Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN CIDERA KEPALA

DISUSUN OLEH :
1. EEN HUSNUL FEBRIANTI (194201416023)
2. FITRI MILENIA (194201416050)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Cidera kepala ”.
Dalam melaksanakan pembuatan Makalah ini penulis telah mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ns
Tommy J.Wowor,MM,M Kep., . selaku dosen Mata kuliah Kepawaratan
Keperawatan Kritis dan seluruh teman-teman yang telah memberikan dukungan
dan semangat sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini. Akhirnya penyusun berharap semoga Makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun yang telah menyusun Makalah ini dan
umumnya bagi pembaca Makalah ini, saya ucapkan banyak terima kasih atas
kesempatannya.

Jakarta, 18 maret
2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1. 1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1. 2 Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................3
2. 1 Anatomi Fisiologi..................................................................................................................3
2. 2 Pengertian..............................................................................................................................7
2. 3 Etiologi..................................................................................................................................7
2. 4 Manifestasi Klinik.................................................................................................................8
2. 5 Patoflowdiagram..................................................................................................................10
2. 6 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................11
2. 7 Komplikasi..........................................................................................................................13
2. 8 Penatalaksanaan medis........................................................................................................15
2. 9 Askep 3S PPNI 2016...........................................................................................................16
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................21
3. 1 Kesimpulan..........................................................................................................................21
3. 2 Saran....................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22

3
BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Cedera kepala atau trauma brain injury merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi
didunia dan terbanyak diantara penyebab utama mortalitas serta morbilitas pada semua umur.
(Kumar R dan Mahapatra AK).
Cedera kepala dapat menyebabkan luka di bagian kepala, luka pada kulit di bagian kepala,
ruptur meninges pada otak, serta kerusakan jaringan otak dan dapat mengakibatkan gangguan
fungsi neurologis.( J E-Clin. 2014).

Cedera kepala merupakan kasus trauma yang paling sering terjadi setiap harinya. Bahkan
paling sering dijumpai di unit gawat darurat di setiap rumah sakit. Cedera kepala
didefinisikan sebagai penyakit non degenerative dan non kongenital yang disebabkan oleh
massa mekanik dari luar tubuh yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang tengkorak, dan
tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak. (Wahjoepramono EJ. 2005)

Cedera kepala adalah suatu kejadian adanya traumatik fungsi otak dengan atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Takatelide et al., 2017).

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada cedera kepala
diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat 2500 kasus kematian yang
disebabkan karena kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013. Di Amerika Serikat, kejadian
cedera kepala setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian
80% meninggal dunia sebelum sampai rumah sakit, 80% cedera kepala ringan, 10% cedera
kepala sedang dan 10% cedera kepala berat dengan rentang kejadian berusia 15-44 tahun.
Persentase dari kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58% diperoleh dari cedera kepala,
20-28% dari jatuh dan 3-9% disebabkan tindak kekerasan dan kegiatan olahraga (World
Health Organization, 2013).

Di indonesia data Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) menunjukan presentase kasus cedera
kepala berada pada angka 11,9 % dengan presentase tertinggi di Gorontalo sebesar 17,9 %.
Kasus di Maluku berada di atas 10%. (Kementrian Kesehatan Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan, 2018).

1
Peran perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Ketepatan
waktu tanggap adalah suatu bentuk dari penanganan kasus cedera kepala yang dilakukan oleh
perawat dalam menangani kasus gawat darurat.

1. 2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi kepala.
2. Mahasiswa mampu memahami pengertian dari trauma kepala.
3. Mahasiswa mampu memahami etiologi dan manifestasi klinis dari trauma kepala.
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari trauma kepala.
5. Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan penatalaksanaan medis trauma
kepala.
6. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat pada kasus trauma
kepala.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi Fisiologi
2.1.1 Anatomi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu (Faiz & Moffat,
2004):
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Pericranium (Perikranium)
Di antara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.Pada fraktur tulang kepala sering terjadi
robekan pada lapisan ini.
2. Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu
kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas
empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal
sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam
ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh
darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii.
Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan
pembuluh darah (Pearce, 2009).

