Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


GAGAL NAPAS

Disusun oleh:
Afentiani Rizky (2042915170
Muhammad Suparta (2042915170
Pratiwi Nurnovianti (204291517037)

PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan


rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan Gagal napas secara teoritis”
tepat waktu. Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat & Kritis.
Makala ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan Makala ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontibusi dalam pembuatan Makala ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat, tata Bahasa maupun isi materi yang
disampaikan. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
.

Jakarta, 27 september 2021

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Tujuan Penulisan..................................................................................5
C. Ruang Lingkup.....................................................................................6
D. Merode Penelitian.................................................................................6
E. Sistematika Penulisan...........................................................................6

BAB II TINJAUAN TEORI.............................................................................8

A. Konsep Dasar........................................................................................8
1. Anatomi Fisiologi...........................................................................8
2. Definisi...........................................................................................20
3. Etiologi...........................................................................................21
4. Patofisiologi....................................................................................21
5. Menifestasi Klinik..........................................................................24
6. Komplikasi......................................................................................25
7. Penatalaksaan Medis.......................................................................25
B. Asuhan Keperawatan ...........................................................................27
1. Pengkajian ......................................................................................27
2. Diangnosa keperawatan..................................................................31
3. Intervensi keperawatan...................................................................32
4. Implementasi Keperawatan............................................................35

iii
5. Evaluasi...........................................................................................37

BAB III PENUTUP..........................................................................................42

A. Kesimpulan...........................................................................................42
B. Saran.....................................................................................................43

Daftar Pustaka...................................................................................................44

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan dalam

melakukan satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu oksigenasi dan

eliminasi karbondioksida. Berdasarkan abnormalitas gas darah, gagal

napas dibagi menjadi gagal napas tipe 1 (hipoksemia), tipe 2

(hiperkapnia), dan tipe 3 (gagal oksigenasi dan ventilasi). Gagal napas

tipe 1 (hipoksemia) didefinisikan dengan PaO2 kurang dari 60 mmHg

disertai PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas tipe 2 (hiperkapnia)

didefinisikan dengan PaCO2 lebih dari 50 mmHg. Sedangkan gagal

napas tipe 3 (gagal oksigenasi dan ventilasi) merupakan kombinasi

hipoksemia dan hiperkapnia (Lamba et al, 2016). Pada pasien gagal

napas sering disebabkan karena Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS) dengan insidensi ARDS di populasi sebesar 3,5 kasus per

100.000 orang dalam satu tahun, sedangkan di Pediatric Intensive

Care Unit (PICU) sebesar 2,3% (Schouten et al, 2016).

Gagal napas dapat memicu terjadinya serangan jantung, gagal

jantung, dan kelainan irama detak jantung atau aritmia akibat

kekurangan oksigen pada jantung, walaupun kemajuan teknik diagnosis

1
dan terapi intervensi telah berkembang dengan pesat, namun gagal

napas masih menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian yang

tinggi di ruang perawatan intensif (Musliha 2010).

Pada pasien yang mengalami gagal nafas diperlukan tindakan

pemasangan ventilator untuk membantu system respirasi, dimana

ventilator merupakan alat bertekanan positif atau negatif yang dapat

mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen untuk jangka waktu

yang lama (Brunner & Suddarth, 2002, hlm 658). Dampak dari

pemasangan ventilator biasanya pasien mengalami peningkatan dan

penumpukan sekret akibat dari efek penghangatan dan kelembaban

saluran pernafasan telah dipintas, reflek-reflek menelan terdiri dari

reflek glotis, reflek faring dan reflek laring tertekan karena tidak dapat

digunakan dalam waktu yang lama dan terjadi iritasi akibat endo

trakhial tube (ETT) yang digunakan. Diagnosis untuk mengetahui

banyaknya produksi sekresi adalah : frekuensi pernafasan > 30 x/mnt,

Suara nafas ronchi, wheezing dan saturasi O2 < 85%.

Kejadian kegagalan pernafasan akut masih merupakan 1 dari 20

penyakit utama penyebab kematian yang tinggi di instalasi perawatan

intensif secara global, dengan angka mortalitas sebesar 35%-46%

tergantung derajat keparahan gejala ARDS (Acute Respiratory Distress

Syndrome). Mortalitas akibat ARDS semakin meningkat seiring usia,

2
dengan angka mortalitas 24% pada usia 15-19 tahun dan 60% pada usia

di atas 80 tahun (Bellani et al. 2016).

The American European Consensus On ARDS tahun 2010

menemukan bahwa insiden sebanyak 12,6-28,0 kasus/100.000

penduduk/tahun, di laporkan sekitar 40% terdapat kasus gagal nafas

akut termasuk di dalamnya terdapat kasus kematian. Hasil studi di

negara Jerman dan Swedia melaporkan bahwa 77,6-88,6 kasus/100.000

penduduk/tahun. Dan Insidensi ARDS di Amerika Serikat terdapat 306

kasus per 100.000 populasi per tahun. Kasus ARDS di Taiwan semakin

meningkat seiring 3 bertambahnya usia antara usia 75 – 84 tahun,

terdapat kenaikan sebanyak 50% dari tahun 1997 sampai tahun 2011.

