Anda di halaman 1dari 34

MODUL MIKROBIOLOGI KLINIK

Kedokteran Tropis

KSM MIKROBIOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Kompetensi
1. Kompetensi Inti
 Memahami, menganalisis serta menerapkan pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian dalam bidang kerja yang spesifik
untuk memecahkan masalah
 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan
langsung
2. Kompetensi Dasar
 Mengetahui penyakit tropis
 Mampu mendiagnosis penyakit tropis

B. Deskripsi
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat, maka dibutuhkan spesimen
dengan kualitas yang baik. Spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi, dapat berupa
hasil biakan bakteri, jamur, atau virus harus mendapat perhatian khusus mengingat
mikroorganisme dapat mati selama transportasi atau sebaliknya mikroorganisme
kontaminan dapat tumbuh sehingga mempengaruhi hasil biakan. Pengelolaan spesimen
yang tidak tepat, baik dari segi pengambilan, pengawetan ataupun transportasi, dapat
menimbulkan kegagalan dalam menemukan mikroorganisme penyebab sehingga
berdampak pada proses penegakan diagnosis.
C. Waktu
Modul ini dipelajari dalam waktu 12x45 menit (3x pertemuan), setiap pertemuan
4x45 menit.
D. Prasyarat
Sebagai prasyarat dalam mempelajari modul ini, maka pengetahuan tentang
instrumen laboratorium mikrobiologi perlu dikuasai terlebih dahulu.
E. Petunjuk Penggunaan Modul
 Pelajari isi keseluruhan modul dari mulai halaman awal sampai akhir secara
umum
 Cari dan pelajari referensi lain yang terkait dengan materi pada modul.
BAB II
PEMBELAJARAN

A. Kompetensi
1. Kompetensi Inti
 Memahami, menganalisis serta menerapkan pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian dalam bidang kerja yang spesifik
untuk memecahkan masalah
 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan
langsung
2. Kompetensi Dasar
 Mengetahui penyakit tropis
 Mampu mendiagnosis penyakit tropis
3. Jenis Kegiatan
Pembelajaran didalam Kelas dan Praktek di laboratorium
4. Waktu Pembelajaran
12 x 45 menit
5. Tempat Pembelajaran
Kelas dan laboratorium

B. Uraian Materi
Penyakit tropis merupakan penyakit infeksi yang banyak terjadi di wilayah beriklim tropis,
termasuk Indonesia. Penyebab Penyakit tropis bisa disebabkan oleh berbagai jenis infeksi,
mulai dari infeksi virus, bakteri, jamur, hingga parasit. Penyakit tropis pada umunya bersifat
menular, penyebaran atau penularan penyakit tersebut bisa terjadi secara langsung antara satu
orang ke orang lainnya misalnya melalui droplet atau melalui hewan pembawa penyakit
(vektor), seperti nyamuk dan serangga serta faktor kebersihan diri dan lingkungan yang kurang
baik. Mengingat penyakit tropis mudah menular dan dapat menyerang siapa saja baik anak-
anak maupun orang dewasa maka sangat berisiko terjadinya peningkatan kasus dan
menyebabkan kematian.
Modul penyakit tropis ini membahas tentang penyakit tropis yang banyak terjadi di
masyarakat antara lain penyakit Sepsis, Dengue, Leptospirosis, RickEttSia, Bakteremia, HIV,
Typhoid, TB Ekstrapulmonal, Pneumonia, Mikosis Sistemik, Osteomielitis, Bursitis, Spondilitis,
Atritis Septik, Abses, Ganyren, Veruka Vulgaris, Kondiloma Akuminata, Moluskum Kontagiosum,
Herpes Zooster dan Morbili. Pembahasan yang sistematis mengenai konsep penyakit tropis
mulai dari pengetian, penyebab, tanda gejala dan fatofisiologi dan penanganan serta komplikasi
penyakit, akan memudahkan pembaca khususnya mahasiswa untuk mempelajari dan
memahami materi penyakit tropis.
1. Sepsis
Definisi Kelompok besar yang berkaitan dengan penelitian sepsis meliputi
Protocolized Care for Early Septic Shock (ProCESS) di Amerika Serikat, Australasian
Resuscitation in Sepsis Evaluation (ARISE) di Australia, dan Protocolised Management in
Sepsis Trial (ProMise) di Inggris, melakukan evaluasi dan implementasi terhadap kasus
sepsis.5 Dengan demikian, diperoleh pedoman baru, yaitu third international consensus
definition for sepsis atau dikenal dengan sepsis.
Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh
terhadap terjadinya infeksi.7 Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan
kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler.
PATOFISIOLOGI SEPSIS
Respons utama inflamasi dan prokoagulan terhadap infeksi terkait sangat erat.8
Beberapa agen infeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interleukin-1 mengaktifkan sistem koagulasi dengan cara menstimulasi pelepasan faktor
jaringan dari monosit dan endothelium yang memicu terhadap pembentukan trombin
dan bekuan fibrin. Sitokin inflamasi dan trombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik
endogen dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1) dari
platelet dan endothelium. PAI-1 merupakan penghambat kuat aktivator plasminogen
jaringan, jalur endogen untuk melisiskan bekuan fibrin.
Efek lain dari trombin prokoagulan mampu merangsang jalur inflamasi multipel
dan lebih menekan sistem fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan inhibitor fibrinolisis
thrombinactivatable (TAFI).
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan respons
sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang mempromosikan
fibrinolisis dan menghambat trombosis dan peradangan, merupakan modulator penting
koagulasi dan peradangan yang terkait dengan sepsis.
Kondisi tersebut memberikan efek antitrombotik dengan menginaktivasi faktor
Va dan VIIIa, membatasi pembentukan trombin. Penurunan trombin akan berdampak
terhadap proses inflamasi, prokoagulan, dan antifibrinolitik. Menurut data in vitro
menunjukkan bahwa protein aktif C memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat
produksi sitokin inflamasi (TNF-α, interleukin-1, dan interleukin-6) oleh monosit dan
membatasi monosit dan neutrofil pada endothelium yang cedera dengan mengikat
selectin.
Hasil akhir respons jaringan terhadap infeksi berupa pengembangan luka
endovaskuler difus, trombosis mikrovaskuler, iskemia organ, disfungsi multiorgan, dan
kematian.

