Dosen Pembimbing:
Bara Miradwiyana, S.Kp, MKM
Disusun Oleh :
Kelompok 4 A (Keperawatan 3B)
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Sholawat serta salam tak lupa kami panjatkan kepada tauladan
kita Nabi Muhammad SAW yang telah memberitahu kepada kita jalan yang benar
berupa ajaran agama yang sempurna serta menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Kami sangat bersyukur karena mampu menyelesaikan makalah ini tepat waktu
sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan. Selain itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu kami
dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan maupun penyusunan makalah ini,
kami menyadari bahwa makalah ini idak akan terwujud tanpa ada partisipasi dari
berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih atas
dukungan semangat, bimbingan, waktu, dan material yang telah diberikan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, ucapan ini ditujukan kepada:
1. Ibu drg. Ita Astit Karmawati, MARS. selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Jakarta I
2. Ibu Mumpuni SKp., M.Biomed selaku kepala jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Jakarta I
3. Ibu li Solihah S.Kp., MKM. selaku ketua prodi D III jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Jakarta I
4. Ibu Bara Miradwiyana, S.Kp., MKM dan Ns. Dinny Atin Amanah, S.Kep selaku
penanggung jawab mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan
5. Ibu Bara Wiradwiyana, S.Kp., MKM. selaku dosen pembimbing kelompok 4
6. Ibu Ns. Kartikaningtyas. K, S.Kep selaku fasilitator kelompok 4
7. Teman-teman yang telah memberikan dukungan semangat kepada kami.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat berharap kritik dan saran yang
i
membangun dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Harapan kami
semoga makalah ini bisa memberikan manfaat dan wawasan kepada semua pihak.
Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Kelompok 4 A
ii
DAFTAR ISI
B. Patofisiologi .................................................................................................... 5
E. Komplikasi ...................................................................................................... 8
G. Penatalaksanaan ............................................................................................ 14
A. Kesimpulan.................................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................................. 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut (Depkes, 2012).
Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat
trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena
itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan
morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas cedera primer yang
merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
berupa benturan langsung ataupun proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada cedera primer dapat diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan
countrecoup. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan,
iskemia. dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi gangguan
proses metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, hemodinamika
intracranial, dan kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) yang dimulai
setelah terjadinya trauma namun tidak tampak secara klinis segera setelah
trauma. (Solmaz, 2009)
Survei yang dilakukan menunjukkan sebesar 90% trauma terjadi di negara
berkembang. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan meningkat
83% di negara berkembang pada tahun 2000-2020, dan kasus yang paling
banyak adalah cedera kepala (Salim, 2015). Tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan menjadi penyebab
banyaknya cedera tersebut terjadi. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
1
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dan lebih dari
100.000 orang selamat dengan disabilitas atau kecacatan (Saadat & Soori,
2010).
Penanganan cedera kepala harus cepat, tepat dan cermat serta sesuai dengan
prosedur yang ada, selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala
juga menjadi acuan penting mencegah kematian dan kecacatan, misalnya
tatalaksana Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Exposure
(ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital, mempertahankan oksigenasi yang
adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan koagulasi, mempertahankan
hemostatis dan gula darah, nutrisi yang adekuat, mempertahankan PaCO2 35-
45 mmHg, dan lain-lain. (Yulius, 2010)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, menjelaskan konsep teori dan
melakukan proses asuhan keperawatan pada kasus Cedera Kepala
2. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu menetapkan pengkajian keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala
2) Mahasiswa mampu menetapkan diagnosis keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala
3) Mahasiswa mampu merencanakan intervensi keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala
4) Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala
5) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral dan
hematoma
b. Sedang
• GCS 9-12
• Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam
• Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Berat
• GCS 3-8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial
a) Cedera primer yaitu efek langsung trauma pada fungsi otak yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
b) Cedera sekunder yaitu efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi
terhadap trauma. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkapnia, dan hipotensi.
a) Fraktur cranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT-Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain : ekimosis
periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retro aurikuler (Battle`sign),
kebocoran cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea, ottorhea) dan
Parese nervus facialis (NVII)
b) Lesi intracranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi vocal dan lesi difus, walaupun
kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi vocal
4
adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan intra
serebral. Cedera otak difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia
dari bagian otak karena syok berkepanjangan atau periode apneu yang
segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal sebagai cedera
aksonal difus (CAD). Umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan
yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk
bahkan dapat dalam keadaan koma.
B. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak,
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
5
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya, kita
mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya,
bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan
yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan
dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial
tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain,
2009).
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain (Rosjidi, 2007):
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
6
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
D. Manifestasi Klinik
7
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut
E. Komplikasi
a) Hemorrhagia cerebral : Pendarahan dalam otak atau disekitar otak,
penyebab pendarahan otak diantaranya tekanan darah tinggi, pembuluh
darah abnormal yang bocor, dan trauma. Banyak orang yang mengalami
pendarahan otak memiliki gejala seolah-olah mereka mengalami stroke
dan dapat menimbulkan berbagai kelemahan pada tubuh penderita
seperti kesulitan berbicara atau rasa mati rasa.
• Perdarahan epidural
Hematoma epidural merupakan perdarahan di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater, yang sering berhubungan dengan
fraktur tulang kepala dan robekan dari arteri meningen. Hematom
epidural menimbulkan gejala berupa nyeri kepala, muntah, kejang,
penurunan kesadaran, terjadinya lusid interval selama beberapa jam,
kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral
dan dilatasi pupil ipsilateral (Priguna, 2009). Hampir 95% hematoma
epidural terkait dengan fraktur kranium, terutama di tulang temporal.
• Perdarahan subdural
Hematoma subdural merupakan hematoma yang terjadi pada ruang
antara duramater dan arachnoid, biasanya diakibatkan oleh robekan
dari bridging vein atau robekan pembuluh darah kortikal,
subaraknoid, atau araknoid. Gejala klinisnya antara lain: sakit
kepala, penurunan kesadaran dan gejala yang timbul tidak khas, yang
merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan intrakranial
8
seperti: mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan nervus III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit
neurologis lainnya (Priguna, 2009).
• Perdarahan Subrachnoid
Perdarahan subarachnoid sering terjadi pada pasien cedera kepala,
terutama berhubungan dengan terjadinya laserasi, kontusio otak, dan
komplikasi perdarahan intraventrikular. Perdarahan terletak di antara
arakhnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid. Perdarahan
subarachnoid massive terjadi di sekitar bagian ventral batang otak
karena laserasi arteri vertebra, arteri basilari atau arteri yang lebih
kecil. Pasien yang mampu bertahan dengan perdarahan subarachnoid
yang signifikan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
hidrosefalus (Post Dkk, 2015).
b) Infeksi : Tulang tengkorak yang patah atau luka tembus pada kepala
dapat merobek lapisan pelindung otak (meningen). Hal ini membuat
bakteri dapat masuk ke dalam otak dan menyebabkan terjadinya infeksi.
Infeksi pada selaput otak (meningitis) dapat menyebar ke seluruh sistem
saraf bila tidak segera diobati.
c) Edema cerebral : Edema otak sering didapatkan pada pasien anak-anak
dan dewasa muda dengan trauma kepala yang signifikan. Edema ini
bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti cedera otak primer,
perdarahan intrakranial, epilepsi, dan komplikasi sistemik seperti
hipoksia, iskemia dan sepsis. Setelah cedera kepala terjadi peningkatan
volume darah di otak akibat vasodilatasi. Edema otak menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan mengurangi tekanan perfusi
9
serebral, yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan otak.
(Sumritpradit Dkk, 2016)
d) Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat reflex
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita cedera
kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permeabilitas
pembuluh darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah
akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
e) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Klinis yang paling umum di mana peningkatan TIK ditemui dan
dipantau adalah pada cedera kepala, dimana beberapa mekanisme
menyebabkan perubahan volume intrakranial. Hematoma traumatik
dapat terkumpul dalam intraserebral, ruang subarakhnoid, ruang
subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan gradien dalam
tengkorak dan mengakibatkan pergeseran otak.
f) Herniasi Otak : Bergesernya sebagian jaringan otak dari posisi
normalnya melewati celah di tulang tengkorak, baik celah terbentuk
secara alami maupun akibat operasi di kepala. Penyebab herniasi otak
adalah tekanan di dalam tengkorak yang meningkat. Peningkatan
tekanan ini akan mendorong otak hingga bergeser dari posisi
normalnya.
10
g) Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup
diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien
untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
h) Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7
hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom
(subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio
serebri, glasglow coma scale (GCS) <10.
i) Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,
asetazolamid.
j) Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan
dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada
cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan
di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah,
nyeri kepala, pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
k). Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan
tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan
cahaya. Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel,
cemas, depresi, emosi labil.
11
F. Test Diagnostik
• Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Pemeriksaan sampel darah pada pasien cedera otak traumatik ditujukan untuk
menilai kondisi penyulit dan kondisi yang mendasari keadaan pasien.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan, adalah :
- Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering ditemui
hiponatremia akibat gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar
magnesium juga dapat menurun pada fase akut akibat proses
eksitotoksik
- Pemeriksaan faktor koagulasi (Aptt, PT, trombosit), pasien orang tua
mungkin sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan
ini juga bermanfaat untuk menilai resiko pendarahan intrakranial
- Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan
kesadaran atau disorientasi
• Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap. Pada
pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan
meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila
kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh
dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan
perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf
yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus
II (optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V
(trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII
(oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI (spinalis),
nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan nervus
hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
• Computed Temografik Scan (CT-scan)
Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak.
Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto
dengan jelas. Computed Temografik Scan (CT-Scan) kepala merupakan
standard baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien
12
dengan glasglow coma scale (GCS) <12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan
Computed Temografik Scan (CT Scan), sedangkan pada pasien dengan
glasglow coma scale (GCS) >12 Computed Temografik Scan (CT-Scan)
dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya
tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah
lebih dari satu kali. Dengan Computed Temografik Scan (CTScan) isi kepala
secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). MRI
Teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan Computed
Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak tampak pada Computed
Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) sehingga tidak
sesuai dengan situasi gawat darurat.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil. Selain itu,
dokter akan menanyakan riwayat yang menyebabkan cedera kepala.
Umumnya langkah ini dilakukan dengan meminta keterangan dari orang yang
mendampingi pasien serta orang yang menyaksikan kejadian. Dengan ini
dokter bisa menentukan penyebab pingsan dan durasinya. Pemeriksaan fisik
pun bisa dilakukan untuk mencari tanda-tanda trauma. Misalnya memar dan
pembengkakan. Pemeriksaan neurologis dapat pula dijalani oleh pasien guna
mengecek fungsi saraf. Tes ini dilakukan guna menilai kendali dan kekuatan
otot, gerakan mata, serta sensasi dan pemeriksaan neurologis lainnya.
• Electroencephalogram (EEG)
Peran yang paling berguna dari Electroencephalogram (EEG) pada cedera
kepala mungkin untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non
konfulsif. Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam
sebuah studi landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus
menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang
konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah
studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus berhubungan dengan gelombang
13
delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada
bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
G. Penatalaksanaan
a. Pada pertolongan pertama :
• Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck
collar, sebab sering trauma kepala disertai trauma leher.
• Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan
CO2
• Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
• Pasang BACK BOARD ( spinal board)
• Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena
muntah.
• Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka
sebelum dilakukan penjahitan situsional.
• Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan
syock. Atasi syok dengan pemasangan IV canule yang besar (bila
perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat penatalaksanaan
hemoragik syok)
• Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan,
begitu pula obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi
dokter.
b. Penatalaksanaan di Rumah Sakit.
• Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan
• Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara : Pertahankan
metabolisme otak yang adekuat
• Mencegah dan mengatasi hipertensi
16
Jika pernafasan tidak adekuat maka penolong dapat memberikan
ventilasi tambahan dengan menggunakan bag-valve mask, mouth to
mouth atau memakai ventilator untuk mendapatkan konsentrasi
oksigen 100% jika sudah di RS.
• Selalu berikan oksigen
Berikan oksigen apabila diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi
dengan memakai rebreathing (6-10 LPM) atau non-rebreathing
mask (10-12 LPM), atau dengan kanul (5-6 LPM)
3) Circulation dan Kontrol Perdarahan
a) Pengenalan syok
• Keadaan kulit akral
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah
dan ekstermitas jarang yang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya, wajah pucat, kulit ekstermitas ang pucat serta dingin,
merupakan tanda syok
• Nadi
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau karotis harus diperiksa
bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada syok nadi
akan kecil dan cepat.
b) Control perdarahan
• Perdarahan eksternal
Dapat dikendalikan dengan direct pressure, elevation, dan
imobilisasi.
• Perdarahan Internal
Dapat dikendalikan dengan Rest, Ice, Compression, Elevation.
Baiknya segera rujuk ke fasilitas kesehatan.
c) Lakukan RJP jika pasien henti nafas dan enti jantung
1. Posisikan penderita berbaring telentang pada bidang yang
keras (misal : lantai).
2. Posisikan penolong berada di samping penderita.
3. Temukan pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri
(ulu hati).
17
4. Tentukan titik pijatan (kira-kira 2 ruas jari ke arah dada atas
dari titik pertemuan lengkung tulang iga kanan dan kiri).
5. Posisikan salah satu tumit tangan di titik pijat, tumit tangan
lainnya diletakkan di atasnya untuk menopang. 6. Posisikan
bahu penolong tegak lurus dengan tumit tangan
6. Lakukan pijatan jantung luar
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil. Pada klien dengan cedera kepala biasanya
kesadaran umum menurun, papilledema.
5) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe dengan posisi log roll
untuk memeriksa jejas, sebelumnya pasien sudah harus dipasang
neck collar. Teknik ini membutuhkan 2-5 perawat. Untuk klien yang
mengalami cidera servikal, seorang perawat harus mempertahankan
kepala dan leher klien tetap sejajar (Berman, 2009).
Pada pasien dengan trauma dianjurkan untuk membuka seluruh
pakaian untuk dapat mengetahui apakan ada trauma dibagian tubuh
lain atau tidak. Fasilitasi pasien selimut dan pakai kembali pakaian
pasien untuk mencegah agar tidak hipotermi.
Pengkajian sekunder
1. Anamnesa meliputi alergi, obat-obatan, penyakit sebelumnya yang di
derita, makanan terakhir yang di makan, kejadian pada saat trauma.
2. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, cara berjalan tidak
tegang.
3. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah bradikardi,takikardi, hipertensi,
hipotensi.
Tanda: Tanda-tanda vital berubah.
4. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
18
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsif.
5. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
6. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
7. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,sinkop,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman,
perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
8. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala, fraktur tulang tengkorak.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,merintih.
9. Pernafasan
Gejala : Sulit bernafas dengan spontan.
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi), Suara nafas tambahan seperti gargling,
snoring, crowing.
10. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
11. Interaksi social
Gejala: Kesulitan berbicara.
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
19
B. Diagnosis Keperawatan
No. Dx Diagnosa
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
1
serebral dan peningkatan TIK
C. Intervensi Keperawatan
20
penyebab. pertahankan kepala pada posisi netral,
hindari fleksi leher.
6. Kolaborasi dalam pemberian diuretic
osmotic, steroid, oksigen, antibiotic
21
hingga berat dan konstan dan memperingan nyeri
setelah mendapatkan 5. Identifikasi pengaruh nyeri pada
perawatan selama 1 x 24 jam, kualitas hidup
dengan Terapeutik
Kriteria hasil: 1. Kontrol lingkungan yang
• Tingkat nyeri menurun : 5 memperberat rasa nyeri (mis. suhu
(1-5) ruangan, pencahayaan, kebisingan)
• Keluhan nyeri menurun : 2. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
5 (1-5) dalam pemilihan strategi meredakan
• Tampak meringis nyeri
menurun : 5 (1-5) Edukasi
22
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
alangesik, sesuai indikasi
23
5. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala akibat trauma akan sering dijumpai saat sudah terjun ke praktik
klinik, cedera kepala juga berperan pada hamper separuh dari seluruh
kematian akibat trauma-trauma dan merupakan kejadian yang serius. Cedera
kepala itu sendiri adalah suatu keadaan trauma yang mengenai struktur kepala
dari lapisan kulit kepala, tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta
otak yang dapat berupa trauma terbuka maupun tertutup. Cedera kepala juga
dapat mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional dan social karena
mengenai otak.
Penanganan cedera kepala harus cepat, tepat dan cermat serta sesuai dengan
prosedur yang ada, selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala
juga menjadi acuan penting mencegah kematian dan kecacatan, misalnya
tatalaksana Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Exposure
(ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital, mempertahankan oksigenasi yang
adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan koagulasi, mempertahankan
hemostatis dan gula darah, nutrisi yang adekuat, mempertahankan PaCO2 35-
45 mmHg, dan lain-lain. (Yulius, 2010)
B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan perlunya mengetahui tentang konsep dasar
dari cedera kepala itu sendiri termasuk bagaimana cara menanganinya ketika
sudah masuk ke praktik klinik, salah satu yang perlu dipelajari juga termasuk
pertolongan pertama untuk pasien dengan cedera kepala karena bantuan
perawat sangat dibutuhkan untuk pemberi pertolongan pertama dan
berkolaborasi dengan tenaga medis yang lain sesuai dengan tugas dan
wewenang masing-masing tenaga medis.
25
DAFTAR PUSTAKA
Berman, A. et al. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Koizer & Erb, Edisi 5.
Jakarta: EGC.
Ditjen PP & PL Depkes RI. 2012. Laporan Triwulan Situasi Perkembangan cidera
kepala di Indonesia Sampai Dengan 30 Juni 2012. www.depkes.go.id diakses 28 July
2020.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Saadat, S., & Soori, H. (2010). Epidemiology of traffic injuries and motor vehicles
utilisation in Tehran: a populatio-based study. Academic Journal, 16, 23.
Salim, C. (2015). Sistem Penilaian Trauma. Cermin Dunia Kedokteran, 42, 8.
Tarwoto, et. al. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Sagung Seto.
Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. 2010. Basic Trauma Life Support & Basic
Cardiac Life Support) Edisi 7. Jakarta : Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118
Yulius. T. (2010). Acid-base disorder due to hypernatremia in head injury. Journal of
Anastesia and Critical Care , 28 (3), Hal. 34-44.
https://www.academia.edu/35138582/WOC_Cedera_Kepala (Diakses pada Hari
Kamis, 27 Agustus 2020)
iv