Oleh :
SRI SUZIANA
NIM : 220101089
Dosen Pembimbing
Ns. Linda Andriani, S.Kep. M.Kep
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien dengan Post Operasi Bedah Mayor ini
tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas yang diberikan dosen mata kuliah Keperawatan Kritis.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan
masukan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk
dapat menyelesaikan makalah ini baik itu secara langsung maupun tidak
langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik
dari segi kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan
semuanya, sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-
makalah selanjutnya.
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi operasi dan ulkus peptikum perforasi
2. Untuk mengetahui etiologi operasi dan ulkus peptikum perforasi
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis operasi dan ulkus peptikum
perforasi
4. Untuk mengetahui patofisiologi operasi dan ulkus peptikum
perforasi
5. Untuk mengetahui proses pengkajian
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada dan ulkus peptikum
perforasi
7. Untuk mengetahui algoritma dan manajemen masalah
8. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan sesuai prioritas
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dengan post operasi bedah
mayor di Ruang ICU?
10. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesehatan pada pasien dan
keluarga terkait masalah yang ada?
11. Untuk mengetahui discharge planning pada pasien kritis?
12. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kritis pada pasien post op
laparatomi ulkus peptikum perforasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang
akanditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan
membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan,
dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh.
Pembedahan merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi
rumah sakit dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan
operasi mayor. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat
selektif, bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada
kulit dan memperbaiki deformitas, contohnya pencabutan gigi,
pengangkatan kutil, kuretase, operasi katarak, dan arthoskopi. Operasi
mayor adalah operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi. Tujuan
dari operasi ini adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengangkat atau
memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan
kesehatan, contohnya kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi,
mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma (Brunner & Sudarth
2001).
Istilah bedah minor (operasi kecil) juga dipakai untuk tindakan
operasi ringan yang biasanya dikerjakan dengan anestesi lokal, seperti
mengangkat tumor jinak, kista pada kulit, sirkumsisi, ekstraksi kuku,
penanganan luka. Sedangkan bedah mayor adalah tindakan bedah besar
yang menggunakan anestesi umum/ general anestesi, yang merupakan
salah satu bentuk dari pembedahan yang sering dilakukan.
Menurut Potter dan Perry (2006) membagi jenis-jenis operas
menjadi:
a) Menurut fungsinya (tujuannya
1) Diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi
2) Kuratif (ablatif): tumor, appendiktom
3) Reparatif: memperbaiki luka multiple
4) Rekonstruktif: mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif: menghilangkan nyeri,
6) Transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan
organ atau struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal,
kornea).
b) Menurut Luas atau Tingkat Resiko:
1) Mayor : Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan
mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan
hidup klien.
2) Minor: Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang
mempunyai resiko komplikasi lebih kecil dibandingkan
dengan operasi mayor
Salah satu dari pembadahan mayor adalah Laparotomi.
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan mayor dengan membuka
abdomen melalui penyayatan melalui lapisan-lapisan dinding abdomen
untuk mendapatkan bagian organ di dalamnya yang mengalami masalah
(hemoragi, perforasi, kanker dan obstruksi). Tindakan laparatomi biasanya
dilakukan pada pasien dengan indikasi apendisitis perforasi, hernia
inguinalis, kanker lambung, kanker kolon, dan rectum, obstruksi usus,
inflamasi usus kronis, kolestisitis, dan peritonitis
Salah satu indikasi melakukan laparotomy adalah ulkus peptikum
perforasi. Perforasi adalah ancaman abdominal dan indikasi bahwa
pembedahan diperlukan (Brunner & Suddarth, 2001). Perforasi dalam
bentuk apapun yang terjadi dan mengenai saluran pencernaan merupakan
salah satu kasus kegawatdaruratan terutama dalam kegawatan bedah.
Penatalaksanaan bedah yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut
adalah laparatomi eksplorasi.
Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan
dimana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah
epitel.Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut erosi, walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus(Fry,2005).
Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,
lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan gastroenterostomi.
Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronik, hal
tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa
yang terlibat
Perforasi ulkus peptikum merupakan indikasi operasi
kegawatdaruratan lambung yang paling sering dan sering dihubungkan
dengan komplikasi yang berpotensial mengancam nyawa. Perforasi terjadi
pada sekitar 2-10% kejadian ulkus peptikum. Mortalitas dan morbiditas
yang diakibatkan oleh perforasi ulkus peptikum ini sangatlah penting,
dimana proporsi resiko mortalitas dilaporkan sebesar 20-50% di beberapa
penelitian yang berbasis populasi.
Ada tiga fase tiga dalam pembedahan, yaitu praoperatif,
intraoperatif, dan pascaoperatif. Dalam setiap fase tersebut dimuali dan
diakhiri dalam waktu tertentu dalam urutan peristiwa yang membentuk
pengalaman bedah, dan masingmasing mencakup rentang perilaku dan
aktivitas keperawatan yang luas yang dilakukan oleh perawat dengan
menggunakan proses keperawatan dan standart keperawatan (Brunner &
Suddarth, 2010). Masing-masing tahap mencakup aktivitas atau intervensi
keperawatan dan dukungan dari tim kesehatan lain sebagai satu tim dalam
pelayanan pembedahan.
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai
evaluasi selanjutnya. Proses keperawatan pascaoperatif pada praktiknya
akan dilaksanakan secara berkelanjutan baik di ruang pemulihan, ruang
intensif, dan ruang rawat inap bedah. Fase pascaoperatif adalah suatu
kondisi dimana pasien sudah masuk di ruang pulih sadar sampai pasien
dalam kondisi sadar betul untuk dibawa keruang rawat inap.
Ruang pulih sadar (recovery room) atau unit perawatan pasca
anastesi (PACU) merupakan suatu ruangan untuk pemulihan fisiologis
pasien pascaoperatif. PACU biasanya terletak berdekatan dengan ruang
operasi. Pasien yang masih di bawah pengaruh anestesi atau yang pulih
dari anastesi di tempatkan di unit ini untuk ke mudahan akses ke :
1) Perawat yang di siapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera.
2) Ahli anastesi dan ahli bedah.
3) Alat pemantau dan peralatan khusus, medikasi, dan penggantian
cairan.
Dalam lingkungan ini,pasien di berikan perawatan spesialis yang
di sediakan oleh mereka yang sangat berkualifikasi untuk
memberikannyab
2.2 ETIOLOGI
A. Etiologi Pembedahan
Prosedur bedah pada dasarnya terbagi dalam tiga kelompok
besar, yang di dalamnya masih akan terbagi lagi sesuai kategorinya.
Berikut rinciannya.
1. Kelompok operasi berdasarkan tujuan
Kelompok pertama ini menggolongkan prosedur bedah
berdasarkan tujuan dari tindakan medis ini dilakukan. Pada
dasarnya operasi dianggap sebagai metode pengobatan, namun
tindakan medis ini juga dapat digunakan untuk:
a) Mendiagnosis.
Operasi yang digunakan untuk mendiagnosis
penyakit tertentu, seperti operasi biopsi yang sering
dilakukan untuk memastikan dugaan adanya kanker padat
atau tumor pada bagian tubuh tertentu.
b) Mencegah
Tak hanya mengobati, bedah dilakukan juga untuk
mencegah suatu kondisi yang lebih buruk lagi. Misalnya,
operasi pengangkatan polip usus yang bila tak ditangani
akan dapat tumbuh menjadi kanker.
c) Menghilangkan.
Operasi ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengangkat sejumlah jaringan dalam tubuh. Biasanya,
operasi jenis ini memiliki akhiran –ektomi. Misalnya saja
mastektomi (pengangkatan payudara) atau histerektomi
(pengangkatan rahim).
d) Mengembalikan.
Operasi juga dilakukan untuk dapat mengembalikan
suatu fungsi tubuh menjadi normal kembali. Contohnya,
pada rekonstruksi payudara yang dilakukan oleh orang
yang telah melakukan mastektomi.
e) Paliatif.
Jenis operasi ini ditujukan untuk mengurangi rasa
sakit yang dirasakan oleh pasien yang biasanya mengalami
penyakit kronis stadium akhir.
