Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TRAUMA KEPALA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 7

Achmad Rosyid Al Adha


Denny Nur Kholiq
Eko Fajar Kurniawan
Eti Suryaningsih
Lisa Widiya Indra Wati

POLTEKKES KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

makalah Keperawatan gadar ini yang berjudul “Trauma kepala”. Sholawat serta

salam juga tak lupa penulis hanturkan kepada junjungan Nabi kita Muhammad

SAW. Karena berkat rahmat dan Hidayah-Nyalah yang menghantarkan kita

semua dari jalan yang gelap gulita menuju kejalan yang terang benderang seperti

saat ini.

Penulis juga menyadari dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan masukan,

saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak terutama dari dosen

pembimbing dan teman sejawat keperawatan demi perbaikan makalah ini. Penulis

berharap semoga bahan ajar ini dapat memberikan manfaat positif. Akhir kata

penulis memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu mendapatkan

petunjuk dan ridho-Nya,serta selalu berada di jalan-Nya.

Samarinda, 27 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................ 2
C. Tujuan Keperawatan............................................................................ 2
D. Sistematika penulisan.......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Trauma Kepala...................................................................... 4
B. Etiologi Trauma Kepala....................................................................... 4
C. Klasifikasi Trauma Kepala.................................................................. 5
D. Manifestasi Klinis Trauma Kepala...................................................... 9
E. Patofisiologi ....................................................................................... 11
F. Web of Caution (WOC) Trauma Kepala.............................................. 14
G. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit) Trauma Kepala......................... 18
H. Komplikasi Trauma Kepala................................................................. 19
I. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala............................................... 19
J. Terapi diet dan Farmakologi................................................................. 21
K. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Kepala................................... 25
L. Penatalaksanaan trauma kepala............................................................ 41
M. Algoritma Penanganan Trauma Kepala.............................................. 44
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 50
B. Saran.............................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan


utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih
dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di
rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera
kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping
penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah sakit, penilaian
dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognosis selanjutnya. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera
kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta
orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih
dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian
maupun akibat kekerasan. Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non
degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial
baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/
kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-
anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda

1
keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan.
Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa;
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan
etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan pasien dengan


Trauma Kepala?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa/(i) mampu memahami konsep dan menerapkan


manajemen kegawatdaruratan pasien dengan Trauma Kepala.
2. Tujuan Khusus

Agar mahasiswa/(i) dapat mengetahui dan memahami tentang:


a. Definisi Trauma Kepala
b. Etiologi Trauma Kepala
c. Web of Caution (WOC) Trauma Kepala
d. Klasifikasi Trauma Kepala
e. Manifestasi Klinis Trauma Kepala
f. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit) Trauma Kepala
g. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala
h. Komplikasi Trauma Kepala
i. Penatalaksanaan Medis Trauma Kepala
j. Terapi Diet dan Farmakologi
k. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Kepala
l. Penatalaksanaan Keperawatan Trauma Kepala
m. Algoritma Penanganan Trauma Kepala

2
D. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:


Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tinjauan teori yang terdiri dari definisi, etiologi,
web of caution, klasifikasi, manifestasi klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi,
terapi diet dan farmakologi
asuhan keperawatan, dan algoritma penanganan trauma
kepala
Bab III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya
kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk 2009).
Trauma kepala sudah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di
seluruh negara dan lebih dari dua per tiga dialami oleh negara berkembang
(Riyadina dan Suhardi, 2009)
Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi–decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serata notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha, 2010).
Trauma kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak
pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya & Putri, 2013).

B. Etiologi

Trauma kepala umunya disebabkan oleh:


a. Trauma oleh benda tajam. Menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk :
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,

4
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar
pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

c. Etiologi lainnya
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan.

C. Klasifikasi

1. Berdasarkan berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale):


a. Cedera Kepala Ringan (kelompok risiko rendah)
1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
3) Tak ada fraktur tengkorak
4) Tak ada contusio serebral (hematom)
5) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
b. Cedera Kepala Sedang
1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Muntah
5) Kejang
c. Cedera Kepala Berat
1) GCS 3-8 (koma)
2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif)
3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
4) Tanda neurologist fokal
5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

5
2. Berdasarkan kerusakan jaringan otak
a. Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologi ringan
tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran
kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, retrograde, mual,
muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar) : gangguan fungsi neurologi disertai
kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh,
hilangnya kesdaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan
otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak
terkelupas, keluar dari rongga intracranial.
3. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul. Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga,
kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan
(pukulan).
b. Trauma Tembus. Trauma yang terjadi karena tembakan maupun
tusukan benda-benda tajam/runcing.
4. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala
dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii
secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan
kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat
erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi
fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis
ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill

6
hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i,
nvii dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal
cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan
sembelit.
2) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody
otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang
dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya
korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera
(amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter
ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak
lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih
berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak
yang berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara

7
yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.
Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya
suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma, adalah terjadinya perdarahan antara
tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen
media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat
juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma. Subduralis haematoma adalah
kejadian haematoma di antara durameter dan corteks,
dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan
jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan
corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak.
c) Subrachnoidalis Haematoma. Kejadiannya karena
perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

8
d) Intracerebralis Haematoma. Terjadi karena pukulan benda
tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada
jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada
durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
subduralis haematoma.

5. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-
decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada
cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan
laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti
hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi
pernapasan.

D. Manifestasi Klinis

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut


memiliki beberapa tanda dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
Tanda dan gejalanya:
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran
b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat

9
g. Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas
a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-
tanda vital yang tampak jelas
3. Cedera berat
Tanda dan gejalanya:
a. Tanda-tanda peningkatan TIK
b. Perdarahan retina
c. Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
d. Hemiparesis
e. Kuadriplegia
f. Peningkatan suhu tubuh
g. Cara berjalan yang goyah
h. Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
4. Tanda-tanda yang menyertai
a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atau
tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat
kesadaran, dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013).
1. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf
otak, merobek duramater yang mengakibatkan perembesan cairan
serebrospinalis. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkina yang terjadi
adalah :
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung
(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe).
b. Kerusakan saraf cranial
c. Perdarah dibelakang membrane timpani

10
d. Ekimosis pada periorbital.
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada
saraf cranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga kemungkinan
tanda dan gejalanya adalah :
a. Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.
b. Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus auditorius.
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot
mata karena kerusakan nervus okulomotorius.
d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e. Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.
f. Nistagmus karena kerusakan pada system vestibular
g. Warna kebiruan dibelakang telinga diatas mastoid (Battle Sign).
2. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera
kepala, ada atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
3. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung
dariu cedera kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.

E. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

11
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan
pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak
dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari
obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum
dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur
bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang
tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat
berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK
terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan
selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan

12
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”
dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak,
hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan
haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay
oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan
steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya,
1998).

13
F. Web of Caution (WOC)
Trauma Tajam Cedera kepala Trauma Tumpul

Ekstra Cranial Cranium Intra Cranial

Fraktur
Terputusnya jariangan Terputusnya Rupur pembuluh Laserasi/perdarahan
otot, kulit dan kontinuitas tulang darah vena pada otak
vaskular
Robekan arteri
menigia media
Subdural Rangsangan
Nyeri Akut Hematoma simpatis
Risiko Infeksi
Hematoma
epidural

Tekanan vaskuler,
Kolaborasi pemberian
antibiotic Tekanan darang
Bersihkan area lesi Nyeri Kepala Perubahan
denan Teknik aseptic Sirkulasi CSS
Jauhkan dari risiko
terpaparnya agen
infektan Mual muntah
Tekanan pada paru
Peningkatan TIK meningkat

Penekanan batang
Gangguan suplai otak
darah ke otak
Peningkatan tekanan
Pemberian manitol hidrostatik
0,25-1g/KgBB
Hipoksia jaringan Herniasi
otak 14

Iskemia
Gangguan perfusi
jaringan cerebral

Kebocoran kapiler

Kaji Status
kesadaran
Pantau TTV
Control
perdarahan dan Udem pulmonal
eudema

Cerebral Hematoma

pH Arterial Cerebral Defisit Neurologi


Meningkat Disfungsi Batang
Otak

Menstimulus Merangsang
Hipotalamus Hipofisis Gangguan Persepsi
Dilatasi Arteri Sensori
Penggunaan
antikonvulsan: Kerusakan saraf
Fenitoin
Pelepasan ACTH motorik
ataufosfenitoin pada
fase akut (1gr dalam Aliran darah ke otak Streroid adrenalin
kecepatan meningkat
50mg/menit)
Deazepan atau
Penghentian sekresi
lorazepam
Edema serebri anto deuretik Peningkatan asam
Anastesi umum jika Gangguan Mobilitas
lambung
kejang berlanjut Fisik 15
lebih dari 60 menit
Kejang Diabetes Insipidus
Mual Muntah
G. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit)

a. Aspek Neurologis
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15,
disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau
dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski
positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-
gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi.
Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah
trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat
limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimbangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai
batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
2. Aspek Kardiovaskuler
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi
peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu
pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau
cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi
pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian
tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
3. Aspek sistem pernapasan
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes,
ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya
sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi

16
karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai
pusat pengatur suhu tubuh.

