Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)


Cedera Kepala Di Ruangan Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : Novia Melta Sari, S.Kep
NIM : 2114901029

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) ALIFAH PADANG
TAHUN AJARAN 2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi laporan pendahuluan ini agar menjadi lebih baik lagi. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya. Saya yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 01 November
2021

Penulis

DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
B. Anatomi
C. Etiologi
D. Patofisiologi
E. Pathway
F. Manifestasi klinis
G. pemeriksaan penunjang
BAB III ASKEP TEORITIS
A. Pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
C. intervensi
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Syaifuddin. 2011).

Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh
kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer
dan Bare, 2015).

Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di bagian


ini dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Suntikan prokain
melalui subkutan dapat membuat luka menjadi mudah dibersihkan dan diobati.
Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan meminimalisir
masuknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Syaifuddin. 2011).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, anatomi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinik beserta pemeriksaan penunjang Cedera kepala
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis Cedera kepala

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara


langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Syaifuddin. 2011).

Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh
kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer
dan Bare, 2015).

Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di bagian


ini dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Suntikan prokain
melalui subkutan dapat membuat luka menjadi mudah dibersihkan dan diobati.
Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan meminimalisir
masuknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Syaifuddin. 2011).

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang


disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi disertai atau tanpa kerusakan otak.
Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang
kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan menjadi terbuka dan tertutup. Jika terjadi
fraktur tengkorak terbuka dipastikan lapisan duramater otak rusak, namun jika
fraktur tengkorak tertutup, duramater kemungkinan tidak rusak (Smeltzer dan
Bare, 2015).

Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi terjadinya yang terakhir adalah


cedera otak. Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita dan
kejadian minor dapat membuat otak mengalami kerusakan yang bermakna. Otak
menjadi tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa jika mengalami kerusakan
yang cukup bermakna. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati
diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan
kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi (Syaifuddin. 2011).

Menurut tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga


(Smeltzer dan Bare, 2015) antara lain :

1. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

a. Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientatif, atentif)

b. Tidak kehilangan kesadaran

c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

d. Pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala

e. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, dan hematoma kulit kepala

f. Tidak ada kriteria cedera sedang atau berat

2. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

a. Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

b. Konkusi

c. Amnesia pasca trauma

d. Muntah

e. Tanda kemungkinan fraktur kranium

f. Kejang

3. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

a. Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif

c. Tanda neurologis fokal

d. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium


B. Anatomi Otak

Sumber : brainfunctionz.com/brain-anatomy-pictures/

Anatomi lapisan otak


Sumber : www.ahliwasir.com/image-upload/detail_brain_layers.jpg

C. Etiologi
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya
otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu
obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer dan Bare, 2015).

D. Patofisiologi
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya
memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia.
Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat
membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga
lesi akan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya
tekanan dalam ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan
aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi
masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat
menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf
sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer dan Bare, 2015).

Dampak edema jaringan otak terhadap sistem tubuh lain (Smeltzer dan
Bare, 2015), antara lain :
1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung
mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan
edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T, P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di
mana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi.
Aktivitas miokardium berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan
menurunnya stroke work di mana pembacaan pembacaan CVP abnormal.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan
curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru
atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi.
Terjadinya pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas
yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam
darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan
karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi
dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida
bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis
dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang
kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio
otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang
mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat
menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat
menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula
oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan
pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau
pola nafas tidak efektif.
3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap
hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi
retensi cairan dan natrium.
Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai
berkurang dan pasca trauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama
3-4 hari tidak perlu dilakukan pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat
dari haluaran urin. Pemberian cairan harus hati- hati untuk mencegah TIK.
Demikian pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum elektrolit.
Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelainan pada
kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon
metabolic terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh
memerlukan energi untuk menangani perubahan-perubahan seluruh sistem
tubuh. Namun masukan makanan kurang, maka akan terjadi penghancuran
protein otot sebagai sumber nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya
asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal
ini diperlukan masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan
metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma
kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan
melakukan reflek menelan.
4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung
untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah
terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan
hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan
pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi
produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan
menyebabkan perdarahan lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari
kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai
control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan
diri dan kehidupan sehari–hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas
atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari
2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul
pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau
“strip motorik“. Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok
neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla
spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini
mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga pasien akan
menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang
otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter.
Terdapat gangguan tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada
saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan
kontraktur.

E. Manifestasi Klinis
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau
perasaannya berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
(Syaifuddin. 2011).
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
bahkan koma
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungdi sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan
(Smeltzer & Bare, 2015).
3. Cedera kepala berat
c. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
d. Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik
(Smeltzer & Bare, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh
darah.
3. Angiografi serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk
mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.
4. Angiografi Substraksi Digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik
komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari
tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. ENG (Elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat
6. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis yang
berkaitan dengan adanya lesi di kepala.
8. BAEK ( Brain Audition Euoked Tomografi)
Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak
9. Rontgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
10. GDA (Gas Darah Arteri)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
meningkatkan TIK
(Hardhi, Kusuma. 2013).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
1. Umum
Airway
a. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
b. Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan/bendungan pada vena jugularis
c. Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
Breathing
a. Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
b. Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
Circulation
a. Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis pada
kuku, bibir).
b. Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
c. Monitoring tanda – tanda vital
d. Pemberian cairan dan elektrolit
e. Monitoring intake dan output
PEMERIKSAAN 6B
Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot- otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
2. Khusus
a. Konservatif
Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian steroid
b. Operatif
Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
Monitoring tekanan intrakranial Yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
Pemberian diet/nutrisi
Rehabilitasi, fisioterapi
3. Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi,
disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstermitas.
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
h. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
i. Kehilangan pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).
Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena
respirasi.
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan Tanda : Fraktur/dislokasi,
gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt “raccoon eye”, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko perdarahan b.d trauma, riwayat jatuh
2. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d penurunan ruangan untuk perfusi
serebral, sumbatan aliran darah serebral
3. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi/ kognitif, terapi
pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis tirah baring , immobilisasi
4. Kerusakan memori
5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
6. Resiko kekurangan volume cairan
7. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d trauma jaringan otak
8. Resiko infeksi
9. Intoleransi aktivitas
10. Nyeri akut
11. Resiko cidera b.d penurunan tingkat kesadaran, gelisah, agitasi, gerakann
involunter dan kejang
12. Ansietas
(Nanda International. 2010).

C. INTERVENSI
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
(NOC)
1. Resiko perdarahan b/d NOC NIC
trauma, riwayat jatuh Blood lose severenty Blood Bleeding Precautions
koagulation 1. Monitor ketat tanda tanda
Kriteria Hasil perdarahan
1. Tidak ada hematuria 2. Catat nilai HB dan HT
dan hematemesis sebelum dan sesudah
2. Kehilangan darah terjadinya perdarahan
yang terlihat 3. Monitor nilai lab
3. Tekanan darah (koagulasi) yang meliputi
dalam batas normal PT, PTT, trombosit
sistol dan diastole 4. Monitor TTV ortostatik
4. Tidak ada 5. Pertahankan bed rest
perdarahan selama perdarahan aktif
pervagina 6. Kolaborasi dalam
5. Tidak ada distensi pemberian produk darah
abdominal (platelet atau fresh frozen
6. Hemoglobin dan plasma)
hematokrit dalam 7. Lindungi pasien dari
batas normal trauma yang dapat
7. Plasma, PT, PTT menyebabkan perdarahan
dalam batas normal 8. Hindari mengukur suhu
lewat rectal
9. Hindari pemberian aspirin
dan anticoagulant
10. Anjurkan pasien
untuk
meningkatkan intake
makanan yang banyak
mengandung vitamin K
Bleeding Reduction
1. Indentifikasi penyebab
perdarahan
2. Monitor trend tekanan
darah dan parameter
hemodinamik (CVP,
pulmonary capillary/artery
wedge preassure
3. Monitor status cairan yang
meliputi intake dan output
4. Monitor penentu
pengiriman oksigen ke
jaringan (PaO2, SaO2 dan
level Hb dan cardiac
output)
5. Monitor nadi distal dari
area yang lukaatau
perdarahan
6. Instrusikan pasien untuk
menekan area luka pada
saat bersin atau batuk
7. Instruksikan pasien untuk
membatasi aktivitas
Bleeding reduction:
gastrointestinal
1. Observasi adanya darah
dalm sekresi cairan tubuh:
emesis, feses, urine,residu
lambung dan drainase luka
2. Resiko ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan otak b.d 1. Circulation status Peripheral Sensation Management
penurunan ruangan untuk 2. Tissue Prefusion (manajemen sensasi perifer)
perfusi serebral, sumbatan : celebral 1. Monitor adanya daerah
aliran darah serebral Kriteria Hasil tertentu yang hanya peka
Mendemonstrasikan status terhadap panas/ dingin/
sirkulasi yang ditandai tajam/ tumpul
dengan 2. Monitor adanya paratese
1. Tekanan systole dan 3. Instruksikan keluarga
diastole dalam untuk mengobservasi kulit
rentang yang jika ada isi atau laserasi
diharapkan 4. Gunakan sarung tangan
2. Tidak ada ortostatik untuk proteksi
hipertensi 5. Batasi gerakan pada
3. Tidak ada tanda- kepala, leher dan
tanda peningkatan punggung
tekanan intracranial 6. Monitor kemampuan BAB
(tidak lebih dari 15 7. Kolaborasi pemberian
mmHg) analgetik
Mendemonstrasikan 8. Monitor adanya
kemampuan kognitif tromboplebitis
yang ditandai dengan : 9. Diskusikan mengenai
1. Berkomunikasi penyebab perubahan
dengan jelas dan sensasi
sesuai dengan
kemampuan
2. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
3. Memproses
informasi
4. Membuat keputusan
dengan benar
5. Menunjukkan
fungsin sensori
motori cranial yang
utuh: tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-
gerakan involunter
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
b.d Kerusakan persepsi/ 1. Join movement : Exercise therapy : ambulation
kognitif, terapi Active 1. Monitoring vital sign
pembatasan/kewas padaan 2. Mobility Level sebelum/sesudah latihan
keamanan, mis tirah 3. Self care : ADLs dan lihat respon pasien
baring , immobilisasi 4. Transfer saat latihan
performance 2. Konsultasikan dengan
Kriteria Hasil terapi fisik tentang rencana
1. Klien meningkat ambulasi sesuai dengan
dalam aktivitas fisik kebutuhan
2. Mengerti tujuan 3. Bantu klien untuk
dari peningkatan menggunakan tongkat saat
mobilitas berjalan dan cegah
3. Memverbalisasikan terhadap cedera
perasaan dalam 4. Ajarkan pasien atau tenaga
meningkatkan kesehatan lain tentang
kekuatan dan teknik ambulasi
kemampuan 5. Kaji kemmpuan pasien
berpindah dalam mobilisasi
4. Memperagakan 6. Latih pasien dalam
penggunaan alat pemenuhan kebutuhan
bantu untuk monilitas ADLs secara mandiri
(walker) sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan
ADLs
8. Berikan alat bantu jika
klien memerlukan
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan
berikan bantuan jika
diperlukan
4. Kerusakan memori NOC NIC
1. Tissue Perfusio Neurologi monitoring
Cerebral 1. Memantau ukuran pupil,
2. Acute Confusion bentuk, simetri dan
Level reaktivitas
3. Environment 2. Memantau tingkat
interpretation ksadaran
syndrome impaired 3. Memantau tingkat
Kriteria Hasil orientasi
1. Mampu untuk 4. Memantau tren Gaslow
melakukan proses Coma Scale
mental yang 5. Memonitor memori baru ,
kompleks rentang perhatian, memori
2. Orientasi kognitif : masa lalu, suasana hati,
mampu untuk mempengaruhi, dan
mengidentifikasi perilaku
orang, tempat, dan 6. Memonitor tanda-tanda
waktu secara akurat vital : suhu, tekanan darah,
3. Konsentrasi : mampu denyut nadi, dan
focus pada stimulus pernapasan
tertentu 7. Memonitor status
4. Ingatan (memori) : pernapasan ABG tingkat,
mampu untuk oksimetri pulsa,
mendapatkan kedalaman, pola, tingkat,
kembali secara dan usaha
kognitif dan 8. Memantau ICP dan CPP
menyampaikan 9. Memantau refleks kornea
kembali informasi 10. Mamantau otot, gerakan
yang disimpan motorik, kiprah, dan
sebelumnya propriceptio
5. Kondisi neurologis : 11. Memantau untuk drift
kemampuan system pronator
saraf perifer dan 12. Memantau kekuatan
system saraf untuk cengkeraman
menerima, 13. Memantau untuk gemetar
memproses dan 14. Memantau simetri wajah
memberi respon 15. Memantau tonjolan lidah
terhadap stimuli 16. Memantau tanggapan
internal dan pengamatan
eksternal 17. Memantau EOMs
6. Kondisi neurologis : karakteristik tatapan
kesadaran 18. Memantau untuk gangguan
7. Menyatakan mampu visual : diplopia,
mengingat lebih baik nystagmus, pemotongan
bidang visual, penglihatan
kabur, dan ketajaman
visual
19. Catatan keluhan sakit
kepala
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa Cedera kepala (trauma capitis)
adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak,
dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
DAFTAR PUSTAKA

Nanda International. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-


2011. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzzane C. dan Brenda G. Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 3 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Hardhi, Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC.Yogyakarta : MediAction
Anonim. 2011. http://www.ahliwasir.com/image-upload/detail_brain_layers.jpg.
Diakses pada 7 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB.
Anonim. 2010. http://brain-age-3.brainfunctionz.com/brain-anatomy/. Diakses pada 7
Oktober 2012 pukul 10.07 WIB
Askar, M. 2011. http://askarnh.blogspot.com/2011/03/asuhan-keperawatan-gawat-
darurat.html. Diakses pada 7 Oktober pukul 14.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai