KEPERAWATAN KRIRIS II
“TRAUMA KEPALA”
DOSEN PENGAMPU :
NAMA KELOMPOK 3 :
1 | Keperawatan Kritis II
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena
berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis II sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan Kritis
II yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas makalah
ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan memahami tentang materi “Trauma
Kepala”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
dalam upaya penyelesaian makalah ini baik yang mendukung secara moril dan
materil.
Terima kasih
Penyusun
2 | Keperawatan Kritis II
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3 Tujuan ................................................................................................................2
2.4Patofisiologi ........................................................................................................5
2.5Klasifikasi ...........................................................................................................6
2.8Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................................14
2.9Penatalaksanaan ................................................................................................15
3 | Keperawatan Kritis II
BAB VI PENUTUP
4 | Keperawatan Kritis II
BAB I
PENDAHULUAN
5 | Keperawatan Kritis II
trauma yang rawat inap di rumahsakit disebabkan karena kecelakaan sepeda
motor (Artikova, 2011). Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa
melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan
sekitar 0,3- 0,5% mengalami cedera kepala. Cedera kepala merupakan
penyebab kematian tetinggi untuk usia 45 tahun, perbandingan laki-laki dan
wanita adalah 2:1 yang 70% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Setiap
tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 Juta kasus trauma kepala, 52.000
pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan
dengan kematian. Sekitar 40% penderita cedera multiple akan mengalami
cedera cedera susuan syaraf pusat. Kelompok ini akan mengalami angka
kematian dua kali lebih tinggi (35% banding 17%) dibandingkan dengan
kelompok tanpa cedera SSP.
Di Indonesia kesadaran berlalu lintas masih rendah. Penegakkan
hukum lalu lintas yang tidak konsisten, perkembangan sistem dan sarana
transportasi yang semakin meningkat dengan populasi yang semakin
bertambah menyebabkan meningkatnya angka kejadian kecelakan lalu lintas.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kecelakaan jalan raya sebagaimana
dilaporkan oleh Qirjako (2008) adalah mengemudi dengan kecepatan tinggi,
mengkonsumsi alkohol sewaktu mengendarai dan pengemudi dibawah umur.
Penanganan awal trauma kepala sangat penting karena dapat
mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan
morbiditas dan mortalitasnya. Dua hal penting dalam penanganan awal ini
adalah penanganan segera ditempat kejadian dan proses transportasi saat
merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Tujuan dari penanganan trauma kepala
bukan lagi sekedar menolong jiwa, akan tetapi juga menyembuhkan penderita
dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di fasilitas tenaga
kesehatan sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepa,
memiliki tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal
yang seoptimal mungkin dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat
fasilitas yang lebih tinggi.
6 | Keperawatan Kritis II
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
a. Tujuan umum
b. Tujuan khusus
a) Mengetahui pengertian trauma kepala
b) Mengetahui etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan web of caution
pada pasien dengan trauma kepala
c) Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala
7 | Keperawatan Kritis II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMOLOGI
8 | Keperawatan Kritis II
Data yang ada menunjukkan kematian akibat cedera kepala mencapai
20 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat (Aarabi, Mehta et al. 2007).
Data di RS Hasan Sadikin Bandung menunjukkan kejadian Sub dural
Hematom sebanyak 5-25% diantara kejadian cedera kepala berat dengan
tingkat kematian sekitar 36-79% (Arifin, Sidabutar et al. 2010). (Dr. M.Z.
Arifin,Sp.Bs (K), 2013)
2.3 ETIOLOGI.
Kecelakaan industri
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala
terutama bagian otak yang sangat vital.
2.4 PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %,
karena akan menimbulkan koma,. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
9 | Keperawatan Kritis II
seluruh kebutuhan glukos tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
2.5KLASIFIKASI
10 | Keperawatan Kritis II
b. Cedera kepala akibat luka tembus umumnya disebabkan oleh
benturan benda yang permukaanya tajam, luka tembak, benda
tajam atau benda runcing lainnya. Luka tembus pada tulang kepala
ini dapat menyebabkan defisit neurologis yang disertai oleh
infeksi.
2. Beratnya cedera
Glaslow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio serebral maupun hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9-15 kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tulang.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio serebral,
lasetasi atau hematoma intrakranial.
11 | Keperawatan Kritis II
Ketika tulang tengkorak terkena impact, kemungkinan akan terjadi
deformitas tulang tengkorak berupa serpihan tulang kedalam atau
keluar. Jika impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang seperti
pada tulang yang sudah matur dan kaku kemungkinan dapat
menyebabkan terjadinya fraktur linier.
c. Fraktur depresi
Ketika impact mengenai tulang kepala dengan luas tertentu dan
kekuatan impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang, maka
impact tersebut dapat menyebabkan tepisahnya fragmen tulang
pada daerah tersebut dan masuk ke struktur dibawahnya melebihi
kedalaman fragmen tulang lain. Kondisi ini disebut fraktur
depresi. Fragmen tulang yang masuk dapat menyebabkan
tyerjadinya robekan dan perdarahan struktur dibawahnya.
d. Cedera panetran
Impac dengan kekuatan tinggi dengan luas permukaan kecil/tajam
dapat menyebabkan terjadinya cedra penetrasi pada tulang kepala
beserta struktur dibawahnya.
e. Perdarahan ekstradura
Fragmen tulang yang fraktur yang masuk atau keluar struktur
tulang membentuk permukaan yang tajam sehingga dapat
merobek vasa darah dibawhnya seperti pada arteri meniagea
media yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ekstradura.
