Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


“TRAUMA KEPALA”

Dosen Pengampu : Mawar Eka Putri,S.Kep,Ns,M.Kep


Nama Kelompok 1 : 1. Dayang Azura
2. Eriska Purwasih
3. Fitriyana
4. Jelina Jini
5. Muhammad Arif Yusuf A.
6. Tiara Agustin

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


TANJUNGPINANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan


Medikal Bedah II yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan
tugas makalah ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan memahami tentang
materi “Trauma Kepala”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik yang mendukung secara
moril dan materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan


kekhilafandalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan demi
perbaikan makalah ini ke depan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Tanjungpinang, 21 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ................................................................................................................ 3
2.2 Epidemologi ........................................................................................................ 3
2.3 Etiologi ................................................................................................................ 3
2.4 Patofisiologi ........................................................................................................ 4
2.5 Klasifikasi ........................................................................................................... 4
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................... 6
2.7 Komplikasi .......................................................................................................... 7
2.8 Pemeriksaan Diagnostik....................................................................................... 8
2.9 Penatalaksanaan .................................................................................................. 8
2.10 Pathway .............................................................................................................12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ........................................................................................................... 13
3.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................................................ 15
3.3 Intervensi Keperawatan ....................................................................................... 15
3.4 Implementasi Keperawatan ................................................................................. 17
3.5 Evaluasi Keperawatan ......................................................................................... 17
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 18
4.2 Saran .................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada usia reproduktif, sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Cedera
kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. (Muttaqin, 2013), cedera kepala biasanya diakibatkan salah
satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan, akibat dari terjadinya cedera kepala
yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga
mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada
penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan
komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan
fungsi (Tarwoto, 2013).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 16.000 orang meninggal
di seluruh dunia setiap hari yang diakibatkan oleh semua jenis cedera. Cedera
mewakili sekitar 12% dari beban keseluruhan penyakit, sehingga cidera penyebab
penting ketiga kematian secara keseluruhan. Sepuluh penyebab kematian utama di
dunia salah satunya karena kecelakaan jalan raya dan diperkirakan akan menjadi
tiga penyebab utama kecacatan seumur hidup. Kecelakaan jalan raya merupakan
masalah kesehatan yang sangat besar diberbagai belahan dunia yaitu sekitar 45%
berasal dari pasien trauma yang rawat inap di rumah sakit disebabkan karena
kecelakaan sepeda motor (Artikova, 2012).
Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya
sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3- 0,5% mengalami
cedera kepala. Cedera kepala merupakan penyebab kematian tetinggi untuk usia
45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1 yang 70% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 Juta kasus
trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma
kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang
dikaitkan dengan kematian. Sekitar 40% penderita cedera multiple akan
mengalami cedera cedera susuan syaraf pusat. Kelompok ini akan mengalami
angka kematian dua kali lebih tinggi (35% banding 17%) dibandingkan dengan
kelompok tanpa cedera SSP.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a) Apa definisi dari trauma kepala?
b) Bagaimana epidiomologi pada trauma kepala ?
c) Apa saja etiologi dari trauma kepala?
d) Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?
e) Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
f) Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma kepala?
g) Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
h) Pemeriksaan pununjang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?

1
i) Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
j) Asuhan keperawatan pada Trauma kepala?

1.3. TUJUAN
a. Tujuan umum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan
pasien dengan trauma kepala.

b. Tujuan khusus
a) Mengetahui pengertian trauma kepala
b) Mengetahui etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan web of
caution pada pasien dengan trauma kepala
c) Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien
dengan trauma kepala

2
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA

2.1 DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi, decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2012)
Cidera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis,
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun
permanen (Perdosi, 2012).
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi setelah
trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada lelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Masjoer, 2015).

