Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini denagan judul “ ASUHAN KEPEERAWATAN PASIEN POST
BEDAH MAYOR”. Makalah ini di susun dalam rangka memehuni tugas mata
kuliah keperawatan Keluarga, program studi keperawatan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.
Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah
bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang
akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2010).
Pembedahan merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi rumah
sakit dengan prosedur yang sudah ditetapkan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi
mayor. Operasi minor yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh,
mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki deformitas. Operasi mayor adalah
operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi. Tujuan dari operasi ini
adalah menyelamatkan nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh,
memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan, contoh kolostomi,
histerektomi, mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma (Brunner &
Sudarth 2001).
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Proses keperawatan pascaoperatif pada
praktiknya akan dilaksanakan secara berkelanjutan baik di ruang pemulihan,
ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah.
B. Etiologi/Predisposisi
Prosedur bedah pada dasarnya terbagi dalam tiga kelompok besar, dan
terbagi dalam beberapa kategori yaitu
1. Kelompok operasi berdasarkan tujuan
Kelompok pertama ini menggolongkan prosedur bedah berdasarkan
tujuan dari tindakan medis ini dilakukan. Pada dasarnya operasi dianggap
sebagai metode pengobatan, namun tindakan medis ini juga dapat
digunakan untuk:
a) Mendiagnosis
Operasi yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit tertentu,
seperti operasi biopsi yang sering dilakukan untuk memastikan dugaan
adanya kanker padat atau tumor pada bagian tubuh tertentu.
b) Mencegah
Tak hanya mengobati, bedah dilakukan juga untuk mencegah suatu
kondisi yang lebih buruk lagi. Misalnya, operasi pengangkatan polip
usus yang bila tak ditangani akan dapat tumbuh menjadi kanker.
c) Menghilangkan
Operasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengangkat sejumlah
jaringan dalam tubuh. Biasanya, operasi jenis ini memiliki akhiran –
ektomi. Misalnya saja mastektomi (pengangkatan payudara) atau
histerektomi (pengangkatan rahim).
d) Mengembalikan
Operasi juga dilakukan untuk dapat mengembalikan suatu fungsi
tubuh menjadi normal kembali. Contohnya, pada rekonstruksi
payudara yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan
mastektomi.
e) Paliatif.
Jenis operasi ini ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang
dirasakan oleh pasien yang biasanya mengalami penyakit kronis
stadium akhir.
2. Kelompok operasi berdasarkan tingkat risiko
Setiap operasi bedah pasti memiliki risiko, tetapi tingkat risikonya
tentu berbeda-beda. Berikut adalah pengelompokkan operasi berdasarkan
tingkat risikonya:
a. Bedah mayor
Merupakan operasi yang dilakukan di bagian tubuh seperti kepala,
dada, dan perut. Salah satu contoh operasi ini adalah operasi cangkok
organ, operasi tumor otak, atau operasi jantung. Pasien yang menjalani
operasi ini biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk kembali
pulih.
b. Bedah minor
Kebalikan dari tindakan bedah mayor, operasi ini tidak membuat
pasiennya harus menunggu lama untuk pulih kembali. Bahkan dalam
beberapa jenis operasi, pasien diperbolehkan pulang pada hari yang
sama. Contoh operasinya seperti biopsi pada jaringan payudara.
3. Kelompok operasi berdasarkan teknik
Pembedahan itu sendiri dapat dilakukan dengan beragam teknik
berbeda, tergantung dari bagian tubuh mana yang harus dioperasi dan
penyakit apa yang diderita oleh pasien.
a. Operasi bedah terbuka
Metode ini biasanya disebut dengan operasi konvensional, yaitu
tindakan medis yang membuat sayatan pada bagian tubuh dengan
menggunakan pisau khusus. Contohnya adalah operasi jantung, dokter
menyayat bagian dada pasien dan membukanya agar organ jantung
terlihat jelas.
b. Laparaskopi
Jika sebelumnya operasi dilakukan dengan menyayat bagian tubuh,
pada laparaskopi, ahli bedah hanya akan menyayat sedikit dan
membiarkan alat seperti selang masuk ke dalam lubang yang telah
dibuat, untuk mengetahui masalah yang terjadi di dalam tubuh.
C. Patofisiologi
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan
perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka
(Syamsuhidajat, 2010).
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan
perubahan faal, sebagai respon terhadap trauma. Gangguan faal tersebut
meliputi tanda- tanda vital serta organ-organ vital seperti sistem respirasi,
sistem kardiovaskular, panca indera (SSP), sistem urogenital, sistem
pencernaan dan luka operasi.
1. Sistem Kardiovaskuer
Pasien mengalami komplikasi kardiovaskular akibat kehilangan darah
secara aktual dan potensial dari tempat pembedahan, balans cairan, efek
samping anastesi, ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme
resulasi sirkulasi normal.
Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan darah
terjadi secara eksternal melalui drain atau insisi atau secara internal luka
bedah. Pendarahan dapat menyebabkan turunnya tekanan darah:
meningkatnya kecepatan denyut jantung dan pernafasan (denyut nadi
lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah). Apabila pendarahan
terjadi secara eksternal, memperhatikan adanya peningkatan drainase yang
mengandungi darah pada balutan atau melalui drain.
2. Sistem Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga
perlu waspada terhadap pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk
yang lemah.Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas dan membrane mukosa
dimonitor.
3. Sistem Persyarafan
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat kesadaran yang
berbeda. Oleh karena itu, seorang harus memonitor tingkat respon pasien
dengan berbagai cara. Misalnya dengan memonitor fungsi pendengaran
atau penglihatan. Apakah pasien dapat berespon dengan baik ketika diberi
stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun juga dapat memonitor tingkat
kesadaran dengan menentukan Skala Koma Glasgow / Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS ini memberikan 3 bidang fungsi neurologik:
memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan
dalam mengevaluasi motorik pasien, verbal, dan respon membuka mata
4. Sistem Perkemihan
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan
rektum, anus, vagina, herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen
bawah.Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.
5. Sistem Gastrointestinal
Setelah pembedahan, harus dipantau apakah pasien telah flatus atau
belum. Intervensi untuk mencegah komplikasi gastrointestinal akan
mempercepat kembalinya eleminasi normal dan asupan nutrisi. Pasien
yang menjalani bedah pada struktur gastrointestinal membutuhkan waktu
beberapa hari agar diitnya kembali normal. Peristaltik normal mungkin
tidak akan terjadi dalam waktu 2-3 hari. Sebaliknya pasien yang saluran
gastrointestinalnya tidak dipengaruhi langsung oleh pembedahan boleh
mengkonsumsi makanan setelah pulih dari pengaruh anastesi, tindakan
tersebut dapat mempercepat kembalinya eliminasi secara normal.
6. Luka Operasi
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan meminimalisasi
resiko infeksi dengan menggunakan alat yang steril.Maka, kemungkinan
luka tersebut untuk terjadi infeksi adalah juga minimal.Namun, jika ada
risiko diidentifikasi luka tersebut bermasalah, seperti ada luka yang masih
basah dan ada pengumpulan cairan, maka hal tersebut mungkin dapat
disebabkan beberapa faktor. Antaranya adalah seperti diabetes mellitus,
imunosupresi, keganasan dan malnutrisi, cara penutupan luka, infeksi dan
apa pun yang mungkin menyebabkan penekanan berlebihan pada luka.
D. Manifestasi Klinik
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Perdarahan : tekanan darah menurun, meningkatnya denyut jantung dan
pernafasan, denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah
b. Eksternal : peningkatan drainase yang mengandungi darah pada balutan
atau melalui drain.
c. Hipoksia (capillary refill).
2. Sistem Pernafasan
a. Depresi pernafasan : pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk
yang lemah
b. Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan
dinding dada, bunyi nafas abnormal dan membrane mukosa
3. Sistem Persyarafan
Tingkat kesadaran ( GCS ) : Coma
4. Sistem Traktus Urinarius
Retensi urine (pasme spinkter kandung kemih )
5. Sistem Gastrointestinal
Mual, muntah, belum flatus atau defekasi
6. Luka Operasi
Infeksi : luka yang masih basah dan ada pengumpulan cairan (mungkin
dapat disebabkan beberapa factor adalah seperti diabetes mellitus,
imunosupresi, keganasan dan malnutrisi).
G. Penatalaksanaan kegawatan
Komplikasi yang muncul pada pasien pasca-operasi Menurut Rothrock
(1999) komplikasi yang akan muncul saat pascaoperasi diantaranya:
1. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia
yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,
pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi
(Smeltzer & Bare, 2001). Gagal pernapasan merupakan fenomena pasca-
operasi, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelemahan otot setelah
pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid
dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat
sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal
pernapasan restriktif dengan retensi CO2sertakemudian narkosis CO2,
terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi,
hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Baradero et al, 2008).
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70
mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat
disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis
obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksi hipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot,
dan reaksi transfusi. Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi
dan pemulihan anestesia. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesik dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang
tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Baradero et al, 2008).
3. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien
diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut
20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus di jaga tetap lurus.
Penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu
diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa st eril
dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan
pada posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan
dengan kondisi pasien (Majid et al, 2011).
Penatalaksanaan pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok,
sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi, inspeksi luka bedah,
balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi dan transfusi darah
atau produk darah lainnya.
4. Hipertermia maligna
Hipertermi malignan sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi.
Angka mortalitasnya sangat tinggi lebih dari 50%, sehingga diperlukan
penatalaksanaan yang adekuat. Hipertermi malignan terjadi akibat
gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik. Selama anastesi,
agen anastesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan otot
(suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.
5. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 ⁰C (normotermi :
36,6⁰C-37,5⁰C). Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami
pasien sebagai akibat suhu rendah di kamar operasi (25⁰C-26,6⁰C), infus
dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas dingin, aktivitas otot yang
menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang digunakan (vasodilator,
anastetik umum, dan lain-lain). Penggunaan gaun operasi pasien dan
selimut yang basah harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang
kering.
H. Pathway Keperawatan Pascaoperatif
Resiko Injuri,
Resiko tinggi
Nyeri
penurunan perfusi
jaringan, Resiko tinggi
CO menurun,
Hipotermi, Hipertermi
maligna, Resiko tinggi
trombosis vena
provunda, Ketidak Gangguan pertukaran
seimbangan cairan dan gas
elektrolit Kekurangan volume
cairan
I. Fokus intervensi dan rasional
II. RESPIRATORY
MONITORING
• Lakukan terapi IV
Tidak ada tanda tanda
dehidrasi, Elastisitas turgor • Monitor status nutrisi
kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada • Berikan cairan
rasa haus yang berlebihan
• Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
Airway Management
B. Riwayat Kesehatan
· Keluhan Utama
keluhannya sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, palpitasi dan nafas cepat
· Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, nafas cepat, palpitasi
· Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah menjalani bedah jantung
· Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kelainan jantung hingga dilakukan
pembedahan
Ø Bila pasien telah dipindahkan ke unit perawatan kritis, 4-12 jam sesudahnya,
harus dilakukan pengkajian yang lengkap mengenai semua system untuk
menetukan status pascaoperasi pasien dibandingkan dengan garis dasar
perioperative dan mengetahui perubahan yang mungkin terjadi selama
pembedahan. Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut :
1. Status neurologis :tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap
cahaya, refleks, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
2. Status Jantung :frekuensi dan irama jantung, suara jantung, tekanan darah
arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji arteri
paru (PAWP = pulmonary artery wedge pressure). tekanan atrium kiri (LAP),
bentuk gelombang dan pipa tekanan darah invasif, curah jantung atau indeks.
tahanan pembuluh darah sistemik dan paru, saturasi oksigen arteri paru bila
ada, drainase rongga dada, dan status serta fungsi pacemaker.
3. Status respirasi : gerakan dada, suara napas, penentuan ventilator (frekuensi,
volume tidal, konsentrasi oksigen, mode [mis, SIMV], tekanan positif akhir
ekspirasi [PEEP], kecepatan napas, tekanan ventilator, saturasi oksigen anteri
(SaO2), CO2 akhir tidal, pipa drainase rongga dada, gas darah arteri.
4. Status pembuluh darah perifer :denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku,
mukosa, bibir dan cuping telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan dan pipa
invasif.
5. Fungsi ginjal :haluaran urin, berat jenis urin, dan osmolaritas.
6. Status cairan dan elektrolit asupan : haluaran dan semua pipa drainase.
semua parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan elektrolit
berikut:
a. Hipokalemia : intoksikasi digitalis, disritmia (gelombang U, AV blok,
gelombang T yang datar atau terbalik).
b. Hiperkalemia : konfusi mental, tidak tenang, mual, kelemahan, parestesia
eksremitas, disrirmia (tinggi, gelombang T puncak, meningkatnya amplitudo,
pelebaran kompleks QRS; perpanjangan interval QT).
c. Hiponatremia : kelemahan, kelelahan, kebingungan, kejang, koma.
d. Hipokalsemia parestesia, spasme tangan dan kaki, kram otot, tetani.
e. Hiperkalsemia intoksikasi digitalis, asistole.
7. Nyeri :sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus dibedakan
dengan nyeri angina), aprehensi, respons terhadap analgetika.
Beberapa pasien yang telah menjalani CABG dengan arteri mamaria interna akan
mengalami parestesis nervus ulnaris pada sisi yang sama dengan graft yang
diambil. Parestesia tersebut bisa sementara atau permanen. Pasien yang
menjalani CABG dengan arteri gastroepiploika juga akan mengalami ileus
selama beberapa waktu pascaoperatif dan akan mengalami nyeri abdomen
pada tempat insisi selain nyeri dada.
Pengkajian juga mencakup observasi segala peralatan dan pipa untuk menentukan
apakah fungsinya baik: pipa endotrakheal, ventilator, monitor CO2 akhir tidal,
monitor SaO2, kateter arteri paru, monitor saturasi oksigen arteri paru (SaO2),
pipa arteri dan vena, alat infus intravena dan selang, monitor jantung,
pacemaker, pipa dada, dan sistem drainase urin.
Do:
- Suhu : 38,50C
- Adanya kemerahan pada
kulit pasien
- Kulit pasien terasa
hangat
- terdapat takipneu
· TTV
- Nadi : 78 x/menit
- TD : 85/65mmHg
- RR : 27 x/menit
- Suhu : 38.5 ̊ C
3.3 Implementasi
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency
nursing assessment process: a structured framedwork for a systematic
approach. Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life
Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance
Gawat Darurat 118.