4. Aspek sistem eliminasi


Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau
kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji
tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus
yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi
dasar dalam pemberian makanan.

H. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya:


1. Defisitnya neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Hidrosefalus
7. Kerusakan kontrol respirasi
8. Inkontinensia bladder atau bowel

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk pasien dengan


trauma kepala yaitu:
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

17
b. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.

c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
e. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Berfungsi untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Yaitu untuk menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK.
b. Elektrolit serum. Cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari,
diikuti dengan diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi, dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c. Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin,
protein serum.
d. CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid (warna, komposisi, tekanan).
e. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.

18
f. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang

J. Terapi Diet dan Farmakologi


1. Nutrisi pada Pasien Cedera Kepala
a. Perubahan Metabolisme Pasca Trauma
Nutrisi merupakan komponen penting pada pasien cedera
kepala. Oleh karena itu nutrisi harus diberikan secara dini agar dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi ketika stabilitas hemodinamik dicapai.
Pada pasien cedera kepala terjadi gangguan keseimbangan
metabolisme tubuh, berupa hipermetabolisme dan katabolisme,
sehingga tubuh dapat kekurangan protein dan cadangan nutrien.
Fase-fase respon inflamasi sistemik pada cedera kepala atau trauma
merupakan sarana yang penting untuk menginterprestasikan kejadian
metabolik komplek yang terjadi selama trauma. mendiskripsikan ada
2 fase yaitu fase ebb dan fase flow (Debora, 2009).
Fase ebb terdiri atas respon awal tehadap injuri dimana keadaan
hemodinamik tidak stabil, ekstremitas dingin dan hipometabolisme
sering terjadi. Fase ebb lamanya bervariasi umumnya berlangsung 24
jam pertama dan paling lama selama 3 hari, gejala yang muncul
adalah kardiak output yang rendah dan penurunan perfusi jaringan.
Pada fase ebb terjadi penurunan penggunaan substrat dan penurunan
fungsi dari sel-sel akan terdepresi pada mayoritas jaringan tubuh
(Debora, 2009).
Fase flow ditandai dengan peningkatan kardiak output dan
peningkatan kebutuhan energi dan ekskresi nitrogen, pada fase
hipermetabolik ini terjadi pelepasan insulin yang cukup tinggi tetapi
efek insulin ini tidak terlihat karena hormon-hormon anti insulin
seperti glukagon, cathecolamin serta kortisol yang dilepaskan juga

19
dalam kadar yang tinggi,akibat dari ketidakseimbangan hormon ini
menghasilkan peningkatan mobilisasi asam amino dan asam lemak
bebas dari otot perifer dan jaringan lemak, dimana sebagian besar
digunakan sebagai sumber energi sedangkan yang lainnya akan
dibentuk langsung menjadi glukosa dan melalui proses di hepar
menjadi trigliserida. Keadaan hipermetabolik ini juga melibatkan
proses anabolik dan katabolik dengan hasil akhir tubuh kehilangan
protein dan lemak yang sangat bermakna (Debora, 2009).
Perubahan metabolisme selama fase ebb dan fase flow:
Fase Ebb Flow
Metabolisme Hipometabolik Hipermetabolik
Suhu Hipotermi Hipertermi
Kebutuhan kalori Rendah Tinggi
Produksi glukosa Normal Meningkat
Katabolisme protein Ringan Tinggi
Glukosa darah Hiperglikemia Normal / hiperglikemia
Katekolamin Meningkat Normal / meningkat
Glukokortikoid Meningkat Normal / meningkat
Insulin Rendah Tinggi
Glukagon Meningkat Normal /meningkat
Kebutuhan jantung Menurun Meningkat
Sumber: (Escallon, 2003)
Berdasarkan hal diatas, maka pemberian nutrisi sebaiknya
diberikan pada saat fase flow, yaitu pada 48 –72 Jam pertama pada
pasien segera setelah trauma dan retensi lambung yang minimal.
Selama fase flow pada status hipermetabolik maka dukungan nutrisi
penting untuk mencegahnya terjadinya laju hiperkatabolisme yang
cepat dan berat (Debora, 2009).

b. Rumus Kebutuhan Kalori

Kebutuhan kalori : 25-30 kkal/kgBB/24jam


Sumber: (Hartono, 2004)

