Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU BEDAH REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2022


UNIVERSITAS PATTIMURA

TRAUMA KEPALA

Disusun Oleh:
Ririn Jihan Setiyani Reubun

Pembimbing:
dr. Jacky Tuamelly, Sp.B (K) Trauma., FICS., FINACS.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD DR. M. HAULUSSY AMBON
FAKULTAS KEDOKTERAN PATTIMURA
AMBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

atas berkat dan penyerta-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul

“Trauma Kepala” yang dibawakan dalam rangka tugas kepanitraan klinik di

bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon.

Penulis menyadari bahwa terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan

dalam proses penyusunan namun dengan bimbingan dan bantuan dari

pembimbing, penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis berharap pada

penyusunan referat ini dapat menjadi sumber pembelajaran, pengalaman,

menambah wawasan dan dapat membantu pada praktik klinik di kemudian hari.

Ambon, Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................1

II.1. Anatomi Kepala...........................................................................................2

II.1.1. Kulit Kepala (Scalp)...............................................................................2

II.1.2. Tulang Tengkorak..................................................................................2

II.1.3. Selaput Otak...........................................................................................2

II.1.4. Otak........................................................................................................4

II.1.5. Sistem Ventrikel.....................................................................................5

II.1.6. Kompartemen Intrakranial ....................................................................6

II.2. Trauma Kepala.............................................................................................7

II.2.1. Definisi...................................................................................................7

II.2.2. Etiologi...................................................................................................7

II.2.3. Patofisiologi...........................................................................................8

II.2.4. Klasifikasi..............................................................................................9

II.2.5. Diagnosis .............................................................................................15

II.2.6. Penatalaksanaan...................................................................................19

II.2.7. Komplikasi ..........................................................................................26

BAB III KESIMPULAN......................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala termasuk yang paling sering jenis trauma yang dihadapi

dalam kondisi darurat. Kondisi pasien yang mengalami penyakit cedera pada otak

yang parah meninggal sebelum sampai ke rumah sakit. Sekitar 90% terjadi

kematian berkaitan dengan trauma pra-rumah sakit yang melibatkan cedera otak.

Dari sekitar 75% pada pasiien yang mengalami cedera otak mendapat perhatian

medis dapat dikategorikan mengalami cedera riingan, 15% cedera kepala sedang,

dan 10% pada cedera kepala berat. Salah satu data dari Amerika Serikat yang

terbaru yang memperkirakan bahwa 1.700.000 pada traumatic brain injury (TBI)

terjadi setiap tahun, dengan jumlah 275.000 yang dirawat inap dan sekitar 52.000

meninggal.1

Penderita yang selamat dari TBI sering mengalami gangguan

neurofisiologis yang mengakibatkan kecacatan yang berpengaruh terhadap

antivitas pekerjaan dan sosialnya. Setiap tahun kira-kira 80.000-90.000 orang di

Amerika Serikat yang mengalami cacat dalam jangka panjang akibat cedera otak.

Di Denmark, kira-kira 300 orang dari 1 juta penduduk yang mengalami cedera

kepala sedang sampai berat setiap tahunnya. Dimana lebih dari sepertiga

membutuhkan rehabilitasi cedera otak, melihat data dari statistik ini menunjukan

jelas bahwa sedikit saja yang mengalami pengurangan mortalitas dan morbiditas

akibat cedera otak berdampak besar terhadap kesehatann masyarakat.

Tujuan penatalaksanaan penderita mengalami kecurangan TBI untuk

menceegah seseorang mengalami hal cedera otak sekunder. Dapat memberikan

1
2

oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan teekanan darah pada level yang

cukup untuk melakukan perfusi ke otak adalah hal terpenting untuk mencegah

kerusakan otak sekunder dan akan memperbaiki outcome penderita. Setelah

melakukan penatalaksanaan ABCDE, penting untuk melakukan identifikasi lesi

massa yang memerlukan tindakan oprasi, dan hal ini paling baik dilakukan dengan

pemeriksaaan pada CT scan (computed tomography) kepala sesegera mungkin.

Namun pada pemeriiksaan CT scan kepala tidak boleh memperlambat pasien

untuk dirujuk ke fasilitas yang mampu melakukan tindakan bedah saraf dengan

segra.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.2.1. Anatomi Kepala

Anatomi pada kepala meliputi kulit kepala (scalp), tulang tengkorak, selaput

otak, system ventrikel dan terdapat kompartemen intracranial. 1

II.1.1 Kulit Kepala (Scalp)

Scalp atau kulit kepala mempunyai suplai aliran darah yang banyak

sehingga apabila terjadinya perlukaan padaa kulit kepala dapat mengakibatkan

kehilangan banyak darah, syok hemoragik, dan dapat menyebabkan kematian. Hal

tersebut bisa terjadi pasca penderita dengan waktu perjalanan yang lama.1

II.1.2 Tulang Tengkorak

Pada tulang tengkorak memiliki dasar yang tidak rata sehingga dapat

menyebabkan cedera ketika otak bergerak terhadap tengkorak pada saat ekselerasi

dan deselerasi. Pada Fossa anteriior menjadi tempatnya lobus frontal, sedangkan

fossa mediia menjadi tempatnya lobus temporal, dan pada fossa posterior menjadi

tempat bagi brainstem bagian bawah dan serebellum. 1

3
4

Gambar 1 : Anatomi tengkorak3

II.1.3 Selaput otak

Selaput otak menyeliputi otak yang terdiiri dari 3 lapisan antara lain:

duramater, arakhnoid, dan pia mater. Pada dura mater sendiri adalah lapisan yang

lunak, atau berupa membran fibrrosa yang melekat padda bagian dalam tulang

tenkorak. Pada bagian tempat tertentu dura terbagi menjadii dua helai yang

menyelibungi sinus venosus besar, yang menjadi saluran vena utama dari otak.

