Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. (Browner, Jupiter, Krettek
and Anderson, 2014).Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa
penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak,
percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.Trauma kepala /
cedera kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur kepala
mulai dari lapisan kulit kepala, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak
sampai dengan jaringan otak sendiri baik berupa luka tertutup maupun tembus.
Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yang cukup serius diakibatkan oleh
kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. (Smeltzer
dan Bare, 2010).
Setiap tahun hampir sejumlah 1.2 juta orang meninggal dunia dan jutaan
lainnya mengalami cedera atau cacat sebagai akibat dari kecelakaan di jalan,
bagian terbesar di negara berpendapatan rendah dan menengah (WHO, 2014). Di
Indonesia data epidemiologi tentang cedera kepala hingga saat ini belum tersedia,
namun salah satu data rumah sakit di Indonesia menjelaskan bahwa kasus cedera
kepala dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data cedera kepala di Rumah
Sakit Makassar pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817
kasus, dan tahun 2007 berjumlah 1.078 kasus (Rawis, Lalenoh, dan Kumaat,
2016).

1
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya
memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia.
Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar
karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam
ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan aliran darah dalam
otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan
perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan
edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf sehingga terjadi peningkatan
tekanan intrakranial (Price, 2012).
Penyebab terjadina cedera yaitu:
1. Trauma tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang
menyebabkan robeknya otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2. Trauma tumpul, kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya
lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi, peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak
suatu obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer, Bare, 2010)

2
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat bagi
pasien dengan Cedera kepala berdasarkan data dan keluhan-keluhan yang
didapat dari pasien.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada klien Tn.F dengan gangguan Cedera kepala.
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.
c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan
Cedera kepala.
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan gangguan Cedera
kepala.

C. METODE PENELITIAN

Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah


laporan kasus asuhan keperawatan. Metode penulisan ini diawali dari teori dan
fakta yang terjadi pada pasien yang bertujuan untuk mengadakan perpaduan
antara teori dan praktik, menetapkan konsep-konsep, membuktikan dan
mengembangkan teori kedalam kenyataan yang terjadi pada pasien.

Ada pun unsur-unsur dalam penulisan ini adalah:

1. Pengumpulan konsep dasar teori


2. Pembelajaran konsep dasar teori.
3. Pengumpulan dan analisis data dilakukan pada pasien dengan waktu
yang bersamaan.
4. Data merupakan sumber teori yang akan disatukan dengan teori.
5. Studi perbandingan untuk menentukan beberapa ketimpangan antara
teori dan kenyataanya.

3
D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah


laporan kasus asuhan keperawatan. Metode penulisan ini diawali dari teori dan
fakta yang terjadi pada pasien yang bertujuan untuk mengadakan perpaduan
antara teori dan praktik, menetapkan konsep-konsep, membuktikan dan
mengembangkan teori kedalam kenyataan yang terjadi pada pasien.

Dan memudahkan kelompok dalam memahami laporan kasus ini maka


penulis mengklasifikasikannya menjadi empat BAB dengan sistematika sebagai
berikut : BAB I yaitu pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang
masalah, tujuan penulisan, metode dan sistematika penulisan. BAB II mencakup
tinjauan teoritis dan tinjuan kasus, dimana tinjauan teoritis meliputi konsep dasar
penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan, konsep dasar kasus
menguraikan definisi penyakit, etiologi penyakit, respon neuroboilogis,
psikodinamika, jenis- jenis, tanda dan gejala dan pelaksanaan medis. Konsep
dasar asuhan keperawatan meliputi pengkajian, perumusan diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Sedangkan pada tinjauan
kasus meliputi pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi. BAB III berisikan data dan asuhan keperawatan
kepada klien dengan gangguan Cedera kepala. BAB IV berisikan pembahasan
antara teori yang ada dengan praktik yang ditemukan pada klien, BAB V yaitu
penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Ada pun unsur-unsur dalam penulisan ini adalah:

1. Pengumpulan konsep dasar teori


2. Pembelajaran konsep dasar teori.
3. Pengumpulan dan analisis data dilakukan pada pasien dengan
waktu yang bersamaan.
4. Data merupakan sumber teori yang akan disatukan dengan teori.
5. Studi perbandingan untuk menentukan beberapa ketimpangan
antara teori dan kenyataanya.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.

Trauma kepala / cedera kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan
seluruh struktur kepala mulai dari lapisan kulit kepala, tulang tengkorak,
duramater, vaskuler otak sampai dengan jaringan otak sendiri baik berupa luka
tertutup maupun tembus.

Injuri otak traumatik merupakan insufisiensi otak nondegeneratif,


nonkongenital, akibat kekuatan mekanik eksternal yang dapat menyebabkan
gangguan kognitif, fisik, psikologis baik permanen maupun temporal yang di
hubungkan dengan gangguan tingkat kesadaran.

a. Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur tengkorak,
komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan perdarahan serebral
(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges,
2000: 270)
b. Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau mungkin
tidak termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak dan cedera
kepala sering digunakan secara bergantian dalam literatur kedokteran.
(Wikipedia, 2009)
c. Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan dalam fungsi
mental atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke kepala. (Medscape,
2009)

5
2. Klasifikasi Cedera Kepala

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala


yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam
menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi  yaitu berdasarkan :
a. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.

