Disusun Oleh:
Jonathan Josafat Ralet Tambunan
2265050113
Pembimbing :
dr. Robert Sinurat, Sp.BS (K)
Disusun oleh:
Jonathan Josafat Ralet Tambunan
2265050113
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan referat yang berjudul “Tatalaksana Bedah Saraf pada Cedera Kepala
Berat” yang merupakan salah satu tugas dalam proses pembelajaran kepaniteraan
klinik di departemen bedah Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
Dalam menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini, penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, dr. Robert Sinurat,
Sp.BS (K) selaku dokter penguji, yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan ilmunya. Serta, kepada teman teman Co-Ass yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini, masih terdapat
banyak kekerungan dan masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang berkepentingan,
untuk pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2 Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua
bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka
wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai
permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar
dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat
sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal
sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak
lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.
6
Gambar 2. 1 Tengkorak
II.1.3 Meninges
a. Dura mater: berbentuk padat dan keras, berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dan terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang melapisi
tengkorak dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar, kecuali
pada bagian tertentu, di mana sinus-venus terbentuk, dan di mana dura
mater membentuk bagian-bagian berikut. Falx serebri yang terletak di
antara kedua hemisfer otak. Tepi atas falx serebri membentuk sinus
longitudinalis inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan
darah keluar falx serebri. Tentorium serebeli memisahkan serebelum
dari serebrum (Pearce, 2009). Diafragma sellae adalah lipatan berupa
cincin dalam dura mater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada
tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis.
b. Araknoidea mater: di sebelah dalam dura mater. Selaput tipis yang
membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang meliputi
7
susunan saraf sentral. Otak dan medula spinalis berada dalam balon
yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di
bagian sakrum, medula spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Di bawah
lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang
keluar dari medula spinalis. Pada bagian ini tidak medula spinalis. Hal
ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi
lumbal.
c. Pia mater: Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
pia mater yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan
ikat yang disebut trebekhel. Mengikuti kontur otak, mengisi sulki. 1, 3
8
II.1.4 Otak
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
kendali dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak mengapung
dalam suatu cairan untuk menunjang otak yang lembek dan halus. Cairan ini
disebut dengan CSS (cairan serebrospinalis). Komposisi cairan serebrospinalis
terdiri dari air, protein, glukosa, garam, sedikit limfosit dan karbondioksida.
Cairan ini bekerja untuk memberikan kelembapan otak dan medula spinalis,
melindungi alat-alat medula spinalis dan otak dari tekanan dan sebagai penyerap
goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala. Besar otak orang dewasa
kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.1, 3
9
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan
batang otak (trunkus serebri) (Pearce, 2009). Semua berada dalam satu bagian
struktur tulang yang disebut tengkorak untuk melindungi otak dari cedera. Empat
tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal,
temporal, dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa. Bagian
fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer, bagian tengah fossa
berisi lobus parietal, temporal dan oksipital dan bagian fossa posterior berisi
batang otak dan medula.1, 3
a. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari
otak, berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Fungsi
otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak.
Selain itu, otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti
bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya. 1, 3
b. Otak kecil (cerebellum) terletak di bawah otak besar. Terdiri dari dua
belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan
pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak
kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengoordinasikan kerja
otot ketika bergerak.1, 3
3) Pons varolli. Merupakan bagian tengah batang otak dan karena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak
serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan
menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri. 1, 3
10
4) Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis. Medula
oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.1, 3
II.2.1 Definisi
CDC mendefinisikan TBI (Traumatic Brain Injury) sebagai gangguan pada
fungsi normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke
kepala atau cedera kepala yang tembus. Ledakan eksplosif juga dapat
menyebabkan TBI, terutama mereka yang menderita TBI bertugas di militer.
Tidak semua benturan, pukulan atau sentakan kepala menyebabkan cedera kepala.
11
Tidak semua orang yang mengalami cedera kepala akan mengalami efek ataupun
dampak dari cedera itu sendiri. Banyak faktor yang dapat membantu
mengklasifikasikan seseorang menderita cedera kepala seperti, kepala terbentur
suatu benda, benda menembus otak, percepatan/perlambatan pergerakan otak,
serta adanya tanda dan gejala cedera kepala segera setelah kejadian. 4
II.2.2 Epidemiologi
Secara global berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewan et al
pada tahun 2019 didapati sekitar 69 juta orang diseluruh dunia mengalami cedera
otak traumatik setiap tahunnya. Proporsi akibat kecelakaan di jalan, yang paling
besar berasal dari Afrika dan Asia Tenggara tercatat sebesar 56%, dan yang
terendah di Amerika Utara yakni, sebesar 25%. nsiden kecelakaan lalu lintas
sendiri memiliki kemiripan antara Asia tenggara (1,5% dari populasi) dengan
Eropa (1,2% dari populasi). Secara keseluruhan insiden cedera otak traumatik per
100000 penduduk yang terbesar adalah Amerika Utara dan Eropa serta paling
sedikit di Afrika dan Mediterania Timur. Negara dengan pendapatan menengah
kebawah memiliki proporsi kejadian cedera otak traumatik tiga kali lebih banyak
dibanding Negara berpendapatan tinggi.5
II.2.3 Etiologi
Etiologi dari cedera otak traumatik dapat disebabkan oleh segala jenis
peristiwa yang menyebabkan benturan atau kekerasan pada kepala. Berdasarkan
12
penelitian yang dilakukan oleh Hassan et al pada tahun 2017 ditemukan bahwa
penyebab tertinggi dari cedera otak traumatik adalah kecelakaan lalu lintas
sebanyak 45%, diikuti jatuh dari ketinggian sebanyak 34%, cedera akibat senjata
api sebanyak 16%, serta kekerasan fisik sebanyak 5%.7
II.2.4 Patofisiologi
Fungsi otak sangat bergantung pada oksigen dan glukosa. Cedera di otak
dapat menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan glukosa ke sel-sel di otak.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya oksigen darah. Kegagalan
fungsi paru, aliran darah ke otak yang menurun akibat syok dapat menyebabkan
kurangnya suplai darah ke otak. Cedera otak juga dapat menyebabkan edema pada
otak. Edema pada otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
meningkatkan risiko herniasi otak melalu foramen magnum, foramen tentorium.
Jika terjadi hernia, otak bisa menjadi nekrosis dan dapat menyebabkan kematian.8
13
Cedera Primer
Secara umum patofisiologi yang terjadi setelah cedera otak primer terjadi
pertama kali adalah sebagai berikut: ketika suatu cedera otak terjadi, maka akan
terjadi kerusakan membran akson yang kemudian diikuti dengan keluarnya ion
kalium dari sel dan menyebabkan depolarisasi pada membran. Kondisi ini
menyebabkan suatu depolarisasi yang mengakibatkan pelepasan asam amino dan
neurotransmiter eksitatori.9
Kalsium terus masuk dan ion kalium terus keluar, banyaknya kalsium
intrasel mengakibatkan fungsi intraseluler terganggu yang akan menyebabkan
hipoksia seluler. Ketika terjadi hipoksia dan otak dipaksa untuk melakukan
metabolisme berupa glikolisis maka terjadi penumpukan asam laktat.
Penumpukan asam laktat ini kemudian menyebabkan kerusakan sawar darah otak
dan kematian sel. Hal ini memicu respon inflamasi lokal yang biasanya terjadi 4-6
jam setelah cedera awal terjadi. Respon inflamasi ini dapat memicu kerusakan
difus melalui pelepasan neurotransmiter yang membanjiri otak.9
14
Cedera Sekunder
Ketika terjadi cedera primer maka terdapat kemungkinan proses biokimia, seluler
dan fisiologi yang terganggu yang kemudian berkembang menjadi kerusakan atau
cedera sekunder yang tertunda atau memanjang hingga berjam-jam bahkan
menahun. Terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi sehingga terjadinya
suatu cedera sekunder, diantaranya: excitotoxicity, disfungsi mitokondria, stres
oksidatif, peroksidasi lipid, neuroinflamsi, degenerasi akson dan apoptosis sel.10
Excitotoxicity
Kerusakan sawar darah otak dan kematian sel saraf pada cedera primer
mengakibatkan pelepasan yang berlebihan dari asam amino eksitatori seperti
15
glutamate dan aspartate dari bagian terminal sel saraf presinaps. Jumlah glutamate
yang berlebihan ini akan mengaktivasi reseptor N-methyl-di-aspartate (NMDA)
yang akan mendorong pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan nitric
oxide (NO) yang kemudian menyebabkan cedera sekunder.10
Disfungsi Mitokondria
Penumpukan ion kalsium intraseluler dan masuknya ion dalam jumlah besar ke
dalam mitokondria mengakibatkan peningkatan produksi reactive oxygen species
(ROS), depolarisasi membran mitokondria dan penghambatan pembentukan
adenosine triphosphate (ATP). Hal ini kemudian menyebabkan kerusakan rantai
transportasi elektron dan proses fosforilasi oksidatif yang selanjutnya
mengganggu reaksi metabolisme didalam sel dan regulasi siklus kalsium.10
ROS endogen dan radikal bebas terus terbentuk secara konstan dari berbagai
mekanisme seperti proses ezimatik, aktifasi neutrofil, jalur excitotoxic dan
disfungsi mitokondria. ROS kemudian tidak hanya berreaksi dengan protein dan
DNA tetapi juga polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran fosfolipid
yang kemudian membentuk radikal lipoperoxyl. Seluruh proses ini kemudian akan
menyebabkan kerusakan membran sel.10
Neuroinflamasi
Pada periode 24 jam pertama suatu cedera otak traumatik, disfungsi dari sawar
darah otak menyebabkan infiltrasi dari neutrofil, monosit dan limfosit kedalam
parenkim otak yang mengalami cedera. Leukosit-leukosit polimorfonuklear ini
kemudian melepaskan komplemen dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β,
IL-6 dan TNF-α. Peningkatan berbagai jenis sitokin ini kemudian dianggap
berasosiasi dengan terganggunya permeabilitas sawar darah otak yang
menyebabkan terbentuknya edema dan defisit neurologi.10
Degenerasi Akson
Kerusakan akson ditandai dengan terbentuknya suatu bulbus pada nodus sebagai
akibat disasosiasi hubungan antar akson dan akumulasi protein transpor akson.
16
Hal ini kemudian menyebabkan pembengkakan dari akson yang rusak, apoptosis
sel dan oligodensdrosit. Penelitian telah menunjukkan adanya asosiasi dari
kerusakan akson pada corpus callosum dan infiltrasi sel neuroinflamasi microglia
dan makrofag, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
degradasi akson, kerusakan oligodendrosit dan kerusakan substansia alba.10
Proses apoptosis yang terjadi diduga melibatkan aktivasi dari cysteine protease
seperti caspase dan calpain, serta juga dipicu oleh interaksi dari berbagai jalur
neurokimia, seluler dan molekuler seperti extracellular signal-regulated kinase
(ERK), p38 MAPK, janus kinase/ signal transducer dan transkripsi aktivator.10
II.2.5. Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahan klinis, penilaian derajat beratnya cedera kepala
dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu
skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye
opening), reaksi berbicara (verbal respons) dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai
GCS yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit <48 jam.
17
b. Kontusi (memar/berdarah pada otak) yang dapat menyebabkan
perdarahan (pembekuan darah di lapisan meningeal atau struktur
kortikal/subkortikal akibat trauma)
c. Gegar otak (cedera kecepatan rendah yang mengakibatkan defisit
fungsional tanpa cedera patologis)
d. Laserasi (di jaringan otak atau pembuluh darah otak)
e. Cedera aksonal difus (gaya geser traumatis yang menyebabkan
robeknya serabut saraf di sepanjang gray matter). 1
Cedera primer dapat disebabkan oleh cedera tembus (open head) atau
cedera yang tidak menentu (close-head). Cedera tembus (open) melibatkan luka
terbuka kepala karena benda asing (misal peluru). Hal ini biasanya ditandai
dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute yang telah dilalui benda
tersebut di otak yang mencakup tengkorak retak/perforasi, robeknya meninges dan
kerusakan jaringan otak. Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan
kerusakan otak akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke
otak. Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges. 1
a) Cedera akselerasi disebabkan oleh pergerakan otak di dalam kepala yang tidak
terkendali (misalnya cedera pukulan). Jika kekuatan yang memengaruhi kepala
cukup kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi pada tempat benturan dan sisi
berlawanan tengkorak, menyebabkan kontusi tambahan (cedera coup-
contrecoup).1
b) Cedera nonakselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala yang tertahan dan
oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau perlambatan otak yang terjadi di dalam
tengkorak. Ini biasanya mengakibatkan deformasi (patah tulang) tengkorak,
menyebabkan kerusakan lokal terpusat pada meninges dan otak.1
2) Cedera Sekunder
18
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari cedera
primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks yang diubah atau
dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer dan termasuk berikut ini.
II.2.6 Diagnosis
Cedera kepala dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan lesi
intrakranial yang memberikan tanda klinis dan hasil pemeriksaan penunjang yang
berbeda. Fraktur dapat berupa fraktur linier, fraktur depresi, dan fraktur basis
cranii. Lesi dapat berupa lesi fokal dan lesi difus. 11
19
Pemeriksaan neurologis, untuk menilai apakah ada defisit neurologis:
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit <48 jam.
Pemeriksaan Penunjang
20
Tabel 2. 1 Indikasi Pemeriksaan CT Scan pada Cedera
Kepala Ringan
21
Gambar 2. 4 Gambaran CT-Scan kepala normal
Kondisi berbahaya yang harus disingkirkan:
23
e. Intraventricular Hemorrhage (IVH) Hiperdensitas yang mengisi
ventrikel.10
24
4. Anoksia Cerebral lost of gray-white differentation
5. Fraktur Fraktur basis kranii, Fraktur dinding orbita, fraktur calvaria
(linear vs stellate, open vs closed, depresi vs non-depresi)
6. Infark Cerebri jarang ditemukan, kemungkinan stroke iskemik sebelum
trauma
7. Pneumocephalus curiga fraktur tulang tengkorak
8. Midline shifting bisa disebabkan karena perdarahan intra axial, extra
axial, dan edema cerebri.11
25
Transient respiratory arrest (henti napas sementara) dan hipoksia sering
ditemukan pada kasus cedera kepala berat dan menyebabkan cedera otak
sekunder. Lakukan pemasangan Airway definitif pada semua pasien cedera kepala
berat. Pasang pulse oksimetri dan pastikam saturasi oksigen >98%. 12
Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak, kecuali jika terjadi
kegagalan pada batang otak dan terjadi cedera pada sumsum tulang belakang.
Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Jika pasien
mengalami hipotensi, segera lakukan resusitasi cairan menggunakan produk darah
atau cairan isotonik sesuai kebutuhan. Pemeriksaan neurologis sulit dilakukan
pada pasien hipotensi. Pasien yang mengalami hipotensi tidak responsif terhadap
bentuk stimulasi apapun. Keadaan ini dapat pulih dan membaik secara signifikan
bila tekanan darah kembali normal. Penting untuk mencari dan mengobati sumber
utama hipotensi.12
Disability
26
lainnya. Namun pada pasien yang dalam keadaan mabuk, cedera otak tidak boleh
diabaikan.12
Secondary Survey
Tatalaksana nonfarmakologis
27
Elevasi kepala dapat meningkatkan venous return, sehingga dapat
menurunkan tekanan intrakranial.13
Tatalaksanan farmakologis
1. Cairan Intravena
Kejadian hipovolemik sangat berbahaya pada pasien dengan cedera kepala
berat karena menyebabkan hipotensi sehingga terjadi hipoperfusi otak.
Resusitasi cairan harus segera diberikan pada pasien cedera kepala yang
mengalami hipovolemik menggunakan cairan intravena, darah, dan produk
darah. Jika ketersediaan darah sulit didapatkan dalam waktu dekat, Ringer
Laktat atau Natrium Clorida 0.9% merupakan pilihan awal untuk
resusitasi.
Pasang akses intravena 2 jalur dengan ukuran kateter intravena yang besar.
Lalu berikan cairan dengan dosis:
Dewasa: Kristaloid (RL/NaCl 0.9%)1000 cc bolus
Anak-anak (bb <40 kg): Kristaloid (RL/NaCl 0.9%) 20cc/kgbb bolus12
2. Anti perdarahan
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau
pembuluh darah otak dan sawar darah otak sehingga mengakibatkan
iskemia jaringan. Salah satu cara untuk mencegah bertambahnya volume
darah adalah dengan memberikan:
asam traneksamat 1 gram IV bolus selama 10 menit
dilanjutkan asam traneksamat 1 gram IV selama 8 jam13
3. Mannitol
Manitol diberikan jika pasien mengalami peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi:
1. Pasien hipotensi / hipovolemi
2. Pasien dengan perdarahan intracranial
28
Selanjutnya, 12 jam dan 24 jam kemudian turunkan dosis 0,25 mg/kgbb
selama 30-60 menit.11, 13
4. Hipertonic Saline
Cairan hipertonik digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Cairan hipertonik merupakan pilihan yang lebih direkomendasikan untuk
menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipotensi, karena tidak
memiliki efek diuretik.
Dosis: NaCl 3% 2,5-5 cc/kgbb IV drip selama 5-20 menit. 11, 13
5. Antikonvulsan
Tiga faktor risiko yang meningkatkan kejadian epilepsi adalah kejang
yang terjadi dalam seminggu pertama, hematoma intrakranial, fraktur
depresi tulang tengkorak. Kejang akut dapat dikendalikan dengan
pemberian antikonvulsan, namun antikonvulsan dapat menghambat
pemulihan otak, sehingga sebaiknya diberikan hanya jika benar benar
diperlukan.
Penting untuk mengobati kejang akut, karena kejang yang berkepanjangan
(30 – 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Saat ini,
fenitoin merupakan pilihan yang paling umum digunakan pada fase akut.
Dosis dewasa: fenitoin 1 gram IV, < 50 mg/menit.
dosis rumatan: fenitoin 100mg/8jam selama 7 hari.12
Tatalaksana Operatif
29
Tabel 2. 2 Indikasi Tindakan Operatif
Tatalaksana bedah dibutuhkan untuk luka pada SCALP, fraktur depresi tulang
tengkorak, massa intrakranial, dan cedera otak tembus.
30
Pada pasien dengan fraktur depresi tulang tengkorak, diperlukan CT scan kepakla
untuk menilai seberapa dalam tulang yang terdepresi dan untuk memastikan tidak
ada perdarahan intrakranial yang terjadi. Umumnya fraktur depresi tulang
tengkorak memerlukan tindakan operatif bila depresi tulang lebih besar dari
ketebalan tulang dan bila disertai fraktur terbuka.12
Lesi massa intrakranial sebaiknya diatasi oleh ahli bedah saraf. Hematoma
intrakranial yang berkembang dengan cepat dapat menyebabkan kematian,
sehingga perlu dilakukan craniotomi pada pasien yang mengalami perburukan
dengan cepat.12
Antibiotik profilaksis spektrum luas dibutuhkan pada pasien dengan cedera otak
tembus, fraktur terbuka tulang tengkorak, dan kebocoran cairan cerebrospinal.
Benda benda yang menembus ruang intrakranial (seperti anak pahah, pisau,
obeng) harus dibiarkan sampai tindakan bedah saraf definitif ditetapkan. Melepas
benda tembus dari kepala dapat menyebabkan cedera vaskular dan perdarahan
intrakranial.12
31
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala merupakan gangguan pada fungsi normal otak yang bisa
disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera kepala
yang tembus. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya
menjadi tiga, yaitu cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala
berat. Ketiga derajat keparahan tersebut dibedakan menurut skor GCS nya. Cedera
kepala ringan memiliki skor GCS 14-15, cedera kepala sedang memiliki skor GCS
9-13, dan cedera kepala berat memiliki skor GCS <9. Permasalahan yang dapat
terjadi adalah peningkatan tekanan intrakranial, fraktur tulang tengkorak,
perdarahan, edema jaringan otak, dan hipoksia. Permasalahan ini dapat
menyebabkan kematian jika tidak mendapat penangan secara cepat dan tepat.
Pada cedera kepala berat, tindakan awal yang harus dilakukan adalah
primary survey, yaitu memeriksa apakah ada kelainan pada Airway, Breathing,
Circulation, Disability, dan Exposure lalu memberikan tindakan dan penanganan
berdasarkan kelainan yang ditemukan pada primary survey. Setelah itu barulah
pasien dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti CT-scan kepala yang dilakukan
sesuai indikasi. Setelah ABCDE diamankan, pasien dapat diberikan terapi medis
sesuai gejala pasien. Pada beberapa kondisi, pasien cedera kepala berat juga
memerlukan tindakan operatif.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Marbun AS, Sinuraya E, Amila, Simanjuntak GV. Manajemen Cedera
Kepala. Medan: Ahlimedia Press; 2020.10-11
2. Siahaya N, Huwaei LBS, Angkejaya OW, Bension JB, Tuamelly J.
Prevalensi Kasus Cedera Kepala Berdasarkan Klasifikasi Derajat
Keparahannya pada Pasien Rawat Inap di RSUD dr. M. Haulussy
Ambon pada Tahun 2018. Molluca Medica. 2020;12:14-20
3. Netter, F. H. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadephia: Saunders
Elsevier; 2011.
4. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury
Prevention and Control. Report to Congress on traumatic brain injury
in the United States: Epidemiology and rehabilitation. Atlanta (GA):
Centers for Disease Control and Prevention; 2015.
5. Dewan MC, Rattani A, Gupta S, Baticulon RE, Hung YC, Punchak M,
et al. Estimating the global incidence of traumatic brain injury. J
Neurosurg. 2019;130(4):1080–97.
6. Riskesdas K. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). J
Phys A Math Theor. 2018;44(8):1–200
7. Hassan N, Ali M, Haq NU, Azam F, Khan S, Khan Z, et al. Etiology,
clinical presentation and outcome of traumatic brain injury patients
presenting to a teaching hospital of khyber pakhtunkhwa. J Postgrad
Med Inst. 2017;31(4):365–70.
8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-
De Jong: Sistem Organ dan Ilmu Bedahnya. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2017. 955-79
9. Capizzi A, Woo J, Verduzco-Gutierrez M. Traumatic Brain Injury: An
Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Medical
Management. Med Clin North Am. 2020;104(2):213–38.
10. Ng SY, Lee AYW. Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and
Potential Therapeutic Targets. Front Cell Neurosci.
2019;13(November):1–23.
33
11. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. 8th edition. New York:
Thieme; 2016. 824-923.
12. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced
Trauma Life Support: Student Course Manual. 10th edition. Chicago:
American College of Surgeons; 2018. 102-24
13. Wiratman W, Aninditha T. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia; 2017. 383-419
34