Pada sinus sagitalis suoerior mengalir ke kedua sinus transversus dan sinus

sigmoi, yang dimana kanan biasdanya lebih besar. Perlukaan pada sinus venosus

ini juga dapat mengakibatkan perdarahan yang masif. 1,2

Arteri menigea yang teerletak di antara letak dura dan permukaan dalam

teengkorak yang berada diruang epiidural. Fraktural tulang tengkorak pada bagian

atasnya dapat juga merobek arteri dan juga dapat menyebabkan perdarahan

epidural. Pembuluh darah yang paliing seriing terkena adalah arteri menigea

media, yang berada di fossa temporal. Pada hematoma yang terjadi akibat robekan

arteria dilokasi yang dapat menyebabkan perburukan dengan cepat yaitu


5

kematian. Selain itu hematoma epidural ini dapat juga terjadi akibat cederah yang

di dapat pada sinus duralis dan juga dari fraktur tenkorak, yang berkembang lebih

lambat dan juga tidak terlalu menekan jaringan otak di bawahnya. Namun,

kebanyakan hematoma epidural adalah salah satu kasus pada gawat darurat yang

juga dapat mengancam jiwa dan harus segera ditangani oleh ahlii bedah saraf. 1,2

Pada posisi bawah letak dura terdapat lapiisan yang kedua, yaitu arakhnoid

adalah lapisan yang paling tipis dan transparan. Hal ini terjadi pada duramater

karena tidak dapat melekat dengan arakhnoid di bawahnya, terdapat rongga

potensial di antara kedua lapiisan ini (ruaang subdural) dimana bisa terjadi

didalamnya. Pada ceedera otak bridging veins yang bejalan dari permukaan otak

ke sinus venosus di dura mater bisa robek, dan mengakibatkan terjadinya

perdarahan subdural. 1,2

Lapisan ketiga yaitu piamater yang melekat kuat dengan permukaaan otak.

Cairan cerebrospinal mengisi ruang antara selaput araknoid yang kedap dengan air

dan piamater (ruang subaracnoid) menjadi bantalan bagi otak dan medulla

spinalis. Apabila ada perdarahan di ruang yang berisi cairan cesrebrospinal

(perdarahan subaracnoid) sering terjadi di kontusio serebri atau terjadi cedera

pada pembuuluh darah utama di bagiian dasar otak. 1.2


6

Gambar 2 : susunan meninges2

II.1.4 Otak

Otak terdiri dari sebrum, brainstem, dan serebelium. Serebrum sendiri

terdiiri dari hemisfer kiri dan kanan, yang di pisahkan oleh falks cerebri. Pada

bagian hemisfer kiri terdapat pusat berbahasa pada semua oraang right-handed.

Sedangkan lobus frontal mengatur funsi eksekutif, emosii, fungsi motorik, dan

pada sisi yang dominan mengatur pusat bicara. pada lobuus parieta mengatur

tentang fungsii sensoriik dan juga orientasi ruang. Dan pada lobus temporal

adalah yang mengature tentang fungsi memorii tertentu. Pada penglihatan yang

bertanggung jawab adalah lobus oksipital.4

Brainsten terdiri darii midbrain, pons dan juga medulla. Midbrain dan

bagian pons atas mengandung reticular activating system, yang betanggung jawab

terhadap kesadaran. Pusat kardiorespirasi yang vital terdapat pada medulla, yang

berlanjut menjadi medulla spinalis. Bahkan lesi kecil di brainstem dapat

berhubungan dengan defisit neurologis yang sangat sberat. 4

Selain itu serebelum juga bertanggung jawab terutama untuk

mengkoordinasi dan keseimbangan, yang menonjol ke arah posterior di fossa


7

posterior dan membentuk koneksi dengan medulla sinalis, brainstem dan terutama

pada demisfer serebri. 4

Gambar 2 : otak (encephalon) 4

II.1.5 Sistem Ventrikel

Ventrikel adalah salah satu sistem yang terdiri dari ruangan yang berisi

LCS dan aquaduktus di dalam otak. LCS secara terus menerus diprodiksi di dalam

ventriikel dan kemudian dapat diserap kepermukaan otak. Adanya darah dalam

LCS dapat menggagu reabsorbsi LCS. Menyebabkan peningkatan terhadap

tekanan intrakranial. Selain itu edema dan lesi massa juga dapat menyeebabkan

pendorongan vertikal yang harusnya simetris, dan juga dapat secara mudah pada

gambaran CT scan otak. 1,4

II.1.6 Kompartemen Intrakranial

Sekat dari selaput otak membagi otak dalam beberapa ruangan, antara lain

tentorium serebelli membagi ruangan intra-kranial menjadi supratentorial dan


8

infratentoriaal. Midrain melewati suatu lubang yang disebut hiatus tentorium atau

notch. Nervus okulomotorius (N.III) yang berjalan sepanjang dari tepi tentorium

dan juga bisa tertekan apabila terjadi herniasi pada lobus termporal. Sedangkan

pada serabut parasimpatis yang berfungsi melakukan konstruksi pada pupil

terletak di permukaan N.III. Penekanan sebut saraf yang terletak superficial pada

saat herniasi juga dapat menyebabkan dilatasi pupil akibat tidak ada oposisi

terhadap aktifitas saraf simpatis, sering juga di sebut dengan “blown” pupil.1, 4

Pada bagian otak biasanya mengalami herniasi melaluii hiatus

tentorium adalah bagian medial dari lobus temporal yang disebutt jnuga dengan

uncus. Herniasii uncus juga menyebabkan penekanan pada traktuss korti-

kospinalis di miidbrain. Jaras motorik menyilang ke sisi kontralateral sehingga

foramen magnum mengalami penekanan pada setinggi midbrain juga menyebakan

kelemahan pada sisi badan sebelahnya (hemiparesis kontralateral) dilatasi pupil

ipsilateral yang disertai dengan adanya hemiparesis dengan kontralateral adalah

tanda klasik herniasi uncus. Meskipun jaraang lesi massa dapat menekan

midbrain pada sisi yang berlawanan ke tepi tentorium yang menyebabkan

hemiparesis dan dilatasi pupil yang sesisi dengan hematoma. 1, 4

II.2.2. Trauma Kepala

II.2.1. Defenisi

Trauma merupakan suatu keadaan dimana yang disebabkan oleh adanya

luka atau juga cedera. Hal inii yang memberikan gambaran yang superficiial

yang merupakan respon fisik terhadap adanya cedera. Selain itu trauma juga
9

mempunyai dampak psikologis dan sosail. Dan pada kenyataannya trauma

sendiri merupakan kejadian yang bersifat holistic dan juga dapat menyebabkan

hilangnya produktivitas pada seseorang. Kejadian akibat trauma ini sering juga

ditelantarkan sehingga trauma merupakan penyebab kematian yang utama pada

kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia.2

Cedera kepala sendiri adalah cedera yang umum terjadi dan merupakan

penyebab signifikan dari morbilitas. Pada awal cedera kepala dapat terjadi dua

proses yaitu cedera primer encephalon yang dapat melibatkan kerusakan primer

axon dan kerusakan seluler yang dihasilkan akibat gaya deselerasi atau

perlambatan yang merobek dalam jaringan enchepahol. Umumnya pada cedera

kepala encepalon ini sulit untuk diperbaiki. Kerusakan lebih lanjut pada cedera

primer encepalon dapat mengalami perdarahan intracerebral dan cedara

penetrasi. Selain terjadi cedera primer dapat berlanjut menjadi cedera sekunder.

Cedera ini meliputi lacerasi kulit kepala (scalp), patah tulangcalvaria, robeknya

arteriae dan vena intracerebral, edema intracerebral, dan dapat terjadinya

infeksi. 4

II.2.2. Etiologi

Penyebab trauma sendiri diakibatkan oleh benda tajam, benda tumpul atau

bahkan akibat peluruh. Pada luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga yang

dapat dikelompokan sebagai katogori luka tembuss. Pada Cedera akibat trauma

dapat disebabkan oleh adanya tenaga dari luar yang berupa benturan,

perlambatan (deselerasi), dan kompresii akibat benda tumpul, benda tajam,

peluru, ledakan, dan bahkan zat kimia. Trauma pada kecelakaan lalu lintas dapat
10

mengakibatkan terjadinya hiperektensi kepala dengan cedera otak dan tulang

leher. 2,4

II.2.3. Patofisiologi

Patogenesis pada TBI adalah proses kompleks yang dihasilkan dari

cedera primer dan sekunder yang menyebabkan cedera sementara dan dapat

menyebabkan defisit neurologis permanen. Pada defisit primer adalah

berhubungan langsung dengan dampak eksternal utama dari otak. Sedangkan

pada cedera sekunder dapat terjadi dari menit ke hari dari dampak utama dan

terdiri dari molekul, kimia, dan kaskade inflamasi yang bertanggung jawab atas

kerusakan otak yang lebih lanjut. 8

II.2.4. Klasifikasi

Menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) pada tahun 2018,

klasifikasii cedera kepala dibagi berdasarkan morfologi dan beratnya cedera.1

a. Beratnya Cedera

Untuk menilai derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan

meenggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS yaitu merupakan suatu

skala untuk dapat menilai secara kuantitatif pada tingkat kesadaran

seseorang pada kelainan neurologiis yang terjadi. Dalam menilai GCS

terdapat 3 hal yang harus dinilaii yaitu respon membuka mata (eye
11

opening), respon berbicara (verbal respons), dan respon lengan serta

tungkai (motoric respons). 1

Tabel 1. Glasgow Coma Scale1

Deewasa Resspon Bayi dn anak-anak


Respon membuka mata (E)
Spontann 4 Spontan
Dingan perintah 3 Dengan perintah
Dengan rangsang nyeri 2 Dengan rangsang nyeri
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Respon verbal (V)
Orientasinya baik 5 Orientasinya baik
Disorientasi 4 Menangis tetapi dapat
ditenangkan
Kata-kata yang tidak teratur 3 Menangis dan tidak
dapat ditenangkan
Menggumam 2 Menggumam dan agitatif
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Respon motorik (M)
Mengikuti periintah 6 Aktif
Melokalisir dari rangsang 5 Melokalisir dari
nyeri rangsang nyeri
Menghindarai rangsang 4 Menghindarai dri
nnyeri rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensii abnormal 2 Ekstennsi abnormal
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Total skor 15
Scor GCS dengan jumlah kurang dari 8 secara umum disebut sebagaii cedera

kepala beerat atau koma, pada pasien yang dengan skor GCS 9-12 digolongkan

sebagaii cedera kepala sedang, dan pada pasien dengan skor GCS 13-15 disebut

juga sebagai cedera kepala ringan. Bila dalam penilaian kesadaran dengan GCS

didapat asimetris kiri/kanan atau atas/bawah, maka yang dipakai yaitu respon

motorik terbaiik, karena hal ini adalah prediktor outcome yang paliing terpercaya.
12

Namun pada setiap pasien wajib menccatat respons actual dari setiiap

bagian siisi tubuh antara lain wajah, lengan, serta tungkai. 1

Tabel 2 : Klasifikasi Cedera Otak / Cedera Kepala


bbBeratnya - Ringan - Skor GCS 12-15
- Sedang - Skor GCS 9-12
- Berat - Skor GCS 3-8
Morfologinya - Fraktur - Tempurung - Lineear vs stellata
tengkorak - Impresi atau non
impressi
- Terbuka atau
tertutup
- Basis - Dengan atau tanpa
kranii kebocoran LCS
- Dengan atau tanpa
kelumpuhan N.VII
- Lesii - Fokal - Epidural
intrakranial - Subdural
- Intraserebral
- Difus - Konkusio
- Kontusio multiperl
- Cedera hipoksi /
iskemik
Axonal injury
13

b. Morfologi

Cedera kepala terdiri dari fraktur tulang tengkorak dan lesi

intracranial, misalnya terdapat kontusio, hematoma, cedera difus, serta adanya

pembengkakan akibat cedera (edema atau hiperemia). 1

1. Fraktur Tulang Tengkorak

Fraktur tulang tengkorak bisa terjadi pada tempurung kepala atau

bawa tengkorak. Selain itu bisa menyebabkan fraktur linear atau stellata,

dan terbuka atau tertutup. Untuk melihat adanya fraktur pada bawa

tengkorak maka dilakukan CT-scan dengan gambaran bone window.

Gambaran klinis pada fraktur basis kranium yaitu ekimosis periorbital

(raccoon eyes), ekimosis retroaurikuler (battle”s sign), kebocoran LCS

dari hidung (thinorea), telinga (otorrhea), dan gangguan N.VII dan N.VIII

(paralisis otot wajah dan gangguan pendengaran), hal ini terjadi

secepatnya atau beberapa hari setelah trauma. Adanya tanda-tanda tersebut

harus menimbulkan kecurigaan dan membantu dalam mengegakkan

adanya graktur basis kranium. Fraktur yang melewati kanalis karotis dapat

merusak arteri karotis (sideksi, pseudoaneurisma, atau thrombosis), dan

pertimbangkan untuk dilakukan aretriografi (CT angiografi atau dengan

kateterisasi). 1

Keadaan fraktur kranial terbuka terdapat hubungan antara kulit

kepala yang robek dengan permukaan otak akibat robekan fura. Apabila

adanya fraktur kranial janhan dianggap remeh, karena hanya ada gaya
14

yang kuat yang membuat fraktur tengkorak. Apabila ada fraktur linier

pada tempurung kepala dapat meningkatkan kemungkinan adaya

perdarahan intrakranial sebanyak 400 kali. 1

2. Lesi Intrakranial

Lesi pada intracranial ini dapat diklasifikasikan menjadi difus dan

fokal, dan terkadang kedua bentuk ini ada bersamaan. 1

a. Cedera Otak Difus

Pada cedera otak difus mulai darii konkusio ringan hingga

terjadinya cedera akibat iskemik hipoksik berat. Pada konkutio,

penderita dapat mengalamii gangguan pada neurologis nonfokal sesaat

yang dibarengi dengan hilangnnya kesadaran. Pada cedera difus berat

sering disebabkan oleh gangguan hipoksik dan iskemik otak karena

apneu dan syok lama segera setelah trauma terjadi. Pada cedera kepala

difus berat awalnya tampak normal pada pemeriksaan CT-Scan , dan

otak tampak bengkak yang difus, dengan hilangnya gambaran

substansia alba dan nigra yang normal. Gambaran difus lainnya yang

tampak pada cedera kepala akibat kecepatan tinggi atau deslerasi yang

dapat disebabkan perdarahan punktataa (bercak-bercak) diseluruh

hemisfer serebri dan sering terlihat antara perbatasan di substantia alba

dan migra. 1

b. Cedera Otak Fokal


15

Lesi pada fokal dapat meliputi hematoma epidural, hematoma

subdural, kontusio, serta hematoma intraserebral. 1

 Hematoma Epidural

Pada hematoma epidural ini sulit terjadi untuk pasien

dengan kira-kira mencapai 0,5% pada penderita dengaan cedera

otak dan pada 9% penderita cedera kepala yang mengalami koma.

Pada kejadian hematoma epidural yang berbentuk seeperti

bikonveks dan lenticular karena akan menekan dura dari bagian

tabula interna tulang tengkorak. Hematoma epidural selalu terjadi

pada bagian daerah temporal dan juga temporoparietal dan terjadi

karena adanya robekan sinus venosus yang besar dan terjadi juga

perdarahan dari fraktur tulang tengkorak. Selain itu gejala klinis

hematoma epidural yaitu adanya interval lucid diantara waktu

cedera serta gangguan neurologis. 1

 Hematoma Subdural

Pada hematoma subdural yang lebih sering terjadi

dibandingkan dari pada hematoma epidural. Hematoma subdural

paling sering terjadi kira-kira mencapai 30% pada penderita

dengan cedera otak berat. Hematoma subdural sering diakibatkan

karena robekan pada bagian kecil permukaan atau pembuluh darah

di korteks serebri. Pada hematoma subdural ini berlawanan dengan

hematoma epidural yang berbentuk lenticular pada gambaran CT-

scan kepala. Selain itu hematoma subdural lebih sering tampak


16

mengikuti bentuk permukaan otak. kerusakan otak yang menjadi

dasar dari hematoma subdural yang akut lebiih berat dari pada

yang terjadi pada hematoma epidural terjadi karena kerusakan

parenkim pada saat yang bersamaan. 1

 Kontusio dan hematoma intraserebral

Kontusio cerebri paling sering terjadi kira-kira 20% - 30%

dari kejadian cedera otak berat contusio paling sering terjadi pada

lobus frontal dan lobuss temporal. Pada kontusio, dalam waktu

beberapa jam atau beberapa hari bisa menjadi hematoma

intraserebral atau saling bergabung sehingga menimbulkan efek

massa sehingga perlu dikeluarkan dengan tindakan operasi segera.

Hal ini terjadi pada 20% penderita yang datang dengan gambaran

CT-scan kepala kontusio cerebri pada awalnya karena alasan ini

pasien dengan contusio cerebri perlu menjalani CT-scan ulang

untuk mengevaluasi perubahan sederhananya dalam waktu 24 jam

Setelah CT-scan awal. 1

II.2.5. Diagnosis

a. Anamnesis

Dalam melakukan anamnesis pada pasien informasi yang dibutuhkan

antara lain : 3
17

- Identitas pasien terdiri dari nama, umur, suku, agama, pekerjaan,

alamat

- Keluhan uutama

- Mekanisme trauma

- Waktu serta perjalanan trauma

- Pernah mengalami pingsan atau sadar setelah trauma

- Amnesia retrograde atau antegradee

- Keluhannya sepeeti : sseberapa berat nyeri kepalanya, penurunan

keasadaran, kejang atau tidak, dan vertigo

- Riwayat mengkonsumsi minuman keras, alcohol, narkotika, dan

pernah setelah operasi kepala.

- Riwayat penyerta seperti: epilepsi, jantung, asma, Riwayat operasi

kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal

pembekuan darah.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara menginspeksi,

palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta dapat dilakukan pemeriksaan

yang khususs untuk menentukan kelainan patologis, dengan melihat

dari ujung rambut sampai dengan ujung kakii. Dapat dilakukan

pemeriksaan pre organ B1-B6 (Braeth, Blood, Brain, Bowel, Bladder,

Bone). 3 Pada pemeriiksaan fisik yang berkaitan

dengan cedera kepala antara lain sebagai berikut : 3

1. Pemeriksaan kepala
18

Pada pemeriksaan kepala bertujuan mencari tanda-tanda sebagai

berikut : 1,3

- Adanya jejas pada bagian kepala : yang meliputi (adanya

hematomaa sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus,

maupun terdapat benda asiing.

- Tanda adanya patah dasar/bawa tengkorak, terdiri dari ekimosis

periorbita (bill hematoma), ekimosis post aurkular (battle sign),

rhinorhoe, dan adanya otorhoe serta perdarahan di membrane

timpani atau leserasi kanalis auditorius.

- Adanya tanda patah pada tulang wajah sepertti fraktur maxilla

(lefort), frraktur rima orbita, dan juga adanya fraktur

mandiibula.

- Tanda-tanda trauma pada daerah mata sendiri meliputi: adanya

perdarahan konjungtiiva, perdarahan pada bilik mata depan,

kerusakan pupil, dan ditemukan jejas lain di mata.

- Pada pemeriksaan auskultasi pada arteri karotis bertujuan untuk

menentukan adanya bruit yang memiliki hubungan dengan

diseksi karotis.

- Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang

Pada pemeriksaan leher dan tulang belakang bertujuan untuk

mencarii adanya cedera pada tulang servikal, tulang belakang,

dan cedera paada medulla spinaliis. Pada pemeriksaan meliputi

jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomic.


19

c. Pemeriksaan Neurologis

Pasa pemeriksaan status neurologis yang terdiri dari: 1,3

1. Tingkat kesadaran berdasarkan GCS pada cedera kepala dinilai

setelah terjadinya stabilisasi ABC yang dikelompokan sebagai

berikut:

- GCS 13-15 : cedera kepala ringan (COR)

- GCS 9-12 : cedera kepala sedang (COS)

- GCS 3-8 : cedera kepala berat (COB)

2. Saraf kranial, terutama N II dan N III untuk pemriksaan besar dan

bentuk pupil, refleks cahaya, serta adanya tandaa-tanda lesi saraf VII

perifer.

3. Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk mencari tandaa-tanda

edema pupil, perdarahan pre-retina, dan retinal detachment

4. Motoris dan sensoriis untuk mancari tanda laserasi

5. Autonomis mencari bulbocavernousd reflek, cremaster refleks,

spinter reflek, refleks tendon, refleks patologisdan tonus spingter ani.

d. Pemeriksaan fotoo polos kepala

Indikasi pada pemeriksaan foto polos keepala apabila pasien

dengan kehiilangan kesadaran, mengalami amnesia, nyeri kepala

menetap, gejala neurologi fokal, jejas pada kulit kepala, kecurigaan luka

tembus, serta keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung dan

teliinga, dan deformitas tulang kepala yang terlihat atau teraba.

Kesulitan dalam klinis apabila pasien dalam kondisi setelah


20

mengkonsumsi alkohol, intoksikasi obaat, epilepsy, dan anak. Pada

pasien dengan GCS 15, atau tanpa keluhan dan gejala tetapi memiliki

resiko untuk dilakukan pemeriksaan foto polos apabila pasien

mengalami benturan secara langsung atau jatuh pada permukaan yang

keras, dan pesien berusia >50 tahun. 3

e. Pemeriksaan CT Scan

Indikasi pemriksaan CT scan pada pasien dengan cedera kepala

yaitu apabila pasien dengan GCS <13 setelah resusitasi, deterorisasi

neurologis dengan GCS 2 atau lebih, hemiparesis, kejang, nyeri kapala,

muntah yang menetap, terdapat fokal neurologis, terdapat tanda fraktur

atau kecurigaan fraktur, trauma tembus, mengevaluasi pasca operasi,

dan pasiien multitrauma atau trauma signifikan yang lebiih dari satu

organ.1,3

CT-scan juga dipertimbangkan bila penderita mengalami kehilang

kesadaran > 5 menit, amnesia retrograde > 30 menit, mekanisme trauma

yang berbahaya, sakit kepala berat, atau defisit neurologis fokal karena

kelainan di otak. bila hal tersebut diterapkan pada pasiien dengan skor

GCS 13, kira-kira 25% yang akan menunjukkan CT scan dengan

kelainan akibat trauma, dan 1,3% memerlukan tindakan bedah saraf. 1,3

Tabel 3 : Indikasi untuk CT scan pada MTBI1


CT scan kepala dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala ringan
seperti mengalami hilangnya kesadaran, amnesia yang jelas, dan mengalami
disoorientasi padaa pasien dengan skoor GCS 13-15 dan mengalami sallah
saatu dari faktor berikut ini :
Berisiko tinggii untuk dilakukan Resiko sedeang untuk terjadinya
tindakan bedah saraf apabila : cedera kepala untuk dilakukan CT
21

 Skor GCS < 15 setelah 2 jam scan :


pasca traum  Hilangnya kesadaraan (lebih
 Dicurigai adanya fraktur dari 5 menit)
impresi terbuka atau tertutup  Amnesia seebelum kejadian
 Adanya tanda fraktur basis (lebih dari 30 menit)
kranii (hemotimpani, raccon  Mekanisme yang
eyes, rhinore atau otorhe, dan membahayakan (misalnya yg
Battle’s sign) terjadi pada pejalan kaki yang
 Muntah (lebih dari 2 kali) ditabrak oleh kendaraan
 Usai lebih dari 65 tahun. bermotor, penumpang yang
terlempar darii kendaraan, dan
apabila terjatuh lebih dari
ketingggian >3 kaki atau 5
lantai).

II.2.6. Penatalaksanaan

a. Tatalaksana Cedara Kepala Ringang (scor GCS 13-15) 1

TBI minor (MTBI) didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan adanya

riwayat disorientasi, amnesia, dan hilangnya kesadaran sesaat. Pada pasien yang

sadar dan bisa berbicara ini artinya bahwa skor GCS berada antara 13-15. Riwayat

hilangnya kesadaran sesaat suliit untuk dikonfirmasi dan gambaran ini juga sering

dikacaukan dengan pengaruh alkohol atau zat intoxicant lainnya. Namun pada

kondisi kelainan mental ini tidak boleh ditegakkan sebagai faktor penyerta sampai

cedera otak benar-benar disingkirkan. Penanganan pada pasien dengan cedera

otak ringan di jelaskan pada gambar 1 dibawa ini. 1,5


22

Pada pasien cedera otak ringan kebanyakan pasien dapat sembuh tanpa

gejala sisa. kira-kira 3% mengalami gangguan yang tidak diharapkan, potensial

menyebabkan disfungsi neurologis berat kecuali apabila terjadi penurunan status

mental dapat dideteksi sejak dini. 1.5

Secondary survey sangat penting dalam mengevaluasi pasien dengan

MTBI. Selanjutnya perhatikan mekanisme trauma khususnya riwayat hilangnya

kesadaran, meliputi lama hilangnya kesadaran, adanya kejang, dan derajat

kesadaran sebelumnya. Kemudian tentukan durasi amnesia sebelumnya

(retrograde) dan setelah (antrograde) trauma. Pemeriksaan dan pencatatan skor

GCS secara terus menerus sangat penting pada penderita dengan skor GCS <15.1.5
23

ambar 3 : Tatalaksana cedera kepala ringan


24

b. Tatalaksana Ceedara Kepala Sedang (scor GCS 9-12)

Pada cedera kepala sedang kira-kira 15% mengalami cedera kepala

sedang yang dirawat diruang gawat darurat. Pasien masi dapat mengikuti

arahan sederahana tetapi masi tampak bingung atau somnolen dan memiliki

difisit neurologi fokal seperti hemiparesis. Pada pasien cwdera kepala sedang

kurang lebih 10-20% pasein akan mengalami perburukan dan jatuh dalam

keadaan koma sehingga pemeriksaan neurologi sangat perlu dilakukan sebagai

tatalaksana pada pasien dengan cedera kepala sedang. 1

Gambar 4: Tatalaksana cedera kepala sedang 1


25

c. Tatalaksana Cedera Kepaala Berat ( Scor GCS 3-8)

Sekitar 10% pada penderita yang mengalami cedeera kepala yang

dibawa ke gawat darurat mengalami cedera kepalaa berat. Pada pasien dengan

cedera kepala berat tidak akan mampu mengikuti periintah sederhana bahkan

setelah dilakukan stabilisasi kardiopulmunal. Hal ini dapat menunjukan bahwa

yang mempunyai resiko terbesar untuk mengalami morbiditas dan mortalitas.

Tindakan “wait and see” pada pasien dengan cedera kepala berat akan sangat

berbahaya, dan tindakan untuk langsung mendiagnosis dan melakukan

tatalaksana sesegera mungkin. Jangan menunda untuk merujuk pasien hanya

untuk menunggu CT Scan. 1,5

Gambar 5 : Tatalaksana cedera kepala berat. 1


26

d. Tatalaksana Medikamentosa Untuk Cedera Kepalah

Tujuan utama dari protocol di intersive care yaitu untuk menghindari

kerusakan sekunder dari otak yang telah mengalami trauma. Prinsip dasarnya

yaitu bila jaringan saraf yang telah mengalami cedera akan diberikan kondisi

optimal untuk penyembuhan. Mka akan terjadi perbaikan dan akan memperoleh

Kembali fungsi normalnya. Tetapi medikamentosa untuk cedera otak meliputi

cairan intravena. Hiperventilasi temporer, mannitol, salin hipertonik, barbiturate,

dan antikonvultasi. 1,10

1. Cairan Intravena

Cairan intravena, darah dan produk darah harus juga diberikan sesuai

kebutuhan yang dibutuhkan pada saat melakukan resusitasi pada pasien dan

mempertahankan kondisi normovolemi. Hipovolemi pada pasien seperti ini sangat

berbahaya, Karena perhatian juga harus diberikan agar tidak berlebihan dalam

memberikan cairan pada pasien. Cairan hipotonik jangan digunakan. Selanjutnya

pengunaan caiiran yang di dalamnya mengandung glukosa bisa menyebabkan

hiperglikemia, yang telah dibuktikan sangat berbahaya bagi otak yang mengalami

trauma, sehingga disarankan agar menggunakan cairan ringer laktat atau salin

normal untuk resusitasi. Kadar Natrium serum perlu dilakukan dimonitor dengan

seksama pada pasien yang mengalami cedera otak. Hyponatremia berhubungan

dengan edema otak dan harus dihindari. 1


27

2. Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi

bekerja dengan menurunkan PaCO2 dan menyebabkan vasokontriksi serebral.

Hiperventilasi yang agresif dan terlalu lama bisa juga menyebabkan iskemia

serebral pada otak yang telah mengalami cedera karena menyebabkan

vasokontruksi serebral yang berat sehingga menggangu perfusi serebral itu

sendiri. Hal ini terjadi bila PaCO2 dibiarkan turun di bawa 30 mmHg (4.0kPa)

namun, hiperkarbia (PCO2 > 45 mmHg) bisa membat vasodilatasi dan

meningkatkan tekanan intracranial, dan hal ini juga harus dihindari. 1,10

Hiperventilasi sebaiknya hanya digunakan secara mederat dan dalam

jangka waktu tertentu saja. Secara umum, diharapkan untuk membuat PaCO2

pada kisaran 35 mmHg (4,7kPa) pada batas bawa mulai dari kisaran (35 mmHg

sampai 45 mmHg). Hiperventilasi (PaCO2 sampai 30 mmHg) [3,3 sampai 4,7

kPa]) dalam waktu yang singkat mungkin diperlukan pada perburukan neutrologis

yang akut sambil menunggu terapi lainnya yang diberikan. Ghiperventilasi akan

menurunkan TIK pada pasien yang keadaanya memburuk akibat hematoma

intracranial yang membesar sambil menunggu Tindakan kraniatomi segera

dilakukan. 1

3. Manitol

Manitol ini dugunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan

yang dipakai biasannya dengan cairan 20% (20 g manitol per 100 ml pelarut).

Manitol sendiri tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipotensi, karena
28

mannitol tidak menurunkan TIK dalam keadaan hipovolomia dan merupakan

diuretik osmotik kuat. Hal ini selanjutnya akan memperberat hipotensi dan

iskemia serebral. Dteriorasi neurologis akut, yang ditandai dengan adanya dilatasi

pupil, hemiparesis, atau hilannya kesadaran pada saat pasien dobservasi, itu

adalah indikasi kuat untuk pemberian manitol pada penderita yang euvolomia.

Pada kadaan ini, bolus manitol (1g/kg) diberikan dengan cepat (dalam 5 menit )

dan pasien dengan segera dibawa ke ruangan CT scan atau bahkan langsung ke

ruangan operasi bila penyebabnya suda diketahui. 1,10

4. Cairan salin hipertonis (nacl)

Salin hipertonis bisa juga digunakan untuk mengurangi peningkatan TIK.

Yang digunakan berupa larutan dengan konsistensi 3% sampai 23,4%, dan ini

merupakan obat yang lebih baik dipakai pada penderita dengan hipotensi, karenan

tidak bekerja sebagai diuretic namun, tidak ada juga perbedaan antara manitol dan

salin hipertonis dalam menurunkan TIK, keduannya juga tidak perna menurunkan

TIK secara adekuat pada pasien yang mengalami hipovolemik1,10

5. Barbiturat

Barbiturate sendiri merupakan barbiturate efektik dalam menurunkan TIK

yang refrakter terhadap cara lain. Jangan diberikan bila ada indikasi hipotensi atau

hypovolemia bahkan, hipotensi akan terjadi karena penggunaan barbeturat. Maka

dari itu, barbiturat tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh

kebanyakan golongan barbiturat yang Panjang sendiri akan memperlama waktu

untuk menentukan brain death, ini merupakan suatu hal yang patut
29

dipertimbangkan pada pasien yang kondisinya sangat berat dan memiliki trauma

yang kemungkinannya untuk tingkat selamatnya sangat kecil. 1,10

6. Ani ikonvulsan

Epilepsi setelah trauma terjadi kira-kira 5% pasien yang dirawat dirumah

sakit dengan cedera kepala tertutup dan 15% untuk pasien dengan cedera kepala

berat. Tiga factor utama yang berhubungan dengan tingginya insiden epilesi

antara lain kejang yang terjadi dalam minggu pertama, hematoma intracranial, dan

fraktur impresi. Pada Kejang akut dapat dikendalikan dengan antikonvulsan,

tetapi penggunaan antikonvulsan secara dini tidak mengubah outcome jangka

Panjang kejang karena trauma. Anti kejang juga dapat mencegah perbaikan otak,

sehingga hanya dipakai bila benar-benar dibutuhkan saat ini, fenitoin dan

fosfenitoin merupakan obat biasa dipakai dalam fase akut. pada dewasa, loading

dose yang biasa diberikan yaitu 1 g fenitoin diberikan secara intravena pada

kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit. Pada dosis rumatan yang bias dipakai

adalah 100 g/ 8jam, dimana dosis tersebut dititrasi sampai mencapai kadar

terapeutik yanfg terdapat dalam serum. Diazepam atau lorazepam sering

digunakan sebagai tambahan terhadap fentoin sampai kerjang berhenti. Untuk

menghentikan kejang yang bertkelanjutan nanti mungkin memerlukan anestesi

umum. Akan sangat menguntungkan bila kejang akut bisa dikontrol secepat

mungkin, karena kejang yang begitu lama (30 sampai 60 menit) bisa

menyebabkan cedera otak sekunder.1,10


30

II.2.7. Komplikasi

a. Edeema pulmonal

Komplikasi yang sering terjadi pada cedar kepala adalah edema paru.

Hal ini dapat berasal darii gangguan pada neurologiis dan akibat terjadinya

sindrom distress pada pernafasan dewasa. Edema paru terjadi juga akibat

refleks cushiing/perlindungan agar dapat mempertahankan terjadinya tekanan

perfusi dalam keadaan konstan. Saat pada tekanan iintrakranial yang

meningkat dapat terjadi tekanan darah sistematik yang meningkat untuk

mempertahankan aliran darah ke otak. Bila keadaan pasien semakin kritis,

denyut naadi menurun (bradikardi) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang,

maka tekanan darah semakin meniingkat. Hal tersebut membuat hipotensi

yang akan memmperburuk keadan, sehingga harrus segera diipertahankan

tekanan perfusii paling rendah 70 mmHg, dan kemudian membuutuhkan lagi

tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita cedera kepala. Selain itu

peniingkatan vasokontriksi tubuh umumnya menyebabkan lebih banyak darah

dialirkan ke paru yang perubahannya permiabilitas pembulu darah paruu

berperan pada proses berpindahnya cairan ke bagian alveolus. Keruusakan

difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan

TIK yang leebih lanjut 6

b. Kejang

Pada kejang dapat terjadii kira-kira mencapai 10% dari pasien ceedera

ootak akut selama pada fase akut. Selama pasien mengalami kejjang segera

mungkin memfokuskan upaya untuk meempertahankan jalan nnafas dan


31

menceegah akan terjadinya cedera lanjut. Salah satu tindakan medis untuk

mengatasi kejang adalah dengan pemberiian obat diazepam yang dimana obat

diazepam ini meruupakan obat yang paling sering digunakan dan diberikan

kepada pasien secara perlahan melalui iintavena.

c. Keebocoran cairan serebrospinal

Akibat terjadinya fraktur pada daerah fosssa anterior yang dekat siinus

frontal atau akibat darii terjadinya fraktur tengkorak basiilar yang akan

merobek meninges, sehingga dapat menyebakan caiiran serebrospinal yang

akan keluar.

d. Infeksi

Infeksi dapat terjadi apabila frekuensii tengkorak atau terjadinya luka

terbuka sampai merobek mmembran (meningen) yang dapat menyebabkan

kuman dengan mudah ,masuk. Hal inilah dapat berbahaya karena adanya

infeksi yang memliki potensial untuk dapat menyebarkan ke sistem saraf

yang lain.

II.2.8. Prognosis

Semua pasien trauma kepala harus ditangani secara cepat sambal

menuggu konsultasi dengan ahli bedah saraf. Hal ini terutama penting untuk

anak-anak yang mempunyai kemampuan besar untuk pulih setelah cedera

yang kelihatannya sangat berat.


32
BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala atau trauma kepala merupakan suatu trauma yang secara

langsung dan tidak langsung mengenai struktur bagian kepala baik pada kulit

kepala, tulang tengkorak, jaringan otak dan kombinasi dari masing-masing bagian

tersebut sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan gangguan

fungsional pada jaringan otak. Tanda-tanda atau gejala klinis pada pasien cedera

kepala yaitu adanya penurunan kesadaran, nyeri kepala yang menetap atau

berkepanjangan, adanya mual dan atau muntah proyektil, perubahan ukuran pupil

(anisokor), serta adanya gangguan kardiorespiratorik. Untuk menilaian derajat

beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS).

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Advance Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. Edisi 10. Jakarta:

IKABI, 2018. 105-115 p.

2. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4.

Jakarta:EGC,2010. 118-123(1).

3. Wahyuhadi J, Faris M, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim

Neurotrauma RSUD dr. Soetoma. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga. Surabaya:Neuroscience;2014. 8-12 p.

4. Drake RL, Vogl W MA. Basic Grays Anatomy. Vol. 59, Philadelphia;

ELSEVIER; 2021. 140–3 p.

5. Apriawan T, Adji NK,ddk. Buku Saku Penanganan Cedera Kepala:

Penanganan terkini cedera kepala 2014. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga Surabaya; Neuroscience;2014. 8-17 p.

6. Wells, A. J. and Hutchinson, P. J. (2018) ‘The management of traumatic brain

injury’, Surgery (United Kingdom). Elsevier Inc, 36(11), pp. 613–620. doi:

10.1016/j.mpsur.2018.09.007

7. Guyton, A. C., Hall, J. E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta:

EGC, 2014.

8. Dawodu, S. T., et al. Traumatic Brain Injury (TBI) - Definition,

Epidemiology, Pathophysiology. 2019. P 109-112.

9. Galgano, M. et al. (2017) ‘Traumatic Brain Injury: Current Treatment

Strategies and Future Endeavors.’, Cell transplantation. SAGE Publications,

26(7), pp. 31 1118–1130. doi: 10.1177/0963689717714102.

34
10. Vella, M. A., Crandall, M. L. and Patel, M. B. (2017) ‘Acute Management of

Traumatic Brain Injury.’, The Surgical clinics of North America. NIH Public

Access, 97(5), pp. 1015–1030. doi: 10.1016/j.suc.2017.06.003

35

Anda mungkin juga menyukai