BEDAH MAYOR
Disusun oleh :
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.
Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi operasi dan ulkus peptikum perforasi
2. Untuk mengetahui etiologi operasi dan ulkus peptikum perforasi
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis operasi dan ulkus peptikum perforasi
4. Untuk mengetahui patofisiologi operasi dan ulkus peptikum perforasi
5. Untuk mengetahui proses pengkajian
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada dan ulkus peptikum perforasi
7. Untuk mengetahui algoritma dan manajemen masalah
8. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan sesuai prioritas
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dengan post operasi bedah mayor di Ruang
ICU?
10. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga terkait
masalah yang ada?
11. Untuk mengetahui discharge planning pada pasien kritis?
12. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kritis pada pasien post op laparatomi ulkus
peptikum perforasi
BAB II
PEMBAHASAN
1) DEFINISI
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan
membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akanditangani. Pembukaan tubuh ini
umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Pembedahan
merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi rumah sakit dengan prosedur
yang sudah ditetapkan.
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi mayor.
Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif, bertujuan untuk
memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki deformitas,
contohnya pencabutan gigi, pengangkatan kutil, kuretase, operasi katarak, dan
arthoskopi. Operasi mayor adalah operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi.
Tujuan dari operasi ini adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengangkat atau
memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan,
contohnya kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi, amputasi
dan operasi akibat trauma (Brunner & Sudarth 2001).
Istilah bedah minor (operasi kecil) juga dipakai untuk tindakan operasi ringan yang
biasanya dikerjakan dengan anestesi lokal, seperti mengangkat tumor jinak, kista pada
kulit, sirkumsisi, ekstraksi kuku, penanganan luka. Sedangkan bedah mayor adalah
tindakan bedah besar yang menggunakan anestesi umum/ general anestesi, yang
merupakan salah satu bentuk dari pembedahan yang sering dilakukan.
Menurut Potter dan Perry (2006) membagi jenis-jenis operas menjadi:
a) Menurut fungsinya (tujuannya
1) Diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi
2) Kuratif (ablatif): tumor, appendiktom
3) Reparatif: memperbaiki luka multiple
4) Rekonstruktif: mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif: menghilangkan nyeri,
6) Transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau
struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
2) ETIOLOGI
A. Etiologi Pembedahan
Prosedur bedah pada dasarnya terbagi dalam tiga kelompok besar, yang di dalamnya
masih akan terbagi lagi sesuai kategorinya. Berikut rinciannya.
1. Kelompok operasi berdasarkan tujuan
Tak hanya mengobati, bedah dilakukan juga untuk mencegah suatu kondisi
yang lebih buruk lagi. Misalnya, operasi pengangkatan polip usus yang bila tak
ditangani akan dapat tumbuh menjadi kanker.
c) Menghilangkan.
Jenis operasi ini ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh pasien
yang biasanya mengalami penyakit kronis stadium akhir.
2. Kelompok operasi berdasarkan tingkat risiko
Setiap operasi bedah pasti memiliki risiko, tetapi tingkat risikonya tentu berbeda-
beda. Berikut adalah pengelompokkan operasi berdasarkan tingkat risikonya:
a. Bedah mayor
Merupakan operasi yang dilakukan di bagian tubuh seperti kepala, dada, dan
perut. Salah satu contoh operasi ini adalah operasi cangkok organ, operasi tumor
otak, atau operasi jantung. Pasien yang menjalani operasi ini biasanya
membutuhkan waktu yang lama untuk kembali pulih.
b. Bedah minor
Kebalikan dari tindakan bedah mayor, operasi ini tidak membuat pasiennya
harus menunggu lama untuk pulih kembali. Bahkan dalam beberapa jenis
operasi, pasien diperbolehkan pulang pada hari yang sama. Contoh operasinya
seperti biopsi pada jaringan payudara.
3. Kelompok operasi berdasarkan teknik
Dalam lima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus
peptikim menderita infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian
mukosa duodenum oleh bakteri H. pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi
dapat berlangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan
pengobatan antibacterial.Lebih lanjut lagi, bakteri mampu melakukan penetrasi
sawar mukosa, baik dengan kemampuan fisiknya sendiri untuk menembus sawar
maupun dengan melepaskan enzim–enzim pencernaan yang mencairkan
sawar.Akibatnya, cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung
dapat berpenetrasi ke dalam jaringan epithelium dan mencernakan epitel, bahkan
juga jaringan – jaringan di sekitarnya.Keadaai ini menuju kepada kondisi ulkus
peptikum.
