D
DENGAN DIAGNOSA MEDIS CLOSED FRAKTUR TIBIA
FIBULA DEKSTRA DENGAN KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA MOBILATAS FISIK DI RUANG
ROE RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
OLEH:
HENDRA
2021-01-14901-025
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala berkat dan anugrah-Nya sehingga saya dapat mebuat “Laporan
Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan pada Ny. D Dengan Diagnosa
Medis Closed Fraktur Tibia Fibula Dekstra Dengan Kebutuhan Dasar
Manusia Mobilatas Fisik Di Ruang Roe RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya” laporan pendahuluan ini merupakan salah satu syarat untuk lulus Stase
KDP di STIKes Eka Harap Palangka Raya. Penulis menyadari bahwa tanpa
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak kiranya asuhan keperawatan ini tidak
akan dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih
dan penghargaan setulusnya kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.pd.,M.Kes. selaku ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Eka Harap Palangka Raya yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis untuk mengikuti Stase KDP
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep. selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya yang memberikan
dukungan dalam penyelesaian asuhan keperawatan ini.
3. Ibu Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep. selaku pembimbing akademik yang
membimbing, memberikan saran dan semangat kepada saya dalam
menyelesaikan asuhan keperawatan ini.
4. Ibu Katrina, S.Kep.,Ners. selaku pembimbing klinik yang telah banyak
membantu dalam penyusunan asuhan keperawatan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini mungkin terdapat kesalahan dan masih
jauh dari kata sempurna. Maka dengan ini mengaharapkan kritik dan saran yang
membngun dari pembaca dan diharapkan laporan ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua.
Palangka raya 19 oktober 2021
penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Hendra
Nim : 2021-01-14901-025
Mengetahui
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
TUJUAN PUSTAKA
1
2
tulang. Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon
yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah.
Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang
memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow
kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa
menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru.
Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah
sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun
yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut
matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral,
dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi,
oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain
itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang
menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400
ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,2012 dan
Ignatavicius, Donna. D,2014).
2) Fungsi Tulang
1. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2. Tempat melekatnya otot.
3. Melindungi organ penting.
4. Tempat pembuatan sel darah.
5. Tempat penyimpanan garam mineral.
4
1.1.3 Etiologi
Fraktur tibia berupa trauma akibat kecelakaan dengan berkecepatan sangat
tinggi. Di daerah ini dimana orang-orang mengendarai mobil dengan kecepatan
tinggi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan dengan potensi tinggi untuk trauma
kaki (misalnya ski, sepak bola), jumlah fraktur tibia pada keadaan gawat darurat
tergolong tinggi. Sementara trauma langsung pada tibia merupakan penyebab
paling umum, tidak ada etiologi lain yang dijumpai untuk fraktur tibia shaft. Dua
yang paling umum adalah jatuh atau melompat dari ketinggian yang sifnifikan dan
luka tembak pada kaki bagian bawah.
1) Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
1. Trauma langsung
Yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. yang paling lazim adalah karena kecelakaan sepeda motor.
Fraktur ini disebabkan karena kekuatan yang berlebihan dan tiba-tiba,
dapat berupa pemukulan, pemuntiran, penekukan maupun penarikan
antara tendon dan ligament sehingga bisa berakibat tulang terpisah.
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring. Benturan pada lengan bawah, ex:
fraktur tulang ulna dan radius.
2. Trauma tidak langsung
Yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya
jatuh. Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. Jatuh
tertumpu pada tangan, ex: fraktur klavikula.
3. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan (Oswari E, 2012).
5
4. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur ataupun akibat
kelemahan tulang akibat kelainan tulang. Dapat terjadi pada berbagai
keadaan berikut:
a. Tumor tulang Terbagi menjadi jinak dan ganas
b. Infeksi seperti Osteomielitis
c. Scurvy (penyakit gusi berdarah)
d. Osteomalasia
e. Rakhitis
f. Osteoporosis
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
1.1.5 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 2013). Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang
(Carpnito, Lynda Juall, 2015). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al 2013).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi
terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka
atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan
rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
masalah neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
WOC FRAKTUR TIBIA FIBULA Trauma tidak langsung
Trauma langsung Kondisi Patologis
B1: Breathing B2: Blood B3: Brain B4: Bladder B5: Bowel B6: Bone
1.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur
(Muttaqin, 2017), antara lain:
1. Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru, pneumonia,
dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien fraktur femur yang
disertai pergeseran dan 10% fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi fraktur
lebih ke proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
2. Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah sebagai
berikut:
1) Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walaupun fraktur bersifat
tertutup.
2) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.
3) Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus jaringan
lunak dan merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan kontusi dan
oklusi atau terpotong sama sekali.
4) Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai
kerusakan saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke aksonotemesis.
Trauma saraf dapat terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya,
yaitu nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
5) Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya distraksi
di tempat tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.
6) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeklsi
dapat pula terjadi setelah dilakukan operasi.
Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi pada klien
dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:
1. Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa mengalami union
dalam empat bulan.
2. Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.
3. Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen. Mal
union juga menyebabkan pemendekan tungkai sehingga dipelukan koreksi
berupa osteotomi.
4. Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan pergerakan
pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila fisioterapi yang intensif dan
sistematis dilakukan lebih awal.
5. Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang solid.
1.1.9 Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik)
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting
adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
(1) Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan
suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
1.2.3 Etiologi
Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu :
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskuloskletal
6. Gangguan neuromuskular
7. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)
1.2.4 Klasifikasi
1. Mobilisasi penuh
1. Mobilisasi penuh ini menunjukkan syaraf motorik dan sensorik mampu
mengontrol seluruh area tubuh. Mobilisasi penuh mempunyai banyak
keuntungan bagi kesehatan, baik fisiologis maupun psikologis bagi pasien
untukmemenuhi kebutuhan dan kesehatan secara bebas, mempertahankan
interaksi sosial dan peran dalam kehidupan sehari hari.
2. Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini juga dapat didefinisikan sebagai suatu pergerakan, posisi atau
adanya kegiatan yang dilakukan pasien setelah operasi. Mobilisasi dini
merupakan suatu aspek terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial
untuk mempertahankan kemandirian. Konsep mobilisasi dini sendiri
sebenarnyaadalah untuk mencegah komplikasi pasca operasi.
3. Mobilisasi sebagian
Pasien yang mengalami mobilisasi sebagian umumnya mempunyai gangguan
syaraf sensorik maupun motorik pada area tubuh. Mobilisasi sebagian dapat
dibedakan menjadi:
a. Mobilisasi temporer yang disebabkan oleh trauma reversibel pada
sistim muskuloskeletal seperti dislokasi sendi dan tulang
b. Mobilisasi permanen biasanya disebabkan oleh rusaknya sistim
syaraf
1.2.5 Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago,
dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem
pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada
kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk
latihan kuadrisep. Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan
energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan tekanan
darah yang dikarenakan pada latihan isometrik pemakaian energi meningkat. Hal ini
menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit seperti infark miokard atau
penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan suasana hati seseorang digambarkan
melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung
tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan
gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang.
Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang, seperti panjang, pendek,
pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,
melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam
pembentukan sel darah merah (Potter dan Perry, 2012). Pengaruh imobilisasi yang
cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis
tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan
mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat
dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot akibat pemecahan protein
akan mengalami kehilangan masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot.
Karena karena itu, penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas
tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada metabolisme
kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau karena
pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi otot. Superoksida Dismutase yang
menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase,
glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase, yaitu sistem yang
akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS menyebabkan peningkatan kerusakan
protein, menurunnya ekspresi myosin, dan peningkatan espresi komponen jalur
ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari
atau minggu, maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan myosin)
lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan protein
kontraktil otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-
serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan
mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Tahapan
terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya tonus otot. Hal ini myostatin
menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan pada proses translasi protein
sehingga menurunkan kecepatan sintesis protein. Reactive Oxygen Species (ROS)
pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada otot ditandai dengan berkurangnya
protein pada sel otot, diameter serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan terhadap
kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk kontraksi menghilang
selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif pada otot yang disebut
dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif terjadi penghancuran
serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut otot yang
tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan protein kontraktil.
Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun. Jaringan fibrosa yang
terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki kecenderungan untuk memendek yang
disebut dengan kontraktur (Kandarian(dalam Rohman, 2019).