2. Dengue
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan infeksi virus dengan tanda adanya
kebocoran plasma darah (plasma leakage). Tahap awal demam berdarah dengue dapat
menyerupai demam dengue biasa (demam dengan suhu berkisar 39-40°C dan bifasik).
Pada DBD, diketahui terjadi perubahan pada faal hemostasis dan plasma leakage. Tanda
dari kelainan tersebut terlihat dari penurunan kadar trombosit darah (trombositopenia)
dan peningkatan kadar hematokrit.
Etiologi
Dengue Virus memiliki sifat yang hampir sama dengan genus Flavivirus lainnya. Genom
virus dengue terdiri dari (Ribo-Nucleat-Acid) RNA dengan rantai tunggal, RNA dikelilingi
dengan nukleokapsid ikosahedral dan ditutup envelope dengan komposisi lemak. Virus
ini berbentuk batang, bersifat thermolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan
natrium dioksikolat, dan stabil pada suhu 70o C. Diameter virus berkisar 50nm. Genom
flavivirus berukuran panjang 11 (kilobase), tersusun oleh tiga protein struktural yang
bertugas melakukan enkripsi kode nukleokapsid atau protein inti (core C), protein
membran (membrane M), dan protein amplop (envelope E), dan tujuh tambahan gen
protein non struktural (NS).
Patofisiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh etiologi virus yang sama,
namun memiliki patofisiologi berbeda sehingga memiliki gejala klinis yang berbeda pula.
Perbedaan mendasar pada DD dan DBD adalah adanya kebocoran plasma (plasma
leakage) pada DBD yang diduga disebabkan oleh karena proses imun.
Manifestasi klinis DBD terjadi karena efek reaksi tubuh yang dihinggapi virus di dalam
peredaran darah dan digesti oleh makrofag. Pada dua hari awal gejala akan terjadi
penumpukan material virus dalam darah (viremia) dan berakhir setelah lima hari timbul
gejala demam. Setelah didigesti oleh Makrofag, makrofag tersebut secara otomatis
menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifkan sel T-helper. Setelah sel T-
helper aktif, sel makrofag lain akan dating dan memfagosit lebih banyak virus dengue.
Lebih lanjut, selThelper akan mengaktifkan sel T-sitotoksik dan akan menghancurkan
(lisis) makrofag (yang memfagositosis virus) dan akhirnya mengaktifasi sel B untuk
melepas antibodi. Seluruh rangkaian proses ini menyebabkan terlepasnya
mediatormediator inflamasi dan menyebabkan gejala sistemik seperti nyeri sendi,
demam, malaise, nyeri otot, dan lain-lain. Pada demam dengue ini dapat terjadi
perdarahan karena adanya agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi masih bersifat ringan.
Kriteria Diagnosis
Demam berdarah dengue (DBD) ditegakkan dengan kriteria diagnosis yang
dipublikasikan oleh WHO pada tahun 2014.
Kriteria ini terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
Kriteria Klinis
1. Demam tinggi, berlangsung selama 2-7 hari, tanpa sebab yang jelas
2. Adanya perdarahan mikro ditandai dengan: Tes torniquet (+),
− Ekimosis, petekie, dan purpura,
− Epistaksis, perdarahan pada mukosa, perdarahan pada gusi, serta
hematemesis melena.
3. Pembesaran hati
4. Nadi cepat (takikardia), perfusi jaringan buruk ditambah dengan nadi lemah,
penurunan tekanan nadi (< 20 mmHg), hipotensi dengan akral dingin dan/atau
tampak gelisah.
Kriteria Laboratorium
a. Trombositopenii (100.000/µl atau kurang).
b. Hemokonsentrasi, (terlihat dari peningkatan hematokrit >20%).
Untuk menegakkan diagnosis klinis DBD cukup dengan dua kriteria pertama
ditambah penurunan kadar trombosit (trombositopenia) dan
hemokonsentrasiiatau peningkatan hematokrit. Terdapat hepatomegaly pada dua
kriteria pertama dapat pula menjadi tanda DBD sebelum terjadinya plasma
leakage. Efusi pleura yang terlihat dari gambaran radiologisdapat menjadi bukti
objektif adanya kebocoran plasma.
3. Leptospirosis
Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk
spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang ditularkan secara langsung dan tidak
langsung dari hewan ke manusia. Definisi penyakit zoonosa (zoonosis) adalah penyakit
yang secara alami dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia, di
beberapa negara dikenal dengan istilah “demam urin tikus”, tetapi dikarenakan sulitnya
diagnosis klinis dan mahalnya alat diagnostik banyak kasus Leptospirosis yang tidak
terlaporkan. Faktor lemahnya surveilans, keberadaan vektor dengan tingginya populasi
tikus dan kondisi sanitasi lingkungan yang jelek dan kumuh akibat banjir merupakan
faktor-faktor penyebab terjadinya kasus Leptospirosis. Dari aspek penyebabnya,
Leptospirosis adalah suatu bakterial zoonosis. Dari aspek cara transmisinya Leptospirosis
merupakan salah satu direct zoonoses (host to host transmission) karena penularannya
hanya memerlukan satu vertebrata saja.
Penyakit ini bebas berkembang di alam diantara hewan baik liar maupun domestik dan
manusia merupakan infeksi terminal yaitu manusia tidak menularkan. Dari aspek ini
penyakit tersebut termasuk golongan anthropozoonoses, karena manusia merupakan
“dead end” infeksi. Leptospirosis disebut pula sebagai “Weills’ Disease”, yang diberikan
sebagai penelitian dan penghargaan kepada penemu pertama bakteri ini yaitu Adolf
Weill di Heidelberg, Jerman (1870), melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia
dengan gambaran klinis seperti demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada
tanda-tanda kerusakan pada ginjal.

Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae,
ordo Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini ialah impregnasi perak . Leptospira
tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28°C-30°C.6 Genus Leptospira terdiri dari dua
spesies yaitu L. interrogans (bersifat patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-
patogen). Leptospira patogen terpelihara dalam tubulus ginjal hewan tertentu.
Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah atau lembab mulai dari air
permukaan, tanah lembab, serta air keran.
Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih
250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang
patogen pada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L.
hardjo. 5,6 Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber
infeksi manusia, diantaranya ialah:
1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing, landak
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira

Faktor risiko
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air, lumpur,
tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing binatang yang terkontaminasi
leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani sawah, pekerja pejagalan,
peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta petani tebu dan pisang. Dokter
hewan maupun staf laboratorium yang kontak dengan kultur leptospirosis juga memiliki
risiko terpapar leptospirosis. Beberapa kegemaran yang bersentuhan dengan air atau
tanah yang tercemar juga bisa menularkan leptospirosis, seperti berkemah, berkebun,
berkelana di hutan, berakit di air berjeram, dan olahraga air lainnya
Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan, orang yang tinggal
di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi hidup dan tingkat kebersihan baik
di rumah maupun lingkungan terdekatnya. Wabah leptospirosis telah dilaporkan
mengikuti terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai.

Patogenesis
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam darah, berkembang
biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan
seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan reaksi
peradangan yang berarti.
Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik, baik secara selular maupun
humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta), serta akan
bertahan dan diekskresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari
setelah infeksi hingga bertahuntahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira
hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan
toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa organ.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan
enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis.
Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga
eritrosit tersebut lisis, walaupun di dalam darah sudah terdapat antibodi. Diatesis
perdarahan umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu
terjadi perdarahan saluran cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan kematian.
Setiap organ penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan
yang terkena. Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira,
sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang
mengalami gangguan akibat toksin leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka,
pembuluh darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi
neurologik tersering dari leptospirosis.
Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian ginjal
secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel mononuklear dapat terjadi
tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya pasien dapat mengalami nekrosis
tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi acute kidney injury (AKI), disebut juga
sindrom pseudohepatorenal. Pada tahap tersebut, pasien dianjurkan menjalani dialisis.
AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis
sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal minggu ke-2 terlihat banyak fokus
nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang meninggal setelah minggu ketiga
ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal.
Manifestasi klinis
Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik.Masa inkubasi leptospirosis
berkisar 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit
yang khas yaitu:
1. Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai
dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama
saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual,
diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia
dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash,
urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi
saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali
normal dan organ-organ yang terlibat akan membaik. Manifestasi klinik akan
berkurang bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam darah.
Fungsi organ-organ ini akan pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan
sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke7 diikuti fase bebas demam 1-3
hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase
imun.
2. Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer antibodi,
demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut,
dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik
dimana dapat ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Conjuntival injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis, gangguan hati dan ginjal akan
mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga terjadi leptospiuria yang
dapat berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan.
4. Rickettsia
Definisi
Organisme rickettsial memiliki distribusi di seluruh dunia. Mereka adalah agen penyebab
demam tifus dan demam bercak riketsia. Organisme ini memiliki siklus hidup yang rumit
pada vertebrata rendah dan artropoda penghisap darah. Manusia terinfeksi secara tidak
sengaja dan penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi. Organisme ini bersifat
'vasculotropic', menyebabkan kerusakan selektif pada sel-sel endotel, yang disebut
'rickettsial vasculitis'. Presentasi klasiknya adalah demam tinggi, sakit kepala, mialgia,
dan ruam kulit petekie.

Patogenesis
Penyakit rickettsial berkembang setelah menginfeksi melalui kulit atau sistem
pernapasan Caplak dan tungau menularkan agent penyebab spott fever dan scrub
typhus melalui gigitan secara langsung ke dalam kulit. Kutu dan pinjal menularkan
epidemic dan murine typhus melalui feses yang terinfeksi kemudian masuk ke kulit.
Rickettsiae dari Q- fever masuk melalui sistem pernapasan ketika debu yang terinfeksi
terhirup. Rickettsiae memperbanyak diri dalam sel endotel pembuluh darah kecil dan
menghasilkan vaskulitis. Sel menjadi bengkak dan nekrosis. Luka vascular menonjol di
kulit tetapi vaskulitis terjadi pada banyak organ seperti otot, jantung, paru, dan otak.
Kematian dapat terjadi karena kerusakan sel endotel, menghasilkan kebocoran plasma,
menurunnya volume darah, dan shock.
5. Bakteremia

6. HIV
Definisi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu spektrum penyakit yang
menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa
sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut. Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV, dan
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV

Patogenesis
HIV adalah virus sitopatik, termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae.
Genus Lentivirus. HIV berbeda dalam struktur dari retrovirus lainnya. Virion HIV
berdiameter ~100 nm, dengan berat molekul 9.7 kb (kilobase). Wilayah terdalamnya
terdiri dari inti berbentuk kerucut yang mencakup dua salinan genom ssRNA, enzim
reverse transcriptase, integrase dan protease, beberapa protein minor, dan protein inti
utama, Genom HIV mengodekan 16 protein virus yang memainkan peran penting
selama siklus hidupnya HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua
protein utama envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di
transmembran. Gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga
bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp41 bertanggung
jawab dalam proses internalisasi. Termasuk retrovirus karena memiliki enzim reverse
trancriptase, HIV mampu mengubah informasi genetik dari RNA menjadi DNA, yang
membentuk provirus. Hasil transkrip DNA intermediet atau provirus yang terbentuk ini
kemudian memasuki inti sel target melalui enzim integrase dan berintegrasi di dalam
kromosom dalam inti sel target. HIV juga memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
mekanisme yang sudah ada di dalam sel target untuk membuat kopi diri sehingga
terbentuk virus baru dan matur yang memiliki karakter HIV. Kemampuan virus HIV
untuk bergabung dengan DNA sel target pasien, membuat seseorang yang terinfeksi
HIV akan terus terinfeksi seumur hidupnya.
Hingga kini dikenal dua tipe IV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan virus klasik
pemicu AIDS, didapatkan pada sebagian besar populasi di dunia. HIV-2 merupakan virus
yang diisolasi pada binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat. Perbedaan keduanya
terutama pada glikoprotein kapsul, dan virus HIV-2 umumnya kurang patogenik serta
memerlukan waktu lebih lama untuk memunculkan gejala dan tanda penyakit.
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu secara vertikal,
horizontal, dan seksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara
tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Setelah sampai dalam sirkulasi sistemik, 4–11 hari sejak paparan
pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah.
Setelah masuk dalam sirkulasi sistemik manusia, sel target utama dari HIV adalah sel
yang mampu mengekspresikan reseptor spesifik CD4, seperti monosit-makrofag,
limfosit, sel dendritik, astrosit, mikroglia, Langerhan’s yang kebanyakan terlibat dalam
sistem imun manusia. Bila HIV mendekati dan berhasil menggaet sel target melalui
interaksi gp120 dengan CD4, ikatan semakin diperkokoh ko-reseptor CXCR4 dan CCR5,
dan kemudian atas peran protein transmembran gp41 akan terjadi fusi membran virus
dan membran sel target. Proses selanjutnya diteruskan melalui peran enzim reverse
transcriptase dan integrase serta protease untuk mendukung proses replikasi (Maartens
G et al., 2014; Nasronudin, 2014). Replikasi dimungkinkan melalui aktivitas enzim
reverse transcriptase, diawali oleh transkripsi terbalik RNA genomik ke DNA. Kopi DNA
yang terbentuk berintegrasi ke genom sel manusia untuk selanjutnya disebut proviral
DNA. Komponen virus kemudian disusun mendekati membran sel host, menembus
membran keluar dari dalam sel sebagai virion matur, yang potensial penyebab infeksi
pada sel lain, bahkan mampu memicu infeksi pada individu lain bila ditransmisikan.
Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 108–109 virus baru.
Selama proses replikasi, HIV dapat mengalami perubahan karakter atau mutasi sehingga
HIV yang beredar dalam sirkulasi tubuh otomatis bukan merupakan populasi homogen,
melainkan terdiri dari berbagai kelompok varian sebagai spesies quasi. Variasi virus ini
cenderung terus mengalami mutasi, terutama pada tekanan selektif di lingkungan mikro
yang penuh stresor. Hal ini dapat memicu strain resisten terhadap obat maupun
perubahan status imunologik.
Secara perlahan seiring waktu, limfosit T yang menjadi salah satu sel target HIV akan
tertekan dan semakin menurun melalui berbagai mekanisme, seperti kematian sel
secara langsung akibat hilangnya integritas membran plasma oleh karena infeksi virus,
apoptosis, maupun oleh karena respons imun humoral dan seluler yang berusaha
melenyapkan virus HIV dan sel yang telah terinfeksi. Penurunan limfosit T dan CD4 ini
menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap
mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi
sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS.
Manifestasi Klinis
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Dalam
perjalanannya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis
Tahap 1: Infeksi Akut
Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin mengalami
penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Ini adalah
respons alami tubuh terhadap infeksi. Setelah HIV menginfeksi sel target, yang terjadi
adalah proses replikasi yang menghasilkan berjuta-juta virus baru (virion), terjadi
viremia yang memicu sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam
flu. Gejala yang terjadi dapat berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, nyeri otot, dan sendi atau batuk.
Tahap 2: Infeksi Laten Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang umumnya berlangsung selama 8-10
tahun. Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel
dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Meskipun pada fase ini virion
di plasma menurun, replikasi tetap terjadi di dalam kelenjar limfe dan jumlah limfosit T-
CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukkan gejala (asimtomatis). Beberapa
pasien dapat menderita sarkoma Kaposi’s, Herpes zoster, Herpes simpleks, sinusitis
bakterial, atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung lama.
Tahap 3: Infeksi Kronis
Sekelompok kecil orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit amat cepat dalam 2
tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor). Akibat replikasi virus
yang diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler karena banyaknya virus,
fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun dan virus dicurahkan ke dalam
darah. Saat ini terjadi, respons imun sudah tidak mampu meredam jumlah virion yang
berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh karena intervensi HIV yang
semakin banyak, dan jumlahnya dapat menurun hingga di bawah 200 sel/mm3.
Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin
rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien jatuh pada
kondisi AIDS.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes,
dan lain-lain. Sekitar 50% dari semua orang yang terinfeksi HIV, 50% berkembang
masuk dalam tahap AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun, hampir semua
menunjukkan gejala AIDS, kemudian meninggal.

7. Tifoid

Definisi
Demam tifoid adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Sedangkan mikroba penyebab demam paratifoid adalah Salmonella enterica serovar
paratyphi A, B dan C (S. paratyphi). 17 juta kasus global demam tifoid dan paratifoid
secara kolektif telah dicatat pada tahun 2015. Dari jumlah tersebut, rentang antara Asia
Tenggara dan Afrika sub-Sahara, kejadian terbesar berada di Asia Selatan. Kasus
demam tifoid dan paratifoid yang tidak diobati menyebabkan 178.000 kematian secara
global pada tahun 2015. Gambar di bawah ini menunjukkan insidens dari demam tifoid
dan umur rata–rata pasien penderita demam tifoid pada 5 negara di Asia, yang salah
satunya adalah Indonesia

Gejala Klinis
Demam tifoid adalah salah satu penyakit demam paling sering dijumpai di negara
berkembang. Setelah menjalani masa inkubasi selama 7 sampai 14 hari, maka akan
timbul demam dan malaise. Demam kemudian disertai dengan menggigil, sakit kepala,
anoreksia, mual, rasa tidak nyaman pada perut yang tidak spesifik, batuk kering, dan
mialgia. Selanjutnya akan diikuti oleh lidah dilapisi (coated tongue), nyeri perut,
hepatomegali, dan splenomegali. Namun, kemajuan pengobatan antibiotik telah
mengubah presentasi klinis yang klasik, seperti jenis demam yang naik secara bertahap
(stepladder) dan ciri-ciri toksisitas yang jarang terlihat akhirakhir ini. Di daerah di mana
malaria endemik dan Schistosomiasis sering dijumpai, presentasi tifus mungkin lebih
bersifat atipikal. Bahkan, pada beberapa kasus, poliartritis dan monoartritis dilaporkan
dapat dijumpai. Orang dewasa sering mengalami konstipasi, tetapi diare, toksisitas, dan
komplikasi seperti koagulasi intravaskular diseminata lebih sering terlihat pada bayi.
Penularan intrauterin vertikal dari ibu yang terinfeksi dapat menyebabkan tifus neonatal,
suatu kondisi yang jarang tetapi berat dan mengancam jiwa. Kekambuhan dan infeksi
ulang sering terjadi pada tifus dan terjadi pada kurang dari 10 persen kasus. Infeksi
ulang hanya dapat dibedakan dari kekambuhan dengan pemeriksaan molekuler.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 pekan. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada
sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen.

Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat sangat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya
komplikasi. Diagnosis definitif adalah isolasi S. typhi atau S. paratyphi dari darah,
sumsum tulang, rose spot, feses. Pemeriksaan gold standard untuk demam tifoid adalah
kultur darah. Organisme paling sering ditemukan pada 7 – 10 hari pertama
Meskipun kultur adalah metode standar emas untuk mendeteksi S. Typhi dalam darah,
tetapi waktu yang dibutuhkan 220 14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas Demam Tifoid
Perkembangan Terkini 221 220 untuk mendapat hasil yang lama memiliki implikasi
penting dalam tatalaksana. Tes aglutinasi WIDAL adalah tes kedua yang paling sering
dilakukan. Namun, sensitivitas dan spesifisitas yang buruk merupakan suatu batasan.
Oleh karena itu, tes diagnostik cepat (RDT) sangat diminati, namun karena sensitivitas
dan spesifisitas yang buruk, deteksi pasti masih terbatas. Typhidot-M, TUBEX-TM dan
Test-it adalah tiga tes berbasis serologi yang telah dievaluasi. Kinerja tes ini telah
terbukti buruk dan bervariasi karena tingginya tingkat morbiditas di Asia, yang
merupakan endemik demam tifoid. Sebaliknya, evaluasi yang dilakukan di Filipina
menunjukkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Di antara ketiga tes diatas,
kinerja TUBEX ditemukan lebih baik dengan 78% sensitivitas dan 87% spesifisitas.
Karena keterbatasan ini, WHO tidak mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan
rapid diagnostic test (RDT) komersial

Terapi
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapaikeadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting
adalaheradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhandan keadaan carrier. Pilihan
utama antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di area
tertentu. Terapi first-line original adalah kloramfenikol, ampisilin, dan trimethropim-
sulfametoksazol.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada
demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk
mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak 221 diberikan pada anak-anak
karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Efikasi, ketersediaan, dan biaya merupakan kriteria penting dalam pemilihan antibiotik
lini pertama yang akan digunakan di negara berkembang. Kloramfenikol, terlepas dari
risiko agranulositosis pada 1 per 10.000 pasien, masih banyak diresepkan di negara
berkembang untuk pengobatan demam tifoid. Strain S. typhi dari banyak wilayah di
dunia, misalnya sebagian besar negara di Afrika dan Asia, tetap sensitif terhadap obat
ini dan tersedia secara luas di sebagian besar fasilitas kesehatan primer di negara
berkembang untuk pengobatan demam tifoid. Ampisilin dan amoksisilin diberikan pada
dosis 50 sampai 100 mg per kg berat badan per hari secara oral, i.m. atau i.v., dibagi
menjadi tiga atau empat dosis. Tidak ada manfaat yang dilaporkan dengan penambahan
asam klavulanat ke amoksisilin. Sefalosporin generasi ketiga, sefiksim oral (15 20 mg
per kg berat badan per hari untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada baik pada dewasa maupun anak-anak dan terbukti memuaskan.
Azitromisin dalam dosis 500 mg (10 mg / kg) yang diberikan sekali sehari selama tujuh
hari telah terbukti efektif dalam pengobatan demam tifoid pada orang dewasa dan anak-
anak dengan waktu penurunan suhu badan sampai yg normal serupa dengan yang
dilaporkan untuk kloramfenikol. Dosis 1 g per hari selama lima hari juga efektif pada
orang dewasa.
8. TB Ekstrapulmonal
Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. TB paru dapat menular melalui udara, sewaktu seseorang
dengan TB aktif batuk, bersin atau bicara . Tuberkulosis dapat menyerang organ lain
selain di luar organ paru yang dinamakan sebagai Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis Ekstra Paru (TBEP) adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain di luar
paru, dengan berdasarkan pemeriksaan secara mikrobiologi dalam suatu sediaan dapat
ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis di organ lain selain paru. Kuman
Tuberkulosis tersebut dapat menyerang organ lain selain paru seperti: pleura, selaput
otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, jaringan dibawah kulit
(abses), usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, mata, adrenal dan lain lain.

Etiologi
TB Ekstra Paru disebabkan oleh kuman yang sama pada TB paru, yaitu Mycobacterium
tuberculosis, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal
juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) . Sumber penularan adalah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin.
Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak),
sehingga dapat menderita TB paru dan dalam jangka waktu beberapa tahun TB paru
dapat menyebar ke organ lain melalui jalur hematogen atau limfogen atau dapat melalui
tranfusi darah. Sekitar 80% kuman tuberkulosis menyerang organ paru dan hanya
sebagian kecil menyerang organ lain selain paru.
Secara mikrobiologi M.Tuberkulosis merupakan basil tahan asam yang dapat dilihat
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Pada pewaranaan tahan asam kuman dapat terlihat
bewarna merah berbentuk batang halus berukuran 0,4 x 3 mm, mempunyai dinding sel
tahan lipid sehingga tahan terhadap asam.
Kuman tuberkulosis cepat mati ketika mendapat paparan sinar matahari secara
langsung, akan tetapi dapat hidup dalam beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Di dalam suatu jaringan kuman ini dapat mengalami kondisi dorman dapat
bertahan lama di dalam jaringan tubuh, dengan keadaan dorman akan menyebabkan
kesulitan dalam mengobati penyakit TB.

Penatalaksanaan
Pengobatan TB Ekstra Paru sama seperti pengobatan pada TB paru bertujuan untuk
menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas, mencegah
kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutanya, mencegah kekambuhan,
mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain, dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT serta penularannya.
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada
umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan
adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin, Etambutol, Piraznamid. Jenis obat tambahan
lainnya (lini 2):Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Para-
Amino Salisilat (PAS)
9. Mikosis Sistemik
10. Osteomilitis
Definisi
Osteomielitis merupakan peradangan tulang dan sumsum tulang yang biasanya
disebabkan infeksi bakteri. Istilah osteomielitis berasal dari kata osteo yang berarti
tulang dan myelo yang berarti jaringan mieloid sumsum tulang.Angka insidens
osteomielitis di Indonesia dan secara global belum diketahui; studi di Amerika Serikat
menunjukkan insidens mencapai 21,8 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Osteomielitis dapat menimbulkan gangguan fungsional irreversibel dan disabilitas.2
Pengobatan osteomielitis juga telah menjadi tantangan tersendiri di dunia medis.4,5
Masih belum ada guideline khusus diagnosis dan manajemen tata laksana osteomielitis
secara komprehensif. Tinjauan pustaka ini membahas diagnosis dan manajemen tata
laksana osteomielitis.
Patofisiologi
Osteomielitis dapat disebabkan karena patogen yang menginokulasi trauma akibat
pembedahan, penyebaran lokal dari sendi atau jaringan lunak terdekat, atau secara
hematogenik dari fokus infeksi. Osteomielitis hematogenik tulang panjang biasanya
memengaruhi daerah metafisis tulang.Stasis aliran darah di pembuluh darah metafisis
akan menimbulkan deposisi mikroba dan menyebabkan infeksi daerah tersebut.
Insufisiensi vaskular ini juga sering terjadi pada individu penderita diabetes
melitus.Infeksi dapat menyebabkan hancurnya korteks tulang yang bisa menyebar
hingga periosteum; hal ini dapat mengurangi suplai darah ke periosteum dan
menimbulkan nekrosis tulang.
Fragmen nekrosis tulang disebut sequestrum, yang dapat terlihat pada pencitraan
radiografi; juga dapat ditemukan pertumbuhan tulang baru di sekitar periosteum yang
rusak, disebut involucrum.
Infeksi pada osteomielitis akut terjadi sebelum terbentuknya sequestrum. Laju
pembentukan sequestrum berbeda-beda. Pada osteomielitis tulang belakang, cenderung
lambat, sedangkan pada osteomielitis akibat penggunaan alat prostetik, cenderung
cepat
Etiologi
Osteomielitis hematogenik pada umumnya monomikrobial, sedangkan osteomielitis
terkait inokulasi dapat monomikrobial ataupun polimikrobial. Staphylococcus aureus dan
Staphylococcussp. koagulase negatif merupakan patogen yang sering ditemukan pada
osteomielitis dari fokus infeksi jauh, seperti abses kulit, endokarditis, kateter vaskular,
atau penggunaan alat injeksi. Beberapa patogen penyebab yang jarang harus
dipertimbangkan pada beberapa kasus.
Osteomielitis Candida sp. merupakan infeksi kronis yang terkait trauma dan
imunokompromais. Osteomielitis disebabkan Cryptococcus sp. dan Aspergillus sp.
berkaitan dengan kondisi imunokompromais.Osteomielitis disebabkan Salmonella sp.
umumnya pada pasien anemia sel sabit.
Tata Laksana
A.Bedah dan Debridement Debridement
merupakan prosedur bedah untuk membuang jaringan nekrotik tulang (sequestrum),
yang merupakan aspek patologi osteomielitis kronik. Debridement dapat membantu
penetrasi antibiotik; metode ini juga dapat digunakan untuk memperoleh data pengaruh
antibiotik langsung terhadap kultur jaringan.Selanjutnya, harus dilakukan rekonstruksi
bagian tulang yang hilang.
B.Medikamentosa pada Osteomielitis Dewasa
Setelah pembedahan, manajemen selanjutnya adalah terapi antibiotik. Antibiotik empiris
saat menunggu hasil kultur adalah vancomycin dan cephalosoprin generasi tiga atau
kombinasi antibiotik beta laktam/ inhibitor beta laktamase untuk mengatasi bakteri
umum Gram positif dan negatif penyebab osteomielitis. Jika hasil kultur berupa
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin menjadi pilihan utama.
Para ahli Amerika merekomendasikan terapi antibiotik parenteral selama empat hingga
enam minggu. Schmitt menguraikan terapi medikamentosa untuk masing-masing
patogen penyebab osteomielitis.
C.Medikamentosa Osteomielitis Akut Hematogenik Anak
Pada anak, osteomielitis paling sering terjadi melalui jalur hematogenik dan paling
sering pada usia kurang dari lima tahun. Patogen tersering pada kasus anak adalah
Staphylococcus aureus. Pada umumnya, osteomielitis hematogenik akut pada anak-anak
ditangani tanpa pembedahan. Namun, kasus osteomielitis akibat MRSA mungkin
memerlukan pembedahan untuk mengontrol infeksi dan sepsis. Terapi parenteral
dilakukan pada awal terapi dilanjutkan dengan pemberian oral apabila mungkin. Durasi
terapi biasanya selama tiga minggu, namun ada data durasi terapi yang lebih cepat dan
lebih lama.

11. Bursitis

Definisi
Bursitis adalah peradangan pada bursa, yaitu pelumas dan bantalan di sekitar sendi yang
berfungsi mengurangi gesekan antara tulang dan tendon saat bergerak. Gangguan ini
biasa terjadi pada sendi lutut, siku, bahu, dan pinggul.
Bursitis bisa disebabkan oleh gerakan atau tekanan berulang pada sendi sehingga terjadi
peradangan. Peradangan dapat menimbulkan nyeri dan bengkak yang bisa membatasi
pergerakan sendi. Meski begitu, bursitis umumnya dapat membaik jika ditangani dengan
tepat.

Diagnosis Bursitis
Untuk menentukan apakah pasien mengalami bursitis, dokter akan menanyakan keluhan
yang dialami dan riwayat kesehatan pasien. Selanjutnya, dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik, khususnya pada area sendi.
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang. Beberapa
tes yang mungkin akan dianjurkan meliputi:
Pemeriksaan laboratorium
Dua metode pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk memastikan penyebab bursitis
adalah pemeriksaan darah dan analisa cairan sendi dari sendi yang meradang.
Pemindaian
Pemindaian yang bisa dilakukan untuk memastikan kondisi bursitis adalah foto
Rontgen, USG, atau MRI.

Pengobatan Bursitis
Pengobatan bursitis akan disesuaikan dengan penyebab dan kondisi pasien. Tujuan
pengobatan adalah untuk meredakan keluhan dan mengatasi penyebabnya.
Untuk penanganan awal, dapat dilakukan beberapa langkah berikut:

 Istirahatkan sendi yang nyeri. Usahakan untuk tidak menggerakannya terlalu sering
dan hindari aktivitas yang memberikan tekanan pada area tersebut.
 Kompres area bursitis dengan kompres dingin selama 10 menit, sebanyak 3–4 kali
sehari, dan lakukan selama 2–3 hari.
 Berikan bantalan atau bahan yang bisa menopang area nyeri bursitis saat tidur,
misalnya dengan tumpukan bantal.
 Usahakan jangan berdiri terlalu lama bila nyeri terjadi di pinggul atau lutut.
 Hindari tidur miring dengan posisi permukaan kasur langsung mengenai sendi yang
nyeri. Gunakan bantal untuk menyangga area yang nyeri agar tidak terkena kasur.
 Turunkan berat badan bila mengalami berat badan berlebih atau obesitas.

Bila nyeri dan gejala lain bursitis tidak membaik dengan cara-cara sederhana di atas,
periksakan diri ke dokter. Dokter dapat menyarankan beberapa langkah pengobatan di
bawah ini:

12. Spondilitis

Definisi

13. Artitis Septik

Definisi

14. Abses

Definisi
15. Gangren

Definisi

16. Veruka Vulgaris

Definisi
Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh Human
Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah kutil atau common
wart. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka
ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor
Risiko
1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa sehat.
2. Pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah.
3. Imunodefisiensi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik

Tanda Patognomonis
Papul berwarna kulit sampai keabuan dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat
dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila permukaannya rata, disebut dengan
veruka Plana. Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi. sepanjang goresan (fenomena
Koebner).

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Tatalaksana
1. Pasien harus menjaga kebersihan kulit.
2. Pengobatan topikal dilakukan dengan pemberian bahan kaustik, misalnya dengan
larutan AgNO3 25%, asam trikloroasetat 50% atau asam salisilat 20% - 40%. Komplikasi
Efek samping dari penggunaan bahan kaustik dapat menyebabkan ulkus.

Konseling dan Edukasi


Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali residif walaupun diberi pengobatan yang
adekuat.

Kriteria Rujukan
Rujukan sebaiknya dilakukan apabila:
1. Diagnosis belum dapat ditegakkan.
2. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi.

17. Kondiloma Akuminata

Etiologi: HPV tipe 6 dan 11


Gambaran Klinis: Benjolan di area genital yang tidak nyeri. Terdapat 4 morfologi yaitu;
akuminata, papul dengan permukaan menyerupai kubah, papul keratolitik dengan
permukaan kasar, papul datar. Bentuk lain dapat berupa giant condyloma.
Predileksi: Vulva, vagina, serviks, penis, skrotum, perineum, perianal, anal kanal
Diagnosis Banding: Benign penile pearly papules, Veruka vulgaris, Kondiloma lata,
KSS, Moluskum kontangiosum
Medikasi:
™ Topikal: Podofilin, Imiquimod, TCA, 5-Fluorourasil
™ Bedah: bedah beku, bedah laser, bedah listrik, bedah eksisi
Edukasi:
™ Penyakit ini bila terdapat di area genital merupakan penyakit menular seksual
™ Bila terinfeksi virus ini, maka virus ini akan menetap pada fase laten berbulan-bulan
hingga tahun di daerah kulit yang terkena dan lesi akan timbul bila kondisi di kulit
tersebut lembab atau maserasi atau saat imun tubuh sedang lemah.
™ Jika tidak diobati, lesi KA dapat hilang sendiri, tetap, atau malah bertambah (ukuran
atau jumlah)
™ Meskipun telah diobati, KA dapat kambuh kembali dalam 3 bulan pertama. Faktor
yang memperngaruhi kekambuhan yaitu usia, lokasi lesi, pengobatan sebelumnya, HIV,
perilaku seksual.
™ Penyakit ini merupakan penyakit menular seksual. Meskipun tidak terlihat adanya lesi,
KA tetap dapat ditularkan ke pasangan. Hindari berhubungan seksual selama menderita
KA dan beritahu pasangan apabila sedang menderita KA
™ Penggunaan kondom dapat menurunkan risiko penularan jika digunakan dengan
benar, tetapi penularan tetap dapat terjadi pada daerah yang tidak ditutupi kondom.
™ Vaksin HPV kuadrivalen dapat diberikan kepada pria maupun wanita untuk mencegah
KA maupun kanker cervix akibat HPV
™ Wanita hamil yang menderita KA segera konsultasi dengan dokter karena dapat
menyebabkan Respiratory papillomatosis pada bayinya
™ Lesi premaligna dan maligna dapat tumbuh bersama atau berkembang dalam lesi KA.
Jika terjadi perdarahan atau perubahan bentuk lesi, segera konsultasi ke dokter
™ Wanita yang menderita KA disarankan untuk melakukan skrining kanker serviks dan
sebaiknya lakukan skrining penyakit menular seksual lainnya
™ Bila keluhan tidak membaik walaupun telah diobati, segera berobat ke dokter
spesialis kulit
18. Moluskum Kontagiosum

Etiologi: Moluskum Kontangiosum Virus (Golongan Poxvirus) Gambaran Klinis: Papul


bentuk kubah, berkilat, terdapat lekukan/delle pada permukaan berisi massa yang
mengandung partikel virus (Henderson-Paterson Bodies/badan moluskum)
Predileksi: Wajah, leher, ketiak, badan, ekstremitas, genitalia
Diagnosis Banding: Milia, Folikulitis
Medikasi:
™ Mengeluarkan massa (badan moluskum) dengan ekstraktor komedo, jarum suntik,
kuret, bedah listrik, atau bedah beku.
™ Topikal: Kantaridin, Imiquimod
Edukasi:
™ Penyakit ini mudah menular sehingga sebaiknya diobati dengan cepat. Sering ditemui
kasus Moluskum walaupun sudah diobati tetapi masih dapat muncul lesi baru setelah
beberapa minggu kemudian. Hal ini timbul karena pada dasarnya telah terjadi
autoinokulasi namun lesi belum terlihat jelas saat diterapi sehingga timbul lesi baru lagi.
Oleh karena itu, sebaiknya segera berobat kembali apabila timbul lesi yang baru.
™ Tidak menggaruk/mengorek lesi karena bila pecah akan mengeluarkan massa seperti
nasi yang mengandung virus dalam jumlah yang sangat banyak sehingga dapat
menularkan ke sekitarnya (autoinokulasi) dalam jumlah yang banyak pula. Lesi yang
pecah juga dapat menimbulkan infeksi sekunder
™ Segera mencuci tangan setelah memegang lesi
™ Hindari kontak fisik dengan orang lain selama menderita Moluskum kontangiosum
™ Menjaga kebersihan personal, tidak bertukar barang pribadi dengan orang lain seperti
handuk dan pakaian
™ Lesi pada area genital berhubungan dengan penyakit menular seksual sehingga
hindari berhubungan seksual selama menderita Moluskum kontangiosum
19. Herpes Zoster

Etiologi: Reaktivasi Varicella Zoster Virus


Gambaran Klinis: Didahului gejala prodromal berupa rasa nyeri, pegal, kesemutan,
panas, gatal, nyeri tekan pada dermatom yang terkena, dapat terus menerus atau
hilang timbul. Lalu timbul makula kemerahan unilateral, yang berkembang menjadi
papul-papul kemudian menjadi vesikel jernih, berkelompok yang akan menjadi keruh
dan dalam beberapa hari akan mengering dan menjadi krusta. Dapat dijumpai adanya
demam, nyeri kepala, malaise.
Predileksi: Sesuai dermatom
Diagnosis Banding: Herpes simpleks, Dermatitis venenata, Dermatitis kontak iritan
Medikasi:
™ Antivirus: Famsiklovir 3x500 mg, Asiklovir 5x800 mg, Valasiklovir 3x1000 mg
(diberikan sebelum 72 jam onset lesi, selama 7 hari)
™ Analgetik: NSAID (Ibuprofen, Paracetamol, Asam Mefenamat, Diklofenak), Opioid
(Tramadol, Kodein) bila nyeri hebat
™ Mandi dengan sabun antiseptik bila perlu
Edukasi:
™ Lesi kulit harus dijaga agar tetap bersih, kering, dan jangan sampai pecah agar
terhindar dari infeksi bakteri
™ Tidak menggaruk atau mengorek lesi karena dapat terjadi infeksi sekunder
™ Tidak perlu diberi antibiotik topikal kecuali bila ada lesi yang pecah atau ada infeksi
sekunder
™ Bila terasa tidak nyaman, lesi dapat dikompres basah, dingin dan steril atau dengan
menggunakan calamin lotion
™ Bila lesinya masih awal dan belum berisi cairan yang banyak, dapat ditutup dengan
plastik bening anti air yang khusus untuk menutup luka dan salep Asiklovir untuk
menghindari lesi pecah akibat gesekan sekaligus untuk menghindari penularan
™ Pada saat konsumsi obat Asiklovir harus disertai dengan minum air putih minimal 2
liter atau 8 gelas per hari agar membantu ginjal bekerja dengan baik, karena dosis obat
yang diberikan cukup besar dan yang diabsorpsi oleh saluran cerna hanya sebagian,
sisanya dieksresikan melalui urin
™ Tidak ada pantangan makanan, pasien dianjurkan makan makanan yang bergizi dan
bervitamin agar membantu proses penyembuhan, karena infeksi virus sangat
berhubungan dengan imunitas tubuh
™ Kenakan pakaian yang tipis dan longgar agar dapat mengurangi gesekan pada lesi
™ Pasien tetap dapat mandi namun dengan hati-hati, jangan sampai lesinya pecah
™ Jika sedang menderita penyakit ini hindari kontak dengan orang yang belum pernah
terkena Varicella atau vaksin Varicella karena dapat menularkan virus Varicella zoster
dalam bentuk Varicella (bukan Herpes zoster) ke orang tersebut
™ Dianjurkan vaksin Herpes zoster untuk orang berusia 50 tahun keatas
™ Gejala awal Herpes zoster sangat bervariasi tergantung dermatom yang terkena.
Sebagian besar pasien pergi berobat dokter yang berhubungan dengan keluhan nyeri
pada daerah tersebut, seperti pada sekitar mata pasien akan ke spesialis mata, pada
pipi akan ke dokter gigi, pada telinga akan ke spesialis THT, pada dada akan ke spesialis
jantung, pada pinggang akan ke spesialis ginjal, dan sebagainya. Maka sangat penting
untuk memperhatikan lokasi keluhan tersebut, apakah terdapat tanda-tanda Herpes
zoster seperti merah dengan bintil merah yang membesar berisi air dan khasnya berupa
nyeri hanya satu sisi tubuh atau unilateral
™ Bila keluhan tidak membaik walaupun telah diobati, segera berobat ke dokter
spesialis kulit
20. Morbili

Etiologi: Virus campak (golongan Paramyxovirus)


Gambaran Klinis: Makulopapular eritem yang muncul mulai dari belakang telinga lalu
menyebar ke wajah, leher, badan dan ekstremitas. Disertai gejala prodromal (demam,
malaise, batuk, coryza, konjungtivitis, fotofobia). Patognomonik: koplik spot
Predileksi: Seluruh tubuh Diagnosis Banding: Reaksi hipersensitivitas terhadap obat,
Rubella, Roseola infantum, Parvovirus Medikasi: Suportif: antipiretik, asupan nutrisi dan
cairan adekuat, vitamin A
Edukasi:
™ Penyakit ini sangat menular, penderita harus segera diisolasi agar tidak menularkan
ke orang lain
™ Diperlukan istirahat serta asupan nutrisi dan cairan yang adekuat agar tidak dehidrasi
™ Hindari paparan sinar matahari untuk mengurangi sensitivitas mata terhadap cahaya
(fotofobia)
™ Bersihkan mata dengan kain yang direndam air bersih bila terdapat konjungtivitis
yang disertai pus dan konsultasi ke dokter untuk pemberian salep mata
™ Jaga kebersihan mulut, kumur dengan obat kumur antiseptik
™ Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau lengan atas saat batuk atau bersin
™ Pencegahan dengan vaksinasi campak/MR ataupun vaksinasi MMR. Vaksin tidak
dianjurkan untuk orang yang sedang sakit berat, hamil, riwayat anafilaktik saat vaksin
campak sebelumnya, dan orang imunokompromise (HIV, terapi imunosupresan)
™ Bagi orang sehat hindari berada di sekitar atau kontak dengan penderita campak dan
hindari menyentuh benda yang terkontaminasi virus campak
™ Bila keluhan tidak membaik walaupun telah diobati, segera berobat ke dokter
spesialis kulit
™ Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan komplikasi ke paru-paru
21. Pneumonia
Definisi
Pneumonia merupakan sebuah kondisi yang mengakibatkan terjadinya peradangan yang
mengenai parenkim paru, ujung dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, peradangan ini akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru
serta gangguan pertukaran gas.Pneumonia terbagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu:
a. Community-acquired pneumonia (CAP), merupakan pneumonia yang didapat diluar
rumah sakit pada individu yang tidak dirawat di rumah sakit selama sebulan sebelum
timbulnya gejala
b. Hospital-acquired pneumonia (HAP), merupakan pneumonia yang didapat setelah
sekurangnya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dan tidak ada kecurigaan inkubasi
penyakit sebelum masuk rumah sakit
c. Ventilator-acquired pneumonia (VAP), terjadi karena pemakaian ventilator
d. Aspiration pneumonia, terjadi akibat menghirup isi lambung atau mulut ke dalam
paru-paru
e. Health-care-associated pneumonia (HCAP)
Etiologi
Mengetahui patogen yang terkait dengan pneumonia sangat penting ketika ingin
memberikan terapi antibiotik empiris agar lebih terarah, serta dapat mencegah
munculnya resistensi antimikroba sehingga dapat mengurangi biaya terkait perawatan
kesehatan.Etiologi mikroba CAP berbeda berdasarkan tingkat keparahan presentasi klinis
dan berdasarkan musim.
Mikroorganisme penyebab paling umum pada CAP adalah Streptococcys pneumoniae,
virus saluran pernapasan, Haemophilus influenzae dan bakteri lain seperti Mycoplasma
pneumoniae dan Legionella pneumophila. Sedangkan mikroorganisme yang paling
sering pada HAP adalah Staphylococcus aureus baik itu S. aureus yang rentan methicilin
(MSSA) ataupun S. aureus yang resisten methicillin (MRSA), Enterobacterales,
Pseudomonas aeruginosa, dan Acinetobacter spp. Pada HCAP, bergantung terhadap
faktor risiko pasien, etiologi mikroba lebih mirip dengan HAP daripada di CAP. Perbedaan
masing-masing etiologi pneumonia memberikan dampak kepada obat yang akan
diberikan. Penyebab paling sering yaitu bakteri, sehingga perlu diketahui dengan baik
pola kuman di suatu tempat
Tatalaksana
Tatalaksana pada CAP dapat berupa terapi antibiotik dan suportif. Terapi suportif dapat
diberikan untuk mencegah dehidrasi serta menjaga keseimbangan elektrolit dan nutrisi.
Dapat juga diberikan antipiretik serta mukolitik jika diperlukan. Antibiotik diberikan
secara empirik dalam waktu kurang dari 8 jam, hal ini dikarenakan membutuhkan waktu
yang lama untuk identifikasi kuman penyebab CAP dengan keadaan penyakit yang berat
serta mengancam nyawa maka terapi antibiotik harus segera diberikan.
Untuk pasien rawat jalan tanpa penyakit penyerta atau penggunaan antibiotik baru-baru
ini Infectious Diseases Society of America (IDSA) merekomendasikan makrolida
(azitromisin, klaritomisin) atau doksisiklin. Jika ada penyakit penyerta atau pasien
tersebut baru menggunakan antibiotik, direkomendasikan menggunakan fluorokuinolon
respirasi (moksifloksasin, levofloksasin); beta lactam ditambah makrolid juga dapat
digunakan. Untuk pasien rawat inap, pedoman IDSA merekomendasikan beta-laktam
ditambah makrolida.
C. Rangkuman
Penyakit tropis di Indonesia masih menjadi masalah dengan merebaknya beberapa
Kejadian Luar Biasa (KLB) di daerah. Banyak kematian kasus penyakit tropis disebabkan
karena keterlambatan dalam deteksi dini dan keterlambatan rujukan ke rumah sakit.
KLB penyakit tropois yang terus terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan
kematian pada manusia akan menimbulkan kecemasan pada masyarakat di Indonesia.
Bahkan para ahli memperkirakan penyakit tropis merupakan zoonosis yang diduga
paling luas penyebarannya di dunia, tetapi dikarenakan sulitnya diagnosis klinis dan
mahalnya alat diagnostik serta sarana dan prasaran yang kurang memadai
menyebabkan banyak kasus tersebut yang tidak terlaporkan. Di Indonesia faktor
lingkungan dan sanitasi selama ini di curigai sebagai faktor risiko terinfeksi penyakit
tropis seperti daerah rawan banjir, sanitasi lingkungan yang kurang baik, perilaku hidup
bersih dan sehat yang kurang efektif dan yang lainnya. Pelayanan kesehatan
mewajibkan perawat memahami konsep dasar penyakit tropis dan mampu
mengaplikasikan keperawatan pada penyakit tropis
D. Tes Formatif
1. Berikut yang merupakan unsur dari pengelolaan spesimen adalah sebagai
berikut, kecuali
a. Pengambilan spesimen
b. Penyediaan instrumen laboratorium
c. Transportasi spesimen
d. Pengawetan spesimen
e. Penyimpanan spesimen
2. Sampel untuk kultur bakteri idealnya harus tiba di laboratorium dalam waktu?
a. 1-2 jam setelah pengumpulan
b. 1-2 hari setelah pengumpulan
c. 30 menit – 1 jam setelah pengumpulan
d. 1-2 minggu setelah pengumpulan
e. 1-2 bulan setelah pengumpulan
3. Berikut adalah alasan umum penolakan spesimen oleh laboratorium mikrobiologi
klinik, kecuali ...
a. Spesimen tidak berlabel
b. Spesimen diterima dalam wadah bocor atau pecah
c. Spesimen diantar kurang dari 1 jam setelah pengumpulan
d. Spesimen jelas terkontaminasi
e. Spesimen diangkut dengan cara yang tidak tepat suhu
BAB III
PENUTUP

Setelah selesai mempelajari modul ini dan mengerjakan tugas-tugas di


dalamnya, maka ikutilah evaluasi akhir dari materi tersebut. Perdalam materi
dengan mencari referensi lain. Selanjutnya terapkan pengetahuan Anda pada
pelajaran produktif dan praktek industri. Semoga modul ini bermanfaat dan
dapat meningkatkan pengetahuan serta keterampilan Anda.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amelia S. Pengelolaan Spesimen Untuk Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik Departemen


Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Internet]. 2011. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/cr.2011.8

2. Abdisa T. Microbiology examination. Int J Vet Sci Res. 2018;065–77.

3. Ali M, Maloba G. An Update : Microbiology Specimen Collection and Transport.


2021;4421(5):121–3.

4. Control Q. Microbiology Specimen Collection Guidelines. 2011;2484.

5. Niemczyk S. Microbiology Specimen Collection and Transport. 2015;1–13. Available


from:
https://www.healthcare.uiowa.edu/path_handbook/Appendix/Micro/micro_spec_collectio
n.html

6. Pettross B, Culture B. Specimen Collection and Transportation of Microbiology


Specimens. FRHG Lab. 2010;1–25.

7. Swab AC. Microbiology Sample Collection and Transport. 2000;(December):2–2.


Available from:
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/nhanes_01_02/specimen_collection_year_3.pdf

8. Microbiology- Specimen Collection , Handling & Transport. p. 1–3.

9. Vaught JB, Henderson MK. Biological sample collection, processing, storage and
information management. IARC Sci Publ. 2011;(163):23–42.

Anda mungkin juga menyukai