Anda di halaman 1dari 26

GLASGOW COMA SCALE (GCS)

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana

Dosen pengampu : R. Nur Abdurakhman, S.Kep, NsMH

Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Indah Siti Sopiah (42010119A060)
2. Sri Rahayu (42010119A064)
3. Tengku Rafli Maulana (42010119A068)
4. Tutus sunarti (42010119A075)
5. Yola Dwi Yulviona (42010119A079)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON
Jl. Brigjen Dharsono Bypass, Kec. Kedawung, Kab. Cirebon 45153
CIREBON
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Bencana dengan judul
“Glasgow Coma Scale (GCS)”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Cirebon, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………….... i


Daftar Isi ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................... 2
BAB II KAJIAN TEORI .............................................................................. 4
A. Trauma Capitis.......................................................................... 4
1. Pengertian......................................................................... 4
2. Patofisiologi...................................................................... 4
3. Penyebab........................................................................... 4
4. Berat - ringannya trauma.................................................. 5
5. Klasifikasi Cidera............................................................. 5
6. Tekanan Intra Kranal (TIK).............................................. 9
7. Manifestasi Klinik............................................................ 9
8. Perangkat Diagnostik........................................................ 11
9. Komplikasi........................................................................ 12
10. Penatalaksanaan................................................................ 12
B. Glasgow Coma Scale (GCS)....................................................... 18
1. Pengertian......................................................................... 18
2. Poin GCS.......................................................................... 18
3. Cara Penulisan.................................................................. 18
4. Kualitas Kesadaran........................................................... 19
5. Cara Pengukuran GCS...................................................... 19
6. Hambatan Melakukan GCS.............................................. 21
BAB III PENUTUP......................................................................................... 22
A. Kesimpulan .................................................................................. 22
......................................................................................................
B. Saran............................................................................................. 22
......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari kulit kepala, tulang,
dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson, 2012).
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau askep
cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat
harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada
sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan
perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari
cedera kepala.
Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan permanen
pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat
hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit, bahkan kegagalan
bernafas dan gagal jantung (Arifin, 2013). Akibat trauma pasien mengalami perubahan
fisik maupun psikologis. Akibat yang sering terjadi pada pasien cedera kepala berat
antara lain terjadi cedera otak sekunder, edema serebral, obstruksi jalan nafas,
peningkatan tekanan intrakranial, vasopasme, hidrosefalus, gangguan metabolik, infeksi,
dan kejang (Haddad, 2012)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran umumnya mengalami gangguan jalan
nafas, gangguan pernafasan dan gangguan sirkulasi. Gangguan pernafasan biasanya
disebabkan oleh gangguan sentral akibat depresi pernafasan pada lesi di medula
oblongata atau akibat gangguan perifer, seperti : aspirasi, edema paru, emboli paru yang
dapat berakibat hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan yang dapat dilakukan pada kondisi di
atas adalah pemberian oksigen, cari dan atasi faktor penyebab serta pemasangan
ventilator. Pada pasien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pernafasan, di
rawat di ruang perawatan intensif dan terpasang selang endotrakheal dengan ventilator
dan sampai kondisi klien menjadi stabil (Muttaqin, 2012 ; Hudak & Gallo, 2010)

1
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari kulit kepala, tulang,
dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala berat adalah kejadian akibat benturan atau
trauma yang biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dan nilai glas coma scale nya
sama atau kurang dari 8.
B. Rumusan Masalah
a. Trauma Capitalis
1. Apa yang dimaksud dengan Trauma Capitis
2. Bagaimana dengan Patofisiologi Trauma Capitis
3. Bagaimana penyebab Trauma Capitis
4. Bagiamana Berat-ringannya Trauma
5. Bagaimana Klasifikasi Trauma
6. Bagaimana Tekanan Intra Kranal (TIK)
7. Bagaimana Manifestasi Klinik
8. Bagaimana Perangkat Diagnostik
9. Bagaimana Komplikasi
10. Bagaimana Penatalaksanaan
b. Glasglow Coma Scale (GCS)
1. Apa yang dimaksud dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
2. Apa yang dimaksud Poin GCS
3. Bagaimana Cara Penulisan
4. Bagiamana Kualitas Kesadaran
5. Bagaimana Cara pengukuran GCS
6. Bagaimana Hambatan Melakukan GCS
C. Tujuan
a. Trauma Capitalis
1. Untuk mengatahui Pengertian Trauma Capitis
2. Untuk mengatahui Patofisiologi Trauma Capitis
3. Untuk mengatahui Penyebab
4. Untuk mengatahui Barat-ringannya Trauma
5. Untuk mengatahui Klasifikasi Cidera
6. Untuk mengatahui Tekanan Intra Kranal (TIK)