2. Kelompok operasi berdasarkan tingkat risiko
Setiap operasi bedah pasti memiliki risiko, tetapi tingkat risikonya
tentu berbeda- beda. Berikut adalah pengelompokkan operasi
berdasarkan tingkat risikonya:
a. Bedah mayor
Merupakan operasi yang dilakukan di bagian tubuh seperti
kepala, dada, dan perut. Salah satu contoh operasi ini
adalah operasi cangkok organ, operasi tumor otak, atau
operasi jantung. Pasien yang menjalani operasi ini biasanya
membutuhkan waktu yang lama untuk kembali pulih.
b. Bedah minor
Kebalikan dari tindakan bedah mayor, operasi ini tidak
membuat pasiennya harus menunggu lama untuk pulih
kembali. Bahkan dalam beberapa jenis operasi, pasien
diperbolehkan pulang pada hari yang sama. Contoh
operasinya seperti biopsi pada jaringan payudara.
3. Kelompok operasi berdasarkan teknik
Pembedahan itu sendiri dapat dilakukan dengan beragam teknik
berbeda, tergantung dari bagian tubuh mana yang harus dioperasi
dan penyakit apa yang diderita oleh pasien.
a. Operasi bedah terbuka
Metode ini biasanya disebut dengan operasi konvensional,
yaitu tindakan medis yang membuat sayatan pada bagian
tubuh dengan menggunakan pisau khusus. Contohnya
adalah operasi jantung, dokter menyayat bagian dada
pasien dan membukanya agar organ jantung terlihat jelas.
b. Laparaskopi
Jika sebelumnya operasi dilakukan dengan menyayat
bagian tubuh, pada laparaskopi, ahli bedah hanya akan
menyayat sedikit dan membiarkan alat seperti selang
masuk ke dalam lubang yang telah dibuat, untuk
mengetahui masalah yang terjadi di dalam tubuh
2.4 PATOFISIOLOGI
A. Patofisiologi Pembedahan
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan
tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan
luka
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan
menimbulkan perubahan faal, sebagai respon terhadap trauma. Gangguan
faal tersebut meliputi tanda- tanda vital serta organ-organ vital seperti
sistem respirasi, sistem kardiovaskular, panca indera (SSP), sistem
urogenital, sistem pencernaan dan luka operasi.
1. Sistem Kardiovaskuer
Pasien mengalami komplikasi kardiovaskular akibat
kehilangan darah secara aktual dan potensial dari tempat
pembedahan, balans cairan, efek samping anastesi,
ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme resulasi
sirkulasi normal.
Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan
darah terjadi secara eksternal melalui drain atau insisi atau secara
internal luka bedah. Pendarahan dapat menyebabkan turunnya
tekanan darah: meningkatnya kecepatan denyut jantung dan
pernafasan (denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta
gelisah). Apabila pendarahan terjadi secara eksternal,
memperhatikan adanya peningkatan drainase yang mengandungi
darah pada balutan atau melalui drain.
2. Sistem Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi
pernafasan sehingga perlu waspada terhadap pernafasan yang
dangkal dan lambat serta batuk yang lemah. Frekuensi, irama,
kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding dada,
bunyi nafas dan membrane mukosa dimonitor.
3. Sistem Persyarafan
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat
kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu, seorang harus
memonitor tingkat respon pasien dengan
berbagai cara. Misalnya dengan memonitor fungsi
pendengaran atau penglihatan. Apakah pasien dapat berespon
dengan baik ketika diberi stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun
juga dapat memonitor tingkat kesadaran dengan menentukan Skala
Koma Glasgow / Glasgow Coma Scale (GCS). GCS ini memberikan
3 bidang fungsi neurologik: memberikan gambaran pada tingkat
responsif pasien dan dapat digunakan dalam mengevaluasi motorik
pasien, verbal, dan respon membuka mata
4. Sistem Perkemihan
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus
pembedahan rektum, anus, vagina, herniofari dan pembedahan pada
daerah abdomen bawah. Penyebabnya adalah adanya spasme
spinkter kandung kemih.
5. Sistem Gastrointestinal
Setelah pembedahan, harus dipantau apakah pasien telah
flatus atau belum. Intervensi untuk mencegah komplikasi
gastrointestinal akan mempercepat kembalinya eleminasi normal
dan asupan nutrisi. Pasien yang menjalani bedah pada struktur
gastrointestinal membutuhkan waktu beberapa hari agar diitnya
kembali normal. Peristaltik normal mungkin tidak akan terjadi
dalam waktu 2-3 hari. Sebaliknya pasien yang saluran
gastrointestinalnya tidak dipengaruhi langsung oleh pembedahan
boleh mengkonsumsi makanan setelah pulih dari pengaruh anastesi,
tindakan tersebut dapat mempercepat kembalinya eliminasi secara
normal.
6. Luka Operasi
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan
meminimalisasi resiko infeksi dengan menggunakan alat yang steril.
Maka, kemungkinan luka tersebut untuk terjadi infeksi adalah juga
minimal. Namun, jika ada risiko diidentifikasi luka tersebut
bermasalah, seperti ada luka yang masih basah dan ada
pengumpulan cairan, maka hal tersebut mungkin dapat disebabkan
beberapa faktor. Antaranya adalah seperti diabetes mellitus,
imunosupresi, keganasan dan malnutrisi, cara penutupan luka,
infeksi dan apa pun yang mungkin menyebabkan penekanan
berlebihan pada luka
B. Patofisiologi Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena
jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam
hidrochlorida dan pepsin).Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan
konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan penurunan
pertahanan normal dari mukosa (Sylvia A. Price, 2006).
1. Peningkatan Konsentrasi atau Sekresi Lambung dan Kerja Asam
Peptin
Menurut Price (2006), sekresi lambung terjadi pada 3 fase
yang serupa :
a. Sefalik
Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti
pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada
reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang
saraf vagal.Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu
makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung.Inilah
yang menyebabkan makanan sering secara konvensional
diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum.Saat ini banyak
ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring
mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau
penyembuhan ulkus.Namun, aktivitas vagal berlebihan
selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang
signifikan.
b. Fase lambung
Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai
akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap
reseptor disbanding lambung.Refleks vagal menyebabkan
sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh
makanan.
c. Fase usus
Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan
hormone (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya
akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia,
sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan
mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui
kelenjar mukosa.Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan
melindungi mukosa terhadap asam.Asam hidroklorida
disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena
mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari
rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak
dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa
tidak memberikan perlindungan asam hidroklorida bersama
dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida
kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung.
Kemudian menyebar kedalamnya dengan lambat.Mukosa
yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa
lambung.Barier ini adalah pertahanan utama lambung
terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu
sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah
suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa,
dan regenerasi epitel.
2. Kelemahan Barier Mukosa Lambung
Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang
merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat
antiinflamasi non-steroid lain, alcohol, dan obat antiinflamasi masuk
dalam kategori ini.Sindrom Zollinger-Ellison (gastrinoma) dicurigai
bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus yang
tidak sembuh dengan terapi medis standar. Sindrom ini
diidentifikasi melalui temuan berikut : hipersekresi getah lambung,
ulkus duodenal, dan gastrinoma (tumor sel istel) dalam pancreas.
90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai kista
dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan
leher korpus pancreas.Kira-kira dari gastrinoma adalah ganas
(maligna). Diare dan stiatore (lemak yang tidak diserap dalam feces)
dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma paratiroid
koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan
tanda hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri
epigastrik.
Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi
mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah
kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka
bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat
menimbulkan ulkus stress. Endoskopi fiberoptik dalam 24 jam
setelah cedera menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72
jam, erosi lambung multiple terlihat. Bila kondisi stress berlanjut
ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya.Pola ini khas pada
ulserasi stress. Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari
ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini
Menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung.Selain itu
jumlah besar pepsin dilepaskan.Kombinasi iskemia, asam dan
pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi.
Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling,
yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi
pada pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada
esophagus, lambung, atau duodenum, dan biasanya lebih dalam dan
lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus curling sering terlihat
kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas (Sylvia A. Price, 2006).
2.5 PENGKAJIAN
A. PENGKAJIAN FOKUS KEGAWATAN
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara
untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama
intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher
atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada
pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika
pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
b. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
c. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
d. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
e. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien
jika perlu.
f. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
g. Penilaian kembali status mental pasien.
h. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
i. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
j. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
3. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ
dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling
umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas
dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah
terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan
upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal
shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata
harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai
dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bias dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
B. PENGKAJIAN YANG DIFOKUSKAN PADA KASUS
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien,
perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien,
status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.
Pemeriksaan fisik dan manifestasi klinik ketika klien dimasukan ke
PACU :
1. Sistem Pernafasan
a. Potensi jalan nafas
b. Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman)
c. RR <
d. Gangguan kardiovaskuler atau rata rata metabolisme yang
meningkat.
e. Depresi narkotik, respirasi cepat, dangkal 10 x/menit
f. Keadekuatan expansi paru, kesimetrisan
g. Auskultasi paru : efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
h. Inspeksi: pergerakan dinding dada, penggunaan otot
bantu pernafasan diafragma, retraksi
sternal Thorax Drain.
2. Sistem Kardiovaskuler
a. Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit
( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2
hari jika kondisi stabil.
b. Depresi miokard, shock, perdarahan atau overdistensi.
c. Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung shock,
nyeri, hypothermia.
d. Nadi meningkat
e. Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan
ukuran ektremitas).
f. Trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema, kemerahan,
nyeri).
g. Homan’s saign Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
h. Inspeksi : membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor
kulit, balutan. NG tube, out put urine, drainage luka.
i. Ukur cairan
j. Kaji intake / out put.
k. Monitor cairan intravena dan tekanan darah
3. Sistem Persyarafan semua klien dengan anesthesia umum.
a. Kaji fungsi serebral dan tingkat kersadaran depresi fungsi
motor.
b. Respon pupil, kekuatan otot, koordinasi.
c. Klien dengan bedah kepala leher
4. Sistem Perkemihan
a. Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8
jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
b. Retensio urine. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi
abdomen bawah (distensi buli-buli).
c. Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi kaji warna, jumlah
urine, out put urine
d. Dower catheter < komplikasi ginjal 30 ml / jam
5. Sistem Gastrointestinal
a. 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat
menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat
meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO
meningkat.
b. Mual muntah
c. Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
d. Kaji paralitic ileus
e. Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post
operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
f. Meningkatkan istirahat.
g. Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah
h. Memonitor perdarahan
i. Mencegah obstruksi usus.
j. Irigasi atau pemberian obat.
k. Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
6. Sistem Integumen
Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi,
trauma, malnutrisi, obat-obat steroid. Penyembuhan sempurna
sekitar 6 bulan – satu tahun. Ketidak efektifan penyembuhan luka
dapat disebabkan:
a. Infeksi luka
b. Diostensi dari udema / palitik ileus.
c. Tekanan pada daerah luka.
d. Dehiscence
e. Eviscerasi
f. Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang
PAR (Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal
observasi), dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.
7. Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan
posisi intra operative.
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah,
hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri
sebelum dan setelah pemberian analgetika.
8. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk memonitor komplikasi . Pemeriksaan didasarkan
pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi
post operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan
darah lengkap.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Penunjang Menurut Pierce A Grace & Neil R Borley
(2006) yang dapat dilakukan adalah :
1. Ultrasonografi untuk massa apendiks
2. Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan
ovarium sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda
3. Diagnosis berdasarkan klinis, namun sek darah putih (hampir selalu
leukositosis)
4. CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain
masih mungkin
2.7 ALGORITMA DAN MANAJEMEN MASALAH
Teknik manjeman nyeri pada pasien post operasi dengan Teknik Distraksi
:
1. Pengalihan Visual :Pengalihan pada hal-hal lain sehingga lupa
terhadap nyeri yang sedang dirasakan, baik itu secara visual (menonton
TV, membaca koran).
2. Distraksi pendengaran : mendengaran music, radio, ataupun
berbincang-bincang dengan orang lain.
3. Distraksi intelektual : mengisi TTS
4. Distraksi pernapasan cara : focus pada satu obyek, hirup nafas
melalui hidung dalam hitugan 1 – 4, keluarkan napas melalui mulut
sambal berhitung 1 – 4 dalam hati, dan bisa juga dilakukan
pemijitan.