Selain itu dapat terjadi perembesan darah dari diploe yang dapat
menyebabkan terjadianya EDH pula.
Sedangkan pada inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera berupa:
a. Perdarahan subdural
Terjadi akibat adanya robekan pada bridgin vein antara otak dan
sinus venosus yang merupakan “pengantung” otak. Akibat adanya
inertia yang menyebabkan aelirasi dan deselerasi dapat merobek
bridging vein ini sehingga dapat terjadi perdarahan subdural.
b. Perdarahan intra cerebral
12 | Keperawatan Kritis II
Dapat berupa contosion cop (sesuai jenis bantuan) atau conter coup
(berlawana dengan jelas benturan). Dapat pula berupa perdarahan
yang lebih besar seperti pada perdarahan intracerebri (ICH). Terjadi
karena aselerasi dan deselerasi antara otak dan tulang kepala yang
mengakibatkan benturan diotak. Teori lain menyebutkan adanya
tekanan negatif sewaktu otak ketinggalan bergerak dan kekuatan
pisitif sewaktu otak terlambat berhenti (selladurai and Reilly 2007).
c. Cedera fokal dan difus
Adanya inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera pada otak dapat
menyebabkan terjadinya cedera pada otak yang bersifat fokal atau
difus.
Cedera kepala fokal
Cedera kepala fokal berarti terjadi kerusakan setempata yang
berhubungan dengan lokasi benturan. Terjadi pada tempat diman
bagian otak berbentutran langsung atau berdampak langsung akibat
mekanisme trauma tersebut yang dapat menyebabkan defisit
neuroligis lokal akibat jejas pada area tersebut. Lokasi yang sering
terkena adalah bagian anterior, lobus temporalis dan korteks. Cedera
kepalaorbitofrontal, dikarenakan bagian tersebut terletak palin anterior
terhadap bidang horizontal serta memiliki permukaan yang kasar.
Hematoma pada daerah ini bisa terjadi lambat, yang dapat muncul
beberapa hari setelah kejadian.
1. Contusion
Terjadi akibat adanya kekuatan aselarisasi dan deselerasi setelah
terjadi benturan kepala. Contosion umumnya terjadi dipolus
frintalis, permukaan orbita lobus frontalis, polus tempolaris, dan
permukaan inferior dan lateral lobus tempolaris.
Contosio cerebri terjadi atas daerah yang mengalami perdarahan
dipusat, daerah yang tidak mengalami perdarahan yang sudah
nekrosis atau sebagian rusak, dan daerah yang mengalami edema.
Seringkali contosiso ini berkembang menjadi intracerbral hematon
(ICH). Daerah dipusat contosio, miskin aliran darah, sehingga
13 | Keperawatan Kritis II
daerah sekitarnya menjadi rentan terhadap pengurangan aliran
darah dari jantung.
2. Leserasi cerebral
Laserasi ini mirip dengan contosio, dengan tambahan keterlibatan
lapisan aracnoid pada permukaan cortek cerebri. Sering terjadi
pada bagian frontal dan temporal karena permukaan tersebut
relatif lebih kasar dibandingkan permukaan lain. Laserasi serebri
sering berhubungan dengan perdarahan subdural serta ICH. Jika
laserasi cerebri berhubungan dengan ICH maka dinamakan burs
lobe. Jika laserasi cerebri berhubungan dengan SDH maka
dinamakan “complicated SDH”.
14 | Keperawatan Kritis II
DAI menyebablkan putusnya neuron antara konteks cerebri
denga farotio retikularis dibatang otak. Karena itu DAI
berhubungan dengan tingkat kesadaran, lama priode tidak
sadar setelah benturan kepala, dan outcome setelah cedera
kepala.
15 | Keperawatan Kritis II
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara
duramater,perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam - 2hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah :
Nyeri kepala
Bingung
Mengantuk
Menarik diri
Berfikir lambat
Kejang
Oedem pupil
Nyeri kepala
Penurunan kesadaran
Komplikasi pernapasan,hemiplegia kontra lateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tandavital.
3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada
cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala :
Nyeri kepala
Penurunan kesadaran
Hemiparese
Dilatasi pupilipsilateral
Kaku kuduk (Musliha, 2010)
16 | Keperawatan Kritis II
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala, antara lain:
2.7 KOMPLIKASI
1) Gejala sisa cedera kepala berat
17 | Keperawatan Kritis II
Setelah cedera kepala berat, kebanyakan pasien dpat kembali mandiri.
Namun, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan, baik secara
fisik (dispasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan
kognitif, perubahan kepribadian). Beberapa pasien akan tetap dalam
status vegetatif. Cedera kepala tetap merupakan penyebab kematian yang
signifikan (9 per 100.000 populasi per tahun), terutama pada usia muda.
2) Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Namun, jika dihubungkan
antara rongga subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat
fraktur basis kecil dan tertutupi jaringan otak, maka hal ini tidak akan
terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis kemusian hari. Selain
terapi infeksi, komplikasi ini juga membutuhkan reparasi bedah untuk
robekan dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran
cairan serebrospinal persisten.
3) Epikepsi dan Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (dalam minggu awal pasca cedera, amnesia pascatrauma
yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium atau hematoma
intracranial.
4) Sindrom pacsakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestiburak (konkusi labirinti)
5) Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjur cedera kepala ini dapat terjasi pada cedera kepala
ringan.
18 | Keperawatan Kritis II
: Untuk mengetahuiadanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72
jamsetelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpakontras
radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yangpatologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmentulang
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadiperdarahan
subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalahpernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekananintrakranial
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolitsebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat
sehinggamenyebabkan penurunan kesadaran.
2.9 PENATALAKSANAAN
a) Pre Hospital
a. Memperbaiki atau mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu
bebas, bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran
udara pernafasan.
b. Mengurangi edema otak, yaitu hiperventilasi bertujuan untuk
menurunkan tekanan darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah, selain itu juga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis.
c. Status kesadaran dewasa ini penilaian status kesadaran secara
kualitatif. Terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai
ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa: seperti apatis, somnolen,
spoor, koma.
19 | Keperawatan Kritis II
b) Hospital
A. Konservatif
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesui berat ringanya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin)
atauuntuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan pada trauma ringan bila muntah. Munta
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
netrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyakl cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah makanan diberikan melalui nasogatric tobe (2500 –
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urenitrogennya.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
4. Pembedahan (Musliha, 2010)
20 | Keperawatan Kritis II
dilakukan secara sistematis sesuai kebutuhan hidup dasar korban cedra
kepala harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien cedera kepala.
21 | Keperawatan Kritis II
Trauma thorax berat
Sedangkan kontraindikasi intubasi adalah cedera maksilofasial
yang berat.Pasien yang memerlukan pemeriharaan jalan napas
tetapi kontraindikasi untuk dilakukan intubasi dapat dilakukan
krikotiroidotomi.
6. BREATHING DAN VENTILASI
Ketika jalan napas sudah dipastikan aman, langkah selanjutnya
adalah menjaga ketersediaan oksigen. Pada tahan awal dapat
dilakukan pemberian oksigen 100% dengan memperhatikan saturasi
oksigen. Ketika saturasi oksigen tercapai (95%), fraksi oksigen
diturunkan bertahap sehingga dibawah 45%.
Patokan breathing dan ventilasi yang bagus adalah respirasi
rate, saturasi, serta Analisis gas darah (AGD). Nilai PaO2 yang
direkomendasikan >75 mmHg dan kadar PaO2 35-38 mmHg.
Hiperventilasi tidak dianjurkan karena hipokapnia akan
menyebabkan terjadinya vasokontriksi berlebihan dan vasospasme.
Sedangkan hipoventilasi menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
7. SIRKULASI
Pasien trauma sering mengalami hipovolemia karena
perdarahan. Pengenalan hipovolemia dapat dilakukan dengan nadi
dan tekanan darah. Adanya takikardi disertai hipotensi mengarah
pada kecurigaan ahock hipovolemik.Shock hipovolemik secara
umum dibatasi dengan tekanan darah kurang dari 90 mmHg.
Penurunan tekanan darah ini berpengaruh terhadap tingkat kinerja
otak. MAP 70mmHg merupakan batas minimal selama melakukan
resusitasi pasien trauma. Tetapi pada pasien dengan cedera kepala
berat disertai dengan kecurigaan kenaikan tekanan intrakranial
MAP yang diharapkan 90 mmHg.Penilaian tingkat shock
hipovolemik dapat dilakukan sesuai tabel berikut :
22 | Keperawatan Kritis II
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Persentase
<15 15-30 30-40 >40
perdarahan
Volome
<750 750-1500 1500-2000 >2000
perdarahan
Tekanan Tidak ada Sangat
Normal Menurun
sistolik perubahan turun
Tekanan Tidak ada Sangat
Meningkat Menurun
diastolik perubahan turun
Nadi <100 >100 >120 >140
Penilaian perdarahan:
23 | Keperawatan Kritis II
adalah vena jugularis eksterna, vena femoralis, ataupun vena sub
clavia jiaka akses vena perifer susah untuk dilakukan. Pilihan lain
yang dapat dilakukan pada pasien pediatrik adalah pemberian cairan
intraoseus atau dengan melakukan vena seksi pada vena perifer.
2. Jenis cairan yang diberikan
NaCL 0,9% merupakan rekomendasi utama untuk resusitasi
cairan pada pasien dengan cedera kepala. Cairan ini memiliki
osmolaritas 308 mosm/l karena itu bersifat isotonis. Osmolaritas ini
penting untuk mencegah terjadinya edema cerebri akibat pemberian
cairan. Tetapi resusitasi dengan cairan isotonis ini juga dapat
menyebabkan terjadinya hipotermia, asidosis dan koagulopati.
Pemberian cairan hipoosmolar seperti Ringer Laktat dapat
menyebabkan edema cereberi karena adanya ekstravasasi cairan
kedalam sel-sel otak. Pemberian cairan Dekstrose 5% merupakan
kontraindikasi untuk resusitasi karena bersifat hipoosmolar dan
memiliki efek hiperglikemia yang dapat memperburuk cedera kepala
yang terjadi.
3. Indentifikasi dan control perdarahan
Setiap perdarahan eksternal harus dihentikan dengan tamponade atau
penjahitan. Perdarahan dari SCALP dapat dilakukan tampon
sementara atau dilakukan penjahitan jika memungkinkan. Adanya
fraktur dapat direposisi dan fiksasi eksterna untuk tindakan
sementara.
4. Tranfusi pada perdarahan
Indikasi transfusi pada perdarahan pasien trauma adalah :
Resusitasi dengan 2 atau 3 liter cairan tidak mampu mengatasi
shock
Kehilangan darah diperkirakan >30% volome darah tubuh atau
kira-kira 1500 cc pada orang dewasa
Hematokrit <30% untuk memperbaiki rheology darah dan
meningkatkan oksigen otak
24 | Keperawatan Kritis II
5. Monitoring resusitasi
Monitoring resusitasi dapat dilakukan dengan penilaian GCS dan
tanda vital pasien. Secara umum kenaikan GCS dan tanda vital yang
mendekati nilai normal menunjukan tindakan resusitasi berhasil.
Tetapi pada pasien cedera kepala berat, pasien dengan tekanan
intrakranial yang tinggi, pasien dengan hipovolemia seringkali
menunjukan Cushing response yang menyebabkan terjadinya
hipertensi sistolik dan bradikardi sehingga sering mengacaukan
penilaian kondisi pasien. Untuk itu parameter lain yang dapat
dipakai untuk menilai keberhasilan resusitasi adalah :
Urin output, dengankisaran 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang
dewasa. Sedangkan pada anak kecil 1-2 ml/kgBB/jam.
Kadar hemoglobin, yang diharpkan 9-10 g/dl dengan kadar
hematokrit 30-33%
Defisit basah, Pada pasien trauma defisit basah >15 mmol/l
berkaitan dengan mortalitas yang tinggi
8. DISABILITY
Setelah pasien memiliki kondisi yang stabil, pemeriksaan
selanjutnya adalah penilaian kondisi neurologis pasien. Pada pasien
trauma pemeriksaan neurologis yang penting dilakukan adalah
kondisi kesadaran (GCS), ada tidaknya lateralisasi dengan
memeriksa kondisi pupil dan kekuatan motorik kanan dan kiri
25 | Keperawatan Kritis II
2. Insersi kateter urin dan NGT
Insersi kateter penting untuk pasien trauma. Selain untuk
mengurangi tekanan di dalam vesika urinaria, insersi kateter juga
penting untuk monitoring urin output sebagai parameter resusitasi.
Pemasangan NGT berfungsi untuk mengurangi isi dalam
lambung sehingga terjadinya muntah dan aspirasi. Pemberian
NGT juga berfungsi untuk pemberian nutrisi seawall mungkin
pada pasien cedera kepala.
3. Pemeriksaan darah
26 | Keperawatan Kritis II
2.10 WEB OF CAUTION
27 | Keperawatan Kritis II
Kecelakaan, jatuh, trauma
CEDERA
KEPALA
Gangguan
Terputusnya kontinuitas autovelusasi / Peningkatan rangsangan
Nyeri jaringan kulit, vaskular Gangguan suplai simpatis Stress
regulasi
akut dan tulang darah
28 | Keperawatan Kritis II
Tekanan
Gangguan intrakranial
kesadaran meningkat Gangguan
pertukaran gas Cardiac output
menurun
Resiko injuri/ Kejang
Ansietas Imobilisasi
cedera Hipoksemia
Aliran darah ke Aliran ke renal
Ketidakefektifan bersihan Gangguan perfusi jaringan menurun menurun
jalan nafas jaringan serebral
Resiko kerusakan Resiko
Resiko kurang
defisit Ketidakefektifan
integritas kulit perawatan diri pola nafas
Laju filtrasi
Hipoksia glomerulus
menurun
FASE HOSPITALISASI
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Cemas (perpisahan renal
Imobilisasi
dengan orang tua)
Defisiensi
pengetahuan
29 | Keperawatan Kritis II
30 | Keperawatan Kritis II
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Pengkajian primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
1. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
2. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
3. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi, sianosis,
capilarrefil.
4. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian
GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
31 | Keperawatan Kritis II
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
5. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
B. Pengkajian sekunder
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) :
Nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan,
alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan
penanggung jawab, dll.
2. Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala,tentang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung,
muntah, dispenea/takipenea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah,
paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran
nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sisten persarafan
maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat
penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapt dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
pronosa pasien.
4. Pemeriksaan Fisik:
Aspek Neurologis
Yang dikaji adalah Tingkat kesadran, biasanya GCS kurang
dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan
decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk
dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
32 | Keperawatan Kritis II
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-
gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi.
Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah
trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat
limbung atau tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus Karnialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus I (olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan
daya penciuman dan anosmea bilateral. Nervus II (Optikus). Pada
trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala
penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
nervus VI ( Abducens). Kerusakannya akan menyebabkan penurunan
lapang pandang, refleks cahaya, menurun, perubahan ukuran pupil,
bola mata tidak dapat mengikuti perfintah,anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai;adanya anestesi
daerah dahi, nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai
neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak ada
lipatan nasolabial, melemanya penutupan kelopak mata dan hilangnya
rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
Nervus VII (Akustikus), pada pasien sadar gejala berupa
menurunya daya pendengaran dan keseimbangan tubuh. Nervus IX
(Glosofaringeus). Nervus X (vagus), dan nervus XI (Assesorius),
gejala jarang ditemukan karena karena penderita akan meninggal
apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya hiccuping
(cekungan)karena komperasi pada nervs vagus, yang menyebabkan
komperasi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena komperasi
batang otak. Cekung yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan
tekanan intrakranial.
Nervus XII (Hipoglosus), gejala yang bisa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disrtria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan.
33 | Keperawatan Kritis II
Aspek Kardiovaskuler
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila
terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat,denyut
nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau irama tidak teratur. Selain
itu pengkajian lain yang perludikumpolkan adalah adanya perdarahan
atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, dan mata. Adanya
hiperekresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma
pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepala
hingga kaki .
34 | Keperawatan Kritis II
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
5. Pengkajian Psikologis
Dimana pasien dengan tingkat kesadaran menurun, maka untuk data
pisikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadaranya agak normal akan terlihat akan adanya gangguan emosi,
perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium dan
kebingungan keluarga pasien klarena mengalami kecemasan sehubungan
dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan
orang – orang terdekat dan orang lainya , kemampuan berkomonikasi dan
peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya
setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.
6. Data Spiritual
35 | Keperawatan Kritis II
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah
hidup pasien ketuhan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan kalau tidak ada penurunan kesadaran. (Clevo, 2012)
DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Resiko Perfusi jaringan : serebral Monitor tekanan intrakranial
ketidakefektifan Tujuan: (TIK)
perfusi jaringan mempertahankan dan memperbaiki 1. Kaji, observasi, evaluasi
otak ditandai tingkat kesadaran fungsi motorik. tanda-tanda penurunan
dengan edema Kriteria hasil : perfusi serebral: gangguan
cerebral, TD dalam rentang normal mental, pingsan, reaksi pupil,
peningkatan TIK (120/80 mmHg) penglihatan kabur, nyeri
Tidak ada tanda kepala, gerakan bola mata.
peningkatan TIK 2. Hindari tindakan valsava
Klien mampu bicara manufer (suction lama,
dengan jelas, menunjukkan mengedan, batuk terus
konsentrasi, perhatian dan menerus).
orientasi baik 3. Berikan oksigen sesuai
Fungsi sensori motorik instruksi dokter
cranial utuh : kesadaran 4. Lakukan tindakan bedrest
membaik (GCS 15, tidak total
36 | Keperawatan Kritis II
ada gerakan involunter) 5. Minimalkan stimulasi dari
luar.
6. Monitor Vital Sign serta
tingkat kesadaran
7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan
kepala
9. Kolaborasi pemberian obat-
obatan untuk meningkatkan
volume intravaskuler sesuai
perintah dokter.
2 Gangguan pertukan Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
gas berhubungan pertukaran gas 1. Buka jalan nafas dengan
dengan Tujuan : teknik chin lift atau jaw thrust
ketidakseimbangan Untuk mempertahankan oksigenasi sebagaimana mestinya
ventilasi perfusi yang adekuat 2. Posisikan pasien untuk
Ktiteria hasil : memaksimalkan vemtilasi
Tanda tanda vital dalam 3. Identifikasi kebutuhan
batas normal aktual/potensial pasien untuk
Hasil lab BGA dalam batas memasukkan alat membuka
normal jalan nafas
Oksigenasi adekuat 4. Masukkan alat
Tidak ada tanda tanda nasopharyngeal airway
distres nafas : (NPA) atau oropharyng
airway (OPA) sebagaimana
mestinya
5. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
6. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
37 | Keperawatan Kritis II
7. Auskultasi suara nafas, catat
area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
8. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya
9. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
10. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
3 Ketidakefektifan Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
bersihan jalan kepatenan jalan nafas 1. Buka jalan nafas dengan
napas bd akumulasi Tujuan : teknik chin lift atau jaw thrust
secret, sisa Mempertahankan jalan nafas dan sebagaimana mestinya
muntahan jalan nafas klien bebas 2. Posisikan pasien untuk
Kriteria hasil : memaksimalkan vemtilasi
RR normal (12-24x/menit) 3. Identifikasi kebutuhan
Ritme pernapasan reguler aktual/potensial pasien untuk
Klien mampu untuk memasukkan alat membuka
mengeluarkan secret, sisa jalan nafas
muntahan 4. Masukkan alat
Tidak terdengar suara nasopharyngeal airway
napas tambahan (ronchi, (NPA) atau oropharyng
wheezing, gurgling) airway (OPA) sebagaimana
mestinya
5. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
6. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
38 | Keperawatan Kritis II
menyedot lendir
7. Auskultasi suara nafas, catat
area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
8. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya
9. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
10. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
4 Resiko Keseimbangan elektrolit Manajemen cairan
ketidakseimbangan Kriteria hasil : 1. Timbang berat badan pasien
elektrolit ditandai Mempertahankan urine setiap hari dan monitor status
dengan disfungsi output sesuai dengan usia pasien
ginjal dan BB, BJ urine normal 2. Hitung dan timbang popok
Tanda tanda vital dalam dengan baik
batas normal 3. Jaga intake atau asupan yang
Tidak ada ytanda-tanda akutrat dan catat output
dehidrasi, elastisitas turgor pasien
kulit baik, membaran 4. Montor status hidrasi (misal
mukosa lembab, tidak ada membran mukosa lembab,
rasa haus yang berlebihan denyut nadi adekuat)
5. Monitor tanda-tanda vital
paisen
6. Berikan terapi IV seperti yang
ditentukan
7. Monitor tingkat HB dan
hematokrit
5 Defisiensi Pengetahuan : perilaku Pendidikan kesehatan
39 | Keperawatan Kritis II
pengetahuan kesehatan 1. Libatkan individu, keluarga
berhubungan Pengetahuan : manejemen dan kelompok dalam
dengan kurang stress perencanaan dan rencana
sumber Tujuan : implementasi gaya hidup atau
pengetahuan Keluarga paham tentang proses modifikasi perilaku kesehatan
penyakit dan penyembuhan 2. Pertimbangkan dukungan
Kriteria hasil : keluarga, teman sebaya, dan
Mengungkapkan masyarakat terhadap perilaku
pengertian tentang proses yang kondusif bagi kesehatan
penyakit, tindakan yang 3. Gunakan berbagai strategi
dibutuhkan dengan dan intervensi utama dalam
kemungkinan komplikasi program pendidikan
Pengurangan kecemasan
1. Gunakan pendekatan yang
meyakinkan
2. Pahami situasi krisis yang
terjadi dari perspektif klien
3. Berikan informasi faktual
terkait diagnosis, perawatan
dan prognosis
4. Berada disisi klien untuk
meningkatkan rasa aman dan
mengurangi ketakutan
5. Dengarkan klien
6. Atur penggunaan obat-obatan
untuk mengurangi kecemasan
secara tepat
40 | Keperawatan Kritis II
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada peningkatan intrakranial
INTERVENSI RASIONAL
41 | Keperawatan Kritis II
metabolismesebagai reaksi
terhadap infeksi.Untuk
mengetahui tanda-
tandakeadaan syok akibat
perdarahan.
3. Perubahan kepala pada satu
sisidapat menimbulkan
penekananpada vena
jugularis danmenghambat
aliran darah otak,untuk itu
dapat meningkatkantekanan
intrakranial.
4. Dapat mencetuskan
responotomatik penngkatan
intrakranial.
5. Kejang terjadi akibat iritasi
otak,hipoksia, dan kejang
dapatmeningkatkan
tekananintrakrania.
6. Dapat menurunkan hipoksia
otak.
7. Membantu menurunkan
tekananintrakranial secara
biologi / kimiaseperti osmotik
diuritik untukmenarik air dari
sel-sel otaksehingga dapat
menurunkanudem otak,
steroid (dexametason)untuk
menurunkan
inflamasi,menurunkan edema
jaringan.Obat anti kejang
untukmenurunkan kejang,
42 | Keperawatan Kritis II
analgetikuntuk menurunkan
rasa nyeri efeknegatif dari
peningkatan
tekananintrakranial.
Antipiretik untukmenurunkan
panas yang
dapatmeningkatkan
pemakaian oksigenotak.
INTERVENSI RASIONAL
43 | Keperawatan Kritis II
menyebabkan lintasan
metabolism yang normal
dengan akibat terbentuknya
asam laktat (asidosis
metabolik) ini bersama
dengan asidosis respiratorik
akan menghentikan
metabolisme. Regenerasi
ATP akan berhenti sehingga
tidakada lagi sumber energi
yang terisi dan terjadi
kematian.
3. Normalnya TD akan sama
pada berbagai posisi.
Nadi menandakan tekanan
dinding arteri, Suhu tubuh
abnormal disebabkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh
yang menandakan tubuh
kehilangan daya tahan atau
mekanisme pengaturan suhu
tubuh yang buruk.
4. Sesak nafas merupakan tanda
bahwa tubuh memiliki
mekanisme kompensasi
sedang bekerja guna mencoba
membawa oksigen lebih
banyak ke jaringan. Sesak
nafas pada penyakit paru dan
jantung mengkhawatirkan
karena dapat timbul hipoksia.
