Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

KEPERAWATAN KRIRIS II
“TRAUMA KEPALA”

DOSEN PENGAMPU :

NAMA KELOMPOK 3 :

MUHAMMAD FAIRUS SHALEH (20151660099)

ACHMAD MAHBUBIL MUTTAQIN (20151660087)

ACHMAD AFIF JULIAN H. (20151660084)

MOH. RIDWAN HELMI (20151660083)

MOCH SOFYAN ALI (20151660129)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN SURABAYA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

1 | Keperawatan Kritis II
TAHUN 2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena
berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis II sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan Kritis
II yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas makalah
ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan memahami tentang materi “Trauma
Kepala”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
dalam upaya penyelesaian makalah ini baik yang mendukung secara moril dan
materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan kekhilafan


dalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan demi perbaikan
makalah ini ke depan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami semua.

Terima kasih

Surabaya, 20 Maret 2018

Penyusun

2 | Keperawatan Kritis II
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3 Tujuan ................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ..............................................................................................................3

2.2 Epidemologi ......................................................................................................4

2.3 Etiologi ..............................................................................................................5

2.4Patofisiologi ........................................................................................................5

2.5Klasifikasi ...........................................................................................................6

2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................13

2.7 Komplikasi .......................................................................................................13

2.8Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................................14

2.9Penatalaksanaan ................................................................................................15

2.10Web Of Caution ..............................................................................................23

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian ....................................................................................................... 24

3.2 Diagnosa Keperawatan ....................................................................................29

3.3 Intervensi .........................................................................................................29

3 | Keperawatan Kritis II
BAB VI PENUTUP

4.1 Kesimpulan ....................................................................................................35

4.2 Saran ..............................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................37

4 | Keperawatan Kritis II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan


kecacatan utama pada usia reproduktif, sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Penanganan yang tepat dan adekuat mulai dari tempat
kejadian, selama transportasi ke rumah sakit serta penanganan awal di ruang
gawat darurat sangat menentukan perjalanan klinis pasien serta prognosis
penyakitnya (Mansyour, 2007). Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
(Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan
atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling
fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami
perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita
cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan
komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-
trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu,
diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan
morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2004) sekitar 16.000
orang meninggal di seluruh dunia setiap hari yang diakibatkan oleh semua
jenis cedera. Cedera mewakili sekitar 12% dari beban keseluruhan penyakit,
sehingga cidera penyebab penting ketiga kematian secara keseluruhan.
Sepuluh penyebab kematian utama di dunia salah satunya karena kecelakaan
jalan raya dan diperkirakan akan menjadi tiga penyebab utama kecacatan
seumur hidup. Kecelakaan jalan raya merupakan masalah kesehatan yang
sangat besar diberbagai belahan dunia yaitu sekitar 45% berasal dari pasien

5 | Keperawatan Kritis II
trauma yang rawat inap di rumahsakit disebabkan karena kecelakaan sepeda
motor (Artikova, 2011). Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa
melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan
sekitar 0,3- 0,5% mengalami cedera kepala. Cedera kepala merupakan
penyebab kematian tetinggi untuk usia 45 tahun, perbandingan laki-laki dan
wanita adalah 2:1 yang 70% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Setiap
tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 Juta kasus trauma kepala, 52.000
pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan
dengan kematian. Sekitar 40% penderita cedera multiple akan mengalami
cedera cedera susuan syaraf pusat. Kelompok ini akan mengalami angka
kematian dua kali lebih tinggi (35% banding 17%) dibandingkan dengan
kelompok tanpa cedera SSP.
Di Indonesia kesadaran berlalu lintas masih rendah. Penegakkan
hukum lalu lintas yang tidak konsisten, perkembangan sistem dan sarana
transportasi yang semakin meningkat dengan populasi yang semakin
bertambah menyebabkan meningkatnya angka kejadian kecelakan lalu lintas.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kecelakaan jalan raya sebagaimana
dilaporkan oleh Qirjako (2008) adalah mengemudi dengan kecepatan tinggi,
mengkonsumsi alkohol sewaktu mengendarai dan pengemudi dibawah umur.
Penanganan awal trauma kepala sangat penting karena dapat
mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan
morbiditas dan mortalitasnya. Dua hal penting dalam penanganan awal ini
adalah penanganan segera ditempat kejadian dan proses transportasi saat
merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Tujuan dari penanganan trauma kepala
bukan lagi sekedar menolong jiwa, akan tetapi juga menyembuhkan penderita
dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di fasilitas tenaga
kesehatan sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepa,
memiliki tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal
yang seoptimal mungkin dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat
fasilitas yang lebih tinggi.

6 | Keperawatan Kritis II
1.2 RUMUSAN MASALAH

a) Apa definisi dari trauma kepala?


b) Bagaimana epidiomologi pada trauma kepala ?
c) Apa saja etiologi dari trauma kepala?
d) Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?
e) Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
f) Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma kepala?
g) Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
h) Pemeriksaan pununjang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
i) Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
j) Bagaimana Web Of Caution pada trauma kepala?
k) Asuhan keperawatan pada Trauma kepala?

1.3 TUJUAN
a. Tujuan umum

Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan


pasien dengan trauma kepala.

b. Tujuan khusus
a) Mengetahui pengertian trauma kepala
b) Mengetahui etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan web of caution
pada pasien dengan trauma kepala
c) Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala

7 | Keperawatan Kritis II
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk


atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi, decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010)
Cidera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temporer maupun permanen (Perdosi, 2006).
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan
jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada lelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Masjoer, 2000)

2.2 EPIDEMOLOGI

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas.


Cedera kepala ini mendekati sepertiga penyebab kematian pada pasien
dengan multi trauma. Di indonesia penyebab cedera kepala adalah pengguna
kendaraan bermototr roda dua tertama bagi yang tidak menggunakan helm.
Hal ini juga menjadi tantangan sulit dikarenakan diantara mereka datang dari
golongan ekonomi menengah kebawah sehingga secara sosio ekonomi cukup
sulit untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan alasan itulah angka
kematian cedera kepala mencapai 39% pertahun dan kemungkinan cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda
dua di Indonesia.

8 | Keperawatan Kritis II
Data yang ada menunjukkan kematian akibat cedera kepala mencapai
20 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat (Aarabi, Mehta et al. 2007).
Data di RS Hasan Sadikin Bandung menunjukkan kejadian Sub dural
Hematom sebanyak 5-25% diantara kejadian cedera kepala berat dengan
tingkat kematian sekitar 36-79% (Arifin, Sidabutar et al. 2010). (Dr. M.Z.
Arifin,Sp.Bs (K), 2013)

2.3 ETIOLOGI.

Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik


terdapat orang yang mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, &
Barbara, 2008). Penyebab utama dari trauma kepala yang serius adalah
kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas
merupakan akibat cedera kepala). Namun ada penyebab lain dari trauma
kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).

 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
 Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala
terutama bagian otak yang sangat vital.

2.4 PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %,
karena akan menimbulkan koma,. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari

9 | Keperawatan Kritis II
seluruh kebutuhan glukos tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi


kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60


ml/menit/ 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical myocardial, perubahan tekanan vaskular dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,


dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

2.5KLASIFIKASI

Menurut (Iyan, 2013) Berat ringannya cedera kepala bukan


didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada
beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, secara praktis dikenal
tiga deskripsi klasifikasi berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya
cedera dan morfologi cedera.

1. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi dua, yaitu cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus.
a. Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh paparan
ledakan hebat atau akselerasi deselerasi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh maupun puklan benda tumpul.

10 | Keperawatan Kritis II
b. Cedera kepala akibat luka tembus umumnya disebabkan oleh
benturan benda yang permukaanya tajam, luka tembak, benda
tajam atau benda runcing lainnya. Luka tembus pada tulang kepala
ini dapat menyebabkan defisit neurologis yang disertai oleh
infeksi.
2. Beratnya cedera
Glaslow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio serebral maupun hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9-15 kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tulang.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio serebral,
lasetasi atau hematoma intrakranial.

Menurut Musliha (2010) cedera kepala dibagi menjadi :

1. Cedera kepala primer


Terjadi saat kejadian. Kondisi ini terjadi pada cedera vascular, fokal,
multifokal atau diffuse sehingga dapat terjadi:
a. SCALP hematom
Kulit dan subkutis mampu meneruskan dan meredam impact yang
mengenainya tanpa menyebabkan kerusakan pada struktur
dibawahnya. Tetapi jika impact terlalu besar sehingga SCLAP
tidak mampu meredam maka akan terjadi hematom di SCALP.
b. Fraktur linier

11 | Keperawatan Kritis II
Ketika tulang tengkorak terkena impact, kemungkinan akan terjadi
deformitas tulang tengkorak berupa serpihan tulang kedalam atau
keluar. Jika impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang seperti
pada tulang yang sudah matur dan kaku kemungkinan dapat
menyebabkan terjadinya fraktur linier.
c. Fraktur depresi
Ketika impact mengenai tulang kepala dengan luas tertentu dan
kekuatan impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang, maka
impact tersebut dapat menyebabkan tepisahnya fragmen tulang
pada daerah tersebut dan masuk ke struktur dibawahnya melebihi
kedalaman fragmen tulang lain. Kondisi ini disebut fraktur
depresi. Fragmen tulang yang masuk dapat menyebabkan
tyerjadinya robekan dan perdarahan struktur dibawahnya.
d. Cedera panetran
Impac dengan kekuatan tinggi dengan luas permukaan kecil/tajam
dapat menyebabkan terjadinya cedra penetrasi pada tulang kepala
beserta struktur dibawahnya.
e. Perdarahan ekstradura
Fragmen tulang yang fraktur yang masuk atau keluar struktur
tulang membentuk permukaan yang tajam sehingga dapat
merobek vasa darah dibawhnya seperti pada arteri meniagea
media yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ekstradura.
Selain itu dapat terjadi perembesan darah dari diploe yang dapat
menyebabkan terjadianya EDH pula.
Sedangkan pada inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera berupa:
a. Perdarahan subdural
Terjadi akibat adanya robekan pada bridgin vein antara otak dan
sinus venosus yang merupakan “pengantung” otak. Akibat adanya
inertia yang menyebabkan aelirasi dan deselerasi dapat merobek
bridging vein ini sehingga dapat terjadi perdarahan subdural.
b. Perdarahan intra cerebral

12 | Keperawatan Kritis II
Dapat berupa contosion cop (sesuai jenis bantuan) atau conter coup
(berlawana dengan jelas benturan). Dapat pula berupa perdarahan
yang lebih besar seperti pada perdarahan intracerebri (ICH). Terjadi
karena aselerasi dan deselerasi antara otak dan tulang kepala yang
mengakibatkan benturan diotak. Teori lain menyebutkan adanya
tekanan negatif sewaktu otak ketinggalan bergerak dan kekuatan
pisitif sewaktu otak terlambat berhenti (selladurai and Reilly 2007).
c. Cedera fokal dan difus
Adanya inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera pada otak dapat
menyebabkan terjadinya cedera pada otak yang bersifat fokal atau
difus.
 Cedera kepala fokal
Cedera kepala fokal berarti terjadi kerusakan setempata yang
berhubungan dengan lokasi benturan. Terjadi pada tempat diman
bagian otak berbentutran langsung atau berdampak langsung akibat
mekanisme trauma tersebut yang dapat menyebabkan defisit
neuroligis lokal akibat jejas pada area tersebut. Lokasi yang sering
terkena adalah bagian anterior, lobus temporalis dan korteks. Cedera
kepalaorbitofrontal, dikarenakan bagian tersebut terletak palin anterior
terhadap bidang horizontal serta memiliki permukaan yang kasar.
Hematoma pada daerah ini bisa terjadi lambat, yang dapat muncul
beberapa hari setelah kejadian.
1. Contusion
Terjadi akibat adanya kekuatan aselarisasi dan deselerasi setelah
terjadi benturan kepala. Contosion umumnya terjadi dipolus
frintalis, permukaan orbita lobus frontalis, polus tempolaris, dan
permukaan inferior dan lateral lobus tempolaris.
Contosio cerebri terjadi atas daerah yang mengalami perdarahan
dipusat, daerah yang tidak mengalami perdarahan yang sudah
nekrosis atau sebagian rusak, dan daerah yang mengalami edema.
Seringkali contosiso ini berkembang menjadi intracerbral hematon
(ICH). Daerah dipusat contosio, miskin aliran darah, sehingga

13 | Keperawatan Kritis II
daerah sekitarnya menjadi rentan terhadap pengurangan aliran
darah dari jantung.
2. Leserasi cerebral
Laserasi ini mirip dengan contosio, dengan tambahan keterlibatan
lapisan aracnoid pada permukaan cortek cerebri. Sering terjadi
pada bagian frontal dan temporal karena permukaan tersebut
relatif lebih kasar dibandingkan permukaan lain. Laserasi serebri
sering berhubungan dengan perdarahan subdural serta ICH. Jika
laserasi cerebri berhubungan dengan ICH maka dinamakan burs
lobe. Jika laserasi cerebri berhubungan dengan SDH maka
dinamakan “complicated SDH”.

 Cedera otak difus


Adanya gaya geser pada benturan kepala mempengaruhi seluruh
bagian otak termasuk akson dan struktur vaskular. Besar kecilnya
gaya geser pada otak berpengaruh terhadap derajat serta luasnya
kerusakan akson dan struktur vaskular yang terlibat. Diffuse
injury, berarti kerusakan yang menyebar.Cedera otak difus dibagi
menjadi :
a) Diffuse axonal injury (DAI)
Kerusakan minimal akson ini da[pat terjadi pada korterk
parasagital white matter. Kerusakan selanjutnya dapat terjadi
pada kapsula interna, thalamus, cerebellum, traktus ascenden
dan descenden.Adam dan kawan-kawan membagi tingkatan
DAI menjadi 3 tingkat :
 Grade 1. Abnormalitas hanya ditemukan pada histologist
pada white matter saja.
 Grade 2. Ditemukan tambahan abnormalitas pada corpus
callosum.
 Grade 3. DAI ditemukan pada brainstam dan corpus
callosum.

