Anda di halaman 1dari 80

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

TRAUMA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

1. Tiur Trihastutik 131611123055


2. Reny Tjahja Hidayati 131611123056
3. Erna Eka Wulansari 131611123057
4. Intan Cahyanti Sugianto 131611123058
5. Enny Selawati Boangmanalu 131611123059
6. Risca Maya Proboandini 131611123060
7. Yohanes Pemandi Doka 131611123061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
Kata pengantar

Puji dan syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kemurahan-Nya
makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas tentang
Asuhan Keperawatan Pada Sistem Persyarafan : Cedera Kepala.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai penyakit sistem
Persyarafan. Serta mengetahui tentang jalan penyakit dari penyakit pada sistem Persyarafan.
i
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah keperawatan kritis, pada metode pembelajaran
tutorial.
Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu
terselesaikannya makalah ini. Makalah ini menurut kami masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk semua yang membacanya.

Surabaya, Maret 2017

Penulis,

Kelompok II

DAFTAR ISI
Cover ......................................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan..................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................................3
Bab II Tinjauan Pustaka................................................................................................................. 4
2.1 Trauma kepala............................................................................................................4
ii
2.1.1 Anatomi Fisiologi.........................................................................................4
2.1.2 Definisi.......................................................................................................10
2.1.3 Etiologi.......................................................................................................10
2.1.4 Patofisiologi................................................................................................12
2.1.5 WOC...........................................................................................................18
2.1.6 Klasifikasi...................................................................................................20
2.1.7 Manifestasi Klinis.......................................................................................24
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik.............................................................................26
2.1.9 Penatalaksanaan..........................................................................................29
2.1.10 Prognosis....................................................................................................39
2.1.11 Komplikasi.................................................................................................39
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan..................................................................................40
BAB III TINJAUAN KASUS................................................................................................47
3.1 Pengkajian 47...............................................................................................................
3.2 Diagnosa Keperawatan.............................................................................................54
3.3 Interevensi Keperawatan..........................................................................................55
BAB IV PENUTUP ...............................................................................................................57
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................57
4.2 Saran ....................................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................59

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai penyebab
kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi penyebab utama
kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala seringkali mengalami
edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang
otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra
kranial. (Kumar, 2013).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Padila, 2012). Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan
disabilitasdan masalah sosiol ekonomi di India dan negara berkembang. Orang yang
mengalami cedera kepala diperkirakan 1,5-2 juta setiap tahun (Gururaj, Kolluri,
Chandramouli, et al., 2005). Cedera kepala di Amerika diperkirakan terjadi 1,56 juta
kasus, 290.000 pasien dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia pada tahun 2003
(Brown, Langlois, Thomas, et al., 2006).
Cedera kepala akan terus menjadi masalah yang sangat besar meskipun pelayanan
medis sudah sangat maju pada abad 21 (Perdossi, 2006). Sepuluh penyebab kematian
utama di dunia salah satunya karena kecelakaan jalan raya dan diperkirakan akan menjadi
tiga penyebab utama kecacatan seumur hidup. Kecelakaan jalan raya merupakan masalah
kesehatan yang sangat besar diberbagai belahan dunia yaitu sekitar 45% berasal dari
pasien trauma yang rawat inap di rumah sakit. Cedera kepala didunia diperkirakan
sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan
bermotor, diperkirakan sekitar 0,3- 0,5% mengalami cedera kepala (Viola, Michael,
Thompson, 2011).
Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (cranium dan tulang
wajah), atau otak. Keparahan cedera berhubungan dengan tingkat kerusakan awal otak
dan patologi sekunder yang terkait (Stillwell & Susan, 2011). Cedera kepala berat adalah
gangguan traumatic otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam
substansi tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak ditandai dengan nilai GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau

1
amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi cranium (Padila, 2012).
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera
kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang
meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan
akibat cedera kepala (Moore & Argur, 2007). Di Indonesia, cedera kepala berdasarkan
hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala dengan CFR sebanyak 100.000
jiwa meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Menurut propinsi, kejadian kecelakaan
tertinggi diatas 5000 kasus terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera
Utara. Proporsi kematian karena kecelakaan menurut propinsi dari tahun 2010-2014
menunjukan jumlah propinsi dengan proporsi kematian diatas 50% bertambah banyak
( Djaja,dkk,2016)
Berdasarkan hal tersebut, maka trauma kepala ini perlu dipelajari khususnya
dalam praktek Asuhan Keperawatan Kritis. Melalui makalah ini akan kami bahas tentang
pengertian trauma kepala, etiologi dan manifestasi trauma kepala, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis serta Asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apakah pengertian trauma kepala?
1.2.2. Apakah etiologi dari trauma kepala?
1.2.3. Apakah kalsifikasi dari trauma kepala?
1.2.3. Bagaimana patofiologis trauma kepala?
1.2.4. Apakah manifestasi klinis trauma kepala?
1.2.5. Apakah komplikasi trauma kepala?
1.2.6. Bagaimana pronosis pada trauma kepala
1.2.7. Bagaimana pemeriksaan dignostik pada trauma kepala?
1.2.8. Bagaimana Penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala?
1.2.9. Bagaimana Asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
Menjelaskan konsep teori dan Asuhan keperawatan klien dengan trauma kepala.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian trauma kepala
2. Menjelaskan etiologi dari trauma kepala
3. Menjelaskan klasifikasi dari trauma kepala
4. Menjelaskan patofiologis trauma kepala
5. Menjelaskan manifestasi klinis trauma kepala
6. Menjelaskan komplikasi trauma kepala
7. Menjelaskan prognosis trauma kepala
2
8. Menjelaskan pemeriksaan dignostik pada trauma kepala
9. Menjelaskan Penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala
10. Menjelaskan Asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2. 1. Trauma Kepala
2.1.1. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada
bayi dan anak-anak.

Gambar 2.1 Lapisan Kranium


b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
c. Meningeal

4
Selaput meningeal menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Piamater
Piamater melekat erat pada permukaa korteks serebri. Piamater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh piamater.
4) Encephalon
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
5
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2.2 Lobus-lobus Otak


5) Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
d. Otak
Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang
saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual
6
kita. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron (Leonard, 1998). Otak
merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah:

Gambar 2.3 Lapisan Otak

1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2003).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat
daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves
dkk, 2004).
b) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum
yang berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura
parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya
ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan
perkembangan emosi.
c) Lobus parietalis
7
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di
gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
(White, 2008).
d) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan
informasi saraf lain & memori (White, 2008).

e) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi
dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).

Gambar 2.4 Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan smping.
(Sumber : White, 2008)

2) Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting
dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima,
inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga
bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke
bagian lain dari sistem saraf pusat.
Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Bagian-bagian dari
cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis (Purves,
2004).

8
Gambar 2.5 Cerebellum, dilihat dari belakang atas.
(Sumber : Raine, 2009)
3) Brainstem
Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla
spinalis dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah
jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-
bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial.
Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon,
pons dan medulla oblongata.

Gambar 2.6 Brainstem.


(Sumber : White, 2008)

2. Fisiologi Kepala
a. Aliran Darah Otak ( ADO )

9
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50mL/100 gr jaringan otak per menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25 mL/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang
dan pada ADO 5ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi
kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-
160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata di bawah 50 mmHg, ADO menurun curam
dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami
gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi
yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan
eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang
mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intrakranial, haruslah
dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.

b. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala
adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya Tekanan Perfusi
Otak (TPO) adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai
formula sebagai berikut :

TPO = TAR - TIK


(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang
buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan MAP yang tinggi ternyata sangat
penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita
tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk
mempertahankan TPO yang adekuat. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang
sangat penting dalam penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

c. Regulasi aliran darah serebral

10
Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari total berat badan (rata-
rata berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan energi yang tinggi.
Konsumsi oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang mana merupakan 20%
dari konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang normal, aliran darah serebral
dijaga pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL sampai 60 mL per 100g/mnt
dengan 50 mL oksigen telah diekstraksi setiap menit dari 700 sampai 800 mL darah.
Nilai ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-rata O2 arteriovenose untuk sistem
saraf pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah. Aliran darah serebral bergantung pada
perbedaan tekanan antara arterial dan vena sirkulasi serebral dan secara terbalik
proporsional terhadap resistensi vaskular serebral. Tekanan vena pada kapiler darah
tidak bisa diukur dan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat
dengan tekanan vena, diukur untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure/CPP). CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-
rata (mean arterial pressure/MAP) dan ICP.
CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangitekanan
intrakranial, dengan rumus CPP = MAP ICP.
CPP normal berada pada rentang60-100 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan
selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3.
Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari
60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehinggahipoksia dan kematian sel otak
dapat terjadi (Morton et.al, 2005). Jika MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan
perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan
MAP (Black&Hawks, 2005)
Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu <10 mmHg dan peningkatan
ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk memulai terapi aktif. Nilai CPP 60
mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal yang diperlukan untuk perfusi
serebral yang adekuat.
Dua konsep yang penting dalam regulasi aliran darah serebral, yaitu:
1) Doktrin Monro-Kelle
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanva adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak

11
mungkin mekar. (Lihat Gambar 2, Doktrin Monro-Kellie dan gambar 3, Kurva
Tekanan-Volume).
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena
TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume (Lihat
Gambar 3, Kurva Tekanan-Volume). Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan
kedudukan pada garis datar pada kurva berapa banyak volume lesi masanya.

Gambar 2.7 Doktrin Monroe-Kellie

Doktrin Monro-Kellie - Kompensasi Intrakranial terhadap massa yang


berkembang. Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat
penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya
CSF dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama,
TIK akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui

12
maka kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan
TIK vang tajam seperti tampak pada gambar 3, Kurva Volume-Tekanan.
(Narayan RK: Head Injury, in Grossman RG. Hamilton WJ (eds): Principles
of Neurosurgery. New York. Raven Press. 1991.pp. 267)
Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita
tetap pada garis datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya
sampai melewati titik dekompensasi.

Gambar 2.7 Kurva Tekanan-Volume


(Narayan RK: Head Injury, in Grossman RG, Hamilton WJ (eds): Principles
of'Neurosurgery. New York. Raven Press. 1991, p. 267)

2) Kurva volume-pressure
Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial
(jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama
ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut:
VC = Votak + Vdarah + VCSF
Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain. Vena serebral bisa

13
dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah otak, dan volume CSF bisa
menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi dan pengaliran CSF ke bagian
spinal. Dengan adanya peningkatan volume, mekanisme kompensasi dimunculkan,
sehingga peningkatan lebih lanjut pada volume menghasilkan peningkatan tajam ICP,
memulai gambaran kurva volume-pressure.

Gambar 2.8 Kurva Volume-pressure


Kebutuhan metabolik yang tinggi dari otak dengan kombinasi persediaan
substrat yang terbatas mengharuskan untuk menjaga level CBF dalam batas yang
normal. Dalam keadaan fisiologis, hal ini dipengaruhi lewat sebuah mekanisme yang
dinamakan autoregulasi. CBF meningkat dengan vasodilatasi dan menurun dengan
konstriksi arteriol serebral dinamakan cerebral resistance vessels. Pembuluh darah
berespon pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi tekanan), viskositas
darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik yang menjaga level CBF
dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Autoregulasi tekanan
ditunjukkan pada gambar.

14
Gambar 2.9 Kurva autoregulasi CBF dan CPP normal

Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat
CBF terhadap perubahan PCO2. Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri
serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat
terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen vaskuler
bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah.
Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus
perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis, perubahan
CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada PaCO2 diatas kisaran
20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada pasien dangan trauma cedera
kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah serebral.

15
2.1.2. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Padila, 2012). Cedera kepala
adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat
menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak
(Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury
Association of America(2013), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK (Smetlzer & Bare, 2006).
2.1.3. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America (2013), penyebab utama cedera
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11%
dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama cedera kepala kepala.
Menurut CDC (2011) dari 2006-2010, menyatakan bahwa jatuh adalah penyebab
utama traumatic brain injury (TBI), prevalensi untuk 40% dari semua TBI di Amerika
Serikat yang mengakibatkan peningkatan di instalasi gawat darurat(IGD) rumah sakit
atau kematian. Jatuh secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok usia termuda
dan tertua. Lebih dari setengah (55%) dari TBI antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan
karena jatuh, lebih dari dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan
lebih tua disebabkan karena jatuh.Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab
utama keseluruhan ketiga TBI (14%). Kematian dari kasus TBI,kecelakaan kendaraan
bermotor adalah penyebab utama kedua kematian terkait TBI (26 %) untuk periode 2006-
2010 tahun. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1% dan 29,8% per100.000 populasi. Kekerasan adalah

16
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1% per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, 2011). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut:

1. Kecelakaan Lalu Lintas


Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (Rendi & Margareth, 2012). Penelitian Babu
dkk, menemukan bahwa penyebab cedera kepala pada pasien dengan perdarahan
epidural adalah kecelakaan lalulintas sebesar 52%, diikuti oleh jatuh sebesar 25%
(Babu, Bhasin&Kumar, 2005). Penelitian Al- Mochdar (2005) menemukan bahwa
kecelakaan lalulintas sebesar 90,8% dan Sadewo (2005) menemukan kecelakaan
lalulintas sebesar 65,1% diikuti oleh jatuh sebesar 16,3%.
2. Jatuh
Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat
karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah (Rendi & Margareth, 2012).Menurut CDC (2011), menyatakan bahwa Jatuh
secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok usia termuda dan tertua: Lebih
dari setengah (55%) dari TBI antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan karena jatuh,
lebih dari dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan lebih tua
disebabkan karena jatuh.
3. Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau
kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan
kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan) (Padila, 2012).

2.1.4 Patofisiologi
Menurut Hudak (2013), mekanisme khas cedera meliputi :
1. Cedera akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak ( misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala). Kekuatan
benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat percepatan, perlambatan
dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba terhadap kepala dan jaringan otak.

17
Trauma tersebut bisa menimbulkan kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan
robekan jaringan dan pergeseran sebagian jaringan terhadap jaringan otak yang lain.
2. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek yang diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. Cedera
akselerasi-deselerasi sering kali terjadi dalam kasus keecelakaan kendaraaan bermotor
dan episode kekerasan fisik. Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur
suatu benda yang keras, maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Pada tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedang pada tempat yang
berlawanan terdapat tekanan negatif paling rendah sehingga terjadi rongga dan
akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Cedera coup-conter coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruanag kranial
dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena
benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. Sebagai contoh, apabila
seseorang dipukul dengan obyek tumpul pada bagian belakang kepalanya, penting
untuk mengkaji apakah cedera pada lobus frontalis dan lobus oksipitalis serta
serebelum.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak,
yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansi alba serta
robeknya pembuluh darah yang memfiksaasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak

18
Gambar 2.10 Cedera Coup-Counter Coup

Patofisiologi aliran darah cerebral pada trauma cedera kepala


Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan mortalitas individu
dibawah umur 45 tahun di dunia. Mekanisme prinsipal cedera kepala diklasifikasikan sebagai (a)
kerusakan otak fokal karena tipe cedera kontak yang menyebabkan terjadinya kontusio, laserasi,
dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus karena tipe cedera akselerasi/deselerasi
yang menghasilkan cedera axonal difus atau pembengkakan otak. Hasil dari cedera kepala
ditentukan oleh dua mekanisme/stage substansial yang berbeda: (a) primary insult (kerusakan
primer, kerusakan mekanikal) yang terjadi saat waktu terbentur, (b) secondary insult (kerusakan
sekunder, delayed non-mechanical damage) menunjukkan proses patologi berturutan yang
dimulai saat waktu cedera dengan presentasi klinis yang ditunda. Iskemia serebral dan hipertensi
intrakranial merujuk pada secondary insult.
Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal saat fluktuasi biasa
pada tekanan darah dengan proses autoregulasi. Normalnya autoregulasi menjaga aliran darah
konstan antara tekanan arteri rata-rata (MAP) 50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang
iskemik atau mengalami trauma, atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil dan sodium
nitropruside) aliran darah otak CBF (Cerebral Blood Flow) bisa bergantung pada tekanan darah.
Defek autoregulasi aliran darah serebral bisa muncul segera setelah trauma atau mungkin bisa
berkembang selama waktu, dan hal ini menjadi transien atau persisten dalam keadaan yang
irrespective adanya kerusakan ringan, sedang, atau parah. Sehingga tekanan arteri meningkat lalu

19
CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak. Sama seperti jika tekanan turun,
CBF juga akan turun mengurangi tekanan intrakranial, tapi juga memicu pengurangan tak
terkontrol CBF.
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme penting untuk
menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat. Demikian juga, kedua pola tersebut
merupakan dasar manajemen tekanan perfusi serebral dan tekanan intrakranial dan gangguan
mekanisme regulator mencerminkan peningkatan resiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi
trauma cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada
kebanyakan pasien. Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera
untuk menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah
trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadinyata atau persisten pada
bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atau berat. Autoregulasi vasokonstriksi
juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi yang
mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan rendah daripada tekanan perfusi serebral
tinggi.
Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas CO2 serebrovaskular
terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien yang mengalami cedera otak parah dan
prognosis buruk, terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada fase awal setelah trauma. sebaliknya
reaktivitas CO2 lebih utuh atau mungkin meningkat pada kebanyakan pasien yang menerima
prinsip fisiologis sebagai target manajemen intrakranial pada status hiperemik.
Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi trauma autoregulasi masih
bisa berfungsi. Pada situasi jika CPP (Cerebral Perfusion Pressure) turun dibawah nilai kritis 70
mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat. Autoregulasi akan
menyebabkan vasodilatasi serebral mengawali peningkatan volume otak. Hal ini sebaliknya akan
meningkatkan tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang dijelaskan dengan kaskade
vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.

20
Gambar 2.11 Kaskade Vasodilatasi

Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah untuk menaikkan
tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade vasokonstriksi. Hal ini menjelaskan mengapa
pemeliharaan tekanan darah arteri pada level yang adekuat dengan monitoring cermat dan
koreksi yang cepat jika terjadi penurunan sangatlah penting.

Gambar 2.12 Kaskade vasokonstriksi

Karbon dioksida menyebabkan vasodilatasi serebral. Dibandingkan dengan autoregulasi


serebral, reaktivitas CO2 (konstriksi serebrovaskuler atau dilatasi pada respon terhadap hipo-
atau hiperkapnia) kelihatannya merupakan kejadian yang lebih kuat. Dengan terjadi peningkatan
tekanan arterial CO2, CBF meningkat dan ketika terjadi pengurangan maka akan memicu
vasokonstriksi. Sehingga hiperventilasi bisa mengawali terjadinya pengurangan rata-rata tekanan
intrakranial sekitar 50% dalam 2-30 menit. Ketika PaCO2 kurang dari 25 mmHg (3,3kPa) tidak
21
terdapat pengurangan lebih lanjut pada CBF. Akibatnya, tidak terdapat keuntungan untuk
memicu hipokapnia lebih lanjut sebagaimana hanya akan menggeser kurva disosiasi lebih ke
kiri, membuat oksigen kurang tersedia untuk jaringan.

Gambar 2.13 Kurva hubungan PCO2 arterial dengan CBF

Vasokonstriksi hipokapnia akut hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat.
Sementara hipokapnia dipelihara, terjadi peningkatan gradual CBF pada nilai kontrol yang
memicu terjadinya hiperemia serebral (over-perfusion) jika PaCO2 dikembalikan secara cepat
menjadi normal level. Ketika ventilasi jangka panjang diperlukan, hanya hipokapnia ringan (34-
38 mmHg: 4,5-5,1 kPa) harus dipicu. Hasil yang lebih buruk pernah dilaporkan pada pasien
setelah cedera kepala pada bulan ketiga dan keenam yang telah dilakukan hiperventilasi pada
level PaCO2 rendah untuk periode yang lama.