2
7. Untuk mengatahui Manifestasi Klinik
8. Untuk mengatahui Perangkat Diagnostik
9. Untuk mengatahui Komplikasi
10. Untuk mengatahui Penatalaksanaan
b. Glasgow Coma Scale (GCS)
1. Untuk mengetahui Penegrtian Glasgow Coma Scale
2. Untuk mengetahui Poin GCS
3. Untuk mengetahui Cara Penulisan
4. Untuk mengetahui Kualitas Kesadaran
5. Untuk mengetahui Cara Pengukuran GCS
6. Untuk mengetahui Hambatan Melakukan GCS

3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Trauma Capitis
1. Pengertian
Cedera kepala (Trauma Capitis) adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi
otak yang disertai pendarahan intersisial dalam substansi otak, tanpa terputusnya
kontinitas otak (Krisanty, 2009).
2. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatic pada kepala dapat menyebabkan cedera kepala.
Sentakan biasanya tiba-tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor, atau kepala terbentur. Jika sentakan menyebabkan suatu
trauma akselerasi - deselerasi atau coup-countercoup, maka kontusio serebri dapat
terjadi. Trauma akselerasi - deselerasi dapat terjadi langsung di bawah sisi yang
terkena ketika otak terpantul ke arah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan
(suatu pukulan benda tumpul, sebagai contoh), ketika kekuatan sentakan
mendorong otak terpantul ke arah sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala
terdorong ke depan dan berhenti seketika. Otak terus bergerak dan terbentur
kembali ke tengkorak (akselerasi) dan terpantul (deselerasi) (Kristanty, 2009).
Mekanisme Trauma
Trauma kepala terjadi bila ada kekuatan mekanik yang ditransmisikan ke jaringan
otak. Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala :
a. Akselerasi: kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda bergerak
b. Deselerasi: kepala membentur benda yang tak bergerak
Deformasi: benturan pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang
tengkorak) menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat di permukaan
kotikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural (Kristanty, 2009).
3. Penyebab
a. Trauma Tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar.
Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal
dapat menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan peteki karena pada
saat otak “bergeser” akan terjadi “pergeseran” antara permukaan otak dengan

4
tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi
jaringan otak sehingga mengubah intervensi vaskuler otak.
b. Trauma Tajam
Disebabkan oleh pisau, peluru atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam
tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan hanya terjadi pada area di
mana benda tersebut merobek otak (lokal). Obyek dengan velocity tinggi
(peluru) menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan resiko infeksi. Coup dan Contracoup Pada cedera coup
kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan pada cedera
contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera coup
(Kristanty, 2009).
4. Berat-ringannya Trauma
Hudak dkk dalam Krisanty (2009) membagi cedera kepala sebagai berikut :
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13-15
2) Amnesi kurang dari 30 menit
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari
b. Cedera kepala sedang
1) Nilai GCS 9-12
2) Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
3) Terdapat trauma sekunder
4) Gangguan neurologis sedang
c. Cedera kepala berat
1) Nilai GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
3) Terdapat cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak , perdarahan dan
hematoma intrakranial
5. Klasifikasi Cidera
a. Scalp wounds (trauma kulit kepala)
Kulit kepala mempunyai banyak pembuluh darah, sehingga setiap luka
dapat menyebabkan perdarahan hebat. Luka kulit kepala yang berdarah tidak
mempengaruhi aliran darah ke otak (Thygerson, 2011).

5
Kulit kepala harus diperiksa apakah ada bukti luka atau perdarahan
akibat fraktur tengkorak. Adanya obyek yang berpenetrasi atau benda asing
harus diangkat atau ditutupi dengan kain steril, perawatan untuk tidak
menekan area luka. Laserasi pada kulit kepala cenderung menyebabkan
perdarahan hebat dan harus ditangani dengan pengaplikasian penekanan
langsung. Kegagalan mengontrol perdarahan dapat menyebabkan terjadinya
syok.
Semenjak beberapa laserasi tidak dapat dideteksi dengan mudah,
periksa kulit kepala dengan menggunakan sarung tangan, sisihkan rambut
untuk memfasilitasi inspeksi. Palpasi tengkorak dan catat adanya fragmen
tulang. Jangan memberikan tekakan pada tulang tengkorak atau jaringan otak
yang tidak stabil jika fraktur ditemukan, sejak jaringan otak dan area
sekitarnya dikelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah dapat menyebabkan
cedera lebih lanjut. Rambut di sekitar laserasi kulit kepala harus dicukur dan
luka dibersihkan, didebridemen, dan diinspeksi keseluruhan areanya sebelum
ditutup (Krisanty, 2009).
b. Fraktur tengkorak
Kekuatan signifikan yang mengenai kepala dapat menyebabkan fraktur
tulang tengkorak. Keadaan ini terjadi bila bagian-bagian tulang tengkorak
(tulang-tulang pembentuk kepala) patah (Thygerson, 2011).
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada
hubungan otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera. Yang
lebih penting adalah keadaan intrakranialnya. Fraktur tengkorak tidak
memerlukan tindakan pengobatan istemewa apabila ada fraktur impresi tulang
maka operasi operasi untuk mengembalikan posisi.
Pada frakatur basis kranium dapat berbahaya terutama karena
perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman terhadap jalan
nafas. Pada fraktur ini, aliran cairan serebso spinal berhenti dalam 5-6 hari dan
terdapat hematom kacamata, yaitu hematom sekitar orbita (Kristanty, 2009).
c. Commutio Cerebri (gegar otak)
Gegar otak adalah cedera kepala tertutup yang biasanya ditandai
dengan penurunan kesadaran. Gegar otak menyebabkan periode panea yang
singkat. Gegar otak dapat ringan, sedang, atau berat, bergantung pada lama
individu tidak sadar. Keadaan tidak sadar dalam waktu lama diperkirakan

