Anda di halaman 1dari 15

Struktur Bakteri dan Proses Infeksi oleh Bakteri

Streptococcus pneumonia dan Corynebacterium diphteriae

Disusun oleh :

Sabila Firdausita (18142010029)

Ach. Zaifuddin (18142010003)

Moh. Fajar Sodiq (18142010022)

Rois Alifi (18142010039)

Nailil Asma Hani (18142010023)

Hani Faturrohmah (18142010037)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES NGUDIA HUSADA MADURA

2018-2019
Kata Pengantar

Bakteriologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sejarah, seluk beluk, tinjauan
klinis/patologi, epidemiologi, dan cara mendiagnosis dari segala aspek, baik klinis, standar
laboratorim, dan cara biakan. Bagian yang mempelajari tentang mikrobiologi dibagi dalam
makalah-makalah yang menghubungkan antara kegiatan pembelajaran teori dan praktikum.

Teori bakteriologi dalam telaah transfernof knowledge disusun berdasarkan tingkatan


pemahaman yang dimulai dri kajian teori yang memperdalam pemahaman pada tingkatan
psikomotorik, tingkatan keterampilan menganalisis, dan tingkatan keterampilan
menghubungkan konsep-konsep bakteriologi. Berkaca pada sistem pembelajaran di beberapa
negara maju yang lebih mengedepankan pendekatan diatas, dirasa penting bagi kita
menyusun makalah yang telah dukaji.

Makalah " Struktur Bakteri dan Proses Infeksi oleh Bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae” ditunjukkan untuk melengkapi tugas, terutama bagi mahasiswa
Keprawatan. Makalah ini lebih khusus membahas tentang karakteristik dan proses terjadinya
infeksi oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan Corynebacterium diphteriae.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing kami Ibu Harfina Indriani,
MPd. Kami juga mengcapkan terima kasih kepaada semua pihak yang telah membantu kami
untui menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca, terutama teman-teman mahasiswa
Keperawatan. Tidak ada yang sempurna selain milik Allah SWT. Bantuan dan saran bagi
pembuatan makalah ini saya terima sebagai ilmu.

Bangkalan, 9 Maret 2019

Penulis
Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 3

BAB II Kajian Pustaka

2.1 Bakteri Streptococcus pneumonia....................................................................... 4


2.1.1 Anatomi dan Morfologi .......................................................................... 5
2.1.2 Patogenesis dan Patologi......................................................................... 6
2.1.3 Gambaran Klinis ..................................................................................... 7
2.1.4 Diagnosis................................................................................................. 8
2.1.5 Pencegahan dan Pengobatan ................................................................... 9
2.2 Bakteri Corynebacterium diphteriae ................................................................... 10
2.2.1 Anatomi dan Morfologi ........................................................................... 11
2.2.2 Patogenesis dan Patologi ......................................................................... 12
2.2.3 Gambaran Klinis ..................................................................................... 13
2.2.4 Diagnosis ................................................................................................. 14
2.2.5 Pencegahan dan Pengobatan .................................................................. 15

BAB III Kesimpulan

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 16


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bakteri (dari kata Latin bacterium; jamak: bacteria) adalah kelompok
organisme yang tidak memiliki membran inti sel. Organisme ini termasuk ke dalam
domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik), serta memiliki peran
besar dalam kehidupan di bumi. Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen
penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan
manfaat dibidang pangan, pengobatan, dan industri. Struktur sel bakteri relatif
sederhana: tanpa nukleus/inti sel, kerangka sel, dan organel-organel lain seperti
mitokondria dan kloroplas. Hal inilah yang menjadi dasar perbedaan antara sel
prokariot dengan sel eukariot yang lebih kompleks.

Bakteri dapat ditemukan di hampir semua tempat: di tanah, air, udara, dalam
simbiosis dengan organisme lain maupun sebagai agen parasit (patogen), bahkan
dalam tubuh manusia.

Adapun salah satu klasifiksi dari bakteri adalah bakteri Streptococcus pneumonia atau
disebut juga pneumokokus. Pneumokokus merupakan penyebab utama dari kematian
di seluruh dunia akibat infeksi. Infeksi dan mortalitas terbesar didapatkan pada usia
yang ekstrem dan pada individu yang telah memiliki penyakit yang mendasarinya.