2.1.5 WOC CEDERA KEPALA

Trauma kepala
Gangguan
kesadaran
Ekstra Kranial Ekstra Kranial Intra Kranial

Terputusnya Terputusnya Cedera otak


- Gangguan fungsi
kontinuitas jaringan kontinuitas (kontusio,
luhur
- Gangguan Gangguan
kulit, otot & 22tulang
jaringan laserasi)
Resiko - Perubahan perilaku
keseimbangan fungsi sensorikjalan
- Bersihan
Gangguan
Vaskuler
Girus medialis Perfusi - Gangguan
- Gangguan fungsi
Gangguan Penurunan
(anosmia,
- Perubahan
napas
fungsi
serebral
Resiko motorik Gangguan
Kemampuan
hipestesi,
-Resiko
lobus temporalis
Mesensefalon
Perdarahan
Perubahan Gangguan Gangguan memorineurologis
Perubahan -autoregulasi
Dispnea
penglihatan
Herniasi
PTIK
Resiko unkus tidak
Aspirasi efektif
infeksi
Immobilisasi Lobus Cemas
parietal - Afasia
Nyeri
- Tuli sensorineural Mobilitas
Menelan Fisik
Cedera
tergeser
tertekan
- Hematoma
sirkulasi Defisit perawatan
CSS Lobus suplai Hipoksia
Iskemia
darah
diri temporal
fungsiLobus
otak oksipital
Frontal pola
Gangguan pemenuhan napas - Edema
fokalKejang nutrisi Hentidll)
parestesi,
- serebral
napas
2.1.5 Klasifikasi
Cedera kepala digolongkan dengan berbagai macam klasifikasi berdasarkan
kepentingannya, namun disini akan dibahas penggolongan menurut patologis yang terjadi
dan gambaran cederanya. Menurut Satyanegara dkk (2010), terdapat empat klasifikasi
cedera kepala, yaitu:
1. Cedera kepala primer, dapat berupa:
a. Fraktur linear, depresi, basis kranii, kebocoran likuor merupakan rusaknya
kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur dapat terjadi dengan
atau tanpa kerusakan otak. Fraktur digolongkan menjadi fraktur terbuka

23
(kerusakan dura) dan fraktur tertutup bila dura tidak rusak (Smetlzer & Bare,
2006).
1) Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindugi
jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan
melewati jaringan otak. SCALP merupakan singkatan dari Skin, subCutan,
Aponeurosis galea, Loose arerolar, Periosteum. Cidera pada scalp dapat berupa:
Eskoriasi.
Vulnus apertum.
Hematom subcutan
Hematom subgaleal
Hematom subperiosteal.
Pada eskoriasi dapat dilakukan wound toilet, yakni mencuci luka serta
menghilangkan jaringan yang sudah tidak berfungsi maupun benda asing,
sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai
mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead
space antara periosteum dan subcutis sedangkan didaerah subcutan banyak
mengandung pembuluh darah, demikian juga rambut banyak mengandung kuman
sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi sampai
terbentuknya abses).
Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam
jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan
benang nonabsorbsable tetapi dengan simpul yang terbalik, untuk menghindari
terjadinya "druck necrosis/nekrosis akibat penekanan , pada kasus terjadinya
excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan injeksi anti tetanus.
Pada kasus dengan hematom subcutan sampai hematom subperiosteum
dapat dilakukan bebat tekan kemudian diberikan analgesia, jika selama 2 minggu
hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril, Pada bayi dan anak anak
dimana hematom yang lebih dari 2minggu tidak dapat diserap, harus dipikirkan
terjadinya fraktur kalvaria. Hati-hati cedera scalp pada anak-anak/bayi karena
perdarahan begitu banyak dapat terjadinya shok hipovolumik.

2) Fraktur linier kalvaria

24
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja
pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang
kepala bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial, tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi karena gaya yang
menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan
terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS. Dr. Sotomo
Surabaya didapatkan 88% epidural hematom disertai dengan fraaaktur
linier kalvaria.Jika gambaran fraktur tersebut kesegala arah disebut "Steallete
fracture", jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur.

3) Fraktur depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur
masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan
pernah tidaknya fragmen fraktur berhubungan dengan udara luar maka fraktur
depresi dibagi 2 yaitu : fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka.
Fraktur depresi tertutup. Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak
dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan: (1).
Gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi, penurunan
kesadaran, (2) Secara kosmetik jelek misal : fraktur depresi didaerah frontal
yang berhubungan dengan pekerjaannya. Tindakan yang dilakukan adalah
mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan
otak.setelahnya mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya,
sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan
neurologis tidak perlu dilakukan operasi.
Fraktur depresi terbuka. Semua fraktur epresi terbuka harus dilakukan
tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi
(meningoencephalitis) Yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang
jaringan yang devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing,
evakuasi hematom, kemudian menjahit duramater secara "water tight"/kedap
air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan atau pun dibuang, fragmen
tulang dikembalikan jika : (a) Tidak melebihi golden periode (24 jam), (b)
Duramater tidak tegang. Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil
maka pengembalian tulang dapat secara mozaik

25
4) Fraktur Basis kranii
a. Secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis kranii dan kalvaria
yaitu:
Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah
kalvaria.
Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria
Duramater daerah basis lebih melekat erat pada tulang
dibandingkan daerah kalvaria
b. Tanda klinis fraktur daerah basis yang menyebabkan robekan durameter,
yaitu :
Bloody otorrhea.
Bloody rhinorrhea
Liquorrhea
Brill Hematom
Batles sign
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII

c. Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan


dengan diagnose secara radiologis oleh karena:
Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat
berbahaya tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera
vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan
kesadaran yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan
Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan
merubah penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis
kranii.

d. Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:


Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal
cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan
sembelit.
26
Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody
otorrhea/ otoliquorrhea,
Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea
/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala
miring keposisi yang sehat.
Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya
meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU
Dr. Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan
alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan diruangan
steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan
pemberian kami batasi sampai bloody
rhinorrhea/otorrhea berhenti.

e. Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi:
Mengingoensefalitis
abses serebri
Lesi nervii cranialis permanen
Liquorrhea
CCF (Carotis cavernous fistula)

5) Komosio serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya
kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan
secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama
kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya
amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan :
tidak didapatkan adanya kelainan.

6) Kontusio serebri

27
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita
pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan
adanya kelaianan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti
hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala,
amnesia retrograde/antegrade, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan daerah
hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan
bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami
contusio serebri.yang gambaran pada CT Scan disebut "Pulp brain "

7) Epidural hematom (EDH = Epidural hematom)


Epidural hematom adalah hematom yang terletak antara duramater dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya :
Arteri meningica media (paling sering)
Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria)
Vena emmisaria.
Sinus venosus duralis
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan
tubuh) yang dapat berupa :
hemiparese/plegi
pupil anisokor
reflek patologis satu sisi
Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH.
Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi/ipsilateral dengan
lokasi EDH sedangkan Hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi
EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti
adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi
lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang
lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai
kesempatan untuk melakukan kompensasi)

28
Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens
dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura,
Sedangkan indikasi operasi jika:
Terjadinya penurunan kesadaran
Adanya lateralisasi
Nyeri kepala yang hebat dan menetap yang tidak hilang dengan pemberian
anlgesia.
Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih
dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5
mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan
sumberperdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan jika saat
operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak
dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan
dapat disimpan subgalea.
Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan
dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik
eksplorasi yaitu " Burr hole explorations " yaitu membuat lubang burr untuk
mencari EDH biasanya dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu (berurutan)
pada tempat jejas/hematom
pada garis fratur
pada daerah temporal
pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria)
pada daerah parietal
pada daerah occipital.
Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8,
datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun

8) Subdural hematom (SDH)


Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah
lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari :
Bridging vein (paling sering)
A/V cortical
Sinus venosus duralis

29
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 :
Subdural hematom akut : terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian
Subdural hematom subakut: terjadi antara 3 hari 3 minggu
Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran,
disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi.
Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent)..
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe brain injury commition) pada
perdarahan subdural adalah :
Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM.
Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumer
perdarahan oleh karena biasanya disertai dengan edema serebri biasanya tulang
tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.
Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi,
lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak
serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %,
makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua penderita makin jelek
prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

9) Intracerebral hematom (ICH)


Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yng
disertai dengan edema disekitarnya (perifokal edema)
Indikasi dilakukan operasi jika:
Single
Diameter lebih dari 3 CM
Perifer.
Adanya pergeseran garis tengah

30
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis
/lateralisasi
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya
hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan
subdural

10) Diffuse axonal injury (DAI)


Secara definisi yang disebut diffuse axonal injury adalah koma lebih dari 6
jam yang pada pemeriksaan CT Scan tidak didapatkan kelainan (gambaran
hiperdens), jadi yang dipakai sebagai golden standart diagnostic adalah CT Scan.
Secara klinis DAI dibagi menjadi 3 gradasi:
a) DAI ringan : jika koma terjadi antara 6 24 jam.
b) DAI sedang: jika koma lebih dari 24 jam tanpa disertai tanda-tanda
deserebrated decorticated.
c) DAI Berat: Jika koma lebih dari 24 jam yang disertai tanda-tanda
deserebrated / decorticated.
Sedangkan menurut WHO yang disebut koma jika GCS kurang dari 8
(Unopen eyes, unuterred words and unobey commands). Pada kasus dengan DAI
berat, biasanya prognosenya jelek.

b. Cedera fokal yang berupa coup dan countercoup, hemato epidural, subdural atau
intraserebral. Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya
didapatkan pada kira-kira setengah dari kasus cedera kepala berat (Satyanegara
dkk, 2010).
1) Coup adalah gerakan yang menyebabkan memar pada titik benturan (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).
2) Counter coup adalah benturan pada tempat yang jauh dari benturan/ ketika
otak membentur permukaan tengkorak yang tidak lentur (Satyanegara, 2010).
3) Hematoma epidural adalah kondisi setelah cedera, dimana darah terkumpul di
dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan dura (Mallinckrodt
Institute of Radiology, 2006).
4) Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak
(Mallinckrodt Health Central., 2013).

31
5) Hematoma intraserebral adalah perdarahan intraserebral hematoma adalah
perdarahan yang terdapat di dalam substansi otak (MedicineNet, 2013).
c. Cedera difus yang berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa cedera aksional
difusa yang ringan, moderat hingga berat. Cedera difus berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson,
maka cedera ini juga dikenal dengan nama cedera aksonal difusa.
d. Trauma tembak merupakan cedera yang timbul karena tembakan/ peluru.

