PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. (Browner, Jupiter, Krettek
and Anderson, 2014).Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa
penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak,
percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.Trauma kepala /
cedera kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur kepala
mulai dari lapisan kulit kepala, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak
sampai dengan jaringan otak sendiri baik berupa luka tertutup maupun tembus.
Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yang cukup serius diakibatkan oleh
kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. (Smeltzer
dan Bare, 2010).
Setiap tahun hampir sejumlah 1.2 juta orang meninggal dunia dan jutaan
lainnya mengalami cedera atau cacat sebagai akibat dari kecelakaan di jalan,
bagian terbesar di negara berpendapatan rendah dan menengah (WHO, 2014). Di
Indonesia data epidemiologi tentang cedera kepala hingga saat ini belum tersedia,
namun salah satu data rumah sakit di Indonesia menjelaskan bahwa kasus cedera
kepala dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data cedera kepala di Rumah
Sakit Makassar pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817
kasus, dan tahun 2007 berjumlah 1.078 kasus (Rawis, Lalenoh, dan Kumaat,
2016).
1
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya
memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia.
Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar
karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam
ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan aliran darah dalam
otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan
perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan
edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf sehingga terjadi peningkatan
tekanan intrakranial (Price, 2012).
Penyebab terjadina cedera yaitu:
1. Trauma tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang
menyebabkan robeknya otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2. Trauma tumpul, kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya
lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi, peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak
suatu obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer, Bare, 2010)
2
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat bagi
pasien dengan Cedera kepala berdasarkan data dan keluhan-keluhan yang
didapat dari pasien.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada klien Tn.F dengan gangguan Cedera kepala.
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.
c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan
Cedera kepala.
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.
C. METODE PENELITIAN
3
D. METODE PENULISAN
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
Trauma kepala / cedera kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan
seluruh struktur kepala mulai dari lapisan kulit kepala, tulang tengkorak,
duramater, vaskuler otak sampai dengan jaringan otak sendiri baik berupa luka
tertutup maupun tembus.
a. Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur tengkorak,
komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan perdarahan serebral
(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges,
2000: 270)
b. Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau mungkin
tidak termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak dan cedera
kepala sering digunakan secara bergantian dalam literatur kedokteran.
(Wikipedia, 2009)
c. Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan dalam fungsi
mental atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke kepala. (Medscape,
2009)
5
2. Klasifikasi Cedera Kepala
1. Akselerasi
Terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam
2. Deselerasi
b. Beratnya Cedera
6
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 - 13, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan 4
-Terhadap nyeri 2
-Tidak ada 1
2 Verbal :
-Orientasi baik 5
-Orientasi terganggu 4
3 Motorik :
- Mampu bergerak 6
-Melokalisasi nyeri 5
-Fleksi menarik 4
-Fleksi abnormal 3
-Ekstensi 2
Total 3-15
7
American Congress of Rehabilitation Medicine mendefinisikan Cedera
kepala ringan adalah gangguan fungsi fisiologis otak akibat trauma yang
dimanifestasikan satu diantara berikut :
c. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
b. Tidak pingsan
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri
kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
8
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat
berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak
tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama
blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah
“coup” , “contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit
neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan
kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, penderita biasanya
menunjukkan “organic brain syndrome”.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh
deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
9
5. Fracture Basis Cranii
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
1. Gangguan pendengaran
10
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.
1. Hematoma Epidural
2. Hematoma Subdural
11
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan
dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari Hematoma
subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
3. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor,
rumah dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan. Kecelakaan sepeda juga
merupakan penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian
dan cacat, terutama di kalangan anak-anak. (Wikipedia, 2009)
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme
cedera yang bisa terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera
12
perlambatan (deselerasi). Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika benda yang
bergerak membentur kepala yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan
(deselerasi) terjadi ketika kepala membentur objek yang relatif tidak bergerak,
misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
13
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi
vaskuler. Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam
intravaskuler. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa
kekurangan volume cairan tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu, trauma kepala
juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini dapat menjadi pintu masuk
bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan tubuh. Keadaan ini
menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko infeksi (Nanda, 2005:121).
5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi,
hemiparesis, kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur,
gangguan bicara, hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran
darah, inflamsi, edema, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dalam
waktu singkat (Price. 2003:1177 ).
Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala
yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat
(berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat
vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut).
c. Makanan/cairan
d. Higiene
14
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada
periode akut).
e. Neurosensori
f. Nyeri/kenyamanan
g. Pernafasan
a. Lakukan resusitasi jika perlu. Perlu diingat resusitasi yang tidak adekuat
menyebabkan injuri otak sekunder yang lebih berat.