1. Akselerasi

Terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam

2. Deselerasi

Terjadi jika kepala membentur objek yang diam

3. Kompresi atau penekanan

b. Beratnya Cedera

British Society of Rehabilitation Medicine membagi cedera kepala menjadi:

1. Cedera kepala ringan (GCS 14-15)

2. Cedera kepala sedang (GCS 9-13)

3. Cedera kepala berat (GCS 3-8)

Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif


kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala yaitu :
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma

6
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 - 13, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.

Glasgow Coma Scale (GCS)

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata :  

-Spontan 4

-Terhadap rangsangan suara 3

-Terhadap nyeri 2

-Tidak ada 1

2 Verbal :  

-Orientasi baik 5

-Orientasi terganggu 4

-Kata-kata tidak jelas 3

-Suara tidak jelas 2

-Tidak ada respon 1

3 Motorik :  

- Mampu bergerak 6

-Melokalisasi nyeri 5

-Fleksi menarik 4

-Fleksi abnormal 3

-Ekstensi 2

-Tidak ada respon 1

Total 3-15

7
American Congress of Rehabilitation Medicine mendefinisikan Cedera
kepala ringan adalah gangguan fungsi fisiologis otak akibat trauma yang
dimanifestasikan satu diantara berikut :

- Periode hilangnya kesadaran

- Hilangnya memori kejadian secara tiba–tiba sebelum atau setelah kejadian.

- Gangguan mental saat terjadi kecelakaan

- Defisit neurologis fokal

c. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

1. Simple Head Injury


Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

a. Ada riwayat trauma kapitis

b. Tidak pingsan

c. Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat


simptomatik dan cukup istirahat.

2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri
kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau


terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari
untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.

8
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat
berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak
tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama
blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah
“coup” , “contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit
neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan
kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, penderita biasanya
menunjukkan “organic brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme


yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi
pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi
cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual,
muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan penunjang
seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya
kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral
edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10
hari.

4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh
deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

9
5. Fracture Basis Cranii
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

1) Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


2) Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
3) Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
4) Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan
ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan
tindakan pembedahan.
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala :
1. Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
2. Epistaksis
3. Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala :
1. Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
2. Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.


Komplikasi :

1. Gangguan pendengaran

2. Parese N.VII perifer

3. Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi


terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

10
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.

Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :

1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah


batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat (Umar Kasan : 2000).

Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2


yaitu:

1. Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak


langsung (akselerasi/deselerasi otak).

2. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui


akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea
atau hipotensi sistemik.

Sementara menurut Price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan


sebagai berikut:

1. Hematoma Epidural

Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat


robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi,
penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala
dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode
lusid.

2. Hematoma Subdural

Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini


timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik
yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.

a) Hematoma subdural akut

11
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.

b) Hematoma subdural subakut

Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna


dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu
setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam
ruang subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita hemotoma
subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
bertahap.

c) Hematoma subdural kronik

Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan
dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari Hematoma
subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.

3. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor,
rumah dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan. Kecelakaan sepeda juga
merupakan penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian
dan cacat, terutama di kalangan anak-anak. (Wikipedia, 2009)

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada kecelakaan
lalu lintas. (Mansjoer, 2000:3)

4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme
cedera yang bisa terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera

12
perlambatan (deselerasi). Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika benda yang
bergerak membentur kepala yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan
(deselerasi) terjadi ketika kepala membentur objek yang relatif tidak bergerak,
misalnya tanah (Gallo, 1996:226).

Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan


otak dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood Brain Barrier).
Cedera jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat
dalam jaringan otak. Degranulasi ini memacu pelepasan histamin yang
menimbulkan efek vaskuler berupa peningkatan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler (Price, 2005:62).

Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi cairan dari


intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema serebral
(Price, 2005:1168).

Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di


daerah kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan edema
serebral dapat berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan TIK
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang
intrakranial ditempati oleh jaringan otak (1400 gram), darah (sekitar 75ml), dan
cairan serebrospinal (sekitar 75ml). Keseluruhan volume tersebut menghasilkan
suatu tekanan intrakranial normal sebesar 4-15 mmHg. Peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga komponen ini mengakibatkan desakan pada ruang
dan menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005:1167).

Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke


otak dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons.
Penurunan kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow)
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga memunculkan
masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif (Nanda, 2005:233). Sedangkan,
penekanan pada medulla oblongata dan pons menyebabkan terjadinya gangguan
pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539). Gangguan ini menimbulkan
masalah keperawatan berupa pola nafas tidak efektif (Nanda, 2005:27).
Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak dan gangguan pada fungsi
pernafasan akibat penekanan fungsi pernafasan membutuhkan tindakan
pemasangan intubasi ETT dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas dan membantu pemenuhan kebutuhan oksigen secara
adekuat. Keadaan ini dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat
sekret menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan
masalah keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda, 2005:4).

