Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA KLIEN

DENGAN SOL (SPACE OCCUPYING LESION)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu : Ns. Diah Tika Anggraeni, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :
Muhamad Panji Asmoro 1710711015
Desiana Rachmawati 1710711038
Nur Aulia Fikri 1710711039
Rifah Miladdina 1710711040
Lies Rahmayanti 1710711041
Parida Pebruanti 1710711042
Diah Ayu Triambarwati 1710711043

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada
ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi hematoma,
abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam
rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan tekanan
intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman
peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion. Di
Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan, periode
September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13
kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan. Insiden tumor
otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada usia 30-70 dengan
pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan SOL?


2. Apa saja penyebab SOL?
3. Apa saja tanda dan gejala SOL ?
4. Apa saja komplikasi SOL?
5. Apa saja pemeriksaan diagnostik SOL?
6. Bagaimana manajemen pengobatan pada klien dengan SOL?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Kritis pada klien dengan SOL ?

A. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas , maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi SOL
2. Mengetahui penyebab SOL
3. Mengetahui tanda dan gejala SOL
4. Mengetahui komplikasi SOL
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik SOL
6. Mengetahui manajemen pengobatan pada klien dengan SOL
7. Mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis pada klien dengan SOL
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian SOL (Space Occupying Lesion)


SOL (Space Occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah mengenai
adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak. SOL Intrakranial
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
hematoma atau malformasi vaskular yang terletak di dalam rongga tengkorak (Nundy
& Nundy, 2016). Terdapat beberapa penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada
otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor pada
intracranial (Smeltzer & Bare, 2013).
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak / ganas yang
tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Tumor otak merupakan salah satu tumor
susunan saraf pusat, baik ganas maupun tidak. Tumor ganas disusunan saraf pusat
adalah semua proses neoplastik yang terdapat dalam intracranial atau dalam kanalis
spinalis, yang mempunyai sebagian atau seluruh sifat-sifat proses ganas spesifik
seperti yang berasal dari sel-selsaraf di meaningen otak, termasuk juga tumor yang
berasal dari sel penunjang (Neuroglia), sel epitel pembuluh darah dan selaput otak.
(Fransisca, 2008: 84).
Kranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka
lesi-lesi ini akan meningkatkan tekanan intracranial. Suatu lesi yang meluas pertama
kali dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga cranium. Akhirnya
vena mengalami kompresi, dangan gangguan sirkulasi darah otak dan cairan
serebrospinal mulai timbul dan tekanan intracranial mulai naik. Kongesti venosa
menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi cairan serebrospinal dan
meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti diatas.

B. Prevalensi SOL
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi SOL (Space Occupying Lesion) di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun
2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2017.
Kasus SOL paling banyak terjadi pada pasien tumor, yaitu sebesar 89%,
sisanya diakibatkan oleh lesi non neoplasma sebesar 11%. Laki-laki secara
epidemiologi sedikit lebih banyak menderita SOL dibanding perempuan.
Di Pakistan sekitar 1.5% dari seluruh kasus SOL terjadi pada anak-anak
berumur < 12 tahun. Insidensinya meningkat seiring dengan penambahan umur.
Sementara di India, kasus SOL pada anak-anak < 12 tahun di dapatkan sebanyak
17.4%. Di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi SOL, khususnya pada anak.
Namun kejadian tumor intracranial pada anak insidensinya cukup tinggi, yaitu sebesar
2,4 per 100.000 anak. Tumor Intrakranial juga merupakan kanker kedua terbanyak
pada anak setelah leukemia. Tingginya insiden tumor intracranial ini dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya SOL pada anak.

C. Klasifikasi / Jenis SOL

1. Tumor Otak
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan
dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh
hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma,
dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur
tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk
metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik
progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan
oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan
intrakranial (Price, 2005).

2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam
os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural. Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala
neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal.
Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal
demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi
oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya
ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut
akibat robekan membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya
sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan
mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematom
subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma
subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik, tidak
terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan
progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi,
berkurangnya perhatian dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Price, 2005).

D. Etiologi
Tanda dan gejala peningkatan TIK :
1. Sakit kepala
2. Muntah
3. Papiledema (pembengkakan di daerah saraf mata)

Gejala terlokalisasi ( spesifik sesuai dengan daereh otak yang terkena ) :


1. Tumor korteks motorik
Menimbulkan gerakan seperti kejang kejang yang terletak pada satu sisi tubuh
(kejang jacksonian)
2. Tumor lobus oksipital
Hemianopsia homonimus kontralateral (hilang penglihatan pada setengah
lapang pandang, pada sisi yang berlawanan dengan tumor) dan halusinasi
penglihatan.
3. Tumor serebelum
Pusing, ataksia (kehilangan keseimbangan/berjalan sempoyongan dengan
kecenderungan jatuh, otot tidak terkoordinasi) dan nistagtius (gerakan mata
berirama dan tidak disengaja).
4. Tumor lobus frontal
Sering menyebabkan gangguan kepribadian, perubahan status emosional dan
tingkah laku, disintegrasi perilaku mental, pasien sering menjadi ekstrim yang
tidak teratur dan kurang merawat diri.
5. Tumor sudut serebelopontin
Gejala yang timbul yaitu tinitus dan kelihatan vertigo, terjadinya tuli
(gangguan saraf kranial kedelapan); kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan
lidah (saraf kelima), kelemahan atau paralisis (saraf kranial ketujuh);
abnormalitas fungsi motorik.
6. Tumor intracranial
Bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi, gangguan bicara dan
gangguan gaya berjalan terutama pada lansia.

E. Patofisiologi
Space Occupying Lesion dapat berupa berupa tumor, hematoma, dan abses.
Jaringan otak akan mengalami nekrosis sehingga menyebabkan gangguan neurologik
progresif. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh tumor dan
tekanan intrakranial. Gangguan vocal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi / inovasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan
neuron. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat
dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan
dengan kompersi invasi dan perubahan suplai darah kejaringan otak.
Peningkatan intrakranial dapat diakibatakan oleh beberapa factor :
bertambahnya masa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan
perubahan sirkulasi serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor
akan mengambilkan ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan odem dalam jaringan otak. Mekanisme belum sepenuhnya dipahami
namun diduga disebabkan selisih osmotik yang menyebabkan pendarahan. Obstruksi
vena oedema yang disebabkan kerusakan sawar darah otak semuanya menimbulkan
kenaikan volume inntrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinal dari vantrikel
laseral keruang sub arakhnoid menimbulkan hidrosephalus.
Peningkatan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi secara cepat
akibat salah satu penyebab yang telah dibicaraknan sebelumnya. Mekanisme
kompensasi memerlukan waktu berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan
oleh karena itu tidak berguna bila apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah intrakranial,
volume cairan cerborspinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel
parenkim.
Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi ulkus/
serebulum.herniasi timbul bila girus medalis lobus temporalis bergeser keinterior
melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemister otak. Herniasi menekan
ensefalon menyebabkan kehilangan kesadaran dan menekan saraf ke tiga. Pada
herniasi serebulum tonsil sebelum bergeser kebawah melalui foramen magnum oleh
suatu massa poterior, ( Suddart, Brunner. 2001 ).
Pathway SOL (Space Occupying Lesion)

Tumor Otak Hematoma Abses

Massa dalam otak bertambah

SOL Lesi desak ruang intrakranial

Penekanan jaringan otak Bertambahnya massa dalam otak

Kerusakan jaringan neuron Gangguan penyerapan cairan di otak

Perubahan kepekaan neuron Obstruksi sirkulasi CSS

Kejang Edema di sekitar otak

Dx Resiko cedera Peningkatan TIK Hidrosefalus

Traksi/pergeseran Traksi/pergeseran Bila peningkatan Statis vena


struktur peka nyeri struktur peka nyeri TIK terus berlanjut
dalam rongga dlm rongga & progresif
intrakranial intrakranial Pebengkakan/pem
besaran papilla
Pergeseran saraf optikus
Perubahan
Nyeri kepala jaringan otak
suplai darah

Papil edema
Dx Nyeri akut Herniasi otak
Penurunan suplai
O2 ke otak
Kompresi medulla
oblongata
Hipoksia jaringan
serebral