2.2 EPIDEMOLOGI
Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas. Cedera
kepala ini mendekati sepertiga penyebab kematian pada pasien dengan multi
trauma. Di indonesia penyebab cedera kepala adalah pengguna kendaraan
bermototr roda dua tertama bagi yang tidak menggunakan helm. Hal ini juga
menjadi tantangan sulit dikarenakan diantara mereka datang dari golongan
ekonomi menengah kebawah sehingga secara sosio ekonomi cukup sulit untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan alasan itulah angka kematian cedera
kepala mencapai 39% pertahun dan kemungkinan cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua di Indonesia.
Data yang ada menunjukkan kematian akibat cedera kepala mencapai 20 per
100.000 penduduk di Amerika Serikat (Aarabi, Mehta et al. 2014). Data di RS
Hasan Sadikin Bandung menunjukkan kejadian Sub dural Hematom sebanyak 5-
25% diantara kejadian cedera kepala berat dengan tingkat kematian sekitar 36-79%
(Arifin, Sidabutar et al. 2013). (Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K), 2013).

2.3 ETIOLOGI
Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat
orang yang mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2016).
Penyebab utama dari trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60%
kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala).
Namun ada penyebab lain dari trauma kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).
 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras Semua ini bisa jadi
akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala terutama bagian otak yang
sangat vital.

3
2.4 PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma,. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukos tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan


oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 60 ml/menit/ 100
gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical myocardial,
perubahan tekanan vaskular dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah
arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

2.5 KLASIFIKASI
Menurut (Iyan, 2013) Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat
ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi
yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek, secara praktis dikenal tiga deskripsi
klasifikasi berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera dan morfologi
cedera.
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi dua, yaitu cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus.
a. Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh paparan ledakan hebat
atau akselerasi deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
maupun puklan benda tumpul.
b. Cedera kepala akibat luka tembus umumnya disebabkan oleh benturan
benda yang permukaanya tajam, luka tembak, benda tajam atau benda
runcing lainnya. Luka tembus pada tulang kepala ini dapat menyebabkan
defisit neurologis yang disertai oleh infeksi.

2. Beratnya cedera
Glaslow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.

4
a. Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio serebral maupun hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9-15 kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tulang.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio serebral, lasetasi
atau hematoma intrakranial.

Menurut Musliha (2013) cedera kepala dibagi menjadi :


1. Cedera kepala primer
Terjadi saat kejadian. Kondisi ini terjadi pada cedera vascular, fokal, multifokal
atau diffuse sehingga dapat terjadi:
a. SCALP hematom
Kulit dan subkutis mampu meneruskan dan meredam impact yang
mengenainya tanpa menyebabkan kerusakan pada struktur dibawahnya.
Tetapi jika impact terlalu besar sehingga SCLAP tidak mampu meredam
maka akan terjadi hematom di SCALP.
b. Fraktur linier
Ketika tulang tengkorak terkena impact, kemungkinan akan terjadi
deformitas tulang tengkorak berupa serpihan tulang kedalam atau keluar.
Jika impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang seperti pada tulang
yang sudah matur dan kaku kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya
fraktur linier.
c. Fraktur depresi
Ketika impact mengenai tulang kepala dengan luas tertentu dan kekuatan
impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang, maka impact tersebut
dapat menyebabkan tepisahnya fragmen tulang pada daerah tersebut dan
masuk ke struktur dibawahnya melebihi kedalaman fragmen tulang lain.
Kondisi ini disebut fraktur depresi. Fragmen tulang yang masuk dapat
menyebabkan tyerjadinya robekan dan perdarahan struktur dibawahnya.
d. Cedera panetran
Impac dengan kekuatan tinggi dengan luas permukaan kecil/tajam dapat
menyebabkan terjadinya cedra penetrasi pada tulang kepala beserta
struktur dibawahnya.
e. Perdarahan ekstradura
Fragmen tulang yang fraktur yang masuk atau keluar struktur tulang
membentuk permukaan yang tajam sehingga dapat merobek vasa darah
dibawhnya seperti pada arteri meniagea media yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan ekstradura. Selain itu dapat terjadi perembesan
darah dari diploe yang dapat menyebabkan terjadianya EDH pula.

2. Cedera kepala sekunder


Terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kejadian :
1) Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arterimeningeal media

5
yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup
sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam
sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan
parietalis. Gejala-gejala yang terjadi :
 Penurunan tingkat kesadaran
 Nyeri kepala
 Muntah
 Hemiparesis
 Dilatasi pupil ipsilateral
 Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler
 Penurunan nadi
 Peningkatan suhu.

2) Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan
vena yang biasanya terdapat diantara duramater,perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda
dan gejalanya adalah :
 Nyeri kepala
 Bingung
 Mengantuk
 Menarik diri
 Berfikir lambat
 Kejang
 Oedem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya :
 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Komplikasi pernapasan,hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil,
perubahan tanda-tanda vital.

3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala :
 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Hemiparese
 Dilatasi pupilipsilateral
 Kaku kuduk

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Wong, orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa
tanda dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan, Tanda dan gejalanya:
 Dapat menimbulkan hilang kesadaran
 Periode konfusi (kebingungan) transien

6
 Somnolen
 Gelisah
 Iritabilitas
 Pucat
 Muntah (satu kali atau lebih)

2. Tanda-tanda progresitivitas
 Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
 Agitasi memuncak
 Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda
vital yang tampak jelas

3. Cedera berat, Tanda dan gejalanya:


 Tanda-tanda peningkatan TIK
 Perdarahan retina
 Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
 Hemiparesis
 Kuadriplegia
 Peningkatan suhu tubuh
 Cara berjalan yang goyah
 Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina

4. Tanda-tanda yang menyertai


 Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
 Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

2.7 KOMPLIKASI
1) Gejala sisa cedera kepala berat
Setelah cedera kepala berat, kebanyakan pasien dpat kembali mandiri.
Namun, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan, baik secara fisik
(dispasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Beberapa pasien akan tetap dalam status vegetatif.
Cedera kepala tetap merupakan penyebab kematian yang signifikan (9 per
100.000 populasi per tahun), terutama pada usia muda.
2) Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Namun, jika dihubungkan antara
rongga subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis
kecil dan tertutupi jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien
mungkin mengalami meningitis kemusian hari. Selain terapi infeksi,
komplikasi ini juga membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura.
Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal
persisten.
3) Epikepsi dan Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (dalam minggu awal pasca cedera, amnesia pascatrauma yang lama
(lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium atau hematoma intracranial.

7
4) Sindrom pacsakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah
cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestiburak (konkusi
labirinti)
5) Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjur cedera kepala ini dapat terjasi pada cedera kepala ringan.

2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan Penujang, (Musliha, 2014) :
 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasiluasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, danperubahan jaringan otak catatan
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72
jam setelah injuri.
 MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpakontras radioaktif.
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,perdarahan dan trauma.
 Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yangpatologis
 X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmentulang
 BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
 PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadiperdarahan
subarachnoid.
 ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalahpernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekananintrakranial
 Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolitsebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
 Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehinggamenyebabkan
penurunan kesadaran

2.9 PENATALAKSANAAN
a) Pre Hospital
a. Memperbaiki atau mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu
bebas, bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran udara
pernafasan.
b. Mengurangi edema otak, yaitu hiperventilasi bertujuan untuk menurunkan
tekanan darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah, selain itu
juga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis.
c. Status kesadaran dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif.
Terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena
subyektivitas pemeriksa: seperti apatis, somnolen, spoor, koma.

b) Hospital
A. Konservatif
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesui berat ringanya trauma.

8
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atauuntuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan pada trauma ringan bila muntah. Munta tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
netrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyakl cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextosa 5% 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan
diberikan melalui nasogatric tobe (2500-3000 TKTP). Pemberian
protein tergantung nilai urenitrogennya.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
4. Pembedahan (Musliha, 2010)