13
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi
vaskuler. Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam
intravaskuler. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa
kekurangan volume cairan tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu, trauma kepala
juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini dapat menjadi pintu masuk
bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan tubuh. Keadaan ini
menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko infeksi (Nanda, 2005:121).

5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi,
hemiparesis, kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur,
gangguan bicara, hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran
darah, inflamsi, edema, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dalam
waktu singkat (Price. 2003:1177 ).

Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala
yaitu:

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang ditimbulkan oleh


kondisinya.

Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.


Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak,
hipotonia.

b. Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa


penyakit jantung kongenital (abses otak).

Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat
(berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat
vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut).

c. Makanan/cairan

Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut).

Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.

d. Higiene

14
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada
periode akut).

e. Neurosensori

Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya


berat), parestesia, terasa kaku pada semua pernafasan yang terkena,
kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf kranial), gangguan dalam
penglihatan seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).

Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai kebingungan yang


berat sehingga menjadi koma, delusi dan halusinasi/psikosis organik
(ensefalitis).

f. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan


diperburuk oleh ketegangan leher/punggung kaku, nyeri pada gerakan
okular, fotosensitivitas, sakit tenggorok nyeri.

Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis/


mengaduh/ mengeluh.

g. Pernafasan

Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).

Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan mental


(letargi sampai koma) dan gelisah.

6. Manajemen Cedera Kepala


1. Manajemen cedera kepala pada pasien tidak sadar

Lakukan pengkajian lengkap airway, breathing dan sirkulasi (A,B,C)

a. Lakukan resusitasi jika perlu. Perlu diingat resusitasi yang tidak adekuat
menyebabkan injuri otak sekunder yang lebih berat.

- Panggil bantuan

- Pasang cervical collar

- Bersihkan jalan napas (keluarkan debris, dan pasang orofaringeal)

- Berikan oksigen aliran tinggi

- Lakukan intubasi

- Pastikan pernapasan adekuat

15
- Pasang monitor jantung, catat HR, TD, RR dan temperature, Apakah
sirkulasi adekuat atau pasien dalam keadaan syok?.

- Atasi hipotensi dengan pemberian cairan kristaloid. Tapi perlu diingat


terlalu banyak cairan menyebabkan edema otak berat. Hentikan
pemberian jika ps normotensive

- Berikan darah bila perlu, periksa gula darah dengan glukostik dan berikan
glukosa, jika kadar GDA menurun

- Periksa BGA

b. Hiperkapnia menyebabkan vasodilatasi cerebral dan meningkatkan TIK.

c. Periksa adanya bradikardia dan hipertensi, merupakan tanda peningkatan

TIK

d. Kurangi faktor-faktor sistemik yang menyebabkan cedera otak sekunder

e. Kaji riwayat trauma dengan menanyakan pada crew ambulance, saksi,

keluarga.

1) Apakah pasien mengalami perubahan kesadaran setelah trauma?

2) Adakah riwayat obstruksi jalan napas?

3) Bagaimana mekanisme injuri dan kecepatan saat terjadi benturan?

4) Kaji secara lengkap riwayat penyakit dan pengobata

f. Catat GCS dan periksa ulang secara teratur (tiap 15 manit). Periksa respon
pupil

g. Periksa muka, kulit kepala, laserasi, memar dan deformitas. Jangan lupa
pemberian tetanus profilaksis

h. Periksa telinga adakah darah, cairan cerebrospinal atau hemotimpanum,


merupakan tanda fraktur basis cranii. Tanda lain faktur basis cranii
adanya racoon eyes, battle sign, rhinorrhoea.

i. Cek ulang jalan napas, hindari retensi pada pasien lepaskan baju.

j. Lakukan pemeriksaan foto Ro, CT scan

16
2. Manajemen trauma kepala pada pasien sadar

a. Kaji riwayat trauma, lakukan pemeriksaan dan investigasi untuk


mengidentifikasi pasien

b. Kaji apakah pasien dapat mengingat kejadian, apakah terjadi amnesia


retrograd atau aterograd? Pada orang tua cedera kepala akan
menyebabkan gangguan jantung atau cerebrovaskuler yang
memerlukan perhatian khusus.

c. Lakukan pemeriksaan sama dengan pasien yang mengalami cedera


kepala berat. Hati-hati pada pasien intoksikasi karena alkohol atau
obat. Jika ragu lakukan observasi

d. Lakukan foto Ro/ CT Scan

Indikasi Pasien yang dilakukan CT Scan :

- Koma setelah resusitasi

- Mamburuknya GCS

- Adanya fraktur tengkorak yang disertai dengan :

1) Gangguan kesadaran

2) Kejang

3) Gangguan neurologis

- Fraktur tulang kepala terbuka (termasuk Basis Cranii ).

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.

17
b. Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
d. Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen
tulang.
e. Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
f. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
g. Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental.
h. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)

8. Penatalaksanaan
a. Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV
line harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat,
intubasi endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan
napas dan mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi
cepat akan mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya
komplikasi. Saat melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk
mengimobilisasi tulang leher dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat
atau agen induksi.
b. Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral,
sangatlah penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian
resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan
berkonsultasi dengan bagian medis neurologi untuk menentukan
dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan indikasi trauma
intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30°.(Jhon:
2004;778)

18
Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526)

a. Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan
diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan
vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila
hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan
perfusi cerebral
b. Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa
benzoidiazepines
c. Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih, penekanan
harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan.
9. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:

a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya


leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis
dan bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak
merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko
meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan
antikonvulsan.

10. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,
terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal
85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,

19
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
banyak berkembang pada pasien cedera kepala.

20
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian Berdasarkan Persistem
Data
Pengkajian Masalah
Objektif Subjektif

Breathing Adanya Suara nafas Ketidakefektifan


tambahan : terdengar bersihan jalan
adanya suara snoring (+) nafas
Perubahan frekuensi nafas Ketidakefektifan
Irama nafas abnormal pola nafas
(cepat dan dangkal).
Nafas spontan tetapi tidak
adekuat
Blood Perubahan tekanan darah Risiko
Perubahan kedalaman dan ketidakefektifan
irama nadi perfusi jaringan
Perubahan frekuensi (seberal)
jantung (takikardia) Risiko
Akral dingin kekurangan
Hidung dan mulut volume cairan
mengeluarkan darah atau Pk Shok
perdarahan massif hipovolemi
Anemis (+)

Brain Kepala terdapat lesi Risiko


CT Scan Kepala : cedera ketidakefektifan
otak berat perfusi jaringan
Penurunan GCS (seberal)
Peningkatan TIK Nyeri akut
Kerusakan system saraf Mual
pusat atau neuromuskular Gangguan
mobilitas fisik
Gangguan

21
komunikasi verbal
Gangguan
persepsi sensori
Risiko infeksi
Risiko cedera
Bladder -

Bowel -

Bone -

b. Pengkajian Terus Menerus


Dikaji saat perawatan pada pasien secara kontinu

2. Diagnosa Keperawatan

22
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
karena penurunan aliran darah otak dan penekanan pusat pernafasan di
medulla oblongata dan pons
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan pembentukan
lendir/sekret
c. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dengan kehilangan volume
cairan tubuh secara aktif
e. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
g. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan fungsi motoris
otot-otot bicara
h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
i. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
j. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia
k. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan cedera otak

23
3. Perencanaan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Ketidakefektifan Pola nafas Setelah dilakukan asuhan NIC :


keperawatan selama ....x.... jam
Faktor yang berhubungan diharapkan pola nafas kembali Terapi Oksigen
efektif.
- Hiperventilasi 1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
- Deformitas tulang Dengan kriteria hasil 2. Pertahankan jalan nafas yang paten
- Kelainan bentuk 3. Atur peralatan oksigenasi
NOC :
dinding dada 4. Monitor aliran oksigen
Respiratory status : Ventilation
- Obesitas 5. Pertahankan posisi pasien
- Posisi tubuh - Mendemonstrasikan batuk efektif 6. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Kelelahan otot dan suara nafas yang bersih, tidak 7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
pernafasan ada sianosis dan dyspneu (mampu Vital sign Monitoring
- Hipoventilasi sindrom mengeluarkan sputum, mampu
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
- Nyeri bernafas dengan mudah, tidak ada
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Kecemasan pursed lips)
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
- Kerusakan neurologis Respiratory status : Airway
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
patency
- Imaturitas Neurologis 5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
- Menunjukkan jalan nafas yang
6. Monitor kualitas dari nadi
paten (klien tidak merasa
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
tercekik, irama nafas, frekuensi
8. Monitor suara paru
pernafasan dalam rentang normal,
9. Monitor pola pernapasan abnormal

24
tidak ada suara nafas abnormal) 10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
Vital sign Status 11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
- Tanda Tanda vital dalam rentang
bradikardi, peningkatan sistolik)
normal (tekanan darah, nadi,
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
pernafasan)
2 Bersihan Jalan Nafas tidak Setelah dilakukan asuhan NIC :
Efektif keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan Bersihan jalan nafas Airway suction
Faktor-faktor yang kembali efektif kembali efektif.
berhubungan: 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Dengan kriteria hasil 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
- Lingkungan : merokok,
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
menghirup asap rokok, NOC :
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
perokok pasif Respiratory status : Ventilation
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
- Fisiologis : disfungsi
- Mendemonstrasikan batuk efektif suksion nasotrakeal
neuromuskular,
dan suara nafas yang bersih, tidak 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
hiperplasia dinding
ada sianosis dan dyspneu (mampu 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter
bronkus, alergi jalan
mengeluarkan sputum, mampu dikeluarkan dari nasotrakeal
nafas, asma.
bernafas dengan mudah, tidak ada 8. Monitor status oksigen pasien
- Obstruksi jalan nafas :
pursed lips) 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
spasme jalan nafas,
10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
sekresi tertahan,
Respiratory status : Airway menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
banyaknya mukus,
patency
adanya jalan nafas
- Menunjukkan jalan nafas yang Airway Management
buatan, sekresi bronkus,