Dx Gg. Perfusi jaringan Gg. System Gg. Sistem Gg. System


pernafasan kerja jantung pencernaan

Respirasi
Bradikardi, Muntah
irreguler,
hipertensi
gagal napas

Dx :
Dx Pola napas ketidakseimbangan
tidak efektif nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh
G. Algoritma Space Occupying Lesion (SOL)

Space Occupying Lesion (SOL)

Lesi Abnormal CT Scan / MRI

Lumbal Pungsi Tumor Otak


Massa mendorong
struktur otak Biopsi
disekitarnya dengan 1
dikelilingi edema EEG Kortikosteroid Edema serebral
jaringan (Dexamethason) dan TIK ↓
Angiogram
2
Monitor Status 4−20 mg
Pembedahan IV
Neurologis 6 Jam
(Kraniotomi)

NO YES

Radioterapi &
Radioterapi & Ventrikulo Kemoterapi
Dekompresi
Kemoterapi Caval Shunt

TIK ↓

 Matiudin, Ade Iwan et al. (2020). STUDI KASUS : STATUS


NEUROLOGI PASIEN SPACE OCCUPYING LESION
DENGAN HIV dan TOXOPLASMOSIS CEREBRI. Jurnal
Perawat Indonesia, Vol. 4, No. 1.
 Simamora, Siska Karoline et al. (2017). Space Occupying Lesion
(SOL). J Medula Unila, Vol. 7, No. 1.
 YSL, Radinal & Neilan Amroisa. (2014). PRIMARY BRAIN
TUMOR WITH HEMIPARESE DEXTRA AND PARESE
NERVE II, III, IV, VI. J Medula Unila, Vol. 2, No. 3.
F. Komplikasi
1. Gangguan fungsi neurologis
Jika tumor otak menyebabkan fungsi otak mengalami gangguan pada
serebelum maka akan menyebabkan pusing. Ataksia (kehilangan keseimbangan) atau
gaya berjalan yang sempoyongan dan kecenderungan jatuh ke sisi yang lesu, otot otot
tidak terkoordinasi dan ristagmus (gerakan mata berirama tidak sengaja) biasanya
menunjukan gerakan horizontal.

2. Gangguan kognitif
Pada tumor otak akan menyebabkan fungsi otak akan mengalami gangguan
sehingga dampaknya kemampuan berfikir, memberikan rasional, termasuk proses
mengingat, menilai, oorientasi persepsi dan memerhatikan juga akan menurun.

3. Gangguan tidur dan mood


Tumor otak bisa menyebabkan gangguan pada kelenjar pireal, sehingga
hormone melatonin menurun akibatnya akan terjadi resiko sulit tidur, badan lemas,
depresi dan penyakit melemahkan sistem tubuh lain.

4. Disfungsi seksual
a) Pada wanita mempunyai kelenjar hipofisis yang mensekresi kuantitas
prolaktin yang berlebihan dengan menimbulkan ammenurea atau galaktorea
b) Pada pria dengan prolaktinoma dapat muncul dengan impotensi dan
hipogonadisme. Gejala pada seksualitas biasanya berdampak pada hubungan
dan perubahan tingkat kepuasan.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor, dan
meluasnya edema serebral sekunder serta memberi informasi tentang sistem vaskuler.
2. MRI
Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam batang otak dan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan CT
Scan
3. Biopsi stereotaktik
Dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar
pengobatan serta informasi prognosi
4. Angiografi
Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor
5. Elektroensefalografi (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat
memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.

H. Manajemen pengobatan
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan kearah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor.Pasien dengan
kemungkinan tumor otak harus di evaluasi dan di obati dengan segera bila memungkinkan
sebelum kerusakan neurologis tidak dapat di ubah.Tujuannya adalah mengangkat dan
memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa meningkatkan penurunan
neurologic (paralisis, kebutaan) atau tercapainya gejala-gejala dengan mengangkat
sebagian (dekompresi). MenurutSmeltzer, 2013 penatalaksanaan SOL ada tiga yaitu:

1. Pendekatan pembedahan (Craniotomy)


Dilakukan untuk mengobati pasien meningioma, astrositoma kistik pada
serebelum, kista koloid pada ventrikel ke-3, tumor kongenital seperti demoid dan
beberapa granuloma. Untuk pasien dengan glioma maligna, pengangkatan tumor
secara menyeluruh dan pengobatan tidak mungkin, tetapi dapat melakukan tindakan
yang mencakup pengurangan TIK, mengangkat jaringan nefrotik dan mengangkat
bagian besar dari tumor yang secara teori meninggalkan sedikit sel yang tertinggal
atau menjadi resisten terhadap radiasi atau kemoterapi.

2. Pendekatan kemoterapi
Untuk menolong pasien terhadap adanya keracunan sumsum tulang sebagai
akibat dosis tinggi radiasi.Kemoterapi digunakan pada jenis tumor otak tertentu saja.
Hal ini bisa digunakan pada klien:
a) Segera setelah pembedahan/tumor reduction kombinasi dengan terapi radiasi.
b) Setelah tumor recurance.
3. Stereotaktik
Stereotaktik merupakan elektroda dan kanula di masukkan hingga titik tertentu
di dalam otak dengan tujuan melakukan pengamatan fisiologis atau untuk
menghancurkan jaringan pada penyakit seperti paralisis agitans, multiple sclerosis dan
epilepsy. Pemeriksaan untuk mengetahui lokasi tumor dengan sinar X, CT, sedangkan
untuk menghasilkan dosis tinggi pada radiasi tumor sambil meminimalkan pengaruh
pada jaringan otak di sekitarnya dilakukan pemeriksaan radiosotop (III) dengan cara
ditempelkan langsung ke dalam tumor.

I. Prinsip pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga dengan SOL

Suliha (2002) mendefinisikan pendidikan kesehatan sebagai suatu bentuk tindakan


mandiri keperawatan untuk membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat
dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan
oleh perawat sebagai perawat pendidik. Pendidikan kesehatan ini diberikan dengan tujuan
agar terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku indidu dan keluarga dalam membina
serta memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal (Nursalam dan Efendi, 2008).

Langkah-langkah dalam pendidikan kesehatan menurut Swanson dan Nies dalam


Nursalam dan Efendi (2008), sebagai berikut:
1. Tahap 1: Perencanaan dan pemilihan
Tahap ini merupakan dasar dari proses komunikasi yang akan dilakukan oleh pendidik
kesehatan dan juga merupakan kunci penting untuk memahami kebutuhan belajar
sasaran dan mengetahui sasaran atau pesan yang akan disampaikan.
Tindakan perawat yang perlu dilakukan pada tahap ini antara lain:
a) Review data yang berhubungan dengan kesehatan, keluhan, kepustakaan,
media massa, dan tokoh masyarakat.
b) Cari data baru melalui wawancara, fokus grup (dialog masalah yang
dirasakan).
c) Bedakan kebutuhan sasaran dan persepsi terhadap masalah kesehatan,
termasuk identifikasi sasaran.
d) Identifikasi kesenjangan pengetahuan kesehatan.
e) Tulis tujuan yang spesifik, dapat dilakukan, menggunakan prioritas, dan ada
jangka waktu.
f) Kaji sumber- sumber yang tersedia (dana,sarana dan manusia)
2. Tahap II. Memilih saluran dan materi/media.
Pada tahap pertama diatas membantu untuk memilih saluran yang efektif dan
matri yang relevan dengan kebutuhan sasaran. Saluran yang dapat digunakan
adalah melalui kegiatan yang ada di masyarakat. Sedangkan materi yang
digunakan disesuaikan dengan kemampuan sasaran.
Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan adalah :
a) Identifikasi pesan dan media yang digunakan.
b) Gunakan media yang sudah ada atau menggunakan media baru. 3) Pilihlah
saluran dan caranya.
3. Tahap III. Mengembangkan materi dan uji coba
Materi yang ada sebaiknya diuji coba ( diteliti ulang ) apakah sudah sesuai dengan
sasarandan mendapat respon atau tidak.
Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan adalah:
a) Kembangkan materi yang relevan dengan sasaran.
b) Uji terlebih dahulu materi dan media yang ada. Hasil uji coba akan membantu
apakah meningkatkan pengetahuan, dapat diterima, dan sesuai dengan
individu.
4. Tahap IV. Implementasi
Merupakan tahapan pelaksanaan pendidikan kesehatan. Tindakan keperawatan
yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Bekerjasama dengan organisasi yang ada di komunitas agar efektif
b) Pantau dan catat perkembangannya.
c) Mengevaluasi kegiatan yang dilakukan.
5. Tahap V. Mengkaji efektifitas
Mengkaji keefektifan program dan pesan yang telah disampaikan terhadap
perubahan perilaku yang diharapkan. Evaluasi hasil hendaknya berorientasi pada
kriteria jangka waktu (panjang / pendek) yang telah ditetapkan. Tindakan
keperawatan yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi proses dan hasil.
6. Tahap VI. Umpan balik untuk evaluasi program
Langkah ini merupakan tanggung jawab perawat terhadap pendidikan kesehatan
yang telah diberikan. Apakah perlu diadakan perubahan terhadap isi pesan dan
apakah telah sesuai dengan kebutuhan sasaran. Informasi dapat memberikan
gambaran tentang kekuatan yang telah digunakan dan memungkinkan adanya
modifikasi.
Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Kaji ulang tujuan, sesuaikan dengankebutuhan.
b) Modifikasi strategi bila tidak berhasil.
c) Lakukan kerjasama lintas sektor dan program.
d) Catatan perkembangan dan evaluasi terhadap pendidikan kesehatan yang telah
dilakukan.
e) Pertahankan alasan terhadap upaya yang akan dilakukan.
f) Hubungan status kesehatan, perilaku, dan pendidikan kesehatan.

Pendidikan kesehatan terkait SOL yang dapat diberikan untuk pasien dan keluarga,
sebagai berikut:

1. Jelaskan pengertian, patofisiologi, etiologi, dan tanda gejala agar dapat


meningkatkan pemahaman klien dan keluarga terkait penyakit
2. Jelaskan setiap tindakan atau terapi yang akan diberikan kepada pasien, termasuk
obat-obatan
3. Jelaskan mobilisasi klien, klien biasanya berbaring, namun harus dilakukan
perubahan posisi setiap 2 jam agar tidak terjadi dekubitus, dan klien juga harus
diajarkan mobilisasi secara bertahap sampai bisa kembali normal
4. Jelaskan untuk konsumsi makanan tinggi protein dan vitamin C untuk
mempercepat penyembuhan luka
5. Jika sudah diperbolehkan pulang, ajarkan cara perawatan luka dengan teknik
steril, diet pasien, dan pembatasan aktivitas.

J. Asuhan Keperawatan

Ny.S (47 tahun) dirawat di Ruang ICU dengan diagnosa medis Post op. Sellar
meningioma, Post Craniotomi. Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor
otak. riwayat saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan gangguan
lapang pandang.
Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP: 120 mmHg, HR: 95x/menit, Suhu:
o
36,4 C, RR: 32x/menit on ventilator dengan mode SIMV +PS, PEEP: 5, Peak airway
Pressure : 6-10, FiO2: 50%. Hasil pengkajian : Diameter pupil : 3mm/3mm, Refleks pupil :
+/-. GCS : E4M6VETT. CVP : 10,5 cmH2O.
Hasil pemeriksaan Hematologis :
 Hb : 12,6 g/dl
 Hematokrit : 36%
 Leukosit : 20,8 x103/Ul
 Trombosit : 212 x103/uL
 Eritrosit : 4,12 x106/uL
 GDS : 120 mg/dl
 SGOT: 12 U/L
 SGPT: 9U/L
 Ureum : 18 mg/dL
 Kreatinin : 1,0 mg/dL
 Albumin : 3,7 g/dl
Hasil AGD :
 PH : 7,60
 PCO2 : 20,7 mmHg
 HCO3: 20,3 mmol/L
 PO2: 190,2 mmHg
 SpO2 :99,7 %

Hasil CT-brain : Sellar Meningioma Han I, rontgen : Cord an pulmo tak tampak
kelainan.
Pasien mendapatkan terapi : Ceftriaxone 2x2 gr, Ketorolac 3x30 mg, Dexametason
3x4mg, Manitol 4x125 cc, Omeprazol 2x40 mg, Vit K 3x10 mg, Tranexamat 3x500
mg, Citicollin 2x500 mg, Fenitoin 3x100 mg, Ondansentron 4 mg.

A. Pengkajian

1. Identitas

a. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Tipar Cakung, N0.21 RT 007 RW 005 , Jakarta
Utara
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Masuk RS : 05-10-2020
Tanggal Pengkajian : 05-10-2020
No. Rekam Medis : 222426
Diagnosa Medis : Post op. Sellar meningioma, Post Craniotomi.
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. R
Umur : 25 tahun
Hub. Dengan Pasien : Anak

2. Riwayat Kesehatan

 Keluhan Utama : Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor
otak. riwayat saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan
gangguan lapang pandang.
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan
gangguan lapang pandang.
 Riwayat kesehatan sekarang: Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP:
120 mmHg, HR: 95x/menit, Suhu: 36,4oC, RR: 32x/menit on ventilator dengan
mode SIMV +PS, PEEP: 5, Peak airway Pressure : 6-10, FiO2: 50%.
 Riwayat penyakit dahulu: -
 Riwayat penyakit keluarga: -

3. Primer Survey

 Airway : ada hambatan jalan nafas, adanya pergerakan dinding dada


 Breathing : RR = 32 x/menit
 Circulation : HR = 95 x/menit, CRT > 2detik, sianosis, TD = 160/100
x/menit
 Disability : GCS : E4M6VETT, Diameter pupil : 3mm/3mm, Refleks
pupil : +/-
 Exposure : Suhu: 36,4, adanya luka post op operasi

4. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Delirium
 Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Herat Rate : 95x/mnt


Respirasi : 32x/mnt
Suhu : 36,54 c

 Pemeriksaan Sistem Tubuh


 Sistem Perepsi sensori : tidak anemis, tidak ikterus, Diameter pupil :
3mm/3mm, Refleks pupil : +/-, terdapat gangguan lapang pandang.
 Sistem Pernapasan : suara paru vesikuler tidak ada ronkhi ataupun
wheezing, pasien mengeluh sesak.
 Sistem Kardiovaskuler : suara jantung reguler tidak ada murmur,
Pemeriksaan rekam jantung dengan cord an pulmo tak tampak kelainan,
tidak ada masalah.
 Sistem Pencernaan : tidak ada masalah.
 Sistem Perkemihan : tidak ada masalah.
 Sistem Neurologis : Kesadaran compos mentis, tetapi tidak bisa berbicara
karena terpasang ventilator.
 Sistem Endokrin : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, dan tekanan
vena jugularis normal, tidak ada masalah
 Sistem Muskuloskeletal : tidak ada masalah
 Sistem Integumen : CRT>2 detik, turgor elastis, tidak ada edema.

 Aspek Sosial
Pasien merupakan pribadi yang jarang bertetangga, pasien juga tidak aktif
dalam kegiatan masyarakat
 Aspek Spiritual
Pasien beragama Islam dan sering beribadah ke masjid

5. Data Penunjang

 Hasil CT-brain : Sellar Meningioma Han I


 Rontgen : Cord an pulmo tak tampak kelainan.
 Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri, dll)

