Disusun Oleh :
Muhamad Panji Asmoro 1710711015
Desiana Rachmawati 1710711038
Nur Aulia Fikri 1710711039
Rifah Miladdina 1710711040
Lies Rahmayanti 1710711041
Parida Pebruanti 1710711042
Diah Ayu Triambarwati 1710711043
A. Latar Belakang
Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada
ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi hematoma,
abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam
rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan tekanan
intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman
peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion. Di
Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan, periode
September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13
kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan. Insiden tumor
otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada usia 30-70 dengan
pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas , maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi SOL
2. Mengetahui penyebab SOL
3. Mengetahui tanda dan gejala SOL
4. Mengetahui komplikasi SOL
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik SOL
6. Mengetahui manajemen pengobatan pada klien dengan SOL
7. Mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis pada klien dengan SOL
BAB II
PEMBAHASAN
B. Prevalensi SOL
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi SOL (Space Occupying Lesion) di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun
2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2017.
Kasus SOL paling banyak terjadi pada pasien tumor, yaitu sebesar 89%,
sisanya diakibatkan oleh lesi non neoplasma sebesar 11%. Laki-laki secara
epidemiologi sedikit lebih banyak menderita SOL dibanding perempuan.
Di Pakistan sekitar 1.5% dari seluruh kasus SOL terjadi pada anak-anak
berumur < 12 tahun. Insidensinya meningkat seiring dengan penambahan umur.
Sementara di India, kasus SOL pada anak-anak < 12 tahun di dapatkan sebanyak
17.4%. Di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi SOL, khususnya pada anak.
Namun kejadian tumor intracranial pada anak insidensinya cukup tinggi, yaitu sebesar
2,4 per 100.000 anak. Tumor Intrakranial juga merupakan kanker kedua terbanyak
pada anak setelah leukemia. Tingginya insiden tumor intracranial ini dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya SOL pada anak.
1. Tumor Otak
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan
dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh
hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma,
dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur
tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk
metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik
progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan
oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan
intrakranial (Price, 2005).
2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam
os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural. Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala
neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal.
Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal
demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi
oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya
ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut
akibat robekan membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya
sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan
mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematom
subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma
subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik, tidak
terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan
progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi,
berkurangnya perhatian dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Price, 2005).
D. Etiologi
Tanda dan gejala peningkatan TIK :
1. Sakit kepala
2. Muntah
3. Papiledema (pembengkakan di daerah saraf mata)
E. Patofisiologi
Space Occupying Lesion dapat berupa berupa tumor, hematoma, dan abses.
Jaringan otak akan mengalami nekrosis sehingga menyebabkan gangguan neurologik
progresif. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh tumor dan
tekanan intrakranial. Gangguan vocal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi / inovasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan
neuron. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat
dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan
dengan kompersi invasi dan perubahan suplai darah kejaringan otak.
Peningkatan intrakranial dapat diakibatakan oleh beberapa factor :
bertambahnya masa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan
perubahan sirkulasi serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor
akan mengambilkan ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan odem dalam jaringan otak. Mekanisme belum sepenuhnya dipahami
namun diduga disebabkan selisih osmotik yang menyebabkan pendarahan. Obstruksi
vena oedema yang disebabkan kerusakan sawar darah otak semuanya menimbulkan
kenaikan volume inntrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinal dari vantrikel
laseral keruang sub arakhnoid menimbulkan hidrosephalus.
Peningkatan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi secara cepat
akibat salah satu penyebab yang telah dibicaraknan sebelumnya. Mekanisme
kompensasi memerlukan waktu berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan
oleh karena itu tidak berguna bila apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah intrakranial,
volume cairan cerborspinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel
parenkim.
Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi ulkus/
serebulum.herniasi timbul bila girus medalis lobus temporalis bergeser keinterior
melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemister otak. Herniasi menekan
ensefalon menyebabkan kehilangan kesadaran dan menekan saraf ke tiga. Pada
herniasi serebulum tonsil sebelum bergeser kebawah melalui foramen magnum oleh
suatu massa poterior, ( Suddart, Brunner. 2001 ).