2.8 DIAGNOSA KEPERAWATAN PRIORITAS
1. Infeksi yang berhubungan dengan proses inflamasi di daerah
peritoneum
2. Nutrisi kurang dari kenutuhan tubuh yang berhubungan dengan
tidak adekuatnya intakenutrisi ditandai dengan mual, muntah
3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri post
operasi
4. Gangguan pola eliminasi yang berhubungan dengan efek dari obat
bius
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Alamat : Jl. Sawangan, Depok
Suku/ Bangsa : Betawi Tanggal Masuk RS : 28-
09-2020 Tanggal Pengkajian : 28-09-2020 No Rekam Medis
15137779
Diagnosa Medis : Post op laparatomi, ulkus
peptikum perforasi
b. Identitas Penanggung Jawab Nama: Tn. A
Umur : 29 tahun
Hub. Dengan Pasien : Anak
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu, BAB hanya sedikit
sekitar 2 hari sebelum masuk
b. Riwayat penyakit sekarang
i. Riwayat saat masuk RS
nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu. BAB hanya
sedikit sekitar 2 hari sebelum masuk RS. Keluarga mengatakan
pasien mual, munta setiap kali makan.
ii. Riwayat kesehatan sekarang
Tn. R dibawa ke rumah sakit dengan tingkat kesadaran compos
mentis dengan TD: 141/60 mmHg, HR: 90x/menit, Suhu: 37,5oC,
RR: 20x/menit.
c. Keluhan penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi
d. Riwayat penyakit keluarga: Hipertensi
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : kesadaran compos mentis
b. Tanda-tanda Vital
i. Tekanan Darah Sistolik : 141 mmHg Diastolik : 60 mmHg
Map : 87 mmHg
Heart Rate : 90 ×/menit
Respirasi : 20 ×/menit
ii. Suhu : 37,5°C
iii. Nilai CPOT : (diisi kalau ada keluhan nyeri dengan
pasien terintubasi)
Telinga Inspeksi
a. Bentuk : Simetris (+)
b. Daun telinga
- Warna : Kuning langsat
- Lesi : (-)
c. Liang Telinga
- Serumen : (-)
- Otore : (-)
- Peradangan : (-)
d. Fungsi pendengaran : Baik
Mulut Inspeksi
Adanya gangguan pengecapan atau lidah akibat kerusakan nervus vagus , adanya
kesulitan dalam menelan
a. Bibir
- Bentuk : simetris (+)
- Kondisi : Lembab
- Warna : Normal
- Lesi : (-)
b. Mukosa Mulut
- Warna : Merah
- Tekstur : Lembut
- Lesi : (-)
c. Geligi
- Jumlah : Caries (+)
- Warna : Agak Kuning
d. Lidah
- Warna : Beslag (-)
- Tekstur : Halus
- Tremor : Tidak
e. Palatum
- Warna : merah pucat
- Kontur : rata
- Gerakan : (-)
f. Tonsilar
- Ukuran : T1 (terjadi pembesaran tidak sampai garis tengah)
- Warna : kemerahan
- Eksudat : (-)
Palpasi
a. Pipi
- Nyeri Tekan : (-)
- Pembengkakan : (-)
b. Palatum
- Pembengkakan : (-)
- Fisura : (-)
c. Lidah
- Nyeri Tekan : (-)
- Pembengkakan : (-)
- Massa : (-)
1) Sistem Pernapasan
RR: 20x/menit on ventilator dengan mode SIMV(VC+PS), FiO2 80%,
PEEP 5, I:E rasio 1: 2.
2) Sistem Kardiovaskuler
Inspeks dada: bentuk simetris, kembang kempih dada normal seiring napas
pasien Palpasi dada: tidak ada nyeri tekan
3) Sistem Pencernaan
Post Laparotomi, Peptikum Perforasi
keluhan nyeri perut tidak bisa BAB sejak 6 hari yang lalu. mual, munta
setiap kali makan.
