Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA OTAK

Fasilitator:

Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep.

Disusun Oleh:

Cindy Triand S.R 131711133051

Irawati Dewi 131711133069

Alvira Eka N. W. 131711133107

Qoulam Mir R. M 131711133126

Utari Suciati 131711133129

Nadiya Sahara A 131711133145

Della Yolina 131711133148

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami
dari saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis dengan materi
Asuhan Keperawatan Kritis pada Pasien Cidea Otak dalam bentuk makalah. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu Erna Dwi Wahyuni,
S.Kep.Ns., M.Kep.

Terima kasih kepada Ibu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep. sebagai dosen
pengampu yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini. Terlepas dari
semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Penulis menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Untuk itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini

Semoga makalah ini, dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan bagi
pembaca. Dan apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan kiranya
pembaca dapat memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Surabaya, 19 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 4


1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 5
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 5
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 7

2.1 Anatomi Kepala ...................................................................................................... 7


2.2 Fisiologi Kepala ....................................................................................................... 9
2.3 Cidera Kepala........................................................................................................ 11
2.3.1. Definisi Cidera Otak ..................................................................................... 11
2.3.2. Mekanisme trauma kepala ........................................................................... 12
2.3.3. Klasifikasi Cidera Kepala ............................................................................ 12
2.3.4. Manifestasi Klinis Cidera Kepala ................................................................ 13
2.3.5. Patofisiologi Cidera Kepala.......................................................................... 14
2.3.6. Komplikasi Cidera Kepala ........................................................................... 15
2.3.7. Penatalaksanaan Cidera Kepala.................................................................. 17
2.3.8. WOC............................................................................................................... 22
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS CIDERA KEPALA .................. 24

3.1 Asuhan Keperawatan Cidera Kepala secara Teori ........................................... 24


3.1.1 Pengkajian ..................................................................................................... 24
3.1.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................................. 32
3.1.3 Tujuan dan Rencana Keperawatan............................................................. 33
3.2 Contoh Kasus ........................................................................................................ 35
3.2.1 Pengkajian Kasus .......................................................................................... 36
3.2.2 Diagnosa Keperawatan Kasus .................................................................... 41
3.2.3 Intervensi Keperawatan Kasus .................................................................... 42

ii
BAB IV PENUTUP ................................................................................................... 46

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 46


4.2 Saran ...................................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 48

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak
dan otak (Pierce dan Neil, 2014). Secara umum trauma kepala diklasifikasifan
menurut skala Gasglow Coma Scale (GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1)
Trauma Kepala Ringan (GCS 13-15) dapat terjadinya kehilangan kesadaran
atau amnesia selama kurang dari 30 menit, tidak ada kontusio tengkorak, tidak
adanya fraktur serebral, hematoma (2) Trauma Kepala Sedang (GCS 9-12)
hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit namun kurang dari
waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur tengkorak, (3) Trauma Kepala
Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia apabila
lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial (Amien & Hardhi, 2016).
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 150.000 kasus
cedera kepala. Dari jumlah tersebut 100.000 diantaranya mengalami kecacatan
dan 50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar
5.300.000 orang dengan kecacatan akibat cedera kepala. Data insiden cedera
kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden
cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per
tahun (Irawan, 2010).
Prevalensi cedera kepala nasional adalah 8.2 persen, pravalensi tertinggi
ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%) dari
survey yang dilakukan pada 15 provinsi. Riskesdas 2013 pada provinsi Jawa
Tengah menunjukkan kasus cedera sebesar 7,7% yang disebabkan oleh
kecelakaan sepeda motor 40,1%. Cedera mayoritas dialami oleh kelompok
umur dewasa yaitu sebesar 11,3% (Depkes RI, 2013). Di negara berkembang
seperti Indonesia, perkembangan industri dan perekonomian memberikan
dampak terhadap cedera kepala yang semakin meningkat dan merupakan salah
satu kasus yang sering dijumpai di ruang Instalasi Gawat Darurat di Rumah
Sakit (Miranda, 2014).

4
Cedera kepala dapat menimbulkan berbagai sequelae jangka pendek
maupun jangka panjang meliputi gangguan kognitif, behavioral, dan
keterbatasan fisik ( Kreutzer, 2003 ). Pasien dengan cedera kepala cenderung
mengalami ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan penurunan volume
intravaskuler dan trauma miokardium yang menyebabkan kegagalan pompa
primer, bahkan bila trauma pada batang otak dapat langsung mempengaruhi
stabilitas kardiovaskuler. Hipotensi harus segera dicegah karena dapat
menyebabkan reduksi aliran darah otak dan bila MAP (mean arterial pressure)
rendah mengakibatkan iskhemik otak, sebaliknya bila hipertensi dapat
mengeksaserbasi edema vesogenik sehingga terjadi vasokontriksi dengan efek
yang berbahaya bagi tekanan intracranial (Werner, 2007). Maka dari itu
penanganan berupa advokasi dan pendidikan kesehatan juga memengang
peranan penting dan disarankan dini diberikan pada pasien dengan trauma
kepala. Pendidikan kesehatan diberikan kepada klien maupun keluarga oleh
perawat yang telah kompeten dalam bidangnya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi kepala?
1.2.2 Apa definisi trauma kepala?
1.2.3 Bagaimana mekanisme trauma kepala?
1.2.4 Bagaimana klasifikasi trauma kepala?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis trauma kepala?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi trauma kepala?
1.2.7 Bagaimana WOC trauma kepala?
1.2.8 Apa saja komplikasi pada trauma kepala?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan pada penderita trauma kepala?
1.2.10 Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita trauma kepala?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi kepala