5. Inflamasi non-bakterial
Berdasarkan penelitian didalam keluarga ternyata bahwa tukak peptic ini ada
pengaruhnya dengan herediter.Terbukti bahwa dengan orang tua/famili yang
menderita tukak, jika dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh
sebab itu, family anamnesa perlu ditegakkan.
10. Berhubungan dengan penyakit lain.
a. Hernia diafrakmatika
3) MANIFESTASI KLINIS
A. Manifestasi Klinis Pembedahan
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Perdarahan :
1) Tekanan darah menurun
2) Meningkatnya denyut jantung dan pernafassan
3) Denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah
4) Eksternal : peningkatan drainase yang mengandungi darah pada balutan
atau melalui drain.
b. Hipoksia (capillary refill).
2. Sistem Pernafasan
a. Depresi pernafasan : pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah
b. Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding
dada, bunyi nafas abnormal dan membrane mukosa
3. Sistem Persyarafan
a. Tingkat kesadaran ( GCS ) : Coma
4. Sistem Traktus Urinarius
a. Retensi urine (pasme spinkter kandung kemih )
5. Sistem Gastrointestinal
a. Mual, muntah
b. Belum Flatus atau Defekasi
6. Luka Operasi
a. Infeksi : luka yang masih basah dan ada pengumpulan cairan (mungkin dapat
disebabkan beberapa factor adalah seperti diabetes mellitus, imunosupresi,
keganasan dan malnutrisi )
B. Manifestasi Klinis Ulkus Peptikum
Menurut Price (2006), gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari,
minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali,
sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala
ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi
yang mendahului. Berikut tanda dan gejala ulkus peptikum yaitu:
1. Nyeri
Biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau
sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa
nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat
menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain
menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme reflex local
yang mamulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan
makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali,
namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali
timbul. Nyeri tekan local yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan
tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah.
Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium.
2. Pirosis (nyeri ulu hati)
4) PATOFISIOLOGI
A. Patofisiologi Pembedahan
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan
membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan tubuh ini
umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan perubahan
faal, sebagai respon terhadap trauma. Gangguan faal tersebut meliputi tanda- tanda vital
serta organ-organ vital seperti sistem respirasi, sistem kardiovaskular, panca indera
(SSP), sistem urogenital, sistem pencernaan dan luka operasi.
1. Sistem Kardiovaskuer
Pasien mengalami komplikasi kardiovaskular akibat kehilangan darah secara
aktual dan potensial dari tempat pembedahan, balans cairan, efek samping anastesi,
ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme resulasi sirkulasi normal.
Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan darah terjadi secara
eksternal melalui drain atau insisi atau secara internal luka bedah. Pendarahan dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah: meningkatnya kecepatan denyut jantung dan
pernafasan (denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah). Apabila
pendarahan terjadi secara eksternal, memperhatikan adanya peningkatan drainase
yang mengandungi darah pada balutan atau melalui drain.
2. Sistem Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga perlu
waspada terhadap pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding
dada, bunyi nafas dan membrane mukosa dimonitor.
3. Sistem Persyarafan
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat kesadaran yang
berbeda. Oleh karena itu, seorang harus memonitor tingkat respon pasien dengan
berbagai cara. Misalnya dengan memonitor fungsi pendengaran atau penglihatan.
Apakah pasien dapat berespon dengan baik ketika diberi stimulus atau tidak sama
sekali. Ataupun juga dapat memonitor tingkat kesadaran dengan menentukan Skala
Koma Glasgow / Glasgow Coma Scale (GCS). GCS ini memberikan 3 bidang fungsi
neurologik: memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat
digunakan dalam mengevaluasi motorik pasien, verbal, dan respon membuka mata
4. Sistem Perkemihan
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus,
vagina, herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen bawah. Penyebabnya
adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.
5. Sistem Gastrointestinal
Setelah pembedahan, harus dipantau apakah pasien telah flatus atau belum.
Intervensi untuk mencegah komplikasi gastrointestinal akan mempercepat
kembalinya eleminasi normal dan asupan nutrisi. Pasien yang menjalani bedah pada
struktur gastrointestinal membutuhkan waktu beberapa hari agar diitnya kembali
normal. Peristaltik normal mungkin tidak akan terjadi dalam waktu 2-3 hari.
Sebaliknya pasien yang saluran gastrointestinalnya tidak dipengaruhi langsung oleh
pembedahan boleh mengkonsumsi makanan setelah pulih dari pengaruh anastesi,
tindakan tersebut dapat mempercepat kembalinya eliminasi secara normal.
6. Luka Operasi
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan meminimalisasi resiko infeksi
dengan menggunakan alat yang steril. Maka, kemungkinan luka tersebut untuk
terjadi infeksi adalah juga minimal. Namun, jika ada risiko diidentifikasi luka
tersebut bermasalah, seperti ada luka yang masih basah dan ada pengumpulan
cairan, maka hal tersebut mungkin dapat disebabkan beberapa faktor. Antaranya
adalah seperti diabetes mellitus, imunosupresi, keganasan dan malnutrisi, cara
penutupan luka, infeksi dan apa pun yang mungkin menyebabkan penekanan
berlebihan pada luka
B. Patofisiologi Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak dapat
menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidrochlorida dan pepsin).Erosi yang
terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan
dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa (Sylvia A. Price, 2006).
1. Peningkatan Konsentrasi atau Sekresi Lambung dan Kerja Asam Peptin
Menurut Price (2006), sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang serupa :
a. Sefalik
Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa
makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya
merangsang saraf vagal.Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan
menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung.Inilah yang menyebabkan makanan
sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum.Saat ini
banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek
signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus.Namun, aktivitas vagal
berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan.
b. Fase lambung
Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi
dan mekanis terhadap reseptor disbanding lambung.Refleks vagal menyebabkan
sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan.
c. Fase usus
Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormone (dianggap menjadi
gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia,
sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang
disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa.Mucus ini mengabsorpsi pepsin
dan melindungi mukosa terhadap asam.Asam hidroklorida disekresikan secara
kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang
dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan
tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan asam
hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida
kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar
kedalamnya dengan lambat.Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa
lambung.Barier ini adalah pertahanan utama lambung terhadap pencernaan yang
dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi
pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan
regenerasi epitel.
2. Kelemahan Barier Mukosa Lambung
Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang merusak mukosa
lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non-steroid lain, alcohol,
dan obat antiinflamasi masuk dalam kategori ini.Sindrom Zollinger-Ellison
(gastrinoma) dicurigai bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus
yang tidak sembuh dengan terapi medis standar. Sindrom ini diidentifikasi melalui
temuan berikut : hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma (tumor
sel istel) dalam pancreas. 90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai
kista dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan leher korpus
pancreas.Kira-kira dari gastrinoma adalah ganas (maligna). Diare dan stiatore (lemak
yang tidak diserap dalam feces) dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma
paratiroid koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan tanda
hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri epigastrik.
Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal
atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi
stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat
menimbulkan ulkus stress. Endoskopi fiberoptik dalam 24 jam setelah cedera
menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72 jam, erosi lambung multiple
terlihat. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi
sebaliknya.Pola ini khas pada ulserasi stress. Pendapat lain yang berbeda adalah
penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini
Menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung.Selain itu jumlah besar pepsin
dilepaskan.Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk
menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus
curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi pada
pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada esophagus, lambung, atau
duodenum, dan biasanya lebih dalam dan lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus
curling sering terlihat kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas (Sylvia A. Price, 2006).
A. Pathway Ulkus Peptikum
5) PENGKAJIAN
A. PENGKAJIAN FOKUS KEGAWATAN
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi.
Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
b. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
c. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
d. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
e. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
f. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
g. Penilaian kembali status mental pasien.
h. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
i. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
j. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
3. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension
pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bias
dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
6) PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Penunjang Menurut Pierce A Grace & Neil R Borley (2006) yang
dapat dilakukan adalah :
1. Ultrasonografi untuk massa apendiks
2. Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum
dilakukan apendiktomi pada wanita muda
3. Diagnosis berdasarkan klinis, namun sek darah putih (hampir selalu leukositosis)
4. CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin
Teknik manjeman nyeri pada pasien post operasi dengan Teknik Distraksi :
1. Pengalihan Visual :Pengalihan pada hal-hal lain sehingga lupa terhadap nyeri yang
sedang dirasakan, baik itu secara visual (menonton TV, membaca koran).
2. Distraksi pendengaran : mendengaran music, radio, ataupun berbincang-bincang
dengan orang lain.
3. Distraksi intelektual : mengisi TTS
4. Distraksi pernapasan cara : focus pada satu obyek, hirup nafas melalui hidung dalam
hitugan 1 – 4, keluarkan napas melalui mulut sambal berhitung 1 – 4 dalam hati, dan
bisa juga dilakukan pemijitan.
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (2011) yaitu:
a. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya
kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang
b. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga
c. Respon tubuh secara sistemik pada trauma
d. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka
e. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk
mempertahankan diri dari Mikroorganisme
f. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh
termasuk bakteri.
Latihan Fisik
Latihan napas dalam
Latihan batuk
Menggerakan otot-otot kaki
Menggerakkan otot-otot bokong
Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur.
Discharge Planning adalah suatu proses yang sistematis dalam pelayanan kesehatan
untuk membantu pasien dan keluarga dalam menetapkan kebutuhan,
mengimplementasikan serta mengkoordinasikan rencana perawatan yang akan dilakukan
setelah pasien pulang dari rumah sakit sehingga dapat meningkatkan atau
mempertahankan derajat kesehatannya (Zwicker & Picariello, 2003)
Selain manajemen asuhan kepeawatan, perawat juga harus memperhatikan kebutuhan
pasien terhadap pelaksanaan discharge planning dalam menjalankan pelayanan
keperawatan yang komprehensif terhadap pasien. Discharge planning dapat mengurangi
hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan, meningkatkan perkembangan kondisi
kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan pada keluarga (Naylor, 2012)
Pelaksanaan discharge planning yang tidak efektif akan menyebabkan tidak terjadi
kontinuitas perawatan ketika pasien di rumah. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya
perburukan kondisi pasien sehingga pasien kembali ke rumah sakit dengan penyakit yang
sama ataupun munculnya komplikasi penyakit yang lebih berat.
Adapun tujuan discharge planning menurut Spath (2003) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk pulang dan
beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
2. Mempersiapkan keluarga secara emosional dan psikologis terhadap perubahan
kondisi pasien.
3. Memberikan informasi pada pasien dan keluarga sesuai kebutuhan mereka baik
secara tertulis maupun secara verbal.
4. Memfasilitasi kelancaran perpindahan dan meyakinkan bahwa semua fasilitas
kesehatan dan lingkungan pasien telah siap menerima kondisi pasien.
5. Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga untuk meningkatkan derajat
kesehatan pasien.
6. Memberikan kontinuitas perawatan antara rumah sakit dengan lingkungan baru
pasien dengan menjalin komunikasi yang efektif.
Pendekatan yang digunakan pada discharge planning difokuskan pada 6 area penting dari
pemberian penkes yang dikenal dengan istilah ”METHOD” dan disesuaikan dengan
kebijakan masing-masing rumah sakit (Slevin, 1996).
M : Medication
Pasien diharapkan mengetahui tentang: nama obat, dosis yang harus di komsumsi,
waktu pemberiannya, tujuan penggunaan obat, efek obat, gejala yang mungkin
menyimpang dari efek obat dan hal-hal spesifik lain yang perlu dilaporkan.
E : Environment
Pasien akan dijamin tentang: instruksi yang adekuat mengenai ketrampilan
ketrampilan penting yang diperlukan di rumah, investigasi dan koreksi berbagai
bahaya di lingkungan rumah, support emosional yang adekuat, investigasi sumber-
sumber dukungan ekonomi, investigasi transportasi yang akan digunakan klien
T : Treatment
Pasien dan keluarga dapat: mengetahui tujuan perawatan yang akan dilanjutkan di
rumah, serta mampu mendemonstrasikan cara perawatan secara benar.