25
adanya eksudat di paten (klien tidak merasa 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
alveolus, adanya benda tercekik, irama nafas, frekuensi perlu
asing di jalan nafas. pernafasan dalam rentang normal, 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
tidak ada suara nafas abnormal) 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Aspiration Control
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Mampu mengidentifikasikan dan
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
mencegah factor yang dapat
8. Lakukan suction pada mayo
menghambat jalan nafas
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

3 Risiko ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC :


perfusi jaringan otak b/d keperawatan selama ....x.... jam
kerusakan transportasi diharapkan perfusi jaringan otak Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
oksigen melewati membran efektif Dengan kriteria hasil 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK NOC : panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
Circulation status
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau
mendemonstrasikan status sirkulasi
laserasi
yang ditandai dengan :
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
1. Tekanan systole dandiastole
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung

26
dalam rentang yang 6. Monitor kemampuan BAB
diharapkan 7. Kolaborasi pemberian analgetik
2. Tidak ada ortostatikhipertensi 8. Monitor adanya tromboplebitis
3. Tidak ada tanda tanda 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih dari
15 mmHg)

Tissue Prefusion : cerebral

Mendemonstrasikan kemampuan
kognitif yang ditandai dengan:

- Berkomunikasi dengan jelas dan


sesuai dengan kemampuan
- Menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
- menunjukkan fungsi sensori
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan gerakan
involunter
4 Kekurangan Volume Setelah dilakukan asuhan NIC :
keperawatan selama ....x.... jam

27
Cairan diharapkan volume cairan terpenuhi Fluid management

Faktor-faktor yang Kriteria hasil 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan


berhubungan: 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
NOC:
- Kehilangan volume 3. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi
Fluid balance
cairan secara aktif adekuat, tekanan darah ortostatik) , jika diperlukan
- Kegagalan mekanisme - Mempertahankan urine output 4. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt
pengaturan sesuai dengan usia dan BB, BJ , osmolalitas urin) 
urine normal, HT normal 5. Monitor vital sign
Hydration 6. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori

- Tekanan darah, nadi, suhu tubuh harian

dalam batas normal 7. Kolaborasi pemberian cairan IV

- Tidak ada tanda tanda dehidrasi, 8. Monitor status nutrisi

Elastisitas turgor kulit baik, 9. Berikan cairan

membran mukosa lembab, tidak 10. Berikan diuretik sesuai interuksi

ada rasa haus yang berlebihan 11. Berikan cairan IV pada suhu ruangan
12. Dorong masukan oral
13. Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
14. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
15. Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
16. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
17. Atur kemungkinan tranfusi
18. Persiapan untuk tranfusi

28
5 Nyeri Setelah dilakukan asuhan NIC :
keperawatan selama ....x.... jam
Faktor yang berhubungan : diharapkan Nyeri teratasi atau Pain Management
terkontrol
Agen injuri (biologi, kimia, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
fisik, psikologis) Kriteria Hasil karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
NOC :
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Pain Level
pengalaman nyeri pasien
- Mampu mengenali nyeri (skala, 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri) 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
Pain control ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

- Mampu mengontrol nyeri (tahu 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

penyebab nyeri, mampu dukungan

menggunakan tehnik 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

nonfarmakologi untuk ruangan, pencahayaan dan kebisingan

mengurangi nyeri, mencari 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri

bantuan) 10.Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

Comfort level farmakologi dan inter personal)


11.Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
- Melaporkan bahwa nyeri
12.Ajarkan tentang teknik non farmakologi
berkurang dengan menggunakan
13.Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
manajemen nyeri
14.Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Menyatakan rasa nyaman setelah
15.Tingkatkan istirahat

29
nyeri berkurang 16.Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
- Tanda vital dalam rentang tidak berhasil
normal 17.Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri


sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
6 Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan NIC :
b/d kerusakan keperawatan selama ....x.... jam
neuromuskuler diharapkan mobilitas fisik tidak Exercise therapy : ambulation
terhambat
Faktor yang berhubungan 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
Kriteria hasil: dan lihat respon pasien saat latihan
- Pengobatan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang

30
- Terapi pembatasan gerak NOC : rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
- Kurang pengetahuan 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat
Joint Movement : Active
tentang kegunaan saat berjalan dan cegah terhadap cedera
- Klien meningkat dalam aktivitas
pergerakan fisik 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
fisik
- Indeks massa tubuh tentang teknik ambulasi
diatas 75 tahun percentil 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
sesuai dengan usia 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
- Kerusakan persepsi ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
sensori 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
- Tidak nyaman, nyeri dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
- Kerusakan 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
muskuloskeletal dan 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
neuromuskuler dan berikan bantuan jika diperlukan
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau
cemas
- Kerusakan kognitif
7 Hambatan komunikasi Setelah dilakukan asuhan NIC:
verbal keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan hambatan komunikasi Communication Enhancement: Speech deficit (Perbaikan
Berhubungan dengan : verbal teratasi Komunikasi : Gangguan Berbicara)

