Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PENEGAKKAN DIAGNOSIS
DAN
PENANGANAN CEDERA KEPALA
DI IGD

Disusun oleh :

Rory Wati Tamba

1761050141

Pembimbing:

dr. Bismo, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH


PERIODE 17 JUNI 2019 – 20 JULI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan semesta alam yang senantiasa

memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan

referat yang berjudul ”Penegakkan Diagnosis dan Penanganan Cedera

Kepala di IGD”. Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik

Ilmu Penyakit Bedah di RS UKI.

Adapun ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua

penulis yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mendukung kelancaran belajar

selama masa pendidikan penulis. Penulis juga berterima kasih khususnya kepada dr.

Bismo, Sp.BS, selaku pembimbing referat penulis, yang selalu memberikan

bimbingan, masukan, dan meluruskan pembelajaran penulis sampai referat ini

terselesaikan.

Penulis menyadari akan kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam

referat ini. Dengan demikian, besar harapan penulis akan saran dan masukan demi
perbaikan di masa mendatang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca.

Jakarta, 4 Juli 2019

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala (Trauma Kapitis) merupakan salah satu jenis cedera yang

terbanyak di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit. Banyak pasien cedera kepala berat

meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sekitar 90 % kematian pra rumah sakit

disebabkan karena cedera kepala. Pasien yang dapat bertahan hidup dari cedera

kepala seringkali menderita kecacatan neurofisiologis yang akan menyebabkan

ketidakmampuan untuk bekerja atau aktifitas sosial lainnya.

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan

adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,

anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan

secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan

mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah

paling penting untuk menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada

akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.

Sistim triase bagi pasien cedera kepala tergantung pada beratnya cedera dan

fasilitas yang ada di tempat pertolongan pertama. Pada kondisi dimana tidak terdapat

fasilitas bedah saraf, diharapkan tenaga medis setempat mempunyai kompetensi

yang baik dalam penanganan awal sebelum melakukan rujukan, bahkan dapat

merawat pasien-pasien yang dapat ditangani secara non operatif, untuk mengurangi

rujukan pada kasus yang seharusnya dapat ditangani di daerah dengan tetap

memperhatikan keselamatan pasien dan outcome yang baik. Konsultasi dengan ahli

bedah saraf harus dilakukan seawal mungkin, terutama bila pasien mengalami koma

atau dicurigai mengalami cedera kepala dengan perdarahan intrakranial.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Cedera berarti luka atau jejas. Cedera bisa timbul diakibatkan oleh gaya

mekanik. Sehingga pengertian cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala

baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun

permanen. Menurut Brain Injury Assosiaciation of America, cedera kepala adalah

perubahan fungsional pada otak yang disertai keadaan patologis pada otak yang

disebabkan oleh faktor eksternal.

2.2 Epidemiologi
Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukan bahwa cedera kepala

mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan

seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang.

Kurang lebih 33% kecelakaan berakhir pada kematian. Diluar medan peperangan

lebih dari 50% dari cedera kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas selebihnya

karena pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40%-50%

meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dari mereka yang dimasukkan

kedalam rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari

dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.

2.3 Anatomi Kepala

a. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
 Connective tissue atau jaringan penyambung
 Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
 Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
Gambar 2.1. Lapisan kulit kepala (SCALP)

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
Gambar 2.2. Tulang Tengkorak
c. Meninges

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :

1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.

3. Piameter
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh
piamater.

Gambar 2.3. Lapisan Meningen

d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus
frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi
ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.

e. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus
sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi
vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
gambar 2.4. Aliran Cairan Serebrospinalis
f. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

2.4 Fisiologi

a. Tekanan intracranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang
tinggi dapat menimbulkan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.
TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya.

b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan
volume darah (Vbl).

Vic = Vbr+ Vcsf + Vbl

c. Tekanan Perfusi otak


Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.

d. Aliran darah otak (ADO)


ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.

2.5 Patofisiologi Cedera Kepala

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi
lesi yang disebut contrecoup.

Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara


mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses


patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

2.6 Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal


3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,
2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

Glasgow Coma Scale Nilai ai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis. Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan
permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini
membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan
pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial
sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan
pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Gejala yang sangat menonjol ialah
kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap
orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma


• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai


hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada
permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi
herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika
epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogen, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda
space occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi
media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.
2. Hematoma subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi


diantra duramater dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging vein
antara kortek cerebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat
berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:

a. Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik


dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan
trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu


lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti
pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap
sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.

c. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu,


bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma
pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan


paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT
scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

3. Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut.
Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau
dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak
jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi
dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi
dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi
yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
Gambar 2.5 Perdarahan Otak

2.7 Management Primary Survey

Sebelum melakukan tindakan, maka dokter bertanggung jawab dalam


kelengkapan dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan
dalam tindakan yang akan dilakukan.
2.8 Management Survey Sekunder

Informasi yang diperlakukan saat anamnnesis adalah :

1. Identitas pasien : Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, dan Alamat

2. Keluhan utama

3. Mekanisme trauma

4. Waktu dan perjalanan utama

5. Pernah pingsan atau sadar setelah trauma

6. Amnesia retrograde atau antegrade


7. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo

8. Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala

9. Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi


dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah.

2.7 Penatalaksanaan

Resusitasi jantung paru (airway, breathing ,circulation =ABC)


Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah :

a. Jalan nafas(Airway)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan

b. Pernafasan(Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
c. Sirkulasi(Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau
darah

Pemeriksaan fisik

Setalah ABCDE, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi


kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti,
setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai
adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.

Pemeriksaan radiologi

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan
abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intracranial

Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom


intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas
20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi
Setelah resusitai ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom

2. Drainase

Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk


jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka
panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus.

3. Terapi diuretik

Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler.
Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya
: Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310
mOSm.

Loopdiuretik(Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan
cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap


semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10
mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan


tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.

6. Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya


ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah
leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

Keseimbangan cairan elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah


bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari
diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl
starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau
ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan
harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus,
syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini
perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas
darah.

Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali


normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara
lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah
danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

Epilepsi/kejang

Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut


early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,
kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post
traumatik yang panjang.

Pengobatan:

1. Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari


2. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan
<40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil.
Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling
cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan
penderita dengan amnesia post traumatik panjang

Komplikasi sistematik

Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi


seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii

Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan


menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh
karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres.

Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan


lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini
dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor
bloker.

Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,


hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagulasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak
memperparah kondisi pasien.

Neuroproteksi

Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya


kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita
cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan
sitikolin.
BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa


mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi
dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan
cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai
tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa


klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk
dalam bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian
namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu
dipertimbangkan.

Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang
bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir)
atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada
bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,


berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan
dan koma.

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang
tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons, 2018, Advance Trauma Life Suport.


United States of America: First Impression

2. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.


Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

3. Norton, R. Kobusingye, O. Injuries. N Engl J Med. P 368: 1723-1730.


2013
4. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early Management
of Head Injury in Infants, Children and Adults. NICE Clinical
Guidelines, No. 56. National Collaborating Centre for Acute Care (UK).
London: National Collaborating Centre for Acute Care (UK); 2007
5. McGuire, LC. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury. National
Center for Injury Prevention and Control Centers for Disease Control
and Prevention. 2011

Anda mungkin juga menyukai