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (kode I.08238 hal. 201)
dengan pergeseran posisi tindakan keperawatan
Observasi
tulang (kode D.0077 hal. 172) selama 1x7 jam
masalah nyeri akut 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
dapat teratasi kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
1. Melaporkan nyeri memperingan nyeri
terkontrol 5 Terapeutik
2. Kemampuan mengenali 1. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
onset nyeri 5 Edukasi
3. Kemampuan mengenali
penyebab nyeri 5 1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
4. Kemampuan 2. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
menggunakan teknik 3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
nonfarmakologi 5 mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (kode I.05173 hal. 30)
berhubungan dengan tindakan keperawatan
Observasi
pemasangan fiksasi interna selama 1x7 jam masalah
(kode D.0054 hal. 124) gangguan mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
dapat teratasi 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
3. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Kriteria Hasil : Terapeutik
1. Kemampuan mobilitas 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
pasien meningkat 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
2. Pasien menjadi tidak 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
takut untuk bergerak meningkatkan pergerakan
3. Pasien mampu Edukasi
beraktivitas secara
bertahap 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
4. Pasien mampu 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
menggunakan alat bantu 3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
gerak
5. Pertahankan tirah baring
dan melatih tangan serta
ekstremitas sakit dengan
lembut
6. Atur posisi elevasi
tungkai
7. Latih dan bantu ROM
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi (kode. I.14539 hal. 278)
dengan insisi pembedahan tindakan keperawatan
Observasi
dan pemasangan fiksasi selama 1x7 jam masalah
interna (kode D.0142 hal. risiko infeksi dapat teratasi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
304) Terapeutik
Kriteria Hasil :
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
1. Kemerahan membaik 5 pasien dan lingkungan pasien
2. Nyeri membaik 5 2. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
3. Bengkak membaik 5 Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi
Gangguan pola tidur Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur (kode I.05174 hal. 48)
berhubungan dengan nyeri keperawatan selama 1x7
Observasi
(kode D.0055 hal. 126) jam masalah gangguan pola
tidur dapat teratasi 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
2. Identifikasi faktor pengganggu tidur
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu
1. Keluhan sulit tidur 5 tidur
2. Keluhan sering terjaga 5 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
3. Keluhan tidak puas tidur Terapeutik
5 1. Modifikasi lingkungan
4. Keluhan pola tidur 2. Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
berubah 5 3. Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
5. Keluhan istirahat tidak Edukasi
cukup 5
1. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
2. Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
Defisit perawatan diri Setelah diberi Asuhan Dukungan perawatan diri ( I.11348, halm 36)
berhubungn dengan gangguan Keperawatan selama 1x7
Observasi
neuromuskuler (D.0109, halm jam, diharapkan
240) kemampuan melakukan atau 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
menyelesaikan aktivitas sesuai usia
perawatan diri. dengan 2. Monitor tingkat kemandirian
kriteria hasil : 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
1. Kemampuan mandi berpakaian, berhias, dan makan
meningkat 5 Terapeutik
2. Kemampuan 1. Sediakan lingkungan yang terapeutik
mengenakan pakaian 2. Siapkan keperluan pribadi
meningkat 5 3. Dampingi dalam melalukan perawatan diri
3. Kemampuan ketoilet 4. Fasilitasi untuk menerima keadaan
meningkat 5 ketergantungan
4. Minat melakukan 5. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
perawan diri melakukan perawatan dir
meningkat 5 6. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
5. Mempertahankan Edukasi
kebersihan diri
meningkat Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
6. Mempertahankan sesuai kemampuan
kebersihan mulut
meningkat 5
1.3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawatuntuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan
(Potter & Perry, 2011).
2.1 PENGKAJIAN
2.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Dayak/ Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : Sarjana
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl.Muhajirin Seruyan
Tgl MRS : 15/10/2021
Diagnosa Medis : closed fraktur tibia fibula dextra
tampak kaki pasien terlihat bengkak dan memar di bagian kaki kanannya dan
juga terlihat fungsionalesa dan Terapi yang diberikan yaitu terpasang infus
RL 0,9 % 20 tpm (IV), injeksi ketorolac 3 x 1 mg (IV), injeksi actrapid 3 x 1
gram (IV), amoxicillin 500 mg 3 x/hari (Oral), paracetamol 50 mg/6 jam
(Oral). Pasien pun disarankan oleh dokter untuk di rujuk kerumah RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada hari jumat tanggal 15 oktober masuk
IGD mendapat Terapi yang diberikan yaitu terpasang infus RL 0,9 % 20 tpm
(IV), injeksi cefotaxime 2 x 1 gram (IV), injeksi ketorolac 3 x 1 mg (IV),
injeksi actrapid 3 x 1 gram (IV), amoxicillin 500 mg 3 x/hari . Sesuai hasil
foto Rontgen di diagnosa dengan Fraktur Tibia fibula dextra tertutup dan
dilakukan operasi ORIF pada tanggal 16 oktober 2021. Setelah di IGD
pasien lalu di pindahkan ruang ROE untuk mendapatkan perawatan.
