Anda di halaman 1dari 10

TINDAKAN KEPERAWATAN PRE DAN POST OPERASI

1. Definisi
Menurut Himpunan Kamar Bedah Indonesia (HIPKABI) mendefinisikan tindakan operasi
sebagai prosedur medis yang bersifat invasif untuk diagnosis, pengobatan penyakit, trauma
dan deformitas (HIPKABI, 2014). Definisi lain menyatakan bahwa operasi merupakan
tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh (Smeltzer, dkk., 2008). Konsep pre operasi
adalah bagian dari keperawatan perioperatif dan merupakan persiapan awal sebelum
melakukan tindakan operasi.Dalam kosep pre operasi membahas tentang pengertian pre
operasi, persiapan pre operasi, indikasi dan klasifikasi Pembedahan, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan pada pasien pre operasi. Pre operasi adalah tahap yang dimulai
ketika ada keputusan untuk dilakukan intervensi bedah dan diakhiri ketika klien dikirim ke
meja operasi. Keperawatan pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan
perioperatif. Tahap ini merupakan awalan yang menjadi kesuksesan tahap-tahap berikutnya.
Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya
(HIPKABI, 2014).
2. Persiapan Pre Operasi
Keperawatan pre operasi merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif.
Perawatan pre operasi merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai
sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan
ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan (Mirianti, 2011). Pengkajian secara
integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik, biologis dan psikologis sangat diperlukan
untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi. Dalam hal ini persiapan sebelum operasi
sangat penting dilakukan untuk mendukung kesuksesan tindakan operasi. Persiapan operasi
yang dapat dilakukan diantaranya persiapan fisiologis, dimana persiapan ini merupakan
persiapan yang dilakukan mulai dari persiapan fisik, persiapan penunjang, pemerikaan status
anastesi sampai informed consent. Selain persiapan fisiologis, persiapan psikologis atau
persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan
operasi karena mental pasien yang tidak siap atau lebih dapat berpengaruh terhadap kondisi
fisik pasien (Smeltzer, dkk., 2008). Persiapan klien di unit perawatan, diantaranya (Ilmu
Bedah, 2010):
a. Persiapan fisik Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi antara lain:
1)Status Kesehatan Fisik Secara Umum Sebelum dilakukan pembedahan, penting
dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien,
riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,
pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler,
status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan
lain- lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup karena dengan istirahat yang
cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien
yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan pasien wanita
tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.
2) Status Nutrisi Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan
globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi
sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan
jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di
rumah sakit.
3) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya
dengan input dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi
ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi
metabolik obat- obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan
dengan baik.
4) Pencukuran Daerah Operasi Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk
menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga
mengganggu/ menghambat proses penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun
demikian ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan pencukuran sebelum
operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren)
harus dilakukan dengan hati- hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah yang
dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk mencukur sendiri agar pasien
merasa lebih nyaman. Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis
operasi dan daerah yang akan dioperasi.
5) Personal Hygiene Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan
infeksi pada daerah yang di operasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan
untuk mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama.
Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara
mandiri maka perawat akan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal
hygiene.
6) Pengosongan Kandung Kemih Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan
melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan. 7) Latihan Pra
Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini
sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi,
seperti: nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan-
latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain :
a) Latihan Nafas Dalam Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk
mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga
pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas
tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi
darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara
efektif dan benar maka pasien dapat segera
mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pasien.
b) Latihan Batuk Efektif Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien
terutama klien yang mengalami operasi dengan anestesi general. Karena pasien
akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranestesi.
Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan.Latihan batuk
efektif sangat bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk mengeluarkan lendir
atau sekret tersebut.
c) Latihan Gerak Sendi Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien
sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan
yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien
seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setelah
operasi. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan
operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas
keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien
akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih
cepat kentut/ flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir
pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya
dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis
vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal.
b. Persiapan Penunjang Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang, maka dokter
bedah tidak mungkin bisa menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi,
laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti EKG, dan lain-lain. Sebelum dokter
mengambil keputusan untuk melakukan operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai
pemeriksaan terkait dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan
penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan untuk dilakukan operasi
maka dokter anstesi berperan untuk menentukan apakah kondisi pasien layak menjalani
operasi. Untuk itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam pemerikasaan
laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa
pembekuan (clotting time) darah pasien, elektrolit serum, hemoglobin, protein darah, dan
hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG.
c. Pemeriksaan Status Anestesi
Pemeriksaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan untuk keselamatan selama
pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan
mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko
pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan
dengan menggunakan metode ASA (American Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini
dilakukan karena obat dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi
pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.
d. Inform Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain
yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat,
yaitu Inform Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan
medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan
menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anastesi). Inform Consent sebagai wujud dari upaya
rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang
bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan
persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan
pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan
konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat pernyataan
tersebut akan mendapatkan informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur
pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum
menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/ keluarganya berhak untuk menanyakan
kembali sampai betul- betul paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika
tidak maka penyesalan akan dialami oleh pasien/ keluarga setelah tindakan operasi yang
dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga.
e. Persiapan Mental/ Psikis Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya
dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat
berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman
potensial maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi
stres fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long, 2000). Contoh: perubahan fisiologis
yang muncul akibat kecemasan dan ketakutan misalkan pasien dengan riwayat hipertensi
jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan
tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan. Ketakutan dan
kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-
perubahan fisik seperti: meningkatnya frekuensi denyut jantung dan pernafasan, tekanan
darah, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,
menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, dan sering berkemih. Perawat
perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi
stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu
pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang
terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support system.
3. Respon Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang,respon kecemasan menurut
Suliswati (2005) antara lain:
a. Respon Fisiologis terhadap Kecemasan Secara fisiologis respon tubuh terhadap
kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun
parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem
saraf parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh. Reaksi tubuh terhadap
kecemasan adalah “fight” atau “flight”. Flight merupakan reaksi isotonik tubuh untuk
melarikan diri, dimana terjadi peningkatan sekresi adrenalin ke dalam sirkulasi darah
yang akan menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah sistolik,
sedangkan fight merupakan reaksi agresif untuk menyerang yang akan menyebabkan
sekresi noradrenalin, renninangiotensin sehingga tekanan darah meningkat baik sistolik
maupun diastolik. Bila korteks otak menerima rangsang akan dikirim melalui saraf
simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan adrenalin atau epinefrin sehingga
efeknya antara lain napas menjadi lebih dalam, nadi meningkat. Darah akan tercurah
terutama ke jantung, susunan saraf pusat dan otot. Dengan peningkatan glikogenolisis
maka gula darah akan meningkat.
b. Respon Psikologis terhadap Kecemasan Kecemasan dapat mempengaruhi aspek
interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan
gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain.
Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan
orang lain.
c. Respon Kognitif Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir
maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi
menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, dan bingung. d. Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga
berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.

1. Definisi Post Operasi


Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah &
Hidayat, 2008). Tahap pasca-operasi dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan
bedah ke unit pascaoperasi dan berakhir saat pasien pulang.
2. Jenis-jenis operasi
a. Menurut fungsinya (tujuannya), Potter dan Perry (2006) membagi menjadi:
1) Diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi
2) Kuratif (ablatif): tumor, appendiktom
3) Reparatif: memperbaiki luka multiple
4) Rekonstruktif: mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif: menghilangkan nyeri,
6) Transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau
struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
b. Menurut Luas atau Tingkat Resiko:
1) Mayor Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai
tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien. 11

2) Minor Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko
komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.

3. Komplikasi Post Operasi Menurut Baradero (2008) komplikasi post operasi yang akan
muncul antara lain yaitu hipotensi dan hipertensi. Hipotensi didefinisikan sebagai
tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai
sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh
perdarahan dan overdosis obat anestetika. Hipertensi disebabkan oleh analgesik dan
hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan
ventilasi yang tidak adekuat. Sedangkan menurut Majid, (2011) komplikasi post
operasi adalah perdarahan dengan manifestasi klinis yaitu gelisah, gundah, terus
bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun,
pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
B. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan perasaan tubuh atau bagian tubuh seseorang yang menimbulkan
respon tidak menyenangkan dan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman alam
rasa (Judha, 2012). Nyeri bersifat subjektif dan tidak ada individu yang mengalami
nyeri yang sama. Perawat perlu 12 mencari pendekatan yang paling efektif dalam
upaya pengontrolan nyeri (Potter & Perry, 2006). Nyeri dapat disebabkan oleh
berbagai stimulus seperti mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada ujung-ujung
saraf. Perawat dapat mengetahui adanya nyeri dari keluhan pasien dan tanda
umum atau respon fisiologis tubuh pasien terhadap nyeri. Sewaktu nyeri biasanya
pasien akan tampak meringis, kesakitan, nadi meningkat, berkeringat, napas lebih
cepat, pucat, berteriak, menangis, dan tekanan darah meningkat (Lukas, 2004 cit
Wahyuningsih, 2014).
2. Klasifikasi Nyeri Menurut Mubarak dan Chayatin (2008) ada beberapa klasifikasi
nyeri yaitu:
a. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam yaitu:
1) Nyeri superfisial Nyeri superfisial adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan
pada kulit dan mukosa. Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contoh penyebab nyeri superfisial
adalah jarum suntik dan luka potong kecil/ laserasi (Potter & Perry, 2006).
2) Nyeri viseral Nyeri viseral adalah nyeri yang muncul akibat stimulus dari reseptor
nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri 13 bersifat difus dan dapat
menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih
lama daripada nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik
tergantung organ yang terlibat (Potter & Perry, 2006).
3) Nyeri Alih(referred) Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada daerah lain
yang jauh dari penyebab nyeri. Contoh dari penyebab nyeri alih adalah infark
miokard yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri dan bahu kiri
(Potter & Perry, 2006).
b. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
thalamus
c. Nyeri Psikogenik
1) Nyeri Akut Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala
yang terjadi tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan
akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015).
2) Nyeri kronis Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang 14 aktual
atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala
yang terjadi yaitu timbul secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas dari
ringan hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang
dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung >3 bulan (NANDA, 2015).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Menurut Potter dan Perry (2006) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi nyeri seseorang yaitu :
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak – anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan
diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia
bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda dalam berespon terhadap nyeri.
Tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor – faktor biokimia dan
merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis
kelamin.
c. Perhatian Tingkat seorang klien
memfokuskan perhatian pada nyeri mempengaruhi persepsi nyeri, perhatian
yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini
merupakan salah satu 15 yang perawat terapkan sebagai terapi untuk
menghilangkan nyeri seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing dan massase.
Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain,
maka perawat dapat menempatka nyeri pada kesadaran perifer.
d. Kebudayaan Keyakinan dan nilai-nilai budaya
mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri, individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Cara individu mengekspresikan nyeri
merupakan sifat kebudayaan. Beberapa kebudayaan yakin bahwa
memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah. Sosialisasi budaya
menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiate endogen dan sehingga terjadilah
persepsi nyeri.
e. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beadaptasi terhadap nyeri. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya,
seorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri berbeda
dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan.
Derajat dan 16 kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan
makna nyeri.
f. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat
perhatian didalam suatu lingkungan berteknologi tinggi, misalnya unit
perawatan intensif maka rasa cemas tersebut dapat menimbulkan suatu
masalah penatalaksanaan nyeri yang serius nyeri yang tidak kunjung hilang
seringkali menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian.
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan sensasi
nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan
disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahka dapat terasa lebih berat.
Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur
yang lelap di banding pada akhir hari yang melelahkan
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila
individu mengalami nyeri, dengan jenis yang berulang-ulang, tetapi kemudian
nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah individu tersebut
menginterpretasikan 17 sensasi nyeri. Perawat harus melakukan upaya untuk
mempersiapkan klien dengan menerangkan secara jelas tentang jenis nyeri yang
akan dialami dan metode yang mengurangi nyeri tersebut
i. Gaya koping Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan,
bagian sebagian atau keseluruhan. Klien seringkali menemukan berbagai cara
untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. penting
untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri.
Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluaraga pendukung,
melakukan latihan atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan
keperawatan dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai
tingkat tertentu
j. Dukungan keluarga dan sosial Indivdu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan,
kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan rasa kesepian dan
ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan. Kehadiran orangtua sangat penting terutama
bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri. 18
4. Penatalaksanaan Nyeri Penatalaksanaan nyeri atau tindakan keperawatan untuk
mengurangi nyeri yaitu terdiri dari penatalaksanaan non – farmakologi dan
farmakologi.
a. Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi menurut Bangun dan Nur’aeni (2013),
merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri
tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya perawat
dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim
kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode
untuk menghilangkan nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan non
farmakologi yang dapat membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri
nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut
bukan merupakan pengganti obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2008). Salah satu
tanggung jawab perawat paling dasar adalah melindungi klien/pasien dari
bahaya. Ada sejumlah terapi nonfarmakologi yang mengurangi resepsi dan
persepsi nyeri yang dapat digunakan pada keadaan perawatan akut, perawatan
tersier dan pada keadaan perawatan restorasi (Potter d& Perry, 2006).
Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari intervensi perilaku kognitif yang
meliputi tindakan distraksi, tehnik relaksasi, imajinasi 19 terbimbing, hypnosis
dan sentuhan terapeutik (massage) (Tamsuri, 2007). Menurut Nursing
Intervention and Classification/NIC (2013) peran perawat dalam penatalaksanaan
nyeri adalah:
1) Mengkaji nyeri seperti lokasi, karakteristik, durasi nyeri, frekuensi nyeri,
kualitas nyeri, intensitas nyeri dan faktor penyebab nyeri
2) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Menanyakan pengetahuan pasien tentang nyeri
4) Mengkaji pengaruh nyeri yang dialami pasien pada tidur, selera makan,
aktivitas, perasaan, hubungan, peran pada pekerjaan dan pola tanggungjawab
5) Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
6) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
7) Melakukan penanganan non-farmakologi seperti relaksasi, terapi music, guided
imagery, terapi akupresur, terapi aktivitas dan massage
8) Mengajarkan prinsip dari manajemen nyeri
9) Menggunakan teknik pengontrolan nyeri/ antisipasi sebelum nyeri berubah
menjadi berat 20
10) Melakukan penanganan farmakologi yaitu pemberian analgesic Menurut
Susanti (2012) perawat mengkaji nyeri pasien untuk merencanakan tindakan
apa yang harus diberikan selanjutnya untuk pasien yaitu dengan
menggunakan instrumen OPQRSTUV (onset, proviking, quality, region,
severity, treatment, understanding, value).
b. Penatalaksanaan Farmakologi Keputusan perawat dalam penggunaan obat-
obatan dan penatalaksanaan klien/pasien yang menerima terapi farmakologi
membantu dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan
(Potter & Perry, 2006).
1) Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Perawat
harus mengetahui obat-obatan yang tersedia untuk menghilangkan nyeri (Potter &
Perry, 2006). Ada tiga jenis analgesik menurut Potter dan Perry (2006) yaitu:
a) Non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) Kebanyakan NSAID
bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi tranmisi dan resepsi
stimulus nyeri. NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan
sedang seperti nyeri yang terkait dengan artritis rheumatoid, 21 prosedur
pengobatan gigi, prosedur bedah minor dan episiotomy
b) Analgesik narkotik atau opiat Analgesik narkotik atau opiat umumnya
diresepkan untuk nyeri sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi dan
nyeri maligna. Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat
c) Obat tambahan (adjuvan) atau koanalgesik Adjuvan seperti sedatif, anticemas
dan relaksan otot meningkatkan control nyeri atau menghilangkan gejala lain
yang terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual. Sedatif seringkali
diresepkan untuk penderita nyeri kronik
2) Analgesik Dikontrol Pasien (ADP) Sistem pemberian obat yang disebut ADP
merupakan metode yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri post
operasi dan nyeri traumatik. Klien/pasien menerima keuntungan apabila ia
mampu mengontrol nyeri (Potter & Perry, 2006).
5. Komplikasi Nyeri Menurut Potter dan Perry (2006) efek nyeri pada klien/pasien
ada tiga yaitu:
a. Efek fisiologis/fisik Apabila klien/pasien merasakan nyeri perawat harus mengkaji
tanda vital, melakukan pemeriksaan fisik dan mengobservasi 22 keterlibatan
system saraf otonom. Saat awitan nyeri akut maka denyut jantung, tekanan darah
dan frekuensi pernapasan meningkat (Potter & Perry, 2006). Respon fisik timbul
akibat impuls nyeri yang ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak
dan thalamus menyebabkan terstimulasinya sistem saraf otonom sehingga akan
menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres (Tamsuri,
2007).
b. Efek perilaku Banyak klien/pasien tidak mampu mengungkapkan secara verbal
mengenai ketidaknyamanan, hal ini dikarenakan mereka tidak mampu
berkomunikasi. Merintih, mendengkur dan menangis merupakan contoh
vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan nyeri. Sifat nyeri menyebabkan
seseorang merasa tidak nyaman, nyeri yang berat secara serius dapat
menghambat perilaku atau gaya hidup seseorang (Potter dan Perry, 2006). Efek
perilaku seseorang terhadap nyeri digambarkan dalam tiga fase: 1) Fase antisipasi
Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan fase ini memungkinkan
seseorang untuk memahami nyeri yang dirasakan. Klien belajar untuk
mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul dan klien juga
diajarkan untuk mengatasi nyeri jika terapi yang dilakukan kurang efektif
(Tamsuri, 2007). 23 2) Fase sensasi Sensasi nyeri akan terjadi ketika seseorang
merasakan nyeri. Banyak perilaku yang ditunjukkan individu ketika mengalami
nyeri seperti menangis, menjerit, meringis, meringkukkan badan, dan bahkan
berlari-lari (Tamsuri, 2007). 3) Pasca nyeri (Fase Akibat) Fase ini terjadi ketika
kurang atau berhentinya rasa nyeri. Jika seseorang merasakan nyeri yang
berulang maka respon akibat akan menjadi masalah. Perawat diharapkan dapat
membantu klien untuk mengontrol rasa nyeri dan mengurangi rasa takut apabila
nyeri menyerang (Tamsuri, 2007).
c. Respon psikologis Respon ini berkaitan dengan pemahaman seseorang terhadap
nyeri yang terjadi. Klien yang mengartikan nyeri sebagai suatu yang negatif akan
menimbulkan suasana hati sedih, berduka, tidak berdaya, marah, dan frustasi. Hal
ini berbalik dengan klien yang menganggap nyeri sebagai pengalaman yang positif
karena mereka akan menerima rasa nyeri yang dialami (Tamsuri, 2007).

Anda mungkin juga menyukai