Anda di halaman 1dari 31

SMALL GROUP DISCUSSION (SGD)

KEPERAWATAN KRITIS

“KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PADA PASIEN


KRITIS”

KELOMPOK 4

ASTIN TH. GENAKAMA 131711123004

ALBINA JENITA 131711123005

RIZAL ACHMAD NURDIYANTO 131711123043

AZIZ NASHIRUDDIN HABIBIE 131711123045

FITRIANA NUR ROCHMI 131711123046

RICHA KUMALASARI 131711123064

VINDA KUSWANA MURTI 131711123068

UNIVERSITAS AIRLANGGA

PRODI PENDIDIKAN NERS

2018
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb


Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik dan dalam waktu yang relatif singkat.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis .
dalam makalah ini kami membahas tentang pemenuhan kebutuhan psikososial dan
kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat di ruangan ICU. selain itu juga makalah ini
membahas tentang bagaimana peran perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien tersebut.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan yang mungkin kurang sesuai dengan keinginan pembaca. Olehnya
itu, penulis sangat terbuka untuk menerima semua saran dan kritikan yang dapat membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Dan juga bertambahnya pengawasan dan wawasan penulis
dalam pembuatan makalah berikutnya.

Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar ..........................................................................................................................
Daftar Isi ......................................................................................................................................

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................................
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep Kebutuhan Psikososial ..........................................................................................
2.1 1 Pengertian ...................................................................................................................
2.1.3 Masalah Psikososial ...............................................................................................
2.1.3 Stres Dan Kecemasan Pasien Icu ................................................................................
2.1.4 Solusi Untuk Mengatasi Masalah Psikososial Di Icu ..................................................
2.2 Konsep Spiritual ..................................................................................................................

2.2.1 Pengertian ...................................................................................................................

2.2.2 Karakteristik Spiritual ................................................................................................

2.2.3 Fungsi Spiritual ..........................................................................................................

2.2.4 Proses Keperawatan Dan Pemenuhan Spiritual .........................................................

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi ......................................................................................

2.3 Komunikasi Terapeutik ......................................................................................................

2.3.1 Defenisi ......................................................................................................................

2.3.2 Teknik Komunikasi Terapeutik ..................................................................................

2.3.3 Kendala Dalam Komunikasi ......................................................................................

2.3.4 Dimensi Hubungan .....................................................................................................

2.3.5 Tahap Komunikasi .....................................................................................................

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................

3.2 Saran .....................................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemenuhan kebutuhan psikososial dan spiritual dalam merawat pasien di ICU
sangat diperlukan. Karena dalam dunia Keperawatan memandang manusia merupakan
makhluk yang unik dan kompleks yang terdiri atas berbagai dimensi. Dimensi yang
komprehensif pada manusia itu meliputi dimensi biologis (fisik), psikologis, sosial,
kultural dan spiritual. Sehingga dalam melakukan hubungan profesionalisme perawat
klien sepatutnya dilakukan secara keseluruhan tanpa melupakan bagian-bagian yang lain
(Barbara, 2008). Keperawatan sebagai suatu profesi membutuhkan pendidikan yang
berkesinambungan bagi anggotanya, memiliki cabang pengetahuan termasuk
keterampilan, kemampuan dan norma-norma, menyediakan layanan spesifik, memiliki
kewenangan dalam pengambilan keputusan dan memiliki kode etik dalam prakteknya.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional memiliki kesempatan yang paling
besar untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien
untuk memenuhi kebutuhan dasar yang holistik yaitu bio-psikososial dan spiritual (Potter
& Perry, 2009).

Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan ruangan khusus untuk merawat
pasien yang dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan yang penuh
stress tidak hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi juga bagi tenaga kesehatan yang
bekerja di ruangan tersebut (Jastremski, 2000). Karena itu bagi perawat dan tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja di ruangan ICU perlu memahami tentang stressor
(penyebab stress) di ruangan ini dan juga tentang bagaimana mengatasi stress tersebut
serta harus mengetahui cara mengatasi distres spiritual. Ketika merawat pasien kritis
perawat dituntut untuk secara seimbang memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya
maupun pasien dan keluarganya serta kebutuhan spiritualnya.
Penelitian oleh Dyson (1996) dan Dyson (1999) menemukan bahwa pasien
yang dirawat di ICU mengalami ICU psychosis dengan gejala fatigue, distractibility,
confusion (bingung), disorientasi, kesadaran berkabut, inkoheren, cemas, halusinasi dan
delusi. Keadaan ICU psychosis ini disebabkan oleh ketidak mampuan perawat melakukan
komunikasi yang efektif dengan pasien dan kesulitan perawat dalam membangun
hubungan yang therapeutik dengan pasiennya, sehingga menyebabkan kecemasan bagi
pasien, meningkatkan ketakutannya sampai mengalami psikosa. Berdasarkan survei
pendahuluan terdapat 22 perawat pelaksana di ruang ICU dan ICCU RSUD Dr.
Soedirman Kebumen. Dari jumlah perawat 4 tersebut peneliti menemukan bahwa
pemberian asuhan keperawatan khususnya pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien
masih belum memuaskan. Adapun data hasil wawancara dengan 5 perawat ICU dan
ICCU RSUD Dr. Soedirman Kebumen, perawat mengatakan pemenuhan kebutuhan
spiritual pada pasien yang bisa dilakukan di ruang ICU dan ICCU yaitu mengingatkan
waktu shalat, berdoa, memotivasi pasien untuk berdzikir ketika pasien mengeluh
penyakitnya. Selebihnya pemenuhan kebutuhan spiritual dilakukan oleh bimbingan
rohani. Namun, berdasarkan wawancara dengan 2 dari 4 pasien dewasa di ruang ICU dan
ICCU mengatakan bahwa perawat tidak selalu mengingatkan waktu shalat ataupun
mengajarkan doa kepada pasien. Sebagian perawat hanya memberikan pemenuhan
kebutuhan spiritual dengan cara mengajarkan pasien untuk istigfar dan berzikir saja
(Atiek, 2015).
Banyaknya tenaga profesi yang keluar masuk dan melakukan pengkajian atau
intervensi dan seringnya mereka mendiskusikan tentang penyakit pasien bisa
menyebabkan stress bagi pasien yang sedang dirawat. Pasien mungkin akan merasa
cemas, semakin takut dan bahkan merasa putus asa terhadap penyakitnya (Jastremski,
2000).

Hal lain yang merupakan stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah
kurangnya kontak dengan keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan
kehadiran keluarganya dalam keadaan mereka yang kritis seperti itu (Davis-
Martin,1994). Keluarga membutuhkan informasi tentang perkembangan pasien. Pada
umumnya ICU masih membatasi kunjungan keluarga (Jastremski, 2000). Sebuah
penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif tentang menemukan
3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami stress yang
berkaitan dengan tubuh mereka, dengan ruangan ICU serta relationship dengan orang
lain. Stres yang berkaitan dengan tubuh antara lain reaksi stres tubuh, menurunnya
kontrol terhadap diri sendiri, reaksi emosi berkaitan dengan prosedur tindakan, dan loss
of meaning (kehilangan makna hidup). Stres yang berkaitan dengan ruangan antara lain
berkaitan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di ruangan ICU dan yang berkaitan
dengan relationship yaitu perpisahan dengan orang yang penting dalam hidupnya.

Kebutuhan akan aspek spiritual terutama sangat penting selama periode sakit,
karena ketika sakit, energi seseorang akan berkurang dan spiritual orang tersebut akan
terpengaruhi, oleh karena itu kebutuhan spiritual pasien perlu dipenuhi (Potter & Perry,
2005). Penelitian yang dilakukan oleh Hodge et al (2011) tentang kebutuhan spiritual
pasien, dimana pasien mengungkapkan bahwa kebutuhan spiritual mereka adalah
kebutuhan akan makna, tujuan dan harapan dalam hidup, hubungannya dengan Tuhan,
praktek spiritual, kewajiban agama, hubungan dengan sesama dan hubungan dengan
perawat. Memperhatikan besarnya peran aspek spiritual bagi kesehatan maka pemberian
pelayanan spiritual merupakan hal yang penting yang perlu dilakukan oleh perawat.
Perawat harus berupaya membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien sebagai bagian
dari kebutuhan menyeluruh pasien, antara lain dengan memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan spiritual pasien yaitu perawat harus mampu mendapatkan informasi dari
pasien tentang spiritual dan prakteknya yang dapat disediakan di Rumah Sakit,
membantu pasien untuk mengungkapkan persepsinya mengenai makna dalam keadaan
sakit, menerapkan prinsip membantu pasien melaksanakan konsep - konsep spiritual
dalam suatu konteks keperawatan. Hal ini dapat terlaksana jika perawat memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami aspek spiritual pasien, dan
bagaimana keyakinan spiritual dapat mempengaruhi kehidupan setiap individu (Hamid,
2008; Potter & Perry, 2005). Menurut American Psychologists Association (1992 dalam
Hawari, 2008) bahwa spiritual dapat meningkatkan koping individu ketika sakit dan
mempercepat proses penyembuhan selain terapi medis yang diberikan.
Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai
masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya dan distres spiritual. Perawat
tidak boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan dalam
mengatasi masalah psikososial dan distres spiritual pasien bisa berdampak pada semakin
memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang
semakin berat dan menolak pengobatan.
Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan
tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial
pasien, keluarga dan petugas kesehatan serta distres spiritual. Dalam keperawatan,
keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentang yang dinamis dari kehidupan
seseorang. Keadaaan penyakit kritis sangat besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari
rentang sehat sakit jiwa karena dalam keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang
mengalami stress yang berat dimana pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan
kemandirian, kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya.
Semua keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan mereka. Untuk itu maka
kelomopk kami akan membahas tentang kebutuhan psikososial dan spiritual pasien dalam
keadaan kritis.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ;


Bagaimana pemenuhan kebutuhan psikososial dan spiritual pasien dalam keadan kritis di
ruang ICU.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang kebutuhan psikososial dan spiritual pasien
dalam keadan kritis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tentang konsep dasar kebutuhan psikososial
2. Mengetahui tentang konsep kebutuhan spiritual
3. Mengetahui tentang komunikasi terapautik pada pasien dalam keadaan kritis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kebutuhan Psikososial


2.1.1 Pengertian

Psikologi kesehatan merupakan ilmu cabang psikologi yang memusatkan


perhatian kepada dunia kesehatan baik kesehatan individu maupun kesehatan
masyarakat. Kesehatan individu ini meliputi kesehatan fisik atau jasmani atau
psikis individu seperti pikiran dan emosinya ( Agus,2014).

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan
yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi satu sama lain (Chaplin, 2011)

2.1.2 Masalah psikososial


Pasien dengan penyakit kritis minimal harus berhadapan dengan salah satu
situasi (Nurhadi, 2014) seperti :

a) Ancaman kematian
b) Ancaman bisa bertahan hidup namun dengan masalah sisa atau
keterbatasan akibat penyakit
c) Nyeri ketidaknyamanan
d) Kurang tidur
e) Kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan diri secara verbal
karena terintubasi
f) Keterpisahan dengan keluarga/orang yang dicintai
g) Kehilangan autonomi/kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari
h) Kehilangan kontrol terhadap lingkungan
i) Kehilangan peran yang biasa dijalankan
j) Kehilangan harga diri
k) Kecemasan, bosan, frustasi
l) pikiran-pikiran yang negatif dan distres spiritual.
2.1.3 Stres dan kecemasan pasien ICU
Menurut Kep MenKes RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU), yang dimaksud
dengan ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri atau sebuah
instalasi di bawah direktur pelayanan yang mempunyai perlengkapan dan staf
yang khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien
yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa
atau potensial mengancam nyawa. Peralatan yang digunakan di ruangan ICU
sangat komplek dan canggih. Secara garis besar alat - alat dalam ruangan ICU
terdiri dari dua kelompok yaitu alat-alat pemantau (monitor) seperti: ECG, EEG,
monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output,
oksimeter nadi, monitor faal paru, bedside dan monitor sentral, analiser
karbondioksida, fungsi serebral/monitor, monitor temperatur, analisa kimia darah,
analisa gas dan elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray machine,
Image intensifier), alat-alat respirasi (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat
intubasi (airway control equipment), dan alat-alat pembantu termasuk alat bantu
nafas (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway control
equipment), resusitator otomatik), hemodialisa dan berbagai alat lainnya termasuk
defebrilator.
Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini
dirancang untuk merawat pasien dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi
dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan dan ruangan yang dibutuhkan
oleh pasien – pasien yang dirawat di ruangan tersebut, maka ruangan ICU
menjadi semakin komplek yang menyebabkan ruangan ini penuh stress
(Jastremski, 2000). Peralatan yang begitu beragam dan kompleks ditambah
dengan ketergantungan pasien yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter,
dimana setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat
untuk mendapat tindakan yang tepat dan cepat, menyebabkan adanya keterbatasan
ruang gerak pelayanan termasuk kunjungan keluarga. Pembatasan kunjungan
keluarga ini juga sebenarnya dilematis. Disatu sisi kunjungan keluarga sangat
dibutuhkan oleh pasien sebagai dukungan emosional, disisi lain kunjungan
keluarga bisa mempengaruhi pekerjaan perawat dan dokter yang harus bekerja
secara serius menangani pasiennya.
Hingga saat ini sudah banyak yang membicarakan bahwa ruang ICU
merupakan tempat atau ruangan yang penuh stres (stressful place) tidak hanya
bagi pasien yang dirawat tetapi juga bagi keluarga dan perawat ICU berkaitan
dengan berbagai macam prosedur yang dilakukan di ruang ICU, peralatan yang
ada di ruang ICU, keadaan penyakit, suasana lingkungan di ICU dan kecemasan
akan ancaman kematian (Jastremski, 2000).
Sebuah penelitian tentang persepsi pasien dan perawat tentang stressor di
ICU yang dilakukan oleh Cornock (1998) di Amerika serikat dengan
menggunakan sample 71 perawat dan 71 pasien dengan menggunakan the ICU
Environmental Stressor Scale menemukan bahwa baik perawat maupun pasien
mempersepsikan ruang ICU sebagai ruangan yang stressfull (penuh stres).
Beberapa faktor lingkungan ICU yang menjadi stressor menurut pasien adalah
adanya slang dihidung dan dimulut, tempat tidur yang tidak nyaman, keterbatasan
gerak karena banyaknya alat yang dipasang di tubuh mereka, sulit tidur, tidak
mampu berkomunikasi, mendengar pembicaraan orang (perawat dan dokter),
kurangnya kunjungan, lampu yang terang dan hidup terus menerus, kebisingan
yang tidak familiar dan tidak biasa didengarnya. Disamping hal – hal diatas,
perawat menambahkan beberapa stressor seperti alarm dari monitor, mesin -
mesin yang canggih dan asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu ruangan,
dan tidak ada privacy. Cornock (1998) menyimpulkan perlu dipikirkan bagaimana
mengatasi lingkungan ICU yang tidak bersahabat tersebut.
Penelitian lain oleh Simpson, Lee dan Cameron (1996) di Amerika dengan
102 pasien pasca operasi jantung yang masuk ICU, tentang persepsinya terhadap
faktor - faktor yang menyebabkan mereka sulit tidur menemukan bahwa nyeri dan
kesulitan mendapatkan rasa nyaman sebagai faktor utama yang menyebabkan
mereka tidak bisa tidur. Faktor lain termasuk tidak bisa melakukan ritual sebelum
tidur, suara bising, lampu yang terang, alarm, ada orang yang bicara di malam
hari, dan suara intercom.
Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif
tentang menemukan 3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat di ruang ICU
mengalami stress yang berkaitan dengan tubuh mereka, dengan ruangan ICU serta
relationship dengan orang lain. Stres yang berkaitan dengan tubuh antara lain
reaksi stres tubuh, menurunnya kontrol terhadap diri sendiri, reaksi emosi
berkaitan dengan prosedur tindakan, dan loss of meaning (kehilangan makna
hidup). Stres yang berkaitang dengan ruangan antara lain berkaitan dengan situasi
dan kondisi yang terjadi di ruangan ICU dan yang berkaitan dengan relationship
yaitu perpisahan dengan orang yang penting dalam hidupnya.
Penelitian lain oleh Dyson (1996) dan Dyson (1999) menemukan bahwa
pasien yang dirawat di ICU mengalami ICU psychosis dengan gejala fatigue,
distractibility, confusion (bingung), disorientasi, kesadaran berkabut, inkoheren,
cemas, halusinasi dan delusi. Keadaan ICU psychosis ini disebabkan oleh
ketidakmampuan perawat melakukan komunikasi yang efektif dengan pasien dan
kesulitan perawat dalam membangun hubungan yang therapeutik dengan
pasiennya, sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien, mennigkatkan
ketakutannya sampai mengalami psikosa. Lingkungan yang asing merubah
persepsi lingkungan pasien. Kesalahan persepsi ini mencetuskan misinterpretasi
terhadap lingkungan yang menimbulkan kecemasan, paranoid dan bingung yang
merupakan ciri dari psikosa.
Konsep interdisiplin juga berdampak pada pasien dan ini juga bisa menjadi
stressor tersendiri bagi pasien. Banyaknya tenaga profesi yang keluar masuk dan
melakukan pengkajian atau intervensi dan seringnya mereka mendiskusikan
tentang penyakit pasien bisa menyebabkan stress bagi pasien yang sedang
dirawat. Pasien mungkin akan merasa cemas, semakin takut dan bahkan merasa
putus asa terhadap penyakitnya (Jastremski, 2000). Hal lain yang merupakan
stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah kurangnya kontak dengan
keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan kehadiran keluarganya
dalam keadaan mereka yang kritis seperti itu (Davis-Martin,1994). Keluarga
membutuhkan informasi tentang perkembangan pasien. Pada umumnya ICU
masih membatasi kunjungan keluarga (Jastremski, 2000).

Stres didefinisikan sebagai situasi yang muncul apabila organisme


dihadapkan dengan stimulus yang menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi
fisiologis dan psikologis. Semua kadar hormon dapat terganggu oleh stres kadar
stres yang ekstrem dapat merusak jaringan manusia dan dapat mengganggu
respon adaptif.

Setiap stres yang mengancam rasa keutuhan, ketahanan, keamanan, dan


kendali dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan. Sakit adalah salah
satu bentuk stres. Penyebab umum kecemasan adalah perasaan terisolasi.
Penyebab kecemasan yang jarang terjadi adalah perasaan kesepian saat berada di
tengah kumpulan orang asing yang bersosialisasi. Dalam situasi tersebut, individu
berupaya untuk melibatkan dirinya, menjauhkan dirinya, atau menjaga jarak
dirinya secara emosional.

Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami hal-hal berikut :

a) Ancaman ketidakberdayaan
b) Kehilangan kendali
c) Merasa kehilangan fungsi dan harga diri
d) Pernah mengalami kegagalan pertahanan
e) Rasa isolasi
f) Rasa takut sekarat

2.1.4 Solusi untuk mengatasi masalah psikososial di ICU


a) Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri
Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang dirawat, seorang
perawat ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas
di ruang ICU mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang
bertugas di ruangan lain. Menurut hasil penelitian pakar ICU dari Texas
Amerika Serikat, Barr dan Bush (1998), ada 4 faktor yang dapat mendukung
perawat untuk mengatasi stressnya. Pertama adalah dukungan dari teman,
atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU akan merasa berarti kalau
mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya. Pujian - pujian kecil setiap
hari bisa menyemangati teman atau kolega. Seperti misalnya “wah, kamu
melakukannya dengan baik hari ini”. Atau “tadi kamu berkomunikasi dengan
baik dengan keluarga”. Dengan saling mendukung tentunya sesama perawat
ICU akan merasa tidak sungkan untuk saling meminta dan menerima advice
(Barr & Bush,1998). Kedua adalah adanya perawat yang menjadi model.
Seorang perawat senior tentu bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang
role model mempunyai sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan pasiennya.
Mereka biasanya mempunyai sikap kind, emphatic and thoughtful tentang
pasien dan orang lain disekitarnya. Ketika dia punya masalah dia tidak
memperlihatkannya kepada temanya dan juga pasiennya. Ketiga adalah melihat
perkembangan pasien yang positif dan interaksi yang positif dengan pasien dan
keluarga. Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya keluarga lebih sering
berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan pasien. Mengizinkan
seorang istri untuk melakukan perawatan mulut bagi suaminya merupakan suatu
contoh bagaimana caranya melibatkan keluarga dalam merawat pasien dan
memberikan waktu mereka untuk bersama yang membuat mereka merasa
spesial. Mengizinkan keluarga untuk menyentuh pasien dan bicara singkat
dengan pasien. Menjelaskan keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah
sakit kepada keluarga. Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri
yang pantas sesuai dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka
performance mereka menjadi menurun.
b) Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis
Setelah perawat mampu mengatasi stressnya sendiri, baru dia bisa
berupaya mengatasi stress pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa
tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat untuk menurunkan stress pada
pasien di ruang ICU :
1) Modifikasi lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU
sebaiknya senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun
menggunakan banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta
meningkatkan lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery
(penyembuhan pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang
berfokus pada pasien memungkinkan untuk mempromosikan the universal
room. Ketersediaan alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan
keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien daripada pasien yg
datang ke tempat pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work statiun
kecil (decentralization of nursing activities) untuk tiap pasien akan
mengurangi stress bagi pasien (Jastremski, 2000). Peralatan yang super
canggih seperti remote monitoring untuk semua pasien melalui monitor
pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat TV. Jadi
perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat pasien
Bed 2 (Jastremski, 2000).
Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk
efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan yang
menyembuhkan (healing environtment) juga perlu diciptakan. Fleksibilitas
dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa dimaksimalkan
ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan di ruangan pasien.
Thermostats, light switches, sound systems, window blinds dan lain-
lain harus bisa dikontrol secara terpisah untuk setiap pasien (Jastremski,
2000). Pengontrollen level suara (noise) dan promoting normal sleep
penting sebagai pengaturan fluid intake.
2) Terapi musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain
untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi
musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan
dan isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology
pasien yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat
menurunkan heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer
pada pasien AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang
digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam
(Jastremski,1998). Masing - masing pasien diberikan headset untuk
mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga akan
mengurangi stressor bagi pasien.
3) Melibatkan keluarga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien
kritis.
Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien
dan keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan
dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009)
karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2
kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang
sangat berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan
tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan internet
connection (Hamilton, 1999).
4) Komunikasi terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang
perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan
keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh Lenore &
Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat Perawat dan
tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang perhatian terhadap
masalah komunikasinya dengan pasien dan keluarganya. Berdasarkan
sistematic review yang dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999) terhadap
penelitian tentang komunikasi perawat pasien di ruang ICU di Australia
menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat kurang
meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang
komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh teman dekat penulis
ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah sakit K
tersebut sangat tidak mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika
berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian
lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan pendekatan phenomenology
juga menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa melakukan
komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat
menggunakan pendekatan person-centered care.
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular
mode of care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari
person-centred care adalah sebuah komitmen untuk menemukan
kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman
sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan
kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh pasien.
Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari sekedar hanya
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them (Hasnain, et
al., 2011; Clift, 2012).

2.2 Konsep Kebutuhan Spiritual


2.2.1 Pengertian
Istilah “spiritual” berasal dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang berarti
“meniup” atau “bernafas”. Spiritual mengacu pada bagaimana menjadi manusia
yang mencari makna melalui hubungan intrapersonal(hubungan antara diri
sendiri), interpersonal (hubungan antar orang ain dan lingkungan) dan
transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat) yaitu hubngan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi.Spiritual (spirituality) merupakan
sesuatu yang dipercayai oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan
yang lebih tinggi, (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan
terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah
dibuat (Reed, 1991 dalam Kozier dkk, 2010).
Kebutuhan spiritual adalah suatukebutuhan dasar manusia yang harus
dipenuhi. Kebutuhan spiritual mengandung arti suatu keyakinan pendekatan,
harapan dan kepercayaan pada Tuhan serta kebutuhan untuk menjalankan agama
yang dianut, kebutuhan untuk dicintai dan diampuni oleh Tuhan yang seluruhnya
dimiliki dan harus dipertahankan oleh seseorang sampai kapanpun agar
memperoleh pertolongan, ketenangan, keselamatan, kekuatan, penghiburan serta
kesembuhan (Bambang, 2010).
Kebutuhan spiritual juga bertujuan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinana dan untuk mendapatkan manfaat atau pengampunan,
mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan
spiritual sebagai bagian dari kebutuhan manusia secara utuh hanya dapat dipenuhi
apabila perawat dibekali dengan kemampuan memberikan asuhan keperawatan
dengan memperhatikan aspek spiritual sebagai bagian dari kebutuhan holirtik
pasien sebagai makhluk yang utuh dan unik (Bambang, 2010). Spritual
merupakan suatu dimensi yang berhubungan dengan menemukan arti dan tujuan
hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam
diri sendiri, mempunyai perasaan yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri,
orang lain dan lingkugan (Hamid,2008).
2.2.2 Karakteristik Spiritual

1. Hubungan dengan Tuhan


Menurut Wulan (2011), hubungan dengan Tuhan yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta dapat ditinjau dari hal agama seperti halnya dengan
melaksanakan :
a) Sembahyang
b) Berdoa
c) Meditasi
d) Melaksanakan kewajiban keagamaan, dan
e) Bersatu dengan alam.
Selain itu doa dan ritual agama dapat membangkitkan harapan dan rasa
percaya diri pada seseorang yang sedang sakit yang dapat meningkatkan
imunitas (kekebalan) tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan
(Hawari 2008).
2. Hubungan dengan diri sendiri
Menurut Wulan (2011), hubungan dengan diri sendiri dapat ditinjau
dari:
a) Pengetahuan tentang diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).
b) Sikap (percaya pada diri sendiri percaya pada kehidupan atau masa
depan, harmonis atau keselarasan diri).
3. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain yaitu:
a) Hubungan yang dapat ditinjau dari kemampuan membina hubungan
yang harmonis dengan orang lain.
b) Berbagi waktu, dan sumber secara timbal balik.
c) Kedamaian membuat individu menjadi tenang dan dapat meningkatkan
status kesehatan (Hamid, 2008).
4. Hubungan dengan alam/lingkungan
Hubungan dengan alam yaitu dengan melindungi dan mengabdikan
alam sekitar. Selain itu memahami tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan
iklim. Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya
apabila mampu merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan
keberadaanya di dunia/kehidupan, mampu mengembangkan arti penderitaan
dan menyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Selain itu
menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan
cinta kasih serta merasakan kehidupan yang terarah yang terlihat melalui
harapan, maka seseorang tidak akan mengalami kesulitan kedaruratan, karena
membina hubungan yang baik dengan Allah dan hubungan dengan manusia
(Wulan, 2011)
2.2.3 Fungsi Spiritual
Spiritual mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada individu.
Spritual berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat
stress individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini
sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika
penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya
belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek
keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual dan
merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor dkk, 1997 dlam rasmita,
2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haris (1999 dalam Hawari, 2005)
pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang
diberikan pemenuhan kebutuhan spiritual hanya membutuhkan sebesar 11 %
untuk pengobatan lebih lanjut. Menurut American Psycological Association
(1992 dalam Hawari, 2005) bahwa spiritual dapat meningkatkan kemampuan
seseorang dalam mengatasi penderitaan jika eseorang sedang sakit dan
mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Dalam hal ini
bahwa spiritual berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit. Selain
itu, spiritual dapat meningkatkan imunitas, kesejahteraan dan kemampuan
mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Young & Kooospen, 2007).
Spiritual membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap
kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan
dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti (Rasmita, 2009). Pemenuhan
kebutuhan spiritual dapat membuat individu menerima kondisinya ketika sakit
memiliki pandangan hidup positif. Pemenuhan kebutuhan spiritual memberi
kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan spiritual
memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan menjalani
hubungan dengan Tuhan, orang lain dan lingkungan. Dengan terpenuhnya
spritual, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan dan bimbingan dalam
perjalan hidupnya (Young & Kooospen, 2007).
2.2.4 Proses Keperawatan dalam Pemenuhan Spiritual
Spiritual pada diri seseorang merupakan suatu kekuatan yang menyangkut
seseorang, intisari dari makhluk hidup yang meresap kedalam seluruh kehidupan,
serta berhubungn dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam. Agama
dipahami sebagai kepercayaan yang terorganisasi, tersusun, acuan kepercayaan,
dan praktek ibadah yang menjadi karakteristik spiritual seseorang (Cahapbell,
2013).
Proses keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien sebagai
berikut :
1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Azizah (2011) Pada dasarnya informasi awal yang perlu
digali secara umum yaitu aplikasi agama ( partisipasi dalam kegiatan
agama), keyakinan spiritual ( mempengaruhi praktek kesehatan, persepsi
penyembuhan dan strategi koping), nilai spiritual (mempengaruhi tujuan
dan arti hidup dan kematian, kesehatan dan pemeliharaan, hubungan
dengan Tuhan sang pencipta, diri sendiri dan orang lain).Suatu
pengkajian spiritual juga dimaksudkan untuk menilai apa yang menjadi
kebutuhan pasien. Pengkajian in dapat dilakukan bila pasien mampu
berkomunikasi dengan baik pada perawat. Dalam pengkajian terdapat
data subyektif empat area yaitu konsep tentang Tuhan dengan Ketuhanan,
sumber harapan dan kekuatan, praktek agama dan ritual serta hubungan
antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan. Pada data obyektif
perawat perlu mengobservasi afek dan sikap (misalnya kesepian, marah,
depresi, cemas, apatis), prilaku klien (berdoa, membaca kitab suci,
mengeluh tidak dapat tidur, dan lain-lain), verbalisasi ( yaitu apakah
pasien menyebut Tuhan, minta dikunjungi oleh tokoh agama, ekspresi
rasa takut mati, konflik batin, arti keberadaan di dunia dan sebagainya),
hubungan interpersonal dengan lingkungan (Azizah, 2011).
Menurut Smyth (2011) pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien
atau keluarga pasien dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan
termasuk interaksi pasien dengan perawat, keluarga dengan pengunjung
lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan tekanan emosional.
Hasil penelitian Leeuwen et al (2006) menyimpulkan bahwa
pengkajian spiritual pasien terbatas pada satu atau dua pertanyaan yaitu
apakah pasien merupakan bagian dari komunitas keagamaan atau apakah
apsien ingin bertemu dengan pemuka agamanya. Namun dalam beberapa
situasi perawat bertanya lebih mendalam misalnya tentang pandangan
spiritual pasien atau bagaimana pasien mengatasi suatu kondisi yang
sedang dihadapi. Pada pasien tertentu perawat mengakui bahwa
pengkajian spiritual dengan wawancara tidak perlu dilakukan, hanya
melalui oservasi saja, perawat berpikir pasien yang sekarat tidak etis
untuk dilakukan wawancara. Perawat dapat mengkaji dan memperoleh
kebutuhan spiritual pasien jika komunikasi yang baik sudah terjalin antara
perawat dan pasien, sehingga perawat dapat mendorong pasien untuk
mengungkapkan hal-hal yang terkait kebutuhan spiritual (Sartory, 2010).
2. Diagnosa keperawatan
Azizah (2011) dan O′Brien (2009) mengatakan bahwa peran perawat
dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkain dengan spiritual pasien
mengacu pada distres spiritual yaitu spiritual pain, pengasingan diri
(spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah
(spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss), putus
asa (spritual despair). Distres spiritual selanjutnya dijabarkan dengan
lebih spesifik sebagai berikut :
1) Spiritual pain
Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari
ketidaknyamanan pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien
dengan penyakit terminal atau penyakit kronis mengalami gangguan
spiritual dengan mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena
selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan
ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.
2) Pengasingan diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa
pasien merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien
dengan penyakit kronis merasa frustasi sehingga bertanya ; di mana
Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?.
3) Kecemasan (spiritual anxiety)
Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman
Tuhan, takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkah
lakunya. Beberapa budaya menyakinibahwa penyakit merupakan
suatu hukuman dari Tuhan karena kesalahan-kesalahan yang
dilakukan semasa hidupnya.
4) Rasa bersalah (spiritual guilt)
Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal
yang seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah
melakukan hal-hal yang tidak disukai Tuhan.
5) Marah (spiritual anger)
Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam,
Tuhan kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan
mengapa Tuhan mengijinkan orang yang mereka cintai menderita.
6) Kehilangan (spiritual loss)
Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari
Tuhan, takut bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan
yang kosong. Kehilangan sering diartikan dengan depresi, merasa
tidak berguna dan tidak berdaya.
7) Putus asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki
suatu hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara
umum orang-orang yang beriman sangat jarang mengalami
keputusasaan.
Diagnosa keperawatan terkait kebutuhan spiritual menurut NANDA
(2012) antara lain : a) distress spiritual yang berhubungan dengan konflik
nilai, isolasi oleh orang lain, rasa takut, terpisah dari komunitas keagamaan,
b) cemas yang berhubungan dengan ancaman kematian, perubahan status
kesehatan, c) keputus asaan yang berhubungan dengan kehilangan keyakinan
kepada Tuhan.
3. Intervensi/perencanaan keperawatan
Perawat dan klien harus menyusun kriteria hasil dan rencana intervensi
(Azizah, 2011). Pada fase rencana keperawatan, perawat membantu pasien
untuk mencapai tujuan yaitu memelihara atau memulihkan kesejahteraan
spiritual sehingga kepuasan spiritual dapat terwujud. Perencanaan
keperawatan sesuai dengan diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA
(2012) meliputi:
1) Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji
sumber- sumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan pendapat
pasien tentang hubungan spiritual dan kesehatan, memberikan privasi,
waktu dan tempat bagi pasien untuk melakukan praktek spiritual,
menjelaskan pentingnya hubungan dengan Tuhan, empati terhadap
perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka agama, meyakinkan pasien
bahwa perawat selalu mendukung pasien.
2) Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien, menjelaskan
semua prosedur dan apa yang akan dirasakan pasien selama prosedur,
mendampingi pasien untuk memberikan rasa aman dan mengurangi rasa
takut, memberikan informasi tentang penyakit pasien, melibatkan
keluarga untuk mendampingi pasien, mengajarkan dan menganjurkan
pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi, mendengarkan pasien
dengan aktif, membantu pasien mengenali situasi yang menimbulkan
kecemasan, mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, dan persepsi.
3) Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman
dalam kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal pasien,
memberikan rasa aman.
4. Implementasi keperawatan
Menurut potter & Perry (2005), implementasi pemenuhan kebutuhan
spiritual sebagai berikut:
1) Menetapkan kehadiran
Kiat ini bukan hanya melakukan prosedur dengan cara yang sangat
cepat atau berbagai informasi teknis dengan klien yang mungkin tidak
bermakna. Benner mengklarifikasi bahwa kehadiran melibatkan “ada
bersama”, klien versus “melakukan untuk” klien. Kehadiran adalah
mampu memberikan kedekatan dengan klien, secara fisik, psikologis dan
spiritual.
2) Mendukung hubungan yang menyeluruh
Inti dari hubungan yang menyeluruh ini adalah dengan menggerakkan
harapan klien.
3) Sistem dukungan
Sistem pendukung memberi mereka rasa sejahtera terbesar selama di
rumah sakit. Perawat merencanakan perawatan bersama klien dan
jaringan pendukung klien untuk meningkatkan ikatan interpersonal yang
sangat penting untuk penyembuhan. Sistem pendukung sering memberi
sumber kepercayaan yang memperbaharui jati diri spiritual klien.
Keluarga dan teman mungkin juga menjadi sumber penting dalam
melakukan ritual kebiasaan keagamaan yang dianut klien.
4) Berdoa
Tindakan berdoa adalah bentuk dedikasi diri yang memungkinkan
individu untuk bersatu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Berdoa
memberi kesempatan pada individu untuk memperbarui kepercayaan dan
keyakinan kepada Yang Maha Kuasa dalam cara yang lebih formal.
5) Mendukung ritual keagamaan
Bagi banyak klien, kemampuan untuk menelaah ritual keagamaan
adalah suatu sumber koping yang penting. Dalam menghadapi pasien
dengan penyakit yang ia derita, perawat harus memberikan ketenangan
batin, memberikan pemahaman kepada pasien bahwa pada dasarnya
setiap penyakit yang diderita mempunyai obat dan seseorang harus lebih
sadar dan iklas menjalani takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan Sang
Pencipta. Ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya sedikit
sehingga, betapapun besarnya, ia sedikit jika dibandingkan dengan
imbalan dan ganjaran yang akan diterima. Cobaan itu sedikit karena,
betapapun besarnya cobaan, ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih
besar daripada yang terjadi. Bukankah ketika menghadapi setiap bencana,
ucapan yang sering terdengar adalah “Untung hanya begitu…”? Ia yang
besar adalah sedikit karena cobaan dan ujian kegagalan menghadapi
cobaan, khususnya dalam kehidupan beragama.
Ujian yang diberikan Allah sedikit bila dibandingkan dengan potensi
yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi
yang dianugerahkan Allah itu. Ini tidak ubahnya dengan ujian pada
lembaga pendidikan. Soal-soal ujian disesuaikan dengan tingkat
pendidikan masing-masing. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin
berat ujian. Setiap yang diuji akan lulus jika ia mempersiapkan diri
dengan baik serta mengikuti tuntunan yang diajarkan.
Apakah bentuk ujian itu? Sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati
menyangkut sesuatu yang buruk atau yang hal-hal yang tidak
menyenangkan yang diduga akan terjadi, sedikit rasa lapar, yakni
keinginan meluap untuk makan karena perut kosong, tetapi tidak
menemukan makna yang dibutuhkan, serta kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Informasi Allah tentang “Soal ujian” ini adalah nikmat
besar tersendiri karena, dengan mengetahuinya, kita dapat
mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Ujian diperlukan untuk
kenaikan tingkat. Ujian itu sendiri baik. Yang buruk adalah kegagalan
menghadapinya. Memang Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam
bentuk apa ketakutan itu, di sana letak ujiannya, seperti halnya siswa atau
mahasiswa ketika diberi tahu mata pelajaran atau kuliah yang akan
diujikan. Takut menghadapi ujian adalah pintu gerbang kegagalan,
demikian juga ujian – ujian Ilahi. Menghadapi sesuatu yang ditakuti
adalah membentengi diri dari gangguannya. Biarkan dia datang kapan
saja, tetapi ketika itu anda telah siap menjawab atau menghadapinya.
Rasa lapar pun demikian. Janganlah khawatir makanan tak mencukupi
jika anda sedang diuji dalam bentuk rasa lapar, Allah telah memberi
potensi. Kalau perut kosong dari makanan, masih ada yang lain dalam
tubuh manusia yang dapat melanjutkan hidupnya. Ia memiliki lemak,
daging, bahkan kalau ini pun telah habis, tubuhnya akan mengambil dari
tulangnya bahkan dia akan tetap dapat hidup walaupun jantungnya tidak
berdebar lagi, selama otaknya masih berfungsi, kematian dalam
pandangan para dokter bukanlah dengan terhentinya denyut jantung,
tetapi dengan terhentinya fungsi otak.
Lapar, bukan buruk. Dengan rasa lapar, semua makanan menjadi
lezat dimakan. Dalam keadaan letih, dengan kasus bahkan tanpa kasus
pun tidur menjadi nyenyak. Ini tentu jika manusia mau menyadarinya.
Allah menyampaikan ujian ini agar manusia siap menghadapi sehingga
dia membiasakan diri, tidak makan kecuali jika ia lapar dan bila makan
tidak terlampau kenyang. Manusia harus berjuang karena hidup adalah
pergulatan antara kebenaran dan kebatilan, pertarungan antara kebaikan
dan keburukan. Manusia dalam hidupnya pasti menghadapi setan dan
pengikut-ikutnya. Allah memerintahkan untuk berjuang menghadapi
mereka. Tentu saja, dalam pergulatan dan pertarungan pasti ada korban,
pihak yang benar atau yang salah. Aneka macam korban itu bisa harta,
jiwa dan buah - buahan, baik buah-buahan dalam artian sebenarnya
maupun buah-buahan dalam artian buah dari apa yang dicita-citakan.
Tetapi, korban itu sedikit, bahkan itulah yang menjadi bahan bakar
memperlancar jalannya kehidupan serta mempercepat pencapaian tujuan.
Jika demikian, jangan mengerutu menghadapi ujian, bersabarlah dan
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
5. Evaluasi
Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat
harus melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah
tercapai. Hal ini sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat
subjektif dan lebih kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari
implementasi yang telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik
untuk mengevaluasi spiritual pasien (Sianturi, 2014).
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual

Aspek spiritual sangat berperan penting bagi kesehatan, kesejahteraan, dan


kualitas hidup manusia. Dengan demikian, maka pemberian spiritual merupakan
hal yang harus dilakukan perawat agar dapat membantu memelihara dan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien. Namun perawat selalu merasa
kesulitan dalam memberikan spiritual pasien (Sianturi, 2014).
Menurut Mc Sherry (dalam Sianturi, 2014) faktor-faktor yang mempengarui
perawat dalam memberikan spiritual dibagi dua yaitu faktor intrinsik terdiri dari
ketidakmampuan perawat berkomunikasi, ambiqu, kurangnya pengetahuan
tentang spiritual, hal yang bersifat pribadi, dan takut melakukan kesalahan, faktor
ekstrinsik terdiri dari organisasi dan manajemen, hambatan ekonomi berupa
kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah pendidikan perawat. Faktor
intrinsik dan ekstrinsik dijelaskan sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi.
Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif dapat mengakibatkan
pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan spiritualnya, sedangkan
ada tidaknya kebutuhan spiritual pasien dapat diketahui perawat dari
pasien itu sendiri, hal ini akan berakibat pula pada ketidakmampuan
perawat menilai atau menafsirkan keadaan, hal ini akan mengakibatkan
pasien dan perawat putus asa, situasi ini tidak mudah diatasi, karena tidak
ada solusi yang mudah. Perawat dapat mencoba mengatasi keadaan ini
dengan berbagai tehnik untuk mencoba menemukan apa yang menjadi
kebutuhan spiritual pasien.
2. Ambigu
Ambigu muncul ketika perawat berbeda keyakinan dengan pasien
yang dirawatnya. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak aman, sehingga
perawat menghindar dari keadaan ini. Mc Sherry (dalam Sianturi 2014)
mengatakan ambigu mencakup kebingungan perawat, takut salah, dan
menganggap spiritual terlalu sensitif dan merupakan hak pribadi pasien.
3. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual
Ambigu juga dapat muncul ketika perawat tidak mengetahui tentang
spiritual Ozbasaran et al (dalam Sianturi 2014), mengatakan bahwa
persepsi perawat tentang spiritual dapat menjadi penghalang perawat
dalam memberikan spiritual. Jika mereka percaya bahwa pemberian
spiritual adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung
mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengatasi kebutuhan spiritual
pasien. Kozier et al (2004) mengatakan bahwa perawat yang
memperhatikan spiritual dirinya dapat bekerja lebih baik dalam merawat
pasien yang memiliki kebutuhan spiritual. Untuk dapat memberikan
spiritual pada pasien, penting untuk menciptakan kondisi yang nyaman
akan spiritual diri sendiri. Spiritual perawat itu sendiri juga merupakan
faktor yang mempengaruhi pemberian spiritual, karena hal ini dapat
digunakan sebagai strategi dalam intervensi dan kekuatan yang
mendukung ditempat kerja. Persepsi perawat terhadap spiritual secara
langsung dapat mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku, bagaimana
menangani pasien, dan bagaimana berkomunikasi dengan pasien pada
saat perawat memberikan spiritual (Sianturi, 2014)
4. Hal yang bersifat pribadi
Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat
pribadi, sehingga sulit untuk ditangani oleh perawat. Dalam
mengekspresikan kebutuhan spiritualnya pasien mengharapkan
tersedianya ruangan atau kamar yang tenang dimana pasien dapat dengan
tenang menceritakan tentang masalah-masalah pribadinya (Sianturi,
2014).
5. Takut melakukan kesalahan
Perawat merasa takut jika apa yang dilakukannya merupakan hal
yang salah, dalam situasi yang sulit hal ini dapat mengakibatkan
penolakan dari pasien (Sianturi, 2014).
6. Organisasi dan manajemen
Jika profesi perawat akan memberikan perawatan spiritual yang
efektif, maka manajemen harus mampu mengatasi hambatan ekstrinsik.
Manajemen harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual
(Sianturi, 2014).
7. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu,
masalah pendidikan merupakan hambatan terbesar dalam memberikan
spiritual. Sartory (2010) menyimpulkan bahwa hambatan ekonomi
termasuk di dalamnya adalah kekurangan perawat, waktu dan masalah
pendidikan, dimana perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang
percaya diri dalam memberikan spiritual karena kurangnya wawasan dan
pengetahuan. Hasil penelitian Wong (2008 dalam Sianturi, 2014)
menemukan bahwa perawat dengan tingkat pendidikan sarjana lebih baik
dalam memberikan spiritual, oleh karena itu pendidikan mempunyai
pengaruh yang positif terhadap pemberian spiritual oleh perawat kepada
pasien.

2.3 Komunikasi terapautik

2.3.1 Definisi komunikasi terapautik

Komunikasi terapautik mengembangkan hubungan iterpersonal antara klien


dan perawat. Proses ini meliputi kemampuan khusus, karena perawat harus
memperhatikan pada berbagai interaksi dan tingkah laku non-verbal (potter&
Perry, 2005), sedangkan menurut Nasir A dkk (2011) komunikasi terapautik
merupakn komunikasi yang dilakukan perawat dengan pasien atau perawat
dengan keluarga yang didasari oleh hubungan saling percaya yang di dlam
komunikasi tersebut terdapat seni penyembuhan.
2.3.2 Teknik Komunikasi Terapautik

Macam-macam teknik komunikasi terapautik menurut Nasir A dkk (2011)

1) Mendengar dengan penuh perhatian

Mendengarkan keluhan dengan penuh perhatian akan menciptakan


kondisi keterlibatan emosional yang maksimal dalam situasi hubungan
interpersonal antara klien (keluarga pasien) dengan perawat ( Nasir a dkk).
Menurut Varcaloris cit Nurjannah I (2010), dengan mendengarkan akan
menciptakan situasi interpersoal dalam keterlibatan maksimal yang dianggap
aman dan membuat klien (keluarga pasien) bebas. Untuk menjadi pendengar
yang perhatian, perawat menggunakan kemampuan dibawah ini (Potter &
Perry, 2005) :

 Hadapi klien ketika mereka bicara.

 Pertahankan kontak mata yang alamiah untuk menunjukan keinginan


untuk mendengar

 Mengambir postur yang menunjukan menyimak. Hindari


menyilangkan kaki dan tangan karena ini menunjukan postur yang
defensif

 Hindari gerakan tubuh yang menganggu seperti meremas tangan,


mengetukan kaki atau bermain-main dengan sebuah benda di tangan

 Mengangguk untuk mengakui ketika klien berbicara tentang hal


penting atau mencari persetujuan

 Condong ke pembicaraan untuk menunjukan keterlibatan

2) Menunjukan penerimaan

Penerimaan adalah mendukung dan menerima informasi dan tingkah


laku yang menunjukan ketertarikan dan tidak menilai. Menerima berarti
bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukan keraguan atau
tidak setuju (Nurjanah I, 2001).

Perawat tidak perlu menampakan penolakan maupun keraguan terhadap


apa yang disampaikan oleh keluarga pasien yang membuat keluarga pasien
merasa tidak bebas dalam mengutarakanya. Semua ide dan perasaan ang
disampaikan oleh keluarga pasien ditampung oleh perawat, kemudiam
diverifikasi dan di validasi.

Dalam hal ini, sebaiknya tidak ada unsur menilai, berdebat apalagi
mengkritik apa yang disampaikan oleh keluarga pasien (Nasir A dkk, 2011)

3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan Terbuka

Tujuan perawat bertanya dengan pertanyaan terbuka adalah untuk


mendapatkan informasi yang spesifik mengenai kondisi nyata dari keluarga
pasien. Diharapkan keluarga pasien mempunyai inisiatif membuka diri
dengan menyeleksi topik yang akan dibicarakan secara berurutan dan
sistematis penyebab keluarga pasien datang ketempat pelayanan kesehatan
(Nasir A dkk, 2011)

Mengajukan pertanyaan terbuka pada klien akan mendorong perawat


mengkaji beberapa faktor. Respon verbal dan non-verbal klien dapat
menunjukan emosi (Potter & Perry, 2005).

4) Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri


(Parafrase)

Parafrase adalah mengulang pesan klien dengan kata-kata perawat


sendiri. Umumnya pertanyaan yang diparafrasekan menggunakan kata-
kata yang lebih sedikit dari pertanyaan yang asli (Potter & Perry, 2005).
Tujuan dari pengulangan pikiran utama adalah memberikan penguatan
dan memperjelaskan pada pokok bahasan yang telah disampaikan oleh
keluarga pasien sebagai umpan balik sehingga keluarga pasien
mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan diperhatikan serta
mengharapkan komunikasi bisa berlanjut ( Nasir A dkk, 2011).

5) Klarifikasi

Klarifikasi adalah cara untuk memperbaiki atau meluruskan apabila


ada kata-kata, pengertian, maksud dan ruang lingkup pembicaraan yang
kurang benar. Suryani (2005) berpendapat bahwa klarifikasi
(clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang
tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapanya.
Menurut Nurjanah, I(2001), klarifikasi dilakukan apabila pesan yang
disampaikan oleh klien belum jelas bagi perawat dan perawat mencoba
memahami situasi yang digambarkan klien.

6) Menfokuskan

Memfokuskan merupakan metode yang dilakukan untuk memusatkan


pembicaraan sehungga lebih spesifik dan mudah dimengerti. Materi yang
akan didiskusikan mengerucut pada salah satu masalah saja, yang
terpenting disini adalah konsisten, dan kontinyu atau brkesinambungan
serta tidak menyimpang dari topik pembicaraan dan tujuan komunikasi.
Suara yang terdapat di sekeliling kita sering menjadi penyebab
pembicaraan menjadi tidak terfokus karena menjadi pemutusan terhadap
alur pembicaran (Nasi A dkk, 2011).

7) Menghasilkan hasil observasi

Perawat perlu memberikan umpan balik kepada pasien dengan


menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah pesan
diterima dengan benar.Penyampaian hasil pengamatan kepada pasien
diharapkan dapat mengubah perilaku yang merusak pada diri pasien
(Nasir A dkk, 2011).
8) Menawarkan informasi

Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik


pasien tehadap keadaannya. Memberikan tambahan informasi merupakan
pendidikan kesehatan bagi pasien. Untuk itu perawat harus mampu
menguasai ilmu pengetahuan yang memadai tentang masalah yang
dihadapi pasien.

9) Diam

Diam yang dilakukan oleh perawat terhadap keluarga pasien


bertujuan untuk menunggu respon keluarga pasien untuk mengungkapkan
perasaannya (Nasir A dkk, 2011). Diam memungkinkan keluarga pasien
untuk berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya
dan memproses informasi (Nurjannah !, 2001)

10) Meringkas

Meringkas merupakan pengulangan ide utama yang telah


dikomunikasikan secara singkat yang bertujuan meningkatkan
pemahaman. Meringkas juga dapat diartikan sebagai kesempatan untuk
mengklarifikasi komunikasi agar sama dengan ie dalam pikiran ( Nasir A
dkk, 2011).

11) Memberi penguatan

Tujuan dari pemberian penguatan terhadap keluarga pasien adalah


untuk meningkatkan motivasi pasien kepada keluarga pasien untuk
berbuat yang lebih baik lagi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian
penguatan merupakan bentuk dorongan kepada keluarga pasien agar
mampu memacukan semangat dalam penerimaan diri untuk berbuat dan
berprilaku yang lebih baik lagi ( Nasir A dkk, 2011).

12) Menawarkan diri

Menawarkan diri merupakan kegiatan memberikan respon agar


seseorang menyadari bahwa perlakuannya dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain.

13) Memberi kesempatan untuk memualai pembicaraan

Memberikan kesempatan kepada keluarga pasien agar berinisiatif


daalm memilih topik pembicaraan.

14) Menganjurkan untuk meruskan pembicaraan

Teknik ini menganjurkan keluarga pasein untuk mengarahkan hampir


seluruh pembicaraan yang mengindikasikan bahwa keluarga pasien
sedang mengindikasikan bahwa keluarga pasien sedang mengikuti apa
yang sedang dibicarakan selanjutnya.
15) Menganjurkan keluarga pasien untuk menguraikan persepsinya

Langkah ini digunakan untuk membantu keluarga pasien dalam


menguraikan persepsinya dengan tenang dan bebas tanpa merasa ada
sesuatu yang terpendam.

16) Refleksi

Refleksi menganjurkan keluarga pasien untuk mengemukakan dan


menerima ide serta serta perasaanya sebagai bagian dari dirnya sendiri.
Teknik refleksi yang dilakukan perawat bukan untuk menilai pikiran dan
perasaan keluarga pasien, akan tetapi perawat mengembalikan lagi
pikiran dan perasaan yang merupakan bagian dari dirinya sendiri
sehingga keluarga pasien mencoba untuk menilai lagi pikiran dan
perasaan yang telah ada sebagai upaya untuk mengevaluasi dan
menimbang-nimbang keputusan yang akan diambil (Nasir A dkk, 2011).

2.3.3 Kendala dalam Komunikasi Terapautik


Dalam melakukan komunikasi antara perawat dengan klien ataupun perawat
dengan keluarga ada beberapa kendala yaitu :
1) Pemberian pendapat
Dengan memberikan pendapat akan membutuhkan pengambilan
keputusan yang dilakukan jauh dari pasien. Hal ini menghalangi
spontanitas, memperlambat pemecahan masalah dan menyebabkan
keraguan. Sering kali klien hanya membutuhkan kesempatan untuk
menunjukan perasaannya. Pemberian pendapat akan menghalangimpasien
mengembangkan solusi untuk memecahkan masalah (Potter & Perry,
2005).
2) Memberikan Penentraman Semu
Penentraman yang tulus dan dapat dipercaya sangat penting dan dapat
membantu menetapkan harga diri dan harapan klien. Menurut Bradley
dan Edinberg (1990) cit Potter & Perry (2005) telah mengidentifikasi
enam kondisi dasar dimana penentraman secara verbal dapat diberikan,
klien dapat diyakinkan bahwa :
 Masih ada harapan
 Perawat selalu mendengarkan
 Pengobatan tersedia
 Perubahan tertentu yang tidak diinginkan dapat terjadi
 Klien dapat diperlakukan sebagai individu
 Masalah klien telah dipahami
3) Bersikap Defensif
Defensif adalah respon untuk mengkritik, untuk menunjukan bahwa
klien tidak memiliki hak untuk memberikan opini. Ketika perawat
menjadi defensif, apa yang menjadi kekhawtiran klien seringkali
terabaikan ( Potter & Perry, 2005).
4) Menunjukan persetujuan atau Ketidaksetujuan
Menunjukan persetujuan yang berlebihan dapat berbahaya untuk
hubungan klien dan perawat, sama seperti menunjukan ketidak setujuan.
Memberikan pujian yang berlebihan menunjukan bahwa tingkah laku
yang dipuji adalah satu-satunya yang dapat di terima. Sering kali klien
berbagi keputusan dengan perawat, tidak dalam usaha untuk mncari
persetujuan tetapi untuk mencari cara untuk mendiskusikan perasaan
(Potter & Perry, 205)
5) Stereotip
Setiap orang memiliki ciri khas, namun respon stereotip menghalangi
keunikan dan secara berlebihan menyederhanakan situasi. Stereotip
adalah kepercayaan umum mengenai orang. Penggunaan stereotip
menghalangi komunikasi dan dapat menghalangi hubungan antara klien
dan perawat (Potter & Perry, 2005)
6) Bertanya mengapa
Ketika orang tidak setuju atau tidak dapat memahami orang lain,
mereka cendrung bertanya mengapa orang lain percaya atau bertindak
seperti itu. Pertanyaan “mengapa”dapat menyebabkan kebencian ,rasa
tidak aman dan tidak percaya (Ptter & Perry, 2005).
7) Mengubah subyek pembicaraan secara tidak tepat.
Perawat mungkin dengan hati-hati menghentikan kien ketika
membiccarakan subyek yang penting dengan mengganti subyek.
Menginterupsi pembicaraan dengan kasar sangat tidak sopan dan
menujukan kurangnya rasa empati.
Mengubah subyek menghalangi kemajuan dalam komunikasi
terapautik. Pemikiran dan spontanitas klien menjadi terganggu , ide-ide
menjadi kusut dan sebagai akibatnya informasi yang tersedia menjadi
tidak adekuat (Potter & Perry, 2005).
2.3.4 Dimensi Hubungan yang membantu Komunikasi Terapautik
Menurut Potter and Perry (2005), dimensi hubungan yang membantu
komunikasi terapautik meliputi :
1) Rasa Pecaya
Rasa percaya dapat didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa orang
lain akan memberi bantuan ketika membutuhkan dan tertekan. Rasa
percaya akan membentuk hubungan komunikasi terapautik yang terbuka.
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi pasien untuk mempercayai
perawat. Untuk meingkatkan rasa percaya perawat harus meningkatkan
rasa percaya, bertindak secara konsisten dapat dipercaya dan kompeten.
Kejujuran dalam memberikan informasi kepada lien juga dapat membantu
terciptanya rasa percaya. Tanpa rasa percaya, hubungan perawat antara
perawat dengan klien tidak akan memiliki kemajuan lebih dari interaksi
sosial dan hanya untuk memenuhi kebutuhan superfisial.
2) Empati
Empati telah diterima secara luas sebagai komponen klinis dalam
hubungan yang membantu. Definisi empati merefleksikan pengaruh
psikoterapis. Empati adalah kemampuan untuk mencoba memahami dan
memasuki kerangka referensi klien, menurut Habernet al (1994) dalam
Potter dan Perry (2005). Empati merasakan memahami dan memberi
kerangka referensi klien, dimulai dengan masalah yang dihadapi klien.
Sangt adil, sensitif dan objektif untuk melihat pengalaman yang dimiliki
orang lain. Empati membantu klien untuk menjelaskan dan mengkaji
perasaan mereka sehingga pemecahan masalah dapat terjadi.
3) Perhatian
Perhatian adalah memiliki penghargaan positif terhadap orang lain
meru pakan dasar untuk hubungan yaang membantu. Sebagian besar klien
secara langsung ataupun tidak langsung menunjukan keinginanuntuk
diperhatikan pada waktu tertentu. Perawat menunjukan perhatian dengan
menerima perhatian klien sebagaimana mereka adanya dan menghargai
mereka sebagai individu. Ketika klien merasa diperhatikan mereka
merasa aman dari ancaman atau situasi yang menyebabkan
kecemasan.Perhatian juga meningkatkan rasa percaya dan mengurangi
kecemasan. Penghilangan kecemasan dan stres akan meningkatkan daya
tahan tubuh dan membantu penyembuhan.
4) Autonomi dan Mutualitas
Autonomi adalah kemampuan untuk mengontrol diri. Mutualitas
meliputi perasaan untuk berbagi dengan sesama. Keduanya sangat
penting dalam hubungan yang saling membantu. Perawat dan klien
bekerja bekerja sebagai tim yang ikut serta dalam keperawatan. Perawat
menawarkan kesempatan untuk mengambil keputusan, sekalipun untuk
hal-hal yang sangat sepele. Ketika klien menjadi lebih mandiri, perawat
menawarkan lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan.
Perawat juga bertindak sebagai penasehat untuk memberitahu klien
tentang alternatif perawatan kesehatan dan untuk memberikan dukungan
dalam pengambilan keputusan.
2.3.5 Tahap komunikasi Terapautik
Dalam komunikasi terapautk terdapat beberapa tahapan menurut Nasir A dkk,
(2011) yaitu :
1) Prainteraksi
Tahap ini juga disebut tahap apersepsi dimana perawat menggali
lebih dahulu kemampuan yang dimiliki sebelum berhubungan dengan
keluarga pasien (Nasir,A dkk, 2011). Proses ini membantu menghindari
terjadinya stereotip pada keluarga klien dan membantu perawat untuk
berpikir mengenai nilai atau perasaan pribadi (Potter & Perry, 2005).
2) Orientasi
Pada tahap orientasi perawat menggali keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh keluarga pasien dan memvalidasinya. Sehingga perawat
dituntut memiliki keahlian yang tinggi dalammenstimulasi keluarga
pasien agar mampu mengungkapkan keluhan yang dirasakan secara
lengkap dan sistematis serta objektif Nasir A dkk, 2011)
3) Kerja
Pada tahap ini, perawat berupaya untuk mencapai tujuan selama fase
orientasi . Perawat dan keluarga pasien bekerja sama. Hubungan
berkembang dan menjadi lebih fleksibel ketika keluarga pasien dan
perawat memiliki keingnan untuk berbagi perasaan dan mendiskusikan
msalah. Jika fase bekerja berhasil, keluarga pasien dapat bertindak
berdasarkan ide dan perasaan ( Potter & Perry, 2005). Pada tahap ini pula
perawat berperan untuk mengatasi kecemasan keluarga pasien ( Nasir A
dkk, 2011).
4) Terminasi
Selama fase orientasi, perawat mengatakan pada keluarga klien kapan
ia memperkirakan berakhirnya hubungan. Ketika pemutusan terjadi,
keluarga pasien tidak seharusnya terkejut. Dengan tetap
memperhitungkan keberhasilan hubungan, keluarga pasien harus siap
untuk berfungsi secara efektif tanpa dukungan perawat ( Potter &Perry,
2005).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi kesehatan merupakan ilmu cabang psikologi yang memusatkan perhatian
kepada dunia kesehatan baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat.
Kesehatan individu ini meliputi kesehatan fisik atau jasmani atau psikis individu seperti
pikiran dan emosinya ( Agus,2014).
Stres pada pasien ICU sering terjadi karena beberapa faktor seperti alat-alat medis
yang terdapat pada ruang ICU, beberapa faktor lingkungan ICU yang menjadi stressor
menurut pasien adalah adanya slang dihidung dan dimulut, tempat tidur yang tidak
nyaman, keterbatasan gerak karena banyaknya alat yang dipasang di tubuh mereka, sulit
tidur, tidak mampu berkomunikasi, mendengar pembicaraan orang (perawat dan dokter),
kurangnya kunjungan, lampu yang terang dan hidup terus menerus, kebisingan yang tidak
familiar dan tidak biasa didengarnya. Disamping hal – hal diatas, perawat menambahkan
beberapa stressor seperti alarm dari monitor, mesin-mesin yang canggih dan asing, ada
laki laki dan perempuan dalam satu ruangan, dan tidak ada privacy.

Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis :


1. Modifikasi lingkungan
2. Terapi musik
3. Melibatkan keluarga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien
kritis.
4. Komunikasi terapeutik
Karakteristik spiritual :

1. Hubungan dengan Tuhan

2. Hubungan dengan diri sendiri

3. Hubungan dengan orang lain

4. Hubungan dengan lingkungan

Dalam pemenuhan kebutuhan spiritualdapat dilakukan dengan proses keperawatan


yang dimulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan serta evaluasi tindakan yang telah diberikan kepada pasien.

Menurut mc sherry (dalam sianturi, 2014) faktor-faktor yang mempengarui perawat


dalam memberikan spiritual dibagi dua yaitu faktor intrinsik terdiri dari ketidakmampuan
perawat berkomunikasi, ambiqu, kurangnya pengetahuan tentang spiritual, hal yang
bersifat pribadi, dan takut melakukan kesalahan, faktor ekstrinsik terdiri dari organisasi
dan manajemen, hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu,
masalah pendidikan perawat.

Ada beberapa kendala perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik yaitu


pemberian pendapat, memberikan penentraman semu, bersikap defensitif, menunjukkan
kesetujuan atau ketidaksetujuan, Strerotip, bertanya mengapa, mengubah subyek
pembicaraan secara tidak tepat.
Dimensi hubungan yang membantu komunikasi terapeutik yaitu rasa percaya diri,
empati, perhatian serta autonomi dan mutualitas.

3.2 Saran
Pada pasien yang dirawat diruangan ICU harus diperhatikan juga kebutuhan
psikososial dan spiritual. Kebutuhan psikososial dan spiritual pada pasien juga sangat
dipengaruhi oleh perawat yang meberikan asuhan keperawatan kepada pasien tersebut.
Oleh sebab itu disarankan bagi setiap perawat agar lebih memperhatikan kebutuhan
psikososial dan spiritual dari pasien ICU seperti memperhatikan tingkat stres pada pasien,
kecemasan yang dialami oleh pasien, depresi serta komunikasi yang tepat bagi pasien
maupun keluarga .
DAFTAR PUSTAKA

Hardianto (2017) “Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Di Ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makasar: Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri Alauddin
Makasar

https://www.researchgate.net/publication/273866473_Aspek_psikososial_dalam_merawat_pa
sien_kritis tentang aspek psikososial.

http://irufannet.blogspot.co.id/2012/04/komunikasi-terapeutik-dan-kecemasan.html
komunikasi terapautik

Nurhadi (2014). Gambaran Dukungan Perawat Pada Keluarga Pasein Kritis Di Rsup Dr.
Kariadi. Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai