TRAUMA ABDOMEN
DISUSUN OLEH :
C01417106
KEPERAWATAN C 2017
Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjuduh “TRAUMA ABDOMEN” tepat pada waktunya tanpa ada halangan dan hambatan
apapun.
Saya menyadari penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi lebih sempurnanya hasil makalah ini. Saya
berharap makalah ini dapat beguna bagi semua pihak serta menjadi suatu yang berarti.
PENDAHULUAN
Penulis dapat memahami dan memberikan asuhan keperawatan perioperatif pada pasien pra,
intra dan post operasi dengan tindakan laparatomi atas indikasi trauma tumpul abdomen.
1.3.2 Melakukan pengkajian keperawatan pra, intra dan post operasi pada pasien dengan tindakan
laparatomi atas indikasi trauma tumpul abdomen.
1.3.3.Merumuskan diagnosa keperawatan pra, intra dan post operasi pada pasien.
1.3.6 Melakukan implementasi keperawatan pra, intra, dan post operasi pada pasien dengan tindakan
laparatomi atas indikasi trauma tumpul abdomen.
1.3.7 Mengvaluasi tindakan keperawatan pra, intra, dan post operasi pada pasien dengan tindakan
laparatomi atas indikasi trauma tumpul abdomen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Laparatomi
1. Pengertian laparatomi
Menurut Smeltzer (2013), laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu
insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen yang dapat di lakukan pada bedah digestif
dan obgyn. Laparatomi tidak lain adalah pembedahan mayor yang meliputi penyayatan lapisan
abdomen guna memperoleh organ abdomen yang bermasalah (hemoragi, perforasi, kanker, dan
obstruksi). Laparatomi sendiri tidak berhenti pada sekedar kasus bedah biasa, namun juga pada
banyak kasus seperti hernia inguinalis, kanker lambung, apendiksitis, perforasi, kanker colon dan
rectum, obstrusi usus, imflamasi usus kronis, peritonitis, kolestisitis (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2. Tujuan tindakan laparatomi
Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak
diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi
digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan
(Smeltzer, 2013).
3. Indikasi laparatomi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus &
Workman, 2010). Dibedakan atas 2 jenis yaitu:
a. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) yang disebabkan
oleh: luka tusuk, luka tembak.
b. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum) yang dapat
disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sit-
belt)
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga abdomen, yang
diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer dapat disebabkan oleh
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab
peritonitis tersier.
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi
usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma
dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.
Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa
perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup
kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), volvulus (usus besar
yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan
dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area
yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada dalam
dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding
usus).
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum.
Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya
merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi.
5. Tumor abdomen
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002). Trauma
adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat
(Brooker, 2010).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.
Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2011).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2011). Trauma abdomen merupakan luka pada isi
rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada
penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi.
Tusukan/tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)
dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan laparatomi (Muttaqin,
2014).
Prosedur pembedahan laparatomi yang melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke
cavitas abdomen dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel. Hilangnya seluruh atau
sebagian fungsi organ dan respon stress dari saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya kerusakan
integritas kulit, syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran gas, risiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut
(Muttaqin, 2014).
Menurut Smeltzer (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang dilakukan tindakan
laparatomi yaitu:
1. Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan ketidakmampuan
untuk mengekspresikan produk metabolisme. Manifestasi Klinis:
a. Pucat
c. Pernafasan cepat
6. Hemorrhagi
b. Hemoragi intermediari: beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ke
tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari pembuluh darah yang
tidak terikat.
c. Hemoragi sekunder: beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh
darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainage.
Manifestasi Klinis Hemorrhagi: Gelisah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-basahpucat, nadi
meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
8. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis
timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli
ke paru-paru, hati, dan otak.
10. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering
menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, mikroorganisme; gram positif. Buruknya integritas kulit
sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepitepiluka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada
dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional
yang hebat (Brooker, 2010). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa
kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2011).
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan.
Tusukan/tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (setbelt)
dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan laparatomi (Muttaqin,
2013). Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk. Trauma abdomen adalah
cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak
disengaja (Smeltzer, 2011).
Trauma tumpul diklasifikasikan kedalam 3 mekanisme utama, yaitub tenaga kompresi (Compression
or concussive forces, dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (Seat belt injury). Hal
yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular
pada organ padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada
organ berongga dan menyebabkan ruptur. Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung
didalam kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksaan,
dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdomial adalah penyebab utama
kematian dini pasca trauma (Sjamsuhidayat, 2010).