2. Kerusakan otak sekunder, dapat berupa:


a. Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan metabolisme energi dan
kegagalan autoregulasi
b. Hematoma traumatik: epidural, subdural (akut dan kronis), atau intraserebral
c. Edema serebral perifokal generalisata
d. Pergeseran otak (brain shift)
e. Herniasi batang otak
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis cedera
kepala diklasifikasikan berdasarkan : Mekanisme, beratnya dan morfologi cedera kepala
(CDC, 2010).
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas:
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul, dapat terjadi
1) Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil maupun motor.
2) Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau dipukul
dengan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus
Disebabkan oleh :
1) Cedera peluru
2) Cedera tusukan
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka
mata, respon motorik dan respon verbal (Padila, 2012).

a. Respon membuka mata Skor


32
Membuka mata spontan 4
Buka mata bila ada rangsangan suara atau sentuhan ringan 3
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon sama sekali 1
b. Respon motorik
Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
c. Respon verbal
Orientasi baik 5
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi ) 4
Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk kalimat ( teriakan ) 3
Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :
a. Cedera kepala ringan: GCS 14 15
b. Cedera kepala sedang: GCS 9 13
c. Cedera kepala berat: GCS 3 8
3. Morfologi cedera kepala
Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas:
a. Fraktur kranium.
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Dibagi atas :
1) Fraktur kalvaria:
a) Bisa berbentuk garis atau bintang
b) Depresi atau non depresi
c) Terbuka atau tertutup
2) Fraktur dasar tengkorak:
a) Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal fluid (CSF)
b) Dengan atau tanpa paresis N.VII.
b. Lesi intrakranium.
Dapat digolongkan menjadi :
1) Lesi fokal:
a) Perdarahan epidural
b) Perdarahan subdural
c) Perdarahan intraserebral
2) Lesi difus:
a) Komosio ringan
b) Komosio klasik
c) Cedera akson difus
4. Berdasarkan patofisiologi
a. Komosio serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak tapi hanya kehilangan fungsi
otak sesaat (pingsan < 10 mnt) atau amnesia pasca cedera kepala.
b. Kontusio serebri : kerusakan jaringan otak, pingsan > 10 mnt atau terdapat lesi
neurologik yang jelas.
33
c. Laserasi serebri : kerusakan otak yang luas, robekan duramater, fraktur tulang
tengkorak terbuka.

Gambar 2.14 Lokasi cedera kepala

2.1.7. Manifestasi Klinis


Menurut Wong (2009), orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala. Dengan mengetahui manifestasi klinis dari cedera kepala,
dapat dibedakan antara cedera kepala ringan dan berat.

1. Cedera ringan
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran. Periode konfusi (kebingungan) transien,
somnolen, gelisah, iritabilitas, pucat, muntah (satu kali atau lebih)
b. Tanda-tanda progestivitas
c. Perubahan status mental (misalnya sulit dibangunkan). Agitasi memuncak, timbul
tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang tampak
jelas
2. Cedera berat
Tanda-tanda peningkatan TIK, perdarahan retina, paralisis ekstraokular (terutama
saraf kranial VI), hemiparesis, kuadriplegia, peningkatan suhu tubuh, cara berjalan
yang goyah, papiledema

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
34
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
Manifestasi lain pada cedera kepala:
a. Kejang
Tidak selalu diikuti epilepsi kronik
Tidak perlu penanganan khusus , kecuali jika berkepanjangan atau berulang
Therapy :
Diazepham 10 mg IV
Phenytoin 1 gr IV kemudian 50 mg IM
Jika kejang menetap :
Phenobarbita
Anestesi
b. Gelisah
Gelisah sering dijumpai pada cedera otak atau cerebral hypoxia
Dapat oleh sebab lain:
Rasa sakit
Buli-buli penuh
Bandage / cast terlaku ketat
Atasi penyebabnya: Terjadi severe agitasi : Chloprometazine 10 25 mg IV
c. Hypertermia
Meningkatkan resiko pada :
Metabolisme otak meningkat
Level Co2 meningkat

35
Atasi dengan :
Hypothermia Blanket
Chlorpromazine
Kriteria Untuk Observasi Dan Perawatan :
1. Post trauma amnesia
2. Kesadaran yang menurun
3. Riwayat kehilangan kesadaran
4. Nyeri kepala sedang atau berat
5. Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak, air fluid levele
6. Ada tanda fractur basisi
7. Cedera berat ditempat lain
8. Tidak ada yang menemani di rumah sehingga tidak ada yang observasi
9. Ada tanda fractur basisi
10. Cedera berat ditempat lain
11. Cedera berat ditempat lain
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin berupa Haemoglobin, leukosit, gula darah sewaktu, Gula
darah sewaktu, ureum dan kreatinin, elektrolit dan albumin serum pada hari I.

b. X Ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
c. CT scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
36
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti
bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik,
selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada
40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping
itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat,
2007 ).
d. Angiografi
Angiografi merupakan tes radiologis emergensi paling penting untuk menilai
pasien cedera kepala dengan koma. Yang pertama disukai karena bisa didapat dalam
waktu singkat, bahkan walaupun yang terakhir lebih banyak memberikan informasi.
Ventrikulografi memberi dua bagian informasi penting: derajat pergeseran otak
supratentorial dan tekanan intrakranial. Bila prosedur ini dilakukan dalam metoda
dan tampilan standar, ventrikel hampir selalu dapat dikanulasi yang akan
memberikan pengukuran TIK yang baik serta pemeriksaan udara, bahkan bila pasien
dengan pergeseran ventrikular berat atau ventrikular dalam slit-like akibat sekunder
dari kompresi. Pada cerebral angiografi dapat dilihat ketidaknormalan sirkulasi
seperti perubahan-perubahan jaringan otak akibat udema
e. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik
(Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah
terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus
(CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya
CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di
dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
37
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam
Sastrodiningrat, 2007 ).
f. Pemeriksaan pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
g. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.
Tabel Saraf Kranial

38
Gambar 10. Pemeriksaan pada pasien cedera kepala

2.1.9. Penatalaksanaan
a) Manajemen Perawatan Pasien Cedera Kepala di Rumah Sakit
Menurut (Padila, 2012) Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat
keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :
1) Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3) Penurunan tingkat kesadaran
4) Nyeri kepala sedang hingga berat
5) Intoksikasi alkohol atau obat
6) Fraktura tengkorak
7) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8) Cedera penyerta yang jelas
9) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10) CT scan abnormal

b) Penatalaksanaan Cedera Kepala


1) Cedera Kepala Ringan (Gcs = 14 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit

39
kepala hebat. 3 % penderita cedera kepala ringan ditemukan fraktur tengkorak. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan pada cedera kepala ringan, yaitu :
i. Tanda Klinis cedera kepala ringan adalah :
Keadaan penderita sadar
Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah
pengaruh obat-obatan / alkohol.
Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan

ii. Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
Ekimosis periorbital
Rhinorea
Otorea
Hemotimpani
Battles sign

iii. Penilaian terhadap Foto rontgen meliputi :


Fractur linear/depresi
Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
Batas udara air pada sinus-sinus
Pneumosefalus
Fractur tulang wajah
Benda asing

iv. Pemeriksaan laboratorium :


Darah rutin tidak perlu
Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel

v. Therapy yang dilakukan pada cedera kepala ringan adalah :


Obat anti nyeri non narkotik
Toksoid pada luka terbuka

40
vi. Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit

2) Cedera Kepala Sedang ( Gcs = 9-13 )


i. Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
ii. Pada 10 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
iii. Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
Pemeriksaan CT scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan
cedera kepala berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

3) Cedera Kepala Berat ( GCS 3 8 )


i. Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun
status kardiopulmonernya telah distabilkan
ii. Cedera kepala berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
iii. Diagnosa dan terapi sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
iv. Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera kepala berat harus
dilakukan secepatnya.

c) Penatalaksaan Sesuai Primary dan Secondary Survey


1) Primary survey dan resusitasi

41
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tekanan darah sistolik < 95 mmHg ) mempunyai
mortalitas 2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
a) Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil
telah dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg
b) Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

2) Secondary survey
Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik head to toe
3) Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
42
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

d) Terapi Medikamentosa Untuk Trauma Kepala


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan
hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara
agresif
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi
otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.

43
C. Manitol
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak
terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan
cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol.
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulsan
Penggunaan anticonvulsan profilaksis tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital dan Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke
I
Obat lain diazepam dan lorazepam

e) Penatalaksanaan Pembedahan
44
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan desinsfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada
luka menunjukan adanya robekan dura. konsultasi ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam
jiwa dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat
dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapi yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal, hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.

45
ALOGARITMA
a. Alogaritma COR

Definisi: pasien sadar dan berorientasi (GCS 13-15)

RIWAYAT

Nama,
Nama, umur,
umur, jenis
jenis kelamin,
kelamin, ras,
ras, pekerjaan
pekerjaan
mekanisme
mekanisme cedera
cedera
waktu
waktu cedera
cedera
tidak
tidak sadar
sadar segera
segera setelah
setelah cedera
cedera
tingkat
tingkat kewaspadaan
kewaspadaan
amnesia:
amnesia: retrograde,
retrograde, antegrade
antegrade
sakit kepala: ringan, sedang, berat
pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

pemeriksaan neurologis terbatas


Definisi: GCS 9-12

pemeriksaan rontgen vertebra servical dan lainnya sesuai


indikasi inisial
Pemeriksaan
Sama dengan
pemeriksaan kadarpasien
alkoholcedera kepala
darah dan ringan
zat toksik ditambah
dalam urin
pemeriksaan darah sederhana
pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
dirujuk keCT
pemeriksaan rumah sakit yang
scan kepala memiliki
merupakan fasilitas
indikasi bedah
bila memenuhi
saraf
kriteria kecurigaan perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi

observasi
observasi atau
atau dirawat
dirawat di
di RS
RS dipulangkan
dipulangkan dari
dari RS
RS

Setelah Dirawat
CT scan tidak ada tidak memenuhi kriteria rawat
Lakukan pemeriksaan neurologisdiskusikan
CT scan abnormal periodic kemungkinan kembali ke
semua cedera lakukan
tembuspemeriksaan CT scan ulang
rumah bila
sakitkondisi
bila memburuk dan
pasien
riwayat hilang kesadaran memburuk dan bila pasien akan
berikan kertas observasi
dipulangkan
kesadaran menurun jadwalkan untuk kontrol ulang
nyeri kepala sedang-berat
intoksikasi alcohol/obat-obatan
fraktur tulang
kebocoran likuor: rhinorea-otorea
Bilapenyerta
cedera kondisi yang
membaik
bermakna Bila kondisi memburuk
(90%)
tak ada keluarga di rumah (10%)
GCS < 15
deficit neurologis fokal
b. Pulang bila
Alogaritma COS
memungkinkan Bila pasien tidak mampu
Kontrol di poliklinik melakukan perintah sederhana lagi,
46 segera lakukan pemeriksaan CT
scan ulang dan penatalaksananaan
selanjutnya sesuai protocol cedera
kepala berat
Definisi: pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan Penatalaksanaan


ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE
Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
c. Alogaritma COB
Obat-obat (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)
Manitil
Hiperventilasi sedang (PC)2 < 35 mmHg)
Antikonvulsan

47

CT Scan
Penanganan Sebelum Sampai Di Rumah Sakit Atau Fasilitas Yang Lebih Memadai
I. Pada pertolongan pertama :
Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering trauma
kepala disertai trauma leher.
Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2 dan CO2
Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
Pasang BACK BOARD ( spinal board)
Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum dilakukan
penjahitan situsional.
Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi syok dengan
pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat
penatalaksanaan hemoragik syok)
Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula obat
penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.
II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit.
48
Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan
Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :
Pertahankan metabolisme otak yang adekuat
Mencegah dan mengatasi hyper tensi
A. Mempertahankan kebutuhan metabolisme otak
Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian oksige ke
otak, metabolisme perlu oksigen dan glucosa.
Usahakan PaO2 > 80 mmHg
Pertahankan PaCO2 26 28 mmHg
Trnsfusi darah mungkin diperlukan sebagai oxygen carrying capacity
B. Mencegah hypertensi intra cranial
Hypertensi ini dapat terjadi akibat :
Masa lesi
Pembengkakan otak akut
Odema otak
Cara mengatasi Hipertensi intracranial:
a. Lakukan hypocapnia
Konsentrasi Co2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak
Co2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume intrakranial
Co2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun
Tindakan hyperventilasi :
Menurunkan intra cerebral acidosis
Meningkatkan metabolisme otak
Anjurkan hyperventilasi dan pertahankan Pco2 antara 26 28 mmHg
Hati-hati pada saat melakukan tindakan intubasi
b. Kontrol cairan
Cegah overhidrasi
IV jangan hypoosmolar
Jangan dilakukan loading
c. Diuretic :
Manitol menurunkan volume otak dan menurunkan tekanan intra kranial

49
Dosis 1 gr / kg BB IV cepat
Furosemid 40 80 mg IV (Dewasa)
Lakukan observasi dengan ketat
d. Steroid
Tidak direkomendasikan pada cedera kepala akut
2.1.10. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemulihan dari
cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
2.1.11. Komplikasi
Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan herniasi melalui
tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk cedera terbuka dan
edema dihubungkan dengan trauma jaringan. Ruptur vaskular dapat terjadi sekalipun
pada cedera ringan; keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan
permukaan serebral. Kompesi otak di bawahnya akan menghasilkan efek yang dapat
menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin memburuk (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).
Adapun komplikasi menurut (Sastrodiningrat, 2009) dari trauma kepala itu sendiri
sebagai berikut:
a. Epidural Hematoma
b. Subdural Hematoma
c. Intracerebral Hematoma

2.1.12. Manajemen Perawatan Pasien Cedera Kepala Di ICU


Perawaan intensif untuk cedera kepala berat harus termasuk kontrol TIK, sistem
respiratory, CNS, sistem sirkulasi, metabolisme glukosa,temperatur dan balance cairan.
Dengan monitoring infasif dan non infasif ini semua tindakan pencegahan untuk semua
masalah sudah siap. Disamping cedera kepala berat dapat berujung pada gejala sisa
neurologis permanen, dapat juga memberikan hasil yang baik pada pasien yang masih
muda yang secara agresif diturunkan peningkatan TIK nya dan optimisasi cerebral
perfution presure (CPP), dan oksigenasi otak dari pendekatan multi disiplin oleh bagian
saraf, bagian anastesi saraf dan bagian bedah saraf (Akarsu, 2012).

Menurut Arkasu (2012), Ada bebeberapa indikasi pasien masuk ruang ICU,yaitu :
a) Gangguan kesadaran
50
b) Gangguan saluran pernapasan
c) Gangguan respirasi yang progresif atau butuh ventilator
d) Kejang
e) Bukti klinis atau bukti Ct Scan yang menunjukkan peningkatan TIK yang disebabkan oleh
space occupying lesion, edema serebral atau haemoragic conversion dari sumbatan serebral.
f) Komplikasi dari pengobatan ( contohnya: hipertensi, hipotensi, gangguan cairan dan
elektrolit, aspiration pneumonia, sepsis, cardiac arrytmias, pulmonary embolism)
g) Monitoring ( contohnya: tingkat kesadaran, fungsi respirasi, TIK yang di pantau dengan
EEG)
h) Penanganan spesifik ( contohnya: intervensi bedah saraf, trombolysis intravena atau arteri)

Ada beberapa hal yang dilakukan untuk perawatan pasien cedera kepala di ICU, yaitu :

1. Resusitasi dengan tindakan ABCD


a. Manajemen jalan nafas / Airway
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi. Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol servikal
sehingga dapat memudahkan oksigen masuk ke paru -paru. Lakukan posisi head
up <30 derajat untuk mempermudah aliran masuk dan keluar darah ke otak. Pada
pasien dengan GCS < 8 maka harus segera dipasang ETT (Soertidewi, 2012

b. Manajemen Pernapasan / Breathing


Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan saturasai 95
100 %. Dosis oksigen yang diberikan 10-15 liter/menit intermiten. Lihat
perkembangan data apakah simestris atau tidak, deviasi trakea,suara nafas
tambahan, distensi vena jugularis. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
melalui SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan pemasangan ETT
maka di anjurkan memakai ventilator mekanik (Soertidewi, 2012).

c. Manajemen Sirkulasi/ Circulation


Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik ,90 mmHg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
resiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks atau syok septik.
51
Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan adanya ciri-ciri
perdarahan. Pasang IV line jarum besar. Pada kasus peningkatan tekanan
intrakranial, frekuensi nadi dan pernapasan menurun, sedangkan tekanan darah
dan suhu meningkat. Hentikan sumber perdarahan, perbaiki fungsi jantung,
mengganti darah yang hilang atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9 %
(Soertidewi, 2012).

d. Disability
Menilai gangguan neruologis pada psien seperti tingkat kesadaran,
pupil,laserasi, muntah, nyeri kepala. Tingkat kesadaran biasanya terjadi
penurunan dari : sadar, gelisah, menjadi tidak sadarkan diri. Penilaian kesadaran
ini menggunakan nilai GCS. Pupil biasanya mengalami masalah yaitu anisokor
sebagai penanda adanya herniasi otak. Muntah, dapat terjadi pada peningkatan
tekanan pada pusat refleks muntah di medulla.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium pada pasien cedera kepala, yaitu :
a. Haemoglobin, leukosit, dan diferensiasi sel
Tinjau kadar Hb dan Ht untuk mengetahui status anemia (Stillwelth,
2011). Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai
sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio
(CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal,sedangkan
angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama
penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang
mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi
di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan
prediktor yang sederhana (Soertidewi, 2012).
b. Gula darah sewaktu
Pada keadaan trauma, tubuh berusaha mempertahankan kadar glukosa
darah. Hiperglikemia reaktif dapat terjadi sebagai reaksi non-spesifik terhadap
terjadinya stres akibat kerusakan jaringan. Reaksi ini adalah fenomena yang
tidak berdiri sendiri dan merupakan salah satu aspek perubahan biokimiawi
52
multipel yang berhubungan dengan cedera kepala fase akut. Pada penderita
cedera kepala berat dengan hiperglikemia akan menghasilkan lebih banyak
glutamat. Selain itu akibat hiperglikemia dapat pula terjadi penurunan aliran
darah ke otak akibat hiperosmolalitas darah serta terganggunya fosforilasi
oksidatif dan produksi ATP. Keadaan hipoksia setelah cedera kepala, glukosa
akan mengalami metabolisme anaerob menjadi asam laktat dan hasil akhirnya
akan menyebabkan terjadinya asidosis intraseluler dan ekstraseluler yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan neuron, jaringan glia dan jaringan vaskuler.
Dikatakan bahwa pada penderita cedera kepala yang mengalami hiperglikemia
akan terjadi hiperosmolalitas yang mengakibatkan penurunan konsumsi oksigen
sebesar 18% dan penurunan aliran darah ke otak sebesar 17 %.
Berdasarkan penelitian dari Soertidewi (2012), hiperglikemia aktif dapat
merupakan faktor resiko bermakna untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS
201-220 mg/dl dan OR 39,82 untuk GDS > 220 mg/dl.
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu dilakukan karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi
ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
d. Analisa gas darah
Pemeriksaan analis gas darah untuk mengetahui adanya hipoksemia (PaO2
<60 mmHg) dan hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg). Gangguan hasil pemeriksaan
GDA dapat meningkatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit Na, K, Cl
Kadar elektrolit yang rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
f. Albumin serum pada hari I
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7 3,4 g/dl)
mempunyai resiko kematian 4.9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar
albumin normal ( Janis, 2006 ; Soertidewi, 2012).

3. Manajemen tekanan intrakranial


Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau
hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK
normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:

53
a. Posisi tidur:
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan
dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas
tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

4. Manajemen Nutrisi

Nutrisi juga mendapatkan efek dari respons post traumatic stress, yang
diasosiakan dengan akibat dari cedera kepala. Respons post traumatic stress
berkarakteristik dengan peningkatan gula darah, laktat, katekolamine dan kortisol.
Bantuan nutrisi harus diberikan sesegera mungkin setelah cedera kepala.Nutrisi yang
cukup dapat membantu penyembuhan.Bantuan enteral nutrisi awal telah terbukti
melemahkan respons katabolik dan meningkatkan sistem imun dan meningkatkan
hasil neurologis.Jika traktus digestif berfungsi, enteral nutrisi, atau diberikan lewat
tube yang diletakkan kedalam perut, lebih disarankan. Parenteral nutrisi harus
sebagai cadangan untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal atau mereka
yang tak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi lewat enteral nutrisi saja (Akarsu, 2012).
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum
karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan
rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80
mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin
juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, riboflavin, dan vitamin K yang
diberikan berdasarkan indikasi.

54
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah
terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi
sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi
peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.

5. Neurorestorasi/rehabilitasi

Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan


ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.
Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma
Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT ).
Bila GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi
ke klinik memori bagian neurologi.
6. Mencegah terjadinya komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
seizure , dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure Early seizure terjadi pada
kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di
daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-
10 hari.
b. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis
antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal,
diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat
paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan
pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
55
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan
gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah.
Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian
atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh
cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan
ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor
blockers(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5
hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh,
patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada
retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila
perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat
yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.

7. Neuroproteksi/ Proteksi serebral


Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera otak primer dengan
timbulnya kerusakan sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian
neuroprotektor. Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-
obat tersebut antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine) yang
terutama diberikan pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk
memperbaiki memori. Dari beberapa percobaan penting, terungkap bahwa agen
neuroprotektor yang diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan
menambah perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih
diragukan kegunaannya. Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan
melakukan pencegahan efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan
terjadinya komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi
intervensi non-farmasi (terapi gizi). Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi
serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang
dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat
proteksi serebral berdasarkan patofi siologi mekanisme kerja yang spesifik
menjanjikan perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral.

56
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

PENGKAJIAN BERDASARKAN SISTEM


a. Breathing
Kompresi batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi, maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Afaxia breathing. Nafas berbunyi stridor , ronkhi,
wheezing, ( kemungkinan karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intra kranial. Perubahan frekuensi jantung ( Bradikardia,
takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia ).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus kranialis, maka akan terjadi :
1) Perubahan status mental ( orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori )
2) Perubahan dalam pengelihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang
3) Perubahan pupil ( respon terhadap cahaya, simetri ), deviasi pada mata
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diagfragma

57
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan dimana yang tampak lidah jatuh ke
salah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Blader
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontenensia urin dan
ketidakmampuan menahan miksi
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah ( mungkin
proyektil ), kembung, dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
( disfagia ) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese dan paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antar pusat saraf diotak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

PENGKAJIAN BERDASARKAN POLA / SPESIFIK

a. Aktivitas istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, dan hilangnya keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, lethargi, hemiparase, quadparesis, ataksia,

cedera ortopedik, kehilangan tonus otot.


b. Sirkulasi
Gejala : Normal/ terjadinya perubahan tekanan darah ( hipertensi ),
perubahan frekuensi jantung ( bradikardi, takikardi yang diselingi
dengan bradikardia, disritmia )
c. Integritas ego
Adanya perubahan tingkah laku yang ditandai dengan cemas, mudah tersinggung,
delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d. Eliminasi
Adanya gejala disfungsi atau inkontinensia bladder atau bowel

58
e. Makanan atau cairan
Adanya gejala mual atau muntah dan perubahan nafsu makan yang ditandai
dengan muntah ( mungkin proyektil ), gangguan menelan ( batuk, air liur keluar
atau disfagia )
f. Neurosensori
Gejala :
Kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
hilang pendengaran, tingling, mati rasa pada ekstremitas.
Perubahan visual : Ketajaman diplopia, fotopobia, kehilangan sebagian
lapang pandang, perubahan sensasi rasa dan bau ( pengecapan dan
penciuman )
Tanda :
Perubahan kesadaran bisa sampai koma
Perubahan status mental ( orientasi, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi / tingkah laku dan memori )
Perubahan pupil ( respon terhadap cahaya, simetris ), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti
Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman, dan pendengaran
Wajah tidak simetris
Genggaman lemah, tidak seimbang
Kejangm seizure-dekortisasi dan deserebrasi
Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan
g. Nyeri atau kenyamanan
Adanya gejala sakit kepala tetapi bervariasi pada setiap orang. Tanda-tanda yang
bisa dilihat adalah wajah menyeringai ( grimace ), respon withdrawl, gelisah tidak
bisa beristirahat dan merintih.

h. Pernapasan
Adanya perubahan pola napas ( apnea yang diselingi oleh hiperventilasi ), napas
bunyi, stridor, tersedak, ronchi,wheezing.

59
i. Keamanan
Tanda :
Frkatur / dislokasi
Gangguan pengelihatan
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna seperti raccoon eye, tanda battle
disekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga/hidung,
Gangguan pola pikir
Gangguan ROM, tonus otot hilang, paralisis
Demam karena perubahan pengaturan suhu tubuh
j. Interaksi sosial
Adanya afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti dan berulang-ulang, disartria,
dan anomia

2. Masalah Keperawatan
a) Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma ) ; edema cerebral ; penurunan TD sistemik/hipoksia (
hipovolemia dan disritmia jantung )
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskular atau
adanya obstruksi trakebronkial
c) Potensial terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan penumpukan cairan
darah didalam otak
d) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan
fungsi vital tubuh
e) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
menurunnya kesadaran
f) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi dan menurunnya
kemampuan motorik
g) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan saraf motorik
h) Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan yang rusak
dan kekurangan nutrisi
i) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan edema serebral dan hypoksia
j) Kerusakan memori

60
k) Gangguan rasa nyaman : cemas keluarga berhubungan dengan ketidakpastian
terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis
l) Hambatan Komunikasi verbal
m) Resiko gangguan pola eliminasi urine dan alvi
n) Defisit self care

3. Perencanaan Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Monitoring tekanan intrakranium:
perfusi jaringan asuhan a. Kaji, observasi, evaluasi tanda-tanda
cerebral b.d edema keperawatan . penurunan perfusi serebral: gangguan
serebral, jam klien mental, pingsan, reaksi pupil,
peningkatan TIK menunjukan status penglihatan kabur, nyeri kepala,
sirkulasi dan tissue gerakan bola mata.
perfusion cerebral b. Hindari tindakan valsava manufer
membaik dengan (suction lama, mengedan, batuk terus
KH: menerus).
-TD dalam rentang c. Berikan oksigen sesuai instruksi
normal (120/80 dokter
mmHg) d. Lakukan tindakan bedrest total
-Tidak ada tanda e. Posisikan pasien kepala lebih tinggi
peningkatan TIK dari badan (30-40 derajat)
-Klien mampu f. Minimalkan stimulasi dari luar.
bicara dengan jelas, g. Monitor Vital Sign serta tingkat
menunjukkan kesadaran
konsentrasi, h. Monitor tanda-tanda TIK
perhatian dan i. Batasi gerakan leher dan kepala
orientasi baik j. Kolaborasi pemberian obat-obatan
-Fungsi sensori untuk meningkatkan volume
motorik cranial intravaskuler sesuai perintah dokter.
utuh : kesadaran
membaik (GCS 15,
tidak ada gerakan
involunter)
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan a. Kaji status pernafasan klien
efektif b.d asuhan b. Kaji penyebab ketidakefektifan pola
gangguan/kerusakan keperawatan . nafas
pusat pernafasan di jam klien c. Beri posisi head up 35-45 derajat
medula menunjukan pola d. Monitor perubahan tingkat kesadaran,
oblongata/cedera nafas yang efektif status mental, dan peningkatan TIK
jaringan otak dengan KH: e. Beri oksigen sesuai anjuran medik
-Pernafasan 16- f. Kolaborasi dokter untuk terapi,
20x/menit, teratur tindakan dan pemeriksaan
-suara nafas bersih
61
-pernafasan
vesikuler
-saturasi O2: 95%
3. Gangguan Rasa Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
Nyaman nyeri b.d Asuhan a. Kaji nyeri secara komprehensif
agen injuri fisik keperawatan . (lokasi, karakteristik, durasi,
Jam tingkat frekuensi, kualitas dan faktor
kenyamanan klien presipitasi).
meningkat, nyeri b. Observasi reaksi nonverbal dari
terkontrol dg KH: ketidaknyamanan.
-Klien melaporkan c. Gunakan teknik komunikasi
nyeri berkurang dg terapeutik untuk mengetahui
scala nyeri 2-3 pengalaman nyeri klien sebelumnya.
-Ekspresi wajah d. Kontrol faktor lingkungan yang
tenang mempengaruhi nyeri seperti suhu
-klien dapat ruangan, pencahayaan, kebisingan.
istirahat dan tidur e. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
-v/s dbn f. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis).
g. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri..
h. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
i. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
4. Trauma, tindakan Setelah dilakukan Konrol infeksi :
invasife, asuhan a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
immunosupresif, keperawatan pasien lain.
kerusakan jaringan jam infeksi b. Batasi pengunjung bila perlu.
faktor resiko infeksi terdeteksi dg KH: c. Lakukan cuci tangan sebelum dan
-Tdk ada tanda- sesudah tindakan keperawatan.
tanda infeksi d. Gunakan baju, masker dan sarung
-Suhu normal ( 36- tangan sebagai alat pelindung.
37 c ) e. Pertahankan lingkungan yang aseptik
selama pemasangan alat.
f. Lakukan perawatan luka, drainage,
dresing infus dan dan kateter setiap
hari, jika ada.
g. Berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi


a. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
b. Monitor hitung granulosit dan WBC.
c. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
d. Pertahankan teknik aseptik untuk
setiap tindakan.
e. Inspeksi kulit dan mebran mukosa
62
terhadap kemerahan, panas, drainase.
f. Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
5. Defisit self care b/d Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri
kelemahan fisik, askep jam klien a. Monitor kemampuan pasien terhadap
penurunan dan keluarga dapat perawatan diri yang mandiri
kesadaran. merawat diri : b. Monitor kebutuhan akan personal
dengan kritria : hygiene, berpakaian, toileting dan
-kebutuhan klien makan, berhias
sehari-hari c. Beri bantuan sampai klien
terpenuhi (makan, mempunyai kemapuan untuk
berpakaian, merawat diri
toileting, berhias, d. Bantu klien dalam memenuhi
hygiene, oral kebutuhannya sehari-hari.
higiene) e. Anjurkan klien untuk melakukan
-klien bersih dan aktivitas sehari-hari sesuai
tidak bau. kemampuannya
f. Pertahankan aktivitas perawatan diri
secara rutin
g. Dorong untuk melakukan secara
mandiri tapi beri bantuan ketika klien
tidak mampu melakukannya.
h. Anjurkan keluarga untuk ikutserta
dalam memenuhi ADL klien

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

1. Identitas klien
Nama : Nn. F
Umur : 18 tahun
Alamat : Doplang RT 05/03 Purworejo
Status perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Belum bekerja
Diagnosa medis : Cedera kepala berat
Tanggal masuk RS : 30 Januari 2017 jam 18.00 wib

63
Tanggal pengkajian : 31 Januari 2017 jam 07.00 WIB
No RM : 264623/1071353
2. Penanggung jawab
Nama : Tn. A
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : swasta
Alamat : Doplang RT 05/03 Purworejo
Hubungan dengan klien : Ayah

3. Keluhan utama
Penurunan kesadaran tingkat kesadarn koma
4. Riwayat kesehatan sekarang
Pada tanggal 30 januari 2017 jam 17.00 terjadi kecelakaan sepeda motor, korban dibawa
oleh penolong ke IGD RS Saras Husada. Klien datang dengan kondisi tidak sadarkan diri,
terdapat luka lecet dibawah lutut kanan, hematom 12 cm dahi kanan, deformitas tangan
kiri, terdapat bula dikaki kanan. Tekanan darah : 90/60, Nadi : 60x/i, RR : 22 x/i, S : 36,4
C. Dari IGD klien dipindahkan ke ruang ICU jam 19.00 guna mendapatkan perawatan
intensive.
5. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga mengatakan bahwa baru kali ini klien masuk rumah sakit dan klien tidak pernah
menderita penyakit seperti DM, Hipertensi dan TBC yang mengharuskan klien dirawat di
rumah sakit, dan hanya menderita penyakit seperti pilek, demam dan setelah minum obat
biasanya langsung sembuh.
6. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga klien mengatakan di keluarganya tidak ada yang menderita penyakit menular
atau penyakit generative seperti diabetes, Tb atau sebagainya.
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : jelek BB/TB : 42 Kg / 150 cm
Kesadaran : Coma
Tanda Tanda Vital :
Tekanan darah : 123/69 mmHg Nadi : 132x/mnt
Suhu : 37,20C Pernafasan : 28x/mnt
a. Kepala
Kepala klien normocephalic, rambut klien panjang lurus, rambut kotor terdapat darah
yang mengering pada rambut, penyebaran rambut merata.
64
b. Muka
Wajah tanpak simetris, warna kulit tidak pucat, terdapat hematom pada dahi kanan 12
cm
c. Mata
Mata simetris, Konjungtiva anemis, Sklera anikterik, edema pada palpebrae, pupil
anisokor, reaksi pupl terhadap cahaya menurun.

d. Telinga
Posisi daun telinga simetris, tidak ada lesi, tidak terdapat serumen, tidak ada pengeluaran
darah maupun cairan.
e. Hidung dan sinus
Lubang hidung simetris, septum hidung tepat di tengah, tidak terdapat pernafasan cuping
hidung, tidak terdapat pengeluaran cairan atau darah dari hidung, terpasang ventilator
f. Mulut dan tenggorokan
Bibir terletak tepat ditengah wajah, warna bibir merah muda, tidak kering, terdapat luka
pada bibir bagian bawah, tidak sianosis, tidak ada kelainan congenital, terdapar sekret
pada tenggorokan dan mulut, terpasang mayo, tidak terdapat lidah jatuh, mulut klien
berbau tidak sedap, suara nafas gargling
g. Leher
Tidak terdapat jejas di leher, tidak terdapat pembengkakan, tidak terdapat pembesaran
kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
h. Thorak
Inspeksi thoraks
Thoraks simetris, klien tidak menggunakan otot bantu nafas (retraksi dada),
pergerakan dinding dada sama , warna kulit merata.
Palpasi
Gerakan paru saat inspirasi dan ekspirasi sama, tidak terdapat massa, tidak terdapat
fraktur thorak.
Perkusi thoraks
Perkusi paru resonan.
Auskultasi thoraks
Tidak terdapat suara tambahan di paru-paru
i. Jantung
Heart rate 132x/menit, perkusi jantung pekak
j. Payudara
65
Payudara simetrs, letak puting susu tepat di tengah areola, tidak terdapat benjolan di
sekitar payudara.
k. Abdomen
Bentuk abdomen datar, warna kulit normal, kulit tubuh tampak kotor, kulit elastis, tidak
terdapat lesi ataupun nodul masa, tidak terdapat striae maupun spider nevy, bising usus
10x /menit, perkusi timpani.
l. Genetalia dan perineal
Klien terpasang kateter ukuran 16, urine berwarna kuning jernih, terdapat penyebaran
sedikit rambut di mons pubis, tidak terdapat luka, labia minora dan mayora simetris, tidak
berbau dan tidak mengeluarkan cairan yang abnormal, terdapat anus.
m. Ekstremitas
Ekstremitas atas : terpasang infus ukuran 22 di tangan kanan, tangan kiri deformitas
Ekstemitas bawah : terdapat VE pada lutut kiri, dan bula di kaki kanan, tidak terdapat
edema.
8. Pengkajian pola sistem
a. Pola persepsi dan managemen terhadap kesehatan
Klien saat ini mengalami koma, klien terbaring lemah dan gelisah. Keluarga klien
mengatakan saat ini yang paling penting anaknya dapat segera sadar, sehat dan dapat
kembali kerumah berkumpul dengan kluarga.
b. Pola nutrisi dan metabolic (diit dan pemasukan makanan)
Keluarga Klien mengatakan saat dirumah klien biasa makan 3x/hari dengan lauk pauk
dan sayuran, minum 5-6 gelas sehari. Setelah dirumah dan semenjak tidak sadarkan diri
klien dipuasakan sampai tidak terdapat ulcer, terpasang infus RL 20 tts/menit.
c. Pola eliminasi
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien biasa BAB 1x/hari pagi hari. Dan
Saat sakit klien belum pernah BAB, cateter terpasang dengan urin keluar 300 cc per 12
jam.
d. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien banyak menghabiskan waktunya
di luar rumah untuk bermain dengan teman-temanya. Klien dapat memenuhi kebutuhanya
sehari-hari tanpa dibantu keluarga. Saat sakit klien dengan tidak sadarkan diri hanya
berbaring di tempat tidur dengan kondisi lemah, semua kebutuhan sehari-harinya di bantu
oleh perawat dan keluarga.

66
e. Pola istirahat : tidur
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien biasa tidur jika sudah larut malam
klien sering bergadang dengan teman-temannya sebelum tidur. Klien biasa tidur pukul
23.00-07.00, tidur siang kadang-kadang. Saat ini klien dalam keadaan tidak sadar
f. Pola kognitif dan persepsi
Keluarga klien mengatakan klien tertutup, klien lebih sering menghabiskan waktu di luar
rumah. Klien saat ini tidak sadarkan diri dalam kondisi gelisah.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Keluarga klien mengatakan saat ini anaknya tidak sadarkan diri, terdapat bengkak pada
dahi sebelah kanan, pada kaki sebelah kanan terdapat bula dan yang dipikirkan saat ini
yaitu kesembuhan anaknya agar anaknya bisa pulang kerumah berkumpul dengan
keluarga.
h. Pola peran hubungan
Keluarga klien mengatakan saat ini klien dapat berhubungan baik dengan lingkungan,
baik kepada keluarga, tetangga, dan teman-temannya. Saat klien dirawat dirumah sakit
pun keluarga, tetangga, dan teman-temannya menjenguk klien.
i. Pola seksual dan reproduksi
Keluarga klien mengatakan klien belum menikah, sudah menstruasi saat berumur 13
tahun.
j. Pola koping dan toleransi terhadap stress
Keluarga klien mengatakan semenjak ibunya klien meninggal klien lebih tertutup dan
cenderung menghabiskan waktu di luar rumah
k. Pola nilai kepercayaan
Keluarga klien mengatakan agama yang dianut keluarga dan klien adalah islam. aktifitas
ibadah klien terganggu karna klien tidak sadarkan diri.

9. Data Penunjang
Laboratorium 30 januari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Glukosa sewaktu 166 mg/dl 70-140
Urea 32 mg/dl 10-50

67
Kreatinin 1,00 mg/dl 0,5-1,2
SGOT 23 u/L 0-31
SGPT 12 u/L 0-32
K 41 Mmol/L 3,4-5,4
Na 140 Mmol/L 135-155
Cl 93 Mmol/L 95-108
HbsAg Negatif
WBC 14,59 [10^3/uL] 4,8-10,8
RBC 3,99 [10^6/uL] 4,2-5,4
HGB 10,3 [g/dL] 12-16
HCT 32,6 [%] 37-47

Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan Hasil Normal
Warna Kuning Kuning muda-kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat jernih 1025 1015-1030
PH 6 4,0-78
Protein +1 Negatif
Sedimen - Negatif
Sell epitel + +1
Leukosit 2-4 0-5/LPB
Eritrosit 10-15 0-2/LPB
GCS : Eye 1
Verbal 1
Motorik 2
Unisokor
RP (+ / + )
Oksigen : 3 ml (nasal kanul)
Terapy obat
Nama obat Golongan Indikasi Dosis
Cefotaxim antibiotic Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh 2x1 gr
golongan kuman antara lain:
sefalosporin Infeksi saluran pemafasan bagian bawah
(termasuk pneumonia).
Infeksi kulit dan struktur kulit.
Infeksi tulang dan sendi.
Infeksi intra-abdominal.
infeksi saluran kemih
Piracetam nootropic Pengobatan infark serebral 3x1 gr
agents
Ranitidin Antasid Terapi untuk tukak lambung 2x25 mg
Keterolac Analgesik Terapi jangka pendek untuk nyeri akut 3x30 mg
berat
Phenytoin Natrium Anti kejang, antiaritmia. 2x50 mg
Fenitoin

68
Kalnex tranexamic untuk membantu menghentikan kondisi 3x500mg
acid perdarahan
Manitol Untuk menurunkan TIK, menurunkan 4x125ml
edema otak.
RL Mengembalikan keseimbangan elektrolit 20 tts/i
pad dehidrasi

3.2 Analisa Data


Analisa data Etiologi Masalah
DS : - Adanya penumpukan Ketidakefektifan bersihan
DO : Ku:jelek, kesadaran: coma, sekresi di tenggorokan jalan nafas
GCS: E1V1M2, terpasang O2 dan mulut
dengan nasal kanul=3L,
Pernafasan: 28x/m, terdapat secret
ditenggorokan dan mulut, suara
nafas gargling, terpasang mayo,
klien tampak gelisah
DS : - Kerusakan pola Resiko ketidakefektifan
DO : Ku : jelek, kesadaran : coma, pernafasan dimedula pola nafas
GCS : E1V1M2, terpasang O2 oblongata, cedera
dengan nasal kanul=3 L, NGT, cidera otak.
Pernafasan : 28x/m, terdapat secret
ditengorokan, terpasang mayo,
suara nafas gargling..

DS : - Edema serebral, Ketidak efektifan perfusi


DO : Ku : jelek, kesadaran : coma, peningkatan TIK, jaringan cerebral
GCS : E1V1M2, klien terpasang penurunan O2 ke
infus, terpasang O2 dengan nasal serebral
kanul 3 lpm, Tekanan darah :
123/69 mmHg, Nadi: 132x/m,
Suhu : 37,20C, Pernafasan :
28x/m, klien tampak gelisah, pupil
anisokor.

DS :- Penurunan kesadaran, Defisit self care


DO : Ku : jelek, kesadaran : coma, kelemahan fisik
GCS : E1V1M2, rambut klien kotor
terdapat bercak darah dirambut, bau
mulut tidak sedap, kulit tubuh
tampak kotor

3.3 Diagnosa keperawatan

69
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d adanya penumpukan sekresi di
tenggorokan dan mulut.
2. Ketidak efektifan pola nafas b/d Kerusakan pola pernafasan dimedula oblongata,
cedera cidera otak.
3. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral b/d Edema serebral,
peningkatan TIK, penurunan O2 ke serebral
4. Defisit self care b/d Penurunan kesadaran, kelemahan fisik

3.4 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa NIC NIC
1. Resiko Ketidak Setelah dilakukan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:
efektifan perfusi keperawatan 3 x 24 jam klien a. Kaji, observasi, evaluasi tanda-tanda
jaringan cerebral menunjukan status sirkulasi penurunan perfusi serebral:
b.d edema serebral, dan tissue perfusion cerebral gangguan mental, pingsan, reaksi
peningkatan TIK membaik dengan KH: pupil, penglihatan kabur, nyeri
-TD dalam rentang normal kepala, gerakan bola mata.
(120/80 mmHg) b. Hindari tindakan valsava manufe
-Tidak ada tanda peningkatan (suction lama, mengedan, batuk
TIK terus menerus).
-Klien mampu bicara dengan c. Berikan oksigen sesuai instruksi
jelas, menunjukkan dokter
konsentrasi, perhatian dan d. Lakukan tindakan bedrest total
orientasi baik e. Posisikan pasien kepala lebih tinggi
-Fungsi sensori motorik cranial dari badan (30-40 derajat)
utuh : kesadaran membaik f. Minimalkan stimulasi dari luar.
(GCS 15, tidak ada gerakan g. Monitor Vital Sign serta tingkat
involunter) kesadaran
h. Monitor tanda-tanda TIK
i. Batasi gerakan leher dan kepala
j. Kolaborasi pemberian obat-obatan
seperti diuretik untuk menurunkan
air dari sel otak, antikovulsan untuk
mengatasi dan menghentikan
aktifitas kejang, obat sedatif untuk
menghilangkan kegelisahan,
antipiretik untuk menurunkan atau
mengendalikan demam yang
mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral.
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan asuhan a. Kaji status pernafasan klien

70
efektif b.d keperawatan 3 x 24 jam klien b. Kaji penyebab ketidakefektifan pola
gangguan/kerusakan menunjukan pola nafas yang nafas
pusat pernafasan di efektif dengan KH: c. Beri posisi head up 35-45 derajat
medula -Pernafasan 16-20x/menit, d. Monitor perubahan tingkat
oblongata/cedera teratur kesadaran, status mental, dan
jaringan otak -suara nafas bersih peningkatan TIK
-pernafasan vesikuler e. Beri oksigen sesuai anjuran medic
-saturasi O2: 95% f. Melakukan suction jika diperlukan.
g. Kolaborasi dokter untuk terapi,
tindakan dan pemeriksaan seperti
penghisapan lendir dari trakea dan
pemeriksaan foto toraks

3. Defisit self care b/d Setelah dilakukan askep 3 x 24 Bantuan perawatan diri
kelemahan fisik, jam klien dan keluarga dapat a. Monitor kemampuan pasien terhadap
penurunan merawat diri : dengan kriteria : perawatan diri yang mandiri
kesadaran. -kebutuhan klien sehari-hari b. Monitor kebutuhan akan personal
terpenuhi (makan, berpakaian, hygiene, berpakaian, toileting dan
toileting, berhias, hygiene, oral makan, berhias
higiene) c. Beri bantuan sampai klien
-klien bersih dan tidak bau. mempunyai kemapuan untuk
merawat diri
d. Bantu klien dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
e. Anjurkan klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuannya
f. Pertahankan aktivitas perawatan diri
secara rutin
g. Dorong untuk melakukan secara
mandiri tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
h. Anjurkan keluarga untuk ikut serta
dalam memenuhi ADL klien

3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan pada pasien cedera kepala adalah
1. Fungsi otak meningkat, gangguan neurologis menurun
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Pasien dapat melakukan aktivitas dengan mandiri
4. Koping keluarga positif
5. Pasien dan keluarga memahami proses penyakit/prognosa dan penanganannya

71
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan materi yang telah dijelaskan maka kami dapat menyimpulkan, yaitu :
1. Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak.
2. Cedera kepala disebabkan oleh karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas
sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama cedera
kepala kepala.
3. Mekanisme terjadinya cedera kepala, yaitu akselerasi, deselerasi, dan coup-counter coup
4. Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit
5. Adapun komplikasi menurut (Sastrodiningrat, 2009) dari trauma kepala itu sendiri sebagai
berikut Epidural Hematoma, Subdural Hematoma , Intracerebral Hematoma
6. Masalah keperawatan yang muncul pada pasien cedera kepala adalah Perubahan fungsi
jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma ) ;
edema cerebral ; penurunan TD sistemik/hipoksia ( hipovolemia dan disritmia jantung ),
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular atau adanya
obstruksi trakebronkial, Potensial terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan
penumpukan cairan darah didalam otak, Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan penurunan fungsi vital tubuh, Gangguan pemenuhan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya kesadaran,
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi dan menurunnya kemampuan
72
motorik, Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan saraf motorik, Resiko
infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan yang rusak dan kekurangan
nutrisi, Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan edema serebral dan
hypoksia,Gangguan kemampuan proses berpikir ,Gangguan rasa nyaman : cemas keluarga
berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya
perubahan situasi dan krisis, Resiko gangguan pola eliminasi urine dan Resiko gangguan
pola eliminasi alvi

4.2 Saran
Bagi mahasiswa/i keperawatan diharapkan dapat mengetahui konsep dan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala.

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced
Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,
2004.

73
Akarsu Ayazoglu Tlinandzden Nihan. Intensive Care Management of the Traumatic Brain Injury,
Emergency Medicine An International Perspective, Dr. Michael Blaivas (Ed.), ISBN: 978-
954-51-0333-2, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/emergency-
medicine-an-internationalperspective/intensive-care-management-of-the-traumatic-brain-injury

Brain Injury Association of America. (2013, November). To the housecommittee on energy and
commerce subcommittee on health. America: CDC, 1-3 (accessed 01 Februari 2017).
http://www.nashia.org/pdf.
Bulecheck, Butcher & Dochterman. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th
Edition. USA: Elsevier Mosby
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi
1, Dewan Pengurus Pusat PPNI

Centers for Disease Control[CDC]. (2011, Mei). Surveillance for Traumatic Brain Injury
Related Deaths United States 19972007. MMWR, 60(5), 1-30.
Coronado, V.G., Xu, L., Basavaraju, S.V., McGuire, L.C., Wald, M.M., Faul, M.D., et al. (2011).
Surveillance for traumatic brain injury-related deaths United States 1997-2007. MMWR,
60(5),1-36.
Doenges, Marilyn E. (2015). Manual diagnosis keperawatan Rencana, Intervensi, &
Dokumentasi Asuhan keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Djaja, Sarimawar dan Widyastutu, Retno, dan Tobing, Kristiana, 2016 . Gambaran Kecelakaan
Lalu Lintas Di Indonesia Tahun 2010-2014. Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat
Depkes RI
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery.
Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo,
2005.
Guidlines for the Management of Traumatic Severe Brain Injury 3 rd Edition, and American
Association of Neurogical Surgeons (AANS), (2007). New York.
Herdman & Kamitsura. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definition and
Classification, 2015-2017. 10th edition. Oxford: Wiley Blackwell
Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and
Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003.
Hudak. (2013). Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

74
Kim, BS., Jallo, J. 2008. Intracranial Pressure Monitoring and Management of raised Intracranial
Pressure. In Neurosurgical Emergencies. Second edition. Loftus, C.B editor. New York;
AANS, pp. 11-12.
Kleden, Simon Sani. 2009 . Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persyarafan. Kupang : PC
Union HS
Lavinio, A. and Menon, D.K. 2011 Intracranial pressure: why we monitor it, how to monitor it,
what to do with the number and whats the future? Current Opinion in Anestesiology,
24:117-123.
Litbang, Depkes. (2013). Riskesdas: Prevalensi cidera kepala nasional. (access 01April2016).
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_ Riskesdas2013.PDF
Nurarif, Amin Huda. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
NANDA (north american nursing diagnosis association) NIC-NOC Edisi Revisi jilid 1.
Yoyakarta: Mediaction publishing
North, B. 1997. Intracranial Pressure Monitoring. In head Injury. Reilly, P., Bullock, R.editors.
London. pp. 209-216.
Padayachy, L., Figaji, A.A., Bullock, M.R. 2010. Intracranial pressure monitoring for traumatic
brain injury in the modern era. Childs Nerv Syst, 26:441-452
Padila. (2012). Buku ajar: Keperawatan medikal bedah. Yogjakarta: Nuha Medika.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007.
Pekanbaru.
Perdossi. (2006, Maret). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan Trauma spinal.
Jakarta: Perdossi.
Polinsky,S., and Muck, K. 2007. Increase Intracranial Pressure and monitoring. rn.com. San
Diego.
Reissner, JE & Menon, DK 2011, Traumatic Brain Injury, Philosophical Transactions of The
Royal Society B Journal, vol. 366, pp. 241-250.
Sastrodiningrat, A,G. (2009). Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa cedera
kepala berat. Majalah Kedokteran Nusantara, 39(3), 307-16.
Smeltzer. (2010). Brunner & Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing. 12th ed. USA:
Lippincott William & Wilkins.
Smith, M. 2008. Monitoring Intracranial Pressure in Traumatic Brain Injury. International
Anesthesia research Society, Volume 106, No.1:240-248.
Stochett, N, et al. Hyperventilation in Head Injury. CHEST 2005;127:1812-25.
Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK 193 Vol.
39 N0.5 tahun 2012. http://www.kalbemed.com/Portal/6/05_193 diakses pada tanggal 31
Mei 2017

75
Tasmono. (2011). TRAUMA KEPALA PADA KECELAKAAN SEPEDA MOTOR di MALANG
RAYA 2006 2007, Jurnal Saintika Medika, Vol 7, No 14 (2011). Diakses melalui
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/view/1089.
Walters, FJM. Intracranial Pressure and Cerebral Blood Flow.
www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_013.htm didownload tanggal 7 November 2011.
Werner, C, Engelhard, K. Pathophysiology of traumatic brain injury. BJA 2007;99: p.6-10.
World Health Organization (2009). World report on traffic injury prevention, main massage and
recommendations WHO. Geneva. Switzerland. (accessed 01 Februari 2017)).
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en.

Moderator Diskusi : Dicky Rahmatsyah

Daftar Pertanyaan Diskusi Trauma Kepala

1. Synthia P. Soriton
a. Apa yang harus dilakukan pada anak yang jatuh ?

b. Alasan pemakaian nasal canul pada kasus kelompok dengan cedera kepala ?

2. Anindita Nayang Safitri


a. Pada deselerasi, mengapa perdarahan terjadi pada bagian belakang kepala ?

3. Dwiko Nur Gunawan


a. Bagaimana kita mendeteksi terjadinya perdarahan pada kepala dan peningkatan
tekanan ?

4. Simpliana Rosa
a. Pada makalah kelompok perlu dimasukkan penanganan terhadap terjadinya
komplikasi

5. Wiwin Nur Indah Cahyani

76
77

Anda mungkin juga menyukai