14 | Keperawatan Kritis II
DAI menyebablkan putusnya neuron antara konteks cerebri
denga farotio retikularis dibatang otak. Karena itu DAI
berhubungan dengan tingkat kesadaran, lama priode tidak
sadar setelah benturan kepala, dan outcome setelah cedera
kepala.

b) Diffuse vascular injury


Kerusakan struktural pembulu darah akibat adanya karena
adanya kompresi, tekanan dan regangan pada pembulu darah
dapar menyebabkan terjadinya perdarahan terhadap perenkim
otak. Struktur vascular lebih tahan terhadap regangan
dibanding akson. (Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K), 2013)

2. Cedera kepala sekunder


Terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kejadian.:
1) Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang
arterimeningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh
darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya.
Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang
paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.Gejala-gejala
yang terjadi :
 Penurunan tingkat kesadaran
 Nyeri kepala
 Muntah
 Hemiparesis
 Dilatasi pupil ipsilateral
 Pernapasan dalam cepatkemudian dangkal irreguler
 Penurunan nadi
 Peningkatan suhu.
2) Subdural Hematoma

15 | Keperawatan Kritis II
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara
duramater,perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam - 2hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah :
 Nyeri kepala
 Bingung
 Mengantuk
 Menarik diri
 Berfikir lambat
 Kejang
 Oedem pupil

Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak


karenapecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.Tanda dan
gejalanya :

 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Komplikasi pernapasan,hemiplegia kontra lateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tandavital.
3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada
cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala :
 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Hemiparese
 Dilatasi pupilipsilateral
 Kaku kuduk (Musliha, 2010)

16 | Keperawatan Kritis II
2.6 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala, antara lain:

1. Cedera ringan, Tanda dan gejalanya:


 Dapat menimbulkan hilang kesadaran
 Periode konfusi (kebingungan) transien
 Somnolen
 Gelisah
 Iritabilitas
 Pucat
 Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas
 Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
 Agitasi memuncak
 Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-
tanda vital yang tampak jelas
3. Cedera berat, Tanda dan gejalanya:
 Tanda-tanda peningkatan TIK
 Perdarahan retina
 Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
 Hemiparesis
 Kuadriplegia
 Peningkatan suhu tubuh
 Cara berjalan yang goyah
 Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
4. Tanda-tanda yang menyertai
 Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
 Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

2.7 KOMPLIKASI
1) Gejala sisa cedera kepala berat

17 | Keperawatan Kritis II
Setelah cedera kepala berat, kebanyakan pasien dpat kembali mandiri.
Namun, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan, baik secara
fisik (dispasia, hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan
kognitif, perubahan kepribadian). Beberapa pasien akan tetap dalam
status vegetatif. Cedera kepala tetap merupakan penyebab kematian yang
signifikan (9 per 100.000 populasi per tahun), terutama pada usia muda.
2) Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Namun, jika dihubungkan
antara rongga subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat
fraktur basis kecil dan tertutupi jaringan otak, maka hal ini tidak akan
terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis kemusian hari. Selain
terapi infeksi, komplikasi ini juga membutuhkan reparasi bedah untuk
robekan dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran
cairan serebrospinal persisten.
3) Epikepsi dan Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (dalam minggu awal pasca cedera, amnesia pascatrauma
yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium atau hematoma
intracranial.
4) Sindrom pacsakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestiburak (konkusi labirinti)
5) Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjur cedera kepala ini dapat terjasi pada cedera kepala
ringan.

2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Penujang, (Musliha, 2010)

 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasiluasnya lesi,


perdarahan, determinan ventrikuler, danperubahan jaringan otak. Catatan

18 | Keperawatan Kritis II
: Untuk mengetahuiadanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72
jamsetelah injuri.
 MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpakontras
radioaktif.
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,perdarahan dan trauma.
 Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yangpatologis
 X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmentulang
 BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
 PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadiperdarahan
subarachnoid.
 ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalahpernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekananintrakranial
 Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolitsebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
 Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat
sehinggamenyebabkan penurunan kesadaran.

2.9 PENATALAKSANAAN
a) Pre Hospital
a. Memperbaiki atau mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu
bebas, bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran
udara pernafasan.
b. Mengurangi edema otak, yaitu hiperventilasi bertujuan untuk
menurunkan tekanan darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah, selain itu juga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis.
c. Status kesadaran dewasa ini penilaian status kesadaran secara
kualitatif. Terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai
ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa: seperti apatis, somnolen,
spoor, koma.

19 | Keperawatan Kritis II
b) Hospital
A. Konservatif
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesui berat ringanya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin)
atauuntuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan pada trauma ringan bila muntah. Munta
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
netrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyakl cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah makanan diberikan melalui nasogatric tobe (2500 –
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urenitrogennya.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
4. Pembedahan (Musliha, 2010)

B. Manajemen pasien cedera kepala di Unit Gawat Darurat


Tujuan tata laksana pasien cedera kepala di UGD :
 Memberikan resusitasi yang efektif pada pasien.
 Penilain berat ringannya cedera kepala yang terjadi.
 Tindakan awal terhadap kelainan ekstrakranial.

Selain itu cedera kepala sekunder harus dicegah dengan mengatasi


adanya hipotensi dan hipoksia, perdarahan intrcranial yang bermakna,
serta adanya edema cerebri.Pertolongan pasien cedera kepala di UGD
harus tetap mengutamakan prioritas pertologan seperti pada ATLS.
Cedra kepala biasanya tidak berdiri sendiri, karena itu pertolongan yang

20 | Keperawatan Kritis II
dilakukan secara sistematis sesuai kebutuhan hidup dasar korban cedra
kepala harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien cedera kepala.

1. AIRWAY DENGAN KONTROL CERVIKAL SPINE


Pasien yang sadar dan dapat berbicara dapat disumsikan bahwa
jalan napas bebas. Pasien dengan takikardi, gelisa dapat merupakan
tanda adanya obstruksi jalan napas. Pertolongan yang dapat
dilakukan pada pasien ini dapat dilakukan sebagai berikut:
 Pembersihan Manual
Dilakukan dengan menggunakan tangan untuk menghilangkan
benda asing. Dapat pula dibantu “manggil tang” untuk jika
evakuasidengan tangan menemui kesulitan. Evakuasi dengan
tangan dilakukan sekaligus dengan memeriksa adnya cedera
maksilofasial.
2. SUCTION
Dilakukan untuk menyedot darah, debris, dan secret.
3. CHIN LIFT
Mengangkat dagu, dilakukan dengan hati – hatiterhadap resiko
adanya cedera cervikal. Head tilt sebaiknya tidak dilakukan sebelum
ada bukti tidak ada cedera pada cervikal.
4. OROFARINGEAL AIRWAY (MAYO)
Dapat diberikan jika obstruksi terjadi karna adanya lidah yang jatuh
kebelakng dan menutupi jalan napas.
5. INTUBASI
Intubasi merupakan cara yang terbaik untuk menjaga jalan napas
pada pasien yang tidak sadar. Intubasi dilakukan sesuai indikasi.
Indikasi intubasi:
 GCS <8
 Gagal nafas dengan : apneu, frekuensi, nafas <10x/menit, AGD
dengan PaO2 <45 mmHg, saturasi <90%
 Hiperventilasi dengan RR>30x/menit
 Pasien dengan resiko tinggi aspirasi seperti pada perdarahan di
jalan napas dan pada pasien yang kehilangan reflek menelan