Pathway SOL (Space Occupying Lesion)
Papil edema
Dx Nyeri akut Herniasi otak
Penurunan suplai
O2 ke otak
Kompresi medulla
oblongata
Hipoksia jaringan
serebral
Respirasi
Bradikardi, Muntah
irreguler,
hipertensi
gagal napas
Dx :
Dx Pola napas ketidakseimbangan
tidak efektif nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh
G. Algoritma Space Occupying Lesion (SOL)
NO YES
Radioterapi &
Radioterapi & Ventrikulo Kemoterapi
Dekompresi
Kemoterapi Caval Shunt
TIK ↓
2. Gangguan kognitif
Pada tumor otak akan menyebabkan fungsi otak akan mengalami gangguan
sehingga dampaknya kemampuan berfikir, memberikan rasional, termasuk proses
mengingat, menilai, oorientasi persepsi dan memerhatikan juga akan menurun.
4. Disfungsi seksual
a) Pada wanita mempunyai kelenjar hipofisis yang mensekresi kuantitas
prolaktin yang berlebihan dengan menimbulkan ammenurea atau galaktorea
b) Pada pria dengan prolaktinoma dapat muncul dengan impotensi dan
hipogonadisme. Gejala pada seksualitas biasanya berdampak pada hubungan
dan perubahan tingkat kepuasan.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor, dan
meluasnya edema serebral sekunder serta memberi informasi tentang sistem vaskuler.
2. MRI
Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam batang otak dan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan CT
Scan
3. Biopsi stereotaktik
Dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar
pengobatan serta informasi prognosi
4. Angiografi
Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor
5. Elektroensefalografi (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat
memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
H. Manajemen pengobatan
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan kearah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor.Pasien dengan
kemungkinan tumor otak harus di evaluasi dan di obati dengan segera bila memungkinkan
sebelum kerusakan neurologis tidak dapat di ubah.Tujuannya adalah mengangkat dan
memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa meningkatkan penurunan
neurologic (paralisis, kebutaan) atau tercapainya gejala-gejala dengan mengangkat
sebagian (dekompresi). MenurutSmeltzer, 2013 penatalaksanaan SOL ada tiga yaitu:
2. Pendekatan kemoterapi
Untuk menolong pasien terhadap adanya keracunan sumsum tulang sebagai
akibat dosis tinggi radiasi.Kemoterapi digunakan pada jenis tumor otak tertentu saja.
Hal ini bisa digunakan pada klien:
a) Segera setelah pembedahan/tumor reduction kombinasi dengan terapi radiasi.
b) Setelah tumor recurance.
3. Stereotaktik
Stereotaktik merupakan elektroda dan kanula di masukkan hingga titik tertentu
di dalam otak dengan tujuan melakukan pengamatan fisiologis atau untuk
menghancurkan jaringan pada penyakit seperti paralisis agitans, multiple sclerosis dan
epilepsy. Pemeriksaan untuk mengetahui lokasi tumor dengan sinar X, CT, sedangkan
untuk menghasilkan dosis tinggi pada radiasi tumor sambil meminimalkan pengaruh
pada jaringan otak di sekitarnya dilakukan pemeriksaan radiosotop (III) dengan cara
ditempelkan langsung ke dalam tumor.
Pendidikan kesehatan terkait SOL yang dapat diberikan untuk pasien dan keluarga,
sebagai berikut:
J. Asuhan Keperawatan
Ny.S (47 tahun) dirawat di Ruang ICU dengan diagnosa medis Post op. Sellar
meningioma, Post Craniotomi. Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor
otak. riwayat saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan gangguan
lapang pandang.
Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP: 120 mmHg, HR: 95x/menit, Suhu:
o
36,4 C, RR: 32x/menit on ventilator dengan mode SIMV +PS, PEEP: 5, Peak airway
Pressure : 6-10, FiO2: 50%. Hasil pengkajian : Diameter pupil : 3mm/3mm, Refleks pupil :
+/-. GCS : E4M6VETT. CVP : 10,5 cmH2O.
