dan Vollenhoven pada 1992 menyimpulkan bahwa
pasien dengan luka tusuk dan hematuria dikenai prosedur bedah
apabila menunjukkan tanda-tanda kehilangan banyak darah, laserasi
intraabdomen, atau abnormalitas pada urogam intravena. Komplikasi
terbanyak PNO pada pasien ini adalah perdarahan sekunder akibat
fistel arteriovena atau pseudoaneurisma, yang dapat diterapi dengan
angioembolisasi. Pada tahun 2006 Demetriades juga menemukan
bahwa 14.9% seluruh cedera tembus pada ginjal dapat dikelola tanpa
operasi dan 30.4% tidak mengalami cedera intraabdomen bermakna
lainnya.
2. Luka Tembak
Pada tahun 1960-an, trauma tembak abdomen harus
dieksplorasi secepat mungkin. Berbeda dengan luka tusuk, laparotomi
tetap harus dilakukan pada luka tembak. Namun dalam
perkembangannya banyak penelitian yang mendukung PON pada luka
tembak abdomen.
Penelitian McAlvanah dan Shaftan (1978) yang disarikan oleh
Como (2010) mendapatkan 221 luka tembak perut, 101 (45,7%)
berhasil diobati tanpa operasi, sementara yang 120 menjalani operasi
dengan 5 operasi yang sebenamya tidak diperlukan. Penelitian
retrospektif oleh Lowe dkk (1977) yang disarikan Como (2010) pada
362 luka tembak perut yang dilakukan laparatomi mendapatkan 30,1%
tidak ditemukan cedera yang membutuhkan laparatomi. Pada kasus
negatif tersebut kebanyakan tidak ditemukan tanda-tanda atau hanya
ada tanda-tanda abdomen minimal dengan luka tembak tangensial.
Sementara 259 kasus dengan penetasi rongga abdomen didapatkan
97.6% dengan cedera viscera yang membutuhkan perbaikan,
sementara kasus tanpa perlukaan yang membutuhkan perbaikan pada
48 kasus merupakan luka tembak tidak menembus peritoneum. Hal

31
senada dilaporkan Moore dkk (1980) yang juga disarikan Como (2010)
dari 162 luka tembak abdomen menembus peritoneum 156 (96%)
dengan kerusakan viscera abdomen, dan tidak ada luka viscera dari
luka yang hanya ekstra peritoneal dan ini terjadi pada luka tembak
tangensial. Kedua penulis memberikan rekomendasi yang sama yaitu:
laparatomi pada luka tembak yang menembus peritoneum.
Pada sebuah studi mengenai luka tembak di abdomen anterior
(daerah antara batas iga dan ligamen inguinalis dan antara kedua linea
aksilaris anterior) di tahun 1997, pasien yang stabil tanpa peritonitis dan
cedera kepala atau spinal diterapi tanpa prosedur operasi. Dari antara
pasien tersebut yang didapatkan data bahwa pemeriksaan fisik yang
negatif memiliki sensitivitas 97.1%. Begitu pula sensitivitas pemeriksaan
fisik dalam menentukan perlunya laparotomi adalah 100%.
Memang pengelolaan selektif pada frauma tembak dalam
keadaan pasien stabil tanpa peritonitis masih diperdebatkan.
Berdasarkan sejumlah studi kelas II, sebelum pasien diputuskan untuk
dikelola tanpa operasi, CT abdominopelvik menjadi sarana diagnosis
yang terbaik untuk pengambilan keputusan. Phillips dan rekannya di
tahun 1986 menyimpulkan bahwa CT enema dapat mengidentifikasi
cedera pada pasien dengan trauma tembus. Begitu pula, Meyer dan
rekannya menemukan CT dengan kontras oral dan intravena memiliki
sensitivitas 89% dan spesifisitas 98% serta akurasi 97% untuk evaluasi
luka tusuk pada punggung. Untuk pasien stabil dengan luka tembak di
abdomen, CT tripel heliks dengan kontras dapat mengurangi jumlah
laparotomi yang tidak perlu (akurasi 96%). Menurut Salim (2006) nilai
prediktif negatifCT scan adalah 100%. (Como JS 2010)
Bagaimana dengan penelitian prospektif? Demitriades dkk
(1997) yang disarikan Como JS (2010) melaporkan penelitian prospektif
pada 106 luka tembak perut bagian depan pasien stabil, tanpa tanda
peritonitis, tanpa cedera kepala berat atau cedera spinal dilakukan
observasi 14 (13.2%) menjalani laparatomi tertunda karena 13
kesakitannya meningkat dan 1 perdarahan berlanjut dan hanya 5
diantaranya merupakan laparatomi terapeutik, 4 diantaranya cedera
kolon, 1 kasus dengan cedera liver dan ginjal yang dioperasi karena

32
berkembang menjadi abdominal comparånent syndrome dalam
observasi 48 jam. Dari total 309 kasus mereka, 92 (29.8%) sukses
dikelola tanpa operasi (PNO). Untuk luka tembus punggung (bag
belakang) Velmahos dkk (1997-1998) yang disarikan Como (2010)
melaporkan observasi 130 pasien tanpa peritonitis dan kondisi stabil
dan hanya 4 (3%) yang menjalani laparatomi tertunda perkembangan
nyerinya, dan ternyata semuanya laratomi non terapeutik. Dari data
diatas didapatkan bahwa pemeriksaan klinis awal dalam mendeteksi
kerusakan bermakna organ intra abdominal pasca luka tembak dinding
belakang memberikan sensitivitas 100% dan specificitas 95%. Dan hasil
ini kurang lebih sama untuk luka tembak pantat dan luka tembak
transpelvic yang dilaporkan Oleh Velmahos dkk pada publikasi yang
Iain.
B. Pengawasan PNO

Pengawasan pada PNO meliputi perawatan di unit khusus, bed rest total,
monitor tanda vital, monitoring hemoglobin periodik dan pemeriksaan abdomen
secara serial. Pemeriksaan fisik abdomen untuk kasus PNO sebaiknya dilakukan
secara periodik oleh pemeriksa yang sama. (Vlies 2010). Untuk luka tembus
(tusuk atau tembak) sebagian besar pasien yang dikelola dengan PNO dapat
pulang setelah 24 jam pengawasan jika pemeriksaan abdomen dapat diandalkan
dan tidak terdapat nyeri tekan abdomen. Sejumlah pengamatan dan studi
membahas mengenai hal ini. Alzamel dan Cohn (2005) mendapatkan bahwa
pasien dengan trauma tusuk asimtomatis dapat dipulangkan setelah 12 jam
pengawasan. Velmahos (1997) menambahkan bahwa pasien boleh pulang jika
stabil dan sanggup makan secara normal. Dalam penelitiannya, dari observasi
1856 pasien luka tembak perut 80 pasien akhirnya memerlukan laparotomi
tertunda, hanya 1 pasien yang memerlukannya setelah pengawasan 24 jam.
(Como 2010) Untuk luka tumpul sangat individual. Bilamana terdapat kerusakan
organ pada CT abdomen, tetapi tidak memerlukan operasi maka perawatan bisa
menjadi lebih lama dibanding tanpa kerusakan organ, sehingga lama rawat PNO
untuk trauma tumpul tidak pernah dilaporkan , karena variasinya lebar (Vlies
2010)

33
Rekomendasi penanganan trauma abdomen
Trauma tembus dan trauma tumpul mempunyai karakteristik yang berbeda
pada kerusakan organ intra abdominal, sehingga mempunyai pola pengelolaan
berbeda. Keuntungan yang didapat dari pengelolaan non operatif (PNO)
mendorong makin diupayakan menekan terjadinya laparatomi negative atau
non-terapeutik baik pada trauma tembus maupun trauma tumpul. Untuk itu
rekomendasi penanganan trauma abdomen didasarkan atas hasil penelitian
terdahulu yang dimodifikasi berdasarkan kondisi di Indonesia atau
pernyataannya dimodifikasi agar lebih tegas. Dalam rekomendasi akan
diutarakan indikasi laparatomi pada trauma abdomen.
1. Luka tusuk tembus abdomen
Rekomendasi untuk laparatomi atau tidak laparatomi pada
trauma tembus:
a. Pasien hemodinamik tidak stabil atau nyeri tekan yang meluas
(tanda peritonitis) harus menjalani laparotomi segera
b. Pasien hemodinamik stabil dengan pemeriksaan fisik yang tidak bisa
dipercaya (contoh: cedera kepala berat, cedera medula spinalis,
intoksikasi, atau perlu anestesi dan sedasi) harus diperiksa lebih
lanjut apakah ada cedera inå•aperitoneal atau menjalani laparotomi
eksplorasi bilamana fasilitas tidak mendukung.
c. Luka tusuk dengan eviserasi, karena data pendukung belum cukup
serta masih adanya kontroversi hasil, maka saat ini masih
direkomendasikan laparatomi segera.
d. Luka tusuk disertai perdarahan per-rektal dan atau darah pada Pipa
nasogasü•ik menunjukkan adanya robekan gastrointestinal
merupakan indikasi operasi segera.
e. Laparotomi rutin tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan luka
tusuk tanpa tanda peritonitis atau nyeri tekan abdomen yang difus
(jauh dari tempat luka) pada pusat kesehatan yang tersedia ahli
bedah
f. Laparotomi rutin tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan luka
tembak jika luka tangensial dan tidak ada tanda rangsang peritoneal.

34
g. Pemeriksaan fisik serial dapat dipercaya dalam mendeteksi cedera
bennakna setelah trauma tembus abdomen jika dilakukan oleh klinisi
yang berpengalaman dan dilakukan Oleh tim yang sama.
h. Pada pasien yang diputuskan dikelola dengan NOM, CT
abdominopelvik perlu dipertimbangkan untuk membantu mengambil
keputusan
i. Pasien trauma tembus pada kuadran kanan atas abdomen dapat
dikelola tanpa laparotomi jika tanda vital stabil, pemeriksaan fisik
dapat dipercaya, dan nyeri tekan abdomen minimal atau tidak ada.
j. Kebanyakan pasien trauma tembus abdomen yang dapat dikelola
tanpa operasi dapat dipulangkan setelah observasi 24 jam bilamana
pemeriksaan abdomen yang bisa dipercaya tidak menunjukkan atau
minimal memberikan nyeri tekan perut.
k. Laparoskopi diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai sarana
diagnostik untuk menilai adanya penetrasi peritoneum dan laserasi
diafragma.
2. Trauma tumpul abdomen
Pasien dengan trauma tumpul abdomen sewaktu datang bisa
sudah menunjukkan tanda-tanda syok atau peritonitis atau kedua
tanda tersebut muncul setelah observasi atau bahkan tidak muncul
sama sekali sampai dipulangkan. Atas dasar hal tersebut dipakai
dasar untuk pentahapan pengelolaan.
Indikasi laparatomi darurat pada trauma tumpul abdomen saat
pasien datang
1. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan bukti
adanya perdarahan infraabdomen (DPL atau FAST positif)
2. Tanda-tanda peritonitis
Bilamana 2 tanda-tanda tersebut belum ditemukan maka
pasien masuk dalam observasi dan dilakukan
pemeriksaan- pemeriksaan pelengkap untuk mendeteksi
kerusakan organ.

35
Indikasi laparatomi setelah uji diagnostic
1. Ekstravasasi aktif dari pembuluh darah besar abdomen
atau hematoma di dekat pembuluh darah besar yang
menimbulkan kecurigaan adanya cedera
2. Cedera organ padat dengan ekstravasasi aktif yang gagal
dengan angio embolisasi
3. Cedera pancreas dengan robekan duktus pankreatikus
mayor
4. Cedera usus
5. Ruptur buli intraperitoneal
6. Cedera diafragma
Diluar problem diatas, pasien perlu masuk observasi
ketat, dan saat observasi bisa mendapatkan perubahan-
perubahan yang memerlukan operasi:
Indikasi laparatomi selama observasi di Rumah Sakit
1. Pasien dengan cedera organ padat (hati, limpa, pancreas)
yang dikelola tanpa operasi yang kemudian mengalami
ketidakstabilan hemodinamik atau memerlukan > 2 unit
transfusi PRC yang gagal dengan angio embolisasi atau
tidak ada fasilitas angio-embolisasi.
2. Timbulnya peritonitis
3. Kebocoran urin atau hematuria yang menetap dalam
observasi 48-72 jam dan pencitraan menunjukan
fragnentasi ginjal.
4. Pasien dengan penilaian awal negatif tapi tidak
menunjukkan perbaikan atau menunjukkan perburukan
klinis, tanpa dapat dijelaskan

36
C. ALGORITMA DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN PASIEN

Di bawah ini adalah algoritma diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan


trauma abdomen menurut American College of Surgeon (Feliciano 2003).

Trauma Tumpul

37
Luka Tembus

Ada beberapa poin penting yang perlu diingat dalam menjalankan algoritrna ini:

1. Dalam observasi harus dipastikan tidak ada penggunaan Obat atau alkohol,
kesadaran pasien dengan GCS minimal 13, tanpa cedera medulla spinalis,
tanpa cedera iga bawah, thorakolumbal, atau pelvis
2. Untuk USG harus dilihat apakah ada tamponade perikard
Jika dicurigai ada cedera diafragrna disarankan laparoskopi

38
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi dari akut abdomen sendiri adalah suatu keadaan klinik akibat
kegawatan di rongga abdomen biasanya timbul secara mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama yang memerlukan penanganan segera. Jenis trauma
abdomen ada trauma tumpuldan trauma tembus.
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium.
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak
disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh.
Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ.
Klasifikasi trauma pada dinding abdomen terdiri dari kontusio dinding
abdomen danlaserasi. Kemudian trauma pada abdomen juga dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu trauma penetrasi yang terdiri dari trauma tembak,
trauma tusuk dan juga trauma non penetrasi/trauma tumpul yakni akselerasi
dan deselerasi.
Trauma abdomen disebabkan oleh 2 hal yakni karena adanya
pukulan/paksaan dari kekerasan fisik, kecelakaan lalu lintas maupun benturan
dan karena adanya tusukan benda tajam atau luka tembak.
Manajemen Non Operatif pada trauma abdomen telah berkembang
seiring berjalannya waktu. Seperti halnya Cedera perut yang serius telah di
kelolah dengan laparotomy darurat. Namun mordibitas terkait dengan
laparotomy non terapeutik atau laparotomy tanpa cedera perut yang
diidentifikasi mengalami peningkatan, penggunaan manajemen selektif,
Manajemen Non Operatif(NOM) dalam pemantauan telah aktif dan sekarang
direkomendasikan untuk pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa tanda-
tanda peritonitis.
Selain itu, meningkatnya ketersediaan dan kemajuan dalam angiografi
dan embolisasi telah mengubah manajemen pasien trauma. Manajemen Non

39
Invasif (NOM) pada cedera organ padat serius juga telah ditingkatkan dengan
menggunakan resusitasi kerusakan-kontrol.
Kemudian dari hasil penelitian didapatkan data bahwa adanya penurunan dari
waktu kewaktu dalam proporsi pasien yang menjalani laparotomy, dan
peningkatan dalam proporsi pasien dengan embolisasi tetapi tidak ada
perubahan dalam proporsi pasien yang dikelolah tanpa intervensi. Hal ini
menunjukan bahwa prinsip-prinsip dari Manajemen non operatif (NOM) selektif
sedang dilaksanakan, dan sebagian telah dimungkinkan oleh peningkatan
dalam kasus yang telah dikelolah dengan embolisasi dan manajemen
pendukung yang lebih baik termasuk resusitasi kerusakan control.

40
DAFTAR PUSTAKA

Akkoca, M., Balas, S., Yilmaz, K. B., Tatar, I. G., Akinci, M., Tokgoz, S., Tamam, S., &
Karabacak, H. (2019). CT-guided tractography is a safe and complementary
diagnostic tool in the management of penetrating abdominal trauma. Asian
Journal of Surgery, 42(1), 148–154. https://doi.org/10.1016/j.asjsur.2018.05.007

Bouzat, P., Valdenaire, G., Gauss, T., Charbit, J., Arvieux, C., Balandraud, P., Bobbia,
X., David, J. S., Frandon, J., Garrigue, D., Long, J. A., Pottecher, J., Prunet, B.,
Simonnet, B., Tazarourte, K., Trésallet, C., Vaux, J., Viglino, D., Villoing, B., …
Weiss, E. (2020). Early management of severe abdominal trauma. Anaesthesia
Critical Care and Pain Medicine. https://doi.org/10.1016/j.accpm.2019.12.001

Ferrah, N., Cameron, P., Gabbe, B., Fitzgerald, M., Martin, K., & Beck, B. (2019).
Trends in the Nature and Management of Serious Abdominal Trauma. World
Journal of Surgery, 43(5), 1216–1225. https://doi.org/10.1007/s00268-018-04899-
4

Kaufman, E. J., Hatchimonji, J. S., Ma, L. W., Passman, J., & Holena, D. N. (2020).
Complications and Failure to Rescue After Abdominal Surgery for Trauma in
Obese Patients. Journal of Surgical Research, 251(June 2019), 211–219.
https://doi.org/10.1016/j.jss.2020.01.026

Shojaee, M., Sabzghabaei, A., & Heydari, A. (2020). Efficacy of new scoring system for
diagnosis of abdominal injury after blunt abdominal trauma in patients referred to
emergency department. Chinese Journal of Traumatology.
https://doi.org/10.1016/j.cjtee.2020.03.003

Zakaria, H. M., Oteem, A., Gaballa, N. K., Hegazy, O., Nada, A., Zakareya, T., Omar,
H., Abdelkawy, H., Abdeldayem, H., & Gad, E. H. (2020). Risk factors and
management of different types of biliary injuries in blunt abdominal trauma: Single-
center retrospective cohort study. Annals of Medicine and Surgery, 52(February),
36–43. https://doi.org/10.1016/j.amsu.2020.02.009

41

Anda mungkin juga menyukai