Prevalensi gagal nafas di Indonesia tidak tercatat dengan jelas.

Kejadian gagal nafas menempati peringkat sepuluh penyebab kematian

di rumah sakit yaitu sebesar 5.1% pada tahun 2017 berdasarkan data

peringkat sepuluh penyakit tidak menular (PTM) pada tahun 2017

(“Riskesda 2017,” n.d.). Gagal napas masih menjadi penyebab angka

kesakitan dan kematian yang tinggi di unit perawatan intensif (Rusmiati

dalam Surjanto et al, 2009). Penelitian Surjanto et al (2009) terhadap 77

pasien dewasa dengan gagal napas di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

menyatakan 18 (23,38%) pasien dirawat di ruang intensif, dan 17

(22,08) pasien membutuhkan tatalaksana secara invasif. Angka

3
kematian secara keseluruhan yaitu 11 (14,29%) pasien, dan 10 (90,90%)

pasien diantaranya meninggal di ruang perawatan intensif (Surjanto et

al, 2009).

Perawat merupakan “The Caring profession” karena pelayanan

keperawatan yang diberikan secara holistik berdasarkan pendekatan bio-

psiko- spiritual yang dilaksanakan selama 24 jam dan

berkesinambungan kepada pasien (Depkes RI, 2011). Pelayanan

keperawatan dalam pelaksanaannya merupakan praktek keperawatan

yaitu tindakan madiri perawat profesional dalam memberikan asuhan

keperawatan yang dilaksanakan dengan cara kerjasama yang bersifat

kolaboratif dengan klien dan tenaga kesehatan lain sesuai dengan

lingkup wewenang dan tanggung jawabnya yang dapat dilaksanakan

melalui pendokumentasian asuhan keperawatan (Murni, 2016)

Asuhan keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yaitu

suatu metode sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat untuk

memenuhi kebutuhan klien dalam mencapai atau mempertahankan

keadaan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang optimal melalui

tahapan pengkajian keperawatan, indentifikasi diagnosa keperawatan,

penentuan perencanaan keperawatan, melaksanakan tindakan

keperawatan serta mengevaluasinya (Suarli & Yahya, 2012).

Proses keperawatan adalah aktivitas yang mempunyai maksud yaitu

4
praktik keperawatan yang dilakukan dengan cara yang sistematik.

Selama melaksanakan proses keperawatan, perawat menggunakan dasar

pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien,

membuat penilaian yang bijaksana dan mendiagnosa, mengidentifikasi

hasil akhir kesehatan klien dan merencanakan, menerapkan dan

mengevaluasi tindakan keperawatan yang tepat guna mencapai hasil

akhir tersebut (Dermawan, 2012).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok tertarik untuk

mempelajari tentang gagal napas dan asuhan keperawatannya. Maka

dari itu kelompok mengangkat judul analisis Asuhan keperawatan

teoritis Gagal napas.

B. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep gagal nafas serta asuhan

keperawatan gawat darurat dari gagal nafas.

b. Tujuan Khusus
1. Diketahui anatomi fisiologi system pernafasan

2. Diketahui definisi dari gagal nafas.

3. Diketahui etiologi dari gagal nafas.

4. Diketahui patofisiologi dari gagal nafas.

5. Diketahui manifestasi klinis dari gagal nafas.

6. Diketahui komplikasi dari gagal nafas.

5
7. Diketahui penatalaksanaan medis dari gagal nafas.

8. Diketahui asuhan keperawatan gawat darurat gagal nafas.

C. Ruang lingkup

Ruang lingkup penulisan asuhan keperawatan ialah pada kasus Gagal napas

secara teoritis

D. Metode penelitian

Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun Makala ini ialah

metode naratif, deskriptif, studi kepustakaan. Dalam metode deskriptif

pendekatan yang digunakan proses keperawatan, studi kepustakaan yang

digunakan adalah dengan cara memperoleh bahan ilmiah yang bersifat teoritis

dengan menggunakan media kepustakaan yaitu buku-buku yang berkaitan

dengan masalah dan juga menggunakan media elektronik yaitu internet.

E. Sistematika penulisan

Adapun sistematika penulisan Asuhan Keperawatan ini terdiri dari tiga bab

yaitu:

a. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan

penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

b. BAB II TINJAUAN TEORI

Bab ini penulis menjelaskan tentang landasan teori medis dan konsep

dasar asuhan keperawatan.