21 | Keperawatan Kritis II
 Trauma thorax berat
Sedangkan kontraindikasi intubasi adalah cedera maksilofasial
yang berat.Pasien yang memerlukan pemeriharaan jalan napas
tetapi kontraindikasi untuk dilakukan intubasi dapat dilakukan
krikotiroidotomi.
6. BREATHING DAN VENTILASI
Ketika jalan napas sudah dipastikan aman, langkah selanjutnya
adalah menjaga ketersediaan oksigen. Pada tahan awal dapat
dilakukan pemberian oksigen 100% dengan memperhatikan saturasi
oksigen. Ketika saturasi oksigen tercapai (95%), fraksi oksigen
diturunkan bertahap sehingga dibawah 45%.
Patokan breathing dan ventilasi yang bagus adalah respirasi
rate, saturasi, serta Analisis gas darah (AGD). Nilai PaO2 yang
direkomendasikan >75 mmHg dan kadar PaO2 35-38 mmHg.
Hiperventilasi tidak dianjurkan karena hipokapnia akan
menyebabkan terjadinya vasokontriksi berlebihan dan vasospasme.
Sedangkan hipoventilasi menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
7. SIRKULASI
Pasien trauma sering mengalami hipovolemia karena
perdarahan. Pengenalan hipovolemia dapat dilakukan dengan nadi
dan tekanan darah. Adanya takikardi disertai hipotensi mengarah
pada kecurigaan ahock hipovolemik.Shock hipovolemik secara
umum dibatasi dengan tekanan darah kurang dari 90 mmHg.
Penurunan tekanan darah ini berpengaruh terhadap tingkat kinerja
otak. MAP 70mmHg merupakan batas minimal selama melakukan
resusitasi pasien trauma. Tetapi pada pasien dengan cedera kepala
berat disertai dengan kecurigaan kenaikan tekanan intrakranial
MAP yang diharapkan 90 mmHg.Penilaian tingkat shock
hipovolemik dapat dilakukan sesuai tabel berikut :

Klasifikasi shock hipovolemik :

22 | Keperawatan Kritis II
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Persentase
<15 15-30 30-40 >40
perdarahan
Volome
<750 750-1500 1500-2000 >2000
perdarahan
Tekanan Tidak ada Sangat
Normal Menurun
sistolik perubahan turun
Tekanan Tidak ada Sangat
Meningkat Menurun
diastolik perubahan turun
Nadi <100 >100 >120 >140

Penilaian perdarahan:

Penilaian perdarahan pada pasien trauma sangat penting untuk


dilakukan memberikan tindakan secepatnya pada pasien trauma.
Penilaian meliputi sumber perdarahan dan perkiraan jumlah
perdarahan yang terjadi. Penilaian dilakukan dari ujung kepala
sampai ujung kaki. Penilaian juga perlu dilakukan pada tubuh
bagian belakang karena seringkali bagian ini terlewati ketika
melakukan pemeriksaan.

Yang perlu diingat. Penilaian perdarahan yang teliti tidak


menggantikan pertolongan resusitasi cairan pada pasien
perdarahan. Pemberian cairan resusitasi masih lebih penting untuk
dilakukan ketimbang menemukn lokasi perdarahan. Tetapi semua
itu dapat dilakukan secara simultan.

Tata laksana pasien cedera kepala dengan perdarahan


1. Akses intravena
Pada tahap resusitasi awal, akses intravena sangat penting untuk
dilakukan. Akses 2 jalur dengan abocath no 16 akan memberikan
jalur yang aman untuk akses intravena. Jalur akses ini dapat
dilakukan di vena mediana cubiti, akses lain yang dapat dipilih

23 | Keperawatan Kritis II
adalah vena jugularis eksterna, vena femoralis, ataupun vena sub
clavia jiaka akses vena perifer susah untuk dilakukan. Pilihan lain
yang dapat dilakukan pada pasien pediatrik adalah pemberian cairan
intraoseus atau dengan melakukan vena seksi pada vena perifer.
2. Jenis cairan yang diberikan
NaCL 0,9% merupakan rekomendasi utama untuk resusitasi
cairan pada pasien dengan cedera kepala. Cairan ini memiliki
osmolaritas 308 mosm/l karena itu bersifat isotonis. Osmolaritas ini
penting untuk mencegah terjadinya edema cerebri akibat pemberian
cairan. Tetapi resusitasi dengan cairan isotonis ini juga dapat
menyebabkan terjadinya hipotermia, asidosis dan koagulopati.
Pemberian cairan hipoosmolar seperti Ringer Laktat dapat
menyebabkan edema cereberi karena adanya ekstravasasi cairan
kedalam sel-sel otak. Pemberian cairan Dekstrose 5% merupakan
kontraindikasi untuk resusitasi karena bersifat hipoosmolar dan
memiliki efek hiperglikemia yang dapat memperburuk cedera kepala
yang terjadi.
3. Indentifikasi dan control perdarahan
Setiap perdarahan eksternal harus dihentikan dengan tamponade atau
penjahitan. Perdarahan dari SCALP dapat dilakukan tampon
sementara atau dilakukan penjahitan jika memungkinkan. Adanya
fraktur dapat direposisi dan fiksasi eksterna untuk tindakan
sementara.
4. Tranfusi pada perdarahan
Indikasi transfusi pada perdarahan pasien trauma adalah :
 Resusitasi dengan 2 atau 3 liter cairan tidak mampu mengatasi
shock
 Kehilangan darah diperkirakan >30% volome darah tubuh atau
kira-kira 1500 cc pada orang dewasa
 Hematokrit <30% untuk memperbaiki rheology darah dan
meningkatkan oksigen otak

Tranfusi darah dianjurkan dengan Packed Red Cell (PRC).

24 | Keperawatan Kritis II
5. Monitoring resusitasi
Monitoring resusitasi dapat dilakukan dengan penilaian GCS dan
tanda vital pasien. Secara umum kenaikan GCS dan tanda vital yang
mendekati nilai normal menunjukan tindakan resusitasi berhasil.
Tetapi pada pasien cedera kepala berat, pasien dengan tekanan
intrakranial yang tinggi, pasien dengan hipovolemia seringkali
menunjukan Cushing response yang menyebabkan terjadinya
hipertensi sistolik dan bradikardi sehingga sering mengacaukan
penilaian kondisi pasien. Untuk itu parameter lain yang dapat
dipakai untuk menilai keberhasilan resusitasi adalah :
 Urin output, dengankisaran 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang
dewasa. Sedangkan pada anak kecil 1-2 ml/kgBB/jam.
 Kadar hemoglobin, yang diharpkan 9-10 g/dl dengan kadar
hematokrit 30-33%
 Defisit basah, Pada pasien trauma defisit basah >15 mmol/l
berkaitan dengan mortalitas yang tinggi

8. DISABILITY
Setelah pasien memiliki kondisi yang stabil, pemeriksaan
selanjutnya adalah penilaian kondisi neurologis pasien. Pada pasien
trauma pemeriksaan neurologis yang penting dilakukan adalah
kondisi kesadaran (GCS), ada tidaknya lateralisasi dengan
memeriksa kondisi pupil dan kekuatan motorik kanan dan kiri

C. TATA LAKSANA LAIN UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA


1. Pengaturan suhu
Target pengaturan suhu pasien adalah 35-36 oc.pasien dengan
hipotermia dapat diselimuti dengan jaket penghangat. Pemberian
infus yang dihangatkan penting untuk mencegah terjadinya
hipotermia. Adanya hipetermia juga harus dicegah dengan
pemberian antipiretik. Hipertemia memicu peningkatan konsumsi
oksigen, aliran darah otak serta peningkatan tekanan intrakranial.

