Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

Tatalaksana Bedah Saraf pada Cedera Kepala Berat

Disusun Oleh:
Jonathan Josafat Ralet Tambunan
2265050113

Pembimbing :
dr. Robert Sinurat, Sp.BS (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH


RSU UKI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 25 DESEMBER 2023 – 02 MARET 2024
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS DENGAN JUDUL


TATALAKSANA BEDAH SARAF PADA CEDERA KEPALA BERAT

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Departemen Bedah
Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

Disusun oleh:
Jonathan Josafat Ralet Tambunan
2265050113

Telah disetujui oleh Pembimbing

dr. Robert Sinurat, Sp.BS (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan referat yang berjudul “Tatalaksana Bedah Saraf pada Cedera Kepala
Berat” yang merupakan salah satu tugas dalam proses pembelajaran kepaniteraan
klinik di departemen bedah Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
Dalam menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini, penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, dr. Robert Sinurat,
Sp.BS (K) selaku dokter penguji, yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan ilmunya. Serta, kepada teman teman Co-Ass yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini, masih terdapat
banyak kekerungan dan masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang berkepentingan,
untuk pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya.

Jakarta, __ Januari 2024

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5

II.1 ANATOMI KEPALA.................................................................................5


II.1.1 Kulit Kepala............................................................................................5
II.1.2 Tengkorak...............................................................................................5
II.1.4 Otak.........................................................................................................8
II.1.5 Struktur Otak...........................................................................................8
II.1.6 Vaskularisasi Otak................................................................................10
II.1.7 Cairan Serebrospinal.............................................................................10

II.2 Cedera Kepala...........................................................................................10


II.2.1 Definisi..................................................................................................10
II.2.2 Epidemiologi.........................................................................................11
II.2.3 Etiologi..................................................................................................12
II.2.4 Patofisiologi..........................................................................................12
II.2.5 Klasifikasi.............................................................................................16
II.2.6 Diagnosis...............................................................................................18
II.2.7 Tatalaksana Cedera Kepala Berat.........................................................24

BAB III KESIMPULAN......................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

4
BAB I
PENDAHULUAN

CDC mendefinisikan TBI (Traumatic Brain Injury) sebagai gangguan pada


fungsi normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke
kepala atau cedera kepala yang tembus. Cedera kepala merupakan suatu cedera
pada jaringan scalp, tulang tengkorak, atau jaringan otak. Trauma kepala dibagi
menjadi trauma kepala ringan, sedang, dan berat menurut Glasgow Coma Scale,
dikategorikan trauma kepala ringan apabila GCS 13–15, sedang bila GCS 9–12
dan berat bila GCS ≤8. Semakin berat suatu trauma kepala, semakin tinggi risiko
kematian pada pasien.1
Insidensi dari kasus cedera kepala adalah75-200 kasus/ 100.000 populasi.
Kasus ini terjadi di semua usia dan terbanyak pada usia 15-24 tahun pada laki-
laki. Kasus cedera kepala atau cedera lain yang melibatkan cedera kepala
menyumbang 50% kematian dari total kematian akibat cedera, dimana cedera
merupakan penyebabab utama kematian pada pasien < 45tahun. Menurut laporan
World Health Organization (WHO) setiap tahunnya sekitar 1,2 juta orang
meninggal dengan diagnosis cedera kepala berat yaitu akibat kecelakaan lalu
lintas (KLL).2
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Hal
ini dikarenakan kerusakan yang terjadi pada neuro diotak tidak dapat diperbaiki
lagi. Berbeda dengan berbagai organ lainnya, trauma mekanik pada kepala akan
memberikan gangguan yang sifatnya kompleks. Hal ini disebabkan karena
struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan
konsistensi cair, lunak, dan padat, seperti cairan cerebro spinal, selaput otak,
jaringan saraf, pembuluh darah, tulang, dan otak. Permasalahan yang dapat terjadi
adalah peningkatan tekanan intrakranial, fraktur tulang tengkorak, perdarahan,
edema jaringan otak, dan hipoksia. Permasalahan ini dapat menyebabkan
kematian jika tidak mendapat penangan secara cepat dan tepat.2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI KEPALA

II.1.1 Kulit Kepala


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu (Faiz
& Moffat, 2004):
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Pericranium (Perikranium)
Di antara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala
sering terjadi robekan pada lapisan ini. C

II.1.2 Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua
bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka
wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai
permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar
dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat
sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal
sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak
lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.

6
Gambar 2. 1 Tengkorak
II.1.3 Meninges

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meninges yang melindungi


struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah, dan sekresi cairan, yaitu
cairan serebrospinal yang akan melindungi dari benturan atau goncangan pada
otak dan sumsum tulang belakang (Pearce, 2009). Meninges terdiri dari tiga
lapisan yaitu dura mater, araknoidea mater dan pia mater.1, 3

a. Dura mater: berbentuk padat dan keras, berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dan terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang melapisi
tengkorak dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar, kecuali
pada bagian tertentu, di mana sinus-venus terbentuk, dan di mana dura
mater membentuk bagian-bagian berikut. Falx serebri yang terletak di
antara kedua hemisfer otak. Tepi atas falx serebri membentuk sinus
longitudinalis inferior atau sinus sagitalis inferior yang menyalurkan
darah keluar falx serebri. Tentorium serebeli memisahkan serebelum
dari serebrum (Pearce, 2009). Diafragma sellae adalah lipatan berupa
cincin dalam dura mater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada
tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis.
b. Araknoidea mater: di sebelah dalam dura mater. Selaput tipis yang
membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang meliputi

7
susunan saraf sentral. Otak dan medula spinalis berada dalam balon
yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di
bagian sakrum, medula spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Di bawah
lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang
keluar dari medula spinalis. Pada bagian ini tidak medula spinalis. Hal
ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi
lumbal.
c. Pia mater: Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
pia mater yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan
ikat yang disebut trebekhel. Mengikuti kontur otak, mengisi sulki. 1, 3

Gambar 2. 2 Lapisan meningen

8
II.1.4 Otak
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
kendali dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak mengapung
dalam suatu cairan untuk menunjang otak yang lembek dan halus. Cairan ini
disebut dengan CSS (cairan serebrospinalis). Komposisi cairan serebrospinalis
terdiri dari air, protein, glukosa, garam, sedikit limfosit dan karbondioksida.
Cairan ini bekerja untuk memberikan kelembapan otak dan medula spinalis,
melindungi alat-alat medula spinalis dan otak dari tekanan dan sebagai penyerap
goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala. Besar otak orang dewasa
kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.1, 3

II.1.5 Struktur Otak


Bagian terbesar otak adalah serebrum yang memiliki permukaan berlipat-
lipat dengan pola lipatan yang unik untuk setiap orang. Lekukan otak disebut
sulkus jika dangkal dan disebut fisura jika dalam. Fisura dan beberapa sulkus
besar membagi empat daerah fungsional yang disebut lobus yaitu frontal, parietal,
oksipital, dan temporal. Pusat otak mengandung talamus yang berperan sebagai
stasiun pengirim informasi otak. 1, 3

Empat lobus otak yaitu:

a. Lobus Temporal: Pengenalan bunyi, nada dan kerasnya, terletak dalam


lobus temporal, bagian ini juga berperan dalam penyimpanan ingatan.

b. Lobus Frontal: Menghasilkan bicara, memicu gerakan dan aspek


kepribadian berasal dari lobus ini.

c. Lobus Parietal: Daerah di mana sensasi tubuh seperti, rabaan, suhu,


tekanan dan nyeri diterima dan diterjemahkan, berada di daerah yang disebut
korteks somatosensorik.

d. Lobus Oksipital: Fisura (lekukan dalam) yang menandai batas antara


lobus parietal dan oksipital. Pada lobus ini biasanya mengarah pada fungsi
penglihatan.1, 3

9
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan
batang otak (trunkus serebri) (Pearce, 2009). Semua berada dalam satu bagian
struktur tulang yang disebut tengkorak untuk melindungi otak dari cedera. Empat
tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal,
temporal, dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa. Bagian
fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer, bagian tengah fossa
berisi lobus parietal, temporal dan oksipital dan bagian fossa posterior berisi
batang otak dan medula.1, 3

a. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari
otak, berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Fungsi
otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak.
Selain itu, otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti
bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya. 1, 3

b. Otak kecil (cerebellum) terletak di bawah otak besar. Terdiri dari dua
belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan
pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak
kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengoordinasikan kerja
otot ketika bergerak.1, 3

c. Batang otak terdiri dari:

1) Diensefalon. Bagian batang otak paling atas terdapat di antara


serebellum dengan mesensefalon. Diensefalon ini berfungsi sebagai
vasokonstruksi, respiratori (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan
refleks dan membantu pekerjaan jantung.

2) Mesensefalon. Berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat


kelopak mata dan memutar mata.

3) Pons varolli. Merupakan bagian tengah batang otak dan karena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak
serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan
menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri. 1, 3

10
4) Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis. Medula
oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.1, 3

II.1.6 Vaskularisasi Otak


Otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus kranialis. 1, 3

II.1.7 Cairan Serebrospinal


Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem ventrikel dan
ruang subarachnoid yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan
juga berperan sebagai pembersih lingkungan otak. Jumlah cairan serebrospinal
pada orang dewasa berkisar antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai hukum
Monroe-Kelli, kecuali jika terdapat kondisi yang tidak seimbang antara komponen
parenkim, darah dan cairan serebrospinal. Produksi cairan serebrospinal berkisar
0,35 ml permenit atau sekitar 500 ml per hari. Dengan jumlah ruang yang terbatas
antara 75-150 ml maka dibutuhkan pembersihan atau penggantian paling tidak 4-6
kali dalam sehari. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid. 1, 3

II.2 Cedera Kepala

II.2.1 Definisi
CDC mendefinisikan TBI (Traumatic Brain Injury) sebagai gangguan pada
fungsi normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke
kepala atau cedera kepala yang tembus. Ledakan eksplosif juga dapat
menyebabkan TBI, terutama mereka yang menderita TBI bertugas di militer.
Tidak semua benturan, pukulan atau sentakan kepala menyebabkan cedera kepala.

11
Tidak semua orang yang mengalami cedera kepala akan mengalami efek ataupun
dampak dari cedera itu sendiri. Banyak faktor yang dapat membantu
mengklasifikasikan seseorang menderita cedera kepala seperti, kepala terbentur
suatu benda, benda menembus otak, percepatan/perlambatan pergerakan otak,
serta adanya tanda dan gejala cedera kepala segera setelah kejadian. 4

II.2.2 Epidemiologi
Secara global berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewan et al
pada tahun 2019 didapati sekitar 69 juta orang diseluruh dunia mengalami cedera
otak traumatik setiap tahunnya. Proporsi akibat kecelakaan di jalan, yang paling
besar berasal dari Afrika dan Asia Tenggara tercatat sebesar 56%, dan yang
terendah di Amerika Utara yakni, sebesar 25%. nsiden kecelakaan lalu lintas
sendiri memiliki kemiripan antara Asia tenggara (1,5% dari populasi) dengan
Eropa (1,2% dari populasi). Secara keseluruhan insiden cedera otak traumatik per
100000 penduduk yang terbesar adalah Amerika Utara dan Eropa serta paling
sedikit di Afrika dan Mediterania Timur. Negara dengan pendapatan menengah
kebawah memiliki proporsi kejadian cedera otak traumatik tiga kali lebih banyak
dibanding Negara berpendapatan tinggi.5

Penelitian epidemiologi cedera otak traumatik di Indonesia masih sangat


terbatas dan masih banyak kasus yang tidak terlapor. Berdasarkan laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 didapati bahwa cedera kepala merupakan
cedera tersering ketiga dengan dengan proporsi 11,9% setelah cedera pada
anggota gerak bawah dan anggota gerak atas. Mortalitas dari cedera otak
traumatik pada umumnya berhubungan dengan perdarahan intrakranial. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Cheng et al pada tahun 2017 menunjukkan bahwa
angka kematian akibat cedera otak traumatik masih tergolong stabil dan tinggi di
Tiongkok antara tahun 2006 hingga 2013 yaitu 12,99 hingga 17,06 kasus per
100000 penduduk.5 – 6

II.2.3 Etiologi
Etiologi dari cedera otak traumatik dapat disebabkan oleh segala jenis
peristiwa yang menyebabkan benturan atau kekerasan pada kepala. Berdasarkan

12
penelitian yang dilakukan oleh Hassan et al pada tahun 2017 ditemukan bahwa
penyebab tertinggi dari cedera otak traumatik adalah kecelakaan lalu lintas
sebanyak 45%, diikuti jatuh dari ketinggian sebanyak 34%, cedera akibat senjata
api sebanyak 16%, serta kekerasan fisik sebanyak 5%.7

Terdapat enam kategori kekuatan eksternal yang dapat menyebabkan


cedera otak traumatik dan menjadi etiologi utama, yaitu:

1. Kepala terbentur benda


2. Kepala membentur benda
3. Akselerasi/deselerasi otak tanpa adanya dampak eksternal langsung.
4. Benda asing menembus otak
5. Ledakan
6. Penyebab lain yang belum diketahui.7

II.2.4 Patofisiologi
Fungsi otak sangat bergantung pada oksigen dan glukosa. Cedera di otak
dapat menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan glukosa ke sel-sel di otak.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya oksigen darah. Kegagalan
fungsi paru, aliran darah ke otak yang menurun akibat syok dapat menyebabkan
kurangnya suplai darah ke otak. Cedera otak juga dapat menyebabkan edema pada
otak. Edema pada otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
meningkatkan risiko herniasi otak melalu foramen magnum, foramen tentorium.
Jika terjadi hernia, otak bisa menjadi nekrosis dan dapat menyebabkan kematian.8

13
Cedera Primer

Bagan 2. 1 Patofisiologi Cedera Kepala Primer

Secara umum patofisiologi yang terjadi setelah cedera otak primer terjadi
pertama kali adalah sebagai berikut: ketika suatu cedera otak terjadi, maka akan
terjadi kerusakan membran akson yang kemudian diikuti dengan keluarnya ion
kalium dari sel dan menyebabkan depolarisasi pada membran. Kondisi ini
menyebabkan suatu depolarisasi yang mengakibatkan pelepasan asam amino dan
neurotransmiter eksitatori.9

Kalsium terus masuk dan ion kalium terus keluar, banyaknya kalsium
intrasel mengakibatkan fungsi intraseluler terganggu yang akan menyebabkan
hipoksia seluler. Ketika terjadi hipoksia dan otak dipaksa untuk melakukan
metabolisme berupa glikolisis maka terjadi penumpukan asam laktat.
Penumpukan asam laktat ini kemudian menyebabkan kerusakan sawar darah otak
dan kematian sel. Hal ini memicu respon inflamasi lokal yang biasanya terjadi 4-6
jam setelah cedera awal terjadi. Respon inflamasi ini dapat memicu kerusakan
difus melalui pelepasan neurotransmiter yang membanjiri otak.9
14
Cedera Sekunder

Gambar 2. 3 Patofisiologi Cedera Kepala Sekunder

Ketika terjadi cedera primer maka terdapat kemungkinan proses biokimia, seluler
dan fisiologi yang terganggu yang kemudian berkembang menjadi kerusakan atau
cedera sekunder yang tertunda atau memanjang hingga berjam-jam bahkan
menahun. Terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi sehingga terjadinya
suatu cedera sekunder, diantaranya: excitotoxicity, disfungsi mitokondria, stres
oksidatif, peroksidasi lipid, neuroinflamsi, degenerasi akson dan apoptosis sel.10

Excitotoxicity

Kerusakan sawar darah otak dan kematian sel saraf pada cedera primer
mengakibatkan pelepasan yang berlebihan dari asam amino eksitatori seperti

15
glutamate dan aspartate dari bagian terminal sel saraf presinaps. Jumlah glutamate
yang berlebihan ini akan mengaktivasi reseptor N-methyl-di-aspartate (NMDA)
yang akan mendorong pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan nitric
oxide (NO) yang kemudian menyebabkan cedera sekunder.10

Disfungsi Mitokondria

Penumpukan ion kalsium intraseluler dan masuknya ion dalam jumlah besar ke
dalam mitokondria mengakibatkan peningkatan produksi reactive oxygen species
(ROS), depolarisasi membran mitokondria dan penghambatan pembentukan
adenosine triphosphate (ATP). Hal ini kemudian menyebabkan kerusakan rantai
transportasi elektron dan proses fosforilasi oksidatif yang selanjutnya
mengganggu reaksi metabolisme didalam sel dan regulasi siklus kalsium.10

Pelepasan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Peroksidasi Lipid

ROS endogen dan radikal bebas terus terbentuk secara konstan dari berbagai
mekanisme seperti proses ezimatik, aktifasi neutrofil, jalur excitotoxic dan
disfungsi mitokondria. ROS kemudian tidak hanya berreaksi dengan protein dan
DNA tetapi juga polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran fosfolipid
yang kemudian membentuk radikal lipoperoxyl. Seluruh proses ini kemudian akan
menyebabkan kerusakan membran sel.10

Neuroinflamasi

Pada periode 24 jam pertama suatu cedera otak traumatik, disfungsi dari sawar
darah otak menyebabkan infiltrasi dari neutrofil, monosit dan limfosit kedalam
parenkim otak yang mengalami cedera. Leukosit-leukosit polimorfonuklear ini
kemudian melepaskan komplemen dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β,
IL-6 dan TNF-α. Peningkatan berbagai jenis sitokin ini kemudian dianggap
berasosiasi dengan terganggunya permeabilitas sawar darah otak yang
menyebabkan terbentuknya edema dan defisit neurologi.10

Degenerasi Akson

Kerusakan akson ditandai dengan terbentuknya suatu bulbus pada nodus sebagai
akibat disasosiasi hubungan antar akson dan akumulasi protein transpor akson.

16
Hal ini kemudian menyebabkan pembengkakan dari akson yang rusak, apoptosis
sel dan oligodensdrosit. Penelitian telah menunjukkan adanya asosiasi dari
kerusakan akson pada corpus callosum dan infiltrasi sel neuroinflamasi microglia
dan makrofag, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
degradasi akson, kerusakan oligodendrosit dan kerusakan substansia alba.10

Apoptosis Sel Saraf

Proses apoptosis yang terjadi diduga melibatkan aktivasi dari cysteine protease
seperti caspase dan calpain, serta juga dipicu oleh interaksi dari berbagai jalur
neurokimia, seluler dan molekuler seperti extracellular signal-regulated kinase
(ERK), p38 MAPK, janus kinase/ signal transducer dan transkripsi aktivator.10

II.2.5. Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahan klinis, penilaian derajat beratnya cedera kepala
dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu
skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye
opening), reaksi berbicara (verbal respons) dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai
GCS yaitu:

1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit <48 jam.

2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan


pada CT scan otak, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.

3) Cedera Kepala Berat (CKB) skor GCS <9.11

Berdasarkan perkembangan cedera, cedera kepala diklasifikasikan menjadi:

1) Cedera primer disebabkan oleh kekuatan mekanik langsung, apakah


tumpul, tembus, atau meledak dan termasuk berikut ini
a. Fraktur tulang tengkorak

17
b. Kontusi (memar/berdarah pada otak) yang dapat menyebabkan
perdarahan (pembekuan darah di lapisan meningeal atau struktur
kortikal/subkortikal akibat trauma)
c. Gegar otak (cedera kecepatan rendah yang mengakibatkan defisit
fungsional tanpa cedera patologis)
d. Laserasi (di jaringan otak atau pembuluh darah otak)
e. Cedera aksonal difus (gaya geser traumatis yang menyebabkan
robeknya serabut saraf di sepanjang gray matter). 1

Cedera primer dapat disebabkan oleh cedera tembus (open head) atau
cedera yang tidak menentu (close-head). Cedera tembus (open) melibatkan luka
terbuka kepala karena benda asing (misal peluru). Hal ini biasanya ditandai
dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute yang telah dilalui benda
tersebut di otak yang mencakup tengkorak retak/perforasi, robeknya meninges dan
kerusakan jaringan otak. Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan
kerusakan otak akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke
otak. Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges. 1

Cedera yang tidak menentu terdiri dari dua jenis:

a) Cedera akselerasi disebabkan oleh pergerakan otak di dalam kepala yang tidak
terkendali (misalnya cedera pukulan). Jika kekuatan yang memengaruhi kepala
cukup kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi pada tempat benturan dan sisi
berlawanan tengkorak, menyebabkan kontusi tambahan (cedera coup-
contrecoup).1

b) Cedera nonakselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala yang tertahan dan
oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau perlambatan otak yang terjadi di dalam
tengkorak. Ini biasanya mengakibatkan deformasi (patah tulang) tengkorak,
menyebabkan kerusakan lokal terpusat pada meninges dan otak.1

2) Cedera Sekunder

18
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari cedera
primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks yang diubah atau
dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer dan termasuk berikut ini.

a) Iskemia (aliran darah tidak mencukupi);


b) Hipoksia (kekurangan oksigen di otak);
c) Hipotensi/hipertensi (tekanan darah rendah/tinggi);
d) Edema serebral (pembengkakan otak);
e) Tekanan intrakranial meningkat (tekanan meningkat di dalam
tengkorak), yang dapat menyebabkan herniasi (bagian otak tergusur)
f) Hiperkapnia (kadar karbon dioksida yang berlebihan dalam darah);
g) Meningitis (infeksi pada lapisan meningeal) dan abses otak;
h) Perubahan biokimia (perubahan kadar neurotransmitter, sodium,
potasium dan lain-lain);
i) Epilepsi1

II.2.6 Diagnosis
Cedera kepala dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan lesi
intrakranial yang memberikan tanda klinis dan hasil pemeriksaan penunjang yang
berbeda. Fraktur dapat berupa fraktur linier, fraktur depresi, dan fraktur basis
cranii. Lesi dapat berupa lesi fokal dan lesi difus. 11

Tanda klinis fraktur basis kranii:

- Racoon’s eyes  Periorbital Ecchymoses


- Battle’s sign  Post auricular ecchymoses
- Keluarnya cerebrospinal fluid melalui hidung maupun telinga
(rhinorrhea/otorrhea)
- Hemotimpanum atau laserasi pada kanal auditori eksternum1, 11

Tanda klinis fraktur wajah

- LeFort Fractures: instability pada palpasi tulang wajah, termasuk arkus


zigomatikus
- Fraktur dinding orbital: pada palpasi teraba step off (ada bagian yang
hilang) 1, 11

19
Pemeriksaan neurologis, untuk menilai apakah ada defisit neurologis:

- Nervus optikus: Cek apakah ada afferent pupillary defect menggunakan


swinging flashlight test
- Pupil: ukurannya, refleks cahaya langsung dan tidak langsung
- Nervus fasialis: Periksa apakah ada parese nervus fasialis, periksa apakah
muka simetris/asimetris mulai dari wajah bagian atas hingga bawah)
- Nervus abdusens: Periksa apakah ada parese nervus abdusens 1, 11

Periksa tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow coma scale

1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit <48 jam.

2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan


pada CT scan otak, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.

3) Cedera Kepala Berat (CKB) skor GCS <9.11

Tanda peningkatan tekanan intrakranial:

- Cushing triad: Hipertensi, bradikardi, pernapasan ireguler


- Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, dan perubahan sensorik motorik, penurunan kesadaran
- Sakit kepala hebat, muntah proyektik, pandangan kabur (diplopia)11

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CT-Scan kepala wajib dilakukan pada pasien Cedera kepala


sedang dan cedera kepala berat. Pemeriksaan CT-scan kepala pada pasien cedera
kepala ringan dilakukan jika ditemukan beberapa tanda klinis berikut; skor GCS
<15 setelah 2 jam pasca trauma, curiga fraktur depresi ataupun fraktur terbuka,
ditemukan tanda-tanda fraktur basis kranii, muntah proyektil, usia > 65 tahun,
pasien mengkonsumsi pengencer darah rutin, kehilangan kesadaran > 5 menit,
mnesia sebelum kejadian >30 menit.12

20
Tabel 2. 1 Indikasi Pemeriksaan CT Scan pada Cedera
Kepala Ringan

21
Gambar 2. 4 Gambaran CT-Scan kepala normal
Kondisi berbahaya yang harus disingkirkan:

1. Darah (Hemorrhages atau Hematomas)


a. Epidural hemorrhage (EDH)  tampak lesi hiperdens biconvex,
perdarahan berasal dari arteri meningea media.

Gambar 2. 5 CT Scan EDH

b. Subdural hemorrhage (SDH)  Lesi berbentuk seperti bulan sabit


(Cresent shape), perdarahan berasal dari bridging vein. Jika
perdarahan masih akut  hiperdensitas, subakut  normodensitas,
kronik  hipodensitas.

Gambar 2. 6 CT scan SDH


22
c. Subarachnoid hemorrhage (SAH)  Hiperdensitas yang mengisi
sulcus maupun sisterna basalis

Gambar 2. 7 CT scan SAH

d. Intracerebral hemorrhage (ICH)  Hiperdensitas pada parenkim


otak

Gambar 2. 8 CT scan ICH

23
e. Intraventricular Hemorrhage (IVH)  Hiperdensitas yang mengisi
ventrikel.10

Gambar 2. 9 CT scan IVH

2. Hidrocephalus  Pembesaran ventrikel


3. Cerebral Swelling (Edema Cerebri)  Sisterna basalis tidak terlihat,
ventrikel dan sulcus menyempit

Gambar 2. 10 CT scan edema cerebri

24
4. Anoksia Cerebral  lost of gray-white differentation
5. Fraktur  Fraktur basis kranii, Fraktur dinding orbita, fraktur calvaria
(linear vs stellate, open vs closed, depresi vs non-depresi)
6. Infark Cerebri  jarang ditemukan, kemungkinan stroke iskemik sebelum
trauma
7. Pneumocephalus  curiga fraktur tulang tengkorak
8. Midline shifting  bisa disebabkan karena perdarahan intra axial, extra
axial, dan edema cerebri.11

II.2.7 Tatalaksana Cedera Kepala Berat

Bagan 2. 2 Tatalaksana Cedera Kepala Berat


Prinsip tatalaksana awal pada semua kasus cedera kepala secara umum
sama seperti kasus trauma lainnya, yaitu dilakukan pemeriksaan dan penanganan
Primary Survey mulai dari Airwat, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure.12

Airway dan Breathing

25
Transient respiratory arrest (henti napas sementara) dan hipoksia sering
ditemukan pada kasus cedera kepala berat dan menyebabkan cedera otak
sekunder. Lakukan pemasangan Airway definitif pada semua pasien cedera kepala
berat. Pasang pulse oksimetri dan pastikam saturasi oksigen >98%. 12

Pertahankan tekanan PCO2 sekitar 35 mmHg. Pasien yang mengalami


perburukan neurologis dan memiliki tanda-tanda herniasi harus dilakukan
hiperventilasi. Hiperventilasi berkepanjangan dengan PCO2 < 25 mmHg tidak
disarankan.12

Circulation

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak, kecuali jika terjadi
kegagalan pada batang otak dan terjadi cedera pada sumsum tulang belakang.
Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Jika pasien
mengalami hipotensi, segera lakukan resusitasi cairan menggunakan produk darah
atau cairan isotonik sesuai kebutuhan. Pemeriksaan neurologis sulit dilakukan
pada pasien hipotensi. Pasien yang mengalami hipotensi tidak responsif terhadap
bentuk stimulasi apapun. Keadaan ini dapat pulih dan membaik secara signifikan
bila tekanan darah kembali normal. Penting untuk mencari dan mengobati sumber
utama hipotensi.12

Pada pasien yang berusia 50 – 69 tahun, pertahankan tekanan darah ≥100


mmHg. Pada pasien yang berusia 15 – 49 tahun dan yang berusia ≥ 70 tahun,
pertahankan tekanan darah ≥ 110 mmHg. Hal ini akan mengurangi angka
mortalitas dan memberikan prognosis yang lebih baik.12

Disability

Segera setelah statu kardiopulmoner diamankan, segera lakukan


pemeriksaan neurologis yang terfokus. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain,
menentukan skor GCS pasien, refleks cahaya pupil, dan mencari defisit neurologis
fokal. Pada kasus cedera otak traumatik, penting untuk mengenali masalah
masalah lain yang dapat menyebabkan hasil pemeriksaan menjadi keliru, seperti
pada pasien yang dalam pengaruh obat-obatan, alkohol atau zat memabukan

26
lainnya. Namun pada pasien yang dalam keadaan mabuk, cedera otak tidak boleh
diabaikan.12

Secondary Survey

Setelah melakukan primary survey, langkah selanjutnya adalah secondary


survey. Secondary survey meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap
mulai dari kepala hingga kaki (head to toe). AMPLE (Allergic, Medication, Past
Medical Illness, Last Meal, Event) dapat diaplikasikan pada setiap kasus trauma.
Pada anamnesis, komponen event merupakan hal penting. Data yang harus
dikumpulkan pada komponen event antara lain mekanisme kejadian trauma,
waktu trauma, penurunan kesadaran post trauma, kejang, amnesia, nyeri kepala,
keluar cairan dari hidung ataupun telinga, muntah, dan defisit neurologis seperti
kelemahan separuh badan.13

Tatalaksana nonfarmakologis

1. Intubasi (Endo Tracheal Tube)


Indikasi dilakukannya pemasangan ETT adalah pada pasien dengan GCS
≤8 dengan tujuan untuk mempertahankan jalan napas dan mencegah
hipoksia. Intubasi naso-trakeal tidak disarankan pada pasien dengan
fraktur basis kranii karena tube dapat masuk ke ruang intracranial,
sehingga intubasi oro-trakeal lebih direkomendasikan.11
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi profilaksis (PaCO2 ≤ 25mmHg) tidak direkomendasikan.
Hiperventilasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia serebral
pada otak yang sudah cedera dengan menyebabkan vasokonstriksi serebral
dan mempengaruhi perfusi serebral.
Hiperventilasi boleh dilakukan hanya jika sudah terbukti mengalami
peningkatan tekanan intrakranial melalui CT scan maupun melalui tanda
klinis, dan dengan syarat PaCO2 30-35 mmHg.11
3. Elevasi kepala 300.

27
Elevasi kepala dapat meningkatkan venous return, sehingga dapat
menurunkan tekanan intrakranial.13

Tatalaksanan farmakologis

1. Cairan Intravena
Kejadian hipovolemik sangat berbahaya pada pasien dengan cedera kepala
berat karena menyebabkan hipotensi sehingga terjadi hipoperfusi otak.
Resusitasi cairan harus segera diberikan pada pasien cedera kepala yang
mengalami hipovolemik menggunakan cairan intravena, darah, dan produk
darah. Jika ketersediaan darah sulit didapatkan dalam waktu dekat, Ringer
Laktat atau Natrium Clorida 0.9% merupakan pilihan awal untuk
resusitasi.
Pasang akses intravena 2 jalur dengan ukuran kateter intravena yang besar.
Lalu berikan cairan dengan dosis:
Dewasa: Kristaloid (RL/NaCl 0.9%)1000 cc bolus
Anak-anak (bb <40 kg): Kristaloid (RL/NaCl 0.9%) 20cc/kgbb bolus12
2. Anti perdarahan
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau
pembuluh darah otak dan sawar darah otak sehingga mengakibatkan
iskemia jaringan. Salah satu cara untuk mencegah bertambahnya volume
darah adalah dengan memberikan:
asam traneksamat 1 gram IV bolus selama 10 menit
dilanjutkan asam traneksamat 1 gram IV selama 8 jam13
3. Mannitol
Manitol diberikan jika pasien mengalami peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi:
1. Pasien hipotensi / hipovolemi
2. Pasien dengan perdarahan intracranial

Dosis awal: Manitol 1gram/kgbb selama 30-60 menit

Setelah 6 jam turunkan dosis 0,5 gram/kgbb selama 30-60 menit

28
Selanjutnya, 12 jam dan 24 jam kemudian turunkan dosis 0,25 mg/kgbb
selama 30-60 menit.11, 13

4. Hipertonic Saline
Cairan hipertonik digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Cairan hipertonik merupakan pilihan yang lebih direkomendasikan untuk
menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipotensi, karena tidak
memiliki efek diuretik.
Dosis: NaCl 3% 2,5-5 cc/kgbb IV drip selama 5-20 menit. 11, 13
5. Antikonvulsan
Tiga faktor risiko yang meningkatkan kejadian epilepsi adalah kejang
yang terjadi dalam seminggu pertama, hematoma intrakranial, fraktur
depresi tulang tengkorak. Kejang akut dapat dikendalikan dengan
pemberian antikonvulsan, namun antikonvulsan dapat menghambat
pemulihan otak, sehingga sebaiknya diberikan hanya jika benar benar
diperlukan.
Penting untuk mengobati kejang akut, karena kejang yang berkepanjangan
(30 – 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Saat ini,
fenitoin merupakan pilihan yang paling umum digunakan pada fase akut.
Dosis dewasa: fenitoin 1 gram IV, < 50 mg/menit.
dosis rumatan: fenitoin 100mg/8jam selama 7 hari.12

Tatalaksana Operatif

Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi. Indikasi dilakukannya tindakan


operatif adalah sebagai berikut13

29
Tabel 2. 2 Indikasi Tindakan Operatif

Tatalaksana bedah dibutuhkan untuk luka pada SCALP, fraktur depresi tulang
tengkorak, massa intrakranial, dan cedera otak tembus.

Luka pada SCALP

Penting untuk membersihkan dan memeriksa luka secara menyeluruh


sebelum menjahit. Penyebab paling umum dari infeksi luka kulit kepala adalah
pembersihan dan debridemen yang tidak memadai. Kendalikan perdarahan kulit
kepala dengan menekan secara langsung dan menjepit atau mengikat pembuluh
besar, lalu aplikasikan jahitan. Setelah dibersihkan periksa luka dengan hati-hati,
periksa tanda-tanda fraktur tengkorak. Konsultasikan dengan ahli bedah saraf
dalam semua kasus fraktur terbuka tulang tengkorak ataupun fraktur depresi
tengkorak. Gumpalan darah subgaleal dapat terasa seperti fraktur tengkorak,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rontgen ataupun ct scan kepala untuk
melihat apakah ada fraktur atau tidak.12

Fraktur Depresi Tulang Tengkorak

30
Pada pasien dengan fraktur depresi tulang tengkorak, diperlukan CT scan kepakla
untuk menilai seberapa dalam tulang yang terdepresi dan untuk memastikan tidak
ada perdarahan intrakranial yang terjadi. Umumnya fraktur depresi tulang
tengkorak memerlukan tindakan operatif bila depresi tulang lebih besar dari
ketebalan tulang dan bila disertai fraktur terbuka.12

Lesi Massa Intrakranial

Lesi massa intrakranial sebaiknya diatasi oleh ahli bedah saraf. Hematoma
intrakranial yang berkembang dengan cepat dapat menyebabkan kematian,
sehingga perlu dilakukan craniotomi pada pasien yang mengalami perburukan
dengan cepat.12

Cedera Kepala Tembus

Pemeriksaan CT scan kepala sangat disarankan untuk mengevaluasi pasien


dengan cedera otak tembus. Angiografi disarankan pada pasien cedera otak
tembus bila traumanya melewati atau dekat dengan basis cranii dan bila cedera
tembusnya melibatkan daerah orbitofasial dengan tujuan untuk mendeteksi
aneurisma intrakranial dan fistula arteriovena.12

Antibiotik profilaksis spektrum luas dibutuhkan pada pasien dengan cedera otak
tembus, fraktur terbuka tulang tengkorak, dan kebocoran cairan cerebrospinal.
Benda benda yang menembus ruang intrakranial (seperti anak pahah, pisau,
obeng) harus dibiarkan sampai tindakan bedah saraf definitif ditetapkan. Melepas
benda tembus dari kepala dapat menyebabkan cedera vaskular dan perdarahan
intrakranial.12

31
BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala merupakan gangguan pada fungsi normal otak yang bisa
disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera kepala
yang tembus. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya
menjadi tiga, yaitu cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala
berat. Ketiga derajat keparahan tersebut dibedakan menurut skor GCS nya. Cedera
kepala ringan memiliki skor GCS 14-15, cedera kepala sedang memiliki skor GCS
9-13, dan cedera kepala berat memiliki skor GCS <9. Permasalahan yang dapat
terjadi adalah peningkatan tekanan intrakranial, fraktur tulang tengkorak,
perdarahan, edema jaringan otak, dan hipoksia. Permasalahan ini dapat
menyebabkan kematian jika tidak mendapat penangan secara cepat dan tepat.

Pada cedera kepala berat, tindakan awal yang harus dilakukan adalah
primary survey, yaitu memeriksa apakah ada kelainan pada Airway, Breathing,
Circulation, Disability, dan Exposure lalu memberikan tindakan dan penanganan
berdasarkan kelainan yang ditemukan pada primary survey. Setelah itu barulah
pasien dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti CT-scan kepala yang dilakukan
sesuai indikasi. Setelah ABCDE diamankan, pasien dapat diberikan terapi medis
sesuai gejala pasien. Pada beberapa kondisi, pasien cedera kepala berat juga
memerlukan tindakan operatif.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Marbun AS, Sinuraya E, Amila, Simanjuntak GV. Manajemen Cedera
Kepala. Medan: Ahlimedia Press; 2020.10-11
2. Siahaya N, Huwaei LBS, Angkejaya OW, Bension JB, Tuamelly J.
Prevalensi Kasus Cedera Kepala Berdasarkan Klasifikasi Derajat
Keparahannya pada Pasien Rawat Inap di RSUD dr. M. Haulussy
Ambon pada Tahun 2018. Molluca Medica. 2020;12:14-20
3. Netter, F. H. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadephia: Saunders
Elsevier; 2011.
4. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury
Prevention and Control. Report to Congress on traumatic brain injury
in the United States: Epidemiology and rehabilitation. Atlanta (GA):
Centers for Disease Control and Prevention; 2015.
5. Dewan MC, Rattani A, Gupta S, Baticulon RE, Hung YC, Punchak M,
et al. Estimating the global incidence of traumatic brain injury. J
Neurosurg. 2019;130(4):1080–97.
6. Riskesdas K. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). J
Phys A Math Theor. 2018;44(8):1–200
7. Hassan N, Ali M, Haq NU, Azam F, Khan S, Khan Z, et al. Etiology,
clinical presentation and outcome of traumatic brain injury patients
presenting to a teaching hospital of khyber pakhtunkhwa. J Postgrad
Med Inst. 2017;31(4):365–70.
8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-
De Jong: Sistem Organ dan Ilmu Bedahnya. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2017. 955-79
9. Capizzi A, Woo J, Verduzco-Gutierrez M. Traumatic Brain Injury: An
Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Medical
Management. Med Clin North Am. 2020;104(2):213–38.
10. Ng SY, Lee AYW. Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and
Potential Therapeutic Targets. Front Cell Neurosci.
2019;13(November):1–23.

33
11. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. 8th edition. New York:
Thieme; 2016. 824-923.
12. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced
Trauma Life Support: Student Course Manual. 10th edition. Chicago:
American College of Surgeons; 2018. 102-24
13. Wiratman W, Aninditha T. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia; 2017. 383-419

34

Anda mungkin juga menyukai