Tanggal dan Jam Pemeriksaan


No Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
RUTIN
1 Hemogoblin 12,6 g/dl 13.5 - 17.5 Rendah
2 Hematokrit 36 % 33 – 45 Normal
3 Leukosit 20,8 Ribu/UI 4.5 - 11.0 Tinggi
4 Trombosit 212 Ribu/UI 150 – 450 Normal
5 Eritrosit 4,12 Ribu/UI 4.50 – 5.90 Rendah
INDEX
ERITROSIT
1 MCV /um 80.0 – 96.0
2 MCH Pg 28.0 – 33.0
3 MCHC g/dl 33.0 – 36.0
4 RDW % 11.6 – 14.6
5 MPV FI 7.2 – 11.1
6 PDW % 25 – 65
HITUNG JENIS
1 Eosinofil % 0.00 – 4.00
2 Basofil % 0.00 – 2.00
3 Netrofil % 55.00 – 80.00
4 Limfosit % 22.00 – 44.00
5 Monosit % 0.00 – 7.00
6 Golongan Darah O
HEMOSTASIS
1 PT Detik 10.0 – 15.0
2 APTT Detik 20.0 – 40.0
3 INR
KIMIA KLINIK
1 Glukosa darah 120 Mg/dl 60 – 140 Normal
sewaktu
2 SGOT 12 U/1 < 35 Normal
3 SGPT 9 U/1 < 45 Normal
4 Albumin g/dl 3.2 – 4.6
5 Kreatinin 1,0 Mg/dl 0.8 – 1.3 Normal
6 Ureum 18 Mg/dl < 50 Normal
ELEKTROLIT
1 Natrium darah Mmol/L 132 – 146
2 Kalium darah Mmol/L 3.7 – 5.4
ANALISA GAS
DARAH
1 PH 7,60 7.33 – 7.43 Alkalosis
2 PO2 190,2 mmHg 80 – 100 Tinggi
3 PCO2 20,7 mmHg 35 – 45 Rendah
4 HCO3 20,3 mEq/L 22 – 26 Rendah

APACHE II SCOR (1x24 jam)


Sesuai Kasus : tidak dapat dihitung, karna data dalam kasus tidak lengkap.
CPOT

No Indikator Skala pengukuran Skor Hasil


Penilaian
1 Ekspresi wajah Rileks, netral 0 2
Tegang 1
Meringis 2
2 Gerakan tubuh Tidak bergerak 0 2
Perlindungan 1
Gelisah 2
3 Kesesuaian dengan Dapat mentoleransi 0 2
ventilasi mekanik
Batuk, tapi dapat 1
mentoleransi
Fighting ventilator 2
4 Ketegangan otot Rileks 0 0
Tegang dan kaku 1
Sangat tegang /kaku 2
Total skor 6

6. Penatalaksanaan Medis

 Ventilator : ON
Mode : SIMV
Triger :-
FiO2 : 50%
PEEP : 6-10
RR : 32x/menit
 Obat-obatan

Nama Obat Dosis Cara Indikasi Side effects


Pemberian
Ceftriaxone 2 x 2 gr IV Infeksi Bakteri Nyeri, mual muntah,
diare,
pusing,mengantuk
Ketorolac 3 x 30 IV Menurunkan Nyeri
mg nyeri sedang dada,lemas,sesak,bicara
hingga berat rero, masalah
untuk penglihatan dan
sementara keseimbangan
Dexametason 3 x 4 mg IV Mengurangi Insomnia, sakit
peradangan, kepala,pusing,sensasi
reaksi alergi, berputar-putar.
dan penyakit
autoimun
Manitol 4 x 125 IV Mengurangi Sering buang air
cc tekanan dalam keci,haus terus, merasa
kepala karena mual dan ingin muntah
pembengkakan
di otak
Omeprazol 2 x 40 mg IV Menurunkan Diare, demam, mual
produkasi asam muntah
lambung
berlebih
Vit K 3x 10 mg IV Untuk Mudah berkeringat,
pembekuan Gangguan indra
darah pengecap dan bibir
membiru
Tranexamat 3 x 500 IV Mengurangi Nyeri kepala,hidung
mg ekspansi berair dan tersumbat
hematoma
Citicollin 2 x 500 IV Penyakit Insomnia, sakit kepala
mg serebrovaskular dan diare
Fenitoin 3 x 100 IV Mencegah Mengantuk, sakit
mg kejang akibat
epilepsi kepala dan gelisah
Ondansentron 4 mg IV Mual dan Nyeri, keram, sesak
muntah napas

Analisa Data
No Analisa Data Masalah Etiologi
.
1. DS : Nyeri Akut Agen cedera fisik,
Peningkatan TIK
 Keluarga mengatakan pasien
sering mengeluh sakit kepala
berat
DO :
 Nilai CPOT: 6
 Pasien tampak meringis
kesakitan
 Pasien tampak gelisah
 Pasien tampak mual dan
muntah
 TD = 160/100 mmHg
 MAP = 120 mmHg
 CT-brain : Sellar Meningioma
Han I
 Lapang pandang pasien
tampak kabur

2. DS : Hambatan Ketidakseimbangan
pertukaran gas ventilasi-perfusi
 Keluarga mengatakan pasien
sering mengeluh sesak
DO :
 RR = 32 x/menit
 HR = 110 x/menit
 PH: 7,60
 PCO2: 20,7 mmHg
 HCO3: 20,3 mmol/L
 PO2: 190,2 mmHg
 GCS : E4M6VETT
 Pasien tampak sesak
 Pasien tampak gelisah
 Pasien tampak sianosis
 Keadaan umum somnolen
 Pola pernapasan :
Irama tidak teratur
Kedalaman tidak teratur
 Adanya pergerakan dinding
dada

3. DS: Risiko infeksi -


 Keluarga pasien mengatakan ditandai dengan
pasien post Sellar prosedur invasif
meningioma, dan Post (post op Sellar
Craniotomi meningioma, Post
DO: Craniotomi),
 3
Leukosit : 20,8 x10 /uL (Peningkatan
 TD = 160/100 mmHg leukosit)
 Suhu = 36,4
 Adanya kemerahan pada luka
post op craniotomi

INTERVENSI

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


.
1. Nyeri Akut b.d Agen Setelah dilakukan Mandiri :
cedera fisik, Peningkatan tindakan keperawatan
TIK 3x24 jam masalah  Pantau TTV
keperawatan nyeri akut  Kaji keluhan nyeri
dapat diatasi. Dengan  Observasi keadaan nyeri
kriteria hasil: nonverbal (misal ;
 Nyeri berkurang ekspresi wajah, gelisah,
 TD normal menangis, menarik diri,
 MAP normal = 70- diaforesis, perubaan
100 frekuensi jantung,
pernapasan dan tekanan
 Pasien tidak tampak
darah.
meringis kesakitan
 Monitor tanda-tanda
 CPOT dipertahankan
peningkatan TIK (mual,
dari berat ke sedang
muntah, nyeri kepala,
(3-4)
pandangan kabur)
 Tinggikan kepala 30
derajat
Kolaborasi :
 Berikat obat keterolac,
ondansentron, manitol
sesuai dengan resep
dokter.
2. Hambatan pertukaran gas Setelah dilakukan Mandiri :
b.d ketidakseimbangan tindakan keperawatan  Monitor frekuensi,
ventilasi-perfusi 3x24 jam masaah irama, dan kedalaman
keperawatan hambatan pernafasan
pertukaran gas dapat  Tempatkan klien pada
tertasi dengan kriteria posisi semi fowler
hasil :  Pasti tidak ada hambatan
pada ventilator
 Frekuensi pernapasan
teratur  Pastikan alarm ventilator
hidup
 Irama pernapasan
teratur  Monitor saturasi oksigen
dan AGD
 Kedalaman
pernapasan teratur  Monitor volume
ekspirasi dan
 PaCO2 normal
peningkatan inspirasi
 PaO2 normal
 Arteri PH normal Kolaborasi :
 Saturasi oksigen  Kolaborasi dengan
normal dokter dalam pemberian
oksigen
3. Risiko infeksi dengan Setelah dilakukan Mandiri:
ditandai dengan prosedur tindakan keperawatan  Pertahankan teknik
invasif (post op Sellar 3x24 jam masalah aseptik
meningioma, Post keperawatan Risiko infeks  Batasi pengunjung
Craniotomi), dapat teratasi dengan  Cuci tangan sebelum
(Peningkatan leukosit) kriteria hasil: dan sesudah melakukan
 Leukosit normal 4-11 tindakan keperawatan
x103/uL  Monitor tanda dan gejala
 Tidak ada tanda dan sistemik dan lokal
gejala infeksi  Kaji suhu pasien
 Suhu 36,5-37,5  Inspeksi area post op
adanya kemerahan,
drainase, panas

Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian ceftriaxon
Daftar pustaka:

Brunner & Suddarth (2003). Keperawatan Medical-Bedah Vol 2. Penerbit : BukuKedokteran

EGC. Jakarta

Doenges M.E, Moorhouse M.F & Geissler A.C (2009). Rencana Asuhan
KeperawatanPedoman

Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasin Perawatan Pasien. Edisi3. Penerbit : Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai