Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

EPIDURAL HEMATOMA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit
Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

M.Hafidz Al-Qadri
2207501010041

Pembimbing:

dr. Sri Hastuti, Sp.S(K)

BAGIAN/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan Laporan kasus ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpah ke
haribaan Nabi Muhammad SAW yang telah membuka wawasan umat manusia dari
jaman jahiliyah ke jaman islamiyah yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
yang kita rasakan saat ini. Adapun Laporan kasus ini berjudul “Epidural
Hematoma” sebagai salah satu tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Neurologi RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah
Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada dr. Sri Hastuti, Sp.S(K) yang telah meluangkan waktunya untuk memberi
arahan, bantuan dan bimbingan serta motivasi dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis
menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, baik dari segala penyajian, bahasa maupun dari segi materi. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari berbagai pihak, sehingga memberikan suatu
informasi yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, Desember 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................3
DAFTAR ISI...................................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................6
2.1 Defisini Epidural Hematoma......................................................................................6
2.2 Epidemiologi epidural hematoma...............................................................................6
2.3 Etiologi epidural hematoma......................................................................................7
2.4 Patomekanisme Epidural Hematoma.........................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis.....................................................................................................10
2.6 Diagnosis..................................................................................................................11
2.7 Tatalaksana perdarahan epidural.............................................................................15
2.8 Komplikasi dan Prognosis.......................................................................................20
3.1 Identitas Pasien.........................................................................................................21
BAB III LAPORAN KASUS.......................................................................................................21
3.2 Anamnesis................................................................................................................21
3.3 Pemeriksaan Fisik...................................................................................................22
3.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................................................29
3.5 Diagnosa...................................................................................................................32
3.6 Tata Laksana.............................................................................................................32
3.7 Prognosis..................................................................................................................33
BAB IV ANALISA KASUS........................................................................................................34
BAB V KESIMPULAN................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................37

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat di
atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan
dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal.Di antara kuliat dan
galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mengandung
pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan
vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi
kulit kepala.(1)
Definisi cedera kepala menurut Brain Injury association of America adalah kerusakan
pada kepala yang bukan kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau merubah kesadaran yang
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Cedera kepala merupakan
penyebab kematian dari hampir setengah seluruh kasus trauma.(2)
Perdarahan epidural adalah berkumpulnya darah pada ruang diantara dura mater, yang
adalah suatu kesatuan dengan periosteum cranial, serta tabula interna
tengkorak.Perdarahan tersebut dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan bila tidak didiagnosa dan ditangani dengan segera. EDH adalah salah satu
diagnosis kegawatan bedah saraf yang ditemui pada 2.7-4% dari semua penderita cedera
kepala. EDH paling banyak ditemui pada pasien berusia 20-30 tahun, dan langka dijumpai
pada pasien berusia lebih tua dari 50 tahun. Tingkat mortalitas yang disebabkan oleh EDH
berkisar antara 10-40%, tergantung pada kesiagaan dan efisiensi dari penanganan gawat
darurat pada rumah sakit masing-masing.(3)
Cedera kepala mempunyai angka kejadian yang relatif tinggi. Data pasien trauma
kepala akibat kecelakaan maupun akibat tindak kekerasan yang dibawa ke Instalasi Gawat
Darurat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Amerika tiap tahunnya didapatkan
1.500.000 kasus cedera kepala, sekitar 50.000 meninggal, dan 80.000 mengalami
kecacatan. Saat ini terdapat sekitar 5.300.000 warga Amerika yang mengalami cacat
permanen karena kasus cedera kepala. Berdasarkan data, 2% dari seluruh kasus cedera
kepala adalah epidural hematoma (EDH), dan sekitar 5-15% pada pasien dengan cedera
5
kepala berat adalahEDH.(1)

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defisini Epidural Hematoma

Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater. Hematoma epidural
merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal
akibat robekan arteria meningea media.(4)
Perdarahan epidural adalah berkumpulnya darah pada ruang diantara dura mater,
yang adalah suatu kesatuan dengan periosteum cranial, serta tabula interna
tengkorak.Perdarahan tersebut dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan bila tidak didiagnosa dan ditangani dengan segera. EDH adalah salah satu
diagnosis kegawatan bedah saraf yang ditemui pada 2.7-4% dari semua penderita cedera
kepala. EDH paling banyak ditemui pada pasien berusia 20-30 tahun, dan langka dijumpai
pada pasien berusia lebih tua dari 50 tahun. Tingkat mortalitas yang disebabkan oleh EDH
berkisar antara 10-40%, tergantung pada kesiagaan dan efisiensi dari penanganan gawat
darurat pada rumah sakit masing-masing.(3)

