Anda di halaman 1dari 20

Makalah

DEMAM TIFOID PADA ANAK

Disusun Oleh :

FERNANDO OLOPAN P. PANJAITAN

212 210 230

Pembimbing :

dr. SUSANTI DEWAYANI, Sp.A


dr. BANGUN LUBIS, Sp.A
dr. S.L. MARGARETHA GULTOM, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANGSIANTAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan Karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Demam Tifoid Pada Anak. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada dr. Susanti Dewayani, SpA, dr. S.L.Margaretha
Gultom, SpA, dan dr. Bangun Lubis, SpA selaku pembimbing penulis yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyelesaian makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Dr Djasamen Saragih. Penulis
menyadari bahwa makalah ini dibuat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Pematangsiantar, Mei 2017

Penulis,

Fernando Olopan P. Panjaitan

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

A. Definisi ......................................................................................................... 2

B. Etiologi dan Predisposisi .............................................................................. 2

C. Patofisiologi ................................................................................................. 3

D. Penegakan Diagnosis ................................................................................... 4

E. Penatalaksanaan ........................................................................................... 13

F. Prognosis ...................................................................................................... 15

G. Komplikasi ................................................................................................... 15

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

Tifus Abdominalis (Demam Tifoid) telah diketahui menjadi masalah kesehatan yang
besar di negara berkembang. Tifus Abdominalis ini disebabkan oleh Salmonella
thypi.Penyebab lain dari demam tifoid dan tidak menyebabkan penyakit berat yaitu S.
paratyphi A, S. paratyphi B (Schotmulleri) dan S. paratyphi C (Hirschfeldil). Penyakit ini
merupakan endemik di daerah yang persediaan air bersih tidak adekuat, seperti di Asia
Tenggara, negara bagian India, Afrika, Amerika selatan dan Amerika tengah.1 Insiden demam
tifoid ini diperkirakan mencapai 22 juta kasus dengan paling sedikit terdapat 200.000
kematian setiap tahun. Penyakit ini bisa terjadi pada semua usia dengan insiden tertinggi
ditemukan pada anak-anak.

Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian)
demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya
komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang
menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau
lebih dan mempunyai gejala klinis ringan (Rezeki, 2008).

Menurut penelitian Crump, J.A., dkk (2000), insiden demam tifoid di Eropa yaitu 3
per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia yaitu 274 per
100.000 penduduk. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2005, demam tifoid menempati
urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2004 yaitu
77.555 kasus. Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, demam tifoid
menempati urutan ke-8 dari 10 penyakit penyebab kematian umum di Indonesia sebesar
4,3%.5 Pada tahun 2005 jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116 kasus (3,15%)
dan menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia.6

Diagnosis dini dan akurat sangat penting untuk penatalaksaan yang tepat dan efektif
bagi pasien dengan demam tifoid.Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar
memberikan pelayanan yang tepat pada pasien. Tidak hanya dengan pemberian obat,
perawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat
proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik
terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung
empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun
Salmonella paratyphi.
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi (Widoyo, 2008).
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid adalah
penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang terkontaminasi, ditandai dengan
bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh patogen dan multifikasinya dalam sel-sel
fagosit mononuklear pada hati, limpa, kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum
(Sudoyo, dkk. 2006).

B. Etiologi dan Predisposisi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Bakteri Salmonella typhi
mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm flagella,bersifat
spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan bagian terluar
dinding sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A.

2
Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membran Protein :
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar
b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dlm
membran sitoplasma
c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid

C. Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang
simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi

3
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.

D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Mas tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika
infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang terlamasampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada kahir minggu ketiga
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati
dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,
akan tetapi mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan rata-rata
antara 1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat
terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid

4
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi.
Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore
dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010) :
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.

5
b. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media
empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah
positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%)
dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

6
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena
adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita
c. Identifikasi kuman melalui uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis
ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan..
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan
dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)
Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu menegakan
diagnosis demam tifoid :
1) Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

7
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).
Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh
Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar
89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid
anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal
sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus
memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen
yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas
serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan
H pada anak-anak sehat. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C
selama 25 jam, alkohol dan asam yang ence1.
a. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan
berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas
suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.

8
b. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosisn dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1
jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier.
c. OuterMembrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.
Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP
F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu
antigen protein 50 kDa/52 kDa.
2) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

9
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
4) Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan
dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

10
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
5) DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9%
dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90%
dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
d. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh
Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas
yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5
bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak 10 dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta

11
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian

4. Gold Standart Diagnosis


Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman Salmonella
typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari aspirat duodenum. Tetapi
pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga secara klinik tidak
menjadi patokan untuk memberikan terapi. Dengan demikian secara praktis diagnosis
klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam spesimen yang digunakan
untuk kultur :
a. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah
1) Baku emas (mahal, waktu lama)
2) Waktu pengambilan: mg I demam
3) Prosedur pem isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
4) (-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen sedikit
b. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam
3) Prosedur pem isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
4) Hasil (+) mendukung dx jika gejala klinis (+)
c. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril
3) Prosedur pem isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

12
E. Panatalaksanaan
1. Medikamentosa
Indikasi rawat
Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur. Jika klinis disertai
hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi, keadaan umum lemah,
maka harus di rawat inapkan.
Perawatan
Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian secara bertahap mulai
mobilisasi.
Diet
Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus mengutamakan lunak,
mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat, dan tidak menimbulkan gas.
Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi sering. Biasanya disajikan dalam bentuk
bubur saring.
Medikamentosa
Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengan
dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas
panas, minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian
kloramphenikol panas tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari
diberkan secara Iv selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan
atau leukosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan
diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan dosis awal 3
mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lalu di
stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit,
dan dilakukan Lumbal Punksi bila tidak terdapat kontraindikasi.
2. Non medikamentosa
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau

13
dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Ada beberapa
orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak
boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki
reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan
vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh
mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang
diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-
obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan
sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang
per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).
Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam
atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak

F. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya
adalah 5,7%.

G. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

14
Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna.

15
BAB III

PENUTUP

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan
melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari
terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa
terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu
lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf
Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam
keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat


menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan
serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah
baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang
memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.

Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.

Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.

Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.

Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang. Jakarta: Airlangga
University Press.

Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FKUI.

Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU
dr.Soetomo Surabaya
Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi bakteri.Blok
TROPMED
Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37

17

Anda mungkin juga menyukai