5
1.3.2 Untuk mengetahui definisi trauma kepala
1.3.3 Untuk mengetahui mekanisme trauma kepala
1.3.4 Untuk mengetahui klasifikasi trauma kepala
1.3.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma kepala
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi trauma kepala
1.3.7 Untuk mengetahui WOC trauma kepala
1.3.8 untuk mengetahui komplikasi pada trauma kepala
1.3.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penderita trauma kepala
1.3.10 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penderita trauma kepala

1.4 Manfaat
Dalam penyunan dan penulisan makalah ini, penulis dan pembaca dapat
memperoleh beberapa manfaat, antara lain :
1.4.1 Bagi penulis
Tugas dan kewajiban dari dosen pengampu dapat terselesaikan dan
penulis mendapat nilai yang diinginkan.
1.4.2 Bagi penulis dan pembaca
Mendapat pengetahuan mengenai asuhan keperawatan kritis, advokasi
dan pendidikan kesehatan pada klien dengan kasus trauma kepala dengan
baik dan benar.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala

2.1.1 Kulit Kepala


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
 Connective Tissue atau jaringan penyambung
 Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
 Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan
darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama
terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya

2.1.2 Tulang tengkorak


Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di
regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu
anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa
media tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak
bawah dan serebelum.
A. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari
tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak

7
melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang
subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater
dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat
araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan
yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan
piameter dalam ruang sub araknoid.
2.1.3 Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan
duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus
frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis
berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan
berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai
medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

2.1.4 Cairan Serebrospinal

8
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis
baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel
tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat,
selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang
berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans).

2.1.5 Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang
otak berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura
tentorial. Nervus oculomotorius (N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan
saraf ini dapat tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan
oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering
terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis
yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan
traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral
disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi
tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada sisi yang sama
dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.

2.2 Fisiologi Kepala


2.2.1 Tekanan intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan


kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak
yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi,

9
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya.
TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih
tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg
termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya.

2.2.2 Doktrin Monro-Kellie


Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada
garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.

2.2.3 Tekanan Perfusi Otak (TPO) / CPP


Mempertahankan tekanan daerah yang adekuat pada penderita cedera
kepala adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya TPO
adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai formula
sebagai berikut:
TPO = TAR/MAP – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang
buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata
sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang normal.
Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah yang diatas
normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat. Mempertahankan TPO
adalah prioritas yang sangat penting dalam penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat.

2.2.4 Aliran Darah ke Otak (ADO)

10
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan
terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-
rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO
menurun curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi
dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme
autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala.
Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak
sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali
mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,
perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami
hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah
dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.

2.3 Cidera Kepala


2.3.1. Definisi Cidera Otak

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Trauma atau
cedera kepala yang dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal
otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neurologis
terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh masa karena
hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca,
2008)

Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat


menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan

11
oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari
bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.

2.3.2. Mekanisme trauma kepala


Ada 3 mekanisme yang berpngaruh dalam trauma kepala yaitu :
1. Akselerasi yaitu jika bergerak membentur kepala diam, misalnya orang
yang diam kemudian di pukul atau terlempar batu.
2. Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam,
misalnya pada saat kepala terbentur.
3. Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi,
ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga
dapat menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan
pada daerah yang berlawanan dengan benturan (kontra kup).

2.3.3. Klasifikasi Cidera Kepala


Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung
trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari sel-sel otak
yang bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder) :
1. Cedera Primer (efek langsung trauma pada fungsi otak)
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi.
2. Cedera Sekunder (efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap
trauma)
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intracranial dan akhirnya peningkatan tekanan

12
intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksis, hiperkarbia dan hipotensi.
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow
Coma Scale (GCS) nya yaitu :
1) Ringan
a. GCS : 14-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit
c. Tidak ada kortusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma
2) Sedang
a. GCS : 9-13
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3) Berat
a. GCS : 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
c. Meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.

2.3.4. Manifestasi Klinis Cidera Kepala

Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala antara lain:
1) Skull Fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani, periobital ecimos (brill
haematoma), memar didaerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang
pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata,
dan vertigo.
2) Concussion

Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit,
amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat:

13
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau cepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil

2.3.5. Patofisiologi Cidera Kepala

Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma
tulang belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik.
Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat
yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau
impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur
stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan
subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi
(Mardjono & Sidharta, 2010).

Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis
karena (1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi
terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi
serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada
trauma kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa
amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologic apapun tidak terdapat pada
penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan
kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh
integirtas diffuse ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi
sementara tanpa mengalami kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada
ujung rostral bersambung dengan medula spinalis mudah terbentang dan teregang
waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak
itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan
blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak
tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat
yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).

Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh (1)


kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan

14
epidural, atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai
gaya destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah
disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain
itu, terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu
akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi
tersebut menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif, yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio
dapat berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan
kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi
kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact disebut lesi kontusio
countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).

2.3.6. Komplikasi Cidera Kepala

Komplikasi cidera kepala (Retnaningsih, 2008)

a. Kejang Pasca Trauma

Kejang yang terjadi setelah masa traumayang dialami pasien


merupakan salah satukomplikasi serius. Insidensinya sebanyak10%, terjadi
di awal cedera (dalam 7 haricedera), terjadi terlambat (setelah 7 haritrauma).
Faktor risikonya adalah traumapenetrasi, hematom (epidural,
duramater,subdural), fraktur depresi kranium, kontusioserebri, GCS <10.

b. Demam dan Menggig

Demam dan mengigil akan meningkatkankebutuhan metabolisme


danmemperburuk outcome. Sering terjadiakibat kekurangan cairan, infeksi,
efeksentral. Penatalaksanaan denganasetaminofen, neuro muskular

15
paralisis.Penanganan lain dengan cairanhipertonik, koma
barbiturat,asetazolamid

c. Hidrosefalus

Berdasarkan lokasinya, penyebabobstruksi dibagi menjadi


komunikan dannon komunikan. Hidrosefalus komunikanlebih sering terjadi
pada cedera kepaladengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibatpenyumbatan
di sistem ventrikel. Gejalaklinis hidrosefalus ditandai denganmuntah, nyeri
kepala, papil odema,demensia, ataksia dan gangguan miksi.

d. Spastisitas

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkattergantung pada


kecepatan gerakan. Membentukekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa
penangananditujukan pada: pembatasan fungsi gerak, nyeri,pencegahan
kontraktur, dan bantuan dalammemposisikan diri. Terapi primer dengan
koreksi posisidan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting,casting,
dan terapi farmakologi dengan dantrolen,baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepine

e. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3pasien pada stadium awal
dalam bentukdelirium, agresi, akatisia, disinhibisi, danemosi labil. Agitasi
juga sering terjadiakibat nyeri dan penggunaan obat-obatyang berpotensi
sentral. Penangananfarmakologi antara lain denganmenggunakan
antikonvulsan,antihipertensi, antipsikotik, buspiron,stimulant,
benzodiazepin dan terapimodifikasi lingkungan

f. Mood, Tingkah Laku dan Kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebihmenonjol dibanding


gangguan fisiksetelah cedera kepala dalam jangka lama.Penelitian Pons
Ford, menunjukkan 2tahun setelah cedera kepala masihterdapat gangguan

16
kognitif, tingkah lakuatau emosi termasuk problem daya ingat,gangguan
mudah lelah (fatigue),gangguan kecepatan berpikir, Sensitif danIritabel,
gangguan konsentrasi.

g. Sindroma Post Kontusio

Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yangberhubungan


dengan cedera kepala 80% pada 1 bulanpertama, 30% pada 3 bulan pertama
dan 15% pada tahun pertama:

h. Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,mual, mudah lelah,


sensitif terhadap suara dan cahaya.

i. kognitif: perhatian, konsentrasi, memori.

j. Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

2.3.7. Penatalaksanaan Cidera Kepala


Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar
beratnyacedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal
dilaksanakan olehsuatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli
saraf, bedah asraf,radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.Pasien dengan
cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejaktempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruangperawatan atau ICU,
sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi,hipotensi, kejang dan
sebagainya.Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan
atasdalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti
gangguan kesadaran, darianamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini
hanya dilakukanperawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.
Keluargadilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.

17
2. Kesadaran terganggu sesaatPasien mengalami penurunan kesadaran sesaat
setelah cedera kepala danpada saat diperiksa sudah sadar kembali.
Pemeriksaan radiologik dibuatdan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B. Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit
fokalserebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat
fotokepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial,
misalnyaada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran
semakinmenurun atautimbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala
fokal serebraldisamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner,
olehkarena itu urutan tindakannya sebagai berikut:a. Periksa dan atasi
gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasib. Periksa singkat atas
kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cederaorgan lain. Fiksasi leher dan
patah tulang ekstrimitasc. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh laind. CT
Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakraniale. Observasi fungsi vital,
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena
itudisamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:


a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)Pasien dengan
cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensidan hiperkapnia akibat
gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itutindakan pertama adalah:
 Jalan nafas (Air way) : Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang denganposisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipaendotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu.Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untukmenghindarkan aspirasi muntahan

18
 Pernafasan (Breathing) : Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atauperifer. Kelainan sentral adalah depresi
pernafasan pada lesi medulaoblongata, pernafasan cheyne stokes,
ataksik dan central neurogenikhyperventilation. Penyebab perifer
adalah aspirasi, trauma dada,edema paru, DIC, emboli paru, infeksi.
Akibat dari gangguanpernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan denganpemberian oksigen kemudian cari
danatasi faktor penyebab dan kalauperlu memakai ventilator.
 Sirkulasi (Circulation) : Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat
mengakibatkan kerusakansekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial,kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibatperdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertaitamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannyaadalah menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantungdanmengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starchatau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil,defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan
fisikpertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti,
setiapperburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan
sebagaiadanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangipenyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dadadanabdomen
dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila adafraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematomintrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematomintrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya
TIKsebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-

19
15mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagaiberikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yangterkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg
dimanaterjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah
serebral.Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan
selama48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila
TIKnaik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIKtidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CTscan ulang
untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangkapendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangkapanjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadihidrosefalus
3. Terapi diuretik
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringanotak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalamruang intravaskuler. Bila tidak
terjadi diuresis pemberiannyaharus dihentikan.Cara pemberiannya :Bolus 0,5-
1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitorosmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
 Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambatpembentukan
cairan cerebrospinal dan menarik cairaninterstitial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitolmempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotikserum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadapsemua jenis
terapi yang tersebut diatas.Cara pemberiannya:Bolus 10 mg/kgBB/iv selama
0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jamselama 3 jam, lalu pertahankan pada
kadar serum 3-4 mg%, dengandosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK

20
terkontrol, 20 mmHgselama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3
hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akantetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itusekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnyaditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada padasatu bidang, jangan
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluhvena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadilancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegahbertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/haridiberikan perenteral,
sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethylstarch, pada awalnya
dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%atau ringer laktat, jangan
diberikan cairan yang mengandung glukosa olehkarena terjadi keadaan
hiperglikemia menambah edema serebri.Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akantakikardia kembali normal dan volume
urin normal >30 ml/jam. Setelah3-4 hari dapat dimulai makanan peroral
melalui pipa nasogastrik. Padakeadaan tertentu dimana terjadi gangguan
keseimbangan cairan eletrolit,pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya
pada pemberian obatdiuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate
anti diuretichormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar
eletrolit, guladarah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kalinormal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadiantara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrindalam darah danakan
bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 haridengan cairan perenterai
pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipanasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari

21
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
earlyepilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late
epilepsy.Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada
orangdewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
denganamnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
 Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
 Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bilacendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan
<40mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil.
Bilasetelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya
Fenitoin.Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan
paling cepat50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau
oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial danpenderita dengan amnesia post traumatik panjang
2.3.8. WOC

22
Terkena peluru Kecelakaan, terjatuh, trauma
Benda tajam Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul
persalinan, penyalahgunaan
obat/alkohol

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial


/ kulit kepala / Jaringan otak

Breath Blood Brain Bowel Bladder Bone

Perdarahan, P Perdarahan
P kesadaran Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf Fraktur
hematoma, Kesadaran
arteri darah di otak motorik tulang
kerusakan & P TIK
Bed rest Kompensasi meningen P Sirkulasi tengkorak
jaringan lama tubuh yaitu: Aliran volume
vasodilatasi darah ke Penurunan darah ke Gangguan Terputusnya
Hematoma P
& bradikardi otak nafsu makan, ginjal koordinasi kontinuitas
P epidural kesadaran
Penekanan Anemia mual, muntah, gerak
kemampuan tulang
saraf disfagia
batuk Aliran darah Perubahan P ekstremitas
system Hipoksia Hipoksia Gangguan
pernapasan ke otak sirkulasi produksi keseimbangan
jaringan Penurunan intake Nyeri
CSS urine Hemiparase
Akumulasi akut
Gangguan Hipoksia makanan dan / hemiplegi
Perubahan mukus Risiko (D.0077)
pertukaran cairan Oligouria
pola nafas jaringan P TIK cedera
gas
(D.0003) Batuk tdk (D.0136) Gangguan Risiko
RR , efektif Risiko Risiko Gangguan mobilitas infeksi
hiperpneu, perfusi Nyeri akut defisit eliminasi fisik (D.0142)
hiperventiasi serebral (D.0077) nutris urine (D.0054)
Bersihan tidak (D.0032) (D.0040)
jalan nafas efektif
Pola nafas tdk efektif (D.0017) Risiko hipovolemia
tdk efektif (D.0001)
(D.0005) (D.0034)

23
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

CIDERA KEPALA
3.1 Asuhan Keperawatan Cidera Kepala secara Teori
3.1.1 Pengkajian

A. Identitas Pasien

1. Nama :

2. Usia :

3. Jenis kelamin :

4. Agama :

5. Pekerjaan :

6. Suku :

7. Tanggal MRS :

8. Diagnosa medis :

9. No rekam medis :

B. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Pasien dengan trauma kepala umumnya dapat mengalami nyeri


kepala, penurunan kesadaran, atau amnesia bergantung tingkat
keparahan cedera.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

- Adanya riwayat trauma yang dapat diakibatkan dari kecelakaan lalu


lintas, jatuh dari ketinggian, ataupun akibat kekerasan. Adanya
penurunan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhan mengenai perubahan perilaku juga

24
umum terjadi. Letargi, tidak responsif, dan koma dapat terjadi pada
pasien sesuai dengan perkembangan penyakit.

- Apabila pasien tidak sadar, perlu ditanyakan pada keluarga


mengenai penggunaan obat-obatan dan alkohol yang sering terjadi
pada pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas akibat
mengendarai kendaraan denga kecepatan tinggi.

- Kapan trauma terjadi dan bagaimana mekanismenya (kronologi).


Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme kecelakaan, apakah
anak memakai helm pelindung, apakah terlempar , posisi jatuh,
terbentur atau tidak.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit


jantung, riwayat penggunaan obat-obatan (antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif), dan konsumsi alkohol

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Apakah ada keluarga yang menderita hipertensi, DM, dan lain-lain.

C. Perilaku Yang Memengaruhi Kesehatan

Penggunaan alkohol, merokok, obat, dan olahraga.

D. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda-tanda Vital

Pengukuran Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Pernapasan.

2. Kesadaran

- Apakah pasien dalam kesadaran composmentis, apatis, somnolen,


sopor, atau koma.

- CGS:

25
Trauma Berat - GCS: 14-15

- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau


amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

- Tidak kontusio tengkorak, tidak ada fraktur


cerebral, hematoma.

Trauma - GCS: 9-13


Sedang
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

- dapat mengalami fraktur tengkorak.

Trauma - GCS: 3-8


Ringan
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 24 jam.

- Kontusio cerebral. Laserasi, atau hematoma


intrakranial.

3. B1-B6

1. Breathing

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada tingkat keparahan


perubahan jaringan cerebral akibat trauma kepala. Hasil pemeriksaan fisik
pada beberapa keadaan:

a. Inspeksi: \ batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,


penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada :

26
ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan abdomen,
dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
b. Palpasi: Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
c. Perkusi: suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
d. Auskultasi: Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera
kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
2. Blood

 Didaptkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering terjadi pada


klien cedera kepala sedang dan berat.
 Dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi (perubahan perfusi jaringan otak), takikardia dan
aritmia.
 Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis
tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
 Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemaglobin dalam darah.
 Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan
tanda -tanda awal dari suatu syok.
 Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga

27
memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada sistem kardiovaskuler.