25 | Keperawatan Kritis II
2. Insersi kateter urin dan NGT
Insersi kateter penting untuk pasien trauma. Selain untuk
mengurangi tekanan di dalam vesika urinaria, insersi kateter juga
penting untuk monitoring urin output sebagai parameter resusitasi.
Pemasangan NGT berfungsi untuk mengurangi isi dalam
lambung sehingga terjadinya muntah dan aspirasi. Pemberian
NGT juga berfungsi untuk pemberian nutrisi seawall mungkin
pada pasien cedera kepala.
3. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah yang dianjurkan untuk pasien cedera kepala :

 Kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit


 Kadar glukosa, elektrolit
 Profil koagulasi darah
 Analisa Gas Darah(Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K), 2013)

26 | Keperawatan Kritis II
2.10 WEB OF CAUTION

27 | Keperawatan Kritis II
Kecelakaan, jatuh, trauma

CEDERA
KEPALA

Respon biologi : Tekanan intrakranial


(edema,hematoma), hipoksemia, kelainan
metabolisme

Cedera primer Cedera sekunder

Gangguan
Terputusnya kontinuitas autovelusasi / Peningkatan rangsangan
Nyeri jaringan kulit, vaskular Gangguan suplai simpatis Stress
regulasi
akut dan tulang darah

Aliran darah Tekanan vaskular Hatekolamin


Perdarahan Iskemik keotak menurun sistemik meningkat meningkat
hematoma

Tekanan darah Sekresi asam


Hipoksia O2 menurun
Perubahan meningkat lambung meningkat
sirkulasi CSS

Resiko gangguan Gangguan Gangguan Tekanan hidrostatik vaskular Mual muntah


perfusi jaringan neurologis fokal metabolisme meningkat
Peningkatan TIK
otak

Asam laktat Kapiler berisi banyak cairan (tidak Nutrisi tidak


Givus medialis Defisit neurologis meningkat seimbang antara tekanan hidrostatik sel tercukupi
lobus temporalis dan kapiler)
bergeser
Gangguan Edema otak Ketidakseimbangan
Jaringan paru
Herniasi uncal persepsi sensori nutrisi kurang dari
oedema
kebutuhan tubuh
Penekanan
intraktranial Difusi O2 Aliran darah atau
Mesenfalon
tertekan terganggu sirkulasi jantung
terganggu

28 | Keperawatan Kritis II
Tekanan
Gangguan intrakranial
kesadaran meningkat Gangguan
pertukaran gas Cardiac output
menurun
Resiko injuri/ Kejang
Ansietas Imobilisasi
cedera Hipoksemia
Aliran darah ke Aliran ke renal
Ketidakefektifan bersihan Gangguan perfusi jaringan menurun menurun
jalan nafas jaringan serebral
Resiko kerusakan Resiko
Resiko kurang
defisit Ketidakefektifan
integritas kulit perawatan diri pola nafas
Laju filtrasi
Hipoksia glomerulus
menurun
FASE HOSPITALISASI
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Cemas (perpisahan renal
Imobilisasi
dengan orang tua)

Gelisah Perubahan rutinitas Disfungsi ginjal


(adanya ketergantungan)
Gangguan pola
Sulit tidur
tidur Gangguan
Tidak mampu mengerti tentang hal- elektrolit dan
Ansietas hal yang terjadi secara rasional asam basa

Persepsi salah terhadap Resiko ketidak


masalah seimbangan elektrolit

Menunjukkan perilaku berlebihan (misal


agitasi, bermusuhan, apatis)

Defisiensi
pengetahuan

29 | Keperawatan Kritis II
30 | Keperawatan Kritis II
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Pengkajian primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
1. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
2. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
3. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi, sianosis,
capilarrefil.
4. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian
GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
 Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
 Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
 Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)

31 | Keperawatan Kritis II
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
5. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

B. Pengkajian sekunder
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) :
Nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan,
alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan
penanggung jawab, dll.
2. Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala,tentang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung,
muntah, dispenea/takipenea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah,
paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran
nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sisten persarafan
maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat
penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapt dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
pronosa pasien.
4. Pemeriksaan Fisik:
 Aspek Neurologis
Yang dikaji adalah Tingkat kesadran, biasanya GCS kurang
dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan
decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk
dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.

32 | Keperawatan Kritis II
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-
gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi.
Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah
trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat
limbung atau tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus Karnialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus I (olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan
daya penciuman dan anosmea bilateral. Nervus II (Optikus). Pada
trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala
penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
nervus VI ( Abducens). Kerusakannya akan menyebabkan penurunan
lapang pandang, refleks cahaya, menurun, perubahan ukuran pupil,
bola mata tidak dapat mengikuti perfintah,anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai;adanya anestesi
daerah dahi, nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai
neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak ada
lipatan nasolabial, melemanya penutupan kelopak mata dan hilangnya
rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
Nervus VII (Akustikus), pada pasien sadar gejala berupa
menurunya daya pendengaran dan keseimbangan tubuh. Nervus IX
(Glosofaringeus). Nervus X (vagus), dan nervus XI (Assesorius),
gejala jarang ditemukan karena karena penderita akan meninggal
apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya hiccuping
(cekungan)karena komperasi pada nervs vagus, yang menyebabkan
komperasi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena komperasi
batang otak. Cekung yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan
tekanan intrakranial.
Nervus XII (Hipoglosus), gejala yang bisa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disrtria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan.

33 | Keperawatan Kritis II
 Aspek Kardiovaskuler
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila
terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat,denyut
nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau irama tidak teratur. Selain
itu pengkajian lain yang perludikumpolkan adalah adanya perdarahan
atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, dan mata. Adanya
hiperekresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma
pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepala
hingga kaki .

 Aspek sistem pernapasan


Terjadi perubahan jalan napas, baik irama kedalaman maupun
frekuensi yang cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes,
ataxia brething), bunyi napas ronchi, Wheezing atau stridor. Adanya
sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi
karena adanya infeksi atu rangsangan terhadap hipotalamus sebagai
pusat pengatur suhu tubuh.

 Aspek sistem eliminasi


Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar
atau kecil. Terdapat ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, dimana
terdapat hiponatremia atau hipokalimia, pada sistem gastro-intestinal
perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernanseperti
bising usus yang tidak terdengar/lemah, awalnya mual dan muntah.
Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale Nilai

34 | Keperawatan Kritis II
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

5. Pengkajian Psikologis
Dimana pasien dengan tingkat kesadaran menurun, maka untuk data
pisikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadaranya agak normal akan terlihat akan adanya gangguan emosi,
perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium dan
kebingungan keluarga pasien klarena mengalami kecemasan sehubungan
dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan
orang – orang terdekat dan orang lainya , kemampuan berkomonikasi dan
peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya
setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.
6. Data Spiritual

35 | Keperawatan Kritis II
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah
hidup pasien ketuhan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan kalau tidak ada penurunan kesadaran. (Clevo, 2012)

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak ditandai dengan edema cerebral,
peningkatan TIK
2) Gangguan pertukan gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi
3) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret,
sisa muntahan
4) Resiko ketidakseimbangan elektrolit ditandai dengan disfungsi ginjal
5) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Resiko  Perfusi jaringan : serebral Monitor tekanan intrakranial
ketidakefektifan Tujuan: (TIK)
perfusi jaringan mempertahankan dan memperbaiki 1. Kaji, observasi, evaluasi
otak ditandai tingkat kesadaran fungsi motorik. tanda-tanda penurunan
dengan edema Kriteria hasil : perfusi serebral: gangguan
cerebral,  TD dalam rentang normal mental, pingsan, reaksi pupil,
peningkatan TIK (120/80 mmHg) penglihatan kabur, nyeri
 Tidak ada tanda kepala, gerakan bola mata.
peningkatan TIK 2. Hindari tindakan valsava
 Klien mampu bicara manufer (suction lama,
dengan jelas, menunjukkan mengedan, batuk terus
konsentrasi, perhatian dan menerus).
orientasi baik 3. Berikan oksigen sesuai
 Fungsi sensori motorik instruksi dokter
cranial utuh : kesadaran 4. Lakukan tindakan bedrest
membaik (GCS 15, tidak total

