Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

Head Injury

Disusun Oleh:

Sofie Regina Herman 140100121


Dhira Vindy Amanda 140100123
Gita Kumala Dewi 140100090
Dewi Gita Maharani 140100155
Widyadhari Rara Satya 140100224
Syahputri Dwi Gita Kasibu 140100210

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Adril Arsyad Hakim, Sp. S, Sp. BS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Head Injury”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada dokter pembimbing laporan kasus kami, Prof. Dr. dr. Adril Arsyad
Hakim, Sp. S, Sp. BS, yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan
serta masukan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.
Laporan kasus ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat
menjadi referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, 11 Juli 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... i


Daftar Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 2
1.2. Tujuan ....................................................................................... 2
1.3. Manfaat ..................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3
2.1. Head Injury ................................................................................ 3
2.1.1 Definisi ............................................................................. 3
2.1.2 Anatomi Kepala ................................................................ 3
2.1.3 Patofisiologi Cedera Kepala ............................................. 7
2.1.4 Klasifikasi Cedera Kepala ................................................ 8
2.1.4.1.Berdasarkan mekanisme cedera kepala ......................... 8
2.1.4.2 Berdaerkan beratnya cedera kepala ............................... 8
2.1.4.3 Berdasarkan morfologi cedera kepala ......................... 10
2.1.5 Tatalaksana Cedera kepala .................................................. 20
BAB III STATUS PASIEN..................................................................................26
BAB IV FOLLOW UP .................................................................................. 33
BAB V DISKUSI KASUS ............................................................................. 36
BAB VI KESIMPULAN ............................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................41

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Cedera kepala (head injury) adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya
benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling
fatal adalah kematian.1
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun
psikologis. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera
kepala merupakan keadaan yang serius.Oleh karena itu, diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas
penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan
penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi.2,3
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan
berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang
dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis
dan tingkat kesadaran pada pasien 2 cedera kepala menggunakan metode skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale).4
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas
10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan
lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di
rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-

1
laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala
berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada
generasi muda dan usia produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan
meingkatnya pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salahsatu segi
diwarnai dengan lalu lintas kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas makin sering terjadi dan korban cedera kepala makin banyak. Di Indonesia pada
tahun 1982 tercatat 55.495 penderita kecelakaan lalu lintas danterdapat korban
meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti tiap hari ada 34 orang mati akibat
kecelakaan lalu lintas.Dari korban yang meninggal ini ± 80% disebabkan cedera
kepala.

1.2. TUJUAN
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus cedera kepala
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Department Ilmu Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah
meningkatkan pemahaman terhadap kasus cedera kepala serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompentensi pada tingkat pelayanan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Head Injury
2.1.1 Definisi
Istilah cedera kepala (head injury), trauma kapitis adalah cedera yang mengenai
bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala (scalp), tulang
tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah (maksila, mandibula), saraf
kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran). Tidak semua jejas pada kepala
menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya luka sayat sederhana pada kulit kepala),
sebaliknya tidak harus ada jejas di kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya
jatuh terduduk dari ketinggian tanpa ada perlukaan di kepala).6

2.1.2 Anatomi Kepala


Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium
mempunyai dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut
neurokranium dan selaput otak.6,7

1.a.Tengkorak atau Kalvaria



Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan oksipital.
Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe. Lempeng-
lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium, sementara
diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk
memproduksi sumsum darah. 


2.b. Kranium
Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal yang
membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal
yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar

3
dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting
dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang
membentuk dasar anterior kranium. 


 Aspek Anterior

Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os zygomaticum,
orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Aspek anterior kranium

 Aspek Lateral

Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah (Gambar 2.2). Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea
temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus
mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan processus
styloideus ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula terletak dua bagian:
bagian horisontal, yakni corpus mandibulae dan bagian vertikal, yakni ramus
mandibulae.

4
Gambar 2.2 Aspek lateral kranium

 Aspek Posterior

Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale
dan os temporale (Gambar 3A). Protuberentia occipitalis externa adalah
benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea nuchalis superior yang
merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari protuberentia occipitalis
externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas.
 Aspek Superior

Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale
dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis
memisahkan os frontale dari os parietale; sutura sagitalis memisahkan kedua
tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os
parietale dan os temporale dari os occipitale. Titik bregma adalah titik temu
antara sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik teratas
pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik tengahnya. Titik
lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea dan sutura sagitalis
(Gambar 2.3B).