6
menyebabkan hasil yang buruk. Akan tetapi, bahkan gegar otak ringan dapat
berkaitan dengan perubahan kognitif atau perilaku yang tidak kentara
walaupun tidak terdapat patologi otak yang jelas. Keadaan tersebut, yang
disebut sindrom pasca gegar otak, dapat berlangsung selama lebih setahun
(Corwin, 2009).
Sebagian besar gegar otak bersifat ringan, dan orang akan sembuh
sempurna, tetapi prosesnya memerlukan waktu. Gegar otak tidak disertai
perdarahan di bawah tulang tengkorak atau pembengkakan jaringan otak
(Thygerson, 2011).
Korban dikatakan mengalami cedera atau gegar otak bila muncul
gejala mual dan atau muntah serta penurunan kesadaran sampai koma setelah
kepalanya terbentur atau terpukul. Setelah sadar biasanya korban lupa pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan terjadi. Semakin lama
korban tidak sadarkan diri, biasanya semakin berat gegar otak yang diderita.
Demikian pula semakin lama korban lupa (baik tentang hal-hal sebelum
maupun sesudah kecelakaan), semakin berat pula gegar otaknya. Gegar otak
yang ringan biasanya akan sembuh sempurna tanpa komplikasi. Gegar otak
yang berat dapat terjadi komplikasi saraf, seperti yang tampak pada gejala dan
tanda stroke, misalnya kelumpuhan, gangguan koordinasi gerak, bicara pelo,
atau komplikasi pikun, dan sebagainya (Junaidi, 2011).
Kehilangan kesadaran sementara (kurang dari 15 menit). Sesudah itu
klien mungkin mengalami disorientasi dan bingung hanya dalam waktu yang
relatif singkat. Gejala lain meliputi: sakit kepala, tidak mampu untuk
berkonsentrasi, gangguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa klien
mengalami amnesia retrogard. Kebanyakan klien sembuh sempurna dan cepat,
tetapi beberapa penderita lainnya dapat mengalami gejala lanjut selama
beberapa bulan. Penderita tetap dibawa ke RS, karena kemungkinan cedera
yang lain (Krisanty, 2009).
d. Contusio cerebri (Memar otak)
Beberapa tanda dan gejala yang dapat terlihat adalah sebagai berikut :
1) Perdarahan kecil/ptechie jaringan otak
2) Edema serebri
3) TIK meningkat
4) Gejala klinis sama dengan komusio serebri namun lebih berat

7
5) Gangguan neurologis fokal (Ariani, 2013).

Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal Injury
(DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk. (Krisanty, 2009)

e. Perdarahan intrakranial
Dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau
perdarahan intrakranial. Terutama perdarahan epidural dapat berbahaya karena
perdarahan berlanjut akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
yang semakin berat (Krisanty, 2009).
1) Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah di atas dura mater.
Hematoma epidural terjadi secara akut dan biasanya disebabkan oleh
perdarahan arteri yang mengancam jiwa (Corwin, 2009).
Hematoma epidural merupakan suatu akibat serius dari cedera kepala
dengan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering
terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteria meningea media.
Hematoma epidural di daerah frontal dan oksipital sering tidak dicurigai
dan memberi tanda-tanda setempat yang tidak jelas. Bila hematoma
epidural tidak disertai dengan cedera lain dari otak biasanya pengobatan
yang dini dapat menyembuhkan penderita dengan sedikit atau tanpa defisit
neurologis. Riwayat klasik dari penderita hematoma epidural adakah
terjadinya cedera kepala yang diikuti keadaan tidak sadar dalam beberapa
saat (Ariani, 2013).
2) Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah kumpulan darah antara permukaan dalam
dura mater dan araknoid mater. Pada sebagian besar kasus, hematom ini
disebabkan oleh kerusakan vena penghubung (bridging veins) yang
berjalan dari permukaan otak ke sinus dura (Kumar, Cotran, Robbins,
2007).
Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robekan vena walaupun
kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdural. Hematoma
subdural dapat terjadi dengan cepat, yang disebut hematoma subdural akut,
atau dapat terjadi akibat perdarahan lambat, yang disebut hematoma
subdural subakut. Penyalahgunaan alkohol kronis dan lansia dapat