2.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi):
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
dan tidak pernah melakukan operasi.
2.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak mempunyai penyakit keturunan dan tidak
pernah menderita penyakit yang sama
1. OKSIGENASI 2. CAIRAN
Nadi : 87 x/menit, Pernapasan : 22 x/mnt Kebiasaan minum : 800 CC /hari,
TD: 120/80 mmHg Bunyi Nafas : Bronchial Jenis : Air Putih
Respirasi : 22x/menit Turgor kulit : Baik
Kedalaman : Tidak ada Fremitus : Tidak ada Mukosa mulut : Lembab, tidak ada perlukaan
Sputum : Tidak ada Sirkulasi oksigen : lancar Punggung kaki : normal warna :
Dada : simetris Pengisian kapiler :
Oksigen : ( Tgl : …Canula /sungkup :… ltr/m Mata cekung : Tidak ada
WSD : ( Tgl: …… di ……… Keadaan…….) Konjungtiva: Merah muda
Riwayat Penyakit : Tidak ada Sklera : Normal/putih
Lain – lain : ………………………………….. Edema : Tidak ada
Distensi vena jugularis : tidak ada
pembengkakakn
Asites : Tidak ada. Minum per NGT : tidak
mengguakan NGT
Terpasang Dekompresi NGT : Tidak ada
( dimulai tgl : - Jenis : -
dipasang di :-
Terpasang infuse : Nacl, 09
( dimulai tgl : 10 Oktober 2021 Jenis : -
dipasang di : tangan kiri)
Lain –lain : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
Ο Intolerance aktivitas Ο Pola nafas tdk efektif keperawatan
Ο Gg pertukaran gas Ο Penurunan Curah Jantung Ο Kekurangan volume cairan ,
Ο Gg Perfusi Jaringan Ο Kelebihan volume cairan
Ο dll…………………………………........................... Ο dll………………………………….
Rasa Ingin Pingsan /Pusing : Tidak ada Alergi /sensitifitas : Tidak ada reaksi : -
Stroke ( Gejala Sisa ) : Tidak ada Perubahan sistem imun sebelumnya : Tidak ada
Kejang : Tidak ada Tife : Tidak ada penyebabnya : -
Agra : Tidak ada Frekuensi : Tidak ada Riwayat penyakit hub seksual ( tgl /tipe : -
Status Postikal : Tidak ada Cara mengontrol :- Perilaku resiko tinggi : - periksaan : -
Status mental : Waktu : klien mengetahui waktu antara Transfusi darah /jumlah : - Kapan :-
pagi, sore dan malam Gambaran reaksi : -
Tempat : klien dan mengetahui bahwa dirinya sedang Riwayat cedera kecelakaan : Kecelakaan motor
dirawat di Rumah Sakit Fraktur /dislokasi sendi : fraktur dibagian kaki
Orang : klien dapat membedakan keluarga perawat dan kanan (closed fraktur tibia fibula dextra)
petugas kesehatan lainnya Artritis /sendi tak stabil : Tidak ada
Kesadaran : compos menthis Masalah punggung : Tidak ada
Memori saat ini - , yang lalu : - Perubahan pada tahi lalat : Tidak ada
Kaca mata : Tidak ada Kotak lensa : Tidak ada Pembesaran nodus : Tidak ada
Alat bantu dengar : , tidak menggunakan alat bantu Kekuatan Umum : Tidak ada
Ukuran /reaksi Pupil : kiri /kanan : 2-4m Cara berjalan : -
Facial Drop : Tidak ada Kaku kuduk : Tidak ada Rem : Tidak ada
Gangguan genggam /lepas : Ki / Ka : Tidak ada Hasil kultur, pemeriksaan sistem imun : -
Postur : normal Kordinasi : -
Refleks Patela Ki /Ka : -
Refleks tendo dalam bisep dan trisep : -
Kernig Sign : - Babinsky : -
Chaddock : - Brudinsky : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan Masalah Keperawatan : Resiko Infeksi
Ο Gangguan perfusi jaringan cerebral Ο Resiko Injuri Ο Gangguan Penularan infeksi
38
11. SEKSUALITAS
Aktif melakukan hubungan seksual : - Aktif melakukan hubungan seksual :-
Penggunaan kondom : - Penggunaan kondom : -
Masalah – masalah /kesulitan seksual : Tidak ada Masalah – masalah /kesulitan seksual :-
Perubahan terakhir dalam frekuensi /minat : - Perubahan terakhir dalam frekuensi /minat : -