5
Gambar 2.3 (a) Aspek posterior kranium. (b) Aspek superior cranium

 Aspek Inferior dan Aspek Dalam Dasar Tengkorak


Aspek inferior tengkorak setelah mandibula diangkat memperlihatkan
processus palatinus maxilla dan os palatinum, os sphenoidale, vomer, os
temporale dan os occipitale. Permukaan dalam dasar tengkorak
memperlihatkan tiga cekungan yakni fossa cranii anterior, fossa cranii media
dan fossa cranii posterior yang membentuk dasar cavitas cranii. Fossa cranii
anterior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, os ethmoidale di tengah
dan corpus ossis sphenoidalis serta ala minor ossis sphneoidalis di sebelah
posterior. Fossa cranii media dibentuk oleh kedua ala major ossis sphneoidalis,
squama temporalis di sebelah lateral dan bagian-bagian pars petrosa kedua os
temporale di sebelah posterior. Fossa cranii posterior dibentuk oleh os
occipitale, os sphenoidale dan os temporale.

6
2.1.3. Patofisiologi Cedera Kepala
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder.Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.8

Gambar 2.4. Patofisiologi cedera kepala


Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

7
2.1.4. Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi,
yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.9
2.1.4.1. Berdasarkan Mekanisme Cedera Kepala
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan
dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera
(kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar serta
lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak
setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan
kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan
cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan cedera kepala; benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang
cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang
signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan
bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan
patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera
fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi
akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar
otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI).
Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang
mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan
intervensi pembedahan.
2.1.4.2. Beratnya Cedera Kepala
Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis
sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat

8
kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS),
merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis
yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale

9
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:

Tabel 2.2 . Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala

2.1.4.3. Morfologi Cedera Kepala


Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut

10
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroaurikular (battle
sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath,
2009). Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan
retaknya tulang tengkorak.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.

a. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur
tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.
Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan
menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi
di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea media.
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan
pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tengkorak
retak. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat,
bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada perdarahan epidural yang terjadi
ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam
ruang antara duramater dan tengkorak.10
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran

11
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
di sekitar mata dan di belakang telinga, sering juga tampak cairan yang keluar pada
saluran hidung dan telinga. Gejala yang sering tampak:10
a. Penurunan kesadaran bisa sampai koma
b. Bingung
c. Penglihatan kabur
d. Susah bicara
e. Nyeri kepala yang hebat
f. Keluar cairan dari hidung dan telinga
g. Mual
h. Pusing
i. Berkeringat

b. Subdural Hematom
Subdural hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
arakhnoid, biasanya sering di daerah frontal, parietal dan temporal. Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein”, karena tarikan
ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering
terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisfer dan sebagian di daerah temporal,
sesuai dengan distribusi “bridging vein”, sedangkan pada subdural hematom keadaan
ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Pergeseran otak pada akselerasi dan de-akselerasi bisa menarik dan memutuskan
vena-vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi
tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer. Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat
linear, maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio
di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi maka lesi tersebut

12
dinamakan lesi kontusio "countercoup".
Gejala yang timbul pada subdural:11
1. Subdural Hematoma Akut
 Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma sampai
dengan hari ketiga.
 Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
 Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
 Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi.
 Pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens

yang berupa bulan sabit.
2. Subdural Hematoma Subakut
 Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 sampai minggu
ke 3 sesudah trauma.
 Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya.
 Adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
 Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk.
 Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
 Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

13
3. Subdural Hematoma Kronis
 Biasanya terjadi setelah minggu ketiga.
 SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua.
 Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat

tersebut gejala yang terasa cuma pusing.
 Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.
 Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah

ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak
ruang.
Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >>
menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai
suatu saat pasien 
datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau
hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.

Pemeriksaan CT Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi


cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi
dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, densitas yang tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.11

14
Gambar 2.5 Epidural dan subdural hematom.12

Gambar 2.6 CT scan subdural hematoma.11,12

15
Gambar 2.7 CT scan epidural hematoma.12
c. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subaraknoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subaraknoid ditandai
dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subaraknoid yaitu rongga antara lapisan
dalam (piamater) dan lapisan tengah (arachnoid matter) yang merupakan bagian
selaput yang melapisi otak (meningens). Etiologi yang paling sering menyebabkan
perdarahan subaraknoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan
adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Tanda klasik PSA, sehubungan dengan
pecahnya aneurisma yang besar, meliputi:10
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2. Hilangnya kesadaran
3. Fotofobia
4. Meningismus
5. Mual dan muntah
Sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak, sudah ada
berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian
sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda
peringatan dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum

16
terjadinya perdarahan yang hebat. Tanda-tanda peringatan dapat berupa nyeri kepala
yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya nyeri kepala disertai mual,
nyeri tengkuk dan fotofobia, dan beberapa penderita mengalami serangan seperti
“disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat
menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut: defek lapangan penglihatan, gangguan
gerakan bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi
perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan
hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis
dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defisit neurologis
berat dan koma. Sementara itu, refleks Babinski positif bilateral.6
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi
pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia
tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya
hematom intraserebral. Yang umum terjadi adalah munculnya demensia dan labilitas
emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior.

