Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berkembang ikut merasakan kemajuan tehnologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun
ikut meningkat, namun akibat kemajuan ini, juga dapat berdampak negatif yaitu semakin
tingginya angka kecelakaan yang menyebabkan timbulnya trauma kepala.
Cidera kepala hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama yang
merupakan problem kesehatan masyarakat karena insiden dan mortilitasnya yang tinggi.
Akibat trauma kepala bagi pasien dan keluarga sangat mempengaruhi perubahan fisik
maupun psikologis. Untuk itu diperlukan penanganan yang serius dalam memberikan
asuhan keperawatan. Peran perawat memgang peranan penting terutama dalam
pencegahan komplikasi. Dalam memberikan pelayanan, keperawatan sebagai subsistem
pelayanan kesehatan bekerjasama dengan pelayanan medis yaitu dokter, guna mencapai
tujuan bersama yaitu untuk memenuhi kebutuhan pasien, disertai dengan kolaborasi
dengan tim kesehatan lainnya (analis, gizi, dll).
Dengan melihat fenomena yang terjadi maka tenaga kesehatan umumnya dan
tenaga keperawatan khusunya perlu untuk mengadakan penanganan secara intensif
kepada pasien cidera kepala, karena penanganan yang kurang tepat dapat mengancam
keselamatan jiwa. Disinilah dirasakan betapa pentingnya peran tenaga perawat harus
mempu menganalisa dan mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan tindakan
keperawatan. Dilihat dari presentasi kejadian di RSSA kasus cidera kepala ringan selama
satu tahun terakhir yang meninggal sebesar 6,69 % sedangkan yang hidup 3,55%.Dalam
4 bulan terakhir diperoleh data kasus cidera kepala pada pria 163 kasus,pada wanita 99
kasus,yang meninggal 14 kasus,yang hidup 262 kasus, kejadian dalam rentang usia
terbanyak dari usia 15-44 tahun.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun laporan
kasus yang berjudul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. T dengan gangguan system

1
persyarafan : Cidera Kepala Berat “ di unit St. Matheus rumah sakit Sto. Antonius
Pontianak.

B. Ruang Lingkup
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis membahas masalah asuhan
keperawatan pada Tn. T dengan gangguan system persyarafan : cidera kepala berat di
unit St. Matheus rumah sakit santo Antonius Pontianak. Asuhan keperawatan dimulai
pada tanggal 2 Mei 2005 sampai dengan 4 Mei 2005.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem persyarafan : cidera kepala berat.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran dan pengalaman belajar dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan system persyarafan : cidera
kepala.
b. Dapat membandingkan perbedaan gangguan system persyarafan : cidera
kepala yang tepat di dalam teori dan praktek dilapangan.
c. Memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan program
diploma III keperawatan.

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan kasus ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu
metode yang memberikan gambaran tentang penulisan yang dibuat dengan cara
mengumpulkan data dan menganalisa data serta menarik kesimpulan dari kasus yang
diamati, metode tersebut meliputi :
1. Observasi
Penulis melakukan pengamatan dan observasi secara langsung pada pasien
dengan cidera kepala.

2
2. Wawancara
Penulis mengadakan wawancara langsung dengan pasien atau keluarga untuk
mengumpulkan data.
3. Study Dokumentasi
Penulis mempelajari dokumentasi yang berkaitan dengan cidera kepala.
4. Study Kepustakaan
Dimana penulis mempelajari teori dan membaca literature yang berhubungan
dengan kasus cidera kepala.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan kasus ini dugunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN, yang berisi tentang :
A. Latar Belakang
B. Ruang Lingkup
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II. LANDASAN TEORITIS
A. Konsep dasar medik, yang terdiri dari : definisi, anatomi dan fisiologi, etiologi,
patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan,
komplikasi.
B. Kosep dasar keperawatan yang terdiri dari : pengkajian, diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan.
BAB III. PENGAMATAN KASUS
BAB IV. PEMBAHASAN KASUS
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

3
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medis

1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi substansi otak dengan
atau tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (laura, S, Elyana, 2000).
a. Trauma kepala terbuka
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
b. Trauma kepala tertutup, terbagi atas :
1. Komusio cerebri / gegar otak
Merupakan bentuk cedera kepala ringan yang menimbulkan kelainan fungsi otak
tanpa disertai kelainan jaringan otak.
2. Kontusio cerebri
Memar otak merupakan perdarahan kecil pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. (Kapita selekta kedokteran)

2. Anatomi Fisiologi

4
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Sekali neuron rusak, tidak dapat lagi
diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotik, suatu jaringan
fibrosa padat dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap trauma
eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan suatu lapisan
membrane yang didalamnya mengandung pembuluh darah. Tepat dibawah galea
terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh kedalam
tengkorak.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meniges. Ketiga lapisan meniges
adalah duramater, arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membrane luar liat dan tidak
elastis, fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena. Bila robek maka
fungsi pentingnya sebagai pelindung akan rusak. Didekat dura terdapat membrane
halus, fibrosa dan elastis yang arakhnoid. Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat
ruang subarakhnoid. Pia mater adalah suatu membran halus yang sangat kaya dengan
pembuluh darah halus.

3. Etiologi
a. Sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan
cidera oleh raga.
b. Cedera kepala terbuka sering disebabkan akibat benda tajam dan tembakan
sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang dan laserasi dura mater.

4. Patofisiologi
Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah :
a) Lokasi dan arah dari penyebab benturan
b) Kecepatan kekuatan yang datang
c) Permukaan dari kekuatan yang menimpa
d) Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan

5
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui dua cara
1. Efek langsung ; trauma pada fungsi otak
2. Efek tidak langsung ; kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda
atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak. Semua ini
berakibat terjadinya akselerasi- deselarasi.
Derajat kerusakan dipengaruhi oleh kekuatan yang menimpa. Ada 2 macam kekuatan
yang dihasilkan :
a. Cidera setempat yang disebabkan oleh benda tajam, kerusakan neurologik terjadi
pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
b. Cidera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma tumpul dan setelah
kecelakaan mobil.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan paa otak. Banyak energi
diserap oleh lapisan pelindung yaitu : rambut, kulit kepala dan tengkorak. Tetapi pada
cidera berat penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak.
Jika kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, kerusakan tidak
hanya disebabkan oleh cidera setempat tetapi juga oleh akselerasi dan deselarasi.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras
bergerak, sehingga memaksa otak membantur permukaan dalam tengkorak pada tempat
yang berlawanan benturan dan dampak yang terjadi adalah cedera jaringan otak.
Setiap kali jaringan mengalami cidera, akan terjadi perubahan isi cairan intrasel
dan ekstrasel. Penigkatan suplai darah ketempat dimana terjadi cidera yang menimbulkan
tekanan intracranial mengalami penigkatan sebagai akibat cidera sirkulasi otak untuk
mengatur volum darah ke otak yang mengalami kemampuannya sehingga menyebabkan
iskemia pada otak.

5. Tanda dan Gejala


1. Trauma Kepala Terbuka
a. Terjadinya perdarahan yang nyata
b. Hematimpanum (perdarahan pada daerah gendang telinga)
c. Periorbital (mata berwarna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorhoe (liquor keluar dari hidung)

6
e. Otorhoe (liquor keluar dari telinga)
2. Trauma Kepala Tertutup
a) Komusio Cerebri
→ Pingsan < 10 menit
→ Nyeri kepala
→ Pusing, mual muntah
→ Noda-noda depan mata
→ Gangguan keseimbangan, linglung
→ Kelemahan
b) Kontusio cerebri
 Edema jaringan otak didaerah sekitarnya
 Bila oedema meluas akan terjadi tekanan intra cranial
 Sering terjadi kenaikan suhu diatas 40oC
Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi dibedakan kontusio coup dan kontusio
contracoup. Coup kontusio dimana daerah yang terkena benturan sama dengan daerah
yang terpengaruh. Kontracoup kontusio dimana daerah yang terkena benturan berbeda
dengan daerah yang terpengaruh, contohnya ; daerah yang terbentur adalah bagian kanan,
seharusnya yang terpengaruh adalah sebelah kanan tetapi yang terjadi adalah sebelah kiri.
Klasifikasi cidera kepala berdasarkan mekanisme dan keparahan cidera :
1. Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater :
 Trauma tumpul ; kecepatan tinggi (tabrakan)
 Trauma tajam ; luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
2. Keparahan cidera :
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1. Skor skala coma Glasgow 15 (sadar penuh dan orientatif)
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita haematoma pada kulit kepala
6. Tidak ada criteria cedera sedang – berat

7
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1. Skor skala coma Glasgow 9 – 14 (letargi)
2. Amnesia paska trauma
3. Muntah
4. Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum,
otorea, rinorea cairan serebrospinal)
5. Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1. Skor skala coma Glasgow 3 – 8 (coma)
2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3. Tanda neurologis vocal
4. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium.

6. Test Diagnostik
Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X untuk mengidentifikasi lokasi fraktur
haematom.
CT scan atau MRF dapat dengan cermat menentukan letak dan luas cedera
Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa
protombin.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Komusio Cerebri
 Penderita harus tirah baring ditempat tidur sehingga semua keluhan
hilang.
 Tanda – tanda vital dan kesadaran dikontrol minimal setengah jam
selama 24 jam pertama, bila tensi naik dan nadi turun waspada
terjadinya perdarahan epidural.
 Pemberiaan analgesic
 Setelah keluhan nyeri, mual atau mutah hilang, maka dimulai mobilisasi.

8
b. Kontusio Cerebri
 Pengawasan kesadaran dan fungsi vital dilakukan setiap 15 menit pada
empat jam pertama dan tiap 30 menit setelah itu.
 Mengatahui gangguan sirkulasi
 Pengawasan temperature
 Pemberian cairan dan elektrolit
 Pemberian antibiotic
 Pemberian anti inflamasi
c. Cedera kepala ringan ; pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT scan bila
memenuhi criteria berikut :
→ Hasil pemeriksaan neurologis dalam batas normal
→ Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama
24 jam pertama, dengan instruksi.

8. Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah peningkatan TIK, kehilangan sensori dan motorik,
kerusakan otak, dan disfungsi syaraf cranial.
Tindakan operatif yang dapat diberikan adalah kraniotomy atau trepanasi serta
debridement.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat kesehatan
→ Kejadian
→ Kondisi sesaat
c. Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran (biasanya GCS < 15 )
2. Disorientasi : tempat, orang, dan waktu
3. Refleks Babinski positif

9
4. Perubahan tanda vital
5. Gerakan deserebrasi
6. Kemungkinan kaku kuduk
7. Hemiparese
d. Aspek kardio vaskuluer
1. Tensi darah turun
2. Bila tekanan intracranial meningkat akan terjadi nadi turun dan iramanya
tidak teratur.
e. Aspek pernafasan
1. Perubahan pola nafas (irama, kedalaman, dan frekuensi)
2. Bunyi nafas : ronchi, wheezing, dan stridor
3. Secret pada trakeobronkial
f. Aspek eliminasi
1. Retensi urine
2. Inkontinensia urine
g. Aspek GI
1. Perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan
2. Bising usus : lemah / tidak terdengar, mual dan muntah
h. Pola aktifitas / istirahat
Gejala ; merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda : perubahan kesadaran, dan heniparese
i. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
j. Pola nutrisi
Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia)
Bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
perdarahan otak akan terjadi gangguan nervus kranialis.
1. N.I (Olfaktorius) : penurunan daya penghiduan
2. N. II (Optikus) : Penurunan daya penglihatan

