Disusun oleh :
B. Prevalensi SOL
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi SOL (Space Occupying Lesion) di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013
menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2017.
Kasus SOL paling banyak terjadi pada pasien tumor, yaitu sebesar 89%, sisanya
diakibatkan oleh lesi non neoplasma sebesar 11%. Laki-laki secara epidemiologi sedikit
lebih banyak menderita SOL dibanding perempuan.
Di Pakistan sekitar 1.5% dari seluruh kasus SOL terjadi pada anak-anak berumur
< 12 tahun. Insidensinya meningkat seiring dengan penambahan umur. Sementara di
India, kasus SOL pada anak-anak < 12 tahun di dapatkan sebanyak 17.4%. Di Indonesia
belum didapatkan data epidemiologi SOL, khususnya pada anak. Namun kejadian tumor
intracranial pada anak insidensinya cukup tinggi, yaitu sebesar 2,4 per 100.000 anak.
Tumor Intrakranial juga merupakan kanker kedua terbanyak pada anak setelah leukemia.
Tingginya insiden tumor intracranial ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
SOL pada anak.
C. Klasifikasi / Jenis SOL
1. Tumor Otak
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya didasari
oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan dengan
tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi
morfologi makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas kategori-
kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu, ditemukan
adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis maupun
rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa
batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan
rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua
faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Price,
2005).
2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari
hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya
lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar
(R. Sjamsuhidajat, 2004).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada
orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam
hematoma. Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan
perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika
dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan
hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas.
Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian
dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif
yang lebih tinggi (Price, 2005).
1. Sakit kepala
2. Muntah
3. Papiledema (pembengkakan di daerah saraf mata)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor,
dan meluasnya edema serebral sekunder serta memberi informasi tentang sistem
vaskuler.
2. MRI
Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam batang otak dan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan
CT Scan
3. Biopsi stereotaktik
Dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar
pengobatan serta informasi prognosi
4. Angiografi
Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor
5. Elektroensefalografi (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan
dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang
F. Pathway
SOL
Lesi desak ruang intrakranial
Papil edema
Dx Nyeri akut Herniasi otak
Penurunan suplai
O2 ke otak
Kompresi medulla
oblongata
Hipoksia jaringan
serebral
Respirasi
Bradikardi, Muntah
irreguler,
hipertensi
gagal napas
Dx :
Dx Pola napas ketidakseimbangan
tidak efektif nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh
G. Algoritma Space Occupying Lesion (SOL)
NO YES
Radioterapi &
Radioterapi & Ventrikulo Kemoterapi
Dekompresi
Kemoterapi Caval Shunt
TIK ↓
Pendidikan kesehatan terkait SOL yang dapat diberikan untuk pasien dan keluarga,
sebagai berikut:
1. Jelaskan pengertian, patofisiologi, etiologi, dan tanda gejala agar dapat meningkatkan
pemahaman klien dan keluarga terkait penyakit
2. Jelaskan setiap tindakan atau terapi yang akan diberikan kepada pasien, termasuk
obat-obatan
3. Jelaskan mobilisasi klien, klien biasanya berbaring, namun harus dilakukan
perubahan posisi setiap 2 jam agar tidak terjadi dekubitus, dan klien juga harus
diajarkan mobilisasi secara bertahap sampai bisa kembali normal
4. Jelaskan untuk konsumsi makanan tinggi protein dan vitamin C untuk mempercepat
penyembuhan luka
5. Jika sudah diperbolehkan pulang, ajarkan cara perawatan luka dengan teknik steril,
diet pasien, dan pembatasan aktivitas.
I. Discharge planning
Discharge planning adalah proses mempersiapkan pasien yang dirawat di rumah sakit
agar mampu mandiri merawat dirinya pasca perawatan (Carpeniti, 2009 ; Kozier, 2004).
Menurut Discharge Planning Association (2008), discharge planning diberikan dengan
tujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik pasien agar dapat mempertahankan
atau mencapai fungsi maksimal setelah pulang.
Discharge planning yang diberikan meliputi program pengobatan lanjutan, obat yang
diberikan dan harus diminum, diet yaitu konsumsi makanan tinggi protein dan vitamin C,
perawatan luka dengan teknik steril, dan aktivitas yang dibatasi, serta mengenali tanda
dan gejala yang berkaitan dengan adanya perburukan kondisi klien atau terjadinya
komplikasi, misalnya infeksi.
J. Asuhan Keperawatan
Ny.S (47 tahun) dirawat di Ruang ICU dengan diagnosa medis Post op. Sellar
meningioma, Post Craniotomi. Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor
otak. riwayat saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan gangguan
lapang pandang.
Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP: 120 mmHg, HR: 95x/menit, Suhu:
36,4oC, RR: 32x/menit on ventilator dengan mode SIMV +PS, PEEP: 5, Peak airway
Pressure : 6-10, FiO2: 50%.
Hasil pengkajian : Diameter pupil : 3mm/3mm, Refleks pupil : +/-. GCS : E4M6VETT.
CVP : 10,5 cmH2O.
Hasil pemeriksaan Hematologis :
Hb : 12,6 g/dl
Hematokrit : 36%
Leukosit : 20,8 x103/uL
Trombosit : 212 x103/uL
Eritrosit : 4,12 x106/uL
GDS : 120 mg/dl
SGOT: 12 U/L
SGPT: 9U/L
Ureum : 18 mg/dL
Kreatinin : 1,0 mg/dL
Albumin : 3,7 g/dl
Hasil AGD :
PH : 7,60
PCO2 : 20,7 mmHg
HCO3: 20,3 mmol/L
PO2: 190,2 mmHg
SpO2 :99,7 %
Hasil CT-brain : Sellar Meningioma Han I, rontgen : Cord an pulmo tak tampak kelainan.
Pasien mendapatkan terapi : Ceftriaxone 2x2 gr, Ketorolac 3x30 mg, Dexametason
3x4mg, Manitol 4x125 cc, Omeprazol 2x40 mg, Vit K 3x10 mg, Tranexamat 3x500 mg,
Citicollin 2x500 mg, Fenitoin 3x100 mg, Ondansentron 4 mg.
A. Pengkajian
1. Identitas
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Belimbing, N0.29 RT 002 RW 008 , Kota Bekasi
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Masuk RS : 03-10-2020
Tanggal Pengkajian : 03-10-2020
No. Rekam Medis : 74231
Diagnosa Medis : Post op. Sellar meningioma, Post Craniotomi.
B. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. R
Umur : 25 tahun
Hub. Dengan Pasien : Anak
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Pasien datang dari IGD RS.X dirujuk untuk operasi tumor otak. riwayat
saat masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan gangguan lapang
pandang. Riwayat Penyakit sekarang :
b. Riwayat Saat Masuk RS : Pasien selalu merasakan sakit kepala berat dan gangguan
lapang pandang.
c. Riwayat kesehatan sekarang: Tanda – tanda vital : TD: 160/100 mmHg, MAP: 120
mmHg, HR: 95x/menit, Suhu: 36,4oC, RR: 32x/menit on ventilator dengan mode SIMV
+PS, PEEP: 5, Peak airway Pressure : 6-10, FiO2: 50%.
d. Keluhan penyakit dahulu: -
e. Riwayat penyakit keluarga: -
3. Pemeriksaan Fisik
• Respirasi : 32x/menit
• Suhu : 36,4 C
c. Nilai CPOT: 6
d. Pemeriksaan Sistem Tubuh
Sistem Perepsi sensori : tidak anemis, tidak ikterus, Diameter pupil : 3mm/3mm, Refleks
pupil : +/-, terdapat gangguan lapang pandang.
Sistem Pernapasan : suara paru vesikuler tidak ada ronkhi ataupun wheezing, pasien
mengeluh sesak.
Sistem Kardiovaskuler : suara jantung reguler tidak ada murmur, Pemeriksaan rekam jantung
dengan cord an pulmo tak tampak kelainan, tidak ada masalah.
Sistem Pencernaan : tidak ada masalah.
Sistem Perkemihan : tidak ada masalah.
Sistem Neurologis : Kesadaran compos mentis, tetapi tidak bisa berbicara karena terpasang
ventilator.
Sistem Endokrin : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, dan tekanan vena jugularis
normal, tidak ada masalah
Sistem Muskuloskeletal : tidak ada masalah
Sistem Integumen : CRT>2 detik, turgor elastis, tidak ada edema.