Gambar 2.8. CT scan perdarahan subaraknoid.12

d. Perdarahan Intraventrikular

17
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau berhubungan
dengan perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid maupun cedera otak
traumatik. Definisi perdarahan intraventrikular primer yaitu terdapatnya darah hanya
dalam sistem ventrikular atau yang berkembang sampai 15 mm dari dinding ventrikel,
tanpa adanya ruptur atau laserasi pada dinding ventrikel.
Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai perdarahan
intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel sedangkan perdarahan
intraventrikular sekunder muncul akibat perdarahan yang berasal dari parenkim
maupun rongga subaraknoid yang meluas ke sistem ventrikel.
Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada beberapa pasien
tidak diketahui penyebabnya. Perdarahan intraventrikular primer tersering berasal dari
perdarahan akibat hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang
sangat dekat dengan sistem ventrikular. Etiologi lain yang mendasari perdarahan
intraventrikular diantaranya adalah anomali pembuluh darah serebral, malformasi
pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan aneurisma serebri yang merupakan
penyebab tersering pada usia muda.
Pada orang dewasa, perdarahan intraventrikular disebabkan karena adanya
penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur periventrikel. Perdarahan
intraventrikular juga dapat terjadi pada trauma dan tumor yang biasanya v melibatkan
pleksus koroideus. Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai gejala
perdarahan subaraknoid yaitu nyeri kepala yang mendadak, kaku kuduk, muntah dan,
letargi. Pada saat yang sama didapatkan peningkatan refleks dan respon plantar yang
simetris. Bila perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai tanda
fokal yang asimetris.1
Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat berbeda tergantung
dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak disekitarnya. Pada perdarahan
intraventrikular yang berat dijumpai tanda penurunan kesadaran, kejang baik fokal
maupun general dan tanda-tanda kompresi batang otak.1

18
Kriteria diagnostik pada CT scan kepala yang menunjukkan adanya perdarahan
adalah adanya gambaran hiperdens pada substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa
terkenanya permukaan kortikal. Perdarahan intraventrikular pada gambaran CT scan
kepala menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem ventrikel, bisa juga tampak
pelebaran pada sistem ventrikel bila terjadi hidrosefalus.1

Gambar 2.9 Gambaran CT scan kepala pada perdarahan intraventrikular.

e. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi secara langsung pada
bagian atau substansi otak. Klasifikasi perdarahan intraserebral:6
1. Perdarahan Intraserebral Primer
Perdarahan yang disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan
vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak.
2. Perdarahan Intraserebral Sekunder
Perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali
vaskuler konginetal, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif
(amiloid serebral), vaskulitis, post stroke iskemik, obat anti koagulan
(fibrinolitik atau simpatomimetik)

19
Gejala klinis dari perdarahan intraserebral adalah kejadian progresif yang
bertahap (dalam waktu menit sampai dengan hari) atau kejadian yang terjadi secara
tiba – tiba dari defisit neurologi fokal biasanya berhubungan dengan tanda peningkatan
tekanan intrakranial seperti muntah dan penurunan kesadaran. Kejadian muntah
banyak terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subaraknoid
dibandingkan dengan stroke iskemik. Karakteristik yang utama dari perdarahan
intraserebral adalah perkembangannya yang bertahap dan sering
mengalami perburukan dalam waktu 24 jam pertama.
Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala klinis
kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imejing (CT dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI)). Hasil pemeriksaan CT scan dapat mendeteksi perdarahan
dengan diameter 1 cm atau lebih. Pada saat bersamaan juga ditemukan hidrosefalus,
tumor, pembengkakan otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat bermanfaat
dalam mendeteksi perdarahan batang otak dan sisa perdarahan hemosiderin dan
pigmen besi.11,12

2.1.5. Tatalaksana Cedera Kepala


Tujuan utama manajemen pada pasien dengan cedera kepala adalah
mempertahankan aliran darah serebral (cerebral blood flow ; CBF ) yang adekuat unutk
mencegah iskemia serebral dan hipoksia. Manajemen pada pasien trauma terdiri dari
primary survey, secondary survey, prosedur diagnostik, terapi mekanik dan
medikamentosa terhadap trauma kepala, serta operasi.13

PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI


Pertolongan pertama mencakup ABCDE dari perawatan trauma dan
mengidentifikasi kondisi yang mengancam jiwa dengan mematuhi urutan ini:

• Airway maintenance with restriction of cervical spine motion


• Breathing and ventilation

20
• Circulation with hemorrhage control
• Disability (assessment of neurologic status)
• Exposure / Environmental control

Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D pada pasien trauma


(penilaian 10 detik) dengan mengidentifikasi diri mereka, menanyakan nama pasien,
dan menanyakan apa yang terjadi. Tanggapan yang tepat menunjukkan bahwa tidak
ada masalah pada jalan napas utama (yaitu, kemampuan untuk berbicara dengan jelas),
pernapasan tidak sangat terganggu (yaitu, kemampuan untuk menghasilkan gerakan
udara untuk memungkinkan berbicara), dan tingkat kesadaran tidak menurun secara
nyata (yaitu, cukup waspada untuk menggambarkan apa yang terjadi). Kegagalan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kelainan pada A, B, C, atau
D yang memerlukan penilaian dan manajemen yang mendesak.14

a. Airway and Breathing


Pertama-tama lakukan penilaian jalan nafas. Apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dengan bebas, apabila ada obstruksi maka lakukan head-tilt chin-lift. Hindari
melakukan head-tilt dan chin lift pada pasien yang dicurigai mengalami trauma
servikal. Lakukan penghisapan jika terdengar gargling, atau dapat diilakukan
pemasangan guedel pada pasien unutk mencegah penutupan jalan nafas. Segera berikan
ooksigen dengan sungkup muka atau kantung nafas. Jaga stabilitas tulang leher dengan
pemasangan cervical colar neck.14
Pada pasien dengan trauma kepala, biasanya disertai dengan hipoksia dan
distress pernafasan. Dianjurkan untuk dilakukan intubasi endotrakeal pada pasien
dengan penurunan kesadaran / koma. Pemberian ventilasi berupa oksigen 100%
dilakukan hingga analisa gas darah dapat diperiksa. Setelah intubasi, penting untuk
kemudian mengaatur fraksi oksigen dengan tepat. Target saturasi oksigen yaitu
mencapai >98%.14

21
b. Circulation
Lakukan penilaian sirkulasi / peredaran darah berupa tekanan darah dan denyut
jantung, bersamaan dengan penilaian ulang apakah jalan nafas bebas dan pernafasan
cukup. Jika terdapat perdarahan eksternal, cari sumber perdarahan dan hentikan.
Apabila pasien hipotensi, segara penyebab utama hipotensi dan diberikan terapi.
Hipotensi yang biasanya didapati bukan disebabkan oleh trauma kepala
tersebut, melainkan tahap terminal dimana kegagalan medula terjadi atau ada cedera
medula spinalis yang dapat menyebabkan syok hemoragik. Segera lakukan resusitasi
cairan untuk mencapai euvolume dengan pemberian cairan isotonis atau sedikit
hipertonis, atau dengan pemberian produk darah.
Pemeriksaan neurologis apapun yang dilakukan pada saat pasien hipotensi tidak
dapat dipastikan, karena pasien hipotensi pada umumnya tidak respon terhadap
stimulasi apapun, namun dapat membaik segera setalah aliran darahnya normal dan
tekanan darah dalam batas normal. Penting untuk mempertahankan tekanan darah sistol
>110mmHg untuk mencukupi perfusi otak dan mnecegah cedera kepala sekunder.14

c. Dissability
Pada primary survey dilakukan penilaian kesadaran dengan cepat. Nilai apakah
pasien sadar, hanya respon terhadap nyeri, atau sama sekali tidak sadar. Skala penilaian
kesadaran ini disebut AVPU (Awake, Verbal, Pain, Unresponsive). Tidak dianjurkan
dilakukan penilaian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale.15

d. Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera servikal atau tulang belakang, maka harus
dilakukan pemasangan mobilisasi in-line.