8
mengalami hematoma yang berkembang lambat selama periode beberapa
bulan setelah cedera kepala ringan, dan tidak dapat memperlihatkan gejala
yang jelas akibat hematoma sampai hematoma besar. Hal ini disebut
hematoma subdural kronis. Hematoma subdural kronis mungkin terjadi
karena lansia dan penyalahguna alkohol kronis mengalami penurunan
jaringan otak, yang memungkinkan kranium mengakomodasi hematoma
berkembang tanpa mengalami peningkatan tekanan yagn signifikan
(Corwin, 2009).
3) Hemoragi subaraknoid
Hemoragi subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran
araknoid, tetapi di atas pia mater. Ruang ini normalnya hanya berisi CSS.
Hemoragi subaraknoid biasanya terjadi akibat pecahnya aneurisma
intrakranial, hipertensi berat, malformasi arteriovenosa, atau cedera kepala.
Darah yang berakumulasi di atas atau di bawah meninges menyebabkan
peningkatan tekanan di jaringan otak di bawahnya (Corwin, 2009).
6. Tekanan Intra Kranal (TIK)
Isi kranium termasuk jaringan otak, darah, cairan serebrospinal (CSF).
Komponen-komponen ini terbungkus dalam tengkorak yang kaku. Dalam ruangan
ini, terdapat suatu ruangan kecil untuk komponen-komponen berekspansi atau
meningkatkan volume. Melalui proses akomodasi dan komplians, tekanan intra
kranial dipertahankan dalam tingkat normal antara 10 - 15 mm Hg (136 – 204
mmH2O) dan adanya tekanan ini terutama oleh karena peranan pulsasi arteri yang
ditransmisikan langsung ke otak melalui pleksus khoroideus. Menurut hipotesa
Monro-Killie, adanya peningkatan volume pada satu komponen haruslah
dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari komponen lainnya.
Dengan kata lain, terjadinya peningkatan TIK selalu diakibatkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara volume intrakranial dengan isi kranium (Kristanty,
2009).
7. Manifestasi Klinik
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/iritable, papil edema,
muntah proyektil
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, sensori motorik berubah

9
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia)
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan di belakang membran timpani
3) Periorbital ekhimosis (raccoon eyes)
4) Battle’s sign (memar di daerah mastoid) (Krisanty, 2009)
Neurologis
1) Perubahan bentuk tengkorak
2) Perdarahan konjungtiva (berhubungan dengan fraktur fossa anterior)
3) Rinorea cairan serebrospinal
4) Otorea cairan serebrospinal (CSS)
5) Kelumpuhan nervus kranialis C1, C7, dan C8
6) Kejang pasca trauma (tanda lanjut)
7) Koma
Kardiovaskuler
1) Hipovolemia (berhubungan dengan fraktur di atas sinus sagitalis atau
lateral)
Integumen
2) Ekomosis pada dasar leher (berhubungan dengan fraktur dasar
tengkorak dengan fraktur di atas processus mastoid) (Speer. 2007)
c. Kerusakan saraf cranial dan telingan tengah dapat terjadi saat kecelakaan
terjadi atau kemudian dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory
3) Hilangnya daya penciuman akibat rusaknya nervus olfaktorius
4) Pupil dilatasi, ketidak mampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulamotor
5) Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah
6) Nistagmus karena kerusakan sistem vestibuler (Krisanty, 2009).
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala - pusing
2) Retrograde amnesia
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit
e. Kontusi serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:

10
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis:
1) Peningkatan TIK
2) Tanda dan gejala herniasi otak
a) Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio
pada lobus temporal: agitasi, confuse; kontusio frontal: hemiparese,
klien sadar; kontusio frontotemporal: aphasia
Tanda dan gejala tersebut reversible
b) Kontusio batang otak
1) Respon segera menghilang dan pasien koma
2) Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan
berat
3) Pada sistem ritucular terjadi comatuse permanen
4) Pada perubahan tingkat kesadaran:
(a) Respirasi: dapat normal/periodik/cepat
(b) Pupil: simetris kontriksi dan reaktif
(c) Kerusakan pada batang otak bagian atas pupil abnormal
(d) Gerakan bola mata: tidak ada (Krisanty, 2009).

Biasanya cedera ini lebih berat dan gejalanya hampir mirip dengan
komusio serebri. Setelah trauma pada kepala, terjadi kehilangan kesadaran
dalam waktu yang lama. Beberapa menit sampai beberapa hari disertai
kelainan oragan/jaringan otak. Gejala-gejala : muntah, berkeringat dingin,
pusing, pasien tidak sadar, dan amnesia: lupa kejadian-kejadian yang lalu
(Wibowo, 2007).

8. Perangkat Diagnostik
Radiograf tengkorak dapat mengidentifikasi lokasi fraktur atau perdarahan
atau bekuan darah yang terjadi. CT scan atau MRI dapat dengan tepat menetukan
letak dan luas cedera. CT scan biasanya merupakan perangkat diagnostik pilihan
di ruang kedaruratan walaupun hasil CT mungkin normal yang menyesatkan. MRI
adalah perangkat yang lebih sensitif dan akurat, dapat mendiagnosis cedera akson
difus, namun mahal dan kurang dapat diakses di sebagian besar fasilitas (Corwin,
2009).

11
9. Komplikasi
Perdarahan di dalam otak, yang disebut hematoma intraserebral, dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering, cedera kepala
terbuka. Pada perdarahan di otak, tekanan intrakranial meningkat, dan sel neuron
dan vaskular tertekan. Ini adalah jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma,
kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketika
hematoma meluas dan edema interstisial memburuk. Perubahan perilaku yang
tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada (Corwin, 2009).
10. Penatalaksanaan
a. Perawatan emergensi
1) Primary survey
a) Nilai tingkat kesadaran
b) Lakukan penilaian ABC:
A-Airway : kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam
mulut.
B-Breathing : kaji kemampuan bernafas, peningkatan PCO2 akan
memperburuk edema serebri.
C-Circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan
c) Imobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain
dipertahankan sampai x-ray membuktikan tidak ada fraktur servical.
2) Intervensi primer
a) Bukan jalan nafas dengan teknik “jaw-thrust” – kepala jangan ditekuk,
isap lendir kalau perlu
b) Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri
c) Hiperventilasi 20-25 x/menit menignkatkan kontriksi pembuluh darah
otak sehingga edema serebri menurun
d) Kontrol perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan di
kepala, tutup saja dengan kassa, diplester. Jangan berusaha
menghentikan aliran darah dari lubang telinga atau hidung dengan
menyumbat/menutup lubang tersebut.
e) Pasang infus
3) Secondary survey
a) Kaji riwayat trauma
b) Tingkat kesadaran

12
c) Ukur tanda-tanda vital
d) Respon pupil, apakah simetris atau tidak
e) Gangguan penglihatan
f) Sunkun eyes (mata terdorong ke dalam): satu atau keduanya
g) Aktivitas kejang
h) Tanda Battle’s yaitu “blush discoloration” atau memar di belakang
telinga (mastoid) menandakan adanya fraktur dasar tengkorak
i) Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF
j) Periiorbital eccymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basilar
b. Penatalaksanaan jalan nafas dan proteksi spinal cord
Pasien dengan kepala, leher, atau trauma wajah juga diduga mengalami
trauma tulang belakang, maka pencegahan trauma tulang belakang harus
dipertahankan melalui periode pengkajian awal sampai perkembangan trauma
dapat dipastikan. Jalan nafas harus dipertahankan tanpa hiperekstensi. Teknik
jaw-thrust dan manuver chin-lift direkomendasikan untuk mempertahankan
jalan nafas, dan pernafasan mungkin memerlukan bantuan awal dengan satu
unit bag-valve-mask, sejak kekurangan oksigen berkontribusi pada edema
serebral. Otak mempunyai kemampuan menyimpan suplai oksigen dalam
waktu singkat (misalnya sekitar 10 detik), sehingga kebutuhan metabolik
jaringan menderita saat kekurangan ventilasi dan difusi. Pasien trauma kepala
serius harus iventilasi dengan oksigen tambahan (10-12 liter/menit) dengan
pernafasan 24 x/menit. Jika pasien tidak sadar, nilai normal analisa gas darah
harus dipertahankan dan intubasi endotrakeal (ET) mungkin diberikan.
Perawatan diberikan untuk memastikan plester atau alat yang
digunakan lain terpasang dengan tube ET tidak melintang atau menekan area
jungularis, yang mungkin menghambat aliran vena dari kepala. Sedasi dan
analgesik narkotika mungkin digunakan dalam intubasi pasien untuk
mengotrol stimulasi letal, yang dapat meningkatkan tekanan intra kranial.
Agen neuoromuskular-blocking juga mugkin diberikan untuk mencegah
peningkatan tekanan vena yang berhubungan dengan efek Valsava yang
mengimbangi pemberian ventilator.
Hiperkarbia adalah suatu vasodilator serebral yang efektif.
Pengontrolan hiperventilasi harus dipertahankan jika seseorang diduga tinggi
TIK. Tujuan akhir adalah mempertahankan tekanan parsial oksigen (PO2)