- Panggil bantuan
- Lakukan intubasi
15
- Pasang monitor jantung, catat HR, TD, RR dan temperature, Apakah
sirkulasi adekuat atau pasien dalam keadaan syok?.
- Berikan darah bila perlu, periksa gula darah dengan glukostik dan berikan
glukosa, jika kadar GDA menurun
- Periksa BGA
TIK
keluarga.
f. Catat GCS dan periksa ulang secara teratur (tiap 15 manit). Periksa respon
pupil
g. Periksa muka, kulit kepala, laserasi, memar dan deformitas. Jangan lupa
pemberian tetanus profilaksis
i. Cek ulang jalan napas, hindari retensi pada pasien lepaskan baju.
16
2. Manajemen trauma kepala pada pasien sadar
- Mamburuknya GCS
1) Gangguan kesadaran
2) Kejang
3) Gangguan neurologis
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
17
b. Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
d. Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen
tulang.
e. Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
f. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
g. Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental.
h. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)
8. Penatalaksanaan
a. Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV
line harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat,
intubasi endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan
napas dan mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi
cepat akan mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya
komplikasi. Saat melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk
mengimobilisasi tulang leher dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat
atau agen induksi.
b. Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral,
sangatlah penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian
resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan
berkonsultasi dengan bagian medis neurologi untuk menentukan
dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan indikasi trauma
intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30°.(Jhon:
2004;778)
18
Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526)
a. Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan
diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan
vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila
hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan
perfusi cerebral
b. Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa
benzoidiazepines
c. Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih, penekanan
harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan.
9. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:
10. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,
terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal
85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
19
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
banyak berkembang pada pasien cedera kepala.
20
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian Berdasarkan Persistem
Data
Pengkajian Masalah
Objektif Subjektif
21
komunikasi verbal
Gangguan
persepsi sensori
Risiko infeksi
Risiko cedera
Bladder -
Bowel -
Bone -
2. Diagnosa Keperawatan
22
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
karena penurunan aliran darah otak dan penekanan pusat pernafasan di
medulla oblongata dan pons
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan pembentukan
lendir/sekret
c. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dengan kehilangan volume
cairan tubuh secara aktif
e. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
g. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan fungsi motoris
otot-otot bicara
h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
i. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
j. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia
k. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan cedera otak
23
3. Perencanaan Keperawatan
24
tidak ada suara nafas abnormal) 10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
Vital sign Status 11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
- Tanda Tanda vital dalam rentang
bradikardi, peningkatan sistolik)
normal (tekanan darah, nadi,
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
pernafasan)
2 Bersihan Jalan Nafas tidak Setelah dilakukan asuhan NIC :
Efektif keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan Bersihan jalan nafas Airway suction
Faktor-faktor yang kembali efektif kembali efektif.
berhubungan: 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Dengan kriteria hasil 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
- Lingkungan : merokok,
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
menghirup asap rokok, NOC :
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
perokok pasif Respiratory status : Ventilation
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
- Fisiologis : disfungsi
- Mendemonstrasikan batuk efektif suksion nasotrakeal
neuromuskular,
dan suara nafas yang bersih, tidak 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
hiperplasia dinding
ada sianosis dan dyspneu (mampu 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter
bronkus, alergi jalan
mengeluarkan sputum, mampu dikeluarkan dari nasotrakeal
nafas, asma.