44 | Keperawatan Kritis II
3. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak
Tujuan : mempertahankan pola nafas yang efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada
Sianosis tidak ada
Tanda hipoksia tidak ada
Gas darah dalam batas-batas normal
INTERVENSI RASIONAL
45 | Keperawatan Kritis II
resiko infeksi
5. adanya obstruksi
dapatmenimbulkan tidak
adekuatnyapengaliran volume
danmenimbulkan penyebaran
udarayang tidak adekuat.
6. membantu membarikan
ventilasiyang adekuat bila
ada gangguanpada ventilator.
7. Memaksimalkan darah
dalamarteri dan mencegah
hipoksia
INTERVENSI RASIONAL
46 | Keperawatan Kritis II
7. Angkat kepala dengan hati-hati 3. Bedrest bertujuan
8. Awasi kecepatan tetesan cairan mengurangi kerja fisik,beban
infuse kerja jantung.
9. Berikan makanan personde 4. Cahaya merupakan
susuai jadwal rangsangan yang beriko
10. Pasang pagar tempat tidur meningkatkan TIK
11. Pantau tanda gejala TIK 5. Membantu drainase vena
12. Kaji respon pupil untuk mengurangi kongesti
13. Kaji tanda vital serebrovaskuler
6. Rangsangan oral resiko
terjadi peningkatan TIK
7. Tindakan yang kasar beresiko
terhadap peningkata TIK
8. Mencegah resiko ketidak
seimbangan cairan
9. Mencegah
ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan dan
mempercepat proses
penyembuhan
10. Mencegah resiko cedera jatuh
akibat tidak sadar
11. Fungsi kortikal dapat dikaji
dengan mengevaluasi
pembukaan mata dan respons
motorik. Tidak ada respon
menunjukan kerusakan
masenfalon.
12. Perubahan pupil menunjukan
tekanan pada saraf
okulomotorius atau optikus
13. Tanda vital menunjukan
47 | Keperawatan Kritis II
peningkatan TIK
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 1. Obstruksi dapat
menit)kelancaran jalan napas. disebabkanpengumpulan
2. Evaluasi pergerakan dada sputum,perdarahan,
danauskultasi dada (tiap 1 jam bronchospasme ataumasalah
). terhadap tube.
3. Angkat kepala tempat tidur 2. Pergerakan yang simetris
sesuaiaturan,posisi miring dansuara napas yang bersih
sesuaiindikasi indikasipemasangan tube
4. Anjurkan pasien untuk yang tepat dantidak adanya
melakukanfasan dalam jika penumpukansputum.
pasien sadar 3. Untuk memudahkan
5. Auskultasi suara ekspansiparu/ventilasi paru
nafas,perhatikandaerah danmenurunkan adanya
hipoventilasi dan adanyasuara- kemungkinanlidah jatuh yang
suara nafas yang tidaknormal. menyumbat jalannafas
6. Lakukan pengisapan l 4. Mencegah/menurunkan
mjendirdengan waktu kurang atelektasis
dari 15detik bila sputum 5. Untuk mengidentifikasi
banyak. adanyamasalah paru
48 | Keperawatan Kritis II
7. Lakukan fisioterapi dada setiap sepertiatelektasis,obstruksi
2 jam jalan nafasyang
membahayakan oksigenasi
6. Pengisapan lendir tidak selalu
rutindan waktu harus dibatasi
untukmencegah hipoksia
7. Meningkatkan ventilasi
untuksemua bagian paru
danmemberikan kelancaran
aliranserta pelepasan sputum.
3.3 Intervensi
DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Resiko Perfusi jaringan : Monitor tekanan intrakranial
ketidakefektifan serebral (TIK)
perfusi jaringan otak Tujuan: 10. Kaji, observasi, evaluasi
ditandai dengan mempertahankan dan tanda-tanda penurunan
edema cerebral, memperbaiki tingkat perfusi serebral:
peningkatan TIK kesadaran fungsi motorik. gangguan mental,
Kriteria hasil : pingsan, reaksi pupil,
TD dalam rentang penglihatan kabur, nyeri
normal (120/80 kepala, gerakan bola
mmHg) mata.
Tidak ada tanda 11. Hindari tindakan valsava
peningkatan TIK manufer (suction lama,
Klien mampu bicara mengedan, batuk terus
dengan jelas, menerus).
menunjukkan 12. Berikan oksigen sesuai
49 | Keperawatan Kritis II
konsentrasi, instruksi dokter
perhatian dan 13. Lakukan tindakan
orientasi baik bedrest total
Fungsi sensori 14. Minimalkan stimulasi
motorik cranial utuh dari luar.
: kesadaran membaik 15. Monitor Vital Sign serta
(GCS 15, tidak ada tingkat kesadaran
gerakan involunter) 16. Monitor tanda-tanda TIK
17. Batasi gerakan leher dan
kepala
18. Kolaborasi pemberian
obat-obatan untuk
meningkatkan volume
intravaskuler sesuai
perintah dokter.
2 Gangguan pertukan Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
gas berhubungan pertukaran gas 11. Buka jalan nafas dengan
dengan Tujuan : teknik chin lift atau jaw
ketidakseimbangan Untuk mempertahankan thrust sebagaimana
ventilasi perfusi oksigenasi yang adekuat mestinya
Ktiteria hasil : 12. Posisikan pasien untuk
Tanda tanda vital memaksimalkan
dalam batas normal vemtilasi
Hasil lab BGA 13. Identifikasi kebutuhan
dalam batas normal aktual/potensial pasien
Oksigenasi adekuat untuk memasukkan alat
Tidak ada tanda membuka jalan nafas
tanda distres nafas : 14. Masukkan alat
nasopharyngeal airway
(NPA) atau oropharyng
airway (OPA)
sebagaimana mestinya
50 | Keperawatan Kritis II
15. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
16. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
17. Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
18. Lakukan penyedotan
melalui endotrakea atau
nasotrakea sebagaimana
mestinya
19. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
20. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
3 Ketidakefektifan Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
bersihan jalan napas kepatenan jalan 11. Buka jalan nafas dengan
berhubungan dengan nafas teknik chin lift atau jaw
akumulasi secret, Tujuan : thrust sebagaimana
sisa muntahan Mempertahankan jalan mestinya
nafas dan jalan nafas klien 12. Posisikan pasien untuk
bebas memaksimalkan
Kriteria hasil : vemtilasi
RR normal (12- 13. Identifikasi kebutuhan
24x/menit) aktual/potensial pasien
Ritme pernapasan untuk memasukkan alat
51 | Keperawatan Kritis II
reguler membuka jalan nafas
Klien mampu untuk 14. Masukkan alat
mengeluarkan secret, nasopharyngeal airway
sisa muntahan (NPA) atau oropharyng
Tidak terdengar airway (OPA)
suara napas sebagaimana mestinya
tambahan (ronchi, 15. Lakukan fisio terapi dada
wheezing, gurgling) sebagaimana mestinya
16. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
17. Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
18. Lakukan penyedotan
melalui endotrakea atau
nasotrakea sebagaimana
mestinya
19. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
20. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
4 Resiko Keseimbangan Manajemen cairan
ketidakseimbangan elektrolit 8. Timbang berat badan
elektrolit ditandai Kriteria hasil : pasien setiap hari dan
dengan disfungsi Mempertahankan monitor status pasien
ginjal urine output sesuai 9. Hitung dan timbang
52 | Keperawatan Kritis II
dengan usia dan BB, popok dengan baik
BJ urine normal 10. Jaga intake atau asupan
Tanda tanda vital yang akutrat dan catat
dalam batas normal output pasien
Tidak ada ytanda- 11. Montor status hidrasi
tanda dehidrasi, (misal membran mukosa
elastisitas turgor lembab, denyut nadi
kulit baik, adekuat)
membaran mukosa 12. Monitor tanda-tanda vital
lembab, tidak ada paisen
rasa haus yang 13. Berikan terapi IV seperti
berlebihan yang ditentukan
14. Monitor tingkat HB dan
hematokrit
5 Defisiensi Pengetahuan : Pendidikan kesehatan
pengetahuan perilaku kesehatan 4. Libatkan individu,
berhubungan dengan Pengetahuan : keluarga dan kelompok
kurang sumber manejemen stress dalam perencanaan dan
pengetahuan Tujuan : rencana implementasi
Keluarga paham tentang gaya hidup atau
proses penyakit dan modifikasi perilaku
penyembuhan kesehatan
Kriteria hasil : 5. Pertimbangkan dukungan
Mengungkapkan keluarga, teman sebaya,
pengertian tentang dan masyarakat terhadap
proses penyakit, perilaku yang kondusif
tindakan yang bagi kesehatan
dibutuhkan dengan 6. Gunakan berbagai
kemungkinan strategi dan intervensi
komplikasi utama dalam program
pendidikan
Pengurangan kecemasan
53 | Keperawatan Kritis II
7. Gunakan pendekatan
yang meyakinkan
8. Pahami situasi krisis
yang terjadi dari
perspektif klien
9. Berikan informasi faktual
terkait diagnosis,
perawatan dan prognosis
10. Berada disisi klien untuk
meningkatkan rasa aman
dan mengurangi
ketakutan
11. Dengarkan klien
12. Atur penggunaan obat-
obatan untuk mengurangi
kecemasan secara tepat
54 | Keperawatan Kritis II
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi, decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010)
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan
jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada lelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Masjoer, 2000).
Penyebab dari trauma kepala, antara lain:
Kecelakaan industri
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala
terutama bagian otak yang sangat vital.
4.2 Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat
membaca makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari
makalah ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya
berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam
tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala. Saran yang disampaikan kepada mahasiswa
keperawatan adalah :
55 | Keperawatan Kritis II
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala.
2. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien
dengan cedera kepala.
3. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun
klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.
56 | Keperawatan Kritis II
DAFTAR PUSTAKA
Clevo, M. Rendy dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
dan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika
Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K),dkk. 2013. Cedera Kepala. Jakarta : Sagung Seto
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Heardman, T. Heather.2015. Nanda Inc. Diagnosis Keperawatan defisit klasifikasi
2005-2007. Jakarta :EGC
57 | Keperawatan Kritis II