- Perubahan sistem saraf Dengan kriteria hasil 1. Dengarkan setiap ucapan pasien dengan penuh perhatian

31
pusat NOC : 2. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi
- Perubahan konsep diri dengan pasien
Communication Ability
- Defek anatomis 3. Dorong pasien untuk mengulang kata-kata
- Mampu untuk berkomunikasi
4. Berikan arahan/perintah yang sederhana setiap interaksi dengan
secara verbal
pasien
Communication : Expressive Ability
5. Programkan speech-language teraphy
- Mampu untuk berkomunikasi 6. Lakukan speech-language teraphy setiap interaksi dengan pasien
secara aktif (ekspresif)
Communication : Receptive Ability

- mampu berkomunikasi secara


pasif (menerima)

8 Resiko gangguan integritas Setelah dilakukan asuhan NIC : Pressure Management


kulit keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan gangguan integritas kulit 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
tidak terjadi 2. Hindari kerutan padaa tempat tidur
Faktor yang berhubungan 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Kriteria Hasil :
dengan perkembangan 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
NOC : Tissue Integrity : Skin and
- Perubahan sensasi 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
Mucous Membranes
- Perubahan status 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
1. Integritas kulit yang baik bisa
nutrisi (obesitas, 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
dipertahankan
kekurusan) 8. Monitor status nutrisi pasien
2. Melaporkan adanya gangguan
- Perubahan status 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
sensasi atau nyeri pada daerah
cairan

32
- Perubahan pigmentasi kulit yang mengalami gangguan
- Perubahan sirkulasi 3. Menunjukkan pemahaman dalam
- Perubahan turgor proses perbaikan kulit dan
(elastisitas kulit) mencegah terjadinya sedera
berulang
4. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami

9 Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan NIC :


keperawatan selama ....x.... jam
diharapkan Risiko Infeksi tidak Infection Control (Kontrol infeksi)
Faktor-faktor resiko : terjadi 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Prosedur Infasif Kriteria Hasil 2. Pertahankan teknik isolasi
- Ketidakcukupan 3. Batasi pengunjung bila perlu
NOC :
pengetahuan untuk 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
menghindari paparan Immune Status berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
patogen - Klien bebas dari tanda dan gejala 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
- Trauma infeksi 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
- Kerusakan jaringan dan Knowledge : Infection control 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
peningkatan paparan 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
- Mendeskripsikan proses
lingkungan 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
penularan penyakit, factor yang
- Ruptur membran petunjuk umum
mempengaruhi penularan serta
amnion 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung

33
- Agen farmasi penatalaksanaannya kencing
(imunosupresan) Risk control 11. Tingktkan intake nutrisi
- Malnutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Menunjukkan kemampuan untuk
- Peningkatan paparan
mencegah timbulnya infeksi
lingkungan patogen - Jumlah leukosit dalam batas Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
- Imonusupresi
normal 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
- Ketidakadekuatan imum - Menunjukkan perilaku hidup
2. Monitor hitung granulosit, WBC
buatan
sehat 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
- Tidak adekuat
4. Batasi pengunjung
pertahanan sekunder
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
(penurunan Hb,
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
Leukopenia, penekanan
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
respon inflamasi)
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
- Tidak adekuat
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
pertahanan tubuh
drainase
primer (kulit tidak utuh,
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
trauma jaringan,
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
penurunan kerja silia,
12. Dorong masukan cairan
cairan tubuh statis,
13. Dorong istirahat
perubahan sekresi pH,
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
perubahan peristaltik)
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
- Penyakit kronik
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi

34
10 Resiko Injury b/d Setelah dilakukan asuhan NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)
immobilisasi, penekanan keperawatan selama ....x.... jam
sensorik patologi intrakranial diharapkan risiko cedera tidak terjadi 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
dan ketidaksadaran 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi
Kriteria hasil
fisik dan fungsi kognitif  pasien dan riwayat penyakit terdahulu
NOC : pasien
Risk Kontrol 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
memindahkan perabotan)
- Klien terbebas dari cedera
4. Memasang side rail tempat tidur
- Klien mampu menjelaskan
5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
cara/metode untukmencegah
6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau
injury/cedera
pasien.
- Klien mampu menjelaskan factor
7. Membatasi pengunjung
resiko dari lingkungan/perilaku
8. Memberikan penerangan yang cukup
personal
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
- Mampu memodifikasi gaya hidup
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
untuk mencegah injury
11. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan

35
11 Gangguan persepsi sensori Setelah dilakukan asuhan NIC :
berhubungan dengan cedera keperawatan selama ....x.... jam
otak diharapkan meminimalkan efek dari 1. Bangun kedekatan dengan menggunakan secara meyakinkan dan
defisit persepsi dan meningkatkan tenang, kontak mata, dan sentuhan. Memanggil pasien dengan nama
fungsi neurologis dengan panggilannya.

Kriteria Hasil 2. Lindungi pasien dari cedera pada sisi yang terjadi hemiparalise.
Berikan pengingat regular untuk melihat dan menyentuh sisi yang
NOC : terkena hemiparalise.

1. Mempertahankan tingkat 3. Pastikan bahwa makanan dan benda – benda di samping tempat
kesadaran dan fungsi perceptual tidur di tempatkan baik dalam bidang visual pasien.

2. Mengakui perubahan dalam


kemampuan dan adanya kemampuan
residual.

36
4. Implementasi
Implementasi dilaksanakan berdasarkan intervensi yang telah dibuat dalam rencana
perawatan

5. Evaluasi
Evaluasi yang dibuat bisa dalam bentuk formatif dan sumatif (SOAP). Evaluasi yang
dilakukan berdasarkan pencapaian yang didapatkan sesuai dengan criteriahasil/ kriteria
evaluasi yang dibuat dalam rencana perawatan.

37
BAB III

TINJAUAN KASUS

PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN T.F DENGAN DIAGNOSA CKR + Fraktur Depresjed os Frontal Sinistra +
EDH Minimal Sinistra DI RUANG IGD BEDAH BRSU TABANAN

TANGGAL 28 JANUARI 2020

Tgl/ Jam : 28 Januari 2020 10.15 No. RM : 740xxx

Triage : BEDAH Diagnosis Medis : CKR + Fr

Depresjed os Frontal Sinistra

Transportasi : Mobil

Nama : Tn. F Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 20 Tahun Alamat : Godong Gerobongan

Agama : Islam Semarang

Pendidikan : SMP Status Perkawinan : Belum menikah


Identitas

Pekerjaan :Buruh Sumber Informasi : Klien, Keluarga,

Suku/ Bangsa :Bali/Indonesia Rekam medik

Hubungan : Ipar

Keluhan Utama : Nyeri Pada Dahai

38
Jalan Nafas : √ Paten Tidak Paten

Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing √  Tidak Ada


AIRWAY

 Muntahan  Darah  Oedema

Suara Nafas : Snoring Gurgling

crowing √Tidak ada

Keluhan Lain: ... ...


Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
BREATHING

Nafas : √ Spontan  Tidak Spontan

Gerakan dinding dada: √ Simetris  Asimetris

Irama Nafas : √ Cepat  Dangkal  Normal

Pola Nafas : √  Teratur  Tidak Teratur

Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  CyeneStoke  Lain… …

Suara Nafas : √  Vesikuler  Wheezing  Ronchi

Sesak Nafas : √ Ada  Tidak Ada

Cuping hidung: √ Ada  Tidak Ada

Retraksi otot bantu nafas : √ Ada  Tidak Ada

Pernafasan : √ Pernafasan Dada  Pernafasan Perut

39
RR : 28x / Menit

Keluhan Lain : -
Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas

Nadi : √ Teraba  Tidak teraba  N: 88x/ menit

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Pucat :  Ya √ Tidak

Sianosis :  Ya √ Tidak

CRT : √ < 2 detik  > 2 detik

Akral : √ Hangat  Dingin  S: 36 oC


CIRCULATION

Pendarahan:  Ya, Lokasi: . Jumlah √  Tidak ada

Turgor : √ Elastis  Lambat

Diaphoresis: Ya √Tidak

Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare √  Muntah

 Luka bakar  Tidak ada

Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan: Resiko perfusi ketidakefektifan jaringan otak

40
Kesadaran: √ Compos mentis  Delirium  Somnolen  Koma

GCS : √ Eye: 4 √ Verbal: 5 √ Motorik: 6

Pupil : √ Isokor  Anisokor  Pinpoint  Medriasis

Refleks Cahaya: √ Ada  Tidak Ada

Refleks fisiologis: √  Patela (+/-)  Lain-lain … -

Refleks patologis :  Babinzky (+/-) Kernig (+/-)  Lain-lain ... ..

Kekuatan Otot :

555 555
DISABILITY

555 555

Keluhan Lain : -

Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan

41
EXPOSURE

Deformitas :  Ya √ Tidak  Lokasi ... ...

Contusio :  Ya √ Tidak  Lokasi

Abrasi :  Ya √ Tidak  Lokasi:

Penetrasi :  Ya √ Tidak  Lokasi ... ...

Laserasi :  Ya √ Tidak  Lokasi ... ...

Edema :  Ya √ Tidak  Lokasi ... ...

Luka Bakar:  Ya √Tidak  Lokasi ... ...