6
c. BAB III PENUTUP

Bab ini meliputi Kesimpulan dan Saran

7
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR

1. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi pernafasan

a. Hidung

Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai

dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di

dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu,

dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006). Bagian

8
depan terdapat nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan

dengan bagian atas farings (nasofaring). Rongga hidung terbagi menjadi 2

bagian yaitu vestibulum, merupakan bagian lebih lebar tepat di belakang

nares anterior, dan bagian respirasi. Permukaan luar hidung ditutupi oleh

kulit yang memiliki kelenjar sabesea besar, yang meluas ke dalam

vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan

folikel rambut yang kaku dan besar. Rambut pada hidung berfungsi menapis

benda-benda kasar yang terdapat dalam udara inspirasi (Graaff, 2010; Pearce

2007). Pada dinding lateral hidung menonjol tiga lengkungan tulang yang

dilapisi oleh mukosa, yaitu: 1) Konka nasalis superior, 2) Konka nasalis

medius, dan 3) Konka nasalis inferior, yang terdapat jaringan kavernosus

atau jaringan erektil yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis, dan dekat

dengan permukaan. Di antara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan

meatus yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis

(lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah).

Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernapasan. Di sebelah

dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut

koana. Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari

langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga

tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva

eustaki, yan menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring.

Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris
9
(Graaff, 2010). Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas.

Rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus

paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis

pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus

etmodialis pada rongga tulang tapis.Pada sinus etmodialis, keluar ujung-

ujung syaraf penciuman yang menuju ke konka nasalis, yang terdapat sel-sel

penciuman yang terletak terutama di bagian atas konka. Pada hidung di

bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau respektor dari syaraf

penciuman disebut nervus olfaktorius (Syaifuddin, 2006).

b. Faring Tekak atau faring

merupakan saluran otot yang terletak tegak lurus antara dasar tengkorak

(basis kranii) dan vertebra servikalis VI (Syaifuddin, 2012). Faring

merupakan tempat persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan.

Letaknya berada dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan

mulut sebelah depan ruas tulang leher, ke atas berhubungan dengan rongga

hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus

fausium, ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang

lubang esofagus. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga

dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening

ini dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat 2 buah tonsil kiri dan kanan
10
dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang

berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan. Faring dibagi

menjadi tiga, yaitu 1) Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak,

belakang dan atas palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur

penting yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius

dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi

menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila

tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus

menelan. Tuba auditory yang menghubungkan nasofaring dengan telinga

bagian tengah. 2) Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum

lunak dan tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus

digestif menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran

ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang

lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring,

bagian orofaring ini memiliki fungsi pada sistem pernapasan dan sistem

pencernaan. Refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua

perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan

secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke

dalam saluran pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces.

Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila

palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual. 3)Laringofaring terletak di

belakang larings. Laringofaring merupakan posisi terendah dari farings. Pada


11
bagian bawah laringofaring sistem respirasi menjadi terpisah dari sitem

digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam larings dan makanan lewat

posterior ke dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.

c. Laring

Laring merupakan pangkal tenggorokan berupa saluran udara, yang

terletak di depan faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke

dalam trakea dibawahnya mempunyai fungsi untuk pembentukan suara.

Bagian ini dapat ditutup oleh epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan

yang berfungsi menutupi laring pada waktu kita menelan makanan. Laring

terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:

1. Kartilago tiroid (1 buah) terletak di depan jakun sangat jelas terlihat pada

pria

2. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker;

3. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin.

4. Kartilago epiglotis (1 buah)

Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian

epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2012;

Anderson, 1999). Pada proses pembentukan suara, suara terbentuk sebagai

hasil dari kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah, dan

bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara

ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh

aliran udara maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker
12
tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor

dengan demikian sela udara menjadi sempit atau luas. Pergerakan ini

dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan

dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan melalui udara yang

keluarmasuk. Perbedaan suara seseorang bergantung pada tebal dan

panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara

wanita (Syaifuddin, 2006).

d. Trakea

Trakea merupakan batang tenggorokan lanjutan dari laring, terbentuk oleh

16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan. Panjang trakea 9-11 cm

dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos.

Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia yang menghasilkan

lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara yang masuk,

menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel silia

berdenyut akan menggerakan mukus sehingga naik ke faring yang dapat

ditelan atau dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini bertujuan untuk

membersihkan saluran pernapasaan. Trakea terletak di depan saluran

esofagus, mengalami percabangan di bagian ujung menuju ke paru-paru,

yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina

(Graaff, 2010; Silvertho, 2001; Syaifuddin, 2006).

e. Bronkus
13
Bronkus merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat

percabangan ini disebut karina. Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan

kiri, bronkus lobaris kanan terdiri 3 lobus dan bronkus lobaris kiri terdiri 2

lobus. Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan

bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. segmentalis ini

kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh

jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan syaraf. Berikut adalah organ

percabangan dari bronkus yaitu:

1) Bronkiolus, merupakan cabang-cabang dari bronkus segmental.

Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi

lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian

dalam jalan nafas.

2) Bronkiolus terminalis, merupakan percabagan dari bronkiolus.

Bronkiolus terminalismempunyai kelenjar lendir dan silia.

3) Bronkiolus respiratori, merupakan cabang dari bronkiolus terminalis.

Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain

jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.

4) Duktus alveolar dan sakus alveolar. Bronkiolus respiratori kemudian

mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar, kemudian

menjadi alvioli (Anderson, 1999; Syaifuddin, 2006).

f. Paru-Paru

14
Letak paru-paru di rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada atau

kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau

hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh

selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, pleura visceral

(selaput pembungkus) yang langsung membungkus paru-paru dan pleura

parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Pada keadaan

normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat

mengembang mengempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang

berguna untuk melumasi permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan

antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas (Silverthon,

2001; Syaifuddin, 2006). Paru-paru merupakan bagian tubuh yang sebagian

besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung

alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas

permukaannya kurang lebih 90 m².

15
Fisiologi Sistem Pernapasan

a. Pernapaan Paru

Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi

pada paruparu. Oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu

bernapas, masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan

darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah,

oksigen kemudian menembus membran, diambil oleh sel darah merah

dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh.

Karbondioksida merupakan hasil buangan di dalam paru yang menembus

membran alveoli, dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus

berakhir sampai pada mulut dan hidung. Pernapasan pulmoner (paru) terdiri

atas empat proses yaitu:


16
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara

dalam alveoli dengan udara luar.

2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk

ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke

paru-paru.

3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan

jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian.

4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan karbondioksida

lebih mudah berdifusi dari pada oksigen (Pearce, 2007; Silverthon,

2001;Syaifuddin,2006).

Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika

konsentrasinya dalam darah merangsang pusat pernapasan pada otak, untuk

memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan

O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang

banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan,

mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru

terjadi pernapasan eksterna (Pearce, 2007; Silverthon, 2001;

Syaifuddin,2006).

b. Pernapasan sel

Transpor gas paru-paru dan jaringan Pergerakan gas O2 mengalir dari

alveoli masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir


17
dari jaringan ke alveoli. Jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan

dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah

dan bergabung dengan protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga

CO2 yang larut masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel

(rangkaian perubahan udara) yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya

hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah sampai 70

kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2 dalam darah mnjadi 17 kali

(Pearce, 2007; Silverthon, 2001;Syaifuddin, 2006). Pengangkutan oksigen ke

jaringan. Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru dan

sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan bergantung pada

jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas yang cukup pada

paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2 dalam

darah. Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan

curah jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang

larut, hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin (Pearce, 2007;

Silverthon, 2001;Syaifuddin, 2006). Transpor oksigen melalui lima tahap

sebagai berikut:

1) Tahap I: oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu

kita menarik napas, tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159

mmHg. Dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi

udara atmosfer, tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg.

18
2) Tahap II: darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk

mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini

terdapat oksigen dengan tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya

perbedaan tekanan parsial itu apabila sampai pada pembuluh

kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli maka oksigen

yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke dalam

pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial

oksigen dalam pembuluh menjadi 100 mmHg.

3) Tahap III: oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah

diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen

yaitu oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan

bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang terikat pada

hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan

O2 bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2

yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah hemoglobin

dalam darah.

4) Tahap IV: sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen

dibawa melalui cairan interstisial dahulu. Tekanan parsial oksigen

dalam cairan interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen

dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan tekanan parsial

oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan

19
terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke

dalam cairan interstisial.

5) Tahap V: tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20

mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam

sel. Dalam sel oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolisme

yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan

(karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan

energi (Pearce, 2007). Reaksi hemoglobin dan oksigen. Dinamika

reaksi hemoglobin sangat cocok untuk mengangkut O2.

Hemoglobin adalah protein yang terikat pada rantai polipeptida,

dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-masing atom

besi dapat mengikat secara reversible (perubahan arah) dengan

satu molekul O2. Besi berada dalam bentuk ferro sehingga

reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi (Pearce, 2007;

Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006). Transpor karbondioksida.

Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali kelarutan O2

sehingga terdapat lebih banyak CO2 dari pada O2 dalam larutan

sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah merah dengan cepat

mengalami hidrasi menjadi H2CO2 karena adanya anhydrase

(berkurangnya sekresi kerigat) karbonat berdifusi ke dalam

plasma. Penurunan kejenuhan hemoglobin terhadap O2 bila darah

melalui kapiler-kapiler jaringan. Sebagian dari CO2 dalam sel


20
darah merah beraksi dengan gugus amino dari protein, hemoglobin

membentuk senyawa karbamino (senyawa karbondioksida).

Besarnya kenaikan kapasitas darah mengangkut CO2 ditunjukkan

oleh selisih antara garis kelarutan CO2 dan garis kadar total CO2

di antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa

karbamino dan 43,8 ml dalam HCO2 (Pearce, 2007; Silverthon,

2001; Syaifuddin, 2006).

2. Definisi

Gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan

gagal mempertahankan fungsi utamanya, yaitu pertukaran gas, di mana PaO2

lebih rendah dari 60 mmHg dan/atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg. Gagal

napas diklasifikasikan berdasarkan kelainan gas darah menjadi 2 tipe yaitu tipe

1 dan tipe 2.

Gagal napas tipe 1 (hipoksemik) memiliki PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2

normal atau subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu pada tingkat

membran kapiler-aveolar. Contoh kegagalan pernapasan tipe I adalah edema

paru karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat. Sedangkan

Gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) memiliki PaCO2 > 50 mmHg. Hipoksemia

sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernapasan.

21
Juga, gagal napas diklasifikasikan menurut onset, perjalanan, dan durasinya

menjadi akut, kronis, dan akut di atas gagal napas kronis.

3. Etiologi

Ada beberapa penyebab gagal nafas menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018)

yaitu meliputi:

a. Penyebab SSP karena depresi dorongan saraf untuk bernapas seperti pada

kasus overdosis narkotika dan obat penenang.

b. Gangguan sistem saraf perifer: Kelemahan otot pernapasan dan dinding dada

seperti pada kasus sindrom Guillian-Barre dan miastenia gravis.

c. Obstruksi saluran napas atas dan bawah: karena berbagai penyebab seperti

pada kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik dan asma bronkial

akut berat

d. Kelainan pada alveolus yang mengakibatkan gagal napas tipe 1 (hipoksemik)

seperti pada kasus edema paru dan pneumonia berat.

4. Patofisiologi

Gagal nafas Merupakan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru

yang menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon

dioksida dan gangguan pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan

hiperkapnia. (Lamba, 2016) Pasien mengalami toleransi terhadap

hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal

22
nafas akut biasanya paru-paru kembali ke asalnya. Pada gagal nafas

kronik struktur paru alami kerusakan yang irreversibel. Indikator gagal

nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan

normal ialah 16-20 x/menit. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi

(normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi

yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat

pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak

(pons dan medulla)

23
5. Manifestasi Klinik

24
Ada beberapa tanda dan gejala menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018) yaitu

meliputi:

a. Gejala dan tanda hipoksemia

- Dispnea, iritabilitas

- Kebingungan, mengantuk, cocok

- Takikardia, aritmia

- Takipnea

- sianosis

b. Gejala dan tanda hiperkapnia

- Sakit kepala

- Perubahan perilaku

- Koma

- Asteriksis

- Papilloedema

- Ekstremitas hangat

- Gejala dan tanda penyakit yang mendasari, Contohnya Demam, batuk,

produksi sputum, nyeri dada pada kasus pneumonia.

c. Riwayat sepsis, politrauma, luka bakar, atau transfusi darah sebelum

timbulnya gagal napas akut dapat menunjukkan sindrom gangguan

pernapasan akut.

6. Komplikasi
25
Menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018) Komplikasi dari gagal napas dapat

disebabkan oleh gangguan gas darah atau dari pendekatan terapeutik itu

sendiri diantaranya:

a. Komplikasi paru-paru: misalnya, emboli paru, jaringan parut ireversibel

pada paru-paru, pneumotoraks, dan ketergantungan pada ventilator.

b. Komplikasi jantung: misalnya, aritmia gagal jantung dan infark miokard

akut.

c. Komplikasi neurologis: periode hipoksia otak yang berkepanjangan dapat

menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel dan kematian otak.

d. Ginjal: gagal ginjal akut dapat terjadi karena hipoperfusi dan/atau obat

nefrotoksik.

e. Gastro-intestinal: stress ulcer, ileus, dan perdarahan.

f. Nutrisi: malnutrisi, diare hipoglikemia, gangguan elektrolit.

7. Penatalaksanaan Medis

a. Koreksi Hipoksemia

Tujuannya adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang

memadai, umumnya dicapai dengan tekanan oksigen arteri (PaO2) sebesar

60 mm Hg atau saturasi oksigen arteri (SaO2), sekitar 90%. Suplementasi

oksigen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keracunan oksigen dan

narkosis CO2 (karbon dioksida). Jadi konsentrasi oksigen inspirasi harus

disesuaikan pada tingkat terendah, yang cukup untuk oksigenasi jaringan.

26
Oksigen dapat diberikan melalui beberapa rute tergantung pada situasi

klinis di mana kita dapat menggunakan nasal kanul, masker non-

rebreathing, masker rebreathing, atau nasal kanulaliran tinggi.

b. Koreksi hiperkapnia dan asidosis respiratorik

Ini dapat dicapai dengan mengobati penyebab yang mendasarinya atau

memberikan dukungan ventilasi untuk pasien dengan gagal napas. Tujuan

dari dukungan ventilasi pada gagal napas adalah:

- Hipoksemia yang benar

- Koreksi asidosis respiratorik akut

- Istirahat otot-otot ventilasi

c. Ventilasi mekanis

Indikasi umum untuk ventilasi mekanis meliputi:

- Apnea dengan henti napas

- Takipnea dengan frekuensi pernapasan >30 kali per menit

- Tingkat kesadaran terganggu atau koma

- Kelelahan otot pernapasan

- Ketidakstabilan hemodinamik

- Kegagalan oksigen tambahan untuk meningkatkan PaO2 menjadi 55-60

mm Hg

- Hiperkapnea dengan pH arteri kurang dari 7,25.

27
- Pilihan dukungan ventilasi invasif atau non-invasif tergantung pada

situasi klinis, apakah kondisinya akut atau kronis, dan seberapa

parahnya. Itu juga tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Jika

tidak ada indikasi mutlak untuk ventilasi mekanis invasif atau intubasi

dan jika tidak ada kontraindikasi untuk ventilasi non-invasif, ventilasi

non-invasif lebih disukai terutama dalam kasus eksaserbasi penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK), edema paru kardiogenik. dan sindrom

hipoventilasi obesitas.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.

Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya

(Walid 2019)

a. Identitas pasien/ biodata

Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,

tempat lahir, asal suku bangsa.

b. Pengkajian Sekunder

- Keluhan Utama: Klien Pengkajian SAMPLE

S : tanda dan gejala yang dirasakan klien

A: alergi yang dipunyai klien

M : tanyakan obat yang dikonsumsi untuk mengatasi masalah


28
P : riwayat penyakit yang diderita klien

L : makan minum terakhir, jenis yang dikonsumsi, penurunan dan

peningkatan napsu makan

E : pencetus atau kejadian penyebab keluhan klien dengan gagal nafas

biasanya mengeluhkan sesak nafas.

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien

melalui metode PQRST dalam bentuk narasi

- Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit

sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,

penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obatobat adiktif

dan konsumsi alcohol, berlebihan.

- Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi penyakit keturunan dan

menular.

c. Pengkajian Primer

1. Airway

Peningkatan sekresi pernafasan. Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.

2. Breathing

Distress pernafasan: pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu


29
retraksi.

Menggunakan otot aksesori pernafasan, dan sianosis.

Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.

3. Circulation

Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi. Sakit kepala.

Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,mengantuk.

Papiledema.

Penurunan haluan urine

4. Disability (kesadaran)

Keadaan umum : samnolen

Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara

bicara.

d. Pemeriksaan fisik

Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung

diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga berguna

untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai penyakit sekarang.

Berikut pola pemeriksaan fisik sesuai Review of System:

a. B1 (Breathing)

Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan nafas simetris. Pada

klien dengan gagal napas sering ditemukan peningkatan frekuensi nafas

30
cepat dan dangkal, serta adanya retraksi sternum dan intercosta space

(ICS). Nafas cuping hidung pada sesak berat. Pada klien biasanya

didapatkan batuk produktif disertai dengan adanya batuk dengan produksi

sputum yang purulen. Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi

pernafasan, getaran suara (vokal fremitus) biasanya teraba normal, Nyeri

dada yang meningkat karena batuk. Gagal napas yang disertai komplikasi

biasanya di dapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.

Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan apabila

bronchopneumonia menjadi suatu sarang (konfluens). Pada klien dengan

juga di dapatkan bunyi nafas melemah dan bunyi nafas tambahan ronkhi

basah pada sisi yang sakit.

b. B2 (Blood)

Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Biasanya klien

tampak melindungi area yang sakit. denyut nadi perifer melemah,

menentukan batas jantung, mengukur tekanan darah, dan auskultasi bunyi

jantung tambahan

c. B3 (Brain)

Pada klien dengan terpasang ventilator yang berat sering terjadi

penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer bila gangguan perfusi

jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak meringis,

menangis, merintih, meregang dan menggeliat.

d. B4 (Bladder)
31
Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan

intake cairan. Pada pasien terpasang ventilator, perlu memonitor adanya

oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.

e. B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat

badan.

f. B6 (Bone)

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan

ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi

– perfusi. (D.0003)

2. Gangguan Ventilasi Spontan (D.0004)

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan.

(D.0001)

4. Risiko perfusi selebral tidak efektif berhubungan dengan kurangnya suplai

O2 dalam jaringan otak (D.0017)

3. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi Keperawatan

32
O Keperawatan Keperawatan Indonesia Indonesia
( SLKI ) ( SIKI )
1. Gangguan Setelah dilakukan intervensi A. Pemantauan Respirasi (I.01014)
Pertukaran gas keperawatan selama 3 X 24 Observasi
berhubungan jam pertukaran gas - Monitor frekuensi,
dengan meningkat dengan kriteria
irama,kedalaman dan upaya
ketidakseimbangan hasil :
ventilasi – perfusi. - Tingkat kesadaran napas
( D.0003)
meningkat - Monitor pola napas( seperti
- Dyspnea menurun bradipnea, takipnea,
- Bunyi nafas tambahan hiperventilasi, kussmaul, cheyne-
menurun stokes, biot, atksik)
- Nafas cuping hidung - Monitor adanya sumbatan jalan
menurun napas
- PCO2 Membaik - Palpasi kesimetrisan ekspansi
- PO2 Membaik paru

- Takikardia membaik - Auskultasi bunyi napas

- Sianosis membaik - Monitor saturasi oksigen

- Pola nafas membaik - Monitor nilai AGD

- Warna kulit membaik - Monitor hasil X-ray Toraks


- Atur interval pemantauan
respirasi sesuaikondisi pasien
- Dokumnetasikan hasil
pemantauan
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

Terapeutik
- Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil

33
pemantauan

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

B.Terapi Oksigen (I.01026)


Observasi
- Monitor kecepatan aliran
oksigen
- Monitor posisi alat terapi
oksigen
- Monitor efektifitas terapi
oksigen ( misalnya oksimetri,
analisa gas darah)
- Monitor tanda tanda
hipoventilasi

Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan
nafas
- Berikan oksigen tambahan, jika
perlu
- Gunakan perangkat oksigen yang
sesuai dengan tingkat mobilitas
pasien

2. Gangguan Setelah dilakukan intervensi A. Dukungan Ventilasi ( I.01002)


Ventilasi Spontan ( keperawatan selama 3 X 24
D.0004) jam ventilasi spontan Observasi
meningkat dengan kriteria - Identifikasi adanya kelelahan
hasil :

34
- Volume tidal meningkat otot bantu nafas
- Dipsnea menurun
Terapeutik
- Penggunaan otot bantu - Pertahankan kepatenan jalan
nafas menurun nafas
- PCO2 Membaik - berikan oksigen sesuai
- PO2 Membaik kebutuhan ( missal, nasal kanul,
- Takikardia membaik masker wajah, masker
rebreathing atau non rebreathing)
- gunakan bag valve mas, jika perlu

3. Bersihan jalan Setelah dilakukan intervensi A. Manajemen jalan nafas


nafas tidak efektif keperawatan selama 3 X 24
(I.01011)
berhubungan jam bersihan jalan nafas
dengan sekresi meningkat dengan kriteria
yang tertahan. hasil : Observasi
( D.0001) - Mengi menurun - Monitor pola nafas ( Frekuensi,

- Dipsnea menurun kedalaman, usaha nafas).

- Sianosis menurun - Monitor bunyi nafas tambahan


( mis, mengi dan ronki kering)
- Gelisah menurun
- Frekuensi nafas membaik Terapeutik
- Pola nafas membaik - Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan head titt dan chin lift ( jaw
– thrust jika curiga trauma
servikal )
- Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen, jika perlu.

4. Risiko perfusi Setelah dilakukan intervensi A. Manajemen Peningkatan


selebral tidak keperawatan selama 3 X 24
35
efektif jam perfusi selebral tekanan intracranial (I.06194)
berhubungan meningkat dengan kriteria
dengan kurangnya hasil : Observasi
suplai O2 dalam - Tingkat kesadaran - Monitor tanda/gejala
jaringan otak
meningkat peningkatan TIK ( mis, tekanan
( D.0017)
- Tekanan darah sistolik darah meningkat , tekanan nadi
membaik melebar, bradikardia, pola nafas
- Tekanan darah diastolic ireguler, kesadaran menurun.
membaik - Monitor status pernafasan
- Monitor intake dan output cairan

Terapeutik
- Atur ventilator agar paCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh normal.

4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data

berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan

tindakan, serta menilai data yang baru.

- Tahap-Tahap dalam Pelaksanaan

1. Tahap Persiapan

a. Review rencana tindakan keperawatan.

b. Analisis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.

c. Antisipasi komplikasi yang akan timbul.

36
d. Mempersiapkan peralatan yang diperlukan (waktu, tenaga,

alat).

e. Mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik.

f. Memerhatikan hak-hak pasien, antara lain sebagai berikut.

a) Hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan standar

pelayanan kesehatan.

b) Hak atas informasi.

c) Hak untuk menentukan nasib sendiri.

d) Hak atas second opinion.

2. Tahap Pelaksaan

a. Berfokus pada klien.

b. Berorientasi pada tujuan dan kriteria hasil.

c. Memperhatikan keamanan fisik dan spikologis klien.

d. Kompeten.

3. Tahap Sesudah Pelaksaan

a. Menilai keberhasilan tindakan.

b. Mendokumentasikan tindakan, yang meliputi:

a) Aktivitas/tindakan perawat.

b) Hasil/respons pasien.

c) Tanggal/jam, nomor diagnosis

keperawatan, tanda tangan.


37
Berikut contoh format pelaksanaan :

Kode Diagnosa Tanggal/ Pukul Tindakan dan Paraf


keperawatan Hasil

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan.
A. Macam Evaluasi

1. Evaluasi Proses (Formatif)

a. Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.

b. Berorientasi pada etiologi.

c. Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan

tercapai.

2. Evaluasi Hasil (Sumatif)

a. Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara

paripurna.

b. Berorientasi pada masalah keperawatan.

38
c. Menjelaskan keberhasilan/ketidakberhasilan.

d. Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan

kerangka waktu yang ditetapkan.

B. Komponen SOAP/SOAPIER

Pengertian SOAPIER adalah sebagai berikut:

S: Data Subjektif

Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

O: Data Objektif

Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi

perawat secara langsung kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

A: Analisis

Interpretasi dari data subjektif dan data objektif Analisis merupakan

suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga

dapat dituliskan masalah/diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan

status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data

subjektif dan objektif.

P: Planning

39
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,

dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang

telah ditentukan sebelumnya. Tindakan yang telah menunjukkan hasil

yang memuaskan dan tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya

dihentikan. Tindakan yang perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih

kompeten untuk menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu

untuk mencapai keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi

adalah tindakan Yang dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah

klien, tetapi perlu ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternatif

pilihan yang lain yang diduga dapat membantu mempercepat proses

penyembuhan. Sedangkan, rencana tindakan yang baru/sebelumnya tidak

ada dapat ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan

Yang sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.

I: Implementasi

Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai

dengan intruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P

(perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanaan.

E: Evaluasi

Evaluasi adalah respons klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

R: Reassesment

40
Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap

perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana

tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan?

Berikut contoh format evaluasi:

Diagnosa Tanggal / Jam Catatan Paraf

Keperawatan Perkembangan

41
BAB III

42
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan

gagal mempertahankan fungsi utamanya, yaitu pertukaran gas, di mana PaO2

lebih rendah dari 60 mmHg dan/atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg.

Gagal napas diklasifikasikan berdasarkan kelainan gas darah menjadi 2 tipe

yaitu tipe 1 dan tipe 2.

Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,

frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/menit. Kapasitas vital adalah

ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting

adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas.

Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang

otak (pons dan medulla).

Ada beberapa penatalaksanaan pada pasien gagal nafas diantaranya

pemberian dukungan ventilasi. Pilihan dukungan ventilasi invasif atau non-

invasif tergantung pada situasi klinis, apakah kondisinya akut atau kronis, dan

seberapa parahnya. Itu juga tergantung pada penyebab yang mendasarinya.

Jika tidak ada indikasi mutlak untuk ventilasi mekanis invasif atau intubasi

dan jika tidak ada kontraindikasi untuk ventilasi non-invasif, ventilasi non-

invasif lebih disukai terutama dalam kasus eksaserbasi penyakit paru

43
obstruktif kronik (PPOK), edema paru kardiogenik. dan sindrom hipoventilasi

obesitas.

B. Saran

Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan kami penulis dan

mahasiswa keperawatan lain mampu mengetahui terkait teoritis dan asuhan

keperawatan pada klien dengan gagal nafas.

44
DAFTAR PUSTAKA

Bechard, L.J. et al. (2016)’ Nutritional status based on body mass index is associated

with morbidity and mortality in mechanically ventilated critically ill children in

the PICU’,Critical Care Medicine,44(8),pp.1530-1537

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:

Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta

Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan: Penerapan Konsep & Kerangka Kerja.

Yogyakarta : Gosyen

Depkes RI.(2011). Peraturan Menetri Kesehatan Republik Indonesia.

No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumas Sakit.

Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. 2017. Bahan ajar Kebidanan Anatomi dan Fisiologi.

Jakarta: Kemenkes RI.

Lamba,T.S.et al.(2016) ‘Pathophysiology and Classification of Respiratory’, Critical

Care Nursing Quarterly,39(2),pp.85-93

Murni, D et al. (2016). Kajian Faktor Organisasi Dengan Kinerja Perawat Pelaksana

Dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSUD

Pariaman. Ners Jurnal Keperawatan. Vol.12 No.1.

Musliha, S. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

45
Riskesda. (2017). Riset Kesehatan Dasar, http:// www. depkes. go.id/resources /

download/general/Hasil%20Riskeda%202013.pdf. Diakes pada tanggal 26

seotember 2021.

Schouten,L.R.A.et al.(2016) ‘Incidence and Mortality of Acute Respiratory Distress

Syndrome in Children:A Systematic Review and Meta-Analysis’,Society of

Critical Care Medicine and Wolters Kluwer Health, 44 (4), pp.819-829.

Shebl, E., & Burns, B. (2018). Respiratory failure.

Suarli,S.& Yayah,B.(2012). Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan

Praktis.Jakarta:Erlangga Medical Series.

Surjanto,E. et al. (2009) ‘The Relationship Between Underlying Disease of

Respiratory Failure with the Treatment’s Outcome on Hospitalized Patients in

Dr. Moewardi Hospital Surakarta 2009’,25,pp.1-10

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

Definisi Dan Indikator Dianostik. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2016.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi

Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

46
Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2016.Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi

Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Walid, Siful dan Nikmatur Rohmah.2019. Proses Keperawatan: Teori dan

Aplikasi.Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

47

Anda mungkin juga menyukai