1) Pemberian Nutrisi Pada Pasien Cedera Otak


a) Cedera otak ringan

20
- Pasien dipuasakan selama 6 jam.
- Observasi keluhan pasien berupa mual, muntah.
- Apabila tidak ada keluhan diperbolehkan minum.
b) Cedera otak sedang-berat
- Pada pasien dengan cedera otak sedang-berat perlu dipasang
NGT
- NGT (Nasogastric Tube) atau pipa lambung yang
digunakan untuk pemberian nutrisi
(1) Dewasa ukurannya 14-16 Fr

(2) Anak-anak ukurannya 12-14 Fr

(3) Bayi ukuran 6 Fr

- Pada cedera otak sedang dan berat pasien dipuasakan


- Observasi retensi cairan lambung minimal (< 100ml),
terdapat bising usus, tidak mual dan muntah, tidak ada
distensi abdomen dapat mulai diberikan diet cair.
- Pemberian nutrisi enteral dimulai “start low, go slow” atau
sedikit sedikit dan perlahan
- Diet cair dapat dimulai sejumlah 200ml kemudian
diobservasi apakah ada retensi lambung, normal jika <
150ml (Hartono, 2004).
3. Manitol
a. Biokimia Manitol
Manitol adalah polisakarida yang stabil dalam larutan dan
mudah diproduksi. Manitol terkandung dalam sayuran dan buah-
buahan, merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai obat
diuretik osmotik.(1) Istilah diuretik osmotik terdiri dari dua kata yaitu
diuretik dan osmotik. Diuretik ialah obat yang dapat menambah
kecepatan pembentukan urine dengan adanya natriuresis
(peningkatan pengeluaran natrium) dan diuresis (peningkatan
pengeluaran H2O) (Brandis, 2007).

21
b. Mekanisme Kerja
Tempat kerja utama manitol adalah: (1) Tubuli proksimal, yaitu
dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya
osmotiknya; (2) Ansa henle, yaitu dengan penghambatan reabsorpsi
natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun;
(3) Duktus koligentes, yaitu dengan penghambatan reabsorbsi
natrium dan air, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya
faktor lain (Nafrialdi, 2007).
Manitol digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di jaringan
(intrasel) otak. Manitol efektif dalam mengurangi edema otak.
Manitol adalah larutan hiperosmolar yang digunakan untuk terapi
meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan fisiologis ini,
manitol meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan
normal dari dalam sel otak  yang osmolarnya rendah ke intravaskuler
yang osmolar tinggi, untuk menurunkan edema otak (Nafrialdi,
2007)
c. Indikasi
1) Menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema
serebral.
2) Meningkatkan diuresis pada pencegahan pengobatan oliguria
yang disebabkan gagal ginjal.
3) Menurunkan tekanan intraokular.
4) Meningkatkan ekskresi urine senyawa toksik (Bereczki, 2000)
d. Kontraindikasi
1) Kongesti atau edema paru.
2) Perdarahan intakranial kecuali selama pembedahan kraniotomi.
3) Gagal jantung kongestif.
4) Edema metabolik dengan kelainan vaskuler(Brandis, 2007).
e. Dosis
1) Loading dose : 1-2 gr/kgBB

22
2) Maintenance dose: 0,5-1 g/kgBB diulang tiap 4-6 jam (Nafrialdi,
2007)
f. Sediaan
1) Manitol 10% dalam plabottle 250cc (25g) dan 500 cc (50g)
2) Manitol 20% dalam plabottle 250cc (50g) dan 500 cc (100g)
(IAI, 2013)
g. Efek samping
1) Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
2) Rasa tidak enak pada saluran cerna
3) Sakit kepala
4) Takikardi
5) Hiponatremia
6) Hipotensi (Bereczki, 2000)

K. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma
kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Survei primer
mengkaji ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, exposure),
dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting pada jam-jam
pertama sejak kejadian cedera.
a. Survei Primer
b. Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi
netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada
alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol
servikal sehingga dapat memudahkan oksigen masuk ke paru-
paru. Lakukan posisi head up <30 derajat untuk mempermudah
aliran masuk daln keluar darah ke otak. Pada pasien dengan
GCS < 8 maka harus segera dipasang ETT.

23
c. Breathing
Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan
saturasai 95 – 100 %. Lihat perkembangan data apakah simestris
atau tidak, deviasi trakea, suara nafas tambahan, distensi vena
jugularis. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi melalui
SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan
pemasangan ETT maka di anjurkan memakai ventilator
mekanik.
d. Circulation
Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan
adanya ciri-ciri perdarahan. Pasang IV line 2 jarum besar. Pada
kasus peningkatan tekanan intrakranial, frekuensi nadi dan
pernapasan menurun, sedangkan tekanan darah dan suhu
meningkat.
e. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi
dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.
NO KOMPONEN NILAI HASIL

1 VERBAL 1 Tidak berespon

2 Suara tidak dapat dimengerti,


rintihan

3 Bicara kacau/kata-kata tidak


tepat/tidak nyambung dengan
pertanyaan

4 Bicara membingungkan, jawaban


tidak tepat

5 Orientasi baik

2 MOTORIK 1 Tidak berespon

24
2 Ekstensi abnormal

3 Fleksi abnormal

4 Menarik area nyeri

5 Melokalisasi nyeri

6 Dengan perintah

3 Reaksi 1 Tidak berespon


membuka mata
2 Rangsang nyeri
(EYE)
3 Dengan perintah (rangsang
suara/sentuh)

4 Spontan

Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS


beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
1) Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma
kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2) Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau
stupor)
b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah

25
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).

3) Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)


a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi
kranium.
f. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka
dapat terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan
hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.
Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut
hangat, maupun pemberian cairan intravena  (yang telah
dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et al.2009).

b. Survei Sekunder
1) Keluhan utama
Pada pasien trauma kepala biasanya terjadi penurunan
kesadaran setelah mengalami trauma, selain itu terjadi pula
konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan
kejang.
2) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang
berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.

26
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau
keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3) Pemeriksaan fisik
 Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi
tulang

 Fraktur tengkorak : adakah otorea, hemotimpanum,


rinorea, raccoon eyes, battle sign

 Leher : adakah deformitas, kekakuan atau nyeri

 Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan


ekstremitas

 Status mental : sadar penuh, orientasi, confusion/bingung,


gaduh-gelisah, tidak responsif

 Saraf kranial :

 Refleks pupil (N.II, N.III),

 Doll’s eye response (N.III,N.IV,N.VI),

 respons okulomotor kalorik (N.III,N.IV,N.VI,N.VIII),

 refleks kornea dan seringai wajah (N.V, N.VII),

 refleks muntah (N.IX,N.X)

 Pemeriksaan sensorimotor: Asimetri, gerakan


(spontan/menuruti perintah), tonus otot, koordinasi (jika
memungkinkan), reaksi terhadap nyeri (menarik/withdrawl,
deserebrasi, dekortikasi, tidak ada respons)

 Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis dan klonus.

27
4) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan CT-Scan, MRI,
EEG, X-Ray, pemeriksaan AGD, elektrolit serum, CSS dsb.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan adanya ronkhi (D.0001).
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
(cedera kepala) ditandai dengan dispnea (D.0005).
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
ditandai dengan bersikap protektif (menghindari nyeri) (D.0077).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan terjadinya
cedera kepala (D.0017).

28
3. Intervensi Keperawatan

Standar Diagnosis Keperawatan


No. Standar Luaran keperawatan indonesia (SLKI) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia(SIKI)
Indonesia (SDKI)
1. (D.0001) Bersihan Jalan Bersihan Jalan Napas (L.01001) Latihan Batuk Efektif (I.01006)
Napas Tidak Efektif Tujuan : setelah di lakukan Tindakan Observasi :
1. Identifikasi kemampuan batuk
keperawatan 3x24 jam sekret atau obstruksi 2. Monitor adanya retensi sputum
Pengertian : ketidak mampuan jalan napas tetap paten 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
membersihkan secret atau 4. Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah dan
obstruksi jalan napas untuk Kriteria Hasil : karakteristik)
Terapeutik :
mempertahankan jalan napas 1. batuk efektif meningkat (5) 1. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
tetap paten 2. produksi sputum menurun (5) 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3. mengi menurun (5) 3. Buang sekret pada tempat sputum
4. wheezing menurun (5) Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Gejala dan tanda mayor : 5. gelisah menurun (5) 2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
Subjektif :  tidak tersedia. mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
Objektif : 3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
1. batuk tidak efektif 4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
2. tidak mampu batuk. napas dalam yang ke-3
3. sputum berlebih. Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika
4. Mengi, wheezing dan / atau perlu
ronkhi kering.
5. Mekonium di jalan nafas
pada Neonatus.

Gejala dan Tanda Minor.