Sumber : ( netter 2011 ) tengkorak

3
3. Meninges
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang melindungi struktur saraf
yang halus, membawa pembuluh darah, dan sekresi cairan, yaitu cairan serebrospinal
yang akan melindungi dari benturan atau goncangan pada otak dan sumsum tulang
belakang (Pearce,2009). Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu dura mater, araknoidea
mater dan pia mater.
a. Dura mater: berbentuk padat dan keras, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dan
terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang melapisi tengkorak dan lapisan dalam yang
bersatu dengan lapisan luar, kecuali pada bagian tertentu, di mana sinus-venus
terbentuk, dan di mana dura mater membentuk bagian-bagian berikut.
Falx serebri yang terletak di antara kedua hemisfer otak.Tepi atas falx serebri
membentuk sinus longitudinalis inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan
darah keluar falx
serebri. Tentorium serebeli memisahkan serebelum dari serebrum (Pearce, 2009).
Diafragma sellae adalah lipatan berupa cincin dalam dura mater menutupi sel tursika
sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis.
b. Araknoidea masy: di sebelah dalam dura mater. Selaput tipis yang membentuk
sebuah balon yang berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral. Otak dan
medula spinalis berada dalam balon yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid
ke bawah berakhir di bagian sakrum, medula spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Di
bawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang keluar
dari medulla spinalis. Pada bagian ini tidak medula spinalis. Hal ini dimanfaatkan untuk
pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Pia mater: Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, pia mater yang
berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trebekhel.
Mengikuti kontur otak, mengisi sulki.

Gambar : lapisan meninges Sumber :netter 2011

4
4. Otak
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat kendali dari
semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak mengapung dalam suatu cairan untuk
menunjang otak yang lembek dan halus. Cairan ini disebut dengan CSS (cairan
serebrospinalis). Komposisi cairan serebrospinalis terdiri dari air, protein, glukosa,
garam, sedikit limfosit dan karbondioksida. Cairan ini bekerja untuk memberikan
kelembapan otak dan medula spinalis, melindungi alat-alat medula spinalis dan otak
dari tekanan dan sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala
(Syaifuddin, 2014). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat
terdiri dari otak besar (Irianto, 2008).
Struktur Otak Bagian terbesar otak adalah serebrum yang memiliki permukaan berlipat-
lipat dengan pola lipatan yang unik untuk setiap orang. Lekukan otak disebut sulkus
jika dangkal dan disebut fisura jika dalam. Fisura dan beberapa sulkus besar membagi
empat daerah fungsional yang disebut lobus yaitu frontal, parietal, oksipital, dan
temporal. Pusat otak mengandung talamus yang berperan sebagai stasiun pengirim
informasi otak (Syarifuddin, 2014). Empat lobus otak yaitu:
a. Lobus Temporal: Pengenalan bunyi, nada dan kerasnya, terletak dalam lobus
temporal, bagian ini juga berperan dalam penyimpanan ingatan.
b. Lobus Frontal: Menghasilkan bicara, memicu gerakan dan aspek kepribadian berasal
dari lobus ini.
c. Lobus Parietal: Daerah di mana sensasi tubuh seperti, rabaan, suhu, tekanan dan nyeri
diterima dan diterjemahkan, berada di daerah yang disebut korteks somatosensorik.
d. Lobus Oksipital: Fisura (lekukan dalam) yang menandai batas antara lobus parietal
dan oksipital. Pada lobus ini biasanya mengarah pada fungsi penglihatan.
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(trunkus serebri) (Pearce, 2009). Semua berada dalam satu bagian struktur tulang yang
disebut tengkorak untuk melindungi otak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan
membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Pada
dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa. Bagian fossa anterior berisi lobus frontal
serebral bagian hemisfer, bagian tengah fossa berisi lobus parietal, temporal dan
oksipital dan bagian fossa posterior berisi batang otak dan medula.
a. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak,
berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Fungsi otak besar
5
yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu, otak
besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar,
melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.
b. Otak kecil (cerebellum) terletak di bawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan
dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk
mengatur keseimbangan tubuh serta mengoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon. Bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebellum dengan
mesensefalon. Diensefalon ini berfungsi sebagai vasokonstruksi, respiratori (membantu
proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks dan membantu pekerjaan jantung.
2) Mesensefalon. Berfungsi sebagai pusat pergerakan mata,mengangkat kelopak mata
dan memutar mata.
3) Pons varolli. Merupakan bagian tengah batang otak dan karena itu memiliki jalur
lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang
berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan
cerebellum dengan korteks serebri.
4) Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis. Medula oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon (Syaifuddin, 2014).
5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi system ventrikel dan ruang
subarachnoid yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan juga berperan
sebagai pembersih lingkungan otak. Jumlah cairan serebrospinal pada orang dewasa
berkisar antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum Monroe-Kelli, kecuali jika
terdapat kondisi yang tidak seimbang antara komponen parenkim, darah dan cairan
serebrospinal. Produksi cairan serebrospinal berkisar 0,35 ml permenit atau sekitar 500
ml per hari. Dengan jumlah ruang yang terbatas antara 75 150 ml maka dibutuhkan
pembersihan atau penggantian paling tidak 4-6 kali dalam sehari.
CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III
kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari
sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui vili araknoid.
6
2.1. 2 Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4-
10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal.
Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai
darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk
menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam
otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada
anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam
6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan
meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap
di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan
tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat
direkomendasikan untuk meningkatkan ADO