Wanita : Pria :
Usia Menarke : 29 thn, Lama siklus : 28 hari Rabas penis : - Gg Prostat : -
Lokasi : - Sirkumsisi : - Vasektomi : -
Periode menstruasi terakhir : - Melakukan pemeriksaan sendiri : -
Menopause : - Payudara test : -
Rabas Vaginal : - Prostoskopi /pemeriksaan prostat terakhir : -
Perdarahan antar periode : - Tanda ( obyektif )
Melakukan pemeriksaan payudara sendiri / Pemeriksaan : -
mammogram : - Payudara /penis /testis : -
Tanda ( obyektif ) Kutil genatelia/test :-
Pemeriksaan : -
Payudara /penis /testis : -
Kutil genatelia/test :-
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
Ο Perdarahan Ο Gg citra tubuh Ο Disfungsi Seksual Ο Gg Pemenuhan Kebthn seksualitas
2. Status Neurologis ;
Uji Syaraf Kranial :
Nervus Kranial I : klien dapat membedakan bau minyak kayu putih
dan bau balsem
Nervus Kranial II : klien dapat melihat dengan baik
Nervus Kranial III : klien dapat menggerakan bola mata ke arah kiri
dan kanan
Nervus Kranial IV : klien dapat menggerakkan kedua matanya
Nervus Kranial V : klien dapat merasakan sentuhan panas dan dingin
pada kulitnya dan klien dapat mengunyah dengan
baik
Nervus Kranial VI : klien dapat menggerakan bola mata ke arah kanan,
kiri, atas dan bawah
Nervus Kranial VII : klien dapat membedakan rasa manis dan asin
Nervus Kranial VIII : klien dapat mendengar dengan baik
Nervus Kranial IX : klien dapat menelan makanan
Nervus Kranial X : klien dapat menjulurkan lidahnya
Nervus Kranial XI : klien dapat mengakat bahunya
Nervus Kranial XII : klien dapat mengatur posisi lidahnya keatas dan
kebawah
3. Ekstermitas Superior :
a) Motorik
Pergerakan : Bebas
Kekuatan : 5/5 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dan tahanan
b) Tonus
c) Refleks Fisiologis
- Bisep : kanan/kiri (+2)
- Trisep : kanan/kiri (+2)
- Radius : kanan/kiri (+2)
- Ulna : kanan/kiri (+2)
d) Refleks Patologis
Hoffman Tromer : normal
e) Sensibilitas
Nyeri : tidak ada
4. Ekstremitas Inferior :
a) Motorik
Pergerakan : Terbatas
Kekuatan : Ekstremitas bawah kanan 1 (Tidak ada gerakan,
kontraksi otot dapat di palpasi atau dilihat),
41
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Garis Keturunan
: Tinggal 1 rumah
: Klien (Ny.D)
: meninggal dunia
Hendra
NIM. 2021-01-14901-025
l
44
ANALISIS DATA
PRIORITAS MASALAH
1. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan Gangguan musculoskeletal (closed fraktur
tibia fibula dektar) ditandai dengan Klien tampak selalu di bantu oleh keluarga dan
perawat dalam melakukan aktivitas, Fraktur Tertutup bagian kaki kanan closed fraktur
tibia fibula dextra, Ekstremitas bawah 5/1 Skala aktivitas 2 P: Klien mengatakan nyeri
dibagian kaki kanan, Q: nyeri yang dirasakan seperti di tusuk-tusuk, R: lokasi
nyeri dirasakan di kaki kanan , S: skala nyeri 6, T: Klien mengatakan nyeri timbul
tiba-tiba dan pada saat kaki digerakkan. Berlangsung 5-10 menit saat nyeri
muncul. TTV : TD = 120/80 mmHg, N = 87x/menit, RR: 22 x/menit, S = 36.5 oC. Spo2 :
99
46
RENCANA KEPERAWATAN
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Bakara, D. M., & Warsito, S. (2016). Latihan Range Of Motion (ROM) pasif
terhadap rentang sendi pasien pasca stroke Exercise Range Of Motion ( ROM )
Passive toIncrease Joint Range of Post-Stroke Patients, VII(2).
LEMBAR KONSULTASI
Tanda Tangan
No. Hari/Tgl/Waktu Catatan Pembimbing
Pembimbing Mahasiswa
1. Senin, 1. Kontrak program perkuliahan/dinas
dengan CI Lahan dan CI Akademik di
18 Oktober 2021 ruang ROE
2. Pembagian kasus
LEMBAR KONSULTASI