2.2 Epidemiologi epidural hematoma


Epidural hematoma terjadi pada 2% dari semua cedera kepala dan hingga
15% dari semua trauma kepala yang fatal. Pria lebih sering terkena daripada wanita.
Selain itu, kejadiannya lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa muda. Usia rata-
rata pasien yang terkena dampak adalah 20 sampai 30 tahun, dan itu jarang terjadi
setelah usia 50 sampai 60 tahun. Seiring bertambahnya usia seseorang, dura mater
menjadi lebih melekat pada tulang di atasnya. Hal ini mengurangi kemungkinan
berkembangnya hematoma di ruang antara tengkorak dan dura.(5)
Dalam beberapa penilitian menunjukkan bahwa SDH lebih sering terjadi dari
pada EDH dengan rasio perbandingan 5:1, dimana EDH lebih sering terjadi pada
usia 18-30 tahun, dengan rata-rata kesembuhan nya lebih tinggi dari pada SDH.(6)

2.3 Etiologi epidural hematoma

7
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan
pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma kapitis, tengkorak retak.
Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus
melukai jaringan otak (laserasio). Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika
pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang
antara duramater dan tengkorak.(7)

Gambar 1. Mekanisme cedera kepala

Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bias menarik dan memutuskan
vena-vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi
tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer. Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat
linear. Maka dari itu lesilesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di
namakan lesi kontusio “contercoup”.(7)

8
2.4 Patomekanisme Epidural Hematoma

Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,


kedalam rongga subdural (hemoragik subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragik ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural,
perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater. Perdarahan ini lebih sering
terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan
ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom
pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.(5)
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal. Penyebab
utamanya adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang paling ringan adalah
fraktur linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa
bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke
dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio). Perdarahan epidural yang terjadi ketika pembuluh darah ruptur biasanya
arteri meningea media kemudian darah mengalir ke dalam ruang potensial antara
duramater dan tulang kranium sedangkan pada perdarahan subdural terjadi akibat trauma
kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein
yang terjadi dalam ruangan subdural.(6)
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak-
anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri maupun
vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis atau tertunda
dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan atau hematom
tidak melewati suture line karena duramater melekat ketat, hanya pada sebagian kecil
kasus yang sedikit melewati suture line. (3)
Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat dalam
cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada cedera
oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. Perdarahan epidural
intrakranial bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus perdarahan epidural akut pada
orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan epidural pada

9
fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus perdarahan epidural. (4)
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor,
seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat
berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati,
trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya
terlibat, meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal
atau lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi terbatas pada beberapa tingkat
vertebra. (4)
Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi
menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada
kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan
gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru lahir dapat
terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir.
Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya adalah obat antikoagulan, agen
trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural, koagulopati, penyakit hepar dengan
hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik malformasi vascular, herniasi diskus,
penyakit paget pada tulang, valsava manuever. Gangguan sinus venosus dura (sinus
transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural di fossa
posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan
epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah
venous lakes, dipoic veins, granulatio arachnoid dan sinus petrosus. (4)

Gambar 2.perdarahan epidural dan perdarahan


10 subdural
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini sering kali tampak memar disekitar
mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam
akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak :
1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan dari hidung dan telinga
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat
Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma yang
sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan bukti eksternal
cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala, cephalohematoma atau kontusio.
Cedera sistemik juga dapat muncul. Berdasarkan gaya benturan pasien bisa saja tetap
sadar, terjadi hilang kesadaran singkat atau kehilangan kesadaran berkelanjutan.(4,5)
Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan epidural. Hal
ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-lepas menyebabkan
cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat lalu kesadaran pulih kembali.
Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa
perdarahan epidural menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehinggal mulai
terjadi penurunan tingkat kesadaran yang progresif dan sindroma herniasi. Interval lucid
bergantung pada luasnya cedera dan merupakan kunci penting diagnosis perdarahan
epidural intrakranial. (4,5)
Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan tingkat

11
kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di
sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam
akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak: penurunan kesadaran , bisa sampai koma; bingung; penglihatan
kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar cairan dari hidung dan telingah;
mual, pusing dan berkeringat. Pada hipertensi intrakranial berat, respon Cushing
mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan
depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali
karena batang otak mengkompensasi peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti
hipertensi selama ini mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel.
Evakuasi lesi massa mengurangi respon Cushing.(1,4,5)
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran, aktivitas
motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, parese nervus
kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting
dalam menilai kondisi klinis terkini karena berhubungan dengan keluaran klinis akhir.
Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena pronator drift mungkin membantu
dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan
teregang keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek
massa. (4,5)
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran klinis
pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal yang terlibat.
Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan ekstrimitas (unilateral
atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia radikular (unilateral atau bilateral),
gangguan refleks tendon dalam, gangguan tonus sfingter kandung kemih atau anal. (4,5)

2.6 Diagnosis
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran
klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
2.6.1 Gambaran klinis perdarahan epidural
Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma yang

12
sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan bukti eksternal
cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala, cephalohematoma atau kontusio.
Cedera sistemik juga dapat muncul. Berdasarkan gaya benturan pasien bisa saja tetap
sadar, terjadi hilang kesadaran singkat atau kehilangan kesadaran berkelanjutan.(4,5)
Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan epidural. Hal
ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-lepas menyebabkan
cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat lalu kesadaran pulih kembali.
Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa
perdarahan epidural menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehinggal mulai
terjadi penurunan tingkat kesadaran yang progresif dan sindroma herniasi. Interval lucid
bergantung pada luasnya cedera dan merupakan kunci penting diagnosis perdarahan
epidural intrakranial. (4,5)
Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan tingkat
kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di
sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam
akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak: penurunan kesadaran , bisa sampai koma; bingung; penglihatan
kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar cairan dari hidung dan telingah;
mual, pusing dan berkeringat. Pada hipertensi intrakranial berat, respon Cushing
mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan
depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali
karena batang otak mengkompensasi peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti
hipertensi selama ini mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel.
Evakuasi lesi massa mengurangi respon Cushing.(1,4,5)
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran, aktivitas
motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, parese nervus
kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting
dalam menilai kondisi klinis terkini karena berhubungan dengan keluaran klinis akhir.
Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena pronator drift mungkin membantu
dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan
teregang keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek
13
massa. (4,5)
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran klinis
pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal yang terlibat.
Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan ekstrimitas (unilateral
atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia radikular (unilateral atau bilateral),
gangguan refleks tendon dalam, gangguan tonus sfingter kandung kemih atau anal. (4,5)
2.6.2 Pencitraan Perdarahan Epidural
Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan penilaian
perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi yang mengalami
trauma untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea
media.(5,6)

Gambar 3. Fraktur temporoparietal yang berakibat perdarahan epidural

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi
dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stadium yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
14
adanya peregangan dari pembuluh darah. Pada perdarahan epidural di spinal dapat
dikerjakan CT myelografi terutama pada yang tidak memungkinkan atau kontraindikasi
dikerjakan MRI. (5,6)

Gambar 4. Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra (A,B),


nampak garis fraktur (C, anak panah)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI
kepala juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu
jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada perdarahan epidural
spinal MRI penting untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami perdarahan. (1,5,6)

Gambar 5. T1 MRI kepala potongan koronal, didapatkan gambaran perdarahan


epidural di daerah vertex

15
Gambar 6. Perdarahan epidural di spinal

2.6.3 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit terkait
perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi untuk
menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah juga
perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik perdarahan
epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat.(1,5,6)

2.7 Tatalaksana perdarahan epidural


Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan tatalaksana
khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan terapi operatif. (6,7)
2.7.1 Tatalaksana umum

16
Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari penyakit itu
sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah untuk memulai
sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit, dengan perhatian jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat pasien
segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh, dimulai dengam inspeksi fraktur,
evaluasi mekanisme cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun
daerah spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis. (6,7)
Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di
departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi. Hipotermia saat
awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya suhu tubuh inti harus
dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi. Resusitasi volume agresif untuk
hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah fokus utama dalam upaya resusitasi awal.
Resusitasi pra-rumah sakit dengan hipertonik salin pada trauma kepala gagal
menunjukkan manfaat jangka panjang, Pada sebuah analisis post-hoc cairan “Saline vs
Albumin” , resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan tingkat kematian lebih tinggi
daripada yang resusitasi dengan garam. Oleh karena itu, administrasi kristaloid isotonik
adalah metode yang disukai untuk resusitasi volume. (6,7)
Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik dan
menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk mendapatkan SpO2 >
90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk menyadari langkah-langkah yang
sederhana seperti elevasi kepala tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat untuk
mencegah penekanan vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan sedasi
merupakan metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi tekanan
intrakranial (ICP). (6,7)
2.7.2 Tatalaksana Khusus
2.7.2.1 Terapi Medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi yang telah
ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas dengan memastikan tidak
ada lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : gunakan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.(6,7)
17
2. Mengurangi tekanan intrakranial
Beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengurangi tekanan intrakranial:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg
dan paCO2 diantara 25-30 mmHg. (7)
b. Cairan hiperosmoler.
Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik dari
jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu melalui
diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% 0,25-1g/KgBB
diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil dengan baik jika
sawar darah otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa
jam atau keesokan harinya. Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol
seperti gagal jantung, gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi. (7)
Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin
merupakan agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan terapi
manitol atau pada individu yang telah menjadi toleran terhadap manitol. Namun
pada studi terbaru ternyata hipertonik salin merupakan sebagai pengukur utama
untuk mengontrol tekanan intrakranial. Hipertonik saline bertujuan untuk
meningkatkan natrium serum dan osmolalitas, sehingga membentuk gradien
osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari ruang intraseluler dan interstitial
otak ke kapiler sehingga menurunkan tekanan intrakranial. Meskipun cara kerja
mirip dengan manitol, natrium klorida memiliki koefisien refleksi yang lebih
baik (1.0) dibandingkan manitol (0,9) dan membuatnya menjadi zat osmotik
yang lebih baik selain itu juga dapat menormalkan potensial istirahat pada
membrane dan volume sel dengan mengembalikan keseimbangan elektrolit
intraseluler pada sel yang rusak. Dosis hipertonik salin dan administrasinya
sangat bervariasi, bolus berkisar antara 30 mL 23,4% NaCl dan 150 mL 3%
18
NaCl, sedangkan yang lain telah menganjurkan penggunaan infus kontinu baik
2% atau 3% NaCl hingga mencapai tujuan Na serum 150 mmol / L. (7)
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar
darah otak. Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4x4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan
dengan dosis 6x15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6x10 mg. (7)
d. Barbiturat.
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara
ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
e. Hipotermia
Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada pasien yang
inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern untuk
memodulasi suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin digunakan.
Karena tekanan intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh inti, setiap
penurunan suhu kurang dari 37 ° C akan menurunkan tekanan intrakranial
mengakibatkan pengurangan ICP namun terapi ini umumnya ditargetkan untuk
mendapatkan suhu inti tubuh yang lebih rendah yaitu 32oC sampai 34°C. Risiko
komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung durasi terapi, tingkat
komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih dari 72 jam. Hipotermia
juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan risiko pendarahan tapi saat ini
belum ada peningkatan yang signifikan kejadian perdarahan intrakranial karena
hipotermia pada banyak Randomized Controlled Trial (RCT). (7)
3. Terapi tambahan lain
Pasien dengan trauma kepala pasti mengalami nyeri kepala baik oleh karena
19
trauma jaringan peka nyeri maupun karena peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri
harus segera diatasi karena menahan rasa nyeri dapat memberat peningkatan tekanan
intrakranial. Transfusi dapat dikerjakan pada anemia karena kehilangan darah akibat
trauma dengan target Hb 10g/dL. Antikonvulsan dapat diberikan bila ada gejala klinis
kejang, tidak diberikan sebagai profilaksis. (7)
Pemakaian ventilator ditujukan untuk pengaturan kadar CO2 yang memiliki
dampak signifikan pada aliran darah otak (CBF) dan mengontrol volume intrakranial
dan tekanan intrakranial. Pada hiperventilasi ringan, peningkatan ekstrasi oksigen
ekstraksi dapat mengkompensasi penurunan aliran darah dan volume, sehingga
metabolisme sel yang normal dapat tetap berlangsung. Namun, hiperventilasi
berkepanjangan dapat meningkatkan asidosis metabolik sedangkan pada hiperventilasi
jangka pendek dapat menurunkan kadar CO2 di pembuluh darah otak yang
menyebabkan peningkatan pH sehingga mengurangi efek merugikan dari asidosis.
Proses ini tergantung pada ketersediaan bikarbonat dalam cairan serebrospinal.
Hiperventilasi berkepanjangan dapat menguras kadar bikarbonat yang dapat
menyebabkan iskemia dan memperburuk keluaran klinis. (7)
2.7.2.2 Terapi Bedah
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang disarankan
Bullock dkk tahun 2006 yaitu :
-Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman >1
cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Tindakan bedah yang dikerjakan dapat berupa kraniotomi dekompresif maupun prosedur
dengan minimal invasif seperti burr hole dengan drainase tekanan negatif. (1,9)
Perdarahan epidural di spinal spontan maupun traumatik umumnya dikerjakan
laminektomi dekompresi dan evakuasi hematom melalui segmen dorsal. Menurut
beberapa ahli time window terbaik untuk mengerjakan tindakan operatif maksimal 48
20
jam setelah onset yang diharapkan dapat memberikan keluaran klinis yang optimal. Pada
beberapa kasus yang cukup jarang perdarahan epidural spinal dapat membaik dengan
terapi konservatif seperti trauma medulla spinalis yaitu dengan pemberian steroid dosis
tinggi.(10,11)

2.8 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial adalah
defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan kortikal
(biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk postconccusion
syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness, emosi yang labil dan
kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelelahan. Sedangkan komplikasi pada
perdarahan epidural di spinal umumnya adalah spastisitas, nyeri neuropatik dan
komplikasi pada sistem berkemih. (1)
Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia, kesadaran
awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda antara saat trauma dan
intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di spinal prognosis tergantung pada
keterlibatan medulla spinalis. (1)

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. L
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Lueng Bata
Suku : Aceh
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
No CM : 1-32-61-97
Tanggal Masuk Rawatan : 17 Desember 2022
Tanggal Periksa di Ruangan : 18 Desember 2022

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dengan keluhan nyeri kepala setelah terjatuh dari sepeda motor sejak 4 jam
SMRS, nyeri dirasakan menjaral sampai kepala bagian belakang, nyeri sedang berat.
Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor bertabrakan dengan pengendara
sepeda motor lainnya kemudian pasien terjatuh dengan kepala membentur aspal.
Pasien tidak menggunakan helm. Setelah terjatuh pasien langsung tidak sadarkan diri
selama 45 menit dan sadar kembali saat di rumah sakit daerah. Muntah menyemprot
dialami pasien sebanyak 2 kali. Pasien tidak ingat kejadian. Terdapat perdarahan aktif
dari telinga kiri. Tidak ada perdarahan dari mulut dan hidung, tidak ada kejang dan
kelemahan anggota gerak. Tidak ada demam, batuk, dan sesak nafas
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada

22
Riwayat Penggunaan Obat-obatan:
Pasien memilik riwayat penggunaan obat-obatan
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit bawaan.
Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan Sosial:
Kebiasaan minum alkohol (-), NAPZA (-). Pasien bekerja sebagai Ibu rumah
tangga dan sehari-hari aktivitas ringan-sedang.

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Generalisata


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 121/70 mmHg
Nadi : 72 kali/ menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 0C
SpO2 : 99%
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 50 kg
IMT : 22.2 ( Interpretasi: normal)
b. Kulit
Warna : Kecoklatan
Turgor : Normal
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedema : Tidak ada
Anemia : Tidak ada

23
c. Kepala
Ekspresi wajah : Tampak sakit sedang
Rambut : Hitam
Bentuk : Normocephali
d. Mata
Konjungtiva : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kedudukan bolamata:
Ortoforia/ortoforia
Pupil : Bulat ,  3mm/Sulit dinilai.
Palpebra : Tidak tampak udema
e. Telinga
Selaput pendengaran: Tidak dinilai
Penyumbatan : -/-
Serumen : Minimal/minimal
Perdarahan : -/+
Cairan : -/-
Lubang : Lapang/lapang
f. Hidung
Deviasi septum : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
g. Mulut
Bibir : Simetris
Lidah : Dalam batas normal
Tonsil : Hiperemis (-/-), T1 – T1
Faring : Hiperemis (-)
h. Leher
Trakhea : Terletak ditengah
Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar
Kaku : Tidak ada

24
i. Thoraks
Bentuk : Simetris
- Paru – Paru

Pemeriksaan Depan Belakang


Inspeksi Kiri Simetris Simetris
Kanan Simetris Simetris
Palpasi Kiri Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Kanan Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Kiri Sonor Sonor
Kanan Sonor Sonor
Auskultasi Kiri - Nafas utama : vesikuler - Nafas utama : vesikuler
- Nafas tambahan : - Nafas tambahan :
Wheezing (-), Ronki (-) Wheezing (-), Ronki
(-)
Kanan - Nafas utama : vesikuler - Nafas utama : vesikuler
- Nafas tambahan : - Nafas tambahan :
Wheezing (-), Ronki (-) Wheezing (-), Ronki
(-)

- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V Linea midclavikularis sinistra
Perkusi : Batas Jantung
Batas atas : ICS III
Batas kiri : ICS V Linea Mid Clavikula Sinistra
Batas kanan : ICS IV Linea Para Sternal Dextra
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, Gallop (-), Murmur (-)

- Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor (-), vena collateral (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Pembesaran hati (-), Pembesaran Limpa
(-) Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen
Auskultasi : Peristalik 6x/menit kesan normal

j. Tulang Belakang : Nyeri tekan os vertebrae (-)

k. Ekstremitas

25
Superior Inferior
Pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis Negatif Negatif Negatif Negatif
Edema Negatif Negatif Negatif Negatif

i. Kelenjar Getah Bening


Pre-aurikuler : Tidak teraba membesar
Post-aurikuler : Tidak teraba membesar
Sub-mandibula : Tidak teraba membesar
Supra-clavicula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar

3.3.2 Status Neurologis


Kesadaran : E4M6V5
Pupil : Bulat  3mm/Sulit dinilai
Refleks Cahaya Langsung : +/-
Refleks Cahaya Tidak Langsung : Tidak dapat dinilai
Tanda Rangsang Meningeal : -/-
- Laseque : Negatif
- Kernig : Negatif
- Kaku kuduk : Negatif
- Brudzinski I : Negatif
- Brudzinski II : Negatif

26
3.3.3 Nervus Kranialis
Kelompok Sensoris :
1. Nervus I (fungsi penciuman) Dalam batas normal
2. Nervus II
- Tajam penglihatan Tidak dilakukan
- Lapangan pandang Dalam batas normal
- Fundus okuli Tidak dilakukan
- Pengenalan warna Dalam batas normal
3. Nervus V (fungsi sensoris wajah) Dalam batas normal

4. Nervus VII (fungsi pengecapan 2/3 anterior) Tidak dilakukan


5. Nervus VIII (fungsi pendengaran dan keseimbangan) Pendengaran telinga kiri
berkurang
6. Nervus IX (pengecapan 1/3 posterior lidah) Tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Nervus Okulomotorik, Trochlearis, Abduscens)


Jenis pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Pupil  3mm Sulit dinilai
Nistagmus Negatif Negatif
Pergerakan bola mata Normal Normal
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Reflek cahaya langsung Positif Sulit dinilai
Reflek cahaya tidak langsung Tidak bisa dinilai Tidak bisa dinilai
Diplopia Negatif Negatif
Strabismus Negatif Negatif
Ptosis Negatif Negatif

N.V (Nervus Trigeminus)


Jenis pemeriksaan Kanan Kiri
Membuka mulut + +
Menggerakan rahang + +
Oftalmikus + +
Maxillaris + +
Mandibularis + +

N. VII (Nervus Fasialis)


Jenis pemeriksaan Kanan Kiri
Mengerutkan dahi (+) (+)
Menutup mata (dengan tahanan pemeriksa) (+) (+)
Menggembungkan pipi (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)

27
N. VIII (Nervus Vestibulokoklearis)
Jenis pemeriksaan Kanan Kiri
Tes pendengaran Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes keseimbangan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

N. IX & X (Nervus Vagus)


Bicara Normal
Refleks Menelan Normal
Refleks Muntah Tidak dilakukan

N. XI (Nervus Assesorius)
Mengangkat bahu Normal
Menoleh Normal

N. XII (Nervus Hipoglosus)


Pergerakan Lidah Normal

Disartria Tidak ada

3.3.4 Motorik
Sistem Motorik Tubuh
Ekstremitas Superior Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Atrofi Otot Tidak ada Tidak ada
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan Otot 5555 5555
Edema Tidak ada Tidak ada

Sistem Motorik Tubuh


Ekstremitas Inferior Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Atrofi Otot Tidak ada Tidak ada
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan Otot 5555 5555
Edema Tidak ada Tidak ada

28
3.3.5 Refleks Fisiologis dan Patologis
Reflek Fisiologis Kanan Kiri
Biceps +3 +2
Triceps +2 +2
Patella +3 +2
Achilles +3 +2

Reflek Patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddok - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Hoffman Tromner - -

3.3.6 Koordinasi dan Keseimbangan


Jenis Pemeriksaan Kanan Kiri
Cara berjalan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Romberg Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Romberg dipertajam Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Finger to Finger Dalam batas Dalam batas
normal normal
Tes Finger to nose Dalam batas Dalam batas
normal normal

3.3.7 Gerakan Involunter


Jenis Pemeriksaan Kanan Kiri
Tremor - -
Chorea - -
Athetosis - -
Myocloni - -
Spasme - -

3.3.8 Fungsi Autonom


BAB dan BAK dalam batas normal.

3.3.9 Status lokalis


Kepala:- terdapat vulnus laceratum a/r temporal sinistra ukuran 2,5cm
- terdapat multiple vulnus ekskoriatum a/r facialis sinistra
Mata : Palpebra hematom -/-
Hidung : Rhinorea -/-
29
Telinga : battle sign -/- Otorrhea -/+ Halo sign (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Head CT-Scan

Kesan:
- Tampak cephal hematom ar temporal sinistra

- Tulang calvaria tampak intak

- Kedua bulbus okuli tampak simetris

- Craniocerebral space tampak menyempit

- Batas sulcus dan girus tampak menghilang


30
- Tampak lesi hiperdens berbentuk bikonveks di epidural space regio temporal
sinistra

- Sistem ventrikel tampak menyempit

- Terdapat midline shift ke kiri sejauh < 0,5 mm

- Kesimpulan:

- EDH ar temporal sinistra

- Oedem serebri

- Estimasi EDH Volume: (2,8 x 1,8 x 3)/2=7,56 cc

-
b. Foto Thoraks AP

31
Kesan:
- Foto thorax PA Ny.L , perempuan, 38 tahun
- Cor : bentuk dan ukuran normal
- Lung & Hillus : normal
- Soft tissue dan skeletal : normal
Kesimpulan: Foto thorax normal
c. Laboratorium (23/12/2022)
JENIS PE MERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
DARAH RUTIN :
Hemoglobin 12,0 12,0 – 15,0 g/dL
Hematokrit 34 37 – 47 %
Eritrosit 4,1 4,2 – 5,4 106/mm3
Trombosit 214 150 – 450 103/mm3
Leukosit 14,98 4,5 – 10,5 103/mm3
MCV 84 80 – 100 fL
MCH 30 27 – 31 Pg
MCHC 38 32 – 36 %
RDW 12,9 11,5 – 14,5 %
MPV 11,8 7,2 – 11,1 fL
PDW 15,5 fL
Hitung Jenis :
Eosinofil 0 0–6 %
Basofil 0 0–2 %
Neutrofil Batang 0 2–6 %
Neutrofil Segmen 91 50 – 70 %
Limfosit 6 20 – 40 %
Monosit 8 2–8 %

32
3.5 Diagnosa

Diagnosis Klinis : Peningkatan TIK

Diagnosa Topis : Lobus temporal sinistra

Diagnosa Etiologi : Akselesari deselerasi impact Ruptur A. meningea media sinistra

Diagnosa Patologi : Hemoragik, oedema cerebri

Diagnosis Tambahan : Vulnus laceratum a/r temporalis sinistra dan Multiple vulnus
ekskoriatum a/r facialis

Diagnosis kerja : Peningkatan TIK ec EDH a.r temporal sinistra + Oedem serebri

3.6 Tata Laksana

a. Medikamentosa
- Drip mannitol 20% loading dose 250 cc dilanjutkan 125cc/6jam
- IV Paracetamol 1000 mg/8jam
- IV Citicoline 500 mg/12 jam
- IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam

b. Edukasi
- Head up 300

c. Tatalaksana lainnya
- Tampon Telinga kiri

33
3.7 Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia ad bonam


- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

34
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien dengan keluhan nyeri kepala setelah terjatuh dari sepeda motor sejak 4
jam SMRS. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor bertabrakan dengan
pengendara sepeda motor lainnya kemudian pasien terjatuh dengan kepala
membentur aspal. Pasien tidak menggunakan helm. Setelah terjatuh pasien langsung
tidak sadarkan diri selama 45 menit dan sadar kembali saat di rumah sakit daerah.
Muntah menyemprot dialami pasien sebanyak 2 kali. Pasien tidak ingat kejadian.
Terdapat perdarahan aktif dari telinga kiri. Tidak ada perdarahan dari mulut dan
hidung, tidak ada kejang dan kelemahan anggota gerak. Tidak ada demam, batuk, dan
sesak nafas
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik GCS didapatkan E4M6V5 yang berarti
pasien dalam keadaan compos mentis. Tekanan darah 132/70 mmHg, nadi 72x/menit,
pernafasan 20x/menit, suhu 36,1⁰C, dan SpO2 99%. Pupil didapatkan bulat 3mm dan
bagian kiri pupil tidak bisa dinilai dengan Reflek Cahaya Langsung (+/tidak bisa
dinilai) dan Reflek Cahaya Tidak Langsung tidak bisa dinilai. Tidak ditemukan
adanya tanda rangsang meningeal pada pasien ini. Dari pemeriksaan nervus cranialis
tidak didapatkan kelainan. Motorik: kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555,
ekstremitas bawah 5555/5555, refleks fisiologis biseps (+2/+3), triseps (+2/+3),
patella (+2/+3), tendon achiles (+2/+3). Ditemukan refleks patologis Babinski (+/+),
namun tidak ditemukan refleks patologis Gordon (-/-), Schaeffer (-), Oppenheim (-/-),
Chaddok (-/-), dan Hoffman Tromner (-/-). Sensorik dan otonom dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium darah, USG


thorax, foto thorax dan bronkoskopi. Pada hasil pemeriksaan laboratorium darah
pasien mengalami anemia (Hb= 10,7 g/dL) dan hemtokrit rendah (29%). Kemudian
didapatkan netrofil batang pasien rendah (0%), Netrofil segmen meingkat (82%), dan
Limfosit menurun (10%). Juga didapatkan D-dimer pasien meningkat (1800 ng/ML).
Pemeriksaan foto thorax dilakukan dengan proyeksi AP didapatkan kesan Cor dan
pulmo normal pada pemeriksaan CT Scan di dapatkan kesan EDH ar temporal
sinistra Oedem serebri dengan Estimasi EDH Volume: (2,8 x 1,8 x 3)/2=7,56 cc

.
35
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalamin Epidural hematoma karena akselarasi dan deselarasi dengan volume
perdarahan 7,56 cc
Kesimpulan: Epidural Hematoma

Berdasarkan anamnesis, , pemeriksaan fisik neurologis, dan pemeriksan


penunjang CT-Scan, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien yaitu sebagai
berikut:

Diagnosis Klinis : Peningkatan TIK

Diagnosa Topis : Lobus temporal sinistra

Diagnosa Etiologi : Akselesari deselerasi impact Ruptur A. meningea media sinistra

Diagnosa Patologi : Hemoragik, oedema cerebri

Diagnosis Tambahan : Vulnus laceratum a/r temporalis sinistra dan Multiple vulnus
ekskoriatum a/r facialis

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini juga ditujukan untuk TIA yaitu
dengan memberikan Drip mannitol 20% loading dose 250 cc dilanjutkan 125cc/6jam,
serta IV Paracetamol 1000 mg/8jam untuk mengurangi nyeri kepala pada pasien,
neuroprotector berupa citicholine IV Citicoline 500 mg/12 jam, juga diberikan IV
Ceftriaxone 1 gr/12 jam untuk mengatasi infeksi pada pasien dan juga pasien diminta
untuk head up 30º untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien.

36
BAB V
KESIMPULAN
Perdarahan Epidural merupakan komplikasi pada 2% dari seluruh trauma
kepala dan komplikasi pada 5-15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000 kasus
per tahun sedangkan perdarahan epidural spinal terjadi 1 diantara 1.000.000 populasi di
USA. Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural diestimasikan 5-50%
yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Perdarahan
epidural baik intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio 4:1
namun tidak terkait dengan ras tertentu.
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.
Perdarahan epidural atau epidural hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh rupturnya
arteri meningea media, vena atau sinus dural. Penyebab perdarahan epidural baik
intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi trauma dan non trauma. Gejala klinis
yang sering nampak yaitu: penurunan kesadaran , bisa sampai koma; bingung;
penglihatan kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar cairan dari hidung dan
telingah; mual, pusing dan berkeringat. Selain itu dapat ditemukan adanya interval lucid
dan trias Cushing. Terapi perdarahan epidural meliputi tatalaksana umum terkait kontrol
jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta tatalaksan khusus yang terkait manajemen
peningkatan tekanan intrakranial baik konservatif maupun operatif. Perdarahan epidural
intrakranial merupakan komplikasi serius pada trauma kepala sehingga membutuhkan
diagnosis yang segera dan penanganan secepatnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine

www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

2. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera otak

traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta. 2015;1-2

3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).

Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains and

Meningens, NJ : 2012

4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving

understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

5. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It

Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries, A

John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

7. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section : Neurotrauma,

The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

8. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of Post-

Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817: 2015,

http://doi.org/10.12659/AJCR.895231

9. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural

Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

38
10. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case Report and

Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012

11. Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural

Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016

39

Anda mungkin juga menyukai