H : Health
Pasien akan dapat: mendeskripsikan bagaimana penyakitnya atau kondisinya yang
terkait dengan fungsi tubuh, mendeskripsikan makna-makna penting untuk
memelihara derajat kesehatan, atau mencapai derajat kesehatan yang lebih tingg.i
O : Outpatient Referral
Pasien dapat: mengetahui waktu dan tempat untuk kontrol kesehatan, mengetahui
dimana dan siapa yang dapat dihubungi untuk membantu perawatan dan
pengobatannya. D : Diet Pasien diharapkan mampu: mendeskripsikan tujuan
pemberian diet, merencanakan jenis-jenis menu yang sesuai dengan dietnya
Tn.R (53 tahun) dirawat di ICU dengan diagnose medis Post op laparatomi, ulkus
peptikum perforasi. Riwayat masuk RS: Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri
perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu. BAB hanya sedikit sekitar 2 hari sebelum
masuk RS. Keluarga mengatakan pasien mual, munta setiap kali makan. Pasien
memiliki riwayat hipertensi.
GCS : E4M6VETT, tingkat kesadaran Composmentis.
TTV : TD: 141/60 mmHg, HR: 90x/menit, Suhu: 37,5oC, RR: 20x/menit on ventilator
dengan mode SIMV(VC+PS), FiO2 80%, PEEP 5, I:E rasio 1: 2.
Hasil pemeriksaan Hematologis :
Ureum : 90 mg/dL
Kreatinin : 1,86 mg/dL
Natrium : 146 mmol/L
Kalium : 4,10mmol/L
Clorida 107 mmol/L
Hasil AGD :
PH : 7,48
PCO2 : 34 mmHg
HCO3: 25,6mmol/L
PO2: 187,4 mmHg
SpO2 : 99,5%
Pasien mendapatkan terapi : Amikasin 1x1 gr, Metronidazol 3x500 mg, IVFD Asering+
tramadol 500 cc+ 100 mg/jam.
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Alamat : Jl. Sawangan, Depok
Suku/ Bangsa : Betawi
Tanggal Masuk RS : 28-09-2020
Tanggal Pengkajian : 28-09-2020
No Rekam Medis : 15137779
Diagnosa Medis : Post op laparatomi, ulkus peptikum perforasi
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. A
Umur : 29 tahun
Hub. Dengan Pasien : Anak
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu, BAB hanya sedikit sekitar 2
hari sebelum masuk
b. Riwayat penyakit sekarang
i. Riwayat saat masuk RS
nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu. BAB hanya sedikit
sekitar 2 hari sebelum masuk RS. Keluarga mengatakan pasien mual,
munta setiap kali makan.
ii. Riwayat kesehatan sekarang
Tn. R dibawa ke rumah sakit dengan tingkat kesadaran compos mentis
dengan TD: 141/60 mmHg, HR: 90x/menit, Suhu: 37,5oC, RR: 20x/menit.
c. Keluhan penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi
d. Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : kesadaran compos mentis
b. Tanda-tanda Vital
i. Tekanan Darah
Sistolik : 141 mmHg
Diastolik : 60 mmHg
Map : 87 mmHg
Heart Rate : 90 ×/menit
Respirasi : 20 ×/menit
ii. Suhu : 37,5°C
iii. Nilai CPOT : (diisi kalau ada keluhan nyeri dengan pasien terintubasi)
3) Sistem Kardiovaskuler
Inspeks dada: bentuk simetris, kembang kempih dada normal seiring napas pasien
4) Sistem Pencernaan
Post Laparotomi, Peptikum Perforasi
keluhan nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu.
mual, munta setiap kali makan.
