PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2020 - 2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadiran-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah keperawatan kritis tentang ASKEP
Operasi Mayor.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan terlepas dari semua itu, saya menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ASKEP Operasi Mayor. Dapat
memberikan manfaat inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
SAMPUL.
KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
B. Tujuan Penulisan.
BAB II KONSEP DASAR.
A. Pengertian.
B. Etiologi / Presdiposisi.
C. Patofisiologi.
D. Manifestasi Klnik.
E. Pengkajian Fokus Kegawatan.
F. Pengkajian fokus pasa kasus.
G. Penatalaksanaan Kegawatan.
H. Pathways Keperawatan.
I. Fokus Intervensi dan rasional.
BAB III PENUTUP.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Selama periode pasca operatif, proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan
kembali equibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri, dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien dalam kembali pada fungsi
optimalnya dengan cepat, aman, dan senyaman mungkin.
Upaya yang besar diharapkan pada mengantisipasi dan mencegah masalah pada periode
pascaoperatif. Pengkajian yang tepat mencegah komplikasi yang memperlama perawatan
dirumah sakit atau membahayakan pasien.
Perawatan pasca operasi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada kondisi
fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi. Monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien
dengan risiko tinggi seperti kelainan organ, syok yang lama, dehidrasi berat, sepsis, dan
gangguan organ penting, seperti otak. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan
rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ( Baradero et
al, 2008).
Tindakan keperawatan yang dilakukan pasca operasi terdiri dari ( tindakan yang
meliputi pengelolaan jalan napas, monitor sirkulasi, monitoring cairan dan elektrolit,
monitoring suhu tubuh, menilai dengan aldrete score,pengelolan keamanan dan kenyamanan
pasien, serah terima dengan petugas ruang operasi dan serah terima dengan petugas ruang
perawatan ( bangsal ) ( Rothrock, 1990).
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah :
1. Tujuan Umum : Agar mahasiswa dapat mengungkapkan pola pikir yang ilmiah dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pascaoperatif.
2. Tujuan khusus : Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisa data,
menetapkan diagnosa keperawatan, merencanakan tindakan, mengimplementasikan
tindakan sesuai rencana dan mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien pasca
operatif.
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan
membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akanditangani. Pembukaan tubuh ini
umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2010).
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh (Smeltzer and
Bare,2002). Pembedahan merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi rumah
sakit dengan prosedur yang sudah ditetapkan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi mayor. Operasi
minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif, bertujuan untuk memperbaiki
fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki deformitas, contohnya
pencabutan gigi, pengangkatan kutil, kuretase, operasi katarak, dan arthoskopi. Operasi
mayor adalah operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi. Tujuan dari operasi ini
adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh,
memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan, contohnya kolesistektomi,
nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma
(Brunner & Sudarth 2001).
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah &
Hidayat, 2008).
Proses keperawatan pascaoperatif pada praktiknya akan dilaksanakan secara
berkelanjutan baik di ruang pemulihan, ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah. Fase
pascaoperatif adalah suatu kondisi dimana pasien sudah masuk di ruang pulih sadar sampai
pasien dalam kondisi sadar betul untuk dibawa keruang rawat inap.
B. ETIOLOGI / PREDISPOSISI
Prosedur bedah pada dasarnya terbagi dalam tiga kelompok besar, yang di dalamnya
masih akan terbagi lagi sesuai kategorinya. Berikut rinciannya.
1. Kelompok operasi berdasarkan tujuan
Kelompok pertama ini menggolongkan prosedur bedah berdasarkan tujuan dari tindakan
medis ini dilakukan. Pada dasarnya operasi dianggap sebagai metode pengobatan,
namun tindakan medis ini juga dapat digunakan untuk:
a) Mendiagnosis.
Operasi yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit tertentu, seperti operasi
biopsi yang sering dilakukan untuk memastikan dugaan adanya kanker padat atau
tumor pada bagian tubuh tertentu.
b) Mencegah
Tak hanya mengobati, bedah dilakukan juga untuk mencegah suatu kondisi yang
lebih buruk lagi. Misalnya, operasi pengangkatan polip usus yang bila tak ditangani
akan dapat tumbuh menjadi kanker.
c) Menghilangkan.
Operasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengangkat sejumlah jaringan dalam
tubuh. Biasanya, operasi jenis ini memiliki akhiran –ektomi. Misalnya saja
mastektomi (pengangkatan payudara) atau histerektomi (pengangkatan rahim).
d) Mengembalikan.
Operasi juga dilakukan untuk dapat mengembalikan suatu fungsi tubuh menjadi
normal kembali. Contohnya, pada rekonstruksi payudara yang dilakukan oleh orang
yang telah melakukan mastektomi.
e) Paliatif.
Jenis operasi ini ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh pasien
yang biasanya mengalami penyakit kronis stadium akhir.
2. Kelompok operasi berdasarkan tingkat risiko
Setiap operasi bedah pasti memiliki risiko, tetapi tingkat risikonya tentu berbeda-beda.
Berikut adalah pengelompokkan operasi berdasarkan tingkat risikonya:
a. Bedah mayor
Merupakan operasi yang dilakukan di bagian tubuh seperti kepala, dada, dan perut.
Salah satu contoh operasi ini adalah operasi cangkok organ, operasi tumor otak,
atau operasi jantung. Pasien yang menjalani operasi ini biasanya membutuhkan
waktu yang lama untuk kembali pulih.
b. Bedah minor
Kebalikan dari tindakan bedah mayor, operasi ini tidak membuat pasiennya harus
menunggu lama untuk pulih kembali. Bahkan dalam beberapa jenis operasi, pasien
diperbolehkan pulang pada hari yang sama. Contoh operasinya seperti biopsi pada
jaringan payudara.
3. Kelompok operasi berdasarkan teknik
Pembedahan itu sendiri dapat dilakukan dengan beragam teknik berbeda, tergantung
dari bagian tubuh mana yang harus dioperasi dan penyakit apa yang diderita oleh
pasien.
● Operasi bedah terbuka
Metode ini biasanya disebut dengan operasi konvensional, yaitu tindakan medis
yang membuat sayatan pada bagian tubuh dengan menggunakan pisau khusus.
Contohnya adalah operasi jantung, dokter menyayat bagian dada pasien dan
membukanya agar organ jantung terlihat jelas.
● Laparaskopi
Jika sebelumnya operasi dilakukan dengan menyayat bagian tubuh, pada
laparaskopi, ahli bedah hanya akan menyayat sedikit dan membiarkan alat seperti
selang masuk ke dalam lubang yang telah dibuat, untuk mengetahui masalah yang
terjadi di dalam tubuh
C. PATOFISIOLOGI
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan
membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan tubuh ini
umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2010).
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan perubahan faal,
sebagai respon terhadap trauma. Gangguan faal tersebut meliputi tanda- tanda vital serta
organ-organ vital seperti sistem respirasi, sistem kardiovaskular, panca indera (SSP), sistem
urogenital, sistem pencernaan dan luka operasi.
1. Sistem Kardiovaskuer
Pasien mengalami komplikasi kardiovaskular akibat kehilangan darah secara aktual
dan potensial dari tempat pembedahan, balans cairan, efek samping anastesi,
ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme resulasi sirkulasi normal.
Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan darah terjadi secara
eksternal melalui drain atau insisi atau secara internal luka bedah. Pendarahan dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah: meningkatnya kecepatan denyut jantung dan
pernafasan (denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah). Apabila
pendarahan terjadi secara eksternal, memperhatikan adanya peningkatan drainase yang
mengandungi darah pada balutan atau melalui drain.
2. Sistem Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga perlu
waspada terhadap pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding dada,
bunyi nafas dan membrane mukosa dimonitor.
3. Sistem Persyarafan
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat kesadaran yang berbeda.
Oleh karena itu, seorang harus memonitor tingkat respon pasien dengan berbagai cara.
Misalnya dengan memonitor fungsi pendengaran atau penglihatan. Apakah pasien dapat
berespon dengan baik ketika diberi stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun juga dapat
memonitor tingkat kesadaran dengan menentukan Skala Koma Glasgow / Glasgow
Coma Scale (GCS). GCS ini memberikan 3 bidang fungsi neurologik: memberikan
gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam mengevaluasi
motorik pasien, verbal, dan respon membuka mata
4. Sistem Perkemihan
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus,
vagina, herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen bawah. Penyebabnya adalah
adanya spasme spinkter kandung kemih.
5. Sistem Gastrointestinal
Setelah pembedahan, harus dipantau apakah pasien telah flatus atau belum.
Intervensi untuk mencegah komplikasi gastrointestinal akan mempercepat kembalinya
eleminasi normal dan asupan nutrisi. Pasien yang menjalani bedah pada struktur
gastrointestinal membutuhkan waktu beberapa hari agar diitnya kembali normal.
Peristaltik normal mungkin tidak akan terjadi dalam waktu 2-3 hari. Sebaliknya pasien
yang saluran gastrointestinalnya tidak dipengaruhi langsung oleh pembedahan boleh
mengkonsumsi makanan setelah pulih dari pengaruh anastesi, tindakan tersebut dapat
mempercepat kembalinya eliminasi secara normal.
6. Luka Operasi
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan meminimalisasi resiko infeksi
dengan menggunakan alat yang steril. Maka, kemungkinan luka tersebut untuk terjadi
infeksi adalah juga minimal. Namun, jika ada risiko diidentifikasi luka tersebut
bermasalah, seperti ada luka yang masih basah dan ada pengumpulan cairan, maka hal
tersebut mungkin dapat disebabkan beberapa faktor. Antaranya adalah seperti diabetes
mellitus, imunosupresi, keganasan dan malnutrisi, cara penutupan luka, infeksi dan apa
pun yang mungkin menyebabkan penekanan berlebihan pada luka
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Perdarahan :
✔ Tekanan darah menurun
✔ Meningkatnya denyut jantung dan pernafassan
✔ Denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah
✔ Eksternal : peningkatan drainase yang mengandungi darah pada balutan atau
melalui drain.
b. Hipoksia (capillary refill).
2. Sistem Pernafasan
a. Depresi pernafasan : pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah
b. Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding
dada, bunyi nafas abnormal dan membrane mukosa
3. Sistem Persyarafan
a. Tingkat kesadaran ( GCS ) : Coma
4. Sistem Traktus Urinarius
a. Retensi urine (pasme spinkter kandung kemih )
5. Sistem Gastrointestinal
a. Mual, muntah
b. Belum Flatus atau Defekasi
6. Luka Operasi
a. Infeksi : luka yang masih basah dan ada pengumpulan cairan (mungkin dapat
disebabkan beberapa factor adalah seperti diabetes mellitus, imunosupresi,
keganasan dan malnutrisi )
E. PENGKAJIAN FOKUS KEGAWATAN
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi.
Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
✔ Adanya snoring atau gurgling
✔ Stridor atau suara napas tidak normal
✔ Agitasi (hipoksia)
✔ Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
✔ Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
✔ Muntahan
✔ Perdarahan
✔ Gigi lepas atau hilang
✔ Gigi palsu
✔ Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
✔ Chin lift/jaw thrust
✔ Lakukan suction (jika tersedia)
✔ Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
✔ Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
b. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
c. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
d. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
e. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
f. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan
kualitas pernafasan pasien.
g. Penilaian kembali status mental pasien.
1. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak
terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti
pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Smeltzer & Bare, 2001). Gagal
pernapasan merupakan fenomena pasca-operasi, biasanya karena kombinasi kejadian.
Kelemahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral
dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat
sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif
dengan retensi CO2sertakemudian narkosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan
dengan pemberian oksigen.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung (Baradero et al, 2008). Hipotensi didefinisikan
sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai
sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh
perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard,
aritmia, hipertensi, dan reaksi hipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan
reaksi transfusi. Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan
anestesia. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesik dan hipnosis yang tidak
adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat
(Baradero et al, 2008).
3. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien diberikan
posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat
tidur sementara lutut harus di jaga tetap lurus. Penyebab perdarahan harus dikaji
dan diatasi. Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan
terjadi, kassa st eril dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan
ditinggikan pada posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan dengan
kondisi pasien (Majid et al, 2011).Manifestasi klinis meliputi gelisah, gundah, terus
bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan
cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah. Penatalaksanaan
pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok, sedatif atau analgetik diberikan
sesuai indikasi, inspeksi luka bedah, balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka
operasi dan transfusi darah atau produk darah lainnya.
4. Hipertermia maligna
Hipertermi malignan sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi. Angka
mortalitasnya sangat tinggi lebih dari 50%, sehingga diperlukan penatalaksanaan yang
adekuat. Hipertermi malignan terjadi akibat gangguan otot yang disebabkan oleh agen
anastetik. Selama anastesi, agen anastesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan
otot (suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.
5. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 oC (normotermi : 36,6oC-
37,5oC). Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami pasien sebagai akibat
suhu rendah di kamar operasi (25oC-26,6oC), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi
gas-gas dingin, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang
digunakan (vasodilator, anastetik umum, dan lain-lain).Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari hipotermi yang tidak diinginkan adalah atur suhu
ruangan kamar operasi pada suhu ideal (25 oC - 26,6 oC), janganlebih rendah dari
suhu tersebut, caiaran intravena dan irigasi dibuat pada suhu 37 oC, gaun operasi
pasien dan selimut yang basah harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang
kering.
H. PATHWAYS KEPERAWATAN
Pascaoperatif
Resiko Injuri,
Nyeri
Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan,
Resiko tinggi CO menurun, Hipotermi,
Hipertermi maligna, Resiko tinggi trombosis
vena provunda, Ketidak seimbangan cairan
Gangguan pertukaran gas
dan elektrolit
Kekurangan volume
cairan
I. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
NO DIAGNOSA NOC KRITERIA HASIL NIC INTERVENSI
1 Gangguan pertukaran NOC : NIC : I. AIRWAY MANAGEMENT
gas b/d . efek sisa ● Respiratory Status : • Buka jalan nafas, guanakan teknik
anesthesia Gas exchange chin lift atau jaw thrust bila perlu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya. Perawatan pasca
operasi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik
anestesi, dan jenis operasi. Monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi seperti kelainan organ, syok yang lama, dehidrasi berat, sepsis, dan gangguan organ
penting, seperti otak.
B. Saran
Kami mengucap syukur pada Tuhan YME dimana dapat terselesaikannya laporan
kegawatan Post Operasi Bedah Mayor. Kami menyadari laporan ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/36361274/ASKEP_KEGAWATAN_POST_OP_BEDAH_MAYOR?auto=download.
Diakses pada tanggal 06 Oktober 2020.