22
Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi pasien dengan selimut hangat atau alat
pemanasan eksternal untuk mencegahnya mengalami hipotermia di daerah penerima
trauma. Hangatkan cairan intravena sebelum diinfus, dan pertahankan lingkungan yang
hangat.15

SECONDARY SURVEY
Survei sekunder hanya dilakukan apabila ABC pada suvei primer sudah stabil.
Apabila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk, maka kembali pada survei
primer. Survei sekunder meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik. Anamnesa yang
dilakukan disingkat dnegan AMPLE yaitu :
- Allergies
- Medication
- Past medical history
- Last meal
- Events

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dari kepala hingga jari kaki (head-to-toe) dengan
perhatian utama:
- Pemeriksaan kepala
- Pemeriksaan leher
- Pemeriksaan neurologis (GCS, fungsi medulla spinalis dengan aktivitas
motoric, penilaian sensoris)
- Pemeriksaan dada
- Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
- Pelvis
- Ekstremitas atas dan bawah

23
Pada pasien dengan trauma kepala, utamakan penilaian pemeriksaan neurologis
berupa GCS, tanda lateralisasi dan reaksi pupil. Tanda awal yang biasanya didapati
pada herniasi uncal adalah dilatasi pupil dan penurunan reflex cahaya. Diikuti dengan
pemeriksaan neuorlogis lengkap.13,14

TERAPI PADA CEDERA KEPALA


Terapi pada cedera kepala dapat dibedakan menjadi terapi konservatif dan
pembedahan. Terapi konservatif sendiri, dapat dibedakan menjadi terapi mekanik dan
terapi medikamentosa. Pada trauma kepala, terdapat beberapa keadaan yang
memerlukan dekompreasi segera dengan burr-hole, antara lain perdarahan epidural
akut dan perdarahan subdural akut. Terdapat juga keadaan lain dimana pengelolaan
medikamentosa lebih diperlukan karena pembedahan tidak akan membawa hasil lebih
baik, antara lain fraktur basis cranii, komosio serebri, fraktur depresi tulang tengkorak,
hematoma intraserebral. Sedangkan tatalaksana konservatif non-medikamentosa dapat
berupa posisi head-up 30’.13
Medikamentosa yang digunakan untuk cedera kepala meliputi cairan intravena,
koreksi antikoagulasi, hiperventilasi sementara, pemberian mannitol, saline hipertonik,
barbituran dan antikonvulsan. Pada pasien dengan cedera kepala, autoregualsi normal
aliran darah serebral (CBF) menjadi hilang sehingga CBF menjadi proporsional dengan
CPP yang dapat dihitung dengan rumus13

CPP = MAP – ICP

Tengkorak merupakan struktur yang kaku dengan kapasitas terbatas, yang


terdiri dari 80% otak, 10% darah dan 10% cairan serebrospinal, dimana struktur
tersebut tidak dapat dimampatkan, sehingga paabila terjadi peningkatan volume karena
sebab apapun akan meningkatkan tekanan intrakranial (ICP) atau yang dikenal sebagai
hokum Monroe-Kelly.14

24
Untuk mencegah hipovolemik dan hipotensi, pasien cedera kepala sebaiknya
diberi resusitasi cairan berupa cairan isotonik. Ringer laktat masih banyak digunakan
selama periode perioperatif, namun berisiko mengalami penurunan kadar natrium dan
osmolaritas. Sehingga untuk resusitasi cairan awal dianjurkan cairan normosalin.15
Terapi hiperosmolar berupa mannitol merupakan agen standar yang digunakan.
Prinsip terapi hiperosmoler didasarkan pada perbedaan gradient osmotic antara plasma
dan parenkim jaringan otak, sehingga akan mengurang cairan dan ICP. Pemberian
mannitol dengan dosis 0,25 – 1 gr/kgBB selama 5 menit, dan akan menghasilkan
peningkatan tahanan vaskuler serebral dan penurunan ICP.
Indikasi dilakukannya pembedagan unutk evakuasi hematoma pada hematom
subdural adalah :
- Pada hasil CT-Scan ketebalan hematoma >10mm atau midline shift >5mm
dengan nilai GCS berapapun
- Pada GCS <9, monitoring tekanan intrakranial secara hati-hati. Apabila
tekanan intrakranial melebihi 20mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi
tetap
- Pada pasien GCS <9 dengan ketebalan hematoma <10mm dan midline shift
<5mm, harus dilakukan pembedahan bila GCS turun setidaknya 2 nilai dari
saat kejadian sampai tiba di rumah

25
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : SGP

Umur : 21 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Dusun V Jl. Klambir V Gg. Amal Tanjung Gusta

Tanggal Masuk : 7 Juli 2019

Berat Badan : 65 kg

Tinggi Badan : 160 cm

3.2 AUTOANAMNESIS

KU : Luka robek pada kepala

Telaah : Hal ini dialami oleh pasien kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah
sakit setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Mekanisme kecelakaan
pasien terjatuh dari sepeda motor karena ditabrak oleh sepeda motor lain dari arah
yang berlawanan, dengan posisi kepala jatuh terlebih dahulu ke aspal. Riwayat
pingsan tidak dijumpai. Riwayat muntah dijumpai dua kali, darah dijumpai.
Kejang disangkal. Riwayat keluar darah dari hidung dijumpai, riwayat keluar
darah dari telinga disangkal.

RPT : Tidak jelas.


RPO : Tidak jelas.

26
STATUS PRESENS
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Pernapasan : 20 kali per menit
Nadi : 90 kali per menit
Suhu :36,8 C

STATUS GENERALISATA
Kepala
• Mata : Hematoma orbita (+/+), Konjungtiva palpebra anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,  3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)
• Telinga : Dalam batas normal
• Hidung : Dalam batas normal
• Mulut : Dalam batas normal
• Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-)
Thoraks
• Inspeksi : Simetris fusiformis
• Palpasi : Stem Fremitus kanan=kiri
• Perkusi : sonor
• Auskultasi : Suara paru: vesikuler
Suara tambahan: (-)
Abdomen
• Inspeksi : Simetris
• Palpasi : Soepel
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Peristaltik (+) normal

27
STATUS NEUROLOGIS
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor,  3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
 Meningeal Sign: Kaku kuduk (-)
 Motorik : Lateralisasi (-)
 Sensorik : Normal
 Refleks Fisiologis : +|+
+|+
 Refleks Patologis : (-) / (-)

SISTEM MOTORIK
• Trofi : Eutrofi
• Tonus Otot: Normo tonus
• Kekuatan Motorik: 5555555555
5555555555
SISTEM SENSORIK
• Ekstremitas Atas : Normal
• Ekstremitas Bawah : Normal

REFLEKS FISIOLOGIS
• Bisep/Trisep: +/+
• APR/KPR: +/+

REFLEKS PATOLOGIS
• Babinski: Tidak dijumpai
• Hoffman-Tromner: Tidak dijumpai

28
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Lab (07/02/2019) Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 14.2 g/dL 13 – 18 g/dL
Eritrosit 4.99 jt/µL 4.10-5.10 jt/µL
Leukosit (WBC) 31.320/µL 4,000-11,000/µL
Hematokrit 41% 36 – 47 %
Trombosit (PLT) 225.000/µL 150,000-450,000/µL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 136 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3,8 mEq/L 3.6 – 5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 105 mEq/L 96 – 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarah (Sewaktu) 143 mg/dL <200mg/dl
GINJAL
BUN 10 mg/dL 10-20 mg/dL
Ureum 21 mg/dL 21-43 mg/dL
Kreatinin 0,84 mg/dL 0.6-1.1 mg/dL

29
Foto Thorax (07/07/2019)

Hasil :
- CTR <50%, jantung tidak membesar.
- Aorta baik, mediastinum superior tidak melebar.
- Trakea ditengah. Hilus tidak menebal.
- Sinus kostofrenikus dan diafragma baik.
- Tulang-tulang dada baik.
KESIMPULAN : Tidak ditemukan fraktur
: Cor dan Pulmo normal.

30
MSCT Scan Head/Brain (07/07/2019)

Kesimpulan : IHH + ICH + Subkutan hematoma

DIAGNOSIS KERJA
Traumatic ICH o/t (R) Frontal + Closed Fracture Sinus Frontal Lamina Posterior

31
TATALAKSANA IGD

 Bed rest + head up 30o


 Oksigen 4 lpm via nasal canule
 IVFD Ringer solution 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
 Inj. Gentamicine 80mg/8 jam
 Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Fenitoin 100mg/ 8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
 Inj. Ketorolac 300mg/ 8 jam
 Drip manitol 250cc  loading
 Drip manitol 100cc  maintenance / 8 jam
 Pasang OGT
 Pasang Catether no. 18

32
BAB IV
FOLLOW UP
07/07/2019

S Luka robek

O A : Clear
B : Spontan , RR : 20 x/i
C : TD : 120/80 , HR: 80 x/I , halo test (-)
D : GCS 15 , Pupil isokor 3 mm / 3 mm , RC +/+
E : Hematom o/t periorbia bilateral , vulnus laseratum o/t supra orbita
sinistra, vulnus ekskoriasi o/t (R) temporal
A Traumatic ICH o/t (R) frontal + closed fracture sinus frontal lamina
posterior
P R / CT-SCAN
R / Cek Lab
R / X-ray Thorax
R / Rawat ruangan
Head up 30
O2 nasal canul 4l/i
IVFD Ringer Solution 20gtt/i
Im. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
Im. Gentamicin 80 mg / 8 jam
Im. Metronidazole 500 mg / 8 jam

33
08/07/2019

S Nyeri Kepala

O A : Clear , CSF leakage (-)


B : Spontan , RR : 22 x/i
C : TD : 120/80 , HR: 80 x/I , halo test (-)
D : GCS 15 , Pupil isokor 3 mm / 3 mm , RC +/+
E : Hematom o/t periorbia bilateral , vulnus laseratum o/t supra orbita
sinistra, vulnus ekskoriasi o/t (R) temporal

A Traumatic ICH o/t (R) frontal + closed fracture sinus frontal lamina
posterior

P Head up 30
O2 nasal canul 4l/i
IVFD Ringer Solution 20gtt/i
Im. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
Im. Gentamicin 80 mg / 8 jam
Im. Metronidazole 500 mg / 8 jam

34
09/07/2019

S Nyeri Kepala

O A : Clear , CSF leakage (-)


B : Spontan , RR : 20 x/i
C : TD : 120/80 , HR: 82 x/I , halo test (-)
D : GCS 15 , Pupil isokor 3 mm / 3 mm , RC +/+
E : Hematom o/t periorbia bilateral , vulnus laseratum o/t supra orbita sinistra,
vulnus ekskoriasi o/t (R) temporal

A Traumatic ICH o/t (R) frontal + closed fracture sinus frontal lamina posterior

P R / CT-SCAN
R / Cek Lab
R / X-ray Thorax
R / Rawat ruangan
Head up 30
O2 nasal canul 4l/i
IVFD Ringer Solution 20gtt/i
Im. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
Im. Gentamicin 80 mg / 8 jam
Im. Metronidazole 500 mg / 8 jam

35
BAB V
DISKUSI KASUS
No TEORI KASUS
1 DEFINISI
Cedera kepala (head injury) adalah Tn. SGP, 21 tahun datang ke RSUP H.
suatu gangguan traumatik dari Adam Malik dengan luka robek pada
fungsi otak yang disertai atau tanpa kepala. Hal ini dialami oleh pasien
disertai perdarahan interstitial kurang lebih 1 jam sebelum masuk
dalam substansi otak tanpa diikuti rumah sakit setelah pasien mengalami
terputusnya kontinuitas otak. kecelakaan lalu lintas. Mekanisme
Cedera kepala biasanya kecelakaan pasien terjatuh dari sepeda
diakibatkan salah satunya benturan motor karena ditabrak oleh sepeda
atau kecelakaan. motor lain dari arah yang berlawanan,
dengan posisi kepala jatuh terlebih
dahulu ke aspal. Riwayat pingsan tidak
dijumpai. Riwayat muntah dijumpai
dua kali, darah dijumpai. Kejang
disangkal. Riwayat keluar darah dari
hidung dijumpai, riwayat keluar darah
dari telinga disangkal.

36
DIAGNOSIS
2 Pemeriksaan CT Scan dapat Pada pasien ini dilakukan MSCT Scan
menunjukkan lokasi, volume, efek, Head potongan aksial dari basis cranii
dan potensi cedara intrakranial hingga ke vertex kemudian dilakukan
lainnya. Pada epidural biasanya rekonstruksi potongan koronal dan sagital :
pada satu bagian saja (single) tetapi -Supratentorial tampak patchy hyperdens
dapat pula terjadi pada kedua sisi lesion di parietal.
(bilateral), berbentuk bikonfeks, -Tampak hypodens lesion di parietal lobe.
paling sering di daerah Kesimpulan : IHH + ICH + Subkutan
temporoparietal. Densitas darah hematoma
yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong
ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural
hematoma, densitas yang tinggi
pada stage yang akut (60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.
3 PENATALAKSANAAN A (airway) : Airway clear, Snoring (-),
Tujuan utama manajemen pada Gurgling (-), Crowing (-)
pasien dengan cedera kepala B (breathing) : RR: 20 kali per menit,
adalah mempertahankan aliran SaO2 : 99 %.
darah serebral (cerebral blood flow C (circulation) : Tekanan darah: 110/60
; CBF ) yang adekuat unutk mmHg, Frekuensi Nadi: 90 kali per menit,
mencegah iskemia serebral dan regular, t/v cukup , Akral Hangat, Merah
hipoksia. Manajemen pada pasien CRT <3 detik
trauma terdiri dari :
1. Primary Survey dan Resusitasi

37
Pertolongan pertama mencakup D (disability) :Kesadaran: Compos mentis,
ABCDE : GCS :E4V6 M5 Pupil isokor, diameter 3
-Airway maintenance with mm/3 mm, RC: +/+
restriction of cervical spine E (exposure) : Suhu aksila: 36,8ºC
motion
-Breathing and ventilation Tatalaksana :
-Circulation with hemorrhage Bed rest + head up 30o
control Oksigen 4 lpm via nasal canule
-Disability (assessment of IVFD Ringer solution 20 gtt/i
neurologic status) Inj. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
-Exposure / Environmental Inj. Gentamicine 80mg/8 jam
control Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
2. Secondary Survey Inj. Fenitoin 100mg/ 8 jam
Survei sekunder meliputi Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
anamnesa yang disingkat dengan Inj. Ketorolac 300mg/ 8 jam
AMPLE dan pemeriksaan fisik Drip manitol 250cc  loading
yang dilakukan dari kepala Drip manitol 100cc  maintenance /
hingga jari kaki 8 jam
3. Terapi pada cedera kepala Pasang OGT
Terapi pada cedera kepala dapat Pasang Catether no. 18
dibedakan menjadi terapi konservatif
dan pembedahan. tatalaksana
konservatif non-medikamentosa
dapat berupa posisi head-up 30’.
Medikamentosa yang
digunakan untuk cedera kepala
meliputi cairan intravena,
koreksi antikoagulasi,

38
hiperventilasi sementara,
pemberian mannitol, saline
hipertonik, barbituran dan
antikonvulsan.
4. Manajemen pasca operasi di
perawatan intensif

39
BAB VI
KESIMPULAN

Pasien SGP, datang ke rumah sakit dengan luka robek pada kepala. Hal ini
dialami oleh pasien kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit setelah pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas. Mekanisme kecelakaan pasien terjatuh dari sepeda
motor karena ditabrak oleh sepeda motor lain dari arah yang berlawanan, dengan posisi
kepala jatuh terlebih dahulu ke aspal. Riwayat pingsan tidak dijumpai. Riwayat
muntah dijumpai dua kali, darah dijumpai. Kejang disangkal. Riwayat keluar darah
dari hidung dijumpai, riwayat keluar darah dari telinga disangkal.

Pasien di diagnosa dengan Traumatic ICH o/t (R) Frontal + Closed


Fracture Sinus Frontal Lamina Posterior. Pasien di tatalaksana dengan :

 Bed rest + head up 30o


 Oksigen 4 lpm via nasal canule
 IVFD Ringer solution 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 2 gr / 12 jam
 Inj. Gentamicine 80mg/8 jam
 Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Fenitoin 100mg/ 8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
 Inj. Ketorolac 300mg/ 8 jam
 Drip manitol 250cc  loading
 Drip manitol 100cc  maintenance / 8 jam
 Pasang OGT
 Pasang Catether no. 18

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Bajpai. 1991. Osteologi Tubuh Manusia. Binarupa Aksara; Jakarta


2. Basmajian JV & Slonecker CE. 1995. Grant, Metode anatomi berorientasi pada
klinik (1st ed). Jakarta: Binarupa Aksara.
3. Critchley, G., Memon, A., 2009. Head injury in a multidiciplinary approach.
Epidemiology of Head Injury: pp.1-10. Cambridge University Press, New York.
4. Mansjoer, A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, jilid 2. FKUI Jakarta:
Media Auskulapius.
5. Muttaqin, Arif, 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
6. Moore KL & Agur AM. 2002. Anatomi klinis dasar. (V. Sadikin & V. Saputra,
Eds.). Jakarta: Hipokrates
7. Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto.
8. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
9. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United
States of America: Firs Impression
10. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2005..
11. Subdural hematoma and epidural hematoma, Brain and spain injury law blog
[Internet]. 2011. Available from: www.Titolooffice.com
12. Wilkins, Williams L. Contralateral Acute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma. 2008;65.
13. Sudadi, Dyah Inggita, Raharjo Sri. 2014. Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi
Kraniotomi Cedera Kepala Berat. Jurnal Komplikasi Anestesi. 2(1):41
14. Gilroy J. Basic neurology. New York: McGraw-Hill; 2000; pg 225-77

41

Anda mungkin juga menyukai