3. Brain

 Tingkat kesadaran: pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran pasien


dengan cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
sampai koma.
 Fungsi serebral: Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.
 Fungsi intelektual : penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang
 Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan
kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah
frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain
juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam da kurang kerja sama.
 Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
 Pemeriksaan saraf kranial

a. Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang


merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami

28
kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau
bilateral.
b. Saraf II : Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari
nervus optikus. Perdarahan diruang intrakranial, terutama
hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan
diretina. Anomali pembuluh darah didalam otak dapat
bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala macam
kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus.
c. Saraf III, IV dan V : Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga
orbital. pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika
midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria
dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis
yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang
lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini
disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat
siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi
melainkan berkonstriksi.
d. Saraf VI : Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan menguyah
e. Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan
f. Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan penurunan apabila
trauma yang terjadi tidak melibatkan sarafvestibulokoklearis

29
g. Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
h. Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas
klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII : Indra pengecapan mengalami perubahan
- Sistem motorik
a. Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi
tubuh) adalah tanda yang lain.
b. Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
c. Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan
grade kekuatan otot didapatkan grade O
d. Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.
- Pemeriksaan reflek
a. Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon
normal.
b. Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks
fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
- Sistem sensorik
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik
primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien
dengan hemiplegia kiri. Kehilangan sensorik karena cedera
kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin

30
lebih berat dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan
untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual, taktil
dan auditorius.
4. Bladder

 Kaji warna, jumlah dan karakteristik, termasuk berat jenis urin.


 Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
 Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia
urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
 Terkadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril.
 Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan
neurologis luas.

5. Bowel

 Keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah


(produksi asam lambung) pada fase akut.
 Biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
 Inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
 Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukan adanya dehidrasi.

6. Bone

 Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh


ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit.

31
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir
dan membran mukosa).
 Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan
sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi
akibat adanya hipoksemia.
 Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator
dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
 Pada klien dengan kulit gelap, Perubahan warna tersebut tidak
begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/
hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. CT Scan: mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran


ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti


pergeseran jaringan akibat edema, perdarahan, trauma.

3. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembanganya


gelombang patologis.
4. GDA (Gas Darah Arteri): mengetahui adanya masalah arteria tau
oksinegasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
5. Pemantauan kesadaran: klasifikasi yang mendekati keadaan kliis
adalah berdasarkan nilai GCS.

3.1.2 Diagnosa Keperawatan

32
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan dibuktikan dengan sputum berlebih, tidak mampu batuk, ronkhi
(D.001, SDKI)

2. Penurunan kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan dengan Edema


Cerebral dibuktikan dengan Tingkat Kesadaran Menurun (S.0066 SDKI)

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan sensori persepsi


dibuktikan dengan rentang gerak (ROM) menurun, fisik lemah (D.0054,
SDKI)

4. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala


(D.0017, SDKI)

5. Risko kekurangan volume cairan dibuktikan dengan trauma/perdarahan,


muntah (D.0034, SDKI)

3.1.3 Tujuan dan Rencana Keperawatan

No. SDKI SLKI SIKI

1. Bersihan jalan Setelah dilakukan - Identifikasi


napas tidak efektif intervensi kemampuan batuk
berhubungan keperawatan - Monitor adanya retensi
dengan sekresi selama…. Maka sputum
yang tertahan Bersihan jalan napas - Atur posisi semi-fowler
dibuktikan meningkat dengan - Pasang perlak dan
dengan sputum kriteria hasil: bengkok di pangkuan
berlebih, tidak 1. Produksi sputum pasien
mampu batuk, menurun (5) - Buang secret pada
tempat sputum

33
ronkhi (D.001, 2. Batuk efektif - Kolaborasi pemberian
SDKI) meningkat (5) mukolitik, jika perlu

2. Penurunan Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan


kapasitas Adaptif intervensi Tekanan Intrakranial
Intrakranial keperawatan (1.06194)
berhubungan selama…x…  Indentifikasi
dengan Edema Maka Kapasitas penyeab peningkatan
Cerebral Adaptif Intra Kranial TIK (edema
dibuktikan meningkat ( L06049) cerebral)
dengan Tingkat dengan kriteria hasil:  Monitor tanda dan
Kesadaran 1. Tingkat gejalan peningkatan
Menurun (S.0066 kesadaran TIK
SDKI) Meningkat (5)  Monitor MAP (Mean
2. Sakit kepala Arterial Pressure)
menurun (5)  Monitor CPP
(cerebral Perfusion
Pressure)
 Monitor Gelombang
ICP
 Monitor status
pernafasan
 Monitor intake dan
output cairan
 Berikan posisi semi
fowler (15o-30o)
 Cegah terjadinya
Kejang
 Atur Ventilator agar
PaCo2 optimal

34
 Pertahankan suhu
tubuh normal

3. Gangguan Setelah dilakukan - Identifikasi toleransi


mobilitas fisik intervensi fisik melakukan
berhubungan keperawatan ambulasi
dengan gangguan selama…. Maka - Monitor kondisi umum
sensori persepsi Mobilitas fisik selama melakukan
dibuktikan meningkat dengan mobilisasi
dengan rentang kriteria hasil: - Fasilitasi aktivitas
gerak (ROM) 1. Pergerakan mobilisasi dengan alat
menurun, fisik ekstrimitas bantu
lemah (D.0054, meningkat - Fasilitasi melakukan
SDKI) (5) pergerakan, jika perlu
2. Rentang - Anjurkan melakukan
gerak ROM mobilisasi dini
meningkat (5) - Anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan

3.2 Contoh Kasus

PENYELESAIAN KASUS

35
Ny. D (47 tahun) dibawa ke IGD RS Minahasa pada tanggal 25 Februari
2019 pukul 11.30 WIB akibat kecelakaan lalu lintas saat pasien hendak pergi
menjemput ponakannya. Keluarga mengatakan pasien tertabrak truk dan kepalnya
terbentur trotoar. Saat ini, pasien mengalami penurunan kesadaran. Hasil
pengkajian terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada kepala kanan
atas ukuran 3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 3 x 4 cm + luka robek ukuran
2 x 3 cm, lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, perdarahan dari hidung. Tanda-tanda
vital, Nadi: 107 x/menit, Temp: 38 C, RR : 29 x/mnt, TD :100/70 mmHg. GCS =
E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7). Hasil CT Scan menunjukkan Sub Dural Hematoma
(SDH) dextra, Fraktur maxilla sinistra.