Selain bakteri streptococcus pneumonia ada juga bakteri corynebacterium diptheriae


yang menyebabkan penyakit difteri dan merupakan penyakit yang menyebabkan
kematian pada anak-anak. Penyakit ini menyerang saluran nafas ( terutama laring,
tenggorokan, dan amandel ), tetapi dapat juga menyerang kulit, dan toksin yang
dihasilkan corynebacterium diptheriae dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan
jantung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan morfologi bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae?
2. Bagaimana patogenesis dan patologi bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae?
3. Bagaimana gambaran klinis dari bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae?
4. Bagaimana diagnosis bakteri Streptococcus pneumonia dan Corynebacterium
diphteriae?
5. Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan morfologi bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae
2. Untuk mengetahui patogenesis dan patologi bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae
3. Untuk mengetahui gambaran klinis bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae
4. Untuk mengetahui diagnosis bakteri Streptococcus pneumonia dan
Corynebacterium diphteriae
5. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan dari bakteri Streptococcus
pneumonia dan Corynebacterium diphteriae
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bakteri Streptococcus pneumonia

2.1.1 Anatomi dan Morfologi


Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri diplokokus Gram-positif, tidak
membentuk spora,tidak mempunyai flagel,berbentuk seperti lanset, biasanya
berpasangan dan berselubung terutama galur yang virulen. Diplokokus ini
pertama kali ditemukan dalam saliva manusia oleh sternberg dan pasteur pada
tahun 1881 di tempat yang terpisah. Walaupun kedua ilmuan ini berhasil
menimbulkan kondisi septisemia pada kelinci, mereka tidak menghubungkan
kondisi tersebut dengan penyakit pneumonia. Baru pada tahum 1886, frunkel
dan weichselbaum mengetahui bahwa bakteri diplokokus ini dapat
menyebabkan pneumonia lobaris.
Bakteri streptococus pneumoniae biasanya hidup sebagai flora normal dalam
saluran nafas bagian atas, tetapi dapat menyebabkan penyakit pneumonia,
sinusitis, otitis, meningitis, dan infeksi lain.
Bakteri streptococcus pneumoniae dalam sputum kering yang yang tidak
terkena sinar matahari langsung dapat bertahan selama beberapa bulan.bakteri
ini hanya bertahan selama beberapa hari dalam perbenihan biasa dan mati oleh
sinar matahari langsung. Streptococcus pneumoniaerentan terhadap senyawa
antiseptik, seperti fenol, kalium permanganat, HgCI2, dan sabun.

2.1.2 Patogenesis dan Patologi


Bakteri streptoccus pneumoniae merupakan penyebab utama penyakit pada
saluran napas, pneumonia lobaris. Selain itu, bakteri ini dapat menimbulkan
sinusitis, otitis media, osteomielitis,peritonitis, ulserasi kornea, dan meningitis.
Komplokasi dapat terjadi dari pneumonia lobaris, berupa septisemia,
empisema, dan endokarditis.

Pneumokokus memiliki kapsul polisakarida. Kapsul ini melindungi


pneumokokus dari fagosit. Terdapat lebih dari 90 serotipe kapsular yang
berbeda. Polisakarida kapsular sangat bersifat antigenik perlindungan.
Antigenisitas bersifat spesifik terhadap jenisnya, tetapi terdapat beberapa
reaksi silang antartipe. Komponen dinding sel bersifat pro-inflamasi.
Pneumokokus juga memiliki variasi adhesi yang memerantarai klonisasi
dengan menempel pada karbohidrat di permukaan sel.

2.1.3 Gambaran Klinis


Otitis media akut, sinusitis, dan pneumonia akut merupakan infeksi yang
paling sering terjadi. Pneumokokus merupakan penyebab 50-75% pneumonia
yang dapat di komunitas di mana 25-30% nya akan menyebabkan bakteremia.
Penyebaran langsung atau hematogen dapat menyebabkan terjadinya
miningitis dan, kadang-kadang, selusitis, abses, peritonitis, serta endokarditis.
Bakteremia merupakan komplikasi yang penting dengan mortalitas yang
tinggi, sekalipun dengan pengobatan. Bakteri ini sekarang merupakan
penyebab meningitis kedua tersering pada anak di komunitas di mana
vaksinasi Haemophilus influenzae tipe b (Hib) diberikan, dan penyebab
tersering pada orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun. Mortalitas dan
insidensi sekuele tinggi.

2.1.4 Diagnosis

Jika pasien dicurigai menderita pneumonia, maka pemeriksaan penunjang


diperlukan untuk dapat memastikan diagnosis tersebut. Pemeriksaan yang akan
dilakukan, antara lain:

 Pulse oximetry, yaitu proses pengukuran kadar oksigen dalam darah.


 Foto Rontgen dada, untuk memastikan keberadaan pneumonia serta tingkat
keparahannya.
 Tes darah, untuk memastikan keberadaan infeksi dan mengidentifikasi jenis
organisme yang menyebabkan infeksi.
 Tes urine , untuk mengidentifikasi bakteri Streptococcus
pneumonia dan Legionella pneumophila.
 Pemeriksaan sampel dahak. Sampel dahak diambil untuk mengetahui
penyebab infeksi.
Jika pasien berusia di atas 65 tahun dengan gejala yang lebih serius, maka
dokter perlu melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tersebut berupa:

 CT scan. Pemeriksaan kondisi paru-paru yang lebih detail ini dapat


dilakukan jika gejala pneumonia tidak kunjung sembuh, untuk melihat
kemungkinan penyebab lainnya.
 Kultur cairan pleura. Sampel cairan pleura akan diambil dari rongga di antara
iga untuk mengidentifikasi penyebab infeksi.
 Bronkoskopi. Pemeriksaan ini dilakukan pada jalur udara di paru-paru
dengan menggunakan alat bronkoskop. Bronkoskopi dilakukan jika gejala
pneumonia sangat parah dan tubuh tidak bereaksi baik terhadap antibiotik
 Diagnosis umumnya dibuat berdasarkan kecurigaan klinis bersama dengan
kultur positif dari sampel dari hampir semua tempat dalam tubuh. Titer ASO
lebih besar dari 200 unit adalah signifikan. S. pneumoniae , secara
umum, optochin sensitif, meskipun resistensi optochin telah diamati.
 Kemajuan terbaru dalam sequencing generasi berikutnya dan genomik
komparatif telah memungkinkan pengembangan metode molekuler yang kuat
dan andal untuk deteksi dan identifikasi S. pneumoniae . Sebagai contoh,
gen Xisco baru-baru ini digambarkan sebagai biomarker untuk deteksi S.
pneumoniae berbasis PCR dan diferensiasi dari spesies yang berkaitan erat.
 Atromentin dan leucomelone memiliki aktivitas antibakteri,
menghambat enzimreduktase pembawa protein enoyl-asil , (penting
untuk biosintesis asam lemak ) pada S. pneumoniae . Sensitivitas Optochin
dalam kultur Streptococcus pneumoniae

2.1.5 Pencegahan dan Pengobatan


Walaupun pneumonia lebar atau cuing (penyumbatan padda cuping paru-paru)
dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorgaanisme, 95% dari
pneumonia baakterial disebabkan oleh Streptoccus pneumoniae, yang dulu
disebut Diplococcus pneumnia dan biasanya disebut pneumokokus.
Pneumokokus adalah sel gram positif berbentuk bulat telur atau seperti bola,
secara khas terdaapat berpasangan ataau raantaai pendek.
Pneumokokus dapat dibagi menjadi lebih dari 80 tipe serologis berdasarkan
perbedaan antigenik pada kapsul polisakaridanya. Tipe-tipe tersebut dapat
ditentukan dengan uji presipitin atau uji aglutinasi, tetapi yang paling banyak
dipakai ialah reaksi quellung yaitu “pembekakan” kapsul dengan adanya
Antiserum yang tipe khas. Bahan kapsul inilah yang mencegah terfagositosnya
organisme tersebut. Pneumonia lobar akut oleh pneumokokus adalah penyakit
berat yang terjadinya mendadak dan pada kasus-kasus yang fatal cenderung
untuk sembuh dengan melawati “krisis”, yaitu suatu perubahan mendadak
selama berlangsungnya penyakit itu, biasanya lalu menjadi lebih baik.
Gejalanya meliputi demam, rasa menggigit, dan rasa sakit didaerah sekitar
paru-paru penuh terisi eksudat. Seringkali terjadi bakteremia; pneumokokus
dapat juga menyerbu jaringan-jaringan lain, terutama sinus, ruang tengah
telinga dan selaput otak.
Pada diagnosis laboratorius, olesan langsung dari dahak dapat diwarnai dan
diperiksa untuk melihat ada tidaknya organisme yang bersangkutan. Reaksi
quellung dapat dilakukan terhada dahak atau terhadap bakteri yang dibiakkan
untuk memberikan identifikasi pneumokokus dengan pasti. Darah dan fluida
tulang punggung juga digunakan untuk mendeteksi dan mengisolasi organisme
yang bersangkutan.
Pengobatan terhadap infeksi oleh pneumokokus belum membentuk resistensi
terhadap antibiotik ii. Pencegahan penyakit ini sukar dilakukan karena luasnya
penyebaran organisme ini didalam populasi. Sebenarnya, organisme ini
merupakan bagian dari floral populasi. Pencegahan profilatik telah terbukti
berhasil di dalam percobaan skala besar, tetapi banyaknya tipe organisme ini
menyebabkan imunisasi secara umum tidak praktis.

2.2 Bakteri Corynebacterium diphteriae

2.2.1 Anatomi dan Morfologi


Bakteri corynebacterium diphtheriae berbentuk ramping, berukuran 1,5-5 um
x 0,5-1 um, dan salah satu ujung biasanyamenggembung. Bakteri Gram-positif
ini tidak berpora dan tidak bergerak. Karakteristik bakteri ini adalah mereka
memiliki bentuk menggelembung yang tidak teratur pada satu ujungnya yang
akan menyebabkan gambaran “club-shapped” atau penampakan seperti
pentungan.
Granula-granula yang tampak jelas pada pewarnaan anilin (granula
metakromatik) sering tidak merata pada batang yang menyebabkan batang
tampak berisi pita-pita melintang. Pada pewarnaan, Corynebacterium satu
sama lain cenderung tampak sejajar atau membentuk susut lancip.
Percabangan jarang tampak pada kultur.

Pada media agar darah, koloni Corynebacterium diphtheriae tampak


berukuran kecil, berbentuk granular, dan berwarna abu-abu dengan tepi
takteratur dan dapat ditemukan adanya zona hemolisis yang sempit. Agar yang
mengandung kalium telurit, koloni tampak berwarna cokelat hingga hitam
dengan halo berwarna cokelat kehitaman karena telurit direduksi intraseluler.

Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium lainnya tumbuh secara


aerob pada sebagian besar media laboratorium biasa. Pada medium serum
loeffler, Corynebacterium lebih mudah tumbuh pada organisme lain yang
biasanya ditemukan pada saluran napas, dan morfologi organisme khas pada
sediaan apus.

Corynebacterium diphtheriae cendurung memiliki bentuk gambaran


mikroskopik dan koloni yang pleomorfis. Jika beberapa organisme difteria
nontoksigenik terinfeksi oleh bacteriofaga dari basil difteria toksigenik
tertentu,keturunannya akan bersifat lisogenik dan toksigenik, dan gaur ini akan
diturunkan. Jika basil difteria toksigenik yang mengandung faga secara serial
ditumbuhkan pada antiserum khusus,mereka cenderung menjadi nontoksik.
Jadi, adanya faga mengakibatkan toksigenitas. Produksi toksin terjadi jika
profaga Corynebacterium diphtheriae menjadi terinduksi dan melisiskan sel.
Jika toksigenisitas berada di bawah kendali gen faga, sifat invatif ada di bawah
kendali gen faga, ifat invastif ada di bawah kendali gen bakteri.

Corynebacterium diphtheriae sangat peka terhdap disenfektan, tetapi dapat


bertahan dalam air mendidih selama 1 menit dan pada suhu 58˚C selama 10
menit. Bakteri ini biasanya menyerang saluran napas, teerutama laring,
amandel, tonsil, tenggorokan, dan nasofaring. Infeksi bakteri juga dapat terjadi
pada rongga hidung bagian depan, hidung bagian dalam, mulout, telingah
tengah, dan vagina walaupun sangat jarang terjadi.
Corynebacterium diphtheriae menyebabkan penyakit difteri. Penyakit ini
sering menyerang anak-anak berusia kurangdari 15 tahun yang tidak
mendapatkan imunisasi, terutama usia 1-9. Difteri juga juga dapat terjadi pada
orang dewasa yang tidak divaksinasi dan pada bayi baru lahir.

2.2.2 Patogenesis dan Patologi


Semua Corynebacterium diphtheriae Bakteri patogen utama pada
manusia dari kelompok ini adalah Corynebacterium diphtheriae. Di alam,
Corynebacterium diphtheriae ditemukan pada saluran napas, pada luka atau
kulit individu yang terinfeksi. Atau pada ca rrier normal. Bacteri ini menyebar
melalui droplet atau kontak dengan orang yang diduga kuat terinfeksi. Basil
kemudian tumbuh pada selaput lendir atau kulit yang lecet dan di situ mulai
bacteri memproduksi toksin.
Yang bersifat toksigeik mampu memprosuksi toksin yang biasa
menyebabkan penyakit. In vitro, produksi toksin ini sangat tergatung pada
kadar besi. Produksi toksin optimal pada kadar besin 0,14 mg per milimeter
medium, terapi akan tertekan pada kadar 0,5 mg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi secara in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH,
dan ketersediaan sumber karbon dan nitrogen. Faktor yang mengendalikan
toksin in vivo tidak diketahui dengan baik.
Toksin dofterian merupakan polipeptida yang labil teradap panas (
berat molekul 62.000) yang bersifat letal pada kadar 0,1 mg/kg. Jika ikatan
disulfida rusak, molekul dapat pecah menjadi 2 fragmen. Fragmen B ( berat
molekul 38.000) tidak memiliki aktifitas tersendiri tetapi membantu transpor
fragmen A ke dalam sel. Fragmen A meghambat elongasi (pemanjangan)
rantai polipeptida, asalkan terdapat nicotinamide adenine dinucletida ( NAD ),
dengan menginaktifasi faktor elongasi EF-2. Faktor ini diperlukan untuk
translokasi polypptidyl-transferi RNA dari aseptor ke donor ribosom sel
eukariot.
Fragmen toksin A mengnaktifikasi EF-2 dengan cara mngkatalisasi
suaru reaksi yang menghasilkan nikotinamida bebas serta sebuah kempleks
adenosin difosfat-ribosa-EF-2 inaktif. Diduga bahwa penghentian secara
mendadak terhadap sintesis protein menyebabkan efek nekrotik dan
neurokotik toksin difteria ini. Eksostoksin dengan mekanisme yang sama
dapat diproduksi oleh pseudomonas aeruginosa.
Toksin difteria diabsorsi di dalam selaput lendir yang menyebabkan
kerusakan epitelium serta respon inflamasi superfisial. Epitel yang nekrotik
bercampur dengan fibrin yang dikeluarkan dan sel darah merah serta sel darah
putih sehingga terbentuk “ pseudomembran” yang berarna keabuan, yang
biasanya ditemukan di tonsil, faring, atau laring, upaya untuk mengangkat
pseudomembran ini akan mengenai kapiler sehingga menimbukan perdarahan.
Limfonodi ( nodus limfe ) regional pada leher yang mmbesar dan hal tersebut
menyebabkan edema pada seluruh leher. Basil difteria pada membran terus
memproduksi toksin secara aktif..
Toksin akan diabsorsi dan menyebabkan kerusakan pada tempat yang
jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis otot jantung,
hati, ginjal, dan adrenal serta terkadang menyebabkan perdarahan yang nyata.
Toksin ini juga menyebabkan kesusakan pad saraf sehingga terjadi paralisis
palatum mole, otot mata atau ekstermitas .
Difteria pada luka atau kulit terjadi terutama di tropis. Membran dapat
terbentuk efek sistemik yang ditimbukan tidak berarti. Sejumlah kecil toksin
yang di absorsi pada infeksi kulit memicu terbentuknya antibodi antitoksin.
Virulensi basil difteria ditentukan oleh kemampuannya untuk menimbulkan
infeksi, kecepatan pertumbuhan,serta kecepatan penyebaran toksin yang
diabsorsi secara efektif. Corynebacterium diphtheriae tidak harus bersifat
toksigenik untuk dapat menimbulkan infeksi lokal di nasofaring atau kulit.
Akan tetap, galur nontoksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal atau
sistemik. Corynebacterium diphtheriae tidak secara aktif menginvasi jaringan
dan praktis tidak pernah masuk dalam peredaran darah.

2.2.3 Gambaran Klinis


Infeksi dapat muncul di kulit, nasofaring, atau laring. Pada tenggorok, bakteri
ini menyebabkan peradangan akut dan nekrosis yang terlihat sebagai
‘pseudomembran’ berwarna hijau-hitam pada dinding posterior faring.
Membran ini dapat menyebabkan obstruksi pernapasan. Difteri menyebabkan
toksemia: keparahan klinis berhubungan langsung dengan derajat produksi
toksin. Toksin secara mematikan menghentikan sintesis protein dalam sel,
bekerja langsung pada miokardium dan menyebabkan miokarditis, dan pada
sistem saraf tepi menyebabkan neuropati dan paralisis. Infeksi kulit sering
asimtomatik. Tata laksana didasarkan pada isolasi dan pemberian antitoksin
dan eritromisin. Bantuan perawatan intensif mungkin diperlukan.

2.2.4 Diagnosis
Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan karakteristik membran
(pseudomembran) di dalam esofagus, juga adanya pembengkakan bodus limfe
dan pembengkakan pada laring atau leher. Untuk memastikan diagnosis, perlu
diambil sampel dari jaringan yang terinfeksi. Kultur tenggorok juga dilakukan
apabila terdapat difteria pada kulit. Jika pasien diduga menderita difteria,
pengobatan harus segera dilakukan.

2.2.5 Pengobatan dan Pencegahan


Vaksin polisakarida kapsular polivalen efektif pada orang dewasa tetapi
kurang efektif pada pasien immunocompromised dan anak-anak berusia di
bawah 12 tahun. Suatu vaksin konjungat telah diperkenalkan dan bersifat
imunogenik pada anak-anak.

Infeksi Corynebacterium diphtheriaedapat dicegah dengan pemberian vaksin


DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) pada balita mningkat kan daya tahan tubuh
terhadap serangan penyakit tersebut. Akan tetapi, kekebalan hanya bertahan
sekitar 10 tahun. Oleh karna itu,imunisasi dianjurkan untuk diulang etiap 10
tahun.

Pengobtan penderita difteri dilakukan dengan memberikan antitoksin untuk


mencegah terjadinya iktan-ikatan lebih lanjut antara toksin yang terdapat di
dalam darah dan sel-sel jaringan yang masih utuh. Penisilan atau antibiotik
lain,seperti tetrasiklin dan eritromisin, dapat diberikan untuk mencegah infeksi
sekuder dan untuk mengobatan chronic carrier.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
streptococcus pneumonia (pneumokokus) merupakan bakteri kokus gram –
positif. Pneumokokus merupakan penyebab utama dari kematian diseluruh dunia
akibat infeksi. Infeksi dan mortalitas terbesar didapatkan pada usia yang ekstrem dan
pada individu yang telah memiliki penyakit yang mendasarinya.

Bakteri Streptococcus pneumonia merupakan peneyebab utama penyakit pada saluran


nafas, tnepneumonia lobaris. Selain itu, bakteri ini dapat menimbulkan sinusitis, otitis
media, osteomielitis, arthritis, peritonitis, ulserasi kornea, dan meningitis.komplikasi
dapat terjadi dari pneumonia lobaris, berupa septisemia, empisema, dan endokarsitis.

Bakteri corynebacterium diptheriae yang menyebabkan penyakit difteri dan


merupakan penyakit yang menyebabkan kematian pada anak-anak. Penyakit ini
menyerang saluran nafas ( terutama laring, tenggorokan, dan amandel ), tetapi dapat
juga menyerang kulit, dan toksin yang dihasilkan corynebacterium diptheriae dapat
menyebabkan kerusakan pada saraf dan jantung.

3.2 Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini maka kita dapat mengetahui penyakit
yang disebabkan oleh bakteri streptococcus pneumonia (pneumokokus) dan Bakteri
corynebacterium diptheriae yang bersifat pathogen sehingga kita dapat melakukan
pencegahan dini.
Daftar Pustaka

Kuswiyanto, S.Si., M.Kes. 2018. Bakteriologi 3 Buku Ajar Analis Kesehatan. Jakarta: EGC

Radji, M., Biomed, M. 2011. Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran.
Jakarta: EGC

Jokohadikusumo, P. 2011. Memahami Dunia Bakteri. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Gillespie, S., dan Bamford, K. 2007. At a Glace Mikrobiologi Medis dan Infeksi Edisi Ketiga.
Penerbit Erlangga

Subanada, I. B., & Purniti, N. P. S. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


pneumonia bakteri pada anak. Sari Pediatri, 12(3), 184-9. Melalui
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=makalah+diagnosis+bakteri+st
reptococcus+pneumoniae&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DaQ-vgRVLipcJ

Anda mungkin juga menyukai