13
lebih dari 70 mmHg dan PCO2 antara 25 sampai 30 mmHg, yang
menyebabkan vasokontriksi, sehingga menurunkan volume darah serebral.
Nilai PCO2 sebaiknya tidak rendah terus menerus, akan tetapi, sejak
vasokontriksi ekstrim dapat menyebabkan baik iskemia atau infark serebral.
Kadar pH seharusnya antara 7,50 – 7,55. Sejak edema paru neurogenik dapat
menginduksi perpindahan cairan ke jaringan sirkulasi bertekanan rendah
seperti penampang paru selama stimulasi simpatis masif setelah trauma, status
pernafasan harus secara ketat diobservasi.
Ancaman muntah dan aspirasi selalu muncul setelah trauma. Intubasi
Nasogastrik (NG) awal dan dekompresi adalah penting untuk mencegah yang
hal diatas, yang dapat memperburuk TIK. Jika terdapat trauma wajah yang
dapat mengganggu konfigurasi tulang pada saluran nafas atas (contoh nasal,
orbital, atau fraktur maxillarymandibular), alat pelindung harus digunakan
untuk mencegah kemungkinan trauma otak iatrogenik lebih lanjut dari
pemasangan NGT, yang dapat masuk ke ruang kranium melalui suatu fraktur
cribriform plate. Jika terdapat adanya kebocoran cairan CSF dari hidung
(rhinorhea) atau dari telinga (otorhea, atau hemotympanum), terdapat
kecendrungan suatu fraktur tulang tengkorak basal atau frontal, membuat
suatu komunikasi langsung dari struktur jalan nafas atas ke otak.
Aliran CSF tersebut harusnya tidak dihambat dengan cara apapun.
Kadang kadang pasien akan mengeluh “terasa garam” dalam mulut atau
tenggorokan, diperkirakan kebocoran cairan CSF. Suction harus dihindari,
sejak ini meningkatkan TIK dan mungkin suatu alat untuk memasukkan
mikroorganisme ke dalam otak melalui penetrasi pada meningen. Monitoring
TIK adalah suatu trknik yang berguna untuk mengetahui elevasi TIK
(Krisanty, 2009).
c. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital seharusnya secara teratur diukur, sejak tanda-tanda
vital mungkin memberikan petunjuk adanya perkembangan syok sebaik
adanya peningkatan TIK. Monitor harus dilakukan untuk pengukuran
oksimetri, pembacaan EKG, dan tekanan darah, dan untuk pengkajian suhu
konstan.
1) Tekanan darah
Tekanan darah dan nadi aslinya adalah stabil pada awal periode setelah

14
trauma kepala, tetapi ketika tekanan perfusi serebral menjadi terancam,
karena berbagai sebab, reseptor pressor dalam pusat vasomotor medulla
terstimulasi untuk menaikkan tekanan darah. Elevasi tekanan darah dan
pelebaran tekanan nadi adalah refleksi iskemik mempengaruhi medull
peningkatan TIK, atau disebabkan miokardial, dalam banyak kasus.
Tekanan darah rendah tidaklah spesifik pada trauma neurologi sampai
kematian dapat terjadi segera.
2) Nadi
Nadi biasanya lambat dan terikat hubungannya dengan trauma kepala
mayor. Jika bradikardia muncul, ini mendorong penekanan pada batang
otak, suatu massa dalam fossa posterior, atau suatu trauma spinal dimana
jalur simpatis asendens terputus. Dalam kasus-kasus peningkatan TIK
yang berat, nadi melambat dan penuh, kadangkala 40-50 bpm. Adanya
tachikardia menimbulkan hipotensi membutuhkan resusitasi volume. Nadi
yang cepat, tidak beraturan mungkin mengikuti dekompensasi peningkatan
TIK terminal. Disritmia terjadi pada pasien dengan darah dalam CSF dan
berhubungan dengan gangguan otak tertentu, seperti yang melibatkan
fossa anterior.
3) Suhu
Suhu mungkin berguna dalam pengkajian koma, sejak pasien-pasien
dengan masalah-masalah metabolik mungkin dapat meningkat atau
menurun dari normal yang dimediasi oleh hipotalamus. Ruptur anerisma
ventrikular dan infeksi tertentu dari sistem saraf pusat yang diikuti dengan
peningkatan suhu. Akan tetapi, pada trauma kepala akut, suhu mungkin
berfluktuasi, dan mungkin mengalami baik hipotermia maupun
hipertermia.
4) Pernafasan
Pola pernafasan mungkin sangat menolong pada pengkajian pasien
trauma kepala. Pernafasan Chyne-Stokes dikarakteristikkan dengan
peningkatan dan penurunan kedalaman ekskursi diikuti dengan suatu
periode apnea. Pola yang dipicu karena peninggian sensitivitas medulla
terhadap karbondioksida. Pase apnea berhubungan dengan penurunan
stimulasi dari hemisfer serebral. Pernafsan Chyne-Stokes berhubungan
dengan perdarahan kedalaman ganglia basalis, kondisi yang mendorong

15
tekanan pada pusat pernafasan medullaris, lesi hemisfer bilateral dalam
serebrum, atau suatu disfungsi serebrum, otak tengah, dan pons atas.
Hipertensi ensepalopati dapat juga meningkatkan fenomena ini.
Hiperventilasi neurogenik pusat adalah hiperventilasi berkelanjutan
pada RR 40-50 x/menit; ini mungkin terjadi pada infark pons atau akibat
dari berbagai lesi di pons (seperti hematom sereberal). Ini juga mungkin
juga diikuti lesi hipotalamus-otak tengah dan beberapa metabolik yang
menyebabkan ketidaksadaran, seperti ketoasidosis diabetikum, asidosis
laktat dari banyak penyebab, atau uremia. Dalam hal konfirmasi pola nafas
ini, pasien harus mempunyai PaO2 lebih dari 70 mmHg untuk setidaknya
24 jam.
Pernafasan apneustik (misalnya pernafasan dalam yang cepat diikuti
dengan 2 sampai 3 detik pause) menunjukkan kerusakan struktur pada
pusat kontrol pernafasan di pertengahan sampai bawah pons, biasanya
menunjukkan kematian yang akan segera terjadi. Pernafasan kluster adalah
suatu pola pernafasan ireguler dengan interval apnea ireguler. Ini
berhubungan dengan lesi bawah pons atas atau atas medulla.
Pernafasan ataksis sama dengan pernafasan Chene-Stokes kecuali
bahwa periode apnea ireguler. Pernafasan ataksis menunjukkan kerusakan
medular atau peningkatan tekanan dalam fossa posterior. Perdarahan
serebelar dan meningitis berat juga meningkatkan terjadinya pernafasan
ataksik.
d. Parameter monitor lainnya
Refleks dan sistem motorik juga harus secara berseri dievaluasi.
Sejalan dengan kelanjutan pengkajian motorik, kedua sisi harus dites dan
dibandingkan. Postur abnormal harus dicatat.
Tanda peningkatan TIK harus dicatat, yaitu termasuk:
1) Sakit kepala
2) Muntah proyektil
3) Deviasi mata kesisi lesi
4) Perubahan kekuatan atau tonus otot
5) Kejang
6) Peningkatan tekanan darah dan penurunan tekanan nadi
7) Perubahan pernafasan

16
8) Tachycardia
9) Postur abnormal (contoh deserebrasi atau dekortikasi) (Krisanty,
2009).
B. Glosgow Coma Scale (GCS)
1. Pengertian
Kehilangan kesadaran atau koma terjadi ketika seseorang tetap menutup mata,
tidak bersuara dan tidak bergerak oleh rangsang nyeri atau perintah apa pun.
Koma biasanya terjadi setelah kerusakan atau disfungsi batang otak yang
disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit.
Untuk mengukur derajat kesadaran seseorang yang telah mengalami cedera
otak traumatis, para dokter dan paramedis menggunakan apa yang disebut Skala
Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS). Skala yang ditemukan oleh Graham
Teasdale dan Bryan J. Jennett dari Universitas Glasgow ini dipublikasikan
pertama kali pada tahun 1974 (Majalahkesehatan.com, 2011).
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu
diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik
(Nursingbegin.com, 2009).
Skala Koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi neurologik,
memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam
percarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang
mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan pengkajian
neurologik yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi motorik pasien, verbal
dan respon membuka mata. Elemen-elemen ini selanjutnya dibagi menjadi
tingkat-tingkat yang berbeda. Masing-masing respon diberikan sebuah angka
(tinggi untuk normal dan rendah untuk gangguan), dan penjumlahan dari
gambaran ini memberikan indikasi beratnya keadaan koma dan sebuah prediksi
kemungkinan yang terjadi dari hasil yang ada. Nilai terendah adalah 3 (respon
paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespon) (Smeltzer & Bare,
2001).
Semakin rendah nilai GCS, semakin banyak defisit dan semakin tinggi tingkat
mortalitasnya. Nilai GCS terbukti konsisten pada regio-regio berbeda dengan

17
mekanisme dan pengobatan yang berbeda. Penilaian ini juga dapat dilakukan di
lapangan sebelum dibawa ke rumah sakit (Greenberg, 2008).
2. Poin GCS
a. Buka mata Nilai total : 4
1) Buka mata tidak ada meskipun dirangsang : nilai 1
2) Buka mata jika ada nyeri : nilai 2
3) Buka mata jika diajak bicara/ disuruh : nilai 3
4) Buka mata spontan : nilai 4
b. Respon motorik Nilai total : 6
1) Respon motor tidak ada : nilai 1
2) Respon motor ektensi : nilai 2
3) Respon motor fleksi abnormal : nilai 3
4) Respon motor menghindari nyeri : nilai 4
5) Respon motor tunjuk/lokalisir nyeri : nilai 5
6) Respon motor menurut perintah : nilai 6
c. Respon verbal Nilai total : 5
1) Respon verbal tidak ada : nilai 1
2) Respon verbal tanpa arti : nilai 2
3) Respon verbal tak benar : nilai 3
4) Respon verbal bicara ngacau : nilai 4
5) Respon verbal orientasi baik : nilai 5
(Healthyenthusiast.com, 2014).
3. Cara Penulisan
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita
yang sadar = compos mentis GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam,
GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata
bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi
sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6. Atau bila tetra parese sedang E dan
V normal, penulisannya 4-5-X. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma (Lenterabiru.com, 2010).