Tanggal masuk : 25 februari 2019


Jam masuk : 11.30 WIB
Tanggal Pengkajian : 25 februari 2019
Ruangan : IGD
No register : 1378xxx
Dx : Cedera Kepala Berat
3.2.1 Pengkajian Kasus
1. Identitas Klien
Nama : Ny. D
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : Sarjana (S1)
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Ponorogo
Penanggung jawab
Nama : Tn. H
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Hub dengan klien : Suami

36
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pada 25 Februari 2019 pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat
pasien hendak pergi menjemput ponakannya. Keluarga mengatakan
pasien tertabrak truk dan kepalnya terbentur trotoar. Saat ini, pasien
mengalami penurunan kesadaran. Pasien kemudian dibawa ke IGD pada
tanggal 25 februari 2019 pukul 11.30 WIB. Pasien. Terdapat perdarahan
aktif telinga kanan, hematoma pada alis kiri ukuran 3 x 4 cm + luka
robek ukuran 2 x 3 cm, lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, perdarahan
dari hidung.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Penyakit yang pernah dialami: Klien tidak pernah mengalami penyakit
yang berat, hanya flu dan demam biasa. Riwayat MRS (-), Riwayat DM
(-), sakit jantung (-), asma (-), hipertensi (-)
d. Alergi : Riwayat alergi terhadap makanan, obat dan benda lain (-)
e. Kebiasaan: Kebiasaan merokok (-), minum kopi (+), minum alkohol (-)
f. Primary survey
1. Airway : terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir, ada
suara nafas tambahan (gurgling) seperti orang berkumur
2. Breathing
Look : adanya penggunaan otot bantu pernafasan, gerakan dada
simetris
Listen : terdengar bunyi nafas tambahan (gurgling)
Feel : hembusan nafas tidak begitu terasa
3. Circulation : Akral dingin,basah, kulit pucat,terdapat perdarahan di
telinga, hidung, mulut, CRT > 3 detik, terdapat sianosi di kuku
4. Disability :
A (Allert) : klien tidak sadar
V (verbal) : ketika dipanggil klien tidak berespons, hanya merintih

37
P (pain) : klien masih berespons terhadap rangsang nyeri yang
diberikan
U (unresponsive) : klien masih dalam keadaan responsive
g. Exposure : Terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada
kepala kanan atas ukuran 3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 3 x
4 cm + luka robek ukuran 2 x 3 cm, lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm,
perdarahan dari hidung.
h. Secondary survey
Kesadaran : Sopor
KU : Jelek
GCS :7
TTV : Nadi: 104 x/menit, Temp: 380C, RR: 29 x/mnt, TD: 100/60
mmHg. GCS = E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7)
i. Pemeriksaan fisik
1. B1 (breathing)
RR 29x/menit, bunyi nafas tambahan (gurgling) seperti orang
berkumur, penggunaan otot bantu nafas.
2. B2 (blood)
Pasien tampak pucat, Terdapat perdarahan aktif telinga kanan,
hematoma pada kepala kanan atas ukuran 3 x 3 cm, hematoma pada
alis kiri ukuran 3 x 4 cm + luka robek ukuran 2 x 3 cm, lecet pada
pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, perdarahan dari hidung. Akral dingin, kulit
pucat,terdapat perdarahan di telinga, hidung, mulut, CRT > 3 detik,
TD 100/60 mmHg, N 104x/menit
3. B3 (Brain)
GCS = E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7) dan kesadaran sopor
4. B4 (Bladder)
Perut simetris, tidak ada jejas, tidak terdapat nyeri tekan kandung
kemih, terpasang kateter, warna urin kuning
5. B5 (Bowel)
Bentuk simetris, tidak terdapat jejas, bising usus normal, turgor kulit
elastis, tidak ada nyeri tekan, perkusi timpani (redup pada organ)
6. B6 (Bone)

38
Pergerakan terbatas karena mengalami penurunan kesadaran
j. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
1 Haemoglobin 9,8 12,1-15,1 gr/dl
2. Hematokrit 35 40-50%
3 Leukosit 21.200 4000-11000/mm3
4 Trombosit 195000 150.000-400.000/mm3
2. Pemeriksaan CT- Scan
Sub Dural Hematoma (SDH) dextra, Fraktur maxilla sinistra
3. Terapi pengobatan
 Propofol 25-50mg/jam IV
 Fentanyl 50µg/jam IV
 Dexketoprofen 3x50mg /24jam IV
 Omeprazol 2x40mg /24jam IV
 Odancetron 3x4mg/ 24jam IV
 Phenitoin 3x100mg/24jam IV
 Ringerfundin 1500ml/24jam IV
 NaCl 0,9% 500ml/24jam IV
 Manitol 4x100ml/24jam IV
 Antibiotik cefttazidim 1-6gram/24jam, dalam 2-3 dosis
terbagi
 Nimodipin 1mL/jam
 Citicholin 100mg/24 jam IV
 Kateter
 Suction

ANALISA DATA
MASALAH
NO. DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN

39
1. DS : Tidak dapat Penurunan kesadaran Bersihan jalan
dikaji napas tidak efektif
DO :
Penurunan kemampuan
- Terdapat batuk
sumbatan darah
dan lendir Akumulasi mukus
- Bunyi nafas
tambahan
(gurgling)
- Frek nafas : >
Batuk tidak efektif
29x/mnt
- Nafas tidak
teratur. Bersihan jalan napas
tidak efektif
2. DS: Tidak dapat Trauma kepala Risiko perfusi
dikaji serebral tidak
efektif
D O:
Kerusakan pada tulang
- Tingkat kesadaran tengkorak
sopor
- GCS 7(E
Perdarahan
2,M3,V2)
- Akral dingin,
basah, pucat Kompensasi tubuh:
vasodilatasi
- CRT > 3 detik
- RR 29x/menit
Aliran darah ke otak
- CT scan: Sub
menutun
Dural Hematoma
(SDH) tipis dextra,
Fraktur maxilla
sinistra Hipoksia jaringan