5) Sistem Perkemihan
Kebersihan terjaga, terpasang dower cateter dan tidak ada infeksi
Balance Cairan : Input-Output = 970-575 = 395
6) Sistem Neurologis
Tingkat kesadaran: Composmentis
GCS: E4M6V ETT
Refleks: +
7) Sistem Muskuloskeletal
Ekstremitas Superior: Deformitas (-), clubbing finger (-), pucat (-), akral sianosis (-), akral hangat (+), CRT
<2”, palmar eritema (-)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), , pucat (-), akral sianosis (-), akral hangat (+)
8) Sistem Integumen
Kulit
Inspeksi
1. Warna : Sawo matang
2. Turgor kulit : Jelek
3. Kelembaban : (+)
4. Lesi : (-)
5. Suhu : 36.5-37 ˚C
Kuku
1. Bentuk : normal
2. Warna kuku : normal
3. CRT : >2 detik
Palpasi
Menekan kuku dengan ibu jari : nyeri (-)
4. Aspek Psikologis
Penyakit yang dialami klien, membuatnya tidak bisa beraktivitas seperti biasa.
5. Aspek Sosial
Klien mampu berhubungan baik dengan masyarakat
6. Asek Spiritual
Klien beragama Islam dan selalu berusaha menjalankan ibadahnya Sebelum sakit klien cukup aktif di kegiatan
kerohanian.
7. Data Penunjang
Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri, dll)
B. Analisa Data
No Tanggal Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. 28-09- DO: Ketidakseimbangan Gangguan pertukaran
2020 PH : 7,48 perfusi ventilasi gas
PCO2 : 34 mmHg
HCO3: 25,6mmol/L
PO2: 187,4 mmHg
SpO2 : 99,5%
2. 28-09- DO: Gangguan Risiko perdarahan
2020 Pasien post op laparatomi gastrointestinal (ulkus
ulkus peptikum peroforasi peptikum perforasi)
Kadar ureum 90 mg/dL insisi pembedahan
Kreatinin : 1,86 mg/dL laparatomi
3. 28-09- DO: Agen cidera fisik Nyeri akut
2020 ● Hasil skor CPOT : 5 ( insisi pembedahan)
● Wajah pasien meringis
kesakitan serta reflek
melindungi perut. Tubuh
pasien tegang dan kaku
menahan sakit yang
dirasa.
4. 28-09- DO: Insisi pembedahan Risiko infeksi
2020 ● Pasien post op laparatomi laparatomi
ulkus peptikum peroforasi
● Terdapat luka insisi
laparatomi ± 7cm pada
abdomen
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi
2. Risiko perdarahan b/d gangguan gastrointestinal (ulkus peptikum perforasi)
3. Nyeri akut b/d agen cidera fisik (insisi pembedahan)
4. Risiko infeksi b/d adanya insisi pembedahan laparatomi
A. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi (NIC)
. Keperawatan (NOC)
1 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Monitor Pernafasan (3350)
pertukaran gas b/d keperawatan selama 3 x 24 1. Monitor kecepatan, irama
ketidakseimbangan jam, diharapkan gangguan , kedalaman dan
pertukaran gas pasien dapat kesulitan bernafas
perfusi ventilasi
teratasi dengan kriteria 2. Monitor pola napas
hasil: 3. Monitor suara nafas
Status Pernafasan: 4. Auskultasi bunyi napas
Pertukaran Gas untuk mengetahui adanya
Tekanan PO2 di suara napas tambahan
darah arteri berada di 5. Monitor nilai analisa gas
kisaran normal darah (AGD)
Tekanan PCO2 di
darah arteri berada di
kisaran normal
pH arteri berada di
kisaran normal
2 Risiko perdarahan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Perdarahan
keperawatan selama 3 x 24 (4010)
jam, diharapkan risiko 1. Monitor dengan ketat
perdarahan pasien dapat risiko terjadinya
teratasi dengan kriteria hasil perdarahan pada pasien
2. Ukur lingkar perut
:
3. Dokumentasikan warna,
Status sirkulasi jumlah, dan karakteristik
Tekanan darah dalam feses
batas normal 4. Monitor status cairan
Tidak ada termasuk intake dan
hematemesis output
Tidak ada distensi 5. Tes semua seskresi
abdomen terhadap adanya darah
Kadar dan perhatikan adanya
BUN/keratinin dalam darah dalam muntahan,
batas normal sputum, feses, urin,
drainase NGT, jika
diperlukan
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC
Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
A Potter, & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit.
Jakrata : EGC
Morton, P. G., Dorrie, K. F. (2013). Critical care nursing: a holistic approach. Tenth
Edition. Wolters Kluwer Health: Philadelphia