Grade : -

42
Jika ada luka/ vulnus, kaji:-

Luas Luka : -

Warna dasar luka: -

Kedalaman : -

Lain-lain :-
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
Monitoring Jantung :  Sinus Bradikardi  Sinus Takikardi

Saturasi O2 :98 %

Kateter Urine :  Ada √ Tidak

Pemasangan NGT :  Ada, Warna Cairan Lambung : - √  Tidak


FIVE INTERVENSI

Lain-lain:

Terapi:

1. Ketorolac 1 amp
2. ATS 1 amp
3. Ambacim 1gr
4. Kalnex 1gr
5. Ondancentron 8ml
6. PCT flash 1flash
7. Nacl IVD 0,9% 20 tpm
8. Nasal canul 4 liter
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan

43
Nyeri : √ Ada Tidak

Problem : Klien mengatakan nyeri pada dahi kiri setelah

kecelakaan lalu lintas

Qualitas/ Quantitas: Nyeri dirasakan sepetti di tusuk-tusuk.

Regio : Nyeri tidak menjalar, hanya dirasakan di bagian

dahi kiri

Skala : Skala nyeri 5

Timing : Nyeri dirasakan terus menerus danbila di gerakkan

nyeri bertambah
GIVE COMFORT

Masalah Keperawatan: Nyeri Akut

44
Keluhan Utama : Klien datang dengan keluhan nyeri pada dahi kiri

Mekanisme Cedera (Trauma) : Saat klien dalam perjalanan pulang

kondisi klien dalam keadaan mabuk,

saat itu klien tidak menyadari

bahwa motor yang dikendarai masuk

ke selokan.

Sign/ Tanda Gejala : klien datang dengan keadaan sadar , klien


mengeluh nyeri kepala dan terdapat luka
robekan pada dahi kiri, dan klien
mengeluh sesak nafas.
(H 1) SAMPLE

Allergi : klien mengatakan tidak ada alergi obat, makanan ,dan minuman

Medication/ Pengobatan : klien mengatakan sebelumnya tdak ada

melakukan pengobatan

Past Medical History : klien mengatakan tidak memiliki riwayat

penyakit seperti Asma, DM, Jantung,

Hipertensi

Last Oral Intake/Makan terakhir : klien mengatakan makan

terakhir degan nasi dan lauk

secukupnya dan air putih

kurang lebih 250cc

Event leading injury : klien terjatuh di selokan saat mengendarai motor

45
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)

Kepala dan wajah :

I : Bentuk Simetris , rambut berwarna hitam ,tampak luka robekan pada


dahi, kurang lebih 2 cm

Pa : Tidak ada benjolan dan terdapat nyeri tekan pada dahi

Leher :

I : Tidak tampak luka, tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid

Pa : Tidak teraba benjolan dan tidak ada nyeri tekan

Dada :

I : Simetris , tidak tampak adanya luka

Pa : Tidak teraba benjolan dan tidak ada nyeri tekan

Pe : Sonor

A : Vesikuler

Abdomen dan Pinggang :


(H2) HEAD TO TOE

I : Tampak simetris , Tidak tampak adanya luka , tidak ada strie

A : Bising usus 10x / menit

Pe : Terdengar suara Tympani

Pa : Tidak Teraba benjolan dan Nyri tekan

Pelvis dan Perineum :

I : Tidsk tampak adanya luka

Pa : Tidak teraba benjolan dan tidak ada nyeri tekan 46


Masalah Keperawatan: Nyeri Akut

Pemeriksaan Laboratorium :

Nama Test Flag Hasil Satuan Nilai Metode Periksa


Rujukan
Hitung Jenis Flowcytometri
(diff) :
- EOS % L 1.9 % 2–4 Flowcytometri
Index Eritrosit :
MPV L 6.9 fL 7.0 – 11.0 Flowcytometri
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 59 mg/dL 74 – 106 Hexokinase

47
Nama : Tn.F
RM : 740xxx
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal 28 Januari 2020
Pemeriksaan :
Dokter Pengirim : Dr.S

Keterangan Klinis : CKS + vulnus appertum region frontalis

TS YTh, Pemeriksaan CT Kepala irisan axial reformatted coronal dan sagittal tanpa kontras
(MSCT 128 slice) :

 Tampak lesi hiperdense berdensitas darah berbentuk crescent dengan ketebalan +/- 3
mm di frontalis kiri.
 Tampak lesi hiperdense berbentuk biconvex dengan ketebalan +/- 6,4 mm di frontalis
kiri.
 Tampak lesi hiperdense berdensitas darah yang mengisi sulci regio frontalis kiri.
 Tampak lesi berdensitas udara minimal di frontalis kiri.
 Sulci dan gyri merapat
 Sistem ventrikel dan cystema tak tampak kelainan.
 Pons dan cerebellum tak tampak kelainan.
 Tak tampak klasifikasi abnormal.
 Tak tampak deviasi midline.
 Orbita, mastoid dan sinus paranasalis kanan kiri tak tampak kelainan.
 Tampak fraktur depressed os frontalis kiri.
 SCALP swelling frontalis dan parietalis kiri.

KESIMPULAN :

 SDH dan EDH tipis frontalis kiri.

48
 SAH minimal frontalis kiri.
 Fraktur depresed os frontalis kiri disertai pneumoenchepalus minimal frontalis kiri
 SCALP swelling frontalis dan parietalis kiri.

49

Anda mungkin juga menyukai