2. 2 Pengertian
Menurut (Aryani, R, 2016) mengatakan bahwa cedera kepala merupakan suatu trauma
yang mempengaruhi otak dan disebabkan oleh kekuatan eksternal yang mengubah tingkat
kesadaran dan merusak fungsi kognitif, fisik, perilaku dan emosional.
Cedera kepala adalah salah satu penyakit neurologis yang sering terjadi diantara penyakit
neurologis lainnya akibat kecelakaan, meliputi otak, tengkorak ataupun hanya kulit kepala
(Brunnner & Suddarth, 2016).

7
2. 3 Etiologi
Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu kekerasan tumpul; kasus
paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga
bunuh diri. (Aryani, R, D. 2016). Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan
yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atu kayu runcing,
pecahan kaca, atau bendabenda lain yang tajam. Cedera akibat tembakan juga dapat
menyebabkan kematian dimana dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan, kaliber peluru
dan jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan, deformitas yang terjadi pada tulang dan
peluru, jalannya peuru yang masuk pada otak. (Solmaz I, Kural C, Temiz C, Temiz C,
Secer H. 2009).
Cedera kepala akibat gerakan mendadak juga dapat dimasukan kedalam etiologi yang
dapat meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung
pada kepala cedera dapat terjadi oleh karena gerakan yang mendadak misalnya suatu
percepatan, perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada
pembuluh darah otak dan jaringan sekitarnya. (Weisberg LA, Garcia CA, Strub RL. 1989)
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas cedera primer yang merupakan
cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat berupa benturan
langsung ataupun proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat
diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan countrecoup. Cedera sekunder merupakan
cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan
dari kerusakan otak primer berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang
berkelanjutan, iskemia. dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi
gangguan proses metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, hemodinamika
intracranial, dan kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) yang dimulai setelah
terjadinya trauma namun tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. (Weisberg LA,
Garcia CA, Strub RL. 1989).