18
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 13 – 15 = CKR (cedera kepala ringan)

GCS : 9 – 12 = CKS (cedera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cedera kepala berat)

4. Kualitas Kesadaran
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya) (Ruhyanudin, 2011).
5. Cara Pengukuran GCS
Hal utama yang harus diperhatikan dalam proses pengukuran GCS adalah
tentang ketelitian. Teliti adalah cermat atau seksama, berhati-hati, penuh
perhitungan dalam berpikir dan bertindak, serta tidak tergesa-gesa dan tidak
ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap ketelitian sangat dibutuhkan dalam
mencapai hasil yang maksimal.
Adapun langkah-langkah dalam pengukuran GCS adalah:
a. Pasien dibaringkan di atas tempat tidur
b. Nilai status pasien, adakah kelainan gawat yang harus ditangani terlebih
dahulu/tidak.
c. Periksa kesadaran pasien dengan GCS (dewasa) dan PCS (anak-anak)
d. Glasgow Coma Scale (GCS) :

19
1) Eye/mata :
a. saat dokter mendatangi pasien, pasien spontan membuka mata dan
memandang dokter : skor 4.
b. pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau diperintahkan
untuk membuka mata oleh dokter : skor 3.
c. pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.
d. pasien tidak membuka mata dengan pemberian rangsang apapun: skor
1.
2) Verbal :
a. pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab pertanyaan dokter
dengan benar (pasien menyadari bahwa ia ada di rumah sakit,
menyebutkan namanya, alamatnya, dll) : skor 5.
b. pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung, pasien tidak tahu
secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya, dan memberikan
jawaban yang salah saat ditanya oleh dokter : skor 4.
c. pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat diberi rangsang nyeri, tapi
tidak bisa menyelesaikan seluruh kalimat, dan tidak bisa menjawab
seluruh pertanyaan dari dokter : skor 3.
d. pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali, dan hanya
mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.
e. pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri
(cubitan) : skor 1.
3) Motorik :
a. pasien dapat mengikuti perintah dokter, misalkan “Tunjukkan pada
saya 2 jari!” : skor 6.
b. pasien tidak dapat menuruti perintah, tapi saat diberi rangsang nyeri
(penekanan ujung jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor 5.
c. pasien berusaha menolak rangsang nyeri : skor 4.
d. saat diberi rangsang nyeri, kedua tangan pasien menggenggam dan di
kedua sisi tubuh di bagian atas sternum (posisi dekortikasi) : skor 3.
e. saat diberi rangsang nyeri, pasien meletakkan kedua tangannya secara
lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) : skor 2.
f. pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang nyeri : skor 1

20
(Kedokteran.unsoed.ac.id, 2011).
6. Hambatan dalam Melakukan GCS
Skor GCS pada pasien di bawah pengaruh obat/narkoba, memiliki gangguan
wicara atau fungsi mata mungkin perlu interpretasi khusus
(Majalahkesehatan.com, 2011).
Kesulitan timbul dalam menilai pasien yang diintubasi, disedasi, atau
mengalami paralisis sebelum pengukuran GCS. GCS tidak menilai tanda-tanda
fokal atau lateralisasi (Greenberg, 2008).

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari kulit kepala, tulang,
dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson, 2012).
Cedera kepala (Trauma Capitis) adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak
yang disertai pendarahan intersisial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinitas
otak (Krisanty, 2009).
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon
pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu diperhatikan
mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik (Nursingbegin.com,
2009).
B. Saran
Diharapkan lebih mengetahui dan memahami tentang nilai-nilai Glasgow Coma Scale
(GCS) yang dapat diterapkan kepada pasien. Diharapkan dapat melayani dan menangani
klien yang mengalami trauma. Diharapkan dapat mempelajari nilai-nilai GCS sehingga
dapat diterapkan pada lingkungan kerja nantinya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ginberg, Lionel. Lecture Notes: Neurologi, Edisi 8. Jakarta : Erlangga, 2008.

“Glasgow Coma Scale”. Wikipedia the free encyclopedia.


http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Skala_Koma_Glasgow&oldid= 7020473
(20 februari 2014)

Grace & Borley. At a Galance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta. Erlangga, 2007.

Greenberg, Michael I. Teks-atlas Kedokteran Darurat. Jakarta:

Erlangga, 2008. Hidayat, A.Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan


Teknik Analisis data. Jakarta: Salemba Medika, 2009. Junaidi, Iskandar. Pedoman
Pertolongan Pertama yang Harus Dilakukan

“Pemeriksaan GCS” Nursing Begin.com. 23 April 2009.


http://nursingbegin.com/tag/glasgow-coma-scale/ (14 februari 2014)

Salma, “Apakah Sakala Koma Glasgow?”, Majalah Kesehatan.com, 11 Maret 2011.


http://majalahkesehatan.com/apakah-skala-koma-glasgow/ (20 Februari 2014)

Thianti Sylviningrum, “Pemeriksaan GCS dan PCS”. Kedokteran Unsoed.ac.id


http://kedokteran.unsoed.ac.id/Files/Kuliah/modul%20/Ganjil%20II%20-
%20Pemeriksaasn%20GCS%20dan%20PCS.pdf (11 februari 2014)

23

Anda mungkin juga menyukai