- Febris 380C
- N 107x/menit Risiko perfusi
serebral tidak efektif

40
3. DS : Tidak dapat Cedera kepala Pola napas tidak
dikaji efektif
DO : Perdarahan, hematoma
- perdarahan dari
hidung Penekanan sistem saraf
- Kesadaran : pernapasan
Sopor
- KU : Perubahan pola napas
Jelek
- GCS : 7 RR meningkat,
GCS = E: 2 V: 2 hiperpneu,
M: 3 (GCS = 7) hiperventilasi
- TTV :
Nadi: 107
x/menit, Temp: Pola napas tidak
380C, RR: 29 efektif
x/mnt, TD:
100/70 mmHg.
- bunyi nafas
tambahan
(gurgling)
seperti orang
berkumur
- penggunaan otot
bantu nafas

3.2.2 Diagnosa Keperawatan Kasus


1. Bersihan jalan nafas tidakefektif (00031) b.d kerusakan neuromuskular
(cedera pusat pernapasan di otak)
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral (00201) b.d edema
serebral, peningkatan TIK

41
3. Ketidak efektifan pola napas (00032) b.d hiperventilasi

3.2.3 Intervensi Keperawatan Kasus


Diagnosa keperawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neuromuskular (cedera
pusat pernapasan di otak)

NOC NIC RASIONAL

Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas Manajemen jalan nafas (3140)


tindakan keperawatan (3140)
 Posisi pasien yang tepat dapat
selama 3 X 24 jan
 Pertahankan kepala memaksimalkan ventilasi
diharapkan jalan nafas
dan leher tetap posisi  Jalan nafas terbuka supaya
kembali efektif dengan
datar atau tengah oksigen dapat masuk
kriteria hasil :
(posisi supinasi)  Penghisapan lender bertujuan
Status Pernafasan  Pastikan jalan nafas mempermudah masuknya
(0415) tetap terbuka oksigen melalui jalan napas
 Pemasangan guedele klien
 Frekuensi
dan lakukan  Untuk mengetahui adanya
pernafasan
penghisapan lendir perubahan tanda vital
normal 14 -20
 Observasi fungsi,  Untuk mengetahui adanya
kali/menit
pernafasan, catat kelainan pergerakan dan bunyi
 Irama
frekuensi pernafasan, tambahan
Pernafasan
dispnea atau  Untuk mengetahui perubahan
normal
perubahan tanda- nilai GCS
 Kedalaman
tanda vital
inspirasi normal
 Evaluasi pergerakan
 Kepatenan jalan
dinding dada dan
nafas normal
auskultasi bunyinya.
 Tidak ada suara
 Evaluasi nilai GCS
nafas tambahan
klien
Kepatenan jalan napas
(0410)

42
 Tidak
menggunakan
otot bantu nafas
 Tidak sianosis
 Secret dan
lendir berkurang
 CRT < 3 detik

Diagnosa keperawatan: Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral &
peningkatan TIK

NOC NIC RASIONAL

Setelah dilakukan Manajemen edema serebral Manajemen edema serebral (2540)


tindakan keperawatan (2540)
 Agar dapat diketahui secara
selama 3 X 24 jam
 Monitor status dini apabila ada tanda-tanda
diharapkan risiko
neurologi dengan peningkatan TIK sehingga
ketidakefektikan perfusi
ketat dan bandingkan dapat segera dilakukan
jaringan cerebral dapat
dengan nilai normal tindakan
teratasi dengan kriteria
 Monitor tanda-tanda  Untuk mendeteksi secara dini
hasil :
vital tanda-tanda peningkatan TIK,
Perfusi Jaringan:  Posisikan tinggi misalnya napas yang tidak
Serebral (0406) kepala tempat tidur teratur menunjukkan adanya
30 derajat atau lebih gangguan serebral
 Tekanan darah
 Untuk meningkatkan dan
sistolik normal
memperlancar aliran balik
 Tekanan darah Monitor Tekanan Intra
vena kepala sehingga
diastolic normal Kranial (TIK) (2590)
mencegah penekanan pada
 Tidak ada
 Periksa pasien terkait saraf medulla sinalis yang
penurunan
ada tidaknya gejala menambah TIK
kaku kuduk

43
tingkat  sesuaikan kepala Monitor Tekanan Intra Kranial (TIK)
kesadaran tempat tidur untuk (2590)
 Suhu tubuh mengoptimakan
 Untuk memeriksa rangsang
normal perfusi serebral
meningeal
 monitor intake dan
 Posisi yang disarankan 15-30
output
Status neurologi (0909) derajat untuk menurunkan
TIK
 Tekanan
 Untuk mencgah kelebihan
intracranial
cairan yang dapat menambah
tidak terganggu
edema serebri sehingga terjadi
 Kesadaran tidak
peningkatan TIK
terganggu
 Tidak ada
kejang

Diagnosa keperawatan: Ketidak efektifan pola napas (00032) b.d hiperventilasi

NOC NIC RASIONAL

Setelah dilakukan Terapi Oksigen (3320) Terapi Oksigen (3320)


tindakan keperawatan
 Bersihkan mulut,  Untuk melancarkan jalan
selama 3 X 24 jam
hidung, dan sekresi nafas
diharapkan
trakea dengan tepat  Membebaskan jalan napas
ketidakefektikan pola
 Pertahankan untuk menjamin jalan
napas pada klien dapat
kepatenan jalan masuknya udara ke paru
teratasi dengan kriteria
napas secara normal sehingga
hasil :
 Berikan oksigen menjamin kecukupan
Status Pernafasan: tambahan seperti oksigenase tubuh
Ventilasi (0403) yang diperintahkan  Agar kebutuhan oksigen
dalam tubuh terpenuhi

44
 Frekuensi Monitor pernapasan (3350) Monitor pernapasan (3350)
pernapasan
 Monitor kecepatan,  Untuk memantau pernapasan
normal 14 -20
irama, kedalaman klien
kali/menit
dan kesulitan  Jika terdapat suara tambahan,
 Irama nafas
bernafas mengindikasikan bahwa
normal
 Monitor suara nafas kondisi paru tidak normal
 Tidak ada
tambahan seperti  Untuk memantau pola napas
penggunaan otot
ngorok atau mengi klien
bantu nafas
 Monitor pola napas (
 Tidak ada suara
misalnya bradipneu,
nafas tambahan
takipneu, kusmaul,
dll)
Status Pernafasan:
Pertukaran Gas (0402)

 Saturasi oksigen
normal
 Tidak ada
sianosis
 Tidak ada
gangguan
kesadaran
 Tidak ada
penurunan
tingkat
kesadaran
 Suhu tubuh
normal

45
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti
defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya.
Menurut Tarwoto, dkk (2007) trauma kepala dapat disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olahraga.
trauma kepala dapat terjadi benturan langsung/tanpa benturan langsung pada
kepala yang dapat di bedakan beberapa macam kekuatan yakni kompresi,
aselerasi, dan deselerasi. Manifestasi klinis trauma kepala berbeda tergantung
pada berat atau ringannya trauma kepala yang dialami. Namun, manifestasi
klinis yang digunakan untuk mendiagnosa trauma kepala antara lain adanya
battle sign, hemotipanum, periorbital echymosis, rhinorrhoe, dan otorrhoe.
Berbeda dengan trauma kepala, Myastenia gravis merupakan gangguan
yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya
dibawah kesadaran seseorang (volunteer). Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot
volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and
Suddarth, 2002). Kelainan primer pada Myastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara
unsur saraf dan unsur otot akibat reaksi autoimun. Gangguan tersebut
kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan obat-obatan
tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan
darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide

46
(digunakan untuk mengobati kelainan ritme jantung). Neonatal myasthenia
terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami myasthenia
gravis.

Cedera kepala diklasifikasikan melalui dua cara, yaitu cedera primer


dan cedera sekunder. Trauma kepala sendiri diklasifikasikan berdasarkan nilai
GCS klien, dimana 13-15 adalah ringan, 9-12 adalah sedang, dan 3-8 adalah
berat. Trauma kepala memiliki 2 tipe, yaitu tipe terbuka dimana benturan
menyebabkan tulang tengkorak menusuk otak, dan tipe tertutup dimana terjadi
karena pendarahan kecil pada otak atau benturan tidak menyebabkan tulang
tengkorak patah. Komplikasi yang terjadi saat terjadi trauma kepala antara lain:
edema serebral, defisit neurologik dan psikologik, peningkatan TIK, infeksi
sistemik, dan sebagainya. Untuk memastikan adanya trauma kepala,
pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan, yaitu: MRI, CT Scan, Agiografi
serebral, EEG, Rontgent, GDA, pungsi lumbar, dan sebagainya. Klien dengan
trauma kepala diberikan penatalaksaan medis sesuai dengan GCS dan beratnya
trauma kepala yang dialami. Sedangkan, penatalaksaan medikamentosa
diberikan dengan cara pemberian cairan IV, tindakan hiperventilasi, pemberia
manitol, dan sebagainya.
Gejala – gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus,
termasuk didalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata
yang biasa disebut ptosis, kabur atau penglihatan ganda (diplopia) oleh karena
kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata, ketidakseimbangan
atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada ekspresi wajah,
kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung
jika mencoba menelan (otot-otot palatum) dan bila pasien meminum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya, menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (disartria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung, nafas pendek, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai
bawah dan leher. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Myasthenia Gravis
antara lain krisis miastenik dan krisis kolinergik. Pemeriksaan diagnostik untuk

47
Myasthenia Gravis antara lain: lumbar puncture, elektromiografi, darah
lengkap, rontgent, dan sebagainya.

4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis diharapkan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah
di atas dengan sumber–sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Setyo Budi, S. N., & Ach. Dafir Firdaus, M. K. (n.d.). ASUHAN
KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN CEDERA KEPALA DI
RUANG 12 ICU RSUD Dr. SAIFUL ANWAR KOTA MALANG.

Buku ajar keperawatan pediatrik, volume 1. Jakarta : EGC.

48
CederaKepalaTraumatik. {disertasi}. UniversitasPadjajaran. Bandung

Ginsberg, Lionel. 2008.

Irawan, M., Setyo, H., & Dewi, M. R. (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan


Trauma Kepala . Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Laksono, E. D. (n.d.). ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH


GANGGUAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL PADA PASIEN
CEDERA DI RSU ANWAR MEDIKA KRIAN-SIDOARJO. Laporan
Kasus, Program Studi DIII Keperawatan Akademi, Keperawatan Bina
Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto, 2018.

Lecture Notes: Neurology eight edition. Jakarta:Erlangga Retnaningsih. 2008.


Omangpramusti. (n.d.). askep cedera kepala. Retrieved february 11, 2020, from
SCRIBD: https://id.scribd.com/doc/190003302/askep-cedera-kepala-docx

Sunaryo B,Wahyu, Bambang Suryono, dan Siti Chasnak Saleh.2015.


penatalaksanaa Perioperatif Cedera kepala Traumatik Berat dengan Tanda
Cushing. Jurnal neoro Anastesi Indonesia4 (1) halaman 34-42.

Wong, D. L., Eaton, M. H., Wilson, D., Winkelstein, M. L., Schwartz, P.(2009).

49

Anda mungkin juga menyukai