29
Subjektif :

1. Dispnea.
2. Sulit bicara.
3. Ortopnea.

Objektif :

1. Gelisah.
2. Sianosis.
3. Bunyi napas menurun.
4. Frekuensi napas berubah.
5. Pola napas berubah.

2. (D.0005) Pola Napas Tidak Pola Napas (L.01004) Pemantauan Respirasi (I.01014)
Efektif Observasi:
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
Pengertian : Inspirasi dan/atau keperawatan 3x24 jam inspirasi dan atau 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
ekspirisasi yang tidak adekuat membaik. Terapeutik :
memberikan ventilasi adekuat 4. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
Kriteria Hasil : Edukasi:
1. Dispnea menurun (5)
Gejalan dan Tanda Mayor : 2. Penggunaan otot bantu napas menurun 5.
6.
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Subjektif : (5) Terapi Oksigen
3. Frekuensi napas membaik (5) Observasi:
1. Dispnea 4. Kedalaman napas membaik (5)
Objektif : 7. Monitor kecepatan aliran oksigen
8. Monitor posisi alat terapi oksigen
1. Penggunaan otot bantu 9. Monitor tanda-tanda hipoventilasi

30
10. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
pernapasan. oksigen
Terapeutik:
2. Fase ekspirasi memanjang. 11. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika
3. Pola napas abnormal (mis. perlu
takipnea. bradipnea, 12. Pertahankan kepatenan jalan napas
hiperventilasi kussmaul 13. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi :
cheyne-stokes). 14. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi
Gejala dan Tanda Minor : 15. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Subjektif : 1. Ortopnea
Objektif :
1. Pernapasan pursed-lip.
2. Pernapasan cuping hidung.
3. Diameter thoraks anterior-
posterior  meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah

3. (D.0077) Nyeri Akut Tingkat Nyeri (L.08066) : Manajemen Nyeri (I.08238)


Observasi:
Pengertian : Pengalaman Tujuan: Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
sensorik atau emosional yang keperawatan 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri kualitas, intensitas nyeri
menurun 2. Identifikasi skala nyeri
berkaitan dengan kerusakan 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
jaringan aktual atau fungsional, Kriteria Hasil : 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
dengan onset mendadak atau nyeri
1. Frekuensi nadi membaik (5) 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
lambat dan berintensitas ringan 2. Pola napass membaik (5)

31
hingga berat yang berlangsung 3. Keluhan nyerei menurun (5) 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
kurang dari 3 bulan. 4. Meringis menurun (5) 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik
5. Gelisah menurun (5) Terapeutik:
8. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa
Gejala dan Tanda Mayor: nyeri
9. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Subjektif 10. Fasilitasi istirahat dan tidur
11. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
(tidak tersedia) strategi meredakan nyeri
Edukasi :
Objektif 11. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
1. Tampak meringis 12. Jelaskan strategi meredakan nyeri
13. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
2. Bersikap protektif (mis. nyeri
waspada, posisi Kolaborasi
menghindari nyeri) 14. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif
(tidak tersedia)

Objektif
1. Tekanan darah meningkat
2. pola napas berubah
3. nafsu makan berubah

32
4. proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis

4. (D.0017) Risiko Perfusi Perfusi Serebral (L.02014) Manajemen Peningkatan TIK (I.06194)
Serebral Tidak Efektif Observasi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2. Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
Pengertian : Berisiko keperawatan 1x8 jam diharapkan tidak terjadi 3. Monitor MAP
mengalami penurunan sirkulasi risiko perfusi serebral tidak efektif. Terapeutik
darah ke otak 4. Berikan posisi semi fowler
5. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
Kriteria Hasil : 6. Cegah terjadinya kejang
1. Tekanan Intrakranial menurun (5) Kolaborasi
Faktor Risiko : 2. Sakit kepala menurun (5) 7. Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti
1. Keabnormalan masa konvulsan, jika perlu
3. Kecemasan menurun (5)
protrombin dan/atau masa Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
4. Gelisah menurun (5)
tromboplastin parsial
2. Penurunan kinerja
ventikel kiri
3. Aterosklrosis aorta
4. Diseksi arteri
5. Fibrilasi atrium
6. Tumor otak
7. Stenosis karotis
8. Miksoma atrium
9. Aneurisma serebri
10. Koagulopati (mis. anemia
sel sabit)
11. Dilatasi kardiomiopati

33
12. Koagulasi (mis. anemia
sel sabit)
13. Embolisme
14. Cedera kepala
15. Hiperkolesteronemia
16. Hipertensi
17. Endokarditis infektif
18. Katup prostetik mekanis
19. Stenosis mitral
20. Neoplasma otak
21. Infark miokard akut
22. Sindrom sick sinus
23. Penyalahgunaan zat
24. Terapi tombolitik
25. Efek samping tindakan
(mis. tindakan operasi
bypass)

34
4. Discharge Planning
a. Jelaskan tentang kondisi pasien yang meemrlukan perawatan dan
pengobatan
b. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah,
dan perubahan bicara
c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan efek samping dan
reaksi dari pemberian obat
d. Ajarkan keluarga untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan
sudip lidah, mempertahankan jalan napas selama kejang
e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk
aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal,
makan-minum dan latihan ROM bila pasien mengalami gangguan
fisik
f. Ajarkan bagaimana cara mencegah injuri, seperti gangguan
pengaman
g. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal
h. Ajarkan pada keluarga bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial

L. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pertahankan fungsi ABC
b. Observasi status neurologis
c. Observasi 24 jam
d. Tinggikan posisi kepala pasien 30° untuk menurunkan TIK
e. Jaga kebutuhan nutrisi pasien agar tetap terpenuhi
f. Jika pasien muntah, puasakan terlebih dahulu
g. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
h. Awasi kemungkinan munculnya kejang

35
2. Penatalaksanaan Medis
a. Cairan IV
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk
resusitasi dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan
hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan
diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam
fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan
cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
endema otak sehingga harus dicegah.
b. Antibiotik
Dapat diberikan terutama untuk cedera kepala terbuka,
pemasangan monitor TIK, atau infeksi pada sistem tubuh lainnya.
c. Obat antikejang (misal : fenitoin, dan karbamazepin)
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di
RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat.
Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang
awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan
Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda /
double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis
bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu
pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin
adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis
awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan
kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis
pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai
kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan,
diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain

36
fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus
menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang
berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera
otak..
d. Antipiretik
Adalah golongan obat untuk demam. Saat terjadi infeksi, otak
kita akan menaikkan standar suhu tubuh diatas nilai normal sehingga
tubuh menjadi demam. Terdapat banyak jenis obat antipiretik
diantaranya adalah obat – obatan antiradang nonsteroid (ibuprofen,
ketoprofen, nimesulide), aspirin, paracetamol, metimazol.
e. Barbiturat
Barbiturat dosis tinggi (pentobarbital atau tiopental) akan
menginduksi koma, menurnkan TIK, dan mengurangi angka
kematian pada klien dengan TIK yang tidak terkendali yang tahan
terhadap semua tindakan medis dan bedah lainnya. Pada awalnya
diberikan 10 mg/kgBB dalam 30 menit, kemudian dilanjutkan
dengan bolus 5 mg/kgBB setiap jamserta drip 1mg/kg BB/jam untuk
mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.
f. Glukokortikoid (dexamethazone)
Berfungsi untuk mengurangi demam. Obat ini diberikan 10 mg
untuk dosis awal, pada hari ke 2 – 3 diberikan 5 mg/8 jam, hari ke 4
diberikan 5 mg/12 jam, dan pada hari ke 5 diberikan 5 mg/24 jam.
g. Diuretic osmotic (manitol)
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
(TIK) yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan
konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang
diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol
jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak
mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan
manitol merupakan diuretic osmotic yang potensial. Adanya

37
perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada
keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus
diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien
segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila
lesi penyebabnya sudah diketahui.
h. Obat paralitik (pancuronium)
Digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk
mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko
peningkatan TIK.
i. THAM (Tris – Hidroksi – metil – aminometana)
Adalah suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf
pusat dan secara teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat
dan dalam hal ini diharapkan dapat mengurangi TIK.

38
M. Algoritma Penanganan

Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Ringan

Pasien

Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC)


IRD
Anamnesis, fisik diagnostik

Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi

Pemeriksaan labL DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi

Tx. Simtomatik + antibiotik sesuai indikasi


Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam(anak <2 tahun: D5 0,25
Lapor jaga bedah saraf
NS

Puasa 6 jam
Operasi MRS di ruang
HCU - F Obat simptomatik IV atau supp

Observasi ketat sebagai pasien cedera otak


ICU - ROI
Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke
ruang perawatan

VS. Stabil Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan


Neurologis Stabil penderita

Cepat memburuk
R. Perawatan (LCU)

Resusitasi + Rediagnosis
KRS

ICU ROI - 1 Operasi

Indikasi CT Scan kepala pada Cedera Kepala Ringan :

1. Nilai GCS kurang dari 15 pada 2 jam setelah cedera.


2. Dicurigai adanya fraktur kalvaria.
3. Adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
4. Muntah lebih dari 2 episode.

39
5. Usia lebih dari 65 tahun.
6. Amnesia lebih dari 30 menit.
7. Kejang.
8. Cedera tembus tengkorak.
9. Adanya defisit neurologis.
10. Mekanisme cedera yang berat.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka:

Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum luka
dijahit.

Penanganan :

1. Debridement lokal.
2. Tidak perlu fiksasi tulang.
3. Jahit luka primer.
4. Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun
berarti ada lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka
pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.
5. Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan
dengan penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang
dipulangkan.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii:

Diagnosa :

1. Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).


2. Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.

Penanganan :

1. Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS
memburuk, hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.
2. Pasien di rawat inap, terapi non operatif.

40
a. Head up 30 derajat.
b. Diet : MB
c. Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.
d. Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan.
Umumnya berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.
3. Observasi :
a. Tanda vital.
b. GCS/pupil/motorik
c. Rhinorhea/Otorhea
d. Tanda-tanda infeksi
e. Defisit neurologis.
4. Rawat jalan, bila :
a. Tanda vital stabil.
b. GCS 15.
c. Rhinorhea/Otorhea berhenti.
d. Tanda-tanda infeksi (-).

41
Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Sedang
Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC), pasang
collar brace
Pasien
Lapor jaga bedah saraf
IRD Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya

Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA)

Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Obat simptomatik IV atau supp

Bila telah stabil lakukan CT scan kepala, foto leher lat, thorax,
foto AP pemeriksaan radiologis lain atas indikasi

Pasang kateter, evaluasi produksi urin


Operatif ICU-ROI MRS di ruang HCU-F

Membaik Memburuk

Stabilisasi + Resusitasi
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Rediagnosis cito

R. Perawatan (LCU)
ICU ROI - 1 Operasi

42
Resusitasi airway, breathing dan circulation

Bersihkan lendir, benda asing, jaw thrust bila perlu kepala tidak boleh
hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila
Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat
perlu. Bila ada sumbatan jalan napas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan
intubasi atau tracheostomi
Pasien
Intubasi + kontrol ventilasi, pasang pipa lambung

IRD Pasang collar brace

Lihat gerakan napas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda


pneumothorax, hemothorax, flail chest atau fraktur costa

Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl atau koloid atau darah). Cari
penyebab, pertahankan tensi >90 mmHg

Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau
gagal jantung berikan manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB,
dilanjutkan 2 ml/kgBB dalam 29 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah <320
mOsm
Lapor jaga bedah saraf Bila kejang: Diazepam 10 mg IV pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti.
Awasi depresi napas, dilanjutkan phenitoin bolus 10-18 mg/kgBB encerkan dengan
aqua steril 20 ml IV pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB

Bila telah stabil infus cairasn isotonis (NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan
euvolume, pemasangan CVP atas indikasi

Pemeriksaan lab (DL, BGA, GDA, cross match)

Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi

Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi

Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urin

Tanda vital stabil, lakukan CT scan kepala, foto leher lat, thorax fot AP

Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi


Bila keadaan
Pemeriksaan fungsi
refleks vital telah
batang otak. stabil
Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik
Operasi Catat ICP
keadaan terakhir sebelum dikirim ke <15
ruangan ICU atau <22 cm H2O pada
Pasang monitor, pertahankan tekanan mmHgg
pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi intrakranial
Lakukan serah terima secara lengkap (keadaan penderita, obat-obatan yang
indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi emergensi
diberikan dan rencana perawatan)

MRS di ICU-ROI R. HCU-F R. Perawatan (LCU)

43
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan

bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (accelerasi–decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk

dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan

penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan

juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan

Dari pembahasan yang sudah dijelaskan, bisa disimpulkan bahwa

trauma kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan

fisik dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

Akibatnya dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku,

atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara atau

permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga

gangguan psikososial. Menurut etiologi cedera kepala adalah Kecelakaan,

jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan

pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, cedera akibat kekerasan.

44
B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan referensi tentang

trauma kepala, bagaimana penatalaksanaan dan terapi awal yang harus

diberikan.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk

mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.

3. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui manajemen

kegawatdaruratan trauma kepala sehingga dapat menerapkannya pada

praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

45
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T,A. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner and Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions  

Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.

David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial

Pressure in Decision  Making in Neurocritical Care. Thieme. New York.

2009; 195-218.

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda.

2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta:

ECG.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:

Definitions & Classification, 2015–2017. 10nded.  Oxford: Wiley Blackwell

Hernanta, Iyan. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap Tentang Neurosains.

Yogyakarta: D-Medika.

Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6,

EGC, Jakarta.

Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas

Pekan Baru Riau

46
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5 th ed. USA:

Mosby.

Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika

Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.

New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial

Management. 2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada

http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf

Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Andra dkk. 2013. KMB 2.Yogyakarta: Nuha Medika.

47

Anda mungkin juga menyukai