Hasil pemeriksaan Hematologis :
Hb : 12,6 g/dl
Hematokrit : 36%
Leukosit : 20,8 x103/Ul
Trombosit : 212 x103/uL
Eritrosit : 4,12 x106/uL
GDS : 120 mg/dl
SGOT: 12 U/L
SGPT: 9U/L
Ureum : 18 mg/dL
Kreatinin : 1,0 mg/dL
Albumin : 3,7 g/dl
Hasil AGD :
PH : 7,60
PCO2 : 20,7 mmHg
HCO3: 20,3 mmol/L
PO2: 190,2 mmHg
SpO2 :99,7 %
Hasil CT-brain : Sellar Meningioma Han I, rontgen : Cord an pulmo tak tampak
kelainan.
Pasien mendapatkan terapi : Ceftriaxone 2x2 gr, Ketorolac 3x30 mg, Dexametason
3x4mg, Manitol 4x125 cc, Omeprazol 2x40 mg, Vit K 3x10 mg, Tranexamat 3x500
mg, Citicollin 2x500 mg, Fenitoin 3x100 mg, Ondansentron 4 mg.
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Tipar Cakung, N0.21 RT 007 RW 005 , Jakarta
Utara
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Masuk RS : 05-10-2020
Tanggal Pengkajian : 05-10-2020
No. Rekam Medis : 222426
Diagnosa Medis : Post op. Sellar meningioma, Post Craniotomi.
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. R
Umur : 25 tahun
Hub. Dengan Pasien : Anak
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama : Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor
otak. riwayat saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan
gangguan lapang pandang.
Riwayat penyakit sekarang : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan
gangguan lapang pandang.
Riwayat kesehatan sekarang: Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP:
120 mmHg, HR: 95x/menit, Suhu: 36,4oC, RR: 32x/menit on ventilator dengan
mode SIMV +PS, PEEP: 5, Peak airway Pressure : 6-10, FiO2: 50%.
Riwayat penyakit dahulu: -
Riwayat penyakit keluarga: -
3. Primer Survey
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Delirium
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Aspek Sosial
Pasien merupakan pribadi yang jarang bertetangga, pasien juga tidak aktif
dalam kegiatan masyarakat
Aspek Spiritual
Pasien beragama Islam dan sering beribadah ke masjid
5. Data Penunjang
6. Penatalaksanaan Medis
Ventilator : ON
Mode : SIMV
Triger :-
FiO2 : 50%
PEEP : 6-10
RR : 32x/menit
Obat-obatan
Analisa Data
No Analisa Data Masalah Etiologi
.
1. DS : Nyeri Akut Agen cedera fisik,
Peningkatan TIK
Keluarga mengatakan pasien
sering mengeluh sakit kepala
berat
DO :
Nilai CPOT: 6
Pasien tampak meringis
kesakitan
Pasien tampak gelisah
Pasien tampak mual dan
muntah
TD = 160/100 mmHg
MAP = 120 mmHg
CT-brain : Sellar Meningioma
Han I
Lapang pandang pasien
tampak kabur
2. DS : Hambatan Ketidakseimbangan
pertukaran gas ventilasi-perfusi
Keluarga mengatakan pasien
sering mengeluh sesak
DO :
RR = 32 x/menit
HR = 110 x/menit
PH: 7,60
PCO2: 20,7 mmHg
HCO3: 20,3 mmol/L
PO2: 190,2 mmHg
GCS : E4M6VETT
Pasien tampak sesak
Pasien tampak gelisah
Pasien tampak sianosis
Keadaan umum somnolen
Pola pernapasan :
Irama tidak teratur
Kedalaman tidak teratur
Adanya pergerakan dinding
dada
INTERVENSI
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian ceftriaxon
Daftar pustaka:
EGC. Jakarta
Doenges M.E, Moorhouse M.F & Geissler A.C (2009). Rencana Asuhan
KeperawatanPedoman