bernafas dengan mudah, tidak ada 8. Monitor status oksigen pasien
- Obstruksi jalan nafas :
pursed lips) 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
spasme jalan nafas,
10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
sekresi tertahan,
Respiratory status : Airway menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
banyaknya mukus,
patency
adanya jalan nafas
- Menunjukkan jalan nafas yang Airway Management
buatan, sekresi bronkus,
25
adanya eksudat di paten (klien tidak merasa 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
alveolus, adanya benda tercekik, irama nafas, frekuensi perlu
asing di jalan nafas. pernafasan dalam rentang normal, 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
tidak ada suara nafas abnormal) 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Aspiration Control
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Mampu mengidentifikasikan dan
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
mencegah factor yang dapat
8. Lakukan suction pada mayo
menghambat jalan nafas
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
26
dalam rentang yang 6. Monitor kemampuan BAB
diharapkan 7. Kolaborasi pemberian analgetik
2. Tidak ada ortostatikhipertensi 8. Monitor adanya tromboplebitis
3. Tidak ada tanda tanda 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih dari
15 mmHg)
Mendemonstrasikan kemampuan
kognitif yang ditandai dengan:
27
Cairan diharapkan volume cairan terpenuhi Fluid management
ada rasa haus yang berlebihan 11. Berikan cairan IV pada suhu ruangan
12. Dorong masukan oral
13. Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
14. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
15. Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
16. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
17. Atur kemungkinan tranfusi
18. Persiapan untuk tranfusi
28
5 Nyeri Setelah dilakukan asuhan NIC :
keperawatan selama ....x.... jam
Faktor yang berhubungan : diharapkan Nyeri teratasi atau Pain Management
terkontrol
Agen injuri (biologi, kimia, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
fisik, psikologis) Kriteria Hasil karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
NOC :
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Pain Level
pengalaman nyeri pasien
- Mampu mengenali nyeri (skala, 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri) 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
Pain control ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
- Mampu mengontrol nyeri (tahu 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
menggunakan tehnik 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
29
nyeri berkurang 16.Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
- Tanda vital dalam rentang tidak berhasil
normal 17.Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
30
- Terapi pembatasan gerak NOC : rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
- Kurang pengetahuan 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat
Joint Movement : Active
tentang kegunaan saat berjalan dan cegah terhadap cedera
- Klien meningkat dalam aktivitas
pergerakan fisik 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
fisik
- Indeks massa tubuh tentang teknik ambulasi
diatas 75 tahun percentil 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
sesuai dengan usia 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
- Kerusakan persepsi ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
sensori 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
- Tidak nyaman, nyeri dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
- Kerusakan 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
muskuloskeletal dan 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
neuromuskuler dan berikan bantuan jika diperlukan
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau
cemas
- Kerusakan kognitif
7 Hambatan komunikasi Setelah dilakukan asuhan NIC:
verbal keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan hambatan komunikasi Communication Enhancement: Speech deficit (Perbaikan
Berhubungan dengan : verbal teratasi Komunikasi : Gangguan Berbicara)
- Perubahan sistem saraf Dengan kriteria hasil 1. Dengarkan setiap ucapan pasien dengan penuh perhatian
31
pusat NOC : 2. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi
- Perubahan konsep diri dengan pasien
Communication Ability
- Defek anatomis 3. Dorong pasien untuk mengulang kata-kata
- Mampu untuk berkomunikasi
4. Berikan arahan/perintah yang sederhana setiap interaksi dengan
secara verbal
pasien
Communication : Expressive Ability
5. Programkan speech-language teraphy
- Mampu untuk berkomunikasi 6. Lakukan speech-language teraphy setiap interaksi dengan pasien
secara aktif (ekspresif)
Communication : Receptive Ability
32
- Perubahan pigmentasi kulit yang mengalami gangguan
- Perubahan sirkulasi 3. Menunjukkan pemahaman dalam
- Perubahan turgor proses perbaikan kulit dan
(elastisitas kulit) mencegah terjadinya sedera
berulang
4. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
33
- Agen farmasi penatalaksanaannya kencing
(imunosupresan) Risk control 11. Tingktkan intake nutrisi
- Malnutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Menunjukkan kemampuan untuk
- Peningkatan paparan
mencegah timbulnya infeksi
lingkungan patogen - Jumlah leukosit dalam batas Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
- Imonusupresi
normal 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
- Ketidakadekuatan imum - Menunjukkan perilaku hidup
2. Monitor hitung granulosit, WBC
buatan
sehat 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
- Tidak adekuat
4. Batasi pengunjung
pertahanan sekunder
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
(penurunan Hb,
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
Leukopenia, penekanan
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
respon inflamasi)
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
- Tidak adekuat
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
pertahanan tubuh
drainase
primer (kulit tidak utuh,
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
trauma jaringan,
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
penurunan kerja silia,
12. Dorong masukan cairan
cairan tubuh statis,
13. Dorong istirahat
perubahan sekresi pH,
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
perubahan peristaltik)
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
- Penyakit kronik
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
34
10 Resiko Injury b/d Setelah dilakukan asuhan NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)
immobilisasi, penekanan keperawatan selama ....x.... jam
sensorik patologi intrakranial diharapkan risiko cedera tidak terjadi 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
dan ketidaksadaran 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi
Kriteria hasil
fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu
NOC : pasien
Risk Kontrol 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
memindahkan perabotan)
- Klien terbebas dari cedera
4. Memasang side rail tempat tidur
- Klien mampu menjelaskan
5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
cara/metode untukmencegah
6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau
injury/cedera
pasien.
- Klien mampu menjelaskan factor
7. Membatasi pengunjung
resiko dari lingkungan/perilaku
8. Memberikan penerangan yang cukup
personal
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
- Mampu memodifikasi gaya hidup
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
untuk mencegah injury
11. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
35
11 Gangguan persepsi sensori Setelah dilakukan asuhan NIC :
berhubungan dengan cedera keperawatan selama ....x.... jam
otak diharapkan meminimalkan efek dari 1. Bangun kedekatan dengan menggunakan secara meyakinkan dan
defisit persepsi dan meningkatkan tenang, kontak mata, dan sentuhan. Memanggil pasien dengan nama
fungsi neurologis dengan panggilannya.
Kriteria Hasil 2. Lindungi pasien dari cedera pada sisi yang terjadi hemiparalise.
Berikan pengingat regular untuk melihat dan menyentuh sisi yang
NOC : terkena hemiparalise.
1. Mempertahankan tingkat 3. Pastikan bahwa makanan dan benda – benda di samping tempat
kesadaran dan fungsi perceptual tidur di tempatkan baik dalam bidang visual pasien.
36
4. Implementasi
Implementasi dilaksanakan berdasarkan intervensi yang telah dibuat dalam rencana
perawatan
5. Evaluasi
Evaluasi yang dibuat bisa dalam bentuk formatif dan sumatif (SOAP). Evaluasi yang
dilakukan berdasarkan pencapaian yang didapatkan sesuai dengan criteriahasil/ kriteria
evaluasi yang dibuat dalam rencana perawatan.
37
BAB III
TINJAUAN KASUS
PADA PASIEN T.F DENGAN DIAGNOSA CKR + Fraktur Depresjed os Frontal Sinistra +
EDH Minimal Sinistra DI RUANG IGD BEDAH BRSU TABANAN
Transportasi : Mobil
Hubungan : Ipar
38
Jalan Nafas : √ Paten Tidak Paten
39
RR : 28x / Menit
Keluhan Lain : -
Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas
Pucat : Ya √ Tidak
Sianosis : Ya √ Tidak
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan: Resiko perfusi ketidakefektifan jaringan otak
40
Kesadaran: √ Compos mentis Delirium Somnolen Koma
Kekuatan Otot :
555 555
DISABILITY
555 555
Keluhan Lain : -
41
EXPOSURE
Grade : -
42
Jika ada luka/ vulnus, kaji:-
Luas Luka : -
Kedalaman : -
Lain-lain :-
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
Monitoring Jantung : Sinus Bradikardi Sinus Takikardi
Saturasi O2 :98 %
Lain-lain:
Terapi:
1. Ketorolac 1 amp
2. ATS 1 amp
3. Ambacim 1gr
4. Kalnex 1gr
5. Ondancentron 8ml
6. PCT flash 1flash
7. Nacl IVD 0,9% 20 tpm
8. Nasal canul 4 liter
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
43
Nyeri : √ Ada Tidak
dahi kiri
nyeri bertambah
GIVE COMFORT
44
Keluhan Utama : Klien datang dengan keluhan nyeri pada dahi kiri
ke selokan.
Allergi : klien mengatakan tidak ada alergi obat, makanan ,dan minuman
melakukan pengobatan
Hipertensi
45
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)
Leher :
I : Tidak tampak luka, tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid
Dada :
Pe : Sonor
A : Vesikuler
Pemeriksaan Laboratorium :
47
Nama : Tn.F
RM : 740xxx
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal 28 Januari 2020
Pemeriksaan :
Dokter Pengirim : Dr.S
TS YTh, Pemeriksaan CT Kepala irisan axial reformatted coronal dan sagittal tanpa kontras
(MSCT 128 slice) :
Tampak lesi hiperdense berdensitas darah berbentuk crescent dengan ketebalan +/- 3
mm di frontalis kiri.
Tampak lesi hiperdense berbentuk biconvex dengan ketebalan +/- 6,4 mm di frontalis
kiri.
Tampak lesi hiperdense berdensitas darah yang mengisi sulci regio frontalis kiri.
Tampak lesi berdensitas udara minimal di frontalis kiri.
Sulci dan gyri merapat
Sistem ventrikel dan cystema tak tampak kelainan.
Pons dan cerebellum tak tampak kelainan.
Tak tampak klasifikasi abnormal.
Tak tampak deviasi midline.
Orbita, mastoid dan sinus paranasalis kanan kiri tak tampak kelainan.
Tampak fraktur depressed os frontalis kiri.
SCALP swelling frontalis dan parietalis kiri.
KESIMPULAN :
48
SAH minimal frontalis kiri.
Fraktur depresed os frontalis kiri disertai pneumoenchepalus minimal frontalis kiri
SCALP swelling frontalis dan parietalis kiri.
49