10
3. N. III (Oculomotorius) : penurunan lapang pandang
4. N. IV (Trochlearis) : penurunan reflek cahaya, anisokor
5. N. V (Trigeminus) : Anestesi dahi
6. N. VI (Abdusen) : bola mata tidak mampu bergerak ke segala arah
7. N. VII (Facialis) : hilang rasa 2/3 bagian dari anterior
8. N. VIII (Akustikus) : penurunan daya pendengaran dan kesimbangan tubuh.
9. N. IX, X, XI (vagus) : kelainan jarang ditemukan, jika positif klien biasanya
meninggal.
10. N. XII (Hipoglosus) : jatuh lidah ke salah satu sisi dan disertai kesilitan makan

2. Masalah Keperawatan :
1. Memaksimalkan perfusi atau fungsi cerebral
2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi
3. Mengoptimalkan fungi otak / mengembalikan pada keadaan sebelum trauma.
4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga
5. Memberikan informasi mengenai proses / prognosis penyakit dan rencana
tindakan.

Tujuan :
1. Fungsi cerebral meningkat ; defisite neurology dapat diperbaiki dan distabilkan
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Aktifitas kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi oleh diri sendiri atau dibantu orang
lain.
4. Keluarga memahami keadaan sebenarnya dan terlibat dalam proeses pemulihan.
5. Keluarga memahami tentang proses / prognosis penyakit dan cara penanganan
masalah yang timbul.

11
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Dp. I : Perubahan perfusi jaringan cerebral yang berhubungan dengan kelainan sirkulasi
cerebrospinal ditandai oleh :
→ Kehilangan memori
→ Penurunan kesadaran
→ Perubahan respon motorik / sensorik, gelisah
→ Perubahan tanda vital
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral memadai
Kriteria evaluasi :
→ Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK seperti tensi darah naik,
nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, suhu tinggi, pupil
melebar, reflek cahaya negative, dan GCS menurun.
→ Fungsi otak dan sensorik kembali normal.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan membuka mata seperti spontan, membuka hanya bisa diberi
rangsangan nyari atau tetap tertutup.
R / : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial TIK
dalam menentukan lokasi.
2. Kaji respon verbal, catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat
dan waktu.
R / : Kesesuaian dalam berbicara menunjukkan tingkat kesadaran
3. Pantau tekanan darah, catat adanya hypertensi sistolik secara terus-menerus dan
tekanan nadi yang semakin berat.
R / : Peningkatan tekanan darah sistolik diikuti penurunan tekanan darah diastolic
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
4. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan kabur, ganda, lapang
pandang menyempit.
R / : Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan kerusakan pada otak
mempunyai konsekuensi terhadap keamanan.

12
5. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan
dan reaksinya terhadap cahaya.
R / : Reaksi pupil diatur oleh syaraf cranial oculomotor yang berguna untuk
menentukan apakah batang otak masih baik.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk meninggikan kepala pasien 15 – 45 o sesuai
dengan indikasi yang dapat ditoleransi.
R / : Meningkatkan aliran darah balik vena dari kepala sehingga mengurangi
oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

Dp. 2. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan gangguan atau kerusakan pusat
pernafasan di medulla oblongata ditandai oleh : pernafasan cuping hidung,
pernafasan >20 x / mt, cianosis.
Tujuan : Pola nafas efektif kembali
Kriteria evaluasi :
→ Pola nafas dalam batas normal dan irama teratur.
→ Bunyi nafas normal
→ Pernfasan cuping hidung negative
Intervensi :
1. Pantau frekuansi, irama, dan kedalaman pernafasan
R / : Perubahan dapat menandakan luasnya keterlibatan otak
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi
R / : Untuk memudahkan ventilasi paru dan menurunkan adanya lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
3. Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R / : Mencegah / menurunkan akteletasis
4. Lakukan penghisapan dengan extra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik, catat
karakter, warna dan kekeruhan lender.
R / : Penghisapan pada trachea yang lebih dalam harus hati-hati karena dapat
menyebabkan hipoksia yang akan berpengaruh pada fungsi cerebral.
5. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian oksigen
R / : Memaksimalkan oksigen yang dibutuhkan pasien.

13
Dp. 3. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan :
→ Penurunan kekuatan / kemampuan motorik
→ Terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan (misalnya ; tirah baring,
imobilisasi).
Tujuan :
1. Mampu melakukan aktifitas fisik dan aktifitas kehidupan sehari-hari.
2. Tidak terjadi komplikasi (dekubitus)
Kriteria evaluasi :
Klien mendemonstrasikan tehnik / prilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali
aktifitas.

Intervensi :
1. Kaji derajat mobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
R / : seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan.
2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.
R / : Perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
3. Bantu untuk melakukan rentang gerak
R / : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi
4. Tingkatkan aktifitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan
R / : Proeses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai trauma kepala,
keterlibatan pasien dalam perencanaan dan keberhasilan.
5. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.
R / : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit

Dp. 4. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubunga dengan :
→ Perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi sekunder terhadap
penurunan tingkat kesadaran.
→ Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
Tujuan : Kekurangan nutrisi tidak terjadi

14
Kriteria Evaluasi :
1. Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
2. Berat badan dalam batas normal

Intervensi :
1. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan.
R / : Faktor untuk menentukan pilihan terhadap jenis makanan.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan / hilangnya suara.
R / : Fungsi saluran cerna biasanya tetap baik pada cedera kepala, jadi biasanya
usus membantu dalam menentukan respon untuk makan.
3. Timbang berat badan sesuai indikasi
R / : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
4. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R / : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan.
5. Konsultasi dengan ahli gizi tentang pemberian nutrisi yang sesuai.
R / : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori
tergantung usia.

Dp. 5. Gangguan rasa nyaman : nyeri kepala, pusing, yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan otak, perdarahan otak / peningkatan tekanan intracranial.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Kriteria hasil :
→ Pasien tenang, tidak gelisah
→ Nyeri kepala berkurang / hilang.

Intervensi :
1. Kaji lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan keluhan pasien.
R / : Untuk memudahkan membuat intervensi.

15
2. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot-otot.
R / : Dapat mengurangi ketegangan syaraf, sehingga pasien merasa lebih rileks
3. Buat posisi kepala lebih tinggi (15-45o)
R / : Meningkatkan dan melancarkan aliran balik pembuluh darah vena dari
kepala sehingga dapat mengurangi oedema dan TIK.
4. Kurangi stimulasi yang tidak menyenangkan dari luar dan berikan tindakan yang
menyenangkan.
R / : Respon yang tidak menyenangkan dapat menambah ketegangan saraf.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan analgetik.
R / : Obat analgetik dapat mengurangi nyeri dan rasa pusing.

16
BAB III
PENGAMATAN KASUS

Ringkasan Kasus
Nama : Tn. T
Umur : 32 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Diagnosa medik : Cidera Kepala Berat
Tanggal masuk : 20 April 2005

Pasien tinggal dijalan Pak Kasih Rumah makan Aries. Keluarga Klien
mengatakan “klien mengunakan motor mengantar anaknya sekolah, entah kenapa tiba-
tiba klien ditabrak oleh motor dari belakang. Setelah kejadian klien tidak sadarkan diri
dan terjadi perdarahan hebat dari daerah kepala, lalu klien dibawa oleh penduduk
setempat untuk diobati di RSSA, sesampainya di UGD klien langsung dilarikan ke ICU
karena kondisinya yang begitu parah”.
Pada saat pengkajian pada tanggal 2 Mei 2005 klien sudah dirawat ± 1 bulan di
ICU dan baru pindah ke ruang Sto. Matheus ± 2 minggu dipeoleh data pasien dirawat
oleh dr. Jhon Hard, keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran apatis, terpasang
infus RL drif remopain 1 amp + tradosik 1 amp, terpasang NGT, oksigen 2 liter / menit,
pasien tampak berbaring lemah Hasil observasi TTV S : 36,5 oC, N : 88 x / mt, P : 18 x /
mt, TD : 120 / 80 mmHg.

17

Anda mungkin juga menyukai