36 | Keperawatan Kritis II
ada gerakan involunter) 5. Minimalkan stimulasi dari
luar.
6. Monitor Vital Sign serta
tingkat kesadaran
7. Monitor tanda-tanda TIK
8. Batasi gerakan leher dan
kepala
9. Kolaborasi pemberian obat-
obatan untuk meningkatkan
volume intravaskuler sesuai
perintah dokter.
2 Gangguan pertukan  Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
gas berhubungan pertukaran gas 1. Buka jalan nafas dengan
dengan Tujuan : teknik chin lift atau jaw thrust
ketidakseimbangan Untuk mempertahankan oksigenasi sebagaimana mestinya
ventilasi perfusi yang adekuat 2. Posisikan pasien untuk
Ktiteria hasil : memaksimalkan vemtilasi
 Tanda tanda vital dalam 3. Identifikasi kebutuhan
batas normal aktual/potensial pasien untuk
 Hasil lab BGA dalam batas memasukkan alat membuka
normal jalan nafas
 Oksigenasi adekuat 4. Masukkan alat
 Tidak ada tanda tanda nasopharyngeal airway
distres nafas : (NPA) atau oropharyng
airway (OPA) sebagaimana
mestinya
5. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
6. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir

37 | Keperawatan Kritis II
7. Auskultasi suara nafas, catat
area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
8. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya
9. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
10. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
3 Ketidakefektifan  Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
bersihan jalan kepatenan jalan nafas 1. Buka jalan nafas dengan
napas bd akumulasi Tujuan : teknik chin lift atau jaw thrust
secret, sisa Mempertahankan jalan nafas dan sebagaimana mestinya
muntahan jalan nafas klien bebas 2. Posisikan pasien untuk
Kriteria hasil : memaksimalkan vemtilasi
 RR normal (12-24x/menit) 3. Identifikasi kebutuhan
 Ritme pernapasan reguler aktual/potensial pasien untuk
 Klien mampu untuk memasukkan alat membuka
mengeluarkan secret, sisa jalan nafas
muntahan 4. Masukkan alat
 Tidak terdengar suara nasopharyngeal airway
napas tambahan (ronchi, (NPA) atau oropharyng
wheezing, gurgling) airway (OPA) sebagaimana
mestinya
5. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
6. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau

38 | Keperawatan Kritis II
menyedot lendir
7. Auskultasi suara nafas, catat
area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
8. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya
9. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
10. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
4 Resiko  Keseimbangan elektrolit Manajemen cairan
ketidakseimbangan Kriteria hasil : 1. Timbang berat badan pasien
elektrolit ditandai  Mempertahankan urine setiap hari dan monitor status
dengan disfungsi output sesuai dengan usia pasien
ginjal dan BB, BJ urine normal 2. Hitung dan timbang popok
 Tanda tanda vital dalam dengan baik
batas normal 3. Jaga intake atau asupan yang
 Tidak ada ytanda-tanda akutrat dan catat output
dehidrasi, elastisitas turgor pasien
kulit baik, membaran 4. Montor status hidrasi (misal
mukosa lembab, tidak ada membran mukosa lembab,
rasa haus yang berlebihan denyut nadi adekuat)
5. Monitor tanda-tanda vital
paisen
6. Berikan terapi IV seperti yang
ditentukan
7. Monitor tingkat HB dan
hematokrit
5 Defisiensi  Pengetahuan : perilaku Pendidikan kesehatan

39 | Keperawatan Kritis II
pengetahuan kesehatan 1. Libatkan individu, keluarga
berhubungan  Pengetahuan : manejemen dan kelompok dalam
dengan kurang stress perencanaan dan rencana
sumber Tujuan : implementasi gaya hidup atau
pengetahuan Keluarga paham tentang proses modifikasi perilaku kesehatan
penyakit dan penyembuhan 2. Pertimbangkan dukungan
Kriteria hasil : keluarga, teman sebaya, dan
 Mengungkapkan masyarakat terhadap perilaku
pengertian tentang proses yang kondusif bagi kesehatan
penyakit, tindakan yang 3. Gunakan berbagai strategi
dibutuhkan dengan dan intervensi utama dalam
kemungkinan komplikasi program pendidikan
Pengurangan kecemasan
1. Gunakan pendekatan yang
meyakinkan
2. Pahami situasi krisis yang
terjadi dari perspektif klien
3. Berikan informasi faktual
terkait diagnosis, perawatan
dan prognosis
4. Berada disisi klien untuk
meningkatkan rasa aman dan
mengurangi ketakutan
5. Dengarkan klien
6. Atur penggunaan obat-obatan
untuk mengurangi kecemasan
secara tepat

1. Gangguan perfusi jaringan otak ditandai dengan terputusnya kontinuitas


jaringan kulit, vaskular dan tulang pasca trauma.
Tujuan : mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi
motorik.

40 | Keperawatan Kritis II
Kriteria hasil :
 Tanda-tanda vital stabil
 Tidak ada peningkatan intrakranial

INTERVENSI RASIONAL

1. Monitor dan catat status 1. Refleks membuka


neurologis dengan matamenentukan pemulihan
menggunakanmetode GCS. tingkatkesadaran.Respon
2. Monitor tanda-tanda vital tiap motorik
30menit. menentukankemampuan
3. Pertahankan posisi kepala berespon terhadapstimulus
yangsejajar dan tidak menekan. eksternal dan indikasikeadaan
4. Hindari batuk yang kesadaran yang baik.Reaksi
berlebihan,muntah, mengedan, pupil digerakan oleh
pertahankanpengukuran urin saraf kranial oculus motorius
dan hindarikonstipasi yang dan untukmenentukan refleks
berkepanjangan batang otak.Pergerakan mata
5. Observasi kejang dan membantumenentukan area
lindungipasien dari cedera cedera dantanda awal
akibat kejang. peningkatan
6. Berikan oksigen sesuai dengan tekananintracranial adalah
kondisi pasien terganggunyaabduksi mata.
7. Berikan obat-obatan 2. Peningkatan sistolik
yangdiindikasikan dengan danpenurunan diastolik
tepat danbenar (kolaborasi). sertapenurunan tingkat
kesadaran dantanda-tanda
peningkatan
tekananintrakranial. Adanya
pernapasanyang irreguler
indikasi terhadapadanya
peningkatan

41 | Keperawatan Kritis II
metabolismesebagai reaksi
terhadap infeksi.Untuk
mengetahui tanda-
tandakeadaan syok akibat
perdarahan.
3. Perubahan kepala pada satu
sisidapat menimbulkan
penekananpada vena
jugularis danmenghambat
aliran darah otak,untuk itu
dapat meningkatkantekanan
intrakranial.
4. Dapat mencetuskan
responotomatik penngkatan
intrakranial.
5. Kejang terjadi akibat iritasi
otak,hipoksia, dan kejang
dapatmeningkatkan
tekananintrakrania.
6. Dapat menurunkan hipoksia
otak.
7. Membantu menurunkan
tekananintrakranial secara
biologi / kimiaseperti osmotik
diuritik untukmenarik air dari
sel-sel otaksehingga dapat
menurunkanudem otak,
steroid (dexametason)untuk
menurunkan
inflamasi,menurunkan edema
jaringan.Obat anti kejang
untukmenurunkan kejang,

42 | Keperawatan Kritis II
analgetikuntuk menurunkan
rasa nyeri efeknegatif dari
peningkatan
tekananintrakranial.
Antipiretik untukmenurunkan
panas yang
dapatmeningkatkan
pemakaian oksigenotak.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi


perfusi
Tujuan : gangguan pertukaran gas teratasi
Kriteria hasil :
 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
 Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress
pernafasan
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
 Tanda tanda vital dalam rentang normal

INTERVENSI RASIONAL

1. Istirahatkan klien dalam posisi 1. Posisi semifowler membantu


semifowler dalam ekpansi otot-otot
2. Pertahankan oksigenasi pernafasan dengan pengaruh
3. Observasi tanda vital tiap jam graviatsi.
atau sesuai respon klien 2. Oksigen sangat penting sekali
4. Kolaborasi pemeriksaan AGD dalam memelihara suplai
ATP. Kekurangan oksigen
pada jaringan akan

43 | Keperawatan Kritis II
menyebabkan lintasan
metabolism yang normal
dengan akibat terbentuknya
asam laktat (asidosis
metabolik) ini bersama
dengan asidosis respiratorik
akan menghentikan
metabolisme. Regenerasi
ATP akan berhenti sehingga
tidakada lagi sumber energi
yang terisi dan terjadi
kematian.
3. Normalnya TD akan sama
pada berbagai posisi.
Nadi menandakan tekanan
dinding arteri, Suhu tubuh
abnormal disebabkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh
yang menandakan tubuh
kehilangan daya tahan atau
mekanisme pengaturan suhu
tubuh yang buruk.
4. Sesak nafas merupakan tanda
bahwa tubuh memiliki
mekanisme kompensasi
sedang bekerja guna mencoba
membawa oksigen lebih
banyak ke jaringan. Sesak
nafas pada penyakit paru dan
jantung mengkhawatirkan
karena dapat timbul hipoksia.

44 | Keperawatan Kritis II
3. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak
Tujuan : mempertahankan pola nafas yang efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
 Penggunaan otot bantu napas tidak ada
 Sianosis tidak ada
 Tanda hipoksia tidak ada
 Gas darah dalam batas-batas normal

INTERVENSI RASIONAL

1. Hitung pernapasan pasien 1. pernapasan yang cepat


dalamsatu menit. daripasien dapat
2. Cek pemasangan tube menimbulkanalkalosis
3. Observasi ratio inspirasi respiratori danpernapasan
danekspirasi lambat meningkatkantekanan
4. Perhatikan kelembaban dan Pa Co2 dan
suhupasien menyebabkanasidosis
5. Cek selang ventilator setiap respiratorik.
waktu 15 menit 2. untuk memberikan ventilasi
6. Siapkan ambu bag tetap berada yangadekuat dalam
didekat pasien pemberian tidalvolume.
7. KolaborasiBerikan oksigen 3. pada fase ekspirasi biasanya
2 xlebih panjang dari
inspirasi, tapidapat lebih
panjang sebagaikompensasi
terperangkapnyaudara
terhadap gangguanpertukaran
gas.
4. keadaan dehidrasi
dapatmengeringkan sekresi /
cairanparu sehingga menjadi
kental danmeningkatkan

45 | Keperawatan Kritis II
resiko infeksi
5. adanya obstruksi
dapatmenimbulkan tidak
adekuatnyapengaliran volume
danmenimbulkan penyebaran
udarayang tidak adekuat.
6. membantu membarikan
ventilasiyang adekuat bila
ada gangguanpada ventilator.
7. Memaksimalkan darah
dalamarteri dan mencegah
hipoksia

4. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan


tekanan intracranial
Tujuan : klien tidak menunjukan peningkatan TIK
Kriteria hasil :
 Klien akan mengatakan tidak sakit kepala dan merasa nyaman
 Mencegah cedera
 GCS dalam batas normal
 Peningkatan pengetahuan pupil membaik
 Tanda vital dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL

1. Ubah posisi klien secara 1. Klien dengan paraplegia


bertahap berisko mengalami luka tekan
2. Jaga suasana tenang (dekubitus).
3. Atur posisi pasien bedrest 2. Suasana nyaman akan
4. Kurangi cahaya ruangan memberikan rasa nyaman
5. Tinggikan kepala pada klien dan mengurangi
6. Hindari rangsangan oral ketegangan.

46 | Keperawatan Kritis II
7. Angkat kepala dengan hati-hati 3. Bedrest bertujuan
8. Awasi kecepatan tetesan cairan mengurangi kerja fisik,beban
infuse kerja jantung.
9. Berikan makanan personde 4. Cahaya merupakan
susuai jadwal rangsangan yang beriko
10. Pasang pagar tempat tidur meningkatkan TIK
11. Pantau tanda gejala TIK 5. Membantu drainase vena
12. Kaji respon pupil untuk mengurangi kongesti
13. Kaji tanda vital serebrovaskuler
6. Rangsangan oral resiko
terjadi peningkatan TIK
7. Tindakan yang kasar beresiko
terhadap peningkata TIK
8. Mencegah resiko ketidak
seimbangan cairan
9. Mencegah
ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan dan
mempercepat proses
penyembuhan
10. Mencegah resiko cedera jatuh
akibat tidak sadar
11. Fungsi kortikal dapat dikaji
dengan mengevaluasi
pembukaan mata dan respons
motorik. Tidak ada respon
menunjukan kerusakan
masenfalon.
12. Perubahan pupil menunjukan
tekanan pada saraf
okulomotorius atau optikus
13. Tanda vital menunjukan

47 | Keperawatan Kritis II
peningkatan TIK

5. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan


sputum.
Tujuan : mempertahankan jalan nafas dan mencegah aspirasi
Kriteria hasil :
 Suara napas bersih
 Tidak terdapat suara secret
 Tidak ada sianosis

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 1. Obstruksi dapat
menit)kelancaran jalan napas. disebabkanpengumpulan
2. Evaluasi pergerakan dada sputum,perdarahan,
danauskultasi dada (tiap 1 jam bronchospasme ataumasalah
). terhadap tube.
3. Angkat kepala tempat tidur 2. Pergerakan yang simetris
sesuaiaturan,posisi miring dansuara napas yang bersih
sesuaiindikasi indikasipemasangan tube
4. Anjurkan pasien untuk yang tepat dantidak adanya
melakukanfasan dalam jika penumpukansputum.
pasien sadar 3. Untuk memudahkan
5. Auskultasi suara ekspansiparu/ventilasi paru
nafas,perhatikandaerah danmenurunkan adanya
hipoventilasi dan adanyasuara- kemungkinanlidah jatuh yang
suara nafas yang tidaknormal. menyumbat jalannafas
6. Lakukan pengisapan l 4. Mencegah/menurunkan
mjendirdengan waktu kurang atelektasis
dari 15detik bila sputum 5. Untuk mengidentifikasi
banyak. adanyamasalah paru

48 | Keperawatan Kritis II
7. Lakukan fisioterapi dada setiap sepertiatelektasis,obstruksi
2 jam jalan nafasyang
membahayakan oksigenasi
6. Pengisapan lendir tidak selalu
rutindan waktu harus dibatasi
untukmencegah hipoksia
7. Meningkatkan ventilasi
untuksemua bagian paru
danmemberikan kelancaran
aliranserta pelepasan sputum.

3.3 Intervensi

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Resiko  Perfusi jaringan : Monitor tekanan intrakranial
ketidakefektifan serebral (TIK)
perfusi jaringan otak Tujuan: 10. Kaji, observasi, evaluasi
ditandai dengan mempertahankan dan tanda-tanda penurunan
edema cerebral, memperbaiki tingkat perfusi serebral:
peningkatan TIK kesadaran fungsi motorik. gangguan mental,
Kriteria hasil : pingsan, reaksi pupil,
 TD dalam rentang penglihatan kabur, nyeri
normal (120/80 kepala, gerakan bola
mmHg) mata.
 Tidak ada tanda 11. Hindari tindakan valsava
peningkatan TIK manufer (suction lama,
 Klien mampu bicara mengedan, batuk terus
dengan jelas, menerus).
menunjukkan 12. Berikan oksigen sesuai

49 | Keperawatan Kritis II
konsentrasi, instruksi dokter
perhatian dan 13. Lakukan tindakan
orientasi baik bedrest total
 Fungsi sensori 14. Minimalkan stimulasi
motorik cranial utuh dari luar.
: kesadaran membaik 15. Monitor Vital Sign serta
(GCS 15, tidak ada tingkat kesadaran
gerakan involunter) 16. Monitor tanda-tanda TIK
17. Batasi gerakan leher dan
kepala
18. Kolaborasi pemberian
obat-obatan untuk
meningkatkan volume
intravaskuler sesuai
perintah dokter.
2 Gangguan pertukan  Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
gas berhubungan pertukaran gas 11. Buka jalan nafas dengan
dengan Tujuan : teknik chin lift atau jaw
ketidakseimbangan Untuk mempertahankan thrust sebagaimana
ventilasi perfusi oksigenasi yang adekuat mestinya
Ktiteria hasil : 12. Posisikan pasien untuk
 Tanda tanda vital memaksimalkan
dalam batas normal vemtilasi
 Hasil lab BGA 13. Identifikasi kebutuhan
dalam batas normal aktual/potensial pasien
 Oksigenasi adekuat untuk memasukkan alat
 Tidak ada tanda membuka jalan nafas
tanda distres nafas : 14. Masukkan alat
nasopharyngeal airway
(NPA) atau oropharyng
airway (OPA)
sebagaimana mestinya

50 | Keperawatan Kritis II
15. Lakukan fisio terapi dada
sebagaimana mestinya
16. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
17. Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
18. Lakukan penyedotan
melalui endotrakea atau
nasotrakea sebagaimana
mestinya
19. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
20. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
3 Ketidakefektifan  Status pernafasan : Manajemen jalan nafas
bersihan jalan napas kepatenan jalan 11. Buka jalan nafas dengan
berhubungan dengan nafas teknik chin lift atau jaw
akumulasi secret, Tujuan : thrust sebagaimana
sisa muntahan Mempertahankan jalan mestinya
nafas dan jalan nafas klien 12. Posisikan pasien untuk
bebas memaksimalkan
Kriteria hasil : vemtilasi
 RR normal (12- 13. Identifikasi kebutuhan
24x/menit) aktual/potensial pasien
 Ritme pernapasan untuk memasukkan alat

51 | Keperawatan Kritis II
reguler membuka jalan nafas
 Klien mampu untuk 14. Masukkan alat
mengeluarkan secret, nasopharyngeal airway
sisa muntahan (NPA) atau oropharyng
 Tidak terdengar airway (OPA)
suara napas sebagaimana mestinya
tambahan (ronchi, 15. Lakukan fisio terapi dada
wheezing, gurgling) sebagaimana mestinya
16. Buang secret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
17. Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
18. Lakukan penyedotan
melalui endotrakea atau
nasotrakea sebagaimana
mestinya
19. Kelola pemberian
bronkodilator bila perlu
20. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya.
4 Resiko  Keseimbangan Manajemen cairan
ketidakseimbangan elektrolit 8. Timbang berat badan
elektrolit ditandai Kriteria hasil : pasien setiap hari dan
dengan disfungsi  Mempertahankan monitor status pasien
ginjal urine output sesuai 9. Hitung dan timbang

52 | Keperawatan Kritis II
dengan usia dan BB, popok dengan baik
BJ urine normal 10. Jaga intake atau asupan
 Tanda tanda vital yang akutrat dan catat
dalam batas normal output pasien
 Tidak ada ytanda- 11. Montor status hidrasi
tanda dehidrasi, (misal membran mukosa
elastisitas turgor lembab, denyut nadi
kulit baik, adekuat)
membaran mukosa 12. Monitor tanda-tanda vital
lembab, tidak ada paisen
rasa haus yang 13. Berikan terapi IV seperti
berlebihan yang ditentukan
14. Monitor tingkat HB dan
hematokrit
5 Defisiensi  Pengetahuan : Pendidikan kesehatan
pengetahuan perilaku kesehatan 4. Libatkan individu,
berhubungan dengan  Pengetahuan : keluarga dan kelompok
kurang sumber manejemen stress dalam perencanaan dan
pengetahuan Tujuan : rencana implementasi
Keluarga paham tentang gaya hidup atau
proses penyakit dan modifikasi perilaku
penyembuhan kesehatan
Kriteria hasil : 5. Pertimbangkan dukungan
 Mengungkapkan keluarga, teman sebaya,
pengertian tentang dan masyarakat terhadap
proses penyakit, perilaku yang kondusif
tindakan yang bagi kesehatan
dibutuhkan dengan 6. Gunakan berbagai
kemungkinan strategi dan intervensi
komplikasi utama dalam program
pendidikan
Pengurangan kecemasan

53 | Keperawatan Kritis II
7. Gunakan pendekatan
yang meyakinkan
8. Pahami situasi krisis
yang terjadi dari
perspektif klien
9. Berikan informasi faktual
terkait diagnosis,
perawatan dan prognosis
10. Berada disisi klien untuk
meningkatkan rasa aman
dan mengurangi
ketakutan
11. Dengarkan klien
12. Atur penggunaan obat-
obatan untuk mengurangi
kecemasan secara tepat

54 | Keperawatan Kritis II
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi, decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010)
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan
jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada lelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Masjoer, 2000).
Penyebab dari trauma kepala, antara lain:
 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
 Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala
terutama bagian otak yang sangat vital.

4.2 Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat
membaca makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari
makalah ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya
berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam
tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala. Saran yang disampaikan kepada mahasiswa
keperawatan adalah :

55 | Keperawatan Kritis II
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala.
2. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien
dengan cedera kepala.
3. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun
klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.

56 | Keperawatan Kritis II
DAFTAR PUSTAKA

Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika


Hernanta, I. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-
MEDIKA

Clevo, M. Rendy dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
dan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K),dkk. 2013. Cedera Kepala. Jakarta : Sagung Seto

Badan Pendidikan & Pelatihan Persatuan Perawat Nasional Indonesia Dewan


Pengurus Wilayah Jawa Timur. 2017. Pelatihan BTCLS. Surabaya: PPNI Jatim

Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Heardman, T. Heather.2015. Nanda Inc. Diagnosis Keperawatan defisit klasifikasi
2005-2007. Jakarta :EGC

Moorhead,Sue dkk.2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Edisi Kelima.


Yogyakarta : Moco media

Bulechek, Gloria M. Dkk.2013.Nursing Intervention (NIC) edidi ke Enam.


Yogyakarta: Moco Media

57 | Keperawatan Kritis II

Anda mungkin juga menyukai