2. 4 Manifestasi Klinik
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala

8
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

9
2. 5 Patoflowdiagram

KECELAKAAN, TERJATUH, TRAUMA


TERKENA PELURU/ BENDA TAJAM TRAUMA TAJAM CEDERA KEPALA TRAUMA TUMPUL PERSALINAN,PENYALAHGUNAAN OBAT/
ALKOHOL

PX : CT SCAN/MRI TULANG KRANIUM RUPTUR PEMBULUH DARAH

TERPUTUSNYA
KONTINUITAS FRAKTUR TULANG PX : X RAY SUBDURAL HEMATOM
TULANG

ROBEKNYA ARTERI
KLASIFIKASI DAN OKSITIFIKASI NYERI AKUT
MENINGIA MEDIA ↑TEKANAN HIDROST

MEROBEK
HEMATOMA
MEMBRAN DAN SEL NYERI KEPALA KEBOCORAN KAPILER
EPIDURAL
DARAH

10
2. 6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang


sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
a. Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam),
deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala
fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.
b. CT – Scan CT
scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang, pendarahan,
pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak. Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
c. Pemeriksaan Laboratorium.
Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap, gula
darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.
d. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan)
adalah komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo
and Usman, 2014)
e. MRI Magnetic resonance imaging (MRI)
biasa digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

11
f. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk membantu
dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan
gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus
menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif
dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi
melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan
dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan
cedera otak traumatik.
g. Serebral angiography
Menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan jarigan otak sekunder
menjadi udema, perubahan dan trauma.
h. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
i. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
j. BAER
Mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
k. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
l. CSF, lumbalis punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
m. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
n. Kadar elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial
o. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
(Rendy and Margaret Clevo, 2012)
p. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
12
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
q. Toraksentesis menyatakan darah/cairan.
r. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu tes
diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status
asam basa.

2. 7 Komplikasi

Menurut Mendosa, 2019 komplikasi pada cedera kepala adalah sebagai berikut :

a. Komplikasi 

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari


ganguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru tej
adi akibat refleks cushing yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan.

Pada saat tekanan intrakranial meningkat akan meningkatkan tekanan darah
sistematik untuk mencoba mempertahankan aliran darah ke otak bila keadaan
semakin kritis, denyut nadi menurun dan bahkan frekuensi respirasi berkurang.

Tekanan perfusi harus dipertahankan paling sedikit 70 mmHg yang membutuhkan
tekanan darah sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera kepala. Peningkatan
vasokontruksi menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permeabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan disfusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

b. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) 

TIK dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg dan herniasi dapat terjadi
pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut
sebagai tekanan perfusi serebral. TIK merupakan komplikasi serius yang
mengakibatkan herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian. 

c. Kebocoran Cairan Serebrospinal 

13
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkora
k basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga
cairan serebrospinal (CSS) akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau diisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instrusikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga. 

d. Kejang Pascatrauma 

Kejang yang tterjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah satu
komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10% terjadi di awal cedera 4 – 25%
(dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9 – 42% (setelah 7 hari trauma).
Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), f
raktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10. 

e. Demam dan menggigil 

Demam dan menggigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperbur
uk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalak
sanaa dengan asetaminofen, neuromuskular paralisis. Penanganan lain dengan
cairan hipertonik, koma barbiturate, asetazolamid.

f. Hidrosefalus 

Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan


nonkomunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, pupil
odema,demensi,ataksia dan gangguan miksi.

g. Spastisitas

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Membentuk ekstremitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada
pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur dan bantuan dalam
memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan range of motion

14
(ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting dan terapi farmakologi dengan
dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.

h. Agitasi

Agitasi pascacedera kepala terjadi >1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan modifikasi lingkungan.

i. Sindrom Pasca Kontusio

Sindrom Pasca Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan


cedera kepala sekitar 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan
15% pada tahun pertama: Somatik: nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,
mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya. Kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori dan afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

2. 8 Penatalaksanaan medis
Menurut Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
7. Pembedahan.

15
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk memonitor
tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan untuk menurunkan
oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil Computed Temografik Scan
(CT-Scan) pada pasien. Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip
penatalaksanaan
pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma.

2. 9 Askep 3S PPNI 2016


2.9.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif atau objektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu di
dapati adalah sebagai berikut :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis


kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan klien dengan keluarga.
2. Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glow Coma Scale (GCS) (<15),
muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak,
lemah, luka pada kepala, akumulasi pada saluran nafas kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui dengan baik yang berhubungan
dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit keturunan atau menular.
4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
data subjektif. Data - data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
prognosa klien.

a. Pengkajian Primer
1. Airway: Kaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah jatuh,adanya
benda asing pada jalan nafas (bekas muntahan, darah, sekret yang tertahan),
adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia, suara stridor, gargling
atau whezing yang menandakan adanya masalah pada jalan nafas.

16
2. Breathing: Kaji keefektifan pola nafas, Respiratory Rate, abnormalitas
pernapasan, pola nafas, bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu
nafas, adanya nafas cuping hidung, saturasi oksigen.
3. Circulation: kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill,
akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembapan kulit, perdarahan ekternal jika
ada.
4. Disability: berisi pengkajian kesadaran dengan GCS, ukuran dan reaksi
pupil.
5. Exposure: berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan
lain atau lingkungan yang ada disekitar klien.
b. Pengkajian Sekunder
1. Keadaan/ penampilan umum

a. Kesadaran: composmentis
b. Tanda-tanda vital
1. TD: 120 / 80 mmhg
2. Nadi: Frekuensi: 80 – 100 kali per menit, Irama: teratur
3. Respirasi: Frekuensi: 16 – 24 kali per menit, Irama: teratur
4. Suhu : 36,5 – 37,5°C
c. History (Sample)
1. Subjektif: berisi keluhan utama yang dirasakan pasien.
2. Alergi: kaji adanya alergi terhadap makanan atau obat.
3. Medikasi: kaji penggunaan obat yang sedang atau pernah dikonsumsi.
4. Riwayat penyakit sebelumnya: riwayat penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan yang sekarang.
5. Last meal: berisi hasil pengkajian makanan atau minuman terakhir yang
pernah dikonsumsi oleh pasien sebelum datang ke IGD.
6. Event leading: berisi kronologi kejadian, lamanya gejala yang dirasakan,
penanganan yang telah dilakukan, gejala lain yang telah dirasakan, lokasi
nyeri atau keluhan lain yang dirasakan
d. Pemeriksaan fisik

17
Aspek neurologis yang di kaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorentasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai tanda– tanda vital, kaku
kuduk, hemiparese.
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan hipoksia serebral
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
2.9.3 Intervensi keperawatan

Diagnosa Tujuan/kriteria Intervensi keperawatan (SIKI)


keperawatan hasil(SLKI)
(SDKI)
Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan MANAEMEN NYERI
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24
(I. 08238)
agen cedera fisik jam secara koperhensif
Tingkat nyeri (L.08066) 1.Observasi
diharapkan menurun o lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan kriteria hasil :
o Identifikasi skala nyeri
Keluhan nyeri menurun o Identifikasi respon nyeri non verbal
Meringis menurun o Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
Gelisah menurun
nyeri
o Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
o Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
o Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
o Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
o Monitor efek samping penggunaan
analgetik
2.Terapeutik
o Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
o Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)

18
o Fasilitasi istirahat dan tidur
o Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
o Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
o Jelaskan strategi meredakan nyeri
o Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
o Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
o Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

Gangguan persepsi Setelah dilakukan asuhan MINIMALISASI RANGSANGAN


(I.08241)
sensori berhubungan keperawatan selama 3x24
dengan hipoksia jam secara koperhensif 1. Observasi
Persepsi sensori o Periksa status mental,
serebral
(L.09083) diharapkan status sensori, dan tingkat
kenyamanan (mis. nyeri,
membaik dengan kriteria kelelahan)
hasil : 2. Terapeutik
Distorsi sensori menurun o Diskusikan tingkat
toleransi terhadap beban
Perilaku halusinasi sensori (mis. bising,
menurun terlalu terang)
o Batasi stimulus
Respons sesuai stimulus
lingkungan (mis. cahaya,
membaik suara, aktivitas)
o Jadwalkan aktivitas harian
dan waktu istirahat
o Kombinasikan
prosedur/tindakan dalam
satu waktu, sesuai
kebutuhan
3. Edukasi
o Ajarkan cara
meminimalisasi stimulus
(mis. mengatur
pencahayaan ruangan,
mengurangi kebisingan,
membatasi kunjungan)
4. Kolaborasi
o Kolaborasi dalam
meminimalkan
prosedur/tindakan
o Kolaborasi pemberian

19
obat yang mempengaruhi
persepsi stimulus

Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)


fisik berhubungan keperawatan selama 3x24
1. Observasi
dengan penurunan jam secara koperhensif o Identifikasi adanya nyeri
Mobilitas fisik (L.08066) atau keluhan fisik lainnya
kekuatan
diharapkan meningkat o Identifikasi toleransi fisik
otot melakukan ambulasi
dengan kriteria hasil :
o Monitor frekuensi jantung
Pergerakan ekstremitas dan tekanan darah
meningkat sebelum memulai
ambulasi
Kekuatan otot meningkat o Monitor kondisi umum
Rentang gerak meningkat selama melakukan
ambulasi
2. Terapeutik
o Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan alat
bantu (mis. tongkat, kruk)
o Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
o Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
3. Edukasi
o Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
o Anjurkan melakukan
ambulasi dini
o Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)

2.9.4 Implementasi keperawatan


Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi
kesehatan yang menjadi tim perawatan kesehatan dirumah (Setiadi, 2010).
2.9.5 Evaluasi keperawatan
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Tahap penilaian atau evaluasi

20
adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan
melibatkan klien dengan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan (Setiadi, 2010).

BAB III PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil makalah ini, kami dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Cedera kepala adalah salah satu penyakit neurologis yang sering terjadi diantara
penyakit neurologis lainnya akibat kecelakaan, meliputi otak, tengkorak ataupun
hanya kulit kepala
2. Cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu trauma tumpul seperti
kecelakaan, terjatuh, dll. Dan trauma tajam seperti terkena benda tajam atau peluru.
3. Gejala dari cedera kepala diantaranya : hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau
lebih, kebingungan, iritabel, pucat, mual dan muntah, pusing kepala dan terdapat
hematoma

3. 2 Saran
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya kami akan lebih baik lagi dalam penulisan dan pengumpulan data mengenai
cedera kepala

21
DAFTAR PUSTAKA

Kumar R dan Mahapatra AK. A Textbook of Head Injury. Edisi ke New Delhi: JP Medical
Ltd; 2012.
Manarisip MEI, Oley M, Limpeleh H. Gambaran CT Scan Kepala Pada Penderita Cedera
Kepala Ringan di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2012-2013.
J E-Clin. 2014;2(2) : 1-4.
American college of surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS), student
Course Manual. Ed. 10; 2018: p. 104-24.
Wahjoepramono EJ. Cedera Kepala. Lippo Karawaci : Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan; p. 1-6
Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI); 2016. p.165.
Aryani, R, D. (2016). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem.Trans Info
Media.
Brunnner & Suddarth. (2016).Keperawatan Medikal Bedah.EGC.
Solmaz I, Kural C, Temiz C, Temiz C, Secer H. Traumatic brain injury due to gunshot
wounds: a single institution's experience with 442 consecutive patients. Turkish
Neurosurgery. 2009;19:217.
Weisberg LA, Garcia CA, Strub RL. Head truma. In: Essentials of Clinical Neurology.
Aspen Publishers, 1989; p. 3-4, 10.

22

Anda mungkin juga menyukai