4) Sistem Perkemihan
Kebersihan terjaga, terpasang dower cateter dan tidak ada infeksi Balance
Cairan : Input-Output = 970-575 = 395
5) Sistem Neurologis
Tingkat kesadaran: Composmentis GCS: E4M6VETT
Refleks: +
6) Sistem Muskuloskeletal
Ekstremitas Superior: Deformitas (-), clubbing finger (-), pucat (-), akral
sianosis (-), akral hangat (+), CRT
<2”, palmar eritema (-)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), , pucat (-), akral sianosis (-), akral
hangat (+)
7) Sistem Integumen Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Turgor kulit : Jelek
3. Kelembaban : (+)
4. Lesi : (-)
5. Suhu : 36.5-37 ˚C
Kuku
1. Bentuk : normal
2. Warna kuku : normal
3. CRT : >2 detik Palpasi
Menekan kuku dengan ibu jari : nyeri (-)
4. Aspek Psikologis
Penyakit yang dialami klien, membuatnya tidak bisa beraktivitas seperti
biasa.
5. Aspek Sosial
Klien mampu berhubungan baik dengan masyarakat
6. Asek Spiritual
Klien beragama Islam dan selalu berusaha menjalankan ibadahnya
Sebelum sakit klien cukup aktif di kegiatan kerohanian.
7. Data Penunjang
Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri, dll)
a) Hasil pemeriksaan Hematologis :
• Ureum : 90 mg/dL
• Kalium : 4,10mmol/L
b) Hasil AGD :
• PH : 7,48
• PCO2 : 34 mmHg
• HCO3: 25,6mmol/L
• SpO2 : 99,5%
B. Analisa Data
No Tanggal Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. 28-09- DO: Ketidakseimbangan Gangguan pertukaran
2020 PH : 7,48 perfusi ventilasi gas
PCO2 : 34 mmHg
HCO3: 25,6mmol/L PO2: 187,4
mmHg
SpO2 : 99,5%
2. 28-09- DO: Gangguan Risiko perdarahan
2020 Pasien post op laparatomi gastrointestinal (ulkus
ulkus peptikum peroforasi peptikum perforasi)
Kadar ureum 90 mg/dL insisi
Kreatinin : 1,86 mg/dL laparatomi
pembedahan
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi
2. Risiko perdarahan b/d gangguan gastrointestinal (ulkus peptikum perforasi)
3. Nyeri akut b/d agen cidera fisik (insisi pembedahan)
4. Risiko infeksi b/d adanya insisi pembedahan laparatomi
A. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
. Keperawatan (NOC)
1 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Monitor Pernafasan (3350)
pertukaran gas b/d keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Monitor kecepatan, irama
ketidakseimbangan diharapkan gangguan pertukaran , kedalaman dan kesulitan
perfusi ventilasi gas pasien dapat teratasi dengan bernafas
kriteria hasil: 2. Monitor pola napas
Status Pernafasan: 3. Monitor suara nafas
Pertukaran Gas 4. Auskultasi bunyi napas
Tekanan PO2 di darah untuk mengetahui adanya suara
arteri berada di kisaran normal napas tambahan
Tekanan PCO2 di darah 5. Monitor nilai analisa gas
arteri berada di kisaran normal darah (AGD)
pH arteri berada di
kisaran normal
2 Risiko perdarahan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Perdarahan
keperawatan selama 3 x 24 (4010)
jam, diharapkan risiko perdarahan 1. Monitor dengan ketat risiko
pasien dapat teratasi dengan terjadinya perdarahan pada
kriteria hasil pasien
: 2. Ukur lingkar perut
Status sirkulasi 3. Dokumentasikan warna,
Tekanan darah dalam jumlah, dan karakteristik feses
batas normal 4. Monitor status cairan
Tidak ada termasuk intake dan output
hematemesis 5. Tes semua seskresi
Tidak ada distensi terhadap adanya darah dan
abdomen perhatikan adanya darah dalam
normal
3 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (1400)
keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Observasi petunjuk
diharapkan risiko perdarahan nonverbal mengenai
pasien dapat teratasi dengan ketidaknyamanan terutama
kriteria hasil mereka yang
: tidak dapat
Tingkat Nyeri: berkomunikasi secara efektif
Mengerang tidak ada 2. Kolaborasi pemberian
Ekspresi nyeri wajah analgesik tramadol 500 cc+ 100
tidak ada mg/jam.
Ketegangan otot tidak ada 3. Pastikan perawatan
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.
Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
A Potter, & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit.
Jakrata : EGC
Morton, P. G., Dorrie, K. F. (2013). Critical care nursing: a holistic approach.
Tenth Edition. Wolters Kluwer Health: Philadelphia