B. Manajemen pasien cedera kepala di Unit Gawat Darurat


Tujuan tata laksana pasien cedera kepala di UGD :
 Memberikan resusitasi yang efektif pada pasien.
 Penilain berat ringannya cedera kepala yang terjadi.
 Tindakan awal terhadap kelainan ekstrakranial.
Selain itu cedera kepala sekunder harus dicegah dengan mengatasi adanya
hipotensi dan hipoksia, perdarahan intrcranial yang bermakna, serta adanya
edema cerebri.Pertolongan pasien cedera kepala di UGD harus tetap
mengutamakan prioritas pertologan seperti pada ATLS. Cedra kepala
biasanya tidak berdiri sendiri, karena itu pertolongan yang dilakukan secara
sistematis sesuai kebutuhan hidup dasar korban cedera kepala harus
dilakukan untuk menyelamatkan pasien cedera kepala.
1. Airway dengan kontrol cervikal spine
Pasien yang sadar dan dapat berbicara dapat diasumsikan bahwa jalan
napas bebas. Pasien dengan takikardi, gelisa dapat merupakan tanda
adanya obstruksi jalan napas. Pertolongan yang dapat dilakukan pada
pasien ini dapat dilakukan sebagai berikut:
 Pembersihan Manual Dilakukan dengan menggunakan tangan untuk
menghilangkan benda asing. Dapat pula dibantu “manggil tang”
untuk jika evakuasi dengan tangan menemui kesulitan. Evakuasi
dengan tangan dilakukan sekaligus dengan memeriksa adnya cedera
maksilofasial.
2. Suction
Dilakukan untuk menyedot darah, debris, dan secret.
3. Chin lift
Mengangkat dagu, dilakukan dengan hati Hati terhadap resiko adanya
cedera cervikal. Head tilt sebaiknya tidak dilakukan sebelum ada bukti
tidak ada cedera pada cervikal.

9
4. Orofaringeal airway (mayo)
Dapat diberikan jika obstruksi terjadi karna adanya lidah yang jatuh
kebelakng dan menutupi jalan napas.
5. Intubasi
Intubasi merupakan cara yang terbaik untuk menjaga jalan napas pada
pasien yang tidak sadar. Intubasi dilakukan sesuai indikasi. Indikasi
intubasi:
 GCS <8
 Gagal nafas dengan : apneu, frekuensi, nafas <10x/menit, AGD dengan
PaO2 <45 mmHg, saturasi <90%
 Hiperventilasi dengan RR>30x/menit
 Pasien dengan resiko tinggi aspirasi seperti pada perdarahan di jalan
napas dan pada pasien yang kehilangan reflek menelan
 Trauma thorax berat Sedangkan kontraindikasi intubasi adalah cedera
maksilofasial yang berat.Pasien yang memerlukan pemeriharaan jalan
napas tetapi kontraindikasi untuk dilakukan intubasi dapat dilakukan
krikotiroidotomi.
6. Breathing dan ventilasi
Ketika jalan napas sudah dipastikan aman, langkah selanjutnya adalah
menjaga ketersediaan oksigen. Pada tahan awal dapat dilakukan
pemberian oksigen 100% dengan memperhatikan saturasi oksigen. Ketika
saturasi oksigen tercapai (95%), fraksi oksigen diturunkan bertahap
sehingga dibawah 45%. Patokan breathing dan ventilasi yang bagus
adalah respirasi rate, saturasi, serta Analisis gas darah (AGD). Nilai PaO2
yang direkomendasikan >75 mmHg dan kadar PaO2 35-38 mmHg.
Hiperventilasi tidak dianjurkan karena hipokapnia akan menyebabkan
terjadinya vasokontriksi berlebihan dan vasospasme. Sedangkan
hipoventilasi menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan
tekanan intrakranial.
7. Sirkulasi
Pasien trauma sering mengalami hipovolemia karena perdarahan.
Pengenalan hipovolemia dapat dilakukan dengan nadi dan tekanan darah.
Adanya takikardi disertai hipotensi mengarah pada kecurigaan ahock
hipovolemik.Shock hipovolemik secara umum dibatasi dengan tekanan
darah kurang dari 90 mmHg. Penurunan tekanan darah ini berpengaruh
terhadap tingkat kinerja otak. MAP 70mmHg merupakan batas minimal
selama melakukan resusitasi pasien trauma. Tetapi pada pasien dengan
cedera kepala berat disertai dengan kecurigaan kenaikan tekanan
intrakranial MAP yang diharapkan 90 mmHg.

10
C. Tata laksana lain untuk pasien cedera kepala
1) Pengaturan suhu
Target pengaturan suhu pasien adalah 35-oc.pasien dengan hipotermia
dapat diselimuti dengan jaket penghangat. Pemberian infus yang
dihangatkan penting untuk mencegah terjadinya hipotermia. Adanya
hipetermia juga harus dicegah dengan pemberian antipiretik. Hipertemia
memicu peningkatan konsumsi oksigen, aliran darah otak serta
peningkatan tekanan intrakranial
2) Insersi kateter urin dan NGT
Insersi kateter penting untuk pasien trauma. Selain untuk mengurangi
tekanan di dalam vesika urinaria, insersi kateter juga penting untuk
monitoring urin output sebagai parameter resusitasi. Pemasangan NGT
berfungsi untuk mengurangi isi dalam lambung sehingga terjadinya
muntah dan aspirasi. Pemberian NGT juga berfungsi untuk pemberian
nutrisi seawall mungkin pada pasien cedera kepala.
3) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah yang dianjurkan untuk pasien cedera kepala :
 Kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit
 Kadar glukosa, elektrolit
 Profil koagulasi darah
 Analisa Gas Darah

11
2.10 Pathway

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


A. Pengkajian primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2014 :
1. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
2. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
3. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi, sianosis,
capilarrefil.
4. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2015 penilaian GCS
berdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
 Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

 Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)


a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).

 Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)


a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
5. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

B. Pengkajian sekunder
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) :
Nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penanggung jawab, dll.

13
2. Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala,tentang ke rumah sakit dengan
penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah,
dispenea/takipenea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise,
hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya
liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sisten persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga,
terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapt
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat
berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
4. Pemeriksaan Fisik:
 Aspek Neurologis
Yang dikaji adalah Tingkat kesadran, biasanya GCS kurang dari 15,
disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau
dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski
positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan- gerakan
involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga
tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah trauma. Gangguan
keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat
mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus Karnialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai
batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I
(olfaktorius),Nervus II (Optikus), Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV
(Trokhlearis) dan nervus VI ( Abducens), Nervus V (Trigeminus), nervus
VII (Fasialis), Nervus VII (Akustikus), Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus
X (vagus), dan nervus XI (Assesorius), Nervus XII (Hipoglosus).
 Aspek Kardiovaskuler
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi
peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat,denyut nadi
bradikardi, kemudian takhikardia, atau irama tidak teratur. Selain itu
pengkajian lain yang perludikumpolkan adalah adanya perdarahan atau
cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, dan mata. Adanya
hiperekresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada
bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepala hingga kaki
 Aspek sistem pernapasan
Terjadi perubahan jalan napas, baik irama kedalaman maupun frekuensi
yang cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething),
bunyi napas ronchi, Wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo

14
brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atu
rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh
 Aspek sistem eliminasi
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalimia, pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji
tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernanseperti bising usus yang
tidak terdengar/lemah, awalnya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar
dalam pemberian makanan.
5. Pengkajian Psikologis
Dimana pasien dengan tingkat kesadaran menurun, maka untuk data
pisikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadaranya agak normal akan terlihat akan adanya gangguan emosi,
perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium dan
kebingungan keluarga pasien klarena mengalami kecemasan sehubungan
dengan penyakitnya.
6. Data Spiritual
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup
pasien ketuhan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan kalau
tidak ada penurunan kesadaran. (Clevo, 2012)

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema
cerebral, peningkatan TIK
2. Gangguan pertukan gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret

3.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa NOC NIC
. Keperawatan
1. Resiko  Perfusi jaringan : serebral  Monitor tekanan
ketidakefektifan Setelah melakukan tindakan intrakranial
perfusi jaringan keperawatan selam 3x24 jam. 1. Kaji, observasi, evaluasi
otak berhubungan Kriteria hasil : tanda-tanda penurunan
dengan edema 1. Tanda-tanda vital dalam perfusi serebral
cerebral, rentang normal
2. Hindari tindakan valsava
peningkatan TIK 2. Tidak ada peningkatan TIK
3. Klien mampu berbicara manufer (suction lama,
dengan jelas mengedan, batuk terus-
4. Fungsi sensori motorik menerus)
cranial utuh kesadaran 3. Berikan oksigen sesuai
membaik instruksi dokter
4. Lakukan tindakan bedrest

15
total
5. Monitor tanda-tanda vital
6. Monitor tanda-tanda TIK
7. Kolaborasi dalam pemberian
obat sesuai perintah dokter

2. Gangguan  Status Pernafasan :  Manajemen jalan nafas


pertukan gas Pertukaran Gas 1. Posisikan pasien untuk
berhubungan Setelah melakukan tindakan memaksimalkan ventilasi
dengan keperawatan selam 3x24 jam.
2. Identifikasi kebutuhan
ketidakseimbangan Kriteria hasil :
ventilasi perfusi 1. Tanda-tanda vital dalam aktual/potensial pasien untuk
rentang normal memasukkan alat pembuka
2. Oksigenasi adekuat jalan nafas
3. Tidak ada tanda-tanda sesak 3. Lakukan fisioterapi dada
nafas sebagaimana mestinya
4. Auskultasi suara nafas, catat
area ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya
suara tambahan
5. Monitor status penafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya

3. Ketidakefektifan  Status pernafasan :  Manajemen Jalan Nafas


bersihan jalan kepatenan jalan nafas 1. Posisikan pasien untuk
napas berhubungan Setelah melakukan tindakan memaksimalkan ventilasi
dengan akumulasi keperawatan selam 3x24 jam.
2. Identifikasi kebutuhan
secret Kriteria hasil :
1. Tanda-tanda vital dalam aktual/potensial pasien untuk
rentang normal memasukkan alat pembuka
2. RR Normal jalan nafas
3. Ritme pernafasan normal 3. Lakukan fisioterapi dada
4. Klien mampu mengeluarkan sebagaimana mestinya
sisa sekret 4. Buang secret dengan
5. Tidak terdengar suara napas memotivasi pasien untuk
tambahan melakukan batuk atau
menyedot lendir
5. Auskultasi suara nafas, catat
area ventilasinya dan adanya
suara tambahan
6. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya
7. Monitor status pernafasan

16
dan oksigenasi

3.4 Implementasi
Setelah rencana keperawatan disusun, selanjutnya menerapkan rencana
keperawatan dalam suatu tindakan keperawatan dalam bentuk nyata agar hasil
yang diharapkan dapat tercapai, sehingga terjalin interaksi yang baik antara
perawat, klien dan keluarga.

3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu menilai
efektifitas rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan dalam asuhan
keperawatan serta menentukan perkembangan dan kemampuan pasien dalam
mencapai sasaran yang telah diharapkan.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Trauma kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang dapat melibatkan
kulit kepala , tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Trauma kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Masjoer,
2014). Penyebab dari trauma kepala, antara lain:
 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
 Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras Semua ini
bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala terutama
bagian otak yang sangat vital.

4.2 Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca
makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait
tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu
sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat
menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma kepala. Saran yang
disampaikan kepada mahasiswa keperawatan adalah :
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala.
2. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan
trauma kepala.
3. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien,
baik di rumah sakit maupun di rumah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Musliha.2012.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha MedikaHernanta, I.


2013. Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA

Clevo, M. Rendy dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedahdan
Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K),dkk. 2013. Cedera Kepala. Jakarta : Sagung Seto

Badan Pendidikan & Pelatihan Persatuan Perawat Nasional Indonesia


DewanPengurus Wilayah Jawa Timur. 2017. Pelatihan BTCLS. Surabaya: PPNI Jatim

Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2013).


KeperawatanKritis: Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta:
EGC.Heardman, T. Heather.2015. Nanda Inc. Diagnosis Keperawatan defisit
klasifikasi. Jakarta :EGC

Moorhead,Sue dkk.2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Edisi


Kelima.Yogyakarta : Moco media

Bulechek, Gloria M. Dkk.2013.Nursing Intervention (NIC) edidi ke


Enam.Yogyakarta: Moco Media

19

Anda mungkin juga menyukai