Aspek Sosial
Pasien merupakan pribadi yang jarang bertetangga, pasien juga tidak aktif dalam kegiatan
masyarakat
Aspek Spiritual
Pasien beragama Islam dan sering beribadah ke masjid
4. Data Penunjang
a. Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri, dll)
Tanggal dan Jam Pemeriksaan
No Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
RUTIN
1 Hemogoblin 12,6 g/dl 13.5 - 17.5 Rendah
2 Hematokrit 36 % 33 - 45 Normal
3 Leukosit 20,8 Ribu/UI 4.5 - 11.0 Tinggi
4 Trombosit 212 Ribu/UI 150 – 450 Normal
5 Eritrosit 4,12 Ribu/UI 4.50 – 5.90 Rendah
INDEX
ERITROSIT
1 MCV /um 80.0 – 96.0
2 MCH Pg 28.0 – 33.0
3 MCHC g/dl 33.0 – 36.0
4 RDW % 11.6 – 14.6
5 MPV FI 7.2 – 11.1
6 PDW % 25 – 65
HITUNG JENIS
1 Eosinofil % 0.00 – 4.00
2 Basofil % 0.00 – 2.00
3 Netrofil % 55.00 – 80.00
4 Limfosit % 22.00 – 44.00
5 Monosit % 0.00 – 7.00
6 Golongan Darah O
HEMOSTASIS
1 PT Detik 10.0 – 15.0
2 APTT Detik 20.0 – 40.0
3 INR
KIMIA KLINIK
1 Glukosa darah 120 Mg/dl 60 – 140 Normal
sewaktu
2 SGOT 12 U/1 < 35 Normal
3 SGPT 9 U/1 < 45 Normal
4 Albumin g/dl 3.2 – 4.6
5 Kreatinin 1,0 Mg/dl 0.8 – 1.3 Normal
6 Ureum 18 Mg/dl < 50 Normal
ELEKTROLIT
1 Natrium darah Mmol/L 132 – 146
2 Kalium darah Mmol/L 3.7 – 5.4
ANALISA GAS
DARAH
1 PH 7,60 7.33 – 7.43 Alkalosis
2 PO2 190,2 mmHg 80 – 100 Tinggi
3 PCO2 20,7 mmHg 35 – 45 Rendah
4 HCO3 20,3 mEq/L 22 - 26 Rendah
b. Hasil CT-brain : Sellar Meningioma Han I
c. Rontgen : Cord an pulmo tak tampak kelainan.
jsbjxbajsbajsbajsajajj
Sesuai Kasus : tidak dapat dihitung, karna data dalam kasus tidak lengkap.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Ventilator : ON
Mode : SIMV
Triger :-
FiO2 : 50%
PEEP : 6-10
RR : 32x/menit
b. Obat-obatan
Nama Obat Dosis Cara Indikasi Side effects
Pemberian
Ceftriaxone 2 x 2 gr IV Infeksi Bakteri Nyeri, mual muntah,
diare,
pusing,mengantuk
Ketorolac 3 x 30 mg IV Menurunkan Nyeri
nyeri sedang dada,lemas,sesak,bicara
hingga berat rero, masalah
untuk penglihatan dan
sementara keseimbangan
Dexametason 3 x 4 mg IV Mengurangi Insomnia, sakit
peradangan, kepala,pusing,sensasi
reaksi alergi, berputar-putar.
dan penyakit
autoimun
Manitol 4 x 125 cc IV Mengurangi Sering buang air
tekanan dalam keci,haus terus, merasa
kepala karena mual dan ingin muntah
pembengkakan
di otak
Omeprazol 2 x 40 mg IV Menurunkan Diare, demam, mual
produkasi asam muntah
lambung
berlebih
Vit K 3x 10 mg IV Untuk Mudah berkeringat,
pembekuan Gangguan indra
darah pengecap dan bibir
membiru
Tranexamat 3 x 500 mg IV Mengurangi Nyeri kepala,hidung
ekspansi berair dan tersumbat
hematoma
Citicollin 2 x 500 mg IV Penyakit Insomnia, sakit kepala
serebrovaskular dan diare
Fenitoin 3 x 100 mg IV Mencegah Mengantuk, sakit
kejang akibat kepala dan gelisah
epilepsi
Ondansentron 4 mg IV Mual dan Nyeri, keram, sesak
muntah napas
Analisa Data
No Analisa Data Masalah Etiologi
.
1. DS: Tidak dapat dikaji Ketidakefektifan pola Ketidakefektifan pola
DO: napas (00032) napas b.d kompresi
- Post op Sellar meningioma: medulla oblongata
- Peak airway pressure 6-10
- FiO2 50%
- On ventilator dengan mode
SIMV+PS
- PEEP:5
- Hasil AGD : alkalosis
respiratori sebagian
a. PH: 7,60
b. PCO2: 20,7 mmHg
c. HCO3: 20,3 mmol/L
d. PO2: 190,2 mmHg
e. SpO2: 99,7%
- TTV:
a. TD: 160/100 mmHg
b. HR: 95x/menit
c. Suhu: 36,4 C
d. RR: 32x/menit
2. DS : Nyeri Akut Agen pencedera
fisik, kompresi saraf
-Pasien selalu merasakan sakit kepala oleh SOL,
berat peningkatan TIK
DO;
-Nilai CPOT: 6
- Wajah pasin menahan nyeri
- Post op Sellar meningioma
:-D: 160/100 mmHg, MAP: 120 mmHg
-Hasil CT-brain : Sellar Meningioma
Han I
INTERVENSI
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat
Dexametason 3x30 mg
Manitol 4x125 cc
Referensi
EGC. Jakarta
Doenges M.E, Moorhouse M.F & Geissler A.C (2009). Rencana Asuhan KeperawatanPedoman