2. Etiologi
Menurut Hudak & Gallo (2001), kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya
banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi
yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir
mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan
yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka
tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Trauma
pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu:
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada
abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor,
cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari
50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada
abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
3. Manifestasi klinis Menurut Hudak & Gallo (2001), tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu:
Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang
luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
Mual dan muntah
Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan
tanda-tanda awal shock hemoragi
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic
4. Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen
yang serius, pasien akan memperlihatkan tandatanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah
merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi,
maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma
abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising
usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan
peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum
tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat
kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Mansjoer, 2012)
5. Konsep Asuhan Keperawatan perioperatif Keperawatan perioperatif tidak lepas dari salah satu ilmu
medis yaitu ilmu bedah. Menurut Muttaqin (2009), keperawatan perioperatif terdiri dari beberapa fase,
diantaranya pre, intra, dan post operatif. Berikut dijelaskan konsep asuhan keperawatan perioperatif
berdasarkan fase pre, intra, dan post operatif:
6. Pengkajian Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh. Pengkajian pasien pre, intra, dan post operatif meliputi:
a. Identitas pasien meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pekerjaan,
pendidikan, golongan darah, alamat, no registrasi, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnose
b. Ringkasan hasil anamsesa preoperatif Keluhan ketika pasien dirawat sampai dilakukan tindakan
sebelum operasi
e. Sistem integument, apakah pasien pucat, sianosis dan adakah penyakit kulit di area badan.
f. Sistem kardiovaskuler, apakah ada gangguan pada sisitem cardio, validasi apakah pasien
menderita penyakit jantung?, kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi, kebiasaan merokok,
minum alcohol, oedema, irama dan frekuensi jantung.
g. Sistem pernafasan, apakah pasien bernafas teratur dan batuk secara tibatiba di kamar operasi.
k. Validasi persiapan fisik pasien, apakah pasien puasa, lavement, kapter, perhiasan, make up,
scheren, pakaian pasien perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien alaergi terhadap obat?
7. Pengkajian fase intra operatif Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang
diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal
ditambah dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar yang perlu dikaji adalah:
a. Pengkajian mental, bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar/terjaga maka
sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan
agar pasien tidak cemas/takut menghadapi prosedur tersebut.
b. Pengkajian fisik, tanda-tanda vital (bila terjadi ketidaknormalan maka perawat harus
memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).
c. Transfusi dan infuse, monitor flabot sudah habis apa belum. d. Pengeluaran urin, normalnya
pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.
a. Status respirasi, meliputi: kebersihan jalan nafas, kedalaman pernafasaan, kecepatan dan sifat
pernafasan dan bunyi nafas.
b. Status sirkulatori, meliputi: nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit.
f. Keselamatan, meliputi: diperlukan penghalang samping tempat tidur, kabel panggil yang mudah
dijangkau dan alat pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
g. Perawatan, meliputi: cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran cairan. Sistem drainage:
bentuk kelancaran pipa, hubungan dengan alat penampung, sifat dan jumlah drainage.
h. Nyeri, meliputi: waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang memperberat/memperingan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan.
Tusukan/tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman
(setbelt) dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan laparatomi.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk. Trauma abdomen
adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang
disengaja atau tidak disengaja.
B. Saran
Diharapkan dapatmelakukan prosedur asuhan keperawatan perioperatif sesuai dengan
standar yang berlaku dalam tahap pegkajian, merumuskan masalah, sertamenentukan intervensi
pada pasien yang dilakukan tindakan pembedahan khususnya laparatomi atas indikasi trauma
tumpul abdomen, serta dapat memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien
mengenaiperawatan pasien pulang (seperti followup, perawatan luka, dan gayahidup sehat).
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Enita Dewi & Sri Rahayu. (2017). Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Sumber:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://journals. ums.ac.id/index.php/BIK/
Diakses pada tanggal 22 Januari 2020.
Hall, J.E. (2006). Guyton’s Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelpia: Elsevier.
Hudak & Gallo. (2001). Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. (2014). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta:
Salemba Medika. Muttaqin, A. & Sari, K. (2009). Asuhan Keperawatan Perioperatif: Konsep, Proses, dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Ningrum, T. & Isabela, C. (2016). Gambaran Karakteristik Pasien Wound Dehiscence Menurut Variabel
Rotterdam Di RSUD Kota Bandung. Sumber: http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk Diakses pada
tanggal 22 Januari 2020.
Nita Syamsiah. (2014). Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap Tingkat Nyeri Akut Pada Pasien
Abdominal Pain di IGD RSUD Karawang.
Sumber:https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://ejourna